Pemaknaan Hidup Seorang Homoseksual
SKRIPSI
Guna Memenuhi Persyaratan
Ujian Sarjana Psikologi
Oleh:
Johan Chandra 041301046
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
BAB I
PENDAHULUAN
I.A. Latar Belakang
“S. berusia 24 tahun, seorang mahasiswa teknik Sipil di salah satu perguruan tinggi di Bandung, mengeluh bahwa dirinya merasa kurang dapat konsentrasi dalam belajar, gairah belajar menurun, sehingga dua semester terakhir ini, ia merasa gagal dalam ujian-ujiannya. S merasa penuh dengan keraguan dan tanda tanya yang selalu mencekam dirinya, yaitu ‘Apakah dirinya seorang homoseksual?’”
(Homoseksualitas, Kasus Seorang Mahasiswa Teknik Sipil - 25-10-2005, 1305 WIB - KOMPAS Cyber Media - Kesehatan.htm)
Pada umumnya, orang-orang memiliki orientasi seksual terhadap lawan
jenisnya. Seorang pria tertarik pada wanita, dan sebaliknya, wanita tertarik pada
pria. Mereka disebut sebagai kaum heteroseksual. Namun, kenyataannya ada
orang-orang yang orientasi seksualnya justru terarah pada sesama jenis. Mereka
lebih tertarik pada orang yang berjenis kelamin yang sama dengan dirinya. Pria
tertarik pada pria dan wanita tertarik pada wanita. Mereka inilah yang disebut
sebagai kaum homoseksual, lesbian untuk wanita homoseksual dan gay bagi pria
homoseksual (Kompas, 26 September 2006).
Pada kenyataannya, fenomena homoseksual bukanlah hal yang baru.
Hubungan ini sudah ada sejak zaman Yunani Kuno. Ulasan dari Wikipedia (2006)
mengatakan bahwa tokoh-tokoh seperti Alexander Agung, Socrates, dan Julius
Caesar dipercaya memiliki orientasi homoseksual. Selain itu, sebuah survei
antropologi menemukan bahwa 50% suku bangsa yang ada di dunia
dapat diterima di sebagian besar budaya yang berkembang saat ini, termasuk di
Indonesia. Akibatnya, masih banyak kaum homoseksual yang tidak berani
menunjukkan jati diri mereka.
Juliastuti (2000), seorang pemerhati kaum gay, dalam esainya melaporkan
bahwa sejak peristiwa Stonewall tahun 1968 tentang pembangkangan kaum
homoseksual untuk memperjuangkan hak-haknya, menghasilkan gerakan yang
nyata bagi kaum homoseksualitas untuk lebih menyatakan keberadaan mereka,
tidak lagi takut-takut dan bersembunyi dalam mengungkapkan orientasinya.
Kajian-kajian dengan topik homoseksual juga berkembang dengan pesat dan
mulai bermunculan komunitas-komunitas homoseksual seperti GAYa Nusantara
atau Lambda Indonesia, yang menyuarakan hak-hak mereka sekaligus sebagai
wadah berkumpul dan berbagi pengalaman. Sampai saat ini, keberadaan kaum
homoseksual sudah menjadi rahasia umum. Bahkan di beberapa negara seperti
Kanada dan Belanda telah mengesahkan pernikahan pasangan sejenis
(http://kunci.or.id/esai/nws/05/gay.htm, 2000).
Banyak faktor yang melatarbelakangi seseorang untuk memiliki orientasi
seksual terhadap sesama jenis. Masters dan Johnson (1979, dalam Caroll, 2005)
mengemukakan teori behavioral tentang homoseksual dan menganggapnya
sebagai perilaku yang dipelajari, sebagai akibat dari reward atau reinforcement
yang menyenangkan atau hukuman atau reinforcement negatif dari perilaku
homoseksualnya. Selama masa dewasa, pria dan wanita bergerak menuju perilaku
sesama jenis jika mereka memiliki hubungan heteroseksual yang buruk dan
Carroll, 2005) mengatakan bahwa adanya variabel biologis memberi kontribusi
terhadap tempramen masa anak-anak yang mempengaruhi preferensi anak
terhadap kegiatan sex-typical atau sex-atypical dan teman sebayanya, yang
mengarah pada munculnya orientasi homoseksual.
Teori exotic-becomes-erotic yang dikemukakan oleh Bem (1996)
mengatakan bahwa perasaan seksual berubah dari pengalaman jender sejenis
sebagai lebih eksotis, atau berbeda, daripada dengan lawan jenis. Artinya ketika
kita merasa nyaman berhubungan dengan teman sesama jenis, kita telah
memutuskan untuk memilih orientasi seksual yang ingin kita jalankan. Hal ini
terungkap saat penulis berkomunikasi dengan Budi, seorang gay berusia 48 tahun
(bulan Oktober 2007):
“Saya tidak pernah berhubungan seks dengan wanita. Saya tidak pernah suka dengan wanita sejak kecil. Tidak tahu kenapa. Tapi saya rasa pria lebih tahu bagaimana memuaskan pria.”
(komunikasi personal Oktober 2007)
Mereka yakin bahwa menjadi gay adalah pilihan hidupnya. Bagi Andi,
menjadi gay itu adalah pilihan sebagaimana yang diungkapkan berikut ini:
"Hidup itu pilihan, gue pengen kayak gini. Gue milih ini karena gue udah siap. Kebanyakan orang suka let it flow dan tahu-tahu mereka stuck, ’kok gue udah sejauh ini ya?’”
(Boulevard's Blog June 2007.htm)
Kenyataan bahwa homoseksual merupakan pilihan masing-masing orang
tidak membuat hidup sebagai seorang homoseksual sebagai sesuatu yang
gampang untuk dijalankan, terutama ketika lingkungan tidak bisa menerima
aktivitas yang dilakukannya (Carroll, 2005). Untuk memahami pendapat orang
wawancara dan terungkap bahwa homoseksual belum sepenuhnya diterima oleh
masyarakat:
”Homo?Ih, aku bakal lari kalau ketemu mereka....”
”...Saya sih bisa menerima mereka, tapi yang penting mereka tidak menyukai suami saya. Hahaha....” (komunikasi personal/Agustus, 2007)
Bagi kebanyakan orang, menemukan bahwa identitas diri sebagai
homoseksual dapat menyakitkan dan membingungkan, seperti terungkap dalam
kutipan berikut:
“Here I was, with a good job, close friends who I know would not abandon me when they learned I was gay. I had many gay friends, so I had support network. My family is open, so I wasn’t worried about them rejecting me. And still, I cried myself to sleep every night and woke up each morning feeling like I had been kicked in the solar plexus.”
(Carroll, 2005:hlm. 330)
Orang tersebut, yang memiliki segala dukungan dan kelebihan dalam
hidupnya, masih mengalami kesulitan dan kebingungan. Kesulitan yang lebih
banyak akan dialami oleh orang-orang yang merasa akan ditolak oleh keluarga
dan teman-temannya (Carroll, 2005).
Ada dua istilah utama dalam wacana homoseksual modern, yaitu:
”closet”(kloset, tertutup) dan “coming out” (keluar). Istilah ’kloset’ mengacu
pada individu yang masih menyimpan jati dirinya sedangkan istilah “coming out”
merujuk pada individu yang telah terbuka kepada publik mengenai
homoseksualitasnya. Kategori “kloset” digambarkan sebagai orang-orang yang
menjalani hidupnya dengan kepalsuan, tidak bahagia, dan tertekan oleh posisi
pertahanan yang dibuat untuk menghadapi norma-norma masyarakat
heteroseksual di sekitarnya (http://kunci.or.id/esai/nws/05/gay.htm, 2000).
Memutuskan untuk mengungkapkan jati diri bukanlah hal yang bersifat
sementara karena dengan demikian, seorang homoseksual harus memiliki
kemampuan “manajemen informasi” seumur hidup, menyediakan alasan yang
berbeda bagi keluarga, teman, dan orang lain dalam konteks yang berbeda (Cain,
1991) seperti dalam kutipan berikut:
“I developed crushes on female classmates but felt so ashamed that I would cry myself to sleep at night. I desperately wanted to make myself normal like the other girls. Girls and boys, were pairing off into couples and kissing at middle-school parties, and kids who didn’t participate were called “faggot” and “dyke,” words that terrified me because I suspected they had something to do with who I was…. …I realized I was a lesbian but had no idea where to go…. …I worried that maybe I was the only one…. … I was as repressed as a teenager can possibly be, and I just wasn’t happy. I prayed that God would make me into someone “normal” that no one would hate…. … I didn’t want to be different, or hated, or bashed – I wanted to be invisible…. … I swallowed a bottle of Tylenol 4 with codeine, and waited to die…. … I knew that I wanted to come out, but I was terrified that it would kill my parents.”
(Carroll, 2005:hlm. 342)
(Homoseksual Jangan Menikah « seksfile.htm, 2007)
Lesbian atau gay yang berusia dewasa biasanya lebih terbuka pada
teman-temannya daripada pada keluarganya. Namun, kebanyakan homoseksual
mengalami penolakan oleh teman-teman mereka yang memiliki orientasi
heteroseksual. Pada sebuah studi yang dilakukan oleh D’Augelli & Herschberger
(1993); Remafedi (1987), ditemukan bahwa 46% pemuda-pemudi gay dan lesbian
mengatakan bahwa mereka kehilangan teman setelah membeberkan orientasi
seksual mereka (Carroll, 2005).
