• Tidak ada hasil yang ditemukan

Osteotomi Le Fort I Pada Bedah Ortognati

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Osteotomi Le Fort I Pada Bedah Ortognati"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

1. Jacobson R, Sarver DM. The predictability of maxilarry repositioning in Le Fort I otrhognathic surgery. Am J Orthod Dentofacial Ortho 2002;122:142-54 2. Ayoub AF, Lalani Z, Moos FS, Wood GA. Complications following

orthognathic surgery that required early surgical intervention: Fifteen years’ experience. Int J Adult Orthod Orthognath Surg 2001;16:138–144.

3. Reyneke JP. Essential of orthognatic surgery 2nd edition. Chicago: Quintessence Publishing Co, 2010: 11-5.

4. Robinnson R, Holm R. Orthognathic Surgery for Patients with Maxillofacial Deformities. AORN 2010;92: 1-52.

5. Arcuri F, Giarda M, Stelin L, Gatti M, Nicoloti M, Brucoli M. A Textbook of Advanced Oral and Maxillofacial Surgery: Basic and Advanced Operative Techniques in Orthognathic Surgery. 2010;26:697-714.

6. Janson M, Janson G, Santana E, Nakamura A, Freitas MR. Segmental LeFort I Osteotomy For Treatment of a class III Maloclussion with temporomandibular disorder. J Appl Oral Sci. 2008;16(4):302-9

7. Pederson GW. Buku ajar praktis bedah mulut: Koreksi dan rekonstruksi kelainan bentuk orofasial. Jakarta, 1996;14: 325-52.

8. Sjamsuhidat R, Jong W. Buku ajar ilmu bedah: Kepala dan leher. Jakarta, 2004;24: 335-50.

9. America Assosiation of Oral dan Maksilofasial Surgeons. Clinical Paper: Criteria of orthognathic surgery. 2013: 1-6.

10.Panula K. Corection of dentofacial deformities with orthognathic surgery. Departement of oral and maxillofacial surgery institute of dentistry university of oulu, Oulu 2003:15-8.

(2)

12.Satoshi Y. Indications and procedures for segmental dentoalveolar osteotomy: A review of 13 patients. Int J Adult Orthod Orthognath Surg, 2002;17(4): 254-63.

13.Kole H, Epker BN. Sinopsys of oral and maxillofacial surgery: Excerpts of orthognathic surgery. 2003;19: 132-8.

14.Mommaerts MY. A comprehensive guide to orthofacial surgery planning and operative techniques. Miami, 2005:151-9.

15.Cortese A. The Role of Osteotomy in the Correction of Congenital and Acquired Disorders of the Skeleton: Le Fort I Osteotomy for Maxillary Repositioning and Distraction Techniques. Intech. 2012;2: 23-58.

16.Cortese A, Savastano G, Savastano M, Spagnuolo G, Papa F. New Technique: Le Fort I Osteotomy for Maxillary Advancement and Palatal Distraction in 1 Stage. J Oral Maxillofac Surg, 2009;67:223-8.

17.Anonymous. Cosmetic jaw surgery.

(3)

BAB 3

OSTEOTOMI LE FORT I

3.1 Sejarah Osteotomi Le Fort I

Tahun 1901, Rene Le Fort menjelaskan rencana perawatan natural fraktur pada wajah bagian tengah. Teknik ini di demonstrasikan pertama kali oleh Ceever tahun 1864 untuk mereseksi tumor rinofaringeal. Tahun 1921 Herman Wassmund menggunakan teknik ini untuk mengoreksi kelainan dentofasial tanpa mobilisasi intraoperatif yang menggunakan penarikan ortopedi pada waktu selesai operasi. Peneliti lain seperti Auxhauser, Schuchardt, Obwegeser, Willmar dan lainnya mengembangkan teknik bedah pada maksila untuk mengoreksi kelainan dentofasial. Pada pertengahan tahun 1970, Bell dan asistensnya melakukan penemuan penting tentang dasar biologi terhadap hemodinamika dan pasokan vascular pada maksila. Hal ini berdampak pada kemampuan penyembuhan yang baik dan terhindarnya terjadi jaringan nekrosis selama dan setelah pembedahan fraktur maksila, sehingga osteotomi Le Fort I dijadikan sebagai ilmu pengetahuan dan seni yang diakui sampai saat ini. Beberapa teknik dari osteotomi Le Fort I telah dikembangan dan menjadi pedoman bagi banyak operator. Teknik ini dilakukan lebh dari 2.600 kasus selama 17 tahun terakhir.8,12,13

3.2 Defenisi Osteotomi Le Fort I

(4)

imajiner pada fraktur LeFort I yang digunakan pada pembedahan osteotomi maksila horisontal. Prosedur ini dimulai dengan pembuatan insisi intraoral pada daerah

mukogingival junction pada maksila kemudian selanjutnya dilakukan pemotongan tulang 2-3 mm diatas apikal apeks gigi melewati septum nasi berlanjut dengan insisi yang sama pada sisi berlawanan pada rahang atas. Setelah itu tulang dilepaskan dari basis tengkorak kemudian mereposisikannya sehingga gigi pada rahang atas berada tepat atau berokklusi dengan gigi rahang bawah.4,12,13

Gambar 8. Osteotomi LeFort I.6 3.2 Indikasi dan Kontra indikasi

(5)

terdapat tanda-tanda adanya disfungsi saluran napas, seperti sleep apnea, gangguan sendi temporo mandibular, gangguan psikososial dan gangguan berbicara.4,9,11,12

(6)

