• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemaknaan Hidup Seorang Homoseksual

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pemaknaan Hidup Seorang Homoseksual"

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

Pemaknaan Hidup Seorang Homoseksual

SKRIPSI

Guna Memenuhi Persyaratan

Ujian Sarjana Psikologi

Oleh:

Johan Chandra 041301046

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

BAB I

PENDAHULUAN

I.A. Latar Belakang

“S. berusia 24 tahun, seorang mahasiswa teknik Sipil di salah satu perguruan tinggi di Bandung, mengeluh bahwa dirinya merasa kurang dapat konsentrasi dalam belajar, gairah belajar menurun, sehingga dua semester terakhir ini, ia merasa gagal dalam ujian-ujiannya. S merasa penuh dengan keraguan dan tanda tanya yang selalu mencekam dirinya, yaitu ‘Apakah dirinya seorang homoseksual?’”

(Homoseksualitas, Kasus Seorang Mahasiswa Teknik Sipil - 25-10-2005, 1305 WIB - KOMPAS Cyber Media - Kesehatan.htm)

Pada umumnya, orang-orang memiliki orientasi seksual terhadap lawan

jenisnya. Seorang pria tertarik pada wanita, dan sebaliknya, wanita tertarik pada

pria. Mereka disebut sebagai kaum heteroseksual. Namun, kenyataannya ada

orang-orang yang orientasi seksualnya justru terarah pada sesama jenis. Mereka

lebih tertarik pada orang yang berjenis kelamin yang sama dengan dirinya. Pria

tertarik pada pria dan wanita tertarik pada wanita. Mereka inilah yang disebut

sebagai kaum homoseksual, lesbian untuk wanita homoseksual dan gay bagi pria

homoseksual (Kompas, 26 September 2006).

Pada kenyataannya, fenomena homoseksual bukanlah hal yang baru.

Hubungan ini sudah ada sejak zaman Yunani Kuno. Ulasan dari Wikipedia (2006)

mengatakan bahwa tokoh-tokoh seperti Alexander Agung, Socrates, dan Julius

Caesar dipercaya memiliki orientasi homoseksual. Selain itu, sebuah survei

antropologi menemukan bahwa 50% suku bangsa yang ada di dunia

(3)

dapat diterima di sebagian besar budaya yang berkembang saat ini, termasuk di

Indonesia. Akibatnya, masih banyak kaum homoseksual yang tidak berani

menunjukkan jati diri mereka.

Juliastuti (2000), seorang pemerhati kaum gay, dalam esainya melaporkan

bahwa sejak peristiwa Stonewall tahun 1968 tentang pembangkangan kaum

homoseksual untuk memperjuangkan hak-haknya, menghasilkan gerakan yang

nyata bagi kaum homoseksualitas untuk lebih menyatakan keberadaan mereka,

tidak lagi takut-takut dan bersembunyi dalam mengungkapkan orientasinya.

Kajian-kajian dengan topik homoseksual juga berkembang dengan pesat dan

mulai bermunculan komunitas-komunitas homoseksual seperti GAYa Nusantara

atau Lambda Indonesia, yang menyuarakan hak-hak mereka sekaligus sebagai

wadah berkumpul dan berbagi pengalaman. Sampai saat ini, keberadaan kaum

homoseksual sudah menjadi rahasia umum. Bahkan di beberapa negara seperti

Kanada dan Belanda telah mengesahkan pernikahan pasangan sejenis

(http://kunci.or.id/esai/nws/05/gay.htm, 2000).

Banyak faktor yang melatarbelakangi seseorang untuk memiliki orientasi

seksual terhadap sesama jenis. Masters dan Johnson (1979, dalam Caroll, 2005)

mengemukakan teori behavioral tentang homoseksual dan menganggapnya

sebagai perilaku yang dipelajari, sebagai akibat dari reward atau reinforcement

yang menyenangkan atau hukuman atau reinforcement negatif dari perilaku

homoseksualnya. Selama masa dewasa, pria dan wanita bergerak menuju perilaku

sesama jenis jika mereka memiliki hubungan heteroseksual yang buruk dan

(4)

Carroll, 2005) mengatakan bahwa adanya variabel biologis memberi kontribusi

terhadap tempramen masa anak-anak yang mempengaruhi preferensi anak

terhadap kegiatan sex-typical atau sex-atypical dan teman sebayanya, yang

mengarah pada munculnya orientasi homoseksual.

Teori exotic-becomes-erotic yang dikemukakan oleh Bem (1996)

mengatakan bahwa perasaan seksual berubah dari pengalaman jender sejenis

sebagai lebih eksotis, atau berbeda, daripada dengan lawan jenis. Artinya ketika

kita merasa nyaman berhubungan dengan teman sesama jenis, kita telah

memutuskan untuk memilih orientasi seksual yang ingin kita jalankan. Hal ini

terungkap saat penulis berkomunikasi dengan Budi, seorang gay berusia 48 tahun

(bulan Oktober 2007):

“Saya tidak pernah berhubungan seks dengan wanita. Saya tidak pernah suka dengan wanita sejak kecil. Tidak tahu kenapa. Tapi saya rasa pria lebih tahu bagaimana memuaskan pria.”

(komunikasi personal Oktober 2007)

Mereka yakin bahwa menjadi gay adalah pilihan hidupnya. Bagi Andi,

menjadi gay itu adalah pilihan sebagaimana yang diungkapkan berikut ini:

"Hidup itu pilihan, gue pengen kayak gini. Gue milih ini karena gue udah siap. Kebanyakan orang suka let it flow dan tahu-tahu mereka stuck, ’kok gue udah sejauh ini ya?’”

(Boulevard's Blog June 2007.htm)

Kenyataan bahwa homoseksual merupakan pilihan masing-masing orang

tidak membuat hidup sebagai seorang homoseksual sebagai sesuatu yang

gampang untuk dijalankan, terutama ketika lingkungan tidak bisa menerima

aktivitas yang dilakukannya (Carroll, 2005). Untuk memahami pendapat orang

(5)

wawancara dan terungkap bahwa homoseksual belum sepenuhnya diterima oleh

masyarakat:

”Homo?Ih, aku bakal lari kalau ketemu mereka....”

”...Saya sih bisa menerima mereka, tapi yang penting mereka tidak menyukai suami saya. Hahaha....” (komunikasi personal/Agustus, 2007)

Bagi kebanyakan orang, menemukan bahwa identitas diri sebagai

homoseksual dapat menyakitkan dan membingungkan, seperti terungkap dalam

kutipan berikut:

“Here I was, with a good job, close friends who I know would not abandon me when they learned I was gay. I had many gay friends, so I had support network. My family is open, so I wasn’t worried about them rejecting me. And still, I cried myself to sleep every night and woke up each morning feeling like I had been kicked in the solar plexus.”

(Carroll, 2005:hlm. 330)

Orang tersebut, yang memiliki segala dukungan dan kelebihan dalam

hidupnya, masih mengalami kesulitan dan kebingungan. Kesulitan yang lebih

banyak akan dialami oleh orang-orang yang merasa akan ditolak oleh keluarga

dan teman-temannya (Carroll, 2005).

Ada dua istilah utama dalam wacana homoseksual modern, yaitu:

”closet”(kloset, tertutup) dan “coming out” (keluar). Istilah ’kloset’ mengacu

pada individu yang masih menyimpan jati dirinya sedangkan istilah “coming out”

merujuk pada individu yang telah terbuka kepada publik mengenai

homoseksualitasnya. Kategori “kloset” digambarkan sebagai orang-orang yang

menjalani hidupnya dengan kepalsuan, tidak bahagia, dan tertekan oleh posisi

(6)

pertahanan yang dibuat untuk menghadapi norma-norma masyarakat

heteroseksual di sekitarnya (http://kunci.or.id/esai/nws/05/gay.htm, 2000).

Memutuskan untuk mengungkapkan jati diri bukanlah hal yang bersifat

sementara karena dengan demikian, seorang homoseksual harus memiliki

kemampuan “manajemen informasi” seumur hidup, menyediakan alasan yang

berbeda bagi keluarga, teman, dan orang lain dalam konteks yang berbeda (Cain,

1991) seperti dalam kutipan berikut:

“I developed crushes on female classmates but felt so ashamed that I would cry myself to sleep at night. I desperately wanted to make myself normal like the other girls. Girls and boys, were pairing off into couples and kissing at middle-school parties, and kids who didn’t participate were called “faggot” and “dyke,” words that terrified me because I suspected they had something to do with who I was…. …I realized I was a lesbian but had no idea where to go…. …I worried that maybe I was the only one…. … I was as repressed as a teenager can possibly be, and I just wasn’t happy. I prayed that God would make me into someone “normal” that no one would hate…. … I didn’t want to be different, or hated, or bashed – I wanted to be invisible…. … I swallowed a bottle of Tylenol 4 with codeine, and waited to die…. … I knew that I wanted to come out, but I was terrified that it would kill my parents.”

(Carroll, 2005:hlm. 342)

(7)

(Homoseksual Jangan Menikah « seksfile.htm, 2007)

Lesbian atau gay yang berusia dewasa biasanya lebih terbuka pada

teman-temannya daripada pada keluarganya. Namun, kebanyakan homoseksual

mengalami penolakan oleh teman-teman mereka yang memiliki orientasi

heteroseksual. Pada sebuah studi yang dilakukan oleh D’Augelli & Herschberger

(1993); Remafedi (1987), ditemukan bahwa 46% pemuda-pemudi gay dan lesbian

mengatakan bahwa mereka kehilangan teman setelah membeberkan orientasi

seksual mereka (Carroll, 2005).