Ditemukan bahwa homoseksual yang ditolak oleh orang tuanya
mengalami peningkatan isolasi, kesepian, depresi, bunuh diri, homelessness,
prostitusi dan infeksi yang ditularkan secara seksual (Armesto, 2001 dalam
Carroll, 2005). Resiko mengalami kecemasan, depresi, dan gangguan psikiatris
lainnya lebih tinggi dialami oleh kaum homoseksual daripada heteroseksual
(Cochran, 2001 dalam Carroll, 2005).
Takut orientasi seksualnya diketahui orang lain, terutama oleh orang tua,
juga dialami oleh seorang homoseksual bernama Anto (bukan nama sebenarnya),
32 tahun, saat peneliti berkomunikasi dengannya.
”Ada sih, beberapa teman dekat yang tahu. Tapi kalau bisa jangan semua orang tahu, apalagi orang tua. Gimana ya, mereka pasti pengen anaknya bisa berkeluarga.... ...Kalau ketahuan bisa berabe lah. Tapi untung mereka sekarang ada di Jakarta, jadi mereka tidak tahu apa yang saya lakukan di sini.”
(komunikasi personal/Agustus 2007)
Keinginan bunuh diri juga tercermin dalam kutipan berikut ini:
try to kill myself. Maybe I’ll get some sympathy then. Maybe they’ll try to understand I have to tell someone, ask someone. Who?!! Dammit all, would someone please help me? Someone, anyone. Help me. I’m going to kill myself if they don’t.”
(Carroll, 2005:hlm. 330)
“Perbedaan bukanlah sesuatu yang disukai…. …saat kau berbeda, kau jadi makhluk freak, nerd, atau si homo. Saat kau berbeda, kau akan jadi sasaran bullying mereka yang mayoritas. Belum lagi jika kau berasal dari keluarga yang kurang harmonis, di mana keluarga tidak bisa jadi pilar tempatmu bersandar….. … Bayangkan betapa takutnya dirimu saat mengetahuinya. Kau tentu tidak mau dipanggil si homo, banci, lesbi, bencong, lines, atau apalah sebutan lainnya selama di sekolah, kan? Atau bahkan kau bisa dipukuli di sekolah setiap hari karena alasan bahwa dirimu “beda”. Rasa takut dan bingung itu membuat banyak remaja seakan-akan merasa berada dalam lubang hitam tergelap dalam hidupnya. Saya sendiri pernah mengalaminya. Satu kali. Berpikir untuk mengakhiri hidup agar orang tidak perlu tahu bahwa saya lesbian...
(http://rahasiabulan.blogspot.com, 2007)
Orang tua dari anak homoseksual juga mengalami kesulitan dalam
pembelajaran untuk menerima orientasi seksual anak mereka. Hal ini
dilatarbelakangi oleh kecenderungan berpikir bahwa homoseksual sebagai sesuatu
yang tidak diajarkan oleh orang tua. Orang tua dapat secara tiba-tiba merasa tidak
mengenal anaknya, bahwa anak mereka adalah orang asing, atau khawatir bahwa
mereka telah melakukan hal yang salah sebagai orang tua (Fields, 2001
a;Strommen,1989 dalam Carroll, 2005). Orang tua yang memiliki anak-anak gay,
lesbian atau biseks cenderung bereaksi dengan kekecewaan, malu, dan terkejut
ketika mengetahui orientasi seksual anaknya (LaSala, 2000, dalam Carroll 2005).
Masa dewasa adalah waktu dimana seorang manusia mengeksplorasi dan
mengeksploitasi identitas dirinya yang telah terbentuk pada tahap perkembangan
masa inilah biasanya seseorang memperbarui apa yang ia ketahui tentang hidup,
mencapai pemahaman baru mengenai dirinya dan menentukan jalan hidup. Masa
dewasa adalah ketika seorang individu menilai kembali prioritas dan nilai
personal mereka yang nantinya berpengaruh pada kemampuannya untuk
memperoleh cinta, kesenangan, dan rasa kebermaknaan dalam hidupnya
(Corr,Nabe,Corr, 2003).
Setiap orang, tidak terkecuali homoseksual, akan senantiasa mencari
makna dalam menjalani kehidupannya karena hidup selalu memiliki makna dalam
keadaan apa pun, bahkan keadaan yang paling menyedihkan sekalipun. Orang
mengalami berbagai kejadian dan situasi dalam hidupnya yang selalu menawarkan
kesempatan untuk memberikan makna dalam hidupnya. (Frankl, dalam Barnes
2000).
Proses pencarian makna dimulai dengan memiliki kebebasan untuk
berkehendak (freedom to will), kehendak untuk hidup bermakna (will to meaning),
dan menentukan serta menemukan makna hidup (meaning of life). Manusia bukan
saja mampu mengambil jarak (to detach) terhadap berbagai kondisi di luar
dirinya, melainkan juga terhadap kondisi di dalam dirinya sendiri
(self-detachment). Kemampuan inilah yang menyebabkan manusia disebut the self
determining being yang menunjukkan bahwa manusia memiliki kebebasan untuk
menentukan apa yang dianggap penting dan baik bagi dirinya yang harus
diimbangi dengan tanggung jawab (Bastaman, 1996).
Frankl (dalam Bastaman, 2007) menyatakan tiga kelompok nilai yang
kreatif (Creative Values), nilai-nilai Pengalaman (Experiental Values), nilai-nilai
bersikap (Attitudinal Values). Bastaman (2007) menambahkan satu komponen
lain yang dapat menjadikan hidup ini menjadi lebih bermakna, yaitu nilai-nilai
Harapan (Hopeful Values).
Reaksi lingkungan, khususnya orangtua, dan ketakutan-ketakutan yang
muncul dalam diri homoseksual dapat membuat hidupnya menjadi hampa, bosan
dan tidak bertujuan. Ketika kita merasa takut tidak bisa memenuhi harapan orang
lain, kita akan berusaha membatasi diri kita dalam berhubungan dengan orang
lain. Konflik-konflik yang muncul akibat pilihan yang kita ambil tidak sesuai
dengan tuntutan lingkungan akan mempengaruhi makna hidup yang dijalani
seseorang, dalam hal ini kaum homoseksual. Akibatnya, hidup mereka senantiasa
berada dalam ketakutan, tidak aman, dan tidak bisa menjadi diri mereka apa
adanya (Frankl, dalam Barnes, 2000).
Bagi orang yang berada dalam keraguan, segala sesuatu terlihat negatif
dan dipertanyakan. Sikap yang negatif akan menghasilkan perasaan hampa
(vacuum) termasuk nihilsm, reductionism, dan pandeterminism. Nihilsm
didefinisikan sebagai penyangkalan makna, dan karena penyangkalan ini,
seseorang tidak menemukan pentingnya pencarian makna karena memang tidak
ada. Reductionism melibatkan penyangkalan keinginan untuk hidup bermakna,
dan karenanya percaya bahwa tidak perlu mencari makna karena tidak memiliki
cara-cara untuk mencapai hidup bermakna. Pandeterminism terdiri dari kerangka
sepenuhnya ditentukan oleh masa lalu, gen, dorongan-dorongan psikologis, dan
lingkungan (Barnes, 2000).
Keadaan sebaliknya juga mungkin terjadi. Kaum homoseksual justru
menemukan makna hidupnya tanpa menjadikan orientasi seksual sebagai
hambatan dalam menjalani hidup yang bermakna. Mereka menjalani kehidupan
sehari-hari dengan penuh semangat dan gairah hidup dan jauh dari perasaan
hampa. Mereka juga mempunyai tujuan hidup yang jelas dan kegiatan yang
terarah. Selain itu, mereka mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan, dalam
arti menyadari batasan-batasan lingkungan, tetapi dalam batasa itu mereka tetap
dapat menentukan sendiri apa yang paling baik untuk mereka lakukan. Mereka
benar-benar menghargai hidup dan kehidupan, karena mereka menyadari bahwa
hidup dan kehidupan itu menawarkan makna yang harus mereka penuhi
(Bastaman, 1996).
I.B. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan fenomena di atas, peneliti ingin mengetahui bagaimana para
homoseksual memaknai hidupnya mengingat mereka hidup di tengah ketakutan
akan lingkungan yang memberikan penolakan dan reaksi negatif terhadap kaum
homoseksual, namun tetap saja mereka bertahan?
Bagaimana mereka mengambil sikap dalam menjalani proses pencarian
I.C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
I.C.1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh pemahaman
mengenai pemaknaan hidup kaum homoseksual, khususnya yang
ada di kota Medan.
I.C.2. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah untuk menambah
khasanah dalam pembelajaran mengenai homoseksual dan
memberi sumbangan bagi ilmu psikologi, khususnya Psikologi
Klinis.
2. Manfaat praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini adalah memberikan pemahaman
tentang kekuatan dan kelemahan yang dimiliki kaum homoseksual
dalam proses pencarian makna hidup. Selain itu, diharapkan
penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran bagi
kaum homoseksual dalam memaknai hidupnya.
I.D. Sistematika Penulisan
Laporan hasil penelitian ini disusun dengan sistematika sebagai berikut:
Dalam bab ini akan disajikan uraian singkat mengenai
latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penulisan serta sistematika penulisan.
Bab II : Landasan Teori
Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan
dalam pembahasan masalah. Adapun teori-teori yang
dimuat adalah teori-teori yang berhubungan dengan
homoseksualitas dan makna hidup.