BAB 4

OSTEOTOMI LE FORT I PADA BEDAH ORTOGNATI

4.1 Persiapan Sebelum Prosedur Pembedahan

Sebelum dilakukan pembedahan, dilakukan pencatatan riwayat kesehatan dan pemeriksaan lengkap pada pasien. Pasien diharuskan untuk melakukan tes sebelum operasi seperti hitung darah lengkap, golongan darah, urinalisis dan x-ray dada bila perlu.4,12

Sebelum operasi dilakukan, foto x-ray dan fotografi pasien diambil, yang mana digunakan oleh ahli bedah mulut untuk rencana perawatan pada pasien. Ahli bedah mulut menentukan pengukuran pembedahan akhir, gigitan kerja, cetakan model dan membuat panduan rahang dengan menggunakan facebow. 4

Operator mengembangkan rencana perawatan berdasarkan berbagai pengukuran pasien. Rencana kemudian diuji dan dikonfirmasi pada tracing

(7)

Operator mengambil pengukuran akhir gerakan bedah, penentuan gigitan, dan pencetakan gigi untuk model studi dan membuat rahang khusus gabungan yang disebut facebow kemudian ditransfer ke artikulator.4

Diruangan perawat menginstruksikan pasien bahwa tidak boleh makan delapan jam sebelum operasi tapi cairan bening (misalnya, air, jus apel) dapat dikonsumsi hingga empat jam sebelum operasi. Ketika pertanyaan-pertanyaan dari pasien dan anggota keluarganya dijawab, ahli bedah memperoleh informed consent

dari pasien atau, jika pasien masih di bawah umur, dari wali pasien.4,13,15

Pada hari operasi, perawat meng identifikasi pasien riwayat kesehatan dan bedah dan melakukan penilaian fisik. Perawat menjelaskan kepada pasien tentang prosedur bedah dan instruksi pemulihan pasca operasi. Kemudian perawat memasangkan selimut hangat untuk menjaga normotermia dan alat IV line pada pasien. Setelah itu pasien diberikan antibiotik 60 menit sebelum sayatan bedah dimulai.4

4.2 Prosedur Pembedahan

(8)

dari maksila. Tulang dipisahkan 3 sampai 4 mm di atas ujung apeks akar gigi dari bagian lateral dari pinggiran piriform posterior melintasi fosa kanina dan melalui

crest zigomatik maksila. Bagian anterior, posterior, inferior dari dinding lateral nasal dapat dipisahkan dengan pandangan langsung. Aspek posterior dari dinding lateral maksila dan dinding posterolateral antral dipotong dengan tekanan spatula osteotomi posterior hingga berkontak dengan lapisan padat tegak lurus dengan tulang palatinal. Tahap akhir meliputi pterigo maksila dysjunction dengan melakukan osteotomi di tengah-tengah dan anterior ke dalam sutura pterigomaksila untuk memisahkan tuberositas maksila dari lapisan pterigoid dengan menggunakan instrumen tajam yang berbentuk kurva.4,11,15,16

Maksila ditekuk ke bawah dengan tekanan inferior berlawanan dengan bagian anterior maksila, dan tekanan ke depan berlawanan dengan tuberositas, dengan demikian didapati patahan maksila tanpa menggunakan tang disimpaksi. Maksila diposisikan sesuai oklusi dengan menggunakan splint fiksasi intermaksila. Maksila yang telah dilepaskan dari basis tengkorak difiksasi dengan memamasukkan kawat intraosseus yang dibur melalui bagin nasal dan tulang zigomatik maksila guna menahan bagian proksimal dan distal maksila. Kawat stainless steel 26-gauge digunakan untuk fiksasi intraosseus. Dinding lateral maksila dan zigomatik yang menahan merupakan dua daerah kritis. Tulang corticocancellous autogenous

dihasilkan dari penyambungan tulang yang paling umum untuk blok

(9)

Gambar 9. Osteotomi Le Fort I impaksi : (A) pemotongan osteotomi, (B), (C) pemotongan osteotomi pada kedua sisi, (D) osteotomi nasoseptal yang digunakan untuk memisahkan tulang nasal dari maksila, (E) pemisahan maksila dari lapisan pterigoid, (F), (G) pemisahan maksila secara lengkap, (H) fotografi prabedah, dan (I) fotografi pasca bedah. 11

(10)

Gambar 12. Diseksi subperiostal untuk Gambar 13. Penandaan acuan daerah secara mengidentifikasi saraf infraorbital, celah vertikal dan horizontal.8

pirifomis, crest zigomatikum, dan maksila posterior.8

Gambar 14. Lakukan pemotongan tulang sesuai Gambar 15. Pemotongan disesuaikan dengan garis

dengan penandaan yang dilakukan.8 oklusal secara pararel.8

Gambar 16. Fiksasi kedua rahang dengan splin Gambar 17. Fiksasi daerah pemotongan tulang

intermaksila dan posisikan rahang sesuai dengan memasukkan kawat intraoseus

(11)

4.3 Laporan Kasus

Pasien pria 20 tahun datang ke klinik ortodontik pribadi Dr MJ, karena masalah TMJ dan estetika-fungsional. Pasien mengeluh menderita sakit kepala dan otot selama lebih dari 3 tahun di samping rasa sakit pada sendi temporomandibular (TMJ) dan otot-otot pengunyahan. Pemeriksaan klinis menunjukkan pembukaan mulut maksimum dan adanya keterbatasan gerakan lateral. Tidak ada pergeseran mandibula pada saat pergerakan pembukaan atau penutupan.6

Gambar 18. Profil wajah sebelum perawatan.6

(12)