Ditemukan bahwa homoseksual yang ditolak oleh orang tuanya

mengalami peningkatan isolasi, kesepian, depresi, bunuh diri, homelessness,

prostitusi dan infeksi yang ditularkan secara seksual (Armesto, 2001 dalam

Carroll, 2005). Resiko mengalami kecemasan, depresi, dan gangguan psikiatris

lainnya lebih tinggi dialami oleh kaum homoseksual daripada heteroseksual

(Cochran, 2001 dalam Carroll, 2005).

Takut orientasi seksualnya diketahui orang lain, terutama oleh orang tua,

juga dialami oleh seorang homoseksual bernama Anto (bukan nama sebenarnya),

32 tahun, saat peneliti berkomunikasi dengannya.

”Ada sih, beberapa teman dekat yang tahu. Tapi kalau bisa jangan semua orang tahu, apalagi orang tua. Gimana ya, mereka pasti pengen anaknya bisa berkeluarga.... ...Kalau ketahuan bisa berabe lah. Tapi untung mereka sekarang ada di Jakarta, jadi mereka tidak tahu apa yang saya lakukan di sini.”

(komunikasi personal/Agustus 2007)

Keinginan bunuh diri juga tercermin dalam kutipan berikut ini:

(8)

try to kill myself. Maybe I’ll get some sympathy then. Maybe they’ll try to understand I have to tell someone, ask someone. Who?!! Dammit all, would someone please help me? Someone, anyone. Help me. I’m going to kill myself if they don’t.”

(Carroll, 2005:hlm. 330)

“Perbedaan bukanlah sesuatu yang disukai…. …saat kau berbeda, kau jadi makhluk freak, nerd, atau si homo. Saat kau berbeda, kau akan jadi sasaran bullying mereka yang mayoritas. Belum lagi jika kau berasal dari keluarga yang kurang harmonis, di mana keluarga tidak bisa jadi pilar tempatmu bersandar….. … Bayangkan betapa takutnya dirimu saat mengetahuinya. Kau tentu tidak mau dipanggil si homo, banci, lesbi, bencong, lines, atau apalah sebutan lainnya selama di sekolah, kan? Atau bahkan kau bisa dipukuli di sekolah setiap hari karena alasan bahwa dirimu “beda”. Rasa takut dan bingung itu membuat banyak remaja seakan-akan merasa berada dalam lubang hitam tergelap dalam hidupnya. Saya sendiri pernah mengalaminya. Satu kali. Berpikir untuk mengakhiri hidup agar orang tidak perlu tahu bahwa saya lesbian...

(http://rahasiabulan.blogspot.com, 2007)

Orang tua dari anak homoseksual juga mengalami kesulitan dalam

pembelajaran untuk menerima orientasi seksual anak mereka. Hal ini

dilatarbelakangi oleh kecenderungan berpikir bahwa homoseksual sebagai sesuatu

yang tidak diajarkan oleh orang tua. Orang tua dapat secara tiba-tiba merasa tidak

mengenal anaknya, bahwa anak mereka adalah orang asing, atau khawatir bahwa

mereka telah melakukan hal yang salah sebagai orang tua (Fields, 2001

a;Strommen,1989 dalam Carroll, 2005). Orang tua yang memiliki anak-anak gay,

lesbian atau biseks cenderung bereaksi dengan kekecewaan, malu, dan terkejut

ketika mengetahui orientasi seksual anaknya (LaSala, 2000, dalam Carroll 2005).

Masa dewasa adalah waktu dimana seorang manusia mengeksplorasi dan

mengeksploitasi identitas dirinya yang telah terbentuk pada tahap perkembangan

(9)

masa inilah biasanya seseorang memperbarui apa yang ia ketahui tentang hidup,

mencapai pemahaman baru mengenai dirinya dan menentukan jalan hidup. Masa

dewasa adalah ketika seorang individu menilai kembali prioritas dan nilai

personal mereka yang nantinya berpengaruh pada kemampuannya untuk

memperoleh cinta, kesenangan, dan rasa kebermaknaan dalam hidupnya

(Corr,Nabe,Corr, 2003).

Setiap orang, tidak terkecuali homoseksual, akan senantiasa mencari

makna dalam menjalani kehidupannya karena hidup selalu memiliki makna dalam

keadaan apa pun, bahkan keadaan yang paling menyedihkan sekalipun. Orang

mengalami berbagai kejadian dan situasi dalam hidupnya yang selalu menawarkan

kesempatan untuk memberikan makna dalam hidupnya. (Frankl, dalam Barnes

2000).

Proses pencarian makna dimulai dengan memiliki kebebasan untuk

berkehendak (freedom to will), kehendak untuk hidup bermakna (will to meaning),

dan menentukan serta menemukan makna hidup (meaning of life). Manusia bukan

saja mampu mengambil jarak (to detach) terhadap berbagai kondisi di luar

dirinya, melainkan juga terhadap kondisi di dalam dirinya sendiri

(self-detachment). Kemampuan inilah yang menyebabkan manusia disebut the self

determining being yang menunjukkan bahwa manusia memiliki kebebasan untuk

menentukan apa yang dianggap penting dan baik bagi dirinya yang harus

diimbangi dengan tanggung jawab (Bastaman, 1996).

Frankl (dalam Bastaman, 2007) menyatakan tiga kelompok nilai yang

(10)

kreatif (Creative Values), nilai-nilai Pengalaman (Experiental Values), nilai-nilai

bersikap (Attitudinal Values). Bastaman (2007) menambahkan satu komponen

lain yang dapat menjadikan hidup ini menjadi lebih bermakna, yaitu nilai-nilai

Harapan (Hopeful Values).

Reaksi lingkungan, khususnya orangtua, dan ketakutan-ketakutan yang

muncul dalam diri homoseksual dapat membuat hidupnya menjadi hampa, bosan

dan tidak bertujuan. Ketika kita merasa takut tidak bisa memenuhi harapan orang

lain, kita akan berusaha membatasi diri kita dalam berhubungan dengan orang

lain. Konflik-konflik yang muncul akibat pilihan yang kita ambil tidak sesuai

dengan tuntutan lingkungan akan mempengaruhi makna hidup yang dijalani

seseorang, dalam hal ini kaum homoseksual. Akibatnya, hidup mereka senantiasa

berada dalam ketakutan, tidak aman, dan tidak bisa menjadi diri mereka apa

adanya (Frankl, dalam Barnes, 2000).

Bagi orang yang berada dalam keraguan, segala sesuatu terlihat negatif

dan dipertanyakan. Sikap yang negatif akan menghasilkan perasaan hampa

(vacuum) termasuk nihilsm, reductionism, dan pandeterminism. Nihilsm

didefinisikan sebagai penyangkalan makna, dan karena penyangkalan ini,

seseorang tidak menemukan pentingnya pencarian makna karena memang tidak

ada. Reductionism melibatkan penyangkalan keinginan untuk hidup bermakna,

dan karenanya percaya bahwa tidak perlu mencari makna karena tidak memiliki

cara-cara untuk mencapai hidup bermakna. Pandeterminism terdiri dari kerangka

(11)

sepenuhnya ditentukan oleh masa lalu, gen, dorongan-dorongan psikologis, dan

lingkungan (Barnes, 2000).

Keadaan sebaliknya juga mungkin terjadi. Kaum homoseksual justru

menemukan makna hidupnya tanpa menjadikan orientasi seksual sebagai

hambatan dalam menjalani hidup yang bermakna. Mereka menjalani kehidupan

sehari-hari dengan penuh semangat dan gairah hidup dan jauh dari perasaan

hampa. Mereka juga mempunyai tujuan hidup yang jelas dan kegiatan yang

terarah. Selain itu, mereka mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan, dalam

arti menyadari batasan-batasan lingkungan, tetapi dalam batasa itu mereka tetap

dapat menentukan sendiri apa yang paling baik untuk mereka lakukan. Mereka

benar-benar menghargai hidup dan kehidupan, karena mereka menyadari bahwa

hidup dan kehidupan itu menawarkan makna yang harus mereka penuhi

(Bastaman, 1996).

I.B. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan fenomena di atas, peneliti ingin mengetahui bagaimana para

homoseksual memaknai hidupnya mengingat mereka hidup di tengah ketakutan

akan lingkungan yang memberikan penolakan dan reaksi negatif terhadap kaum

homoseksual, namun tetap saja mereka bertahan?

Bagaimana mereka mengambil sikap dalam menjalani proses pencarian

(12)

I.C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

I.C.1. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh pemahaman

mengenai pemaknaan hidup kaum homoseksual, khususnya yang

ada di kota Medan.

I.C.2. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah untuk menambah

khasanah dalam pembelajaran mengenai homoseksual dan

memberi sumbangan bagi ilmu psikologi, khususnya Psikologi

Klinis.

2. Manfaat praktis

Manfaat praktis dari penelitian ini adalah memberikan pemahaman

tentang kekuatan dan kelemahan yang dimiliki kaum homoseksual

dalam proses pencarian makna hidup. Selain itu, diharapkan

penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran bagi

kaum homoseksual dalam memaknai hidupnya.

I.D. Sistematika Penulisan

Laporan hasil penelitian ini disusun dengan sistematika sebagai berikut:

(13)

Dalam bab ini akan disajikan uraian singkat mengenai

latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan

manfaat penulisan serta sistematika penulisan.

Bab II : Landasan Teori

Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan

dalam pembahasan masalah. Adapun teori-teori yang

dimuat adalah teori-teori yang berhubungan dengan

homoseksualitas dan makna hidup.

Bab III : Metode Penelitian

Pada bab ini dijelaskan mengenai metode penelitian yang

digunakan, partisipan penelitian, lokasi penelitian, dan

prosedur penelitian.

Bab IV : Analisis Data dan Interpretasi

Bab ini memuat deskripsi data, rekonstruksi data, analisa

data, dan pembahasan.