Bab III : Metode Penelitian
Pada bab ini dijelaskan mengenai metode penelitian yang
digunakan, partisipan penelitian, lokasi penelitian, dan
prosedur penelitian.
Bab IV : Analisis Data dan Interpretasi
Bab ini memuat deskripsi data, rekonstruksi data, analisa
data, dan pembahasan.
Bab V : Kesimpulan dan Diskusi
Pada bab ini akan dijelaskan kesimpulan dari penelitian
ini, diskusi tentang temuan selama proses penelitian dan
saran yang diajukan berkaitan dengan penelitian ini.
BAB II
LANDASAN TEORI
II.A. Homoseksual
II.A.1. Pengertian Homoseksual
Orientasi seksual digambarkan sebagai objek impuls seksual sesesorang:
heteroseksual (jenis kelamin berlawanan), homoseksual (jenis kelamin sama) atau
biseksual (kedua jenis kelamin) (Kaplan, 1997).
Istilah “homoseksual” paling sering digunakan untuk menggambarkan
perilaku jelas seseorang, orientasi seksual, dan rasa identitas pribadi atau sosial.
Hawkin (dalam Kaplan, 1997) menulis bahwa istilah “gay” dan “lesbian”
dimaksudkan pada kombinasi identitas diri sendiri dan identitas sosial; istilah
tersebut mencerminkan kenyataan bahwa orang memiliki suatu perasaan menjadi
kelompok sosial yang memiliki label sama.
Homoseksualitas mengacu pada interaksi seksual dan/atau romantis antara
pribadi yang berjenis kelamin sama. Homoseksual juga digunakan untuk merujuk
pada hubungan intim dan/atau hubungan seksual di antara orang-orang berjenis
kelamin yang sama, yang bisa jadi tidak mengidentifikasi diri mereka sebagai gay
atau lesbian. Homoseksualitas dapat mengacu pada:
orientasi seksual yang ditandai dengan kesukaan seseorang dengan
orang lain yang mempunyai kelamin sejenis secara biologis atau
Perilaku seksual dengan seseorang dengan gender yang sama tidak
peduli orientasi seksual atau identitas gender.
Identitas seksual atau identifikasi diri, yang mungkin dapat mengacu
kepada perilaku homoseksual atau orientasi homoseksual (Wikipedia,
2007).
Dengan demikian maka yang dimaksud dengan homoseksual mengacu
pada orang-orang yang memiliki dorongan impuls, preferensi, perilaku seksual
dan ketertarikan secara fisik, emosi dan seksual dengan orang lain yang memiliki
jenis kelamin sama serta orang-orang yang mengidentifikasikan diri mereka
sebagai homoseksual.
II.A.2. Latar Belakang Perkembangan Homoseksual
Orientasi seksual orang lebih banyak ditentukan oleh kombinasi antara
faktor genetik, hormonal, kognitif, dan lingkungan (McWhirter, Reinisch &
Sanders, 1989; Money, 1987; Savin – Williams & Rodriguez, 1993; Whitman,
Diamond & Martin, 1993, dalam Santrock, 2002). Sebagian besar ahli dalam hal
homoseksualitas percaya bahwa tidak ada faktor tunggal yang menyebabkan
homoseksualitas dan bobot masing-masing faktor berbeda-beda dari satu orang ke
orang yang lain. Akibatnya, tidak ada satu orangpun yang mengetahui secara pasti
penyebab seseorang menjadi seorang homoseksual (Santrock, 2002).
Teori tentang homoseksual yang berkembang saat ini pada dasarnya dapat
dibagi menjadi dua golongan: esensialis dan konstruksionis. Esensialisme
dari proses biologi dan perkembangan. Teori ini menyiratkan bahwa
homoseksualitas merupakan abnormalitas perkembangan, yang membawa
perdebatan bahwa homoseksualitas merupakan sebuah penyakit. Sebaliknya,
konstruksionis berpendapat bahwa homoseksualitas adalah sebuah peran sosial
yang telah berkembang secara berbeda dalam budaya dan waktu yang berbeda,
dan oleh karenanya tidak ada perbedaan antara homoseksual dan heteroseksual
secara lahiriah (Carroll, 2005).
Berikut ini jabaran berbagai pendekatan yang memaparkan latar belakang
terbentuknya perilaku homoseksual.
1. Pendekatan Biologis
Teori biologis tentang homoseksual bersifat esensialis yang
mengatakan bahwa perbedaan orientasi seksual disebabkan oleh adanya
perbedaan secara fisiologis. Perbedaan ini bisa disebabkan oleh genetik, hormon,
atau sifat (trait) fisik sederhana.
a. Genetik
Franz Kallman (1952, dalam Carroll, 2005) merupakan pelopor
penelitian yang berusaha menunjukkan komponen genetik pada
homoseksual dengan melakukan penelitian terhadap kembar identik
dan membandingkannya dengan kembar fraternal. Ia menemukan
komponen genetik yang kuat pada homoseksual.
Hammer dkk (1993, dalam Carroll, 2005) menemukan bahwa
homoseksual pria cenderung memiliki saudara homoseksual dari
homoseksual melalui garis keturuan ibu, menemukannya pada 33
orang dari 40 saudara laki-laki.
Pattatucci (1998, dalam Carroll, 2005) berpendapat bahwa pria gay
memiliki saudara laki-laki gay daripada saudara laki-laki lesbian,
sementara para lesbian memiliki lebih banyak saudara perempuan
lesbian daripada saudara laki-laki gay. Penelitian ini juga menemukan
bukti bahwa gen “gay” ada pada kromosom X tetapi tidak menemukan
gen “lesbian”.
b. Hormon
Beberapa penelitian menemukan bukti bahwa pria homoseksual
memiliki tingkat hormon androgen yang lebih rendah daripada pria
heteroseksual (Dorner, 1988), namun yang lainnya tidak menemukan
adanya perbedaan tersebut (Hendricks et al, 1989). Ellis dkk (1988)
berpendapat bahwa stress selama kehamilan (yang bisa mempengaruhi
tingkat hormon) lebih dapat memicu pembentukan janin homoseksual.
Bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa anak laki-laki yang
menunjukkan perilaku kewanitaan mengalami kesulitan selama masa
prenatal daripada anak laki-laki lainnya (Zuger, 1989). Telah
ditemukan bahwa tingkat hormon awal mempengaruhi orientasi
seksual dan perilaku masa anak-anak yang berhubungan dengan jenis
kelamin (Berenbaum & Snyder, 1995).
Banyak penelitian yang membandingkan tingkat androgen dalam
umumnya tidak menemukan perbedaan yang signifikan (Green, 1988).
Dari lima studi yang membandingkan tingkat hormon pada lesbian dan
wanita heteroseksual, tiga di antaranya tidak menemukan perbedaan
tingkat testoteron, estrogen, atau hormon lain, sementara dua lainnya
menemukan tingkat testoteron yang lebih tinggi pada lesbian (dan satu
menemukan tingkat estrogen yang lebih rendah) (Dancey, 1990).
c. Fisiologi
Dua artikel pada awal tahun 1990-an melaporkan penemuan
perbedaan otak pada pria homoseksual dan heteroseksual (LeVay,
1991; Swaab & Hofman, 1990). Kedua studi ini memfokuskan pada
hipotalamus, yang diketahui berperan penting pada dorongan seksual,
dan menemukan bahwa daerah-daerah tertentu pada hipotalamus pria
homoseksual berbeda (lebih besar maupun lebih kecil) dengan pria
heteroseksual.
Gallo (2000) juga menemukan perbedaan struktural pada
hipotalamus dalam hubungannya dengan orientasi seksual. Melalui
studi tentang panjang jari, Brown (2002) dan Williams (2000)
menemukan bahwa lesbian memiliki panjang jari yang lebih mirip jari
pria secara umum – jari telunjuk lebih pendek daripada jari manis –
mendukung ide bahwa lesbian mungkin memiliki tingkat testoteron
yang lebih tinggi daripada wanita heteroseksual pada awal
2. Pendekatan Psikologis
Pendekatan psikologis yang menggambarkan terjadinya homoseksual
berfokus pada pelatihan dan sejarah seseorang dalam menemukan asal
homoseksual. Pendekatan psikologis melihat perkembangan perilaku
homoseksual lebih sebagai produk dari dorongan sosial daripada bawaan lahir
pada orang tertentu (Carroll, 2005).
a. Freud dan Psikoanalitis
Freud (1951, dalam Carroll, 2005) berpendapat bahwa bayi melihat
segala sesuatu sebagai potensi seksual, dan karena pria dan wanita
berpotensi tertarik pada bayi, kita semua pada dasarnya biseksual.
Freud tidak melihat homoseksual sebagai suatu penyakit dan
menuliskan bahwa homoseksual ”bukanlah hal yang memalukan,
bukan degradasi, dan tidak dapat diklasifikasikan sebagai sebuah
penyakit.” Dia bahkan menemukan homoseksual ”dibedakan oleh
perkembangan intelektual yang tinggi dan budaya etis.”
Freud memandang heteroseksualitas pria sebagai hasil
pendewasaan yang normal dan homoseksualitas pria sebagai akibat
oedipus complex yang tidak terselesaikan. Kelekatan pada ibu yang
intens ditambah dengan ayah yang jauh dapat membawa anak laki-laki
pada ketakutan akan balas dendam ayah melalui kastrasi. Setelah masa
pubertas, anak berpindah dari ketertarikan pada ibu menjadi
identifikasi ibu, dan mulai mencari objek cinta yang akan dicari oleh
pada pria, dan dengan menolak wanita, pria dapat menghindari
perseteruan dengan ayahnya.