Gambar 20. Foto Sefalometri sebelum perawatan.6

Analisis sefalometri menunjukkan rahang pasien berada pada posisi retrusif, dan proporsi mandibula yang besar, tersamarkan oleh tinggi wajah bagian bawah anterior. Pemeriksaan wajah menunjukkan defisiensi horisontal midface pada perhitungan tulang malar dan pipi, dan retrusion dari bibir atas (Gambar 18). Wajah terlihat simetris dalam aspek frontal. Pemeriksaan intraoral menunjukkan hubungan molar Kelas III ¾ di kanan dan kelas III ¼ di kiri 1,15. Relasi sentris, gigi posterior dan gigi insisivus oklusi edge to edge (Gambar 2). Hubungan gigi geligi dan kurva Spee normal, midline 2 mm bergeser kesebelah kanan. Insisivus sentralis kiri dirawat secara endodonti dengan restorasi akhir resin komposit dan gelap, tetapi tidak terlihat tanda-tanda klinis ankilosis. Gambaran sefalometri, gigi seri rahang atas diposisikan pada tulang basal dan gigi seri rahang bawah yang lebih ke lingual.6

(13)

fungsi pengunyahan dapat dicapai. Hubungan molar kelas I bilateral, overjet normal dan overbite dapat dicapai dengan memperbaiki posisi gigi, dan memperluas dengan memajukan rahang atas. Dengan memajukan rahang atas dan koreksi gigi akan meningkatkan aspek retrognati dari midface dan penampilan intraoral.6

Terdapat tiga pilihan perawatan yang bisa diterima diajukan. Pertama perawatan dengan penggunaan pesawat ortodontik tetap saja dengan cara memanfaatkan kompensasi dento alveolar. Archwires rahang atas yang lebih luas akan memperluas lengkung gigi yang terbatas, dan dengan elastis dapat diperbaiki okklusi posterior dan crossbite anterior.

(14)

Osteotomi LeFort I dimulai dengan segmentasi rahang atas dalam empat segmen pergerakan. Interdental vertical osteotomi dilakukan antara lateral rahang atas gigi seri dan gigi taring . Dua osteotomi horisontal, yang sejajar dengan septum dilakukan untuk memperluas maksila dalam arah transversal. Segmen anterior maksila yang direposisi terhubung ke mandibula dalam hubungan oklusal yang benar. Lengkung mandibula dan maksila difiksasi bersama-sama dan bertindak sebagai satu unit. Pada perubahan posisi ini, oleh karena tidak adanya perpindahan posisi kondilar, berbagai upaya dilakukan untuk mempertahankan hubungan temporo mandibular praoperasi agar kondilus di anterior tetap berada pada fossa mandibula. Terakhir dilakukan fiksasi dengan miniplates dan miniscrews pada segmen rahang atas. Pada pasien dilakukan pemasangan ¼ inchi ligatur elastis intermaxilla selama 20 jam / hari selama 45 hari dan kemudian secara bertahap mengurangi waktu pakai.6

Setelah perawatan ortodontik bedah , sakit kepala, nyeri pada TMJ dan otot rahang, nyeri pada palpasi telah berhenti. Analisis fungsional menunjukkan adanya pembukaan yang normal dari mandibula. Selain itu pasien dilaporkan menghentikan bruksism dan clenching . Foto-foto wajah setelah perawatan menunjukkan hasil perubahan yang memuaskan dalam pandangan frontal ( Gambar 4 ). Hubungan gigi molar Kelas I bilateral, overjet dan overbite tercapai. Tiga tahun setelah perawatan bedah ortodontik , tidak ada tanda-tanda atau gejala TMJ dan hasil oklusal tidak berubah.6

(15)

Gambar 21. Profil wajah setelah perawatan6

(16)

Gambar 23. Foto sefalometri setelah perawatan6

4.4 Komplikasi Pasca Pembedahan

(17)

BAB 5 KESIMPULAN

Kelainan skeletal dentofasial dan profil wajah yang abnormal (prognati/retrognati mandibula) yang mempengaruhi estetika wajah sering dijumpai oleh dokter gigi. Pada kondisi bahwa diperkirakan penggunaan alat-alat ortodontik memiliki keterbatasan dalam mengkoreksi kelainan tersebut, maka pilihan yang dapat dijalani adalah perawatan bedah rahang ortodonti atau bedah ortognati.

Bedah ortognatik didefinisikan sebagai seni dan ilmu pengetahuan diagnosa, perencanaan perawatan dan penentuan perawatan untuk memperbaiki deformitas muskulo skeletal, dento-osseus, dan jaringan lunak pada rahang serta struktur-sturktur yang berkaitan dengannya.

(18)

BAB 2

BEDAH ORTOGNATI PADA MAKSILA

2.1 Definisi

Bedah ortognatik adalah tindakan pembedahan pada kelainan yang terjadi pada maksila, mandibula atau keduanya. Kelainan ini dapat terjadi kongenital dan akan terlihat jelas ketika masa tumbuh kembang ataupun juga akibat trauma.7

Istilah ortognatik berasal dari bahasa Yunani, ortho yang berarti meluruskan, dan gnathia, yang berarti rahang. Bedah orthognatik oleh karenanya bermakna meluruskan rahang.4,7,8

Deformitas maksila dapat di klasifikasikan antara lain:8

1. Protrusif maksila, yaitu pertumbuhan yang berlebih dalam arah horisontal dalam molar, kadang-kadang disertai dengan protrusi mandibula (protrusi bimax).

