IDENTIFIKASI MISKONSEPSI SISWA PADA
KONSEP ARCHAEBACTERIA DAN EUBACTERIA
MENGGUNAKAN
TWO-TIER MULTIPLE CHOICE
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh
DWI SEPTIANA
109016100061
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
NIM
109016100061, diajukan kepada FakultasIlmu
Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan telah dinyatakan lulus dalam Ujian Munaqosah pada tanggal6 Mei 2014 dihadapan dewan penguji. Karenaitu,
penulis berhak untuk memperoleh gelar sarjanasl
(s.pd) dalam bidang Pendidikan Biologi.Jakarta,8 Mei 2014
Panitian Ujian Munaqosah
Tanggal Tanda Tangan
Ketua Panitia (Ketua Jurusan Pendidikan IPA) Baiq Hana Susanti" M.Sc
NrP. 19700209 200003 2 00t Pengrji
I
Dr. Ahmad Sofran. M.Pd NIP. 19650115 198703 1020
Penguji
II
Eny S. Rosyidatun MA NIP. 19750924 200604 2 00r
tL.:.0.1:.?
lL
-ot
-2otqMengetahui--r---"
Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
\
LEMBAIT PENGESAI{AN
Skripsi berjudul Idcntifikasi Miskonsepsi Siswa pada Konsep Archacbncteria dan Eubacteria Menggunal<an Tw*Tier Multiple Choice, disusun oleh l)wi Septiana,
NIM.
109016100061, Program Studi Pendidikan Biologi, Jurusan PendidikanIlmu
Pengetahuan Alam, Fakultasllmu
Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. felah melalui bimbingan dan dinyatakan sah sebagai karya ilmiah yang berhak untuk diujikan pada sidang munaqasah sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh fakultas.Jakarta,
April 2014Yang Mengesahkan
Pembimbing
I
['cmbimbingII
\
Irndilah
Sdya yang bertanda kngan di bawah ini,
Nama
TempaUTgl.Lahir
NtM
Jurusan / Prodi
Iudul Skripsi
Lv_Lp)9\pQfl
iet
lqlrfr^r
w
I
liiytntr4r,^r
Stoutrt
:$pE\mHr$t
/4rlEopc€Fq
s^tErrA?tpn
Fopser
..4*efl4c&ALvkw-.ytr.
W!...m9!).4.,
"
F/r\)
fw
{te
g-
ia\tt"d;ftLE
cs1s1O .DosenPembimbing
:l.
.9t:..Vyf*)-a!y:.fA..
z. ..M.QYY... tw.yh11....P.
2.*
t... 11! :5
dengan ini meoyatakan batrwa slcripsi yaag sayabuat benar-benar hasil kalya seadiri daa
saya bertanggungjawab secara akademis atas apa yang saya
tulis-P ernyataar,iru- dibuat sebagai salah satu.syarat Wisuda
)efi*rt*
i ABSTRAK
Dwi Septiana, 109016100061, Identifikasi Miskonsepsi pada Konsep Archaebacteria dan Eubacteria Menggunakan Two-Tier Multiple Choice, Skripsi Program Studi Pendidikan Biologi, Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi miskonsepsi siswa pada konsep Archaebacteria dan Eubacteria menggunakan two-tier multiple choice. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas X-IPA-4 di SMAN 26 Jakarta pada tahun ajaran 2013/2014 yang berjumlah 35 orang siswa. Data tes diagnostik dikumpulkan menggunakan two-tier multiple choice untuk mengidentifikasi pemahaman konsep siswa ke dalam paham konsep, miskonsepsi, tidak paham dan menebak (4 kategori). Pada kategori miskonsepsi didapatkan urutan sub-sub konsep dengan miskonsepsi tertinggi hingga terendah adalah: cara bakteri mendapatkan nutrisi (51.43%), reproduksi bakteri (48.57%), pengelompokan Archaebacteria (41.43%), Pengelompokan Eubacteria (34.28%), peranan bakteri dalam kehidupan (19.99%), ciri-ciri Eubacteria (19.28%), dan ciri-ciri Archaebacteria (2.86%). Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa 31.12% siswa mengalami miskonsepsi pada konsep Archaebacteria dan Eubacteria sedangkan sisa persentase kategori lainnya didominasi oleh kategori menebak.
ii
Thesis, Study Program of Biology Education, Department of Natural Sciences
Education, Faculty of Tarbiya and Teachers’ Sciences, Syarif Hidayatullah
State Islamic University Jakarta, 2014.
The aim of the study is to identify students’ misconceptions in Archaebacteria and Eubacteria Concept Using a Two-Tier Multiple Choice. The method that used in this research is descriptive method and the subject is first class of science students of SMAN 26 Jakarta in 2013/2014 that consists of 35 students. The diagnostic test data was collected by two-tier multiple choice to identify students’ concept understanding into understanding concept, misconception, miss undestranding , and guessing (4 categories). In misconception category was obtained misconception in order from highest to lowest are: how bacteria get nutrition (51.43%), bacteria reproduction (48.57%), grouping of Archaebacteria(41.43%), grouping of Eubacteria bacteria (34.28%), roles in life (19.99%), characteristic of Eubacteria (19.28%), and characteristic of Archaebacteria (2.86%). The result can be concluded that 31.12% of students held misconception in Archaebacteria and Eubacteria concept. The remaining percentage was dominated by guessing category.
iii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Alhamdulillahi robbil ‘alamin, segala puji dan syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberikan berbagai macam rahmat dan nikmat-Nya kepada kita, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah di bidang pendidikan dalam
bentuk skripsi ini. Shalawat dan salam kepada Rasulullah Shalallahu alaihi wa
sallam, para anbiyah, keluarga, sahabat-sahabatanya, dan umatnya yang tetap
istiqomah dalam syariat-Nya.
Skripsi ini merupakan salah satu karya ilmiah bidang pendidikan yang harus
ditempuh untuk memperoleh gelar sarjana (S1) pendidikan oleh mahasiswa FITK
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam
penulisan dan penyusunan skripsi ini tidak akan berlangsung dengan baik tanpa
bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, perkenankanlah penulis menyampaikan
ucapan terima kasih dan penghargaan kepada:
1. Nurlela Rifa‘i, M.A, Ph.D, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Baiq Hana Susanti, M.Sc., Ketua Jurusan Pendidikan IPA.