Freud juga melihat homoseksual sebagai autoerotis (pemunculan
perasaan seksual tanpa adanya stimulus eksternal) dan narcisistik;
dengan mencintai tubuh yang dimilikinya, seseorang seperti bercinta
pada bayangan dirinya. Namun, pandangan ini ditolak oleh psikoanalis
lainnya yang muncul kemudian, terutama Sandor Rado (1949, dalam
Caroll, 2005) yang mengatakan bahwa manusia tidak biseksual secara
lahiriah dan homoseksualitas adalah keadaan psikopatologis – penyakit
mental. Pandangan inilah (bukan pandangan Freud) yang kemudian
menjadi standar bagi profesi psikiater hingga tahun 1970-an.
Beiber dkk (1962, dalam Carroll, 2005) mengemukakan bahwa
semua anak laki-laki memiliki ketertarikan erotik yang normal
terhadap wanita. Akan tetapi, beberapa anak laki-laki memiliki ibu
posesif yang terlalu dekat dan juga terlalu intim serta menggoda secara
seksual. Sebaliknya, ayah mereka tidak bersahabat atau absen, dan
triangulasi ini mendorong anak untuk berada di pihak ibu, yang
menghambat perkembangan maskulin normalnya. Oleh karena itu,
Beiber mengatakan bahwa ibu yang menggoda menimbulkan
ketakutan akan heteroseksualitas pada diri anak.
Wolff (1971, dalam Carroll, 2005) meneliti keluarga dari lebih dari
100 lesbian dan melaporkan bahwa sebagian besar memiliki ibu yang
lesbian, para teoritikus percaya bahwa kurangnya kasih sayang dari ibu
menyebabkan anak perempuan mencari kasih sayang dari wanita
lainnya (Carroll, 2005).
b. Ketidaknyamanan Peran Gender
Secara umum ditemukan bahwa pria gay lebih bersifat feminim
daripada pria heteroseksual, sementara lesbian lebih bersifat maskulin
(Bailey et al, 1995; Pillard, 1991). Meskipun temuan ini berhubungan,
yang berarti bahwa sifat cross gender dan kemunculan
homoseksualitas di kemudian hari berhubungan, tetapi tidak memiliki
hubungan sebab akibat.
Green (1987) menemukan bahwa anak laki-laki yang feminim atau
”sissy boy” memakai pakaian lawan jenis, tertarik pada busana wanita,
bermain boneka, menghindari permainan kasar, berkeinginan menjadi
perempuan, dan tidak ingin menjadi seperti ayahnya sejak kecil. Tiga
per empat dari mereka tumbuh menjadi homoseksual atau biseksual,
sedangkan hanya satu dari anak laki-laki maskulin yang tumbuh
menjadi biseksual. ”Sissy boy” tersebut juga cenderung dianianya,
ditolak, dan diabaikan oleh teman sebayanya, lebih lemah daripada
anak laki-laki lainnya, dan memiliki lebih banyak kasus psikopatologi
(Zucker, 1990).
Teori konstuksionis akan mengatakan bahwa anak perempuan
diperbolehkan menunjukkan perilaku maskulin tanpa diejek, dan anak
tidak berkorelasi dengan kecenderungan menjadi lesbian di kemudian
hari. Teori ini tidak bisa dijadikan pegangan tunggal dalam
menjelaskan homoseksual, karena banyak pria gay yang tidak bersifat
keperempuan-perempuanan pada waktu kecil, dan tidak semua anak
laki-laki yang keperempuan-perempuanan tumbuh menjadi gay.
c. Interaksi Kelompok Teman Sebaya
Berdasarkan catatan bahwa dorongan seksual seseorang mulai
berkembang pada masa remaja, Storm (1981) berpendapat bahwa
orang-orang yang tumbuh lebih cepat mulai tertarik secara seksual
sebelum mereka mengalami kontak yang signifikan dengan lawan
jenis. Karena pacaran biasanya dimulai pada usia sekitar 15 tahun,
anak laki-laki yang dewasa pada usia 12 tahun masih bermain dan
berinteraksi secara umum dengan kelompok dari jenis kelamin yang
sama, sehingga kemungkinan perasaan erotis yang muncul berfokus
pada anak laki-laki juga. Teori ini didukung oleh fakta bahwa
homoseksual cenderung melaporkan kontak seksual yang lebih cepat
dibandingkan heteroseksual. Selain itu, dorongan seksual pria bisa
muncul lebih cepat daripada wanita.
d. Teori Behavioris
Teori behavioral tentang homoseksual menganggap bahwa
perilaku homoseksual adalah perilaku yang dipelajari, diakibatkan
perilaku homoseksual yang mendatangkan hadiah atau penguat yang
perilaku heteroseksual. Sebagai contoh, seseorang bisa saja memiliki
hubungan dengan sesama jenis menyenangkan, dan berpasangan
dengan lawan jenis adalah hal yang menakutkan, dalam fantasinya,
orang tersebut bisa saja berfokus pada hubungan sesama jenis,
menguatkan kesenangannya dengan masturbasi. Bahkan pada masa
dewasa, beberapa pria dan wanita bergerak menuju perilaku dan
hubungan sesama jenis jika mereka mengalami hubungan
heteroseksual yang buruk dan hubungan homoseksual yang
menyenangkan (Masters & Johnson, 1979, dalam Carroll, 2005).
3. Pendekatan Sosiologi
Pendekatan sosiologis mencoba menjelaskan bagaimana dorongan
sosial menghasilkan homoseksualitas di dalam masyarakat. Konsep-konsep
seperti homoseksualitas, biseksualitas, heteroseksualitas adalah produk dari
imajinasi masyarakat dan tergantung pada bagaimana kita sebagai masyarakat
mendefenisikan sesuatu hal. Dengan kata lain, kita mempelajari cara berpikir
budaya kita dan mengaplikasikannya pada diri kita (Carroll, 2005).
Penggunaan istilah ”homoseksual” yang mengacu pada perilaku
sesama jenis berkembang setelah Revolusi Industri yang membebaskan
orang-orang secara ekonomi sehingga memberikan kesempatan untuk memilih gaya
hidup yang baru di perkotaan (Adam, 1987). Oleh karena itu, pendapat bahwa
apakah seseorang ”homoseksual” atau ”heteroseksual” bukanlah fakta biologis
4. Pendekatan Interaksional : Biologi dan Sosiologi
Bem (1996) berpendapat bahwa variabel biologis seperti genetik,
hormon, dan neuroanatomi otak, tidak menyebabkan orientasi seksual tertentu,
tetapi lebih berkontribusi pada tempramen masa anak-anak yang mempengaruhi
preferensi anak pada aktivitas dan kelompok sebaya yang sesuai dengan jenis
kelaminnya atau tidak.
Teori exotic-becomes-erotic yang dikemukakan oleh Bem (1996)
mengatakan bahwa perasaan seksual berubah dari pengalaman jender sejenis
sebagai lebih eksotis, atau berbeda dari orang itu, daripada yang berlawanan jenis.
Ia menyatakan bahwa anak-anak gay dan lesbian memiliki teman bermain lawan
jenis ketika tumbuh, dan membuat mereka melihat sesama jenis lebih ”eksotis”
dan menarik.
II.A.3.Tahapan Pembentukan Identitas Diri Homoseksual
Vivienne Cass (1984) mengemukakan model enam tahapan dalam
pembentukan identitas gay dan lesbian. Tidak semua gay dan lesbian mencapai
tahap keenam; tergantung, di dalam masing-masing tahapan, pada seberapa
nyaman seseorang dengan orientasi seksualnya.
Tahapan 1: Identitiy confusion.
Individu mulai percaya bahwa perilakunya bisa didefinisikan sebagai gay atau
lesbian. Mungkin saja timbul keinginan untuk mendefinisikan kembali konsep
orang tersebut terhadap perilaku gay dan lesbian, dengan segala bias dan
peran tersebut dan mencari informasi, menekan dan menghalangi semua perilaku
gay dan lesbian, atau menyangkal kemiripan dengan semua identitasnya (seperti
pria yang memiliki hubungan sesama jenis di penjara namun tidak percaya bahwa
dia adalah gay ”yang sebenarnya”).
Tahapan 2: Identity comparison.
Individu menerima potensi identitas dirinya gay; menolak model heteroseksual
tetapi tidak menemukan penggantinya. Orang tersebut mungkin merasa berbeda
dan bahkan kehilangan. Orang yang berada dalam tahapan ini masih menyangkal
homoseksualitasnya. Ia berpura-pura sebagai seorang heteroseksual.
Tahapan 3: Identity tolerance.
Pada tahap ini, individu mulai berpindah pada keyakinan bahwa dirinya mungkin
gay atau lesbian dan mulai mencari komunitas homoseksual sebagai kebutuhan
sosial, seksual dan emosional. Kebingungan menurun, tapi identitas diri masih
pada tahap toleransi, bukan sepenuhnya diterima. Biasanya, individu masih tidak
membeberkan identitas barunya pada dunia heteroseksual dan tetap menjalankan
gaya hidup ganda.
Tahapan 4: Identity acceptance.