2. Defisiensi antero posterior (AP) maksila, yaitu pertumbuhan maksila yang tidak adekuat terjadi dalam arah anterior. Keadaan ini dikenal juga sebagai kelas III Angle.

3. Kelebihan pertumbuhan maksila vertikal, yaitu pertumbuhan berlebih pada bagian alveolus maksila dalam arah inferior, dalam hal ini terlihat gambaran klinis gigi dan gingival yang berlebihan, ketidakmampuan bibir menutup tanpa ketegangan pada otot mentalis.

(19)

5. Defisiensi maksila transversal, yaitu deformasi skeletal dengan etiologi: kongenital, pertumbuhan, traumatik, dan iatrogenik, misalnya etiologi pertumbuhan – kebiasaan menghisap ibu jari, dan iatrogenik – pertumbuhan yang terbatas yang disebabkan oleh pembentukan jaringan parut palatal.

6. Celah Alveolar, konstriksi maksila dalam dimensi transversal AP, yaitu didapati deformitas mandibula yang meliputi: kelebihan dalam arah AP mandibula (hyperplasia), defisiensi AP mandibula (hypoplasia), dan asimetri AP mandibula (pergeseran garis tengah mandibula secara klinis).

Gabungan deformitas maksila – mandibula, meliputi:8

1. Sindrom Wajah Pendek. Brachifacial – defisiensi pertumbuhan wajah bagian bawah, dalam hal dimensi vertikal, kelas II dataran mandibula yang rendah dengan defisiensi AP mandibula, kadang-kadang dengan defisiensi maksila vertikal. 2. Sindrom Wajah Panjang. Dolicofacial – tinggi wajah bagian bawah berlebih, sudut

oklusal dan dataran mandibula meningkat, sering kombinasi dengan kelebihan maksila vertikal dengan hipoplasia mandibular.

(20)

2.2 Indikasi dan Kontraindikasi bedah ortognatik

Pembedahan pada tulang maksila terdiri atas 2 jenis pembedahan, yaitu osteotomi segmental yaitu pembedahan tulang maksila hanya pada segemen-segmen tertentu dan osteotomi total maksila yaitu pembedahan tulang maksila seluruhnya. Osteotomi segmental maksila terbagi atas Osteotomi satu gigi, Kortikotomi,

Osteotomi segmen anterior maksila, dan Osteotomi subapikal posterior maksila (Kufner, Schuchardt, dan Perko dan Bell). Osteotomisegmen anterior maksila terbagi lagi antara lain: Teknik Wassmund, Teknik Wunderer, Osteotomi anterior maksila Epker, dan Teknik Cupar. Sedangkan Osteotomi total maksila terbagi menjadi OsteotomiLefort I, Osteotomi Lefort II dan Osteotomi Lefort III.9

Pembedahan pada tulang mandibula digolongkan dalam osteotomi pada ramus (Osteotomi ramus vertikal ekstraoral, Osteotomi ramus vertikal intraoral, Osteotomi

split sagital), osteotomi subapikal (Osteotomi anterior subapikal, Osteotomi posterior subapikal, dan Osteotomi subapikal total), dan Genioplasti (Osteotomi horisontal dengan reduksi antero posterior, Osteotomi horisontal double sliding, Genioplasti dengan reduksivertikal dan augmentasi aloplastik).9

2.2.1 Indikasi Bedah orthognatik

(21)

Menurut American Association of Oral and Maxillofacial Surgeons hubungan antara kelainan bentuk tulang wajah dan disfungsi mastikasi, serta keterbatasan terapi non-bedah untuk memperbaiki kelainan ini maka bedah ortognatik harus memiliki pertimbangan medis yang tepat dalam situasi berikut ini yaitu:10

A.Deskrepansi Antero posterior: (normal = 2mm), yaitu ketidak harmonisan kebutuhan ruang dalam arah antero posterior dengan ketentuan seperti:

1. Hubungan insisivus maksila/mandibula: a. Overjet horisontal 5 mm atau lebih

b. Overjet horisontal nol atau bernilai negatif

2. Hubungan anteroposterior maksila/mandibula deskrepansi 4 mm atau lebih (normal 0-1 mm)

B.Deskrepansi Vertikal, yaitu ketidak harmonisan kebutuhan ruang dalam arah vertical dengan ketentuan seperti:

1. Deformitas skeletal vertikal wajah yang nilainya ± 2mm dari nilai normal. 2. Open bite

a. Tidak ada tumpang tindih vertikal gigi anterior.

b. Unilateral atau bilateral posterior open bite yang lebih besar dari 2 mm 3. Overbite yang dalam dengan pergeseran atau iritasi jaringan lunak bukal atau

lingual lengkung lawan.

(22)

C.Deskrepansi Transversal

1. Adanya deskrepansi transversal skeletal yang bernilai dua atau lebih dari standar deviasi yang telah ditentukan.

2. Total deskrepansi cusp maksila palatal bilateral dengan fosa mandibula sebesar 4 mm atau lebih, atau deskrepansi unilateral sebesar 3 mm atau lebih. D.Asimetris

Antero posterior, lateral, tranversal atau asimetri lebih besar 3 mm dari oklusal bersamaan dengan asimetri. Ricketts mengajukan 4 keadaan spesifik yang merupakan indikasi untuk dilakukan tindakan bedah yaitu apabila: 9

1. Perbaikan posisi dental yang diharapkan sukar dicapai dengan hanya perawatan ortodonti, karena malposisi yang sangat parah.

2. Pola skeletal yang buruk untuk kemungkinan koreksi ortodonti yang baik. 3. Hanya dengan perawatan ortodonti saja kurang dapat diperoleh estetika

fasial yang serasi.