3. Dr. Zulfiani, M.Pd sebagai dosen pembimbing I atas segala kesabaran, perhatian,
dan bimbingannya dalam penulisan skripsi ini.
4. Meiry Fadilah Noor, M.Si sebagai dosen pembimbing II atas segala kesabaran,
perhatian, dan bimbingannya dalam penulisan skripsi ini.
5. Bapak dan Ibu Dosen, atas ilmu dan bimbingannya selama penulis mengikuti
perkuliahan di Jurusan Pendidikan IPA.
6. Prof. Dr. Cengiz Tuysuz for the explanations of your article.
7. Kepala SMAN 26 Jakarta, Dra. Hj. Lestari yang telah memberikan izin kepada
penulis untuk penelitian skripsi ini. Dra. Sri Praptiningsih, M.Pd dan Dra.
Isliwani Wahab, M.Pd yang telah memberikan bantuan kepada penulis selama
penelitian, Bapak Nanung, bapak dan ibu staf pengajar, serta siswa-siswa SMAN
iv
segenap kasih sayang dan do’a-do’anya untuk kesuksesan penulis. Kakak dan adik-adik, Nurina, Tarida, Titik, Sekar dan Wisnu yang memberikan dorongan
materil, dan moril demi terselesaikannya skripsi ini.
10.Kakek tercinta H. Djafar, terimakasih atas semangat yang kakek berikan, semoga
senantiasa diberikan kesehatan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
11.Kepada sahabat-sahabat seperjuangan Pendidikan Biologi angkatan 2009,
teman-teman dari grup Biogos Hot yang kubanggakan, semua pihak yang berperan
dalam penulisan skripsi ini. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala membalas amal kalian dengan pahala yang berlipat ganda.
Semoga hasil karya ilmiah (skripsi) ini dapat bermanfaat bagi yang memerlukannya,
dan memberikan kontribusi bagi dunia pendidikan.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Jakarta, April 2014
v
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR GAMBAR ... viii
DAFTAR LAMPIRAN ... ix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 7
C. Pembatasan Masalah ... 8
D. Perumusan Masalah ... 8
E. Tujuan Penelitian ... 8
F. Manfaat Penelitian ... 9
BAB II KAJIAN TEORI A. Deskripsi Teoretik ... 10
1. Konsep ... 10
a. Konsep dan Konsepsi ... 10
b. Jenis-Jenis Konsep ... 11
c. Perolehan Konsep ... 11
d. Tingkat Pencapaian Konsep ... 13
e. Cara Mengajarkan Konsep ... 14
f. Pemahaman Konsep ... 15
2. Miskonsepsi ... 16
a. Definisi Miskonsepsi ... 16
vi
c. Sumber dan Penyebab Miskonsepsi ... 18
d. Cara Mengidentifikasi Miskonsepsi ... 19
3. Identifikasi Miskonsepsi dengan Two-Tier Multiple Choice ... 21
a. Tes Diagnostik ... 21
b. Two-Tier Multiple Choice ... 22
c. Pembuatan soal Two-tier Multiple Choice ... 23
d. Kelebihan Two-Tier Multiple Choice ... 27
e. Kelemahan Two-Tier Multiple Choice ... 28
B. Tinjauan Konsep Archaebacteria dan Eubacteria ... 28
C. Hasil Penelitian yang Relevan ... 33
D. Kerangka Berpikir ... 35
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ... 38
B. Metode dan Desain Penelitian ... 39
C. Populasi dan Sampel ... 42
D. Teknik Pengumpulan Data ... 43
E. Instrumen Penelitian ... 43
F. Kalibrasi Instrumen ... 46
G. Teknik Analisis Data ... 50
BAB VI HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 52
B. Pembahasan ... 58
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 73
B. Saran ... 73
DAFTAR PUSTAKA ... 75
vii
[image:11.595.116.511.170.598.2]DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
2.1 Kriteria Pengelompokan Tingkat Pemahaman Siswa ... 15
2.2 Penyebab Miskonsepsi ... 19
3.1 Soal TTMC yang Digunakan dalam Penelitian ... 45
3.2 Kisi-kisi lembar observasi ... 46
3.3 Klasifikasi Cronbach’s Alpha ... 48
3.4 Klasifikasi Daya Pembeda ... 49
3.5 Kategori Jawaban Siswa ... 51
4.1 Hasil Tes Diagnostik Two-Tier Multiple Choice ... 53
4.2 Persentase Jawaban Siswa yang Benar pada Pertanyaan Tingkat Pertama dan pada Kedua Tingkat Pertanyaan ... 54
4.3 Tabel Rerata Kategori Jawaban Siswa (Dua Kategori) ... 55
viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
2.1 Kerangka Pikir ... 37
3.1 Alur Penelitian ... 39
4.1 Soal nomor 1 ... 64
4.2 Soal nomor 3 ... 65
4.3 Soal nomor 6 ... 66
4.4 Soal nomor 8 ... 67
4.5 Soal nomor 10 ... 68
4.6 Soal nomor 11 ... 69
[image:12.595.118.498.176.599.2]ix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1 Kisi-Kisi Wawancara ... 78
2 Kisi-Kisi Tes Pilihan Ganda Beralasan Bebas ... 84
3 Kisi-Kisi Tes TTMC untuk Uji Reliabilitas ... 105
4 Hasil Wawancara Siswa ... 124
5 Kisi-Kisi Tes TTMC yang Digunakan dalam Penelitian ... 126
6 Lembar Observasi 3 Pertemuan ... 133
7 Foto-foto Kegiatan ... 139
8 Data Uji Reliabilitas ... 140
9 Skor Reliabilitas ... 141
10 Perhitungan Daya Beda ... 143
11 Lembar Soal TTMC ... 144
12 Lembar Validasi Instrumen TTMC ... 149
13 Lembar Uji Referensi ... 186
14 Kutipan Wawancara Dengan Ahli ... 200
15 Daftar Hadir Tes TTMC di SMAN 26 Jakarta ... 202
16 Daftar Kegiatan di MAN 13 Jakarta ... 204
17 Surat Izin Penelitian di SMAN 26 Jakarta ... 205
18 Surat Izin Penelitian di MAN 13 Jakarta ... 206
19 Surat Keterangan Selesai Penelitian di MAN 13 Jakarta ... 207
20 Surat Keterangan Selesai Penelitian di SMAN 26 Jakarta... 208
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Belajar adalah istilah yang sangat akrab dalam dunia pendidikan, baik
pendidikan di lembaga formal maupun nonformal. Belajar adalah proses yang
memegang peranan sangat penting dalam setiap penyelenggaraan pendidikan.1 Belajar berarti perbaikan dalam tingkah laku dan kecakapan manusia, termasuk di
dalamnya adalah perubahan pengetahuan, minat, dan perhatian yang dibentuk oleh
fungsi-fungsi psikis dalam pribadi manusia tersebut.2
Seorang siswa dapat belajar tanpa seseorang yang mengajarinya. Guru atau
orang lain yang membimbing belajar, menyajikan bahan belajar untuk siswa dan
menunjukkan sumber pengalaman belajar akan dapat memotivasi siswa untuk
belajar. Belajar dapat dilakukan melalui mendengar, memandang, meraba,
mencium, mencicipi, menulis, membaca, membuat ringkasan, mengamati tabel,
mengingat, berpikir, latihan dan lain sebagainya.3 Belajar adalah suatu proses yang dilakukan individu untuk mendapatkan pengetahuan dan pengalaman yang
baru. Produk dari proses belajar tersebut diwujudkan dalam bentuk perubahan
tingkah laku secara permanen karena adanya interaksi antara individu tersebut
dengan lingkungannya.4
Produk dari sebuah proses belajar dinyatakan dalam bentuk hasil belajar.