Bab V : Kesimpulan dan Diskusi

Pada bab ini akan dijelaskan kesimpulan dari penelitian

ini, diskusi tentang temuan selama proses penelitian dan

saran yang diajukan berkaitan dengan penelitian ini.

(14)

BAB II

LANDASAN TEORI

II.A. Homoseksual

II.A.1. Pengertian Homoseksual

Orientasi seksual digambarkan sebagai objek impuls seksual sesesorang:

heteroseksual (jenis kelamin berlawanan), homoseksual (jenis kelamin sama) atau

biseksual (kedua jenis kelamin) (Kaplan, 1997).

Istilah “homoseksual” paling sering digunakan untuk menggambarkan

perilaku jelas seseorang, orientasi seksual, dan rasa identitas pribadi atau sosial.

Hawkin (dalam Kaplan, 1997) menulis bahwa istilah “gay” dan “lesbian”

dimaksudkan pada kombinasi identitas diri sendiri dan identitas sosial; istilah

tersebut mencerminkan kenyataan bahwa orang memiliki suatu perasaan menjadi

kelompok sosial yang memiliki label sama.

Homoseksualitas mengacu pada interaksi seksual dan/atau romantis antara

pribadi yang berjenis kelamin sama. Homoseksual juga digunakan untuk merujuk

pada hubungan intim dan/atau hubungan seksual di antara orang-orang berjenis

kelamin yang sama, yang bisa jadi tidak mengidentifikasi diri mereka sebagai gay

atau lesbian. Homoseksualitas dapat mengacu pada:

 orientasi seksual yang ditandai dengan kesukaan seseorang dengan

orang lain yang mempunyai kelamin sejenis secara biologis atau

(15)

 Perilaku seksual dengan seseorang dengan gender yang sama tidak

peduli orientasi seksual atau identitas gender.

 Identitas seksual atau identifikasi diri, yang mungkin dapat mengacu

kepada perilaku homoseksual atau orientasi homoseksual (Wikipedia,

2007).

Dengan demikian maka yang dimaksud dengan homoseksual mengacu

pada orang-orang yang memiliki dorongan impuls, preferensi, perilaku seksual

dan ketertarikan secara fisik, emosi dan seksual dengan orang lain yang memiliki

jenis kelamin sama serta orang-orang yang mengidentifikasikan diri mereka

sebagai homoseksual.

II.A.2. Latar Belakang Perkembangan Homoseksual

Orientasi seksual orang lebih banyak ditentukan oleh kombinasi antara

faktor genetik, hormonal, kognitif, dan lingkungan (McWhirter, Reinisch &

Sanders, 1989; Money, 1987; Savin – Williams & Rodriguez, 1993; Whitman,

Diamond & Martin, 1993, dalam Santrock, 2002). Sebagian besar ahli dalam hal

homoseksualitas percaya bahwa tidak ada faktor tunggal yang menyebabkan

homoseksualitas dan bobot masing-masing faktor berbeda-beda dari satu orang ke

orang yang lain. Akibatnya, tidak ada satu orangpun yang mengetahui secara pasti

penyebab seseorang menjadi seorang homoseksual (Santrock, 2002).

Teori tentang homoseksual yang berkembang saat ini pada dasarnya dapat

dibagi menjadi dua golongan: esensialis dan konstruksionis. Esensialisme

(16)

dari proses biologi dan perkembangan. Teori ini menyiratkan bahwa

homoseksualitas merupakan abnormalitas perkembangan, yang membawa

perdebatan bahwa homoseksualitas merupakan sebuah penyakit. Sebaliknya,

konstruksionis berpendapat bahwa homoseksualitas adalah sebuah peran sosial

yang telah berkembang secara berbeda dalam budaya dan waktu yang berbeda,

dan oleh karenanya tidak ada perbedaan antara homoseksual dan heteroseksual

secara lahiriah (Carroll, 2005).

Berikut ini jabaran berbagai pendekatan yang memaparkan latar belakang

terbentuknya perilaku homoseksual.

1. Pendekatan Biologis

Teori biologis tentang homoseksual bersifat esensialis yang

mengatakan bahwa perbedaan orientasi seksual disebabkan oleh adanya

perbedaan secara fisiologis. Perbedaan ini bisa disebabkan oleh genetik, hormon,

atau sifat (trait) fisik sederhana.

a. Genetik

Franz Kallman (1952, dalam Carroll, 2005) merupakan pelopor

penelitian yang berusaha menunjukkan komponen genetik pada

homoseksual dengan melakukan penelitian terhadap kembar identik

dan membandingkannya dengan kembar fraternal. Ia menemukan

komponen genetik yang kuat pada homoseksual.

Hammer dkk (1993, dalam Carroll, 2005) menemukan bahwa

homoseksual pria cenderung memiliki saudara homoseksual dari

(17)

homoseksual melalui garis keturuan ibu, menemukannya pada 33

orang dari 40 saudara laki-laki.

Pattatucci (1998, dalam Carroll, 2005) berpendapat bahwa pria gay

memiliki saudara laki-laki gay daripada saudara laki-laki lesbian,

sementara para lesbian memiliki lebih banyak saudara perempuan

lesbian daripada saudara laki-laki gay. Penelitian ini juga menemukan

bukti bahwa gen “gay” ada pada kromosom X tetapi tidak menemukan

gen “lesbian”.

b. Hormon

Beberapa penelitian menemukan bukti bahwa pria homoseksual

memiliki tingkat hormon androgen yang lebih rendah daripada pria

heteroseksual (Dorner, 1988), namun yang lainnya tidak menemukan

adanya perbedaan tersebut (Hendricks et al, 1989). Ellis dkk (1988)

berpendapat bahwa stress selama kehamilan (yang bisa mempengaruhi

tingkat hormon) lebih dapat memicu pembentukan janin homoseksual.

Bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa anak laki-laki yang

menunjukkan perilaku kewanitaan mengalami kesulitan selama masa

prenatal daripada anak laki-laki lainnya (Zuger, 1989). Telah

ditemukan bahwa tingkat hormon awal mempengaruhi orientasi

seksual dan perilaku masa anak-anak yang berhubungan dengan jenis

kelamin (Berenbaum & Snyder, 1995).

Banyak penelitian yang membandingkan tingkat androgen dalam

(18)

umumnya tidak menemukan perbedaan yang signifikan (Green, 1988).

Dari lima studi yang membandingkan tingkat hormon pada lesbian dan

wanita heteroseksual, tiga di antaranya tidak menemukan perbedaan

tingkat testoteron, estrogen, atau hormon lain, sementara dua lainnya

menemukan tingkat testoteron yang lebih tinggi pada lesbian (dan satu

menemukan tingkat estrogen yang lebih rendah) (Dancey, 1990).

c. Fisiologi

Dua artikel pada awal tahun 1990-an melaporkan penemuan

perbedaan otak pada pria homoseksual dan heteroseksual (LeVay,

1991; Swaab & Hofman, 1990). Kedua studi ini memfokuskan pada

hipotalamus, yang diketahui berperan penting pada dorongan seksual,

dan menemukan bahwa daerah-daerah tertentu pada hipotalamus pria

homoseksual berbeda (lebih besar maupun lebih kecil) dengan pria

heteroseksual.

Gallo (2000) juga menemukan perbedaan struktural pada

hipotalamus dalam hubungannya dengan orientasi seksual. Melalui

studi tentang panjang jari, Brown (2002) dan Williams (2000)

menemukan bahwa lesbian memiliki panjang jari yang lebih mirip jari

pria secara umum – jari telunjuk lebih pendek daripada jari manis –

mendukung ide bahwa lesbian mungkin memiliki tingkat testoteron

yang lebih tinggi daripada wanita heteroseksual pada awal

(19)

2. Pendekatan Psikologis

Pendekatan psikologis yang menggambarkan terjadinya homoseksual

berfokus pada pelatihan dan sejarah seseorang dalam menemukan asal

homoseksual. Pendekatan psikologis melihat perkembangan perilaku

homoseksual lebih sebagai produk dari dorongan sosial daripada bawaan lahir

pada orang tertentu (Carroll, 2005).

a. Freud dan Psikoanalitis

Freud (1951, dalam Carroll, 2005) berpendapat bahwa bayi melihat

segala sesuatu sebagai potensi seksual, dan karena pria dan wanita

berpotensi tertarik pada bayi, kita semua pada dasarnya biseksual.

Freud tidak melihat homoseksual sebagai suatu penyakit dan

menuliskan bahwa homoseksual ”bukanlah hal yang memalukan,

bukan degradasi, dan tidak dapat diklasifikasikan sebagai sebuah

penyakit.” Dia bahkan menemukan homoseksual ”dibedakan oleh

perkembangan intelektual yang tinggi dan budaya etis.”

Freud memandang heteroseksualitas pria sebagai hasil

pendewasaan yang normal dan homoseksualitas pria sebagai akibat

oedipus complex yang tidak terselesaikan. Kelekatan pada ibu yang

intens ditambah dengan ayah yang jauh dapat membawa anak laki-laki

pada ketakutan akan balas dendam ayah melalui kastrasi. Setelah masa

pubertas, anak berpindah dari ketertarikan pada ibu menjadi

identifikasi ibu, dan mulai mencari objek cinta yang akan dicari oleh

(20)

pada pria, dan dengan menolak wanita, pria dapat menghindari

perseteruan dengan ayahnya.