(23)

2.2.2 Kontra indikasi bedah ortognatik

Semua kondisi kesehtan umum dimana semua intervensi bedah di kontra indikasikan. Alasan keunagan juga dapat mengarah keputusan untuk tidak melakukan bedah ortognatik pada saat itu juga.10

Pada pasien muda, dianjurkan untuk memungkinkan pertumbuhan yang lengkap sebelum dilakukan intervensi bedah. Pengecualian untuk ini adalah perlakuan dari defisiensi mandibula dengan bidang miring, mandibula rendah (morfologi konvergen), yang dapat ditangani dengan osteotomi split sagital yaitu pembedahan tulang mandibula untuk mengoreksi prognati atau retrognati mandibula sebelum pertumbuhan selesai.10

2.3 Pemeriksaan dan Rencana Perawatan 2.3.1 Pemeriksaan klinis

Analisa jaringan lunak terdiri atas analisis fasial, analisis tampak depan, analisis profil, pemeriksaan oral dan sendi temporo mandibular. Wajah secara keseluruhan dapat dibagi menjadi tiga bagian yang sama yaitu bagian sepertiga atas, tengah, dan bawah. Adanya perubahan dalam proporsionalitas fasial ini sangat mudah terlihat. 8,9

Untuk pemeriksaan analisi ini, pasien diminta duduk sedemikian rupa sehingga:9

(24)

c. Frankfurt horizontal plane, yaitu garis yang ditarik dari traguas telinga ke tonjolan tepi infraorbita harus sejajar dengan lantai.

d. Gigi-gigi harus dalam posisi relatis sentrik selama pemeriksaan dilakukan e. Bibir pasien tidak boleh tegang.

Gambar 1. Analisis Estetik Wajah.9

2.3.1.1 Analisis Tampak Depan.

Mata, hidung, bibir, dahi harus diperiksa akan simetritasnya. Jarak interkantus normal 32 ± 3 mm, jarak antarpupil 65 ± 3 mm, dorsum nasal satu setengah kali jarak intrakantus dan lebar lobul nasal dua pertiga jarak intrakantus, panjang bibir atas adalah 22 ± 2 mm untuk laki-laki dan 20 ± 2 mm untuk perempuan.9

(25)

2.3.1.2 Analisis Profil.

Merupakan pengukuran kecembungan atau kecekungan profil wajah. Sudut acuan memiliki rentang antara -8º sampai -11º. Sudut ini dibentuk oleh plane kontur wajah atas dengan perluasan ke atas dari permukaan kontur wajah bagian bawah. Jika sudut berada di dataran interior kontur wajah atas, pengukuran dianggap negatif.9

Sudut nasolabial merupakan sudut yang dibentuk pada subnasal dengan suatu garis yang ditarik melalui basis hidung dengan garis dari basis atas ke subnasal. Rentang normal untuk laki-laki adalah 100-110º. Angulasi yang besar menunjukkan suatu wajah yang cembung dengan dagu yang lebih ke belakang.9

Sudut bibir bawah, dagu, dan tenggorokan yaitu sudut antara garis yang ditarik antara bibir bawah ke jaringan lunak pogonion dengan suatu garis yang ditarik bersinggungan dengan kontur jaringan lunak di bawah tubuh mandibula. Sudut yang normal adalah 110º ± 8º. Sudut yang besar menunjukkan dagu yang lebih ke belakang sementara angulasi rendah menunjukkan dagu yang menonjol. Panjang jarak dagu ke tenggorokan merupakan jarak antara sudut ke tenggorokan dengan jaringan lunak menton. Panjang normal adalah 51 mm ± 6 mm. Peningkatan jarak menunjukkan proganatisme, dan penurunan jarak menunjukkan retro gnatisme mandibula.9

(26)

2.3.2 Pemeriksaan Oral

Pemeriksaan oral membantu dalam menemukan deformitas fungsional dan estetik pada struktur dentofasial. Hal-hal yang perlu diketahui antara lain : hubungan oklusal gigi geligi; deep bite atau cross bite anterior; overjet anterior dan semua jenis gigitan silang, kesehatan gigi geligi, ketidaksesuaian ukuran gigi, kurva Wilson dan kurva van Spee, diastema atau gigi berjejal, gigi yang hilang atau berlubang, evaluasi periodontal, diskrepansi transversal, vertikal dan antero posterior, abnormalitas bentuk anatomi, dan fungsi lidah serta atrisi pada gigi.9

2.3.3 Analisis radiografik dan gambaran analisa sefalometrik

Analisa sefalometrik menjadi alat bantu yang penting dalam mendiagnosa masalah-masalah skeletal dan dental dan sebagai suatu alat untuk menstimulasi dalam tindakan bedah dan orthodonti. Sejumlah analisis sefalometrik sering digunakan untuk analisis kasus orthodonti. Analisis ini dirancang untuk mengharmonisasikan antara gigi yang mengalami malposisi dengan pola skeletal yang ada.9

Untuk menilai proyeksi maksila dan mandibula pada dimensi antero posterior, titik dan sudut-sudut SNA, SNB dan pogonion diukur pada suatu sefalogram. Dimensi vertikal dinilai, tidak hanya dalam kaitannya dengan maksila tetapi juga mandibula. Dataran oklusal dan angulasi insisal pada sisi atas dan bagian bawah dan hubungan dari bibir dan jaringan lunak ke gigi dan ke tulang rahang diukur.9

(27)

pemebedahan tersebut. Analisi sefalometri digunakan untuk memeriksa kelainan dontofasial yang relatif tidak diperlukan.9

Untuk memperoleh kesimpulan yang cepat dalam mengklasifikasikan kelainan rahang pada pasien digunakan analisis Steiner-kole dengan mengikuti titi-titik sebagai berikut:8,11

Sella (S) : titik tengah sella tursika

Nassion (N) : titik paling dalam pada sutura frontalis Orbitale (O) : titik paling bawah dari cekungan infraorbital UL : titik paling depan dari bibir atas

Mandibular Plane (MP) : garis yang menyentuh titik paling bawah dari tulang pipi dan ramus mandibular ascendens.