Hasil belajar sains di Indonesia telah diujikan secara internasional melalui
program TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study).
Berdasarkan pengukuran hasil belajar sains di Indonesia pada tahun 2011,
1 Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), Cet. XV, h. 87.
2 Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), Cet. XXIV, h. 89.
2
Indonesia berada pada peringkat 41 dari 43 negara. Skor ketercapaian untuk
bidang sains hanya mencapai 406 dari rata-rata 500.5
Salah satu penyebab rendahnya pencapaian skor sains tersebut adalah kualitas
pendidikan Indonesia. Kualitas pendidikan yang kurang baik tersebut berdampak
pada rendahnya pemahaman siswa terhadap konsep. Pemahaman konsep yang
kurang dikarenakan dalam proses pembelajaran siswa kurang didukung untuk
mengembangkan kemampuan berpikir dan membangun pemahaman konsepnya.
Sementara itu, dalam proses pembelajaran khususnya sains, siswa dituntut
untuk memahami dan menghayati bagaimana suatu konsep diperoleh,
menghubungkan konsep yang satu dengan konsep lainnya dan menggunakan
konsep sains yang lain untuk mendukung konsep sains tertentu. Proses
pembelajaran yang demikian sesuai dengan arahan kurikulum 2013 dimana proses
pembelajaran aktif meliputi untuk mengamati, bertanya, menghubungkan dan
mengkomunikasikan konsep.6
Dengan adanya pedoman baru dalam kurikulum 2013 tersebut, proses
pembelajaran di Indonesia harus mengikutsertakan siswa dalam mengonstruk
pengetahuan mereka sendiri secara aktif. Guru hanya berperan sebagai fasilitator
di kelas. Siswa berperan sebagai agen-agen aktif dalam proses bagi diri mereka
sendiri. Siswa akan memilih informasi apa yang akan mereka cari tahu dan
menyusun makna sendiri dari informasi yang mereka pilih tersebut.7
Dalam pembelajaran biologi, pandangan seorang guru terhadap hakikat sains
sangat mempengaruhi proses pembelajaran biologi di kelas. Ketika seorang guru
hanya memahami sains sebagai sebuah produk atau teori saja, maka pembelajaran
yang dirancang oleh guru tersebut hanya akan berorientasi pada pencapaian
kognitif siswa. Padahal, semestinya guru merancang proses pembelajaran yang
menuntun siswa sehingga mereka sampai pada suatu setting pembelajaran dengan
5 TIMSS and PIRLS, TIMSS 2011 International Result in Science, 2014, h. 2, (http://timss.bc.edu/data-release-2011/pdf/Overview-TIMSS-and-PIRLS-2011 Achievement.pdf) 6 Kemedikbud 2013, Kompetensi Dasar Kurikulum 2013, 2013, h. 20,
( http://www.pendidikan-diy.go.id/file/mendiknas/kurikulum-2013-kompetensi-dasar-sd-ver-3-3-2013.pdf).
kesatuan mendasar, tujuan-tujuan mereka, pengalaman-pengalaman sebelumnya,
dan mereka akan menggunakan seluruh hal ini untuk memahami informasi yang
baru mereka peroleh. Proses pemahaman yang sangat konstruktif ini meliputi
pengaktifan pengetahuan terdahulu. Sama halnya dengan proses-proses kognitif
yang bekerja pada pengetahuan itu.8
Di dalam kegiatan pembelajaran yang berpusat pada siswa tersebut, meskipun
setiap siswa telah mendapatkan perlakuan yang sama dari guru di dalam kelas
(materi dan fasilitas belajar lainnya), mereka dapat membentuk pengetahuan
mereka sendiri yang berbeda dengan harapan guru. Pengetahuan yang
dikonstruksi tersebut bisa menjadi salah karena adanya keterbatasan pada diri
siswa tersebut atau dapat bercampur dengan gagasan-gagasan lain.9 Para ahli filsafat konstruktivisme sosial menambahkan bahwa kesalahan ini disebabkan
karena siswa belum terbiasa mengkonstruksi konsep dengan benar dan belum
mempunyai kerangka ilmiah yang dapat digunakan sebagai acuan.10
Konsep adalah gambaran mental dari objek, proses, atau hal lain yang ada di
luar bahasa, yang digunakan untuk memahami hal-hal lain.11 Beberapa konsep pada mata pelajaran biologi masih berhubungan dengan pelajaran lainnya,
misalnya pada pelajaran Kimia. Siswa diharapkan mengetahui bagaimana sebuah
konsep ditemukan sehingga mereka mampu menghubungkan konsep yang satu
dengan yang lainnya dan menggunakan konsep tersebut untuk menunjang
pemahaman konsep yang lain. Dengan demikian, pemahaman terhadap konsep
adalah hal yang sangat penting.