Freud juga melihat homoseksual sebagai autoerotis (pemunculan

perasaan seksual tanpa adanya stimulus eksternal) dan narcisistik;

dengan mencintai tubuh yang dimilikinya, seseorang seperti bercinta

pada bayangan dirinya. Namun, pandangan ini ditolak oleh psikoanalis

lainnya yang muncul kemudian, terutama Sandor Rado (1949, dalam

Caroll, 2005) yang mengatakan bahwa manusia tidak biseksual secara

lahiriah dan homoseksualitas adalah keadaan psikopatologis – penyakit

mental. Pandangan inilah (bukan pandangan Freud) yang kemudian

menjadi standar bagi profesi psikiater hingga tahun 1970-an.

Beiber dkk (1962, dalam Carroll, 2005) mengemukakan bahwa

semua anak laki-laki memiliki ketertarikan erotik yang normal

terhadap wanita. Akan tetapi, beberapa anak laki-laki memiliki ibu

posesif yang terlalu dekat dan juga terlalu intim serta menggoda secara

seksual. Sebaliknya, ayah mereka tidak bersahabat atau absen, dan

triangulasi ini mendorong anak untuk berada di pihak ibu, yang

menghambat perkembangan maskulin normalnya. Oleh karena itu,

Beiber mengatakan bahwa ibu yang menggoda menimbulkan

ketakutan akan heteroseksualitas pada diri anak.

Wolff (1971, dalam Carroll, 2005) meneliti keluarga dari lebih dari

100 lesbian dan melaporkan bahwa sebagian besar memiliki ibu yang

(21)

lesbian, para teoritikus percaya bahwa kurangnya kasih sayang dari ibu

menyebabkan anak perempuan mencari kasih sayang dari wanita

lainnya (Carroll, 2005).

b. Ketidaknyamanan Peran Gender

Secara umum ditemukan bahwa pria gay lebih bersifat feminim

daripada pria heteroseksual, sementara lesbian lebih bersifat maskulin

(Bailey et al, 1995; Pillard, 1991). Meskipun temuan ini berhubungan,

yang berarti bahwa sifat cross gender dan kemunculan

homoseksualitas di kemudian hari berhubungan, tetapi tidak memiliki

hubungan sebab akibat.

Green (1987) menemukan bahwa anak laki-laki yang feminim atau

”sissy boy” memakai pakaian lawan jenis, tertarik pada busana wanita,

bermain boneka, menghindari permainan kasar, berkeinginan menjadi

perempuan, dan tidak ingin menjadi seperti ayahnya sejak kecil. Tiga

per empat dari mereka tumbuh menjadi homoseksual atau biseksual,

sedangkan hanya satu dari anak laki-laki maskulin yang tumbuh

menjadi biseksual. ”Sissy boy” tersebut juga cenderung dianianya,

ditolak, dan diabaikan oleh teman sebayanya, lebih lemah daripada

anak laki-laki lainnya, dan memiliki lebih banyak kasus psikopatologi

(Zucker, 1990).

Teori konstuksionis akan mengatakan bahwa anak perempuan

diperbolehkan menunjukkan perilaku maskulin tanpa diejek, dan anak

(22)

tidak berkorelasi dengan kecenderungan menjadi lesbian di kemudian

hari. Teori ini tidak bisa dijadikan pegangan tunggal dalam

menjelaskan homoseksual, karena banyak pria gay yang tidak bersifat

keperempuan-perempuanan pada waktu kecil, dan tidak semua anak

laki-laki yang keperempuan-perempuanan tumbuh menjadi gay.

c. Interaksi Kelompok Teman Sebaya

Berdasarkan catatan bahwa dorongan seksual seseorang mulai

berkembang pada masa remaja, Storm (1981) berpendapat bahwa

orang-orang yang tumbuh lebih cepat mulai tertarik secara seksual

sebelum mereka mengalami kontak yang signifikan dengan lawan

jenis. Karena pacaran biasanya dimulai pada usia sekitar 15 tahun,

anak laki-laki yang dewasa pada usia 12 tahun masih bermain dan

berinteraksi secara umum dengan kelompok dari jenis kelamin yang

sama, sehingga kemungkinan perasaan erotis yang muncul berfokus

pada anak laki-laki juga. Teori ini didukung oleh fakta bahwa

homoseksual cenderung melaporkan kontak seksual yang lebih cepat

dibandingkan heteroseksual. Selain itu, dorongan seksual pria bisa

muncul lebih cepat daripada wanita.

d. Teori Behavioris

Teori behavioral tentang homoseksual menganggap bahwa

perilaku homoseksual adalah perilaku yang dipelajari, diakibatkan

perilaku homoseksual yang mendatangkan hadiah atau penguat yang

(23)

perilaku heteroseksual. Sebagai contoh, seseorang bisa saja memiliki

hubungan dengan sesama jenis menyenangkan, dan berpasangan

dengan lawan jenis adalah hal yang menakutkan, dalam fantasinya,

orang tersebut bisa saja berfokus pada hubungan sesama jenis,

menguatkan kesenangannya dengan masturbasi. Bahkan pada masa

dewasa, beberapa pria dan wanita bergerak menuju perilaku dan

hubungan sesama jenis jika mereka mengalami hubungan

heteroseksual yang buruk dan hubungan homoseksual yang

menyenangkan (Masters & Johnson, 1979, dalam Carroll, 2005).

3. Pendekatan Sosiologi

Pendekatan sosiologis mencoba menjelaskan bagaimana dorongan

sosial menghasilkan homoseksualitas di dalam masyarakat. Konsep-konsep

seperti homoseksualitas, biseksualitas, heteroseksualitas adalah produk dari

imajinasi masyarakat dan tergantung pada bagaimana kita sebagai masyarakat

mendefenisikan sesuatu hal. Dengan kata lain, kita mempelajari cara berpikir

budaya kita dan mengaplikasikannya pada diri kita (Carroll, 2005).

Penggunaan istilah ”homoseksual” yang mengacu pada perilaku

sesama jenis berkembang setelah Revolusi Industri yang membebaskan

orang-orang secara ekonomi sehingga memberikan kesempatan untuk memilih gaya

hidup yang baru di perkotaan (Adam, 1987). Oleh karena itu, pendapat bahwa

apakah seseorang ”homoseksual” atau ”heteroseksual” bukanlah fakta biologis

(24)

4. Pendekatan Interaksional : Biologi dan Sosiologi

Bem (1996) berpendapat bahwa variabel biologis seperti genetik,

hormon, dan neuroanatomi otak, tidak menyebabkan orientasi seksual tertentu,

tetapi lebih berkontribusi pada tempramen masa anak-anak yang mempengaruhi

preferensi anak pada aktivitas dan kelompok sebaya yang sesuai dengan jenis

kelaminnya atau tidak.

Teori exotic-becomes-erotic yang dikemukakan oleh Bem (1996)

mengatakan bahwa perasaan seksual berubah dari pengalaman jender sejenis

sebagai lebih eksotis, atau berbeda dari orang itu, daripada yang berlawanan jenis.

Ia menyatakan bahwa anak-anak gay dan lesbian memiliki teman bermain lawan

jenis ketika tumbuh, dan membuat mereka melihat sesama jenis lebih ”eksotis”

dan menarik.

II.A.3.Tahapan Pembentukan Identitas Diri Homoseksual

Vivienne Cass (1984) mengemukakan model enam tahapan dalam

pembentukan identitas gay dan lesbian. Tidak semua gay dan lesbian mencapai

tahap keenam; tergantung, di dalam masing-masing tahapan, pada seberapa

nyaman seseorang dengan orientasi seksualnya.

Tahapan 1: Identitiy confusion.

Individu mulai percaya bahwa perilakunya bisa didefinisikan sebagai gay atau

lesbian. Mungkin saja timbul keinginan untuk mendefinisikan kembali konsep

orang tersebut terhadap perilaku gay dan lesbian, dengan segala bias dan

(25)

peran tersebut dan mencari informasi, menekan dan menghalangi semua perilaku

gay dan lesbian, atau menyangkal kemiripan dengan semua identitasnya (seperti

pria yang memiliki hubungan sesama jenis di penjara namun tidak percaya bahwa

dia adalah gay ”yang sebenarnya”).

Tahapan 2: Identity comparison.

Individu menerima potensi identitas dirinya gay; menolak model heteroseksual

tetapi tidak menemukan penggantinya. Orang tersebut mungkin merasa berbeda

dan bahkan kehilangan. Orang yang berada dalam tahapan ini masih menyangkal

homoseksualitasnya. Ia berpura-pura sebagai seorang heteroseksual.

Tahapan 3: Identity tolerance.

Pada tahap ini, individu mulai berpindah pada keyakinan bahwa dirinya mungkin

gay atau lesbian dan mulai mencari komunitas homoseksual sebagai kebutuhan

sosial, seksual dan emosional. Kebingungan menurun, tapi identitas diri masih

pada tahap toleransi, bukan sepenuhnya diterima. Biasanya, individu masih tidak

membeberkan identitas barunya pada dunia heteroseksual dan tetap menjalankan

gaya hidup ganda.

Tahapan 4: Identity acceptance.

Pandangan positif tentang identitas diri mulai dibentuk, hubungan dan jaringan

gay dan lesbian mulai berkembang. Pembukaan jati diri selektif kepada teman dan

keluarga mulai dibuat, dan individu sering membenamkan dirinya sendiri dalam

(26)

Tahapan 5: Identity pride

Kebanggaan sebagai homoseksual mulai dikembangkan, dan kemarahan terhadap

pengobatan bisa mengakibatkan penolakan heteroseksual karena dianggap sebagai

sesuatu yang buruk. Individu merasa cukup bernilai dan cocok dengan gaya

hidupnya.