Pandangan positif tentang identitas diri mulai dibentuk, hubungan dan jaringan
gay dan lesbian mulai berkembang. Pembukaan jati diri selektif kepada teman dan
keluarga mulai dibuat, dan individu sering membenamkan dirinya sendiri dalam
Tahapan 5: Identity pride
Kebanggaan sebagai homoseksual mulai dikembangkan, dan kemarahan terhadap
pengobatan bisa mengakibatkan penolakan heteroseksual karena dianggap sebagai
sesuatu yang buruk. Individu merasa cukup bernilai dan cocok dengan gaya
hidupnya.
Tahapan 6: Identity synthesis
Ketika individu benar-benar merasa nyaman dengan gaya hidupnya dan ketika
kontak dengan orang nonhomoseksual meningkat, seseorang menyadari
ketidakbenaran dalam membagi dunia mengkotak-kotakkan dunia dalam ”gay dan
lesbian yang baik” dan ”heteroseksual yang buruk.” Individu menjalani gaya
hidup gay yang terbuka sehingga pengungkapan jati diri tidak lagi sebuah isu dan
menyadari bahwa ada banyak sisi dan aspek kepribadian yang mana orientasi
seksual hanya salah satu aspek tersebut. Proses pembentukan identitas telah
selesai.
II.B. Makna Hidup
II.B.1. Pengertian Makna Hidup
Makna hidup adalah hal-hal yang dianggap sangat penting dan berharga
serta memberikan nilai khusus bagi seseorang sehingga layak dijadikan tujuan
dalam kehidupan (purpose of living). Makna hidup dapat ditemukan dalam setiap
keadaan yang menyenangkan dan tidak menyenangkan, keadaan bahagia, dan
penderitaan. Bila hasrat ini dapat dipenuhi, maka kehidupan yang dirasakan
ini tak terpenuhi akan menyebabkan kehidupan dirasakan tidak bermakna
(meaningless). Di dalam makna hidup terkandung juga tujuan hidup, yakni
hal-hal yang perlu dicapai dan dipenuhi (Bastaman, 2007).
Dalam teorinya, Victor Frankl menjelaskan tentang tiga aspek dasar
mengenai kebermaknaan hidup yaitu :
a. Manusia memiliki kebebasan untuk berkehendak (freedom to will)
b. Ada kehendak untuk hidup bermakna (will to meaning)
c. Menentukan serta menemukan makna hidup (meaning of life)
Kebebasan berkehendak adalah kebebasan untuk menentukan sikap
(freedom to take a stand) terhadap kondisi-kondisi biologis, psikologis dan
sosiokultural serta sejarah hidupnya. Manusia bukan saja mampu mengambil jarak
(to detach) terhadap berbagai kondisi di luar dirinya, melainkan juga terhadap
kondisi di dalam dirinya sendiri (self-detachment). Kemampuan inilah yang
menyebakan manusia disebut “the self determining being” yag menunjukkan
bahwa manusia memiliki kebebasan untuk menentukan apa yang dianggap
penting dan baik bagi dirinya yang harus diimbangi dengan tanggung jawab
(Bastaman, 1996).
II.B.2. Karakteristik Makna Hidup
Menurut Frankl (dalam Bastaman, 2007), makna hidup memiliki beberapa
karakteristik, yaitu :
a. Makna hidup itu sifatnya unik, pribadi, dan temporer, sehingga tidak
Apa yang dianggap penting dan berharga bagi seseorang belum tentu
penting dan berharga bagi orang lain.
b. Makna hidup itu spesifik dan nyata, hanya dapat ditemukan dalam
pengalaman dan kehidupan nyata sehari-hari, serta tidak selalu harus
dikaitkan dengan tujuan idealistis, renungan filosofis dan prestasi
akademik yang menakjubkan..
c. Makna hidup memberi pedoman dan arah terhadap kegiatan-kegiatan
yang kita lakukan sehingga makna hidup seakan-akan menantang kita
untuk memenuhinya. Begitu makna hidup ditemukan dan tujuan hidup
ditentukan, kita seakan-akan terpanggil untuk melaksanakan dan
memenuhinya, serta kegiatan kita pun menjadi lebih terarah kepada
pemenuhan itu.
II.B.3. Sumber Makna Hidup
Frankl (dalam Bastaman, 2007) menyatakan tiga kelompok nilai yang
dapat menjadi sumber makna bagi hidup dalam diri manusia, yaitu :
a. Nilai-nilai kreatif (Creative Values)
Dengan “apa yang dapat diberikan bagi kehidupan ini (what we give to
live)”. Maksudnya melalui tindakan-tindakan kreatif atau menciptakan
suatu karya seni atau bahkan dengan melayani orang lain dapat
dikatakan sebagai ungkapan rasa seseorang. Melalui karya dan kerja
seseorang dapat menemukan arti hidup dan menghayati kehidupan
b. Nilai-nilai Pengalaman (Experiental Values)
Dengan “apa yang dapat kita ambil dari dunia ini” (what we take from
the world). Maksudnya dengan mengalami sesuatu misalnya melalui
kebaikan, kebenaran dan keindahan, dengan menikmati alam alam dan
budaya, atau dengan mengenal manusia lain dengan segala
keunikannya, dengan mencintainya.
c. Nilai-nilai bersikap (Attitudinal Values)
Dengan “sikap yang diambil untuk tetap bertahan terhadap penderitaan
yang tidak dapat dihindari” (the attitude we take toward unavoidable
suffering). Ketika manusia menghadapi nasib buruk atau situasi
menghambat yang tidak bisa diubahnya, dengan kata lain ketika
menderita, dia tetap bisa merealisasikan nilai yang bisa
mengantarkannya kepada makna.
Bastaman menambahkan satu komponen lain yang dapat menjadikan
hidup ini menjadi lebih bermakna, yaitu :
d. Nilai-nilai Harapan (Hopeful Values)
Harapan adalah keyakinan akan terjadinya hal-hal yang baik atau
perubahan yang menguntungkan di kemudian hari. Harapan, sekalipun
belum tentu menjadi kenyataan, dapat memberikan sebuah peluang dan
solusi serta tujuan baru yang menjanjikan yang dapat menimbulkan
II.B.4 Makna dalam Penderitaan
Makna hidup dapat ditemukan dalam setiap keadaan, baik menyenangkan
maupun tidak menyenangkan, dalam keadaan bahagia maupun derita, karena
manusia selama hidup di dunia ini tidak selalu dalam keadaan menyenangkan
(Bastaman, 1996).
II.B.4.a Penderitaan
Penderitaan merupakan bagian integral dari kehidupan manusia, kerena
eksisstensi manusia senantiasa berkisar antara senang dan susah, tawa dan air
mata, derita dan bahagia. Terlepas dari berat-ringannya, setiap orang dalam
hidupnya pasti pernah mengalami penderitaan (Bastaman, 1996).
Bastaman (1996) menggambarkan penderitaan sebagai perasaan tidak
menyenangkan dan reaksi-reaksi yang ditimbulkannya sehubungan dengan
kesulitan yang dialami seseorang. Sementara itu, dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (dalam Bastaman 1996) digambarkan penderitaan sebagai proses,
perbuatan, cara menderita, dan penanggungan yang terkait dengan sesuatu yang
tidak menyenangkan, seperti sakit, cacat, kesengsaraan dan kesusahan.
Frankl (dalam Bastaman, 1996) menyatakan tiga hal yang dapat
menimbulkan penderitaan. Tiga ragam penderitaan yang sering ditemukan dalam
kehidupan manusia atau ”the three tragic triads of human existence” antara lain:
1. Rasa sakit (pain), suatu keadaan mental atau fisik yang kurang baik
atau kegelisahan mental dan fisik. Intensitas rasa sakit berkisar mulai
dari setengah gelisah atau perasaan ayng membosankan, hingga
dapat dirasakan secara menyeluruh atau hanya pada beberapa bagian,
sebagai akibat dari korban kecelakaan atau luka secara fisik atau luka
secara mental, dan biasanya menimbulkan reaksi menghindari,
melarikan diri, atau menghancurka faktor penyebabnya.
2. Rasa bersalah (guilt), merupakan sejenis penderitaan yang berkaitan
dengan perbuatan yang tidak sesuai hati nurani. Hati nurani adalah
unsur kepribadian yang menilai sejauh mana pemikiran, perasaan, dan
tindakan seseorang sesuai dengan tolak ukur tertentu.
3. Kematian (death), baik kematian itu sendiri maupun kematian orang
lain merupakan tragdi alami yang pasti terjadi dan dialami oleh setiap
orang.
II.B.4.b Tahap-Tahap Penemuan Makna dalam Penderitaan
Bastaman (1996) memaparkan beberapa tahap yang harus dilalui
seseorang dalam menemukan dan memenuhi makna hidupnya dalam suatu
penderitaan, yaitu:
1. Tahap derita, yaitu pengalaman tragis dan penghayatan hidup tanpa
makna. Suatu peristiwa tragis dalam hidup seseorang dapat menimbulkan
penghayatan hidup tanpa makna yang ditandai dengan perasaan hampa,
gersang, apatis, bosan, dan merasa tidak lagi memiliki tujuan hidup.
Kebosanan adalah ketidakmampuan seseorang untuk membangkitkan
minat, sedangkan apatis adalah ketidakmampuan seseorang untuk
2. Tahap penerimaan diri, individu mulai menerima apa yang terjadi pada
hidupnya, pemahaman diri, dan terjadinya perubahan sikap. Munculnya
kesadaran diri biasanya didorong oleh beraneka ragam sebab. Misalnya,
karena perenungan diri, konsultasi dengan para ahli, mendapat pendangan
dari seseorang, hasil do’a dan ibadah, belajar dari orang lain, dan lain-lain.