Siswa yang telah memahami konsep dapat terukur dari hasil belajar yang
baik. Hasil belajar tersebut diberikan oleh guru pada setiap kurun waktu tertentu.
Hasil belajar yang rendah mengindikasikan adanya kesulitan dalam proses belajar
siswa, sehingga mempengaruhi tingkat pemahaman siswa.12 Hasil belajar juga
8Ibid., h. 7.
9 Paul Suparno, Miskonsepsi dan Perubahan Konsep dalam Pendidikan Fisika, (Jakarta : Grasindo, 2005), Cet I, h. 31-32.
10Ibid., h. 30.
11 Pusat Bahasa Kemdiknas RI, 2008, (http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php).
4
dipengaruhi oleh gagasan awal siswa yang dibawa ke dalam proses
pembelajaran.13
Banyak pihak sepakat bahwa siswa membawa gagasan tertentu pada
pembelajaran yang mereka peroleh sendiri, yang disebut sebagai prakonsepsi.14 Namun, gagasan tersebut ada yang tidak sesuai dengan gagasan para guru dan
ilmuwan. Konsepsi siswa yang berbeda dengan konsep para ilmuwan ini disebut
oleh Helm sebagai miskonsepsi, oleh Novak sebagai prakonsepsi, dan oleh Driver
sebagai kerangka alternatif atau “children science” oleh Gilbert.15
Pembelajaran yang tidak mempertimbangkan konsep awal (prakonsepsi) yang
dimiliki oleh siswa juga akan mengakibatkan miskonsepsi yang lebih kompleks
pada siswa. Miskonsepsi pada siswa yang terjadi secara terus menerus
dikhawatirkan dapat mengganggu dan menghambat pembentukan konsep ilmiah
pada struktur kognitif siswa. Seperti yang diungkapkan oleh Paul Suparno bahwa
prakonsepsi dapat menyebabkan terjadinya miskonsepsi.16 Oleh karena itu, guru hendaknya memperhatikan konsepsi awal yang dibawa siswa sebelum
memberikan konsep yang baru karena masing-masing siswa memiliki konsepsi
masing-masing berdasarkan pengalaman mereka sebelumnya.
Seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Hashweh pada tahun 1986 yang
dikutip oleh Haslam dan Treagust memaparkan penyebab terjadinya perubahan
konsep. Penyebab pertama adalah guru yang tidak menyadari prakonsepsi yang
dimiliki oleh siswa. Kedua, metode evaluasi yang biasa digunakan oleh guru gagal
untuk menguji konsep yang dimiliki oleh siswa yang ternyata menunjukkan
jawaban yang salah. Ketiga, serta pada umumnya guru tidak kritis terhadap
jawaban siswa yang menunjukkan prakonsepsi yang keliru.17
13
Gordon Guest, “Alternative Frameworks and Misconception in Primary Science”, Diskusi University of the West of England, Bristol, 2003, h. 2.
14 Suparno, op. cit., h. 30-31.
15 David F. Treagust, “Development and Use of Diagnostic Test to Evaluate Students’s Misconceptions in Science”, Journal Science Education, Vol. 10, 1988, h. 159.
16 Suparno, op. cit., h. 34.
Untuk dapat membantu guru mengatasi miskonsepsi, guru harus terlebih
dahulu mengetahui kerangka pikir siswa.18 Guru membutuhkan cara yang efisien untuk mengungkap miskonsepsi tersebut, yaitu dengan memberikan sebuah tes
diagnostik. Identifikasi miskonsepsi dapat dilakukan dengan berbagai jenis tes
yang dapat mendiagnosa letak kesalahan konsep siswa. Berbagai alat yang dapat
digunakan untuk mengidentifikasi miskonsepsi siswa antara lain: peta konsep, tes
pilihan ganda dengan alasan bebas, pilihan ganda beralasan tertutup (two-tier
multiple choice), tes esai, wawancara diagnosis, diskusi kelas, praktikum tanya
jawab.
Salah satu bentuk tes diagnostik adalah dengan menggunakan two-tier
multiple choice (TTMC). Instrumen ini adalah sebuah tes diagnostik berupa soal
pilihan ganda bertingkat dua yang dikembangkan pertama kali oleh David F.
Treagust pada tahun 1988.19 Tingkat pertama berisi tentang pertanyaan mengenai konsep yang diujikan sedangkan tingkat kedua berisi alasan untuk setiap jawaban
pada pertanyaan di tingkat pertama sebagai bentuk tes diagnosa.
Instrumen (TTMC) ini sangat efektif digunakan dalam mengidentifikasi
miskonsepsi pada siswa. Identifikasi tersebut dapat dilakukan pada awal
pembelajaran (berupa pre test) dan akhir pelajaran (berupa post test).20 Dengan menggunakan instrumen ini kemungkinan siswa untuk menebak jawaban benar
dapat diperkecil menjadi 4%, khususnya untuk konsep Archaebacteria dan
Eubacteria ini.21
Dengan menggunakan instrumen TTMC, guru dapat mengetahui letak materi
pembelajaran yang sering terjadi miskonsepsi di dalamnya. Selain itu, guru dapat
mengetahui konsepsi yang dimiliki oleh siswa. Guru dapat mengetahui kategori
pemahaman siswa dari jawaban siswa dalam kategori miskonsepsi murni, tidak
paham konsep atau miskonsepsi dari menebak. Oleh karena itu, dengan
18 Suparno, op. cit., h. 121. 19 Treagust, loc.cit. 20Ibid., h. 167
6
penggunaan instrumen TTMC ini diharapkan dapat teridentifikasi letak
kemiskonsepsian pada konsep yang diujikan.