Tahapan 6: Identity synthesis

Ketika individu benar-benar merasa nyaman dengan gaya hidupnya dan ketika

kontak dengan orang nonhomoseksual meningkat, seseorang menyadari

ketidakbenaran dalam membagi dunia mengkotak-kotakkan dunia dalam ”gay dan

lesbian yang baik” dan ”heteroseksual yang buruk.” Individu menjalani gaya

hidup gay yang terbuka sehingga pengungkapan jati diri tidak lagi sebuah isu dan

menyadari bahwa ada banyak sisi dan aspek kepribadian yang mana orientasi

seksual hanya salah satu aspek tersebut. Proses pembentukan identitas telah

selesai.

II.B. Makna Hidup

II.B.1. Pengertian Makna Hidup

Makna hidup adalah hal-hal yang dianggap sangat penting dan berharga

serta memberikan nilai khusus bagi seseorang sehingga layak dijadikan tujuan

dalam kehidupan (purpose of living). Makna hidup dapat ditemukan dalam setiap

keadaan yang menyenangkan dan tidak menyenangkan, keadaan bahagia, dan

penderitaan. Bila hasrat ini dapat dipenuhi, maka kehidupan yang dirasakan

(27)

ini tak terpenuhi akan menyebabkan kehidupan dirasakan tidak bermakna

(meaningless). Di dalam makna hidup terkandung juga tujuan hidup, yakni

hal-hal yang perlu dicapai dan dipenuhi (Bastaman, 2007).

Dalam teorinya, Victor Frankl menjelaskan tentang tiga aspek dasar

mengenai kebermaknaan hidup yaitu :

a. Manusia memiliki kebebasan untuk berkehendak (freedom to will)

b. Ada kehendak untuk hidup bermakna (will to meaning)

c. Menentukan serta menemukan makna hidup (meaning of life)

Kebebasan berkehendak adalah kebebasan untuk menentukan sikap

(freedom to take a stand) terhadap kondisi-kondisi biologis, psikologis dan

sosiokultural serta sejarah hidupnya. Manusia bukan saja mampu mengambil jarak

(to detach) terhadap berbagai kondisi di luar dirinya, melainkan juga terhadap

kondisi di dalam dirinya sendiri (self-detachment). Kemampuan inilah yang

menyebakan manusia disebut “the self determining being” yag menunjukkan

bahwa manusia memiliki kebebasan untuk menentukan apa yang dianggap

penting dan baik bagi dirinya yang harus diimbangi dengan tanggung jawab

(Bastaman, 1996).

II.B.2. Karakteristik Makna Hidup

Menurut Frankl (dalam Bastaman, 2007), makna hidup memiliki beberapa

karakteristik, yaitu :

a. Makna hidup itu sifatnya unik, pribadi, dan temporer, sehingga tidak

(28)

Apa yang dianggap penting dan berharga bagi seseorang belum tentu

penting dan berharga bagi orang lain.

b. Makna hidup itu spesifik dan nyata, hanya dapat ditemukan dalam

pengalaman dan kehidupan nyata sehari-hari, serta tidak selalu harus

dikaitkan dengan tujuan idealistis, renungan filosofis dan prestasi

akademik yang menakjubkan..

c. Makna hidup memberi pedoman dan arah terhadap kegiatan-kegiatan

yang kita lakukan sehingga makna hidup seakan-akan menantang kita

untuk memenuhinya. Begitu makna hidup ditemukan dan tujuan hidup

ditentukan, kita seakan-akan terpanggil untuk melaksanakan dan

memenuhinya, serta kegiatan kita pun menjadi lebih terarah kepada

pemenuhan itu.

II.B.3. Sumber Makna Hidup

Frankl (dalam Bastaman, 2007) menyatakan tiga kelompok nilai yang

dapat menjadi sumber makna bagi hidup dalam diri manusia, yaitu :

a. Nilai-nilai kreatif (Creative Values)

Dengan “apa yang dapat diberikan bagi kehidupan ini (what we give to

live)”. Maksudnya melalui tindakan-tindakan kreatif atau menciptakan

suatu karya seni atau bahkan dengan melayani orang lain dapat

dikatakan sebagai ungkapan rasa seseorang. Melalui karya dan kerja

seseorang dapat menemukan arti hidup dan menghayati kehidupan

(29)

b. Nilai-nilai Pengalaman (Experiental Values)

Dengan “apa yang dapat kita ambil dari dunia ini” (what we take from

the world). Maksudnya dengan mengalami sesuatu misalnya melalui

kebaikan, kebenaran dan keindahan, dengan menikmati alam alam dan

budaya, atau dengan mengenal manusia lain dengan segala

keunikannya, dengan mencintainya.

c. Nilai-nilai bersikap (Attitudinal Values)

Dengan “sikap yang diambil untuk tetap bertahan terhadap penderitaan

yang tidak dapat dihindari” (the attitude we take toward unavoidable

suffering). Ketika manusia menghadapi nasib buruk atau situasi

menghambat yang tidak bisa diubahnya, dengan kata lain ketika

menderita, dia tetap bisa merealisasikan nilai yang bisa

mengantarkannya kepada makna.

Bastaman menambahkan satu komponen lain yang dapat menjadikan

hidup ini menjadi lebih bermakna, yaitu :

d. Nilai-nilai Harapan (Hopeful Values)

Harapan adalah keyakinan akan terjadinya hal-hal yang baik atau

perubahan yang menguntungkan di kemudian hari. Harapan, sekalipun

belum tentu menjadi kenyataan, dapat memberikan sebuah peluang dan

solusi serta tujuan baru yang menjanjikan yang dapat menimbulkan

(30)

II.B.4 Makna dalam Penderitaan

Makna hidup dapat ditemukan dalam setiap keadaan, baik menyenangkan

maupun tidak menyenangkan, dalam keadaan bahagia maupun derita, karena

manusia selama hidup di dunia ini tidak selalu dalam keadaan menyenangkan

(Bastaman, 1996).

II.B.4.a Penderitaan

Penderitaan merupakan bagian integral dari kehidupan manusia, kerena

eksisstensi manusia senantiasa berkisar antara senang dan susah, tawa dan air

mata, derita dan bahagia. Terlepas dari berat-ringannya, setiap orang dalam

hidupnya pasti pernah mengalami penderitaan (Bastaman, 1996).

Bastaman (1996) menggambarkan penderitaan sebagai perasaan tidak

menyenangkan dan reaksi-reaksi yang ditimbulkannya sehubungan dengan

kesulitan yang dialami seseorang. Sementara itu, dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia (dalam Bastaman 1996) digambarkan penderitaan sebagai proses,

perbuatan, cara menderita, dan penanggungan yang terkait dengan sesuatu yang

tidak menyenangkan, seperti sakit, cacat, kesengsaraan dan kesusahan.

Frankl (dalam Bastaman, 1996) menyatakan tiga hal yang dapat

menimbulkan penderitaan. Tiga ragam penderitaan yang sering ditemukan dalam

kehidupan manusia atau ”the three tragic triads of human existence” antara lain:

1. Rasa sakit (pain), suatu keadaan mental atau fisik yang kurang baik

atau kegelisahan mental dan fisik. Intensitas rasa sakit berkisar mulai

dari setengah gelisah atau perasaan ayng membosankan, hingga

(31)

dapat dirasakan secara menyeluruh atau hanya pada beberapa bagian,

sebagai akibat dari korban kecelakaan atau luka secara fisik atau luka

secara mental, dan biasanya menimbulkan reaksi menghindari,

melarikan diri, atau menghancurka faktor penyebabnya.

2. Rasa bersalah (guilt), merupakan sejenis penderitaan yang berkaitan

dengan perbuatan yang tidak sesuai hati nurani. Hati nurani adalah

unsur kepribadian yang menilai sejauh mana pemikiran, perasaan, dan

tindakan seseorang sesuai dengan tolak ukur tertentu.

3. Kematian (death), baik kematian itu sendiri maupun kematian orang

lain merupakan tragdi alami yang pasti terjadi dan dialami oleh setiap

orang.

II.B.4.b Tahap-Tahap Penemuan Makna dalam Penderitaan

Bastaman (1996) memaparkan beberapa tahap yang harus dilalui

seseorang dalam menemukan dan memenuhi makna hidupnya dalam suatu

penderitaan, yaitu:

1. Tahap derita, yaitu pengalaman tragis dan penghayatan hidup tanpa

makna. Suatu peristiwa tragis dalam hidup seseorang dapat menimbulkan

penghayatan hidup tanpa makna yang ditandai dengan perasaan hampa,

gersang, apatis, bosan, dan merasa tidak lagi memiliki tujuan hidup.

Kebosanan adalah ketidakmampuan seseorang untuk membangkitkan

minat, sedangkan apatis adalah ketidakmampuan seseorang untuk

(32)

2. Tahap penerimaan diri, individu mulai menerima apa yang terjadi pada

hidupnya, pemahaman diri, dan terjadinya perubahan sikap. Munculnya

kesadaran diri biasanya didorong oleh beraneka ragam sebab. Misalnya,

karena perenungan diri, konsultasi dengan para ahli, mendapat pendangan

dari seseorang, hasil do’a dan ibadah, belajar dari orang lain, dan lain-lain.

3. Tahap penemuan makna hidup. Tahap ini ditandai dengan penyadaran

individu akan nilai-nilai berharga yang sangat penting dalam hidupnya.

Hal-hal yang dianggap berharga dan penting itu mungkin saja berupa

nilai-nilai kreatif, nilai-nilai-nilai-nilai penghayatan, dan nilai-nilai-nilai-nilai bersikap.

4. Tahap realisasi (keikatan diri, kegiatan terarah dan pemenuhan makna

hidup). Pada tahap ini, individu akan mengalami semangat dan gairah

dalam hidupnya, kemudian secara sadar melakukan keikatan diri (self

commitment) untuk melakukan kegiatan nyata yang lebih terarah guna

memenuhi makna hidupnya.