3. Tahap penemuan makna hidup. Tahap ini ditandai dengan penyadaran
individu akan nilai-nilai berharga yang sangat penting dalam hidupnya.
Hal-hal yang dianggap berharga dan penting itu mungkin saja berupa
nilai-nilai kreatif, nilai-nilai-nilai-nilai penghayatan, dan nilai-nilai-nilai-nilai bersikap.
4. Tahap realisasi (keikatan diri, kegiatan terarah dan pemenuhan makna
hidup). Pada tahap ini, individu akan mengalami semangat dan gairah
dalam hidupnya, kemudian secara sadar melakukan keikatan diri (self
commitment) untuk melakukan kegiatan nyata yang lebih terarah guna
memenuhi makna hidupnya.
5. Tahap kehidupan bermakan (penghayatan bermakna, kebahagiaan).
Keberhasilan dalam menemukan dan memenuhi makna hidup akan
menyebabkan seseorang merasakan kehidupan yang berarti dan pada
akhirnya akan menimbulkan perasaan bahagia.
II.B.5. Kelompok Orang yang Mencari Makna
Frankl membagi dua kelompok orang yang mencari makna :
Bagi orang yang dalam keraguan, segala sesuatu terlihat negatif dan
dipertanyakan. Mereka mencari tujuan untuk dikejar, ide untuk dipercayai, tugas
untuk dipenuhi, karena mereka menemukan diri mereka berada dalam kekosongan
yang diistilahkan dengan existential vacuum. Mereka tidak melihat adanya tujuan
dalam hidup mereka dan sedang mencari makna.
Jika pencarian makna ini tersangkut dalam suatu kondisi pemanen
keraguan, dan tidak ada perkembangan, mungkin akan menghasilkan neurotis
serius, psikotis,atau bahkan depresi.
b. People in Despair
Adalah mereka yang tadinya memiliki orientasi hidup yang bermakna, tapi
kemudian kehilangan makna itu baik melalui hilangnya rasa percaya atau
menemukan bahwa makna tersebut tidaklah penting atau mengecewakan. Yang
termasuk dalam kelompok ini adalah mereka yang pernah hidup dalam
kesenangan, kekuasaan, kesejahteraan, dan menyadari mereka mengejar sesuatu
yang tidak memiliki kelanjutan , dan sekarang merasa kosong. Realitas ini dapat
mengarah pada kemunduran, perasaan tak bermakna, bahkan pemikiran untuk
BAB III
METODE PENELITIAN
III.A. Pendekatan Kualitatif
Mengingat masalah yang hendak diungkap dalam penelitian ini, maka
pendekatan kualitatif dipandang sesuai untuk dapat mengetahui bagaimana makna
hidup pada pasangan yang belum memiliki keturunan. Karena makna hidup
adalah sesuatu yang bersifat unik dan personal sehingga apa yang dirasakan
berharga dan penting untuk seseorang, belum tentu berharga dan penting bagi
orang lain sehingga makna hidup antara seseorang akan berbeda dengan orang
lain. Selain itu, makna hidup itu ada dalam kehidupan itu sendiri, sehingga
walaupun pengalaman sebagai homoseksual dirasakan oleh beberapa orang,
namun, makna hidup mereka akan berbeda satu sama lain, karena pengalaman dan
kehidupan mereka berbeda satu sama lain. Sehingga dengan penelitian kualitatif,
dapat dilihat manusia dengan subyektifitasnya. Hal ini sejalan dengan yang
dikemukakan oleh Poerwandari (2001) bahwa dalam penelitian kualitatif, manusia
dipandang dalam segala kompleksitasnya sebagai makhluk subyektif.
Melalui penelitian kualitatif, diharapkan peneliti akan dapat melihat
permasalahan ini dengan lebih mendalam karena turut mempertimbangkan
dinamika, perspektif, alasan, dan faktor-faktor eksternal yang turut mempengaruhi
partisipan penelitian. Hal ini sesuai dengan pendapat Poerwandari (2001) yang
menyatakan bahwa salah satu tujuan penting penelitian kualitatif adalah
diteliti. Dan sebagian besar aspek psikologis manusia juga sangat sulit direduksi
dalam bentuk elemen dan angka sehingga akan lebih ‘etis’ dan kontekstual bila
diteliti dalam setting alamiah. Artinya tidak cukup mencari “what” dan “how
much”, tetapi perlu juga memahaminya (“why” dan “how”) dalam konteksnya.
III.B. Partisipan dan Lokasi Penelitian
Pada suatu penelitian, populasi dan sampel adalah hal yang harus
diperhatikan. Populasi adalah semua individu untuk siapa kenyataan-kenyataan
yang diperoleh dari sampel penelitian akan digeneralisasi. Sampel adalah
sebahagian dari populasi yang dikenakan langsung dalam penelitian. Sampel
harus bersifat representatif, yaitu dapat mewakili atau menggambarkan dengan
jelas karakteristik populasinya (Hadi, 1999).
III.B.1. Karakteristik Partisipan Penelitian
Sesuai dengan tujuan peneliti ini, maka karakteristik partisipan
yang dipilih adalah:
- pria atau wanita yang memiliki orientasi homoseksual, diketahui
melalui proses wawancara secara langsung ataupun informasi dari
pihak ketiga.
- berusia dewasa, mengingat mereka memiliki kemampuan kognitif
yang lebih stabil dalam menganalisa pengalaman yang telah dilalui
dan dorongan untuk menemukan makna hidup lebih kuat
III.B.2. Teknik Sampling
Prosedur pengambilan sampel dalam penelitian ini berdasarkan
teknik pengambilan sampel bola salju/berantai (Snowball/Chain
Sampling), yaitu pengambilan sampel dilakukan secara berantai dengan
meminta informasi pada orang yang telah diwawancarai/ dihubungi
sebelumnya. Dengan bertanya pada orang yang telah diwawancarai
mengenai siapa lagi yang dapat memberi informasi, rantai semakin lama
semakin panjang dan bola salju semakin besar (Poerwandari, 2001).
III.B.3. Jumlah Partisipan Penelitian
Penelitian kualitatif ini mengambil sampel 2 (dua) orang
homoseksual. Alasan pengambilan sampel ini yaitu karena penelitian ini
menggunakan penelitian kualitatif, sehingga perlu pendekatan yang
mendalam terhadap subyek. Pendekatan yang maksimal dapat dilakukan
dengan subyek yang tidak terlalu besar, dan jumlah subyek tidak diambil
satu orang saja dengan alasan agar dapat dibandingkan antara subyek yang
satu dengan subyek yang lain dan dapat melihat adanya perbedaan
individual.
III.B.4. Lokasi Penelitian
Lokasi dilakukannya penelitian ini adalah di kota Medan.
Pemilihan kota Medan dikarenakan peneliti memang berdomisili di kota
Medan dan dengan demikian akan memberikan kemudahan bagi peneliti
III.C. Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, peneliti mengumpulkan data dengan menggunakan
metode wawancara dan selama wawancara akan dilakukan observasi.
III.C.1. Wawancara
Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah
wawancara mendalam (in-depth interview). Banister (1994) menjelaskan
bahwa wawancara mendalam adalah wawancara yang tetap menggunakan
pedoman wawancara, namun penggunaannya tidak sekedar wawancara
terstruktur.
III.D. Alat Bantu Pengumpulan Data
Menurut Poerwandari (2001) bahwa yang menjadi alat terpenting dalam
penelitian kualitatif adalah peneliti sendiri. Namun, untuk memudahkan
pengumpulan data, peneliti membutuhkan alat bantu, seperti alat perekam (tape
recorder), pedoman wawancara, dan catatan lapangan.
III.D.1. Alat Perekam (tape recorder)
Poerwandari (2001) menyatakan sedapat mungkin wawancara
perlu direkam dan dibuat transkripnya secara verbatim (kata demi kata),
sehingga tidak bijaksana jika peneliti hanya mengandalkan ingatan. Untuk
tujuan tersebut, perlu digunakan alat perekam agar peneliti mudah
kembali apabila ada hal yang masih belum lengkap atau belum jelas.
Penggunaan alat perekam ini dilakukan dengan seizin subyek.
III.D.2. Pedoman Wawancara
Pedoman wawancara berisi “open-ended question” yang bertujuan
agar arah wawancara tetap sesuai dengan tujuan penelitian (Poerwandari,
2001). Pedoman wawancara ini dibuat berdasarkan pada teori makna
hidup yang mencakup sumber-sumber makna hidup dan metode
menemukan makna hidup yang dikemukakan oleh Frankl.
Pedoman wawancara ini juga digunakan untuk mengingatkan
peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi
daftar pengecek (check list) apakah aspek-aspek yang relevan telah
dibahas atau ditanyakan. Dengan pedoman yang demikian, peneliti harus
memikirkan bagaimana pertanyaan tersebut dijabarkan secara konkrit
dalam kalimat tanya, sekaligus menyesuaikan pertanyaan dengan konteks
aktual saat wawancara berlangsung (Poerwandari, 2001).