Dalam membuat soal TTMC, terdapat beberapa metode yang telah diajukan
oleh beberapa ahli, misalnya metode yang diajukan oleh David F. Treagust,
Cengiz Tuysuz, dan Jing Ru Wang. Treagust pada tahun 1988 melakukan
pengembangan soal TTMC melalui 3 tahap yang terdiri dari: identifikasi konten,
mendapatkan informasi tentang miskonsepsi siswa, dan pengembangan tes
diagnostik.22 Sementara itu, Wang pada tahun 2004 melakukan pengembangan soal TTMC melalui 3 tahap yang berbeda, yaitu: menentukan domain konten,
mengidentifikasi konsepsi alternatif siswa, serta pengembangan dan validasi
instrument.23 Pada tahun 2009, Tuysuz melakukan pengembangan soal TTMC melalui 3 tahapan, yaitu: melaksanakan wawancara, paper and pencil test, dan
two-tier test.24 Berdasarkan pertimbangan waktu dan tahapan yang harus dilakukan dalam pembuatan soal TTMC, maka pembuatan soal TTMC pada
penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode yang diajukan oleh Cengiz
Tuysuz. Bentuk soal TTMC ini sama dengan soal pilihan ganda beralasan tertutup
(alasan telah disusun peneliti berdasarkan tahapan-tahapan yang diajukan oleh
Tuysuz).
Beberapa topik penelitian miskonsepsi biologi yang telah dilakukan
menggunakan instrumen TTMC antara lain pada topik: difusi dan osmosis,
fotosintesis dan respirasi, bernafas dan respirasi, transpor internal pada tumbuhan
dan sistem peredaran darah, pertumbuhan dan perkembangan tanaman bunga,
klasifikasi hewan, serta genetika.25
Berdasarkan penelitian Siti Sapuroh pada tahun 2010 tentang “Analisis
Kesulitan Belajar Siswa Dalam Memahami Konsep biologi pada Konsep Monera.
Penelitian ini dilakukan pada siswa kelas X MAN Serpong. Hasil analisis
22 Treagust, op. cit., h. 161.
23 Jing Ru Wang, “Development and Validation of a Two-Tier Instrument to Examine Understanding of Internal Transport in Plants and The Human Circulation System”, International
Journal of Science and Mathematics Education, Vol. 4, 2004, h. 136. 24 Cengiz Tuysuz, op.cit., h. 627.
menggunakan tes objektif menunjukkan 100% siswa mengalami kesulitan belajar
dalam memahami konsep Monera.26
Demikian pula dengan Edy Tarwoko pada tahun 2005 yang melaporkan
profil-profil miskonsepi bakteri. Miskonsepsi tersebut meliputi konsep-konsep:
organisasi sel bakteri, bentuk morfologis sel bakteri, struktur anatomis sel bakteri,
cara hidup bakteri, perkembangbiakan bakteri, klasifikasi bakteri dan peranan
bakteri.27 Padahal konsep Monera (Archaebacteria dan Eubacteria) ini termasuk dalam konsep yang penting karena termasuk dalam setiap bahasaan pada jenjang
pendidikan yang berkaitan dengan mikroba.
Hasil wawancara yang dilakukan peneliti kepada guru biologi di SMAN 26
Jakarta, juga diperoleh informasi bahwa siswa masih kesulitan dalam mempelajari
konsep Archaebacteria dan Eubacteria, khususnya dalam menentukan peranan
Archaebacteria dan Eubacteria bagi manusia. Padahal, konsep ini adalah salah
satu konsep yang berkaitan dengan konsep lain di jenjang pendidikan yang lebih
tinggi. Misalnya, pada konsep Bioteknologi dan konsep-konsep tentang berbagai
sistem pada tubuh makhluk hidup.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk mengetahui lebih lanjut
mengenai faktor penghambat dalam pembelajaran biologi, yaitu miskonsepsi yang
terjadi pada konsep Archaebacteria dan Eubacteria. Dengan mengetahui letak
miskonsepsi dan jumlah siswa yang mengalami miskonsepsi tersebut, peneliti
berharap para guru dapat mengambil langkah yang tepat untuk mengatasi
hambatan tersebut.
B. Identifikasi Masalah
1. Masih rendahnya kualitas pendidikan pada bidang Matematika dan Sains di
Indonesia.
2. Pemahaman konsep siswa yang masih kurang.
3. Siswa sering salah dalam mengonstruksi pengetahuannya sendiri.
26 Siti Sapuroh, “Analisis Kesulitan Belajar Siswa dalam Memahami Konsep Biologi pada Konsep Monera”, Skripsi UIN Jakarta, 2010, h. 60.
8
4. Guru tidak menyadari prakonsepsi yang dimiliki oleh siswa
5. Metode evaluasi yang sering digunakan guru tidak mampu mengungkap
konsepsi yang dimiliki oleh siswa.
6. Guru tidak kritis terhadap jawaban siswa yang menunjukkan prakonsepsi
yang keliru.
7. Siswa mengalami kesulitan dalam mempelajari konsep Archaebacteria dan
Eubacteria.
C. Pembatasan Masalah
Dari permasalahan di atas, agar penelitian ini lebih terarah, maka ruang
lingkup penelitian perlu dibatasi. Untuk itu, penulis membatasi permasalahan
yang akan diteliti pad hal-hal berikut ini:
1. Identifikasi miskonsepsi siswa hanya dilakukan pada konsep Archaebacteria
dan Eubacteria.
2. Identifikasi miskonsepsi dilakukan pada siswa kelas X IPA di SMAN 26
Jakarta tahun pelajaran 2013/2014.
3. Identifikasi miskonsepsi dilakukan menggunakan tes diagnostik two-tier
multiple choice yang dibuat sesuai dengan metode yang diajukan oleh Cengiz
Tuysuz.
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah yang telah diuraikan
sebelumnya, maka peneliti merumuskan masalah adalah “Bagaimana kondisi
miskonsepsi siswa kelas X IPA SMAN 26 Jakarta yang teridentifikasi pada
konsep Archaebacteria dan Eubacteria menggunakan two-tier multiple choice ?”
E. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana miskonsepsi
siswa kelas X IPA SMAN 26 Jakarta yang teridentifikasi pada konsep
F. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi:
1. Guru, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam
memilih dan merancang strategi pembelajaran yang tepat agar
kesalahpahaman konsep (miskonsepsi) tidak lagi terjadi pada para siswa.
2. Sekolah, hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan untuk mengembangkan
dan meningkatkan kualitas pengajaran, khususnya di SMAN 26 Jakarta.