5. Tahap kehidupan bermakan (penghayatan bermakna, kebahagiaan).

Keberhasilan dalam menemukan dan memenuhi makna hidup akan

menyebabkan seseorang merasakan kehidupan yang berarti dan pada

akhirnya akan menimbulkan perasaan bahagia.

II.B.5. Kelompok Orang yang Mencari Makna

Frankl membagi dua kelompok orang yang mencari makna :

(33)

Bagi orang yang dalam keraguan, segala sesuatu terlihat negatif dan

dipertanyakan. Mereka mencari tujuan untuk dikejar, ide untuk dipercayai, tugas

untuk dipenuhi, karena mereka menemukan diri mereka berada dalam kekosongan

yang diistilahkan dengan existential vacuum. Mereka tidak melihat adanya tujuan

dalam hidup mereka dan sedang mencari makna.

Jika pencarian makna ini tersangkut dalam suatu kondisi pemanen

keraguan, dan tidak ada perkembangan, mungkin akan menghasilkan neurotis

serius, psikotis,atau bahkan depresi.

b. People in Despair

Adalah mereka yang tadinya memiliki orientasi hidup yang bermakna, tapi

kemudian kehilangan makna itu baik melalui hilangnya rasa percaya atau

menemukan bahwa makna tersebut tidaklah penting atau mengecewakan. Yang

termasuk dalam kelompok ini adalah mereka yang pernah hidup dalam

kesenangan, kekuasaan, kesejahteraan, dan menyadari mereka mengejar sesuatu

yang tidak memiliki kelanjutan , dan sekarang merasa kosong. Realitas ini dapat

mengarah pada kemunduran, perasaan tak bermakna, bahkan pemikiran untuk

(34)

BAB III

METODE PENELITIAN

III.A. Pendekatan Kualitatif

Mengingat masalah yang hendak diungkap dalam penelitian ini, maka

pendekatan kualitatif dipandang sesuai untuk dapat mengetahui bagaimana makna

hidup pada pasangan yang belum memiliki keturunan. Karena makna hidup

adalah sesuatu yang bersifat unik dan personal sehingga apa yang dirasakan

berharga dan penting untuk seseorang, belum tentu berharga dan penting bagi

orang lain sehingga makna hidup antara seseorang akan berbeda dengan orang

lain. Selain itu, makna hidup itu ada dalam kehidupan itu sendiri, sehingga

walaupun pengalaman sebagai homoseksual dirasakan oleh beberapa orang,

namun, makna hidup mereka akan berbeda satu sama lain, karena pengalaman dan

kehidupan mereka berbeda satu sama lain. Sehingga dengan penelitian kualitatif,

dapat dilihat manusia dengan subyektifitasnya. Hal ini sejalan dengan yang

dikemukakan oleh Poerwandari (2001) bahwa dalam penelitian kualitatif, manusia

dipandang dalam segala kompleksitasnya sebagai makhluk subyektif.

Melalui penelitian kualitatif, diharapkan peneliti akan dapat melihat

permasalahan ini dengan lebih mendalam karena turut mempertimbangkan

dinamika, perspektif, alasan, dan faktor-faktor eksternal yang turut mempengaruhi

partisipan penelitian. Hal ini sesuai dengan pendapat Poerwandari (2001) yang

menyatakan bahwa salah satu tujuan penting penelitian kualitatif adalah

(35)

diteliti. Dan sebagian besar aspek psikologis manusia juga sangat sulit direduksi

dalam bentuk elemen dan angka sehingga akan lebih ‘etis’ dan kontekstual bila

diteliti dalam setting alamiah. Artinya tidak cukup mencari “what” dan “how

much”, tetapi perlu juga memahaminya (“why” dan “how”) dalam konteksnya.

III.B. Partisipan dan Lokasi Penelitian

Pada suatu penelitian, populasi dan sampel adalah hal yang harus

diperhatikan. Populasi adalah semua individu untuk siapa kenyataan-kenyataan

yang diperoleh dari sampel penelitian akan digeneralisasi. Sampel adalah

sebahagian dari populasi yang dikenakan langsung dalam penelitian. Sampel

harus bersifat representatif, yaitu dapat mewakili atau menggambarkan dengan

jelas karakteristik populasinya (Hadi, 1999).

III.B.1. Karakteristik Partisipan Penelitian

Sesuai dengan tujuan peneliti ini, maka karakteristik partisipan

yang dipilih adalah:

- pria atau wanita yang memiliki orientasi homoseksual, diketahui

melalui proses wawancara secara langsung ataupun informasi dari

pihak ketiga.

- berusia dewasa, mengingat mereka memiliki kemampuan kognitif

yang lebih stabil dalam menganalisa pengalaman yang telah dilalui

dan dorongan untuk menemukan makna hidup lebih kuat

(36)

III.B.2. Teknik Sampling

Prosedur pengambilan sampel dalam penelitian ini berdasarkan

teknik pengambilan sampel bola salju/berantai (Snowball/Chain

Sampling), yaitu pengambilan sampel dilakukan secara berantai dengan

meminta informasi pada orang yang telah diwawancarai/ dihubungi

sebelumnya. Dengan bertanya pada orang yang telah diwawancarai

mengenai siapa lagi yang dapat memberi informasi, rantai semakin lama

semakin panjang dan bola salju semakin besar (Poerwandari, 2001).

III.B.3. Jumlah Partisipan Penelitian

Penelitian kualitatif ini mengambil sampel 2 (dua) orang

homoseksual. Alasan pengambilan sampel ini yaitu karena penelitian ini

menggunakan penelitian kualitatif, sehingga perlu pendekatan yang

mendalam terhadap subyek. Pendekatan yang maksimal dapat dilakukan

dengan subyek yang tidak terlalu besar, dan jumlah subyek tidak diambil

satu orang saja dengan alasan agar dapat dibandingkan antara subyek yang

satu dengan subyek yang lain dan dapat melihat adanya perbedaan

individual.

III.B.4. Lokasi Penelitian

Lokasi dilakukannya penelitian ini adalah di kota Medan.

Pemilihan kota Medan dikarenakan peneliti memang berdomisili di kota

Medan dan dengan demikian akan memberikan kemudahan bagi peneliti

(37)

III.C. Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, peneliti mengumpulkan data dengan menggunakan

metode wawancara dan selama wawancara akan dilakukan observasi.

III.C.1. Wawancara

Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah

wawancara mendalam (in-depth interview). Banister (1994) menjelaskan

bahwa wawancara mendalam adalah wawancara yang tetap menggunakan

pedoman wawancara, namun penggunaannya tidak sekedar wawancara

terstruktur.

III.D. Alat Bantu Pengumpulan Data

Menurut Poerwandari (2001) bahwa yang menjadi alat terpenting dalam

penelitian kualitatif adalah peneliti sendiri. Namun, untuk memudahkan

pengumpulan data, peneliti membutuhkan alat bantu, seperti alat perekam (tape

recorder), pedoman wawancara, dan catatan lapangan.

III.D.1. Alat Perekam (tape recorder)

Poerwandari (2001) menyatakan sedapat mungkin wawancara

perlu direkam dan dibuat transkripnya secara verbatim (kata demi kata),

sehingga tidak bijaksana jika peneliti hanya mengandalkan ingatan. Untuk

tujuan tersebut, perlu digunakan alat perekam agar peneliti mudah

(38)

kembali apabila ada hal yang masih belum lengkap atau belum jelas.

Penggunaan alat perekam ini dilakukan dengan seizin subyek.

III.D.2. Pedoman Wawancara

Pedoman wawancara berisi “open-ended question” yang bertujuan

agar arah wawancara tetap sesuai dengan tujuan penelitian (Poerwandari,

2001). Pedoman wawancara ini dibuat berdasarkan pada teori makna

hidup yang mencakup sumber-sumber makna hidup dan metode

menemukan makna hidup yang dikemukakan oleh Frankl.

Pedoman wawancara ini juga digunakan untuk mengingatkan

peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi

daftar pengecek (check list) apakah aspek-aspek yang relevan telah

dibahas atau ditanyakan. Dengan pedoman yang demikian, peneliti harus

memikirkan bagaimana pertanyaan tersebut dijabarkan secara konkrit

dalam kalimat tanya, sekaligus menyesuaikan pertanyaan dengan konteks

aktual saat wawancara berlangsung (Poerwandari, 2001).

Pedoman wawancara digunakan agar wawancara yang dilakukan

tidak menyimpang dari tujuan penelitian. Pedoman wawancara ini juga

sebagai alat bantu untuk mengkategorisasikan jawaban sehingga

memudahkan pada tahap analisis data. Pedoman ini disusun tidak hanya

berdasarkan tujuan penelitian, tapi juga berdasarkan pada berbagai teori

(39)

III.D.3. Catatan Lapangan

Catatan lapangan menurut Bogdan dan Biklen (dalam Moleong,

2000) adalah catatan tertulis tentang apa yang didengar, dilihat, dialami,

dipikirkan dalam rangka pengumpulan data dan refleksi terhadap data

dalam penelitian kualitatif. Catatan lapangan dibuat setelah pulang ke

tempat tinggal dengan mengulang kembali hasil rekaman dari tape

recorder.

Selain itu di dalam catatan lapangan bisa diketahui apa yang

subyek alami selama proses observasi berlangsung, dari catatan lapangan

ini juga terdapat aspek deskriptif dan reflektif, yaitu gambaran jelas

mengenai apa yang diobservasi dan kemudian melakukan refleksi terhadap

gambaran yang telah dibuat sebelumnya (Gay & Airasian, 2003).

III.E. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan

yang diungkapkan Bogdan (dalam Moleong, 2006). Terdapat tiga tahapan dalam

prosedur penelitian kualitatif, yaitu tahap pralapangan, pekerjaan lapangan, dan

tahap analisis data.