Pedoman wawancara digunakan agar wawancara yang dilakukan
tidak menyimpang dari tujuan penelitian. Pedoman wawancara ini juga
sebagai alat bantu untuk mengkategorisasikan jawaban sehingga
memudahkan pada tahap analisis data. Pedoman ini disusun tidak hanya
berdasarkan tujuan penelitian, tapi juga berdasarkan pada berbagai teori
III.D.3. Catatan Lapangan
Catatan lapangan menurut Bogdan dan Biklen (dalam Moleong,
2000) adalah catatan tertulis tentang apa yang didengar, dilihat, dialami,
dipikirkan dalam rangka pengumpulan data dan refleksi terhadap data
dalam penelitian kualitatif. Catatan lapangan dibuat setelah pulang ke
tempat tinggal dengan mengulang kembali hasil rekaman dari tape
recorder.
Selain itu di dalam catatan lapangan bisa diketahui apa yang
subyek alami selama proses observasi berlangsung, dari catatan lapangan
ini juga terdapat aspek deskriptif dan reflektif, yaitu gambaran jelas
mengenai apa yang diobservasi dan kemudian melakukan refleksi terhadap
gambaran yang telah dibuat sebelumnya (Gay & Airasian, 2003).
III.E. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan
yang diungkapkan Bogdan (dalam Moleong, 2006). Terdapat tiga tahapan dalam
prosedur penelitian kualitatif, yaitu tahap pralapangan, pekerjaan lapangan, dan
tahap analisis data.
III.E.1. Tahap Pralapangan
Pada tahap persiapan penelitian, peneliti menggunakan sejmlah hal
yang diperlukan untuk melaksanakan penelitian (Moleong, 2006), yaitu
a.Mengumpulkan informasi dan teori yang berhubungan dengan
homoseksualitas dan makna hidup baik yang berasal dari teori maupun
dari literatur lepas seperti artikel.
b. Menyusun pedoman wawancara.
Peneliti menyusun butir-butir pertanyaan berdasarkan kerangka teoritis
untuk menjadi pedoman dalam proses wawancara.
c. Persiapan untuk pengumpulan data.
Peneliti mencari beberapa orang partisipan yang sesuai dengan kriteria
sampel yang telah ditentukan, meminta kesediaannya (informed consent)
untuk menjadi partisipan dan mengumpulkan informasi tentang calon
partisipan tersebut.
d. Membangun rapport.
Setelah memperoleh kesediaan dari partisipan penelitian (tanda tangan
partisipan pada lembaran informed consent), peneliti meminta kesediaan
untuk bertemu dan mulai membangun rapport. Setelah itu, peneliti dan
partisipan penelitian mengadakan kesepakatan yang meliputi waktu dan
tempat wawancara serta persyaratan lain yang diajukan kedua belah
pihak.
III.E.2. Tahap Pelaksanaan Penelitian
Setelah diadakan kesepakatan, maka peneliti mulai melakukan
wawancara, namun sebelumnya peneliti membina rapport agar partisipan
wawancara akan dilakukan di tempat yang ditentukan oleh subjek
penelitian dan akan direkam dengan tape recorder mulai dari awal hingga
akhir. Namun, pada wawancara dengan responden I, tidak digunakan tape
recorder karena tidak diizinkan oleh responden I. Peneliti juga akan
mencatat bahasa non verbal partisipan ketika wawancara berlangsung.
III.E.3. Tahap Pencatatan Data
Untuk memudahkan pencatatan data, peneliti menggunakan alat
perekam sebagai alat bantu agar data yang diperoleh dapat lebih akurat dan
dapat dipertanggungjawabkan. Sebelum wawancara dimulai, peneliti
meminta izin kepada partisipan untuk merekam wawancara yang akan
dilakukan. Setelah wawancara dilakukan, peneliti membuat verbatim dari
wawancara tersebut.
III.F. Metode Analisis Data
Beberapa tahapan dalam menganalisis data kualitatif menurut Poerwandari
(2001), yaitu :
1. Koding
Koding adalah proses membubuhkan kode-kode pada materi yang
diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasikan dan
mensistemasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat
memunculkan dengan lengkap gambaran tentang topik yang dipelajari.
penting, meskipun peneliti yang satu dengan peneliti yang lain
memberikan usulan prosedur yang tidak sepenuhnya sama. Pada
akhirnya, penelitilah yang berhak (dan bertanggungjawab) memilih
cara koding yang dianggapnya paling efektif bagi data yang
diperolehnya (Poerwandari, 2001).
2. Organisasi Data
Highlen dan Finley (dalam Poerwandari, 2001) menyatakan bahwa
organisasi data yang sistematis memungkinkan peneliti untuk :
a) memperoleh data yang baik,
b) mendokumentasikan analisis yang dilakukan,
c) menyimpan data dan analisis yang berkaitan dalam
penyelesaian penelitian.
Hal-hal yang penting untuk disimpan dan diorganisasikan adalah data
mentah (catatan lapangan dan kaset hasil rekaman), data yang sudah
diproses sebagiannya (transkrip wawancara), data yang sudah
ditandai/dibubuhi kode-kode khusus dan dokumentasi umum yang
kronologis mengenai pengumpulan data dan langkah analisis.
3. Analisis Tematik
Penggunaan analisis tematik memungkinkan peneliti menemukan
‘pola’ yang pihak lain tidak bisa melihatnya secara jelas. Pola atau
tema tersebut tampil seolah secara acak dalam tumpukan informasi
yang tersedia. Analisis tematik merupakan proses mengkode
indikator yang kompleks, kualifikasi yang biasanya terkait dengan
tema itu atau hal-hal di antara gabungan dari yang telah disebutkan.
Tema tersebut secara minimal dapat mendeskripsikan fenomena dan
secara maksimal memungkinkan interpretasi fenomena.
4. Tahapan Interpretasi/analisis
Kvale (dalam Poerwandari, 2001) menyatakan bahwa interpretasi
mengacu pada upaya memahami data secara lebih ekstensif sekaligus
mendalam. Ada tiga tingkatan konteks interpretasi yang diajukan
Kvale (dalam Poerwandari, 2001), yaitu : pertama, konteks interpretasi
pemahaman diri (self understanding) terjadi bila peneliti berusaha
memformulasikan dalam bentuk yang lebih padat (condensed) apa
yang oleh subyek penelitian sendiri dipahami sebagai makna dari
pernyataan-pernyataannya. Interpretasi tidak dilihat dari sudut pandang
peneliti, melainkan dikembalikan pada pemahaman diri subyek
penelitian, dilihat dari sudut pandang dan pengertian subyek penelitian
tersebut. Kedua, konteks interpretasi pemahaman biasa yang kritis
(criticial commonsense understanding) terjadi bila peneliti berpijak
lebih jauh dari pemahaman diri subyek penelitiannya. Peneliti
mungkin akan menggunakan kerangka pemahaman yang lebih luas
daripada kerangka pemahaman subyek, bersifat kritis terhadap apa
yang dikatakan subyek, baik dengan memfokuskan pada ‘isi’
pernyataan maupun pada subyek yang membuat pernyataan. Meski
umum : peneliti mencoba mengambil posisi sebagai masyarakat umum
dalam mana subyek penelitian berada. Ketiga, konteks interpretasi
pemahaman teoritis adalah konteks paling konseptual. Pada tingkat
ketiga ini, kerangka teoritis tertentu digunakan untuk memahami
pernyataan-pernyataan yang ada, sehingga dapat mengatasi konteks
pemahaman diri subyek ataupun penalaran umum.
5. Pengujian Terhadap Dugaan
Dugaan adalah kesimpulan sementara. Dengan mempelajari data kita
mengembangkan dugaan-dugaan yang juga merupakan
kesimpulan-kesimpulan sementara. Dugaan yang dikembangkan tersebut juga
harus dipertajam dan diuji ketepatannya. Begitu tema-tema dan
pola-pola muncul dari data, untuk meyakini temuannya, selain mencoba
untuk terus menajamkan tema dan pola yang ditemukan, peneliti juga
perlu mencari data yang memberikan gambaran berbeda dari pola-pola
yang muncul tersebut. Hal ini berkaitan erat dengan upaya mencari
penjelasan yang berbeda-beda mengenai data yang sama. Berbagai
perspektif harus disesuaikan untuk memungkinkan keluasan analisis
BAB IV
ANALISA DATA DAN INTERPRETASI
Pada bagian ini akan diuraikan hasil analisa wawancara dalam bentuk
narasi. Untuk mempermudah pembaca dalam memahami makna hidup pada
homoseksual maka data akan dijabarkan, dianalisa, dan diinterpretasi per subjek.
Analisa data akan dijabarkan dengan menggunakan aspek-aspek yang terdapat
dalam pedoman wawancara.
IV.A. Responden I
IV.A.1. Analisa Data
IV.A.1.1. Identitas Diri
a. Nama : Roy (bukan nama sebenarnya)
Usia : 41 tahun
Suku : Batak
Agama : Islam
Pendidikan terakhir : Strata 1
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Urutan dalam keluarga : anak ke 2 dari 5 bersaudara
b. Tempat dan Tanggal Wawancara
Tanggal Tempat Keterangan
30 November 2007 A&W Restaurant, Sun
Plaza, Jl. Zainul Arifin
No. 7
IV. A.1.2 Data Observasi
Wawancara pertama dilakukan di sebuah restoran yang tidak terlalu ramai
dengan ukuran sekitar 10 m x 10 m. Kursi dan meja disusun pada tempat yang
tertutup kaca dan ruangan yang terbuka. Setiap meja memiliki empat kursi.