Gambar 3. Titik –titik acuan sefalometri.8 Gambar 4. Garis Nasion menentukan

(28)

Gambar 5. Modifikasi analisis Kole, posisi dagu dapat ditentukan.8

(29)

paling anterior tonjolan dagu dalam median plane. Supramental atau titik B adalah titik paling dalam pada midsagital plane antara infradental dengan pogonion. Biasanya di anterior dan sedikit dibawah apeks insisivus RB. Infradental adalah suatu titik tertinggi dan paling anterior pada prosesus alveolaris, dalam median plane antara insisivus sentralis RB. Spina Nasalis Anterior (ANS) : titik paling anterior dasar nasal, ujung premaksila dalam midsagittal plane. Menton (Me) : titik garis tengah paling inferior pada simfisis mandibula. Gnathion (Gn) : titik paling anteroinferior pada simfisis dagu. Titik ini dibuat dengan menunjukkan suatu garis yang tegak lurus dengan garis yang menghubungkan menton dan pogonion. Spina Nasalis Posterior (PNS) yaitu titik paling posterior pada kontur palatum.11

Adapun permukaan-permukaan yang penting untuk analisa sefalometrik adalah basis kranial (gambar 6), analisa profil skeletal horisontal, derajat konveksitas skeletal dan analisa profil skeletal vertikal. 11

(30)

Studi sefalometrik harus dilakukan pada kondisi yang sesuai yaitu diperlukan ruang gelap, layar penampil dengan pencahayaan cukup yang ditutup dengan kartu untuk menciptakan suatu bentuk jendela yang cukup besar untuk radiografi, lembar penapakkan berkualitas baik yang direkatkan dengan radiograf dengan menggunakan plester adhesif bening, dan pensil keras. Radiografi diorientasikan dengan menempatkan Frankfurt plane (atau dataran Frankfurt/HP plane) sejajar dengan tepi bawah layar, karena sejumlah definisi landmark tergantung pada orientasi kepala.11

Dengan membandingkan pengukuran angular dengan nilai normal, seseorang dapat menginterpretasikan hasil analisis untuk memberikan diagnosa akan pola skeletal yang dimiliki pasien. Perbandingan temuan dari radiograf sefalometrik awal dan akhir akan memungkinkan kita untuk memeriksa hasil perawatan.11

2.3.4 Analisis model gigi

Studi klinis oklusi pasien sangat membantu dalam menegakkan diagnosa, akan tetapi analisa yang tepat dari oklusi gigi hanya bisa diperoleh dari penilaian terhadap model studi dan biasanya ini harus ditempatkan pada artikulator anatomi.11

(31)

Analisa model yang baik diperlukan untuk meningkatkan pemahaman dan penentuan pembuatan tujuan ortodonti prabedah.

Ada 10 evaluasi model dental dasar yang harus diperhatikan, yaitu :8

1. Panjang lengkung : pengukuran panjang lengkung harus berkorelasi dengan lebar gigi dan ketersediaan tulang alveolar. Pengukuran ini memberikan keputusan apakah gigi perlu dicabut atau tidak.

2. Analisa ukuran gigi : analisa ini berarti korelasi lebar mesiodistal gigi atas terhadap gigi bawah. Hal ini utamanya terlihat dalam enam gigi anterior RA dan RB.

3. Posisi gigi dalam konteks analisa ortognati : hal ini mengacu pada angulasi insisivus RA dan RB relatif terhadap tulang basal. Analisa ini menentukan apakah pencabutan diperlukan, apakah perlu diciptakan ruangan dan jenis mekanis apa yang seharusnya digunakan untuk koreksi gigi.

4. Analisa lebar lengkung : hal ini mengacu pada evaluasi lebar interlengkung antara maksila dan mandibula. Hal ini paling baik dianalisa dengan mengoklusikan model yang ingin dicapai dengan koreksi orthodonti dan bedah dan kemudian periksa hubungan transversal. Analisa lebar lengkung membantu dalam menentukan mekanisme orthodonti prabedah serta dalam hal memilih prosedur bedah yang tepat.

(32)

6. Posisi kaninus-molar : hal ini menentukan fungsi oklusal. Lebih disukai memiliki hubungan kaninus dan molar Kelas .

7. Hubungan overbite yaitu hubungan insisivus satu rahang atas dan bawah dalam arah vertikal dam overjet yaitu hubungan insisvus satu rahang atas dan bawah dalam arah horizontal, normal 3-4 mm.

8. Simetri lengkung gigi mungkin terdapat asimetri yang signifikan di dalam masing-masing lengkung misalnya gigi kaninus pada satu sisi mungkin lebih ke anterior disbanding gigi kaninus pada sisi lain. Koreksi mungkin memerlukan mekanis ortodonti khusus, prosedur ekstraksi unilateral atau bedah tambahan. 9. Tipping gigi bukal (perbandingan simetri kiri dan kanan dalam masing-masing

rahang).