III.E.1. Tahap Pralapangan

Pada tahap persiapan penelitian, peneliti menggunakan sejmlah hal

yang diperlukan untuk melaksanakan penelitian (Moleong, 2006), yaitu

(40)

a.Mengumpulkan informasi dan teori yang berhubungan dengan

homoseksualitas dan makna hidup baik yang berasal dari teori maupun

dari literatur lepas seperti artikel.

b. Menyusun pedoman wawancara.

Peneliti menyusun butir-butir pertanyaan berdasarkan kerangka teoritis

untuk menjadi pedoman dalam proses wawancara.

c. Persiapan untuk pengumpulan data.

Peneliti mencari beberapa orang partisipan yang sesuai dengan kriteria

sampel yang telah ditentukan, meminta kesediaannya (informed consent)

untuk menjadi partisipan dan mengumpulkan informasi tentang calon

partisipan tersebut.

d. Membangun rapport.

Setelah memperoleh kesediaan dari partisipan penelitian (tanda tangan

partisipan pada lembaran informed consent), peneliti meminta kesediaan

untuk bertemu dan mulai membangun rapport. Setelah itu, peneliti dan

partisipan penelitian mengadakan kesepakatan yang meliputi waktu dan

tempat wawancara serta persyaratan lain yang diajukan kedua belah

pihak.

III.E.2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Setelah diadakan kesepakatan, maka peneliti mulai melakukan

wawancara, namun sebelumnya peneliti membina rapport agar partisipan

(41)

wawancara akan dilakukan di tempat yang ditentukan oleh subjek

penelitian dan akan direkam dengan tape recorder mulai dari awal hingga

akhir. Namun, pada wawancara dengan responden I, tidak digunakan tape

recorder karena tidak diizinkan oleh responden I. Peneliti juga akan

mencatat bahasa non verbal partisipan ketika wawancara berlangsung.

III.E.3. Tahap Pencatatan Data

Untuk memudahkan pencatatan data, peneliti menggunakan alat

perekam sebagai alat bantu agar data yang diperoleh dapat lebih akurat dan

dapat dipertanggungjawabkan. Sebelum wawancara dimulai, peneliti

meminta izin kepada partisipan untuk merekam wawancara yang akan

dilakukan. Setelah wawancara dilakukan, peneliti membuat verbatim dari

wawancara tersebut.

III.F. Metode Analisis Data

Beberapa tahapan dalam menganalisis data kualitatif menurut Poerwandari

(2001), yaitu :

1. Koding

Koding adalah proses membubuhkan kode-kode pada materi yang

diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasikan dan

mensistemasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat

memunculkan dengan lengkap gambaran tentang topik yang dipelajari.

(42)

penting, meskipun peneliti yang satu dengan peneliti yang lain

memberikan usulan prosedur yang tidak sepenuhnya sama. Pada

akhirnya, penelitilah yang berhak (dan bertanggungjawab) memilih

cara koding yang dianggapnya paling efektif bagi data yang

diperolehnya (Poerwandari, 2001).

2. Organisasi Data

Highlen dan Finley (dalam Poerwandari, 2001) menyatakan bahwa

organisasi data yang sistematis memungkinkan peneliti untuk :

a) memperoleh data yang baik,

b) mendokumentasikan analisis yang dilakukan,

c) menyimpan data dan analisis yang berkaitan dalam

penyelesaian penelitian.

Hal-hal yang penting untuk disimpan dan diorganisasikan adalah data

mentah (catatan lapangan dan kaset hasil rekaman), data yang sudah

diproses sebagiannya (transkrip wawancara), data yang sudah

ditandai/dibubuhi kode-kode khusus dan dokumentasi umum yang

kronologis mengenai pengumpulan data dan langkah analisis.

3. Analisis Tematik

Penggunaan analisis tematik memungkinkan peneliti menemukan

‘pola’ yang pihak lain tidak bisa melihatnya secara jelas. Pola atau

tema tersebut tampil seolah secara acak dalam tumpukan informasi

yang tersedia. Analisis tematik merupakan proses mengkode

(43)

indikator yang kompleks, kualifikasi yang biasanya terkait dengan

tema itu atau hal-hal di antara gabungan dari yang telah disebutkan.

Tema tersebut secara minimal dapat mendeskripsikan fenomena dan

secara maksimal memungkinkan interpretasi fenomena.

4. Tahapan Interpretasi/analisis

Kvale (dalam Poerwandari, 2001) menyatakan bahwa interpretasi

mengacu pada upaya memahami data secara lebih ekstensif sekaligus

mendalam. Ada tiga tingkatan konteks interpretasi yang diajukan

Kvale (dalam Poerwandari, 2001), yaitu : pertama, konteks interpretasi

pemahaman diri (self understanding) terjadi bila peneliti berusaha

memformulasikan dalam bentuk yang lebih padat (condensed) apa

yang oleh subyek penelitian sendiri dipahami sebagai makna dari

pernyataan-pernyataannya. Interpretasi tidak dilihat dari sudut pandang

peneliti, melainkan dikembalikan pada pemahaman diri subyek

penelitian, dilihat dari sudut pandang dan pengertian subyek penelitian

tersebut. Kedua, konteks interpretasi pemahaman biasa yang kritis

(criticial commonsense understanding) terjadi bila peneliti berpijak

lebih jauh dari pemahaman diri subyek penelitiannya. Peneliti

mungkin akan menggunakan kerangka pemahaman yang lebih luas

daripada kerangka pemahaman subyek, bersifat kritis terhadap apa

yang dikatakan subyek, baik dengan memfokuskan pada ‘isi’

pernyataan maupun pada subyek yang membuat pernyataan. Meski

(44)

umum : peneliti mencoba mengambil posisi sebagai masyarakat umum

dalam mana subyek penelitian berada. Ketiga, konteks interpretasi

pemahaman teoritis adalah konteks paling konseptual. Pada tingkat

ketiga ini, kerangka teoritis tertentu digunakan untuk memahami

pernyataan-pernyataan yang ada, sehingga dapat mengatasi konteks

pemahaman diri subyek ataupun penalaran umum.

5. Pengujian Terhadap Dugaan

Dugaan adalah kesimpulan sementara. Dengan mempelajari data kita

mengembangkan dugaan-dugaan yang juga merupakan

kesimpulan-kesimpulan sementara. Dugaan yang dikembangkan tersebut juga

harus dipertajam dan diuji ketepatannya. Begitu tema-tema dan

pola-pola muncul dari data, untuk meyakini temuannya, selain mencoba

untuk terus menajamkan tema dan pola yang ditemukan, peneliti juga

perlu mencari data yang memberikan gambaran berbeda dari pola-pola

yang muncul tersebut. Hal ini berkaitan erat dengan upaya mencari

penjelasan yang berbeda-beda mengenai data yang sama. Berbagai

perspektif harus disesuaikan untuk memungkinkan keluasan analisis

(45)

BAB IV

ANALISA DATA DAN INTERPRETASI

Pada bagian ini akan diuraikan hasil analisa wawancara dalam bentuk

narasi. Untuk mempermudah pembaca dalam memahami makna hidup pada

homoseksual maka data akan dijabarkan, dianalisa, dan diinterpretasi per subjek.

Analisa data akan dijabarkan dengan menggunakan aspek-aspek yang terdapat

dalam pedoman wawancara.

IV.A. Responden I

IV.A.1. Analisa Data

IV.A.1.1. Identitas Diri

a. Nama : Roy (bukan nama sebenarnya)

Usia : 41 tahun

Suku : Batak

Agama : Islam

Pendidikan terakhir : Strata 1

Pekerjaan : Pegawai Swasta

Urutan dalam keluarga : anak ke 2 dari 5 bersaudara

b. Tempat dan Tanggal Wawancara

Tanggal Tempat Keterangan

30 November 2007 A&W Restaurant, Sun

Plaza, Jl. Zainul Arifin

No. 7

(46)

IV. A.1.2 Data Observasi

Wawancara pertama dilakukan di sebuah restoran yang tidak terlalu ramai

dengan ukuran sekitar 10 m x 10 m. Kursi dan meja disusun pada tempat yang

tertutup kaca dan ruangan yang terbuka. Setiap meja memiliki empat kursi.

Penerangan di tempat itu cukup bagus. Setelah memesan minuman, peneliti dan

responden memilih tempat duduk yang jauh dari kasir untuk menjaga privasi.

Peneliti dan responden duduk berhadap-hadapan dan wawancara pun dimulai.

Roy memakai baju kemeja dengan bahan kain yang tipis berwarna putih

dan celana panjang yang juga berwarna putih. Rambutnya yang pendek

menunjukkan sedikit uban. Roy juga memakai kacamata.

Roy duduk dengan tangan di atas meja, jari-jari tangan ditangkupkan dan

diletakkan di bagian depan wajahnya, badan agak condong ke meja. Ketika ada

orang yang lewat, Roy menjawab pertanyaan yang diajukan dengan suara yang

lebih pelan. Roy terdiam sejenak ketika harus menjawab pertanyaan yang bersifat

sangat pribadi. Sesekali, Roy juga melihat ke kiri dan ke kanan.

Pada wawancara kedua, Roy memakai baju kemeja berwarna biru.

Sebenarnya, wawancara akan dilakukan di suatu pusat perbelanjaan. Namun, Roy 17 Desember 2007 Jl. Dr. Mansyur Rapor

23 Februari 2008 Restoran Apollo, Sun

Plaza, Jl. Zainul Arifin

No.7.

wawancara

(47)

memutuskan untuk mengganti lkasi wawancara dengan alasan susah mencari

tempat parkir dan suasana yang pasti akan ramai karena hari itu adalah hari

Minggu. Akhirnya, wawancara dilakukan di sebuah restoran yang agak sepi.