10
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Deskripsi Teori
1. Konsep
a. Konsep dan Konsepsi
Istilah konsep berdasarkan tata bahasa adalah gambaran mental dari objek,
proses, atau hal lain yang ada di luar bahasa. Gambaran tersebut digunakan untuk
memahami hal-hal lain.1 Hamalik menjelaskan konsep sebagai stimuli yang memiliki ciri-ciri umum, dimana stimuli tersebut dapat berupa objek atau orang.2 Dahar menjelaskan konsep dalam bentuk abstraksi mental yang mewakili satu
kelas stimulus. Konsep juga dapat dijadikan suatu arti yang mewakili sejumalah
objek yang sama.3 Konsep adalah sebuah abstraksi dari ciri-ciri yang mempermudah komunikasi manusia dan memungkinkan manusia untuk berpikir.4 Sementara itu Rosser berpendapat bahwa konsep adalah abstraksi yang
meliputi gambaran dan ciri-ciri khas suatu objek, fakta dan gejala atau keterkaitan
yang dapat membedakannya dengan objek yang lain. Karena setiap orang dapat
mengalami stimulus yang berbeda-beda, maka mereka dapat membentuk konsep
sesuai caranya masing-masing.5
Dengan demikian, pengertian dari konsep dapat dinyatakan sebagai sesuatu
yang bersifat abstrak yang menggambarkan ciri-ciri suatu objek, fakta, dan atau
gejala yang dapat diterima oleh struktur kognitif kita.
Meskipun dalam Sains, pembahasan mengenai konsep-konsep telah
disepakati oleh para ahli dengan pasti, masih saja ada siswa yang memiliki
1Pusat Bahasa Depdiknas RI, KBBI Daring, 2014, (http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php).
2 Oemar Hamalik, Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem, (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), Cet. IV, h. 162.
3 Ratna Wilis Dahar, Teori-teori belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Erlangga, 2011), Cet. XIV, h. 63.
pemahaman yang berbeda-beda terhadap suatu konsep. Pemahaman konsep oleh
siswa selanjutnya disebut sebagai konsepsi.6
b. Jenis-jenis Konsep
Konsep memiliki jenis yang berbeda-beda. Adapun jenis-jenis konsep
tersebut adalah:7
1) Konsep konjungtif
Konsep konjungtif adalah konsep yang mudah diajarkan. Pada konsep ini
hanya diperlukan penambahan atribut dan nilai-nilai
2) Konsep disjungtif
Konsep disjungtif adalah konsep yang dapat dirumuskan dalam cara-cara
yang berbeda. Atribut dan nilai dapat ditukar antara satu dan lainnya.
3) Konsep Hubungan
Konsep hubungan adalah suatu konsep yang memiliki hubungan-hubungan
khusus antar atribut.
Ketiga konsep tersebut memiliki keterkaitan dalam kehidupan sehari-hari.
Atribut yang ada di sekitar kita menjadi penghubung yang saling berkaitan antara
ketiga konsep tersebut. Terbentuknya suatu konsep juga dikarenakan adanya
atribut-atribut di dalamnya.8
c. Perolehan Konsep
Menurut Ausubel, konsep diperoleh melalui dua cara, yaitu melalui
pembentukan konsep yang terjadi sebelum menerima pelajaran formal (sekolah)
dan melalui asimilasi konsep yang diperoleh di sekolah. Asimilasi konsep adalah
jalan utama untuk memperoleh konsep, baik selama dan sesudah sekolah.9
Seorang anak memiliki konsep yang berasal dari suatu pembentukan konsep
berdasarkan pengalaman-pengalamannya, setelah memasuki sekolah anak
6 Tayubi, op. cit., h. 2. 7 Hamalik, op. cit., 163-164. 8Ibid.
12
melakukan asimilasi konsep dari apa yang telah dipelajari di sekolah.10 Di sekolah, siswa akan memperoleh sejumlah informasi baru yang dapat berdiri
sendiri atau bersifat sebagai informasi tambahan untuk memperhalus dan
memperdalam pengetahuan sebelumnya. Informasi yang telah diterima siswa
akan dianalisis, diubah, atau ditransformasikan menjadi bentuk yang abstrak atau
konseptual sehingga dapat dimanfaatkan kembali pada saat dibutuhkan. Proses
tersebut akan menjadi lebih mudah dengan adanya bimbingan dari guru yang
kompeten.11
Menurut teori sibernetik, belajar adalah sebuah pengolahan informasi. Suatu
informasi (pengajaran) diterima, disandi, dan disimpan, dan dimunculkan kembali
dari ingatan serta dapat dimanfaatkan pada saat diperlukan tdapat dijelaskan
dengan sejumlah teori dan model pemrosesan informasi yang telah dikembangkan
oleh beberapa ahli. Komponen pemrosesan informasi dibagi menjadi tiga
berdasarkan perbedaan fungsi, kapasitas, bentuk informasi, serta proses terjadinya
“lupa”. Ketiga komponen tersebut adalah:12
1) Sensory receptor, yaitu sel tempat pertama kali informasi diterima dari luar.
Informasi asli yang diterima hanya dapat bertahan dalam waktu yang sangat
singkat, dan mudah terganggu atau terganti.
2) Working memory, yaitu bagian yang mampu menangkap informasi yang
diperhatikan oleh individu. Working memory memiliki kapasitas yang
terbatas, informasi hanya bertahan dalam 15 detik apabila tanpa pengulangan,
informasi dapat dikode salam bentuk yang berbeda dari stimulus aslinya.
3) Long term memory, yaitu bagian yang berisi semua pengetahuan seseorang.
Bagian ini memiliki kapasitas yang tidak terbatas dalam menyimpan memori.
Apabila seseorang tidak dapat memunculkan kembali informasi yang
tersimpan, maka orang tersebut dikatakan lupa.
10Ibid.
11 Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset, 2010), Cet. XV, h. 111.