10. Gigi yang hilang, rusak atau bermahkota : hal ini mungkin akan mempengaruhi desain perawatan. Jika gigi tidak dapat direstorasi dan membutuhkan pencabutan pada daerah yang kemungkinan akan dilakukan osteotomi, ruang bekas pencabutan mungkin harus ditutup secara orthodonti atau ruang tersebut dipertahankan.11

(33)

Tabel 1. Bedah ortognatik : diagnosa dan tahapan perencanaan perawatan.8

Fase I • Susun data dasar

• Buat daftar masalah

• Diagnosa

• Pertemuan tim

Fase II • Susun daftar masalah interdisipliner

• Masalah dentofasial berdasarkan urutan prioritas

• Solusi yang mungkin dilakukan

• Rencana perawatan sementara

• Pertemuan pasien/tim

• Rencana tetap

Fase III • Terapi persiapan – endodontik, periodontik, prostetik, dst.

• Ortodontik defenitif – perawatan bedah

• Pemantauan tim secara berkelanjutan, evaluasi ulang, interaksi, modifikasi terapi

Fase IV • Perawatan

2.3.4 Hal-hal lain

(34)

BAB I PENDAHULUAN

Selama lebih dari 30 tahun, bedah ortognatik terbukti menjadi tindakan yang penting dalam mengoreksi kelainan dento fasial yang berat.1 Hal ini merupakan upaya gabungan dari ortodontis dan ahli bedah mulut dan maksilo fasial untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dengan mengkoreksi ketidak harmonisan fungsional dan estetika.1,2

Kelainan dento fasial adalah deviasi atau ketidak seimbangan proporsi fasial disertai dengan hubungan gigi yang tidak baik sehingga mengganggu estetika profil wajah. Kelainan dento fasial dapat berdampak pada gangguan fungsi rahang, hubungan gigi dan penampilan wajah. 3

Prosedur bedah ortognatik dikembangkan telah lama pada pasien untuk memperbaiki maloklusi skeletal. Kemudian dilanjutkan dengan kontrol ortodontik untuk menghasilkan hasil terbaik. Sebagian besar kasus klinis dapat diselesaikan dengan tiga dasar prosedur osteotomi yaitu: osteotomi Le Fort I maksila (LFI), osteotomi sagittal bilateral split mandibula (BSSO) dan genioplasti. Osteotomi Le Fort I, seperti yang dijelaskan oleh Obwegeser pada tahun 1965, dapat memperbaiki

midline wajah, dapat dilakukan sebagai teknik monoblok single-piece atau dapat dijalankan sebagai prosedur multi segmen atau dengan pendekatan seperti SARPE (Surgically Asissted Rapid Palatal Expansion).4

(35)

dilakukan menunjukkan bahwa 80% tingkat akurasi Osteotomi Le Fort I menunjukkan keberhasilan yang baik. 1,5

Pembedahan ini juga mempunyai beberapa komplikasi yang biasa terjadi pada pembedahan ortognatik. Komplikasi dalam pembedahan ini yaitu komplikasi jalan nafas, gangguan aliran darah ke segmen, perdarahan, neurologi, koreksi dari posisi segmen, sendi temporo mandibular, infeksi, serta pengaruh aspek gigi dan jaringan periodontal.3,5,6

(36)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh:

Diah P Sari NIM : 080600080

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

(37)

Tahun 2014

Diah Permata Sari

Osteotomi Le Fort I Pada Bedah Ortognati. x + 34 halaman

Bedah ortognati terbukti menjadi tindakan yang penting dalam mengoreksi kelainan dento fasial yang berat. Hal ini merupakan upaya gabungan antara ortodontis dengan ahli bedah mulut dan maksilo fasial untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dalam mengoreksi ketidak harmonisan fungsional dan estetika. Pasien dengan kelainan dentofasial menerima hasil yang terbaik dari perawatan bedah ketika adanya komunikasi yang efektif dan jelas antara ortodontis dengan ahli bedah maksilo fasial dari permulaan perawatan.

(38)

atau kerusakan pasokan darah segmen tulang sehingga tulang nekrotik, semua ini harus dihindari. Fistula atau oro antral fistula dapat terjadi tetapi ini jarang terjadi. Untungnya, nekrosis keseluruhan dari segmen tulang jarang terjadi, biasanya ketika flap jaringan lunak telah rusak secara luas. Terapi oksigen hiperbarik kadang-kadang membantu dalam situasi ini

(39)

Skripsi ini tlah disetujui untuk dipertahankan

di hadapan tim penguji skripsi

Medan, 24 Juli 2014

Pembimbing

Tanda tangan

Eddy A. Ketaren, drg., Sp.BM

NIP : 19530401 198003 1 006

(40)

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan tim penguji

pada tanggal 24 Juli 2014

TIM PENGUJI

KETUA

:

Eddy A. Ketaren, drg., Sp.BM

ANGGOTA

:

1. Shaukat Osmani Hasbi, drg., Sp.BM

2. Rahmi Syaflida, drg., Sp.BM

(41)

iv

KATA PENGANTAR

Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa skripsi ini selesai disusun sebagai salah satu syarat mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Gigi.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Eddy Anwar Ketaren, drg., Sp. BM selaku Ketua Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara dan dosen pembimbing skripsi, atas keluangan waktu, saran, dukungan dan bantuan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

2. Seluruh Staf Pengajar Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

3. Pitu Wulandari, drg., S.Psi., Sp. Perio selaku penasehat akademik, yang telah banyak memberikan motivasi, nasihat dan arahan selama penulis menjalani masa pendidikan di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

(42)

v

Sahabat-sahabat tersayang penulis Adinda Soraya NST, Anggi Batubara , Dian Anggraini, Dara Puspita, Yudha Agriawan, Lestari Putri Juita, Elyza Caesaria, Rini Nurrahmah, serta teman-teman stambuk 2008 lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas bantuan dan motivasi selama penulis melakukan penelitian dan penulisan skripsi ini.