Penerangan di tempat itu cukup bagus. Setelah memesan minuman, peneliti dan
responden memilih tempat duduk yang jauh dari kasir untuk menjaga privasi.
Peneliti dan responden duduk berhadap-hadapan dan wawancara pun dimulai.
Roy memakai baju kemeja dengan bahan kain yang tipis berwarna putih
dan celana panjang yang juga berwarna putih. Rambutnya yang pendek
menunjukkan sedikit uban. Roy juga memakai kacamata.
Roy duduk dengan tangan di atas meja, jari-jari tangan ditangkupkan dan
diletakkan di bagian depan wajahnya, badan agak condong ke meja. Ketika ada
orang yang lewat, Roy menjawab pertanyaan yang diajukan dengan suara yang
lebih pelan. Roy terdiam sejenak ketika harus menjawab pertanyaan yang bersifat
sangat pribadi. Sesekali, Roy juga melihat ke kiri dan ke kanan.
Pada wawancara kedua, Roy memakai baju kemeja berwarna biru.
Sebenarnya, wawancara akan dilakukan di suatu pusat perbelanjaan. Namun, Roy 17 Desember 2007 Jl. Dr. Mansyur Rapor
23 Februari 2008 Restoran Apollo, Sun
Plaza, Jl. Zainul Arifin
No.7.
wawancara
memutuskan untuk mengganti lkasi wawancara dengan alasan susah mencari
tempat parkir dan suasana yang pasti akan ramai karena hari itu adalah hari
Minggu. Akhirnya, wawancara dilakukan di sebuah restoran yang agak sepi.
Hanya ada sekitar 5-6 pengunjung.
Roy memilih meja yang berada di dekat dinding. De sebelah kiri dan
kanan tempat duduk kami terdapat masing-masing 2 (dua) meja yang tidak
ditempati. Wawancara dimulai dengan ngobrol ringan, kemudian peneliti mulai
mengeluarkan catatan dan mencatat hasil wawancara. Sambil makan, Roy
menjawab pertanyaan dengan santai. Sesekali, badannya dicondongkan ke depan
atau melirik hasil catatan peneliti. Wawancara sempat terganggu sebentar karena
ada 5 (lima) orang yang menempati meja yang ada di samping kiri sehingga Roy
terdiam sebentar kemudian melanjutkan menjawab dengan suara yang pelan. Ia
juga mengingatkan penliti untuk tidak bertanya dengan suara yang keras.
Untunglah, beberapa menit kemudian, orang-orang tersebut berpindah meja
sehingga meja di samping kiri tersebut kembali kosong. Terkadang, sambil
menjawab, Roy memegang dagunya.
IV.A.1.3. Data Wawancara
IV.A.1.3.a Latar Belakang Responden
Roy tumbuh dan berkembang di keluarga yang menerapkan pendidikan
yang ketat. Sejak kecil Roy diajari mengaji dan dijaga dengan baik oleh
keluarganya. Orangtuanya bersikap otoriter, terutama ayahnya. Perkataan orang
tuanya tidak boleh dibantah. Roy dan saudaranya tidak diperbolehkan bebas atau
SMP Roy dan saudaranya melompat keluar pagar karena ingin bermain di luar
seperti teman-temannya. Sialnya, mereka ketahuan oleh ayahnya dan akibatnya
mereka dipukuli. Mereka tidak berani melawan.
Pada awalnya Roy, merasa memiliki orientasi heteroseksual. Pertama kali
Roy mengalami hubungan seksual sejenis adalah ketika ia berada pada masa
remaja. Waktu itu ia dipanggil oleh orang dewasa yang tidak dikenal untuk diajak
ngobrol. Sambil mengobrol, paha dan alat kelaminnya diraba oleh orang dewasa
tersebut. Akhirnya Roy dimasturbasi. Setelah itu, Roy merasa ketagihan dan tidak
menolak ketika diajak pada kesempatan berikutnya.
Roy menganggap orientasi seksualnya sebagai suatu penyakit. Ia tidak
memberitahukannya kepada keluarga dan berusaha menutupi orientasi seksualnya
serta sangat berhati-hati dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Contohnya,
Roy selalu meminta untuk melihat tanda identitas atau pengenal (KTP atau KTM)
orang yang akan berkenalan dengannya. Hal yang sama juga dialami oleh peneliti
ketika pertama kali berkenalan dengan Roy. Untuk berjaga-jaga agar tidak banyak
berhubungan dengan orang lain, Roy mulai membiasakan diri dengan melakukan
aktivitas sendirian dan bersifat selektif dalam berhubungan dengan orang lain.
Roy telah menjalankan hubungan yang dekat beberapa orang laki-laki.
Meskipun pada awalya merasa enjoy, tetapi pada akhirnya Roy menjalani
hidupnya dengan bertanya-tanya tentang orientasi seksualnya dan merasa ini
adalah suatu ketidakadilan yang diberikan Tuhan kepadanya. Ia juga selalu ingin
menikah dengan alasan faktor usia dan merasa cocok dengan wanita yang menjadi
calon istrinya ini.
Gambaran makna hidup
Roy mengalamai pengalaman seksual pertamanya ketika masih duduk di
bangku kelas 6 SD. Waktu itu ia baru berusia 12 tahun. Pada waktu itu ada
seorang lelaki dewasa, yang menurut Roy adalah seorang phedofilia,
memanggilnya untuk kemudian diajak mengobrol. Sambil mengobrol, orang
tersebut meraba-raba paha dan alat kelamin Roy. Tidak hanya diraba, Roy
akhirnya dimasturbasi. Hasilnya, Roy merasakan kenikmatan. Beranggapan
bahwa apa yang dilakukannya adalah sesuatu yang salah menurut agama, Roy
berusaha untuk mengendalikan dorongan-dorongan yang muncul. Akan tetapi, ia
seolah menjadi ketagihan dan tak kuasa menolak ketika bertemu kembali dengan
orang tersebut.
”...cuma waktu kelas 5 atau 6 SD, diajak orang dewasa ga di kenal, yang sekarang dikenal apa? Pedofilia ya? ... Jadi, namanya juga anak-anak, dipanggil ya, mau aja. Pertama dibawa cerita-cerita, waktu itu kan baru mulai puber, jadi keinginan untuk tahu tentang seks lebih gede, jadi dia memanfaatkannya. Diraba-raba, sambil ngobrol… . terus, saya dionaniin.... Ya, kalau yang rasanya enak ya, kepingin berulang-ulang… Saya sadar ini sesuatu yang salah, tapi ga tahu, setelah itu dipanggil tetap mau, mungkin karena ada rasa nikmat, terakhir kita yang ketagihan...”
(W1B0009-W2B0013/Hlm )
Semakin hari, rasa ingin tahu Roy dan dorongan untuk memuaskan hasrat
seksualnya semakin meningkat. Pada waktu duduk di bangku SMA, Roy merasa
menyukai Andi (bukan nama sebenarnya), teman sepermainan yang juga duduk di
hasrat seksualnya, Roy mengajak temannya untuk melakukan hubungan seksual.
Pada awalnya, Roy ditolak. Akan tetapi, akhirnya Anto bersedia karena Roy terus
mendekatinya. Akhirnya mereka berhubungan dekat dan sering keluar bareng.
”Oh, itu. Pertama, first love saya, dia teman SMA dulu. Temen dekat rumah juga, jadi ya, kita kenalnya udah lama, sejak SD. Waktu SMP juga sekelas.... Ga tau, bingung juga. Ga ganteng juga dia. Tapi ya, ga tau, saya senang aja sama dia. Jadi awalnya, saya lagi pengen, terus saya ajak dia dan ternyata dia mau. Awalnya dia menolak sih, tapi saya dekatin terus, akhirnya dia mau. Kita sering kelar bareng. Ga ada status pacaran sih, ga ada janji. Waktu itu lebih mengarah ke seks aja, mungkin karena masih remaja.... Enjoy malah. Ya, saya senang aja. Pokoknya jatuh cinta, ya pengen terus ketemu, kayak orang jatuh cinta di cerita-cerita lah. Pernah jatuh cinta kan? Nah, sama aja, cuma objeknya beda, ama laki-laki.” (W1B0009-W2B0013/Hlm )
Lama-kelamaan, Roy mulai merasa dimanfaatkan oleh Andi. Karena, setiap kali
Roy ingin berhubungan, Andi selalu mencari alasan untuk menolak
permintaannya. Namun sebaliknya, ketika Andi menginginkan sesuatu dari Roy,
entah itu uang atau barang, Andi tidak segan-segan untuk mencari Roy. Merasa
tidak puas dengan hubungan seperti itu, Roy memutuskan untuk mengakhiri
hubungannya dengan Andi.
”Tapi terakhir saya rasa sepertinya dia cuma mau memanfaatkan saya deh.... Iya, dia sering-sering minta duit, kalau keluar makan minta dibandarin. Kerena dia merasa aku yang butuh dia, bukan dia. Jadi kalau dia yang lagi butuh, dia datang baik-baik. ...Ya, butuh seks, butuh duit. Kalau misalnya kita yang butuh, kita datangin dia, selalu ada aja alasannya. Begini lah, begitu lah. Males aku. Kalau hubungan yang bisa take and give kan enak, tapi ini ga. Mau enaknya aja dia. Akhirnya lama-lama saya cuekin dia. Ga hubungan lagi....”
(W1B0009-W2B0013/Hlm )
Roy tidak berani berbagi perasaannya dengan orang lain. Ia merasa dirinya