Sejalan dengan teori pemrosesan informasi dari Ausubel bahwa perolehan
informasi sebagai pengetahuan baru merupakan fungsi struktur kognitif yang telah
dimiliki individu. Reigeluth dan Stein mengemukakan bahwa pengetahuan ditata
dalam struktur kognitif secara hierarkis dari pengetahuan yang umum dan abstrak
yang telah diperoleh individu.13 Penataan yang hierarkis akan mempermudah perolehan pengetahuan baru lagi yang lebih rinci. Semakin baik penataan
pengetahuan sebagai dasar pengetahuan baru, semakin mudah pengetahuan
tersebut dimunculkan kembali pada saat dibutuhkan.14
Pemunculan kembali informasi yang telah diperoleh dan disimpan disebut
sebagai ingatan. Untuk memproses pengolahan informasi menjadi ingatan melalui
beberapa tahapan. Tahapan-tahapan tersebut dimulai dari proses penyandian
informasi (encoding), penyimpanan informasi (storage), dan diakhiri dengan
pengungkapan kembali informasi yang telah disimpan dalam ingatan (retrieval).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perolehan konsep bermula dari proses
yang hierarkis. Dari informasi yang paling umum hingga paling khusus.15
d. Tingkat Pencapaian Konsep
Konsep yang telah diterima dan dipahami oleh seseorang bervariasi
berdasarkan tingkatan pencapaian konsep. Klausmeier menghipotesiskan empat
tingkat pencapaian konsep dalam berbagai variasi. Berikut ini merupakan uraian
dari keempat tingkat pencapaian konsep:16 1) Tingkat Konkret
Ketika siswa memperlihatkan suatu benda dan dapat membedakan berbagai
macam benda dari stimulus-stimulus yang ada di lingkungannya, maka siswa
dinyatakan telah mencapai tingkat pencapaian ini.
2) Tingkat Identitas
Siswa dapat mengenali suatu objek: a) sesudah selang waktu; b) bila orang itu
memiliki orientasi ruang dari objek tersebut; c) bila orang itu dapat mengenal
13Ibid., h. 84 14Ibid.
15Ibid., h. 86.
14
benda dengan indra yang berbeda. Pada saat itulah siswa dikatakan telah
mencapai tingkat identitas.
3) Tingkat Klasifikasi
Seseorang dikatakan telah mencapai konsep konret apabila ia telah mampu
mencapai tingkat klasifikasi. Tingkat klasifikasi dicapai apabila seseorang mampu
mengenali equivalence (persamaan) dari dua contoh yang berbeda yang berasal
dari kelas yang sama.
4) Tingkat Formal
Siswa yang telah mencapai pemahaman konsep pada tingkat ini sudah harus
dapat menentukan atribut-atribut kriteria yang membatasi konsep. Siswa tersebut
akan dapat memberikan nama konsep itu, mendefinisikan konsep ke dalam
atribut-atributnya kriterianya, mendiskriminasi, dan memberi nama atribut-atribut
yang membatasi, mengevaluasi, serta memberikan contoh dan noncontoh konsep
tersebut secara nonverbal.
e. Cara Mengajarkan Konsep
Untuk membentuk konsep dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu:17 1) Pendekatan Kognitif
Pendekatan kognitif dilakukan pada proses perolehan konsep dalam hal
sifatnya dan bagaimana konsep disajikan. pendekatan kognitif ditekankan pada
proses internal. Terdapat penemuan dalam studi kognitif tentang perolehan
konsep. Pertama, konsep disjungtif lebih mudah dipelajari daripada konsep
disjungtif atau konsep relasional. Kedua, belajar konsep lebih mudah apabila
menggunakan paradigma selektif dibandingkan dengan paradigm reseptif.
2) Pendekatan Terkini
Pembelajaran konsep dapat dilakukan di laboratorium maupun di ruang kelas.
Pembelajaran konsep Archaebacteria dan Eubacteria juga dapat dilakukan di
kedua tempat tersebut. Terdapat beberapa perbedaan tentang belajar konsep di
laboratorium dengan di ruang kelas seperti yang disampaikan oleh Caroll sebagai
berikut:
a) Kedua konsep dapat berbeda dalam sifat. Konsep yang dipelajari di sekolah
biasanya adalah konsep-konsep baru, bukan merupakan kombinasi buatan
dari atribut-atribut yang sudah dikenal.
b) Studi laboratorium akan memberi makna lebih mendalam pada belajar
konsep-konsep konjungtif yang terbukti mudah untuk dipelajari daripada
konsep disjungtif.
c) Studi laboratorium menekankan pada pendekatan induktif tentang belajar
konsep, sementara sebagian konsep-konsep sekolah secara deduktif.
f. Pemahaman Konsep
Salah satu ranah kejiwaan yang berpusat pada otak yang berhubungan dengan
keinginan (konasi) dan perasaan (afeksi) yang berikatan dengan ranah rasa disebut
sebagai pemahaman. Pemahaman termasuk dalam bagian struktur kognitif kita.18 Abraham mengemukakan enam tingkatan pemahaman. Kriteria tersebut dapat