Kepada Royen Akbar, SE yang telah memberi dukungan dan perhatiannya selama ini pada penulis.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan di dalam penulisan skripsi ini dan penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk menghasilkan karya yang lebih baik lagi di kemudian hari.

Akhirnya penulis mengharapkan semoga hasil karya atau skripsi ini dapat memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi fakultas, pengembangan ilmu dan masyarakat.

Medan, 22 Juli 2014 Penulis,

(43)

vi

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL ...

HALAMAN PERSETUJUAN ...

HALAMAN TIM PENGUJI SKRIPSI ...

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

BAB 2 BEDAH ORTOGNATI PADA MAKSILA 2.1 Definisi ... 3

2.2 Indikasi dan Kontra indikasi bedah ortognati ... 5

2.2.1 Indikasi Bedah Ortognati ... 5

2.2.2 Kontra indikasi Bedah Ortognati ... 7

2.3 Pemeriksaan Rencana Perawatan ... 8

2.3.1 Pemeriksan Klinis ... 8

2.3.1.1 Analisis Tampak Depan ... 9

2.3.1.2 Analisis Profil ... 9

2.3.2 Pemeriksaan Oral... 11

2.3.3 Analisis Radiografik dan Gambaran Sefalometrik ... 11

(44)

vii

2.3.5 Hal-hal Lain ... 18

BAB 3 OSTEOTOMI LE FORT I 3.1 Sejarah Osteotomi Le Fort I ... 19

3.2 Defenisi... 19

3.2 Indikasi dan Kontra indikasi ... 20

BAB 4 OSTEOTOMI LE FORT I PADA BEDAH ORTOGNATI 4.1 Persiapan Sebelum Prosedur Bedah ... 22

4.2 Prosedur Pembedahan ... 23

4.3 Laporan Kasus ... 27

4.3 Komplikasi Pasca Bedah ... 32

BAB 5 KESIMPULAN ... 33

(45)

viii

DAFTAR TABEL

(46)

ix

4. Garis Sella-Nasion Penentu Proporsi Wajah Divergen, Konvergen dan Normal ... 12

12. Diseksi Subperostal Untuk Mengidentifikasi Saraf Infraorbital, Celah Piriformis, Crest Zigomatikum, dan Maksila ... 26

13. Pemotongan Acuan Daerah Secara Vertikal dan Horisontal ... 26

14. Pemotongan Tulang Sesuai dengan Penandaan yang Dilakukan ... 26

15. Pemotongan Disesuaikan Dengan Garis Oklusal secara Pararel ... 26

(47)

x

17. Fiksasi Daerah Pemotongan Tulang Dengan Memasukkan Kawat

Intraoseus Kemudian Heting Mukosa ... 26

18. Profil Wajah Sebelum Perawatan... 27

19. Gambaran Klinis Intraoral Sebelum Perawatan ... 27

20. Foto Sefalometri Sebelum Perawatan ... 28

21. Profil Wajah Setelah Perawatan ... 31

22. Gambaran Klinis Setelah Perawatan ... 31

Gambar

Gambar 9. Osteotomi Le Fort I impaksi : (A) pemotongan osteotomi, (B), (C) pemotongan osteotomi pada kedua sisi, (D) osteotomi nasoseptal yang digunakan untuk memisahkan tulang nasal dari maksila, (E) pemisahan maksila dari lapisan pterigoid, (F), (G) pemi
Gambar 14. Lakukan pemotongan tulang sesuai          dengan penandaan yang dilakukan.8
Gambar 19. Gambaran klinis sebelum perawatan.6
Gambar 21. Profil wajah setelah perawatan6
+6

Referensi

Dokumen terkait

Foto panoramik menunjukkan adanya gigi yang tidak erupsi, impacted, dan osteoma pada mandibula kanan dan di berbagai daerah lainnya pada maksila dan mandibula

BAB 4 OSTEOTOMI LE FORT I PADA BEDAH ORTOGNATI 4.1 Persiapan Sebelum Prosedur Bedah .... Bedah orthognatik: diagnosa dan

Hasil: Terdapat hubungan dan perbedaan yang sangat signifikan antara lengkung transversal maksila simetri dengan asimetri vertikal mandibula pada crossbite posterior unilateral

Hasil: Terdapat hubungan dan perbedaan yang sangat signifikan antara lengkung transversal maksila simetri dengan asimetri vertikal mandibula pada crossbite posterior unilateral

Teknik radiografi bitewing digunakan untuk memeriksa interproksimal gigi dan permukaan gigi yang meliputi mahkota gigi dari maksila dan mandibula, daerah.. interproksimal

Rasio keseluruhan yaitu persentase yang diperoleh dengan membagi jumlah lebar mesiodistal dua belas gigi mandibula dengan jumlah lebar mesiodistal dua belas gigi maksila..

Biasanya keadaan tersebut berhubungan dengan kombinasi beberapa faktor seperti ukuran dan posisi mandibula, maksila, tulang alveolar, dasar kranial, dan pertumbuhan vertikal

Asimetri skeletal merupakan penyimpangan yang terjadi pada tulang pembentuk wajah, dapat mencakup satu tulang seperti maksila dan mandibula, atau dapat mencakup sejumlah