Hanya ada sekitar 5-6 pengunjung.

Roy memilih meja yang berada di dekat dinding. De sebelah kiri dan

kanan tempat duduk kami terdapat masing-masing 2 (dua) meja yang tidak

ditempati. Wawancara dimulai dengan ngobrol ringan, kemudian peneliti mulai

mengeluarkan catatan dan mencatat hasil wawancara. Sambil makan, Roy

menjawab pertanyaan dengan santai. Sesekali, badannya dicondongkan ke depan

atau melirik hasil catatan peneliti. Wawancara sempat terganggu sebentar karena

ada 5 (lima) orang yang menempati meja yang ada di samping kiri sehingga Roy

terdiam sebentar kemudian melanjutkan menjawab dengan suara yang pelan. Ia

juga mengingatkan penliti untuk tidak bertanya dengan suara yang keras.

Untunglah, beberapa menit kemudian, orang-orang tersebut berpindah meja

sehingga meja di samping kiri tersebut kembali kosong. Terkadang, sambil

menjawab, Roy memegang dagunya.

IV.A.1.3. Data Wawancara

IV.A.1.3.a Latar Belakang Responden

Roy tumbuh dan berkembang di keluarga yang menerapkan pendidikan

yang ketat. Sejak kecil Roy diajari mengaji dan dijaga dengan baik oleh

keluarganya. Orangtuanya bersikap otoriter, terutama ayahnya. Perkataan orang

tuanya tidak boleh dibantah. Roy dan saudaranya tidak diperbolehkan bebas atau

(48)

SMP Roy dan saudaranya melompat keluar pagar karena ingin bermain di luar

seperti teman-temannya. Sialnya, mereka ketahuan oleh ayahnya dan akibatnya

mereka dipukuli. Mereka tidak berani melawan.

Pada awalnya Roy, merasa memiliki orientasi heteroseksual. Pertama kali

Roy mengalami hubungan seksual sejenis adalah ketika ia berada pada masa

remaja. Waktu itu ia dipanggil oleh orang dewasa yang tidak dikenal untuk diajak

ngobrol. Sambil mengobrol, paha dan alat kelaminnya diraba oleh orang dewasa

tersebut. Akhirnya Roy dimasturbasi. Setelah itu, Roy merasa ketagihan dan tidak

menolak ketika diajak pada kesempatan berikutnya.

Roy menganggap orientasi seksualnya sebagai suatu penyakit. Ia tidak

memberitahukannya kepada keluarga dan berusaha menutupi orientasi seksualnya

serta sangat berhati-hati dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Contohnya,

Roy selalu meminta untuk melihat tanda identitas atau pengenal (KTP atau KTM)

orang yang akan berkenalan dengannya. Hal yang sama juga dialami oleh peneliti

ketika pertama kali berkenalan dengan Roy. Untuk berjaga-jaga agar tidak banyak

berhubungan dengan orang lain, Roy mulai membiasakan diri dengan melakukan

aktivitas sendirian dan bersifat selektif dalam berhubungan dengan orang lain.

Roy telah menjalankan hubungan yang dekat beberapa orang laki-laki.

Meskipun pada awalya merasa enjoy, tetapi pada akhirnya Roy menjalani

hidupnya dengan bertanya-tanya tentang orientasi seksualnya dan merasa ini

adalah suatu ketidakadilan yang diberikan Tuhan kepadanya. Ia juga selalu ingin

(49)

menikah dengan alasan faktor usia dan merasa cocok dengan wanita yang menjadi

calon istrinya ini.

Gambaran makna hidup

Roy mengalamai pengalaman seksual pertamanya ketika masih duduk di

bangku kelas 6 SD. Waktu itu ia baru berusia 12 tahun. Pada waktu itu ada

seorang lelaki dewasa, yang menurut Roy adalah seorang phedofilia,

memanggilnya untuk kemudian diajak mengobrol. Sambil mengobrol, orang

tersebut meraba-raba paha dan alat kelamin Roy. Tidak hanya diraba, Roy

akhirnya dimasturbasi. Hasilnya, Roy merasakan kenikmatan. Beranggapan

bahwa apa yang dilakukannya adalah sesuatu yang salah menurut agama, Roy

berusaha untuk mengendalikan dorongan-dorongan yang muncul. Akan tetapi, ia

seolah menjadi ketagihan dan tak kuasa menolak ketika bertemu kembali dengan

orang tersebut.

”...cuma waktu kelas 5 atau 6 SD, diajak orang dewasa ga di kenal, yang sekarang dikenal apa? Pedofilia ya? ... Jadi, namanya juga anak-anak, dipanggil ya, mau aja. Pertama dibawa cerita-cerita, waktu itu kan baru mulai puber, jadi keinginan untuk tahu tentang seks lebih gede, jadi dia memanfaatkannya. Diraba-raba, sambil ngobrol… . terus, saya dionaniin.... Ya, kalau yang rasanya enak ya, kepingin berulang-ulang… Saya sadar ini sesuatu yang salah, tapi ga tahu, setelah itu dipanggil tetap mau, mungkin karena ada rasa nikmat, terakhir kita yang ketagihan...”

(W1B0009-W2B0013/Hlm )

Semakin hari, rasa ingin tahu Roy dan dorongan untuk memuaskan hasrat

seksualnya semakin meningkat. Pada waktu duduk di bangku SMA, Roy merasa

menyukai Andi (bukan nama sebenarnya), teman sepermainan yang juga duduk di

(50)

hasrat seksualnya, Roy mengajak temannya untuk melakukan hubungan seksual.

Pada awalnya, Roy ditolak. Akan tetapi, akhirnya Anto bersedia karena Roy terus

mendekatinya. Akhirnya mereka berhubungan dekat dan sering keluar bareng.

”Oh, itu. Pertama, first love saya, dia teman SMA dulu. Temen dekat rumah juga, jadi ya, kita kenalnya udah lama, sejak SD. Waktu SMP juga sekelas.... Ga tau, bingung juga. Ga ganteng juga dia. Tapi ya, ga tau, saya senang aja sama dia. Jadi awalnya, saya lagi pengen, terus saya ajak dia dan ternyata dia mau. Awalnya dia menolak sih, tapi saya dekatin terus, akhirnya dia mau. Kita sering kelar bareng. Ga ada status pacaran sih, ga ada janji. Waktu itu lebih mengarah ke seks aja, mungkin karena masih remaja.... Enjoy malah. Ya, saya senang aja. Pokoknya jatuh cinta, ya pengen terus ketemu, kayak orang jatuh cinta di cerita-cerita lah. Pernah jatuh cinta kan? Nah, sama aja, cuma objeknya beda, ama laki-laki.” (W1B0009-W2B0013/Hlm )

Lama-kelamaan, Roy mulai merasa dimanfaatkan oleh Andi. Karena, setiap kali

Roy ingin berhubungan, Andi selalu mencari alasan untuk menolak

permintaannya. Namun sebaliknya, ketika Andi menginginkan sesuatu dari Roy,

entah itu uang atau barang, Andi tidak segan-segan untuk mencari Roy. Merasa

tidak puas dengan hubungan seperti itu, Roy memutuskan untuk mengakhiri

hubungannya dengan Andi.

”Tapi terakhir saya rasa sepertinya dia cuma mau memanfaatkan saya deh.... Iya, dia sering-sering minta duit, kalau keluar makan minta dibandarin. Kerena dia merasa aku yang butuh dia, bukan dia. Jadi kalau dia yang lagi butuh, dia datang baik-baik. ...Ya, butuh seks, butuh duit. Kalau misalnya kita yang butuh, kita datangin dia, selalu ada aja alasannya. Begini lah, begitu lah. Males aku. Kalau hubungan yang bisa take and give kan enak, tapi ini ga. Mau enaknya aja dia. Akhirnya lama-lama saya cuekin dia. Ga hubungan lagi....”

(W1B0009-W2B0013/Hlm )

Roy tidak berani berbagi perasaannya dengan orang lain. Ia merasa dirinya

Referensi

Dokumen terkait

Lah sekarang sama anak Punk ga pernah sekolah hidup di jalanan liar, dia punya modal, dia belajar sablon, dia perkembangan sablonnya memesat, yang sarjana aja bisa turun di

Dengan penuh kesedihan, akhirnya eva gak bisa nolak kemauan gua. Gua menggendong dia sampai ke rumah sakit, dia dirawat dan dokter mengatakan ke gua dengan berat hati kalau eva

ragu karena menurut dia sholatnya akan menjadi lama kalau dia menerapkan cara ini. Saya menyadari kalau memang untuk anak seusia klien akan sulit untuk melakukannya, selain karena

W : Langsung saya kasih kalau mau berangkat sekolah, tapi kalau pagi tidak minta ya ga saya beri berarti anak saya masih punya sisa uang sakunya atau hasil jualan koran

gitu kak kalau hubungan gay itu resikonya lebih tinggi terkena penyakit kayak HIV/AIDS tapi kan tergantung kita gitu juga sih kak kalau emang kita tau beresiko kita main

Akhirnya dengan tertatih saya bisa bangkit.ditambah lagi setelah anak adik saya lahir, saya menjadi lebih terhibur... saya sayang sama dia, seperti anak

Pernah juga itu dia lagi semangat berangkat tapi sayanya yang kecapekan, jadi saya bilang buat minta tolong sama omnya atau siapa.. Tapi dia bilang kalau ga sama ibuk itu

kasih sayang tetapi batin juga harus menyatu. Kalau agamanya berbeda mana bisa dikatakan sebagai ikatan lahir batin? Cinta kasih yang tertinggi adalah menuruti perintah