[image:28.595.109.515.275.708.2]dilihat pada tabel berikut 2.1.19
Tabel 2.1 Kriteria Pengelompokan Tingkat Pemahaman Siswa
No Derajat Pemahaman Kriteria Penilaian
1 Tidak ada respon Kosong Tidak tahu Tidak mengerti 2 Tidak paham Mengulangi pertanyaan
Respon tidak jelas
3 Miskonsepsi Respon menunjukkan ketidaklogisan atau informasi yang diberikan tidak jelas
4 Paham dengan sebagian miskonsepsi
Respon menunjukkan pemahaman konsep tetapi juga miskonsepsi
5 Paham sebagian Respon yang diberikan memberikan komponen yang diinginkan tetapi belum lengkap
6 Paham Respon yang diberikan meliputi semua komponen yang diinginkan
18 Muhibbin Syah, loc. cit.
16
Ciri siswa yang telah memahami konsep adalah ia dapat membedakan contoh
dan bukan contoh dari konsep itu, persamaan dan bukan persamaan dari konsep
tersebut serta menggunakannya dalam berbagai situasi. Selain itu, ia juga harus
dapat menginfomrasikan alasan mengenai suatu fakta dan dapat
menggunakannya.20
2. Miskonsepsi
a. Definisi Miskonsepsi
Miskonsepsi didefinisikan berbeda-beda oleh para ahli. Miskonsepsi adalah
pemahaman yang keliru terhadap suatu konsep atau terjadi kesalahan dalam
menginterpretasikan beberapa variabel yang saling berkaitan, dimana konsep
tersebut tidak sesuai dengan pemahaman konsep para ahli.21 Miskonsepsi adalah pengertian yang tidak akurat terhadap sebuah konsep, penggunaan konsep yang
salah, klasifikasi contoh-contoh yang salah, kekacauan konsep-konsep yang
berbeda dan hubungan hierarkis konsep-konsep yang tidak benar.22
Feldsine menyatakan bahwa miskonsepsi sebagai suatu kesalahan dan
hubungan yang tidak benar antara konsep-konsep. Miskonsepsi adalah konsep
baru yang salah dan tidak sesuai dengan pengertian ilmiah atau pengertian yang
diteliti oleh para ilmuwan.23 Novak menyatakan bahwa miskonsepsi adalah salah satu bentuk interpretasi terhadap konsep-konsep dalam suatu pernyataan yang
tidak dapat diterima. Miskonsepsi adalah konsepsi siswa yang tidak sesuai dengan
konsepsi para ilmuwan. Konsep tersebut umumnya dibangun berdasarkan akal
sehat atau intuitif untuk memaknai pengalaman sehari-hari dan hanya merupakan
eksplanasi pragmatis terhadap dunia nyata.24
20 Al Krismanto, Beberapa Teknik, Model, dan Strategi dalam Pembelajaran Matematika, (Yogyakarta: Depdiknas, 2003), h. 10.
21 Firiana, op.cit., h. 12.
22 Paul Suparno, Miskonsepsi dan Perubahan Konsep dalam Pendidikan Fisiska, (Jakarta: Grasindo, 2005), Cet. I, h. 6.
23 Ibid., h. 4-5.
Dari beberapa pengertian di atas, maka miskonsepsi dapat diartikan sebagai
kesalahpahaman terhadap suatu konsep. Kesalahan tersebut dapat menyebabkan
timbulnya konsep baru yang tidak sesuai dengan pemahaman para ilmuwan.
b. Miskonsepsi dan Konsep Alternatif
Gagasan siswa yang berbeda dengan gagasan para ilmuwan dicoba untuk
dihargai. Perbedaan pemahaman seseorang dengan para ahli diistilahkan sebagai
konsep alternatif. Demikian pula dengan Wandersee, Mintzes dan Novak
menyatakan bahwa sebagian besar peneliti modern lebih sering menggunakan
istilah konsep alternatif daripada miskonsepsi. Konsep yang berbeda tersebut
menunjukkan bahwa dalam pembentukan pengetahuan, siswa yang mengonstruksi
pengetahuan itu sendiri. Konsep tersebut juga tidak secara langsung disalahkan
karena dalam pengalaman siswa tersebut, konsep tersebut dapat menerangkan
persoalan dalam kehidupan siswa dan sangat berguna.25 Penggunaan istilah konsep alternatif didasarkan oleh pertimbangan-pertimbangan berikut ini:
1) Konsep alternatif lebih menunjuk pada penjelasan berdasarkan pengalaman
yang dikonstruksi oleh siswa.
2) Istilah tersebut memberikan penghargaan intelektual kepada siswa yang
memiliki gagasan sendiri.
3) Konsep alternatif secara kontekstual sering masuk akal dan berguna untuk
menjelaskan beberapa persoalan yang dihadapi oleh siswa.
Berbeda dengan para ahli yang tetap menggunakan istilah konsep alternatif
dalam pembelajaran, istilah miskonsepsi tetap dipertahankan dengan alasan
sebagai berikut:26
1) Istilah tersbut sudah bermakna bagi orang yang awam.
2) Dalam Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam, istilah tersebut sudah membawa
pengertian-pengertian tertentu yang sesuai dengan pemikiran para ilmuwan.
3) Istilah itu mudah dipahami oleh guru dan orang lain.
18
Dengan demikian, di dalam dunia Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam, istilah
miskonsepsi telah memiliki arti khusus. Beberapa peneliti tetap menggunakan
istilah tersebut karena kata tersebut telah memiliki arti yang khusus dan dipahami
oleh banyak orang. 27
c. Sumber dan Penyebab Miskonsepsi
Miskonsepsi telah terjadi pada semua bidang sains, seperti Fisika, Kimia,
Biologi dan Antariksa. Miskonsepsi yang terjadi pada siswa dapat terjadi selama
proses pembelajaran. Gabel berpendapat bahwa faktor-faktor yang dapat
menyebabkan miskonsepsi antara lain:28
1) Hasil pengamatan fenomena alam yang dipahami dengan perasaan.
2) Konsep yang diajarkan tidak sesuai dengan perkembangan mental siswa.
Miskonsepsi terjadi karena adanya kesalahan dalam membangun konsepsi
berdasarkan informasi lingkungan fisik di sekitarnya. Miskonsepsi umumnya
terjadi karena kesalahan siswa dalam mengasimilasi konsep-konsep yang
merupakan hal yang baru bagi siswa tersebut29.
Secara skematis, penyebab miskonsepsi dapat dilihat pada tabel 2.2.30
27Ibid.
28 Suwarto, loc. cit.
29Ibid.
Tabel 2.2 Penyebab Miskonsepsi
Sebab Utama Sebab Khusus
Siswa 1. Prakonsepsi 2. Pemikiran asosiatif 3. Pemikiran humanistic
4. Reasoning yang tidak lengkap 5. Intuisi yang salah
6. Tahap perkembangan kognitif siswa 7. Kemampuan siswa
8. Minat belajar siswa
Guru 1. Tidak menguasai bahan, tidak kompeten 2. Bukan lulusan dari bidangnya
3. Tidak memberikan kesempatan siswa untuk memberikan gagasan
4. Hubungan guru dan siswa yang tidak baik Buku Teks 1. Penjelasan yang tidak tepat
2. Salah menuliskan rumus
3. Tingkat kesulitan buku cukup tinggi bagi siswa 4. Demi menarik pembaca, terkadang buku sains
fiksi menyimpang dari konsepnya 5. Kartun sering memuat miskonsepsi Konteks 1. Pengalaman siswa
2. Bahasa sehari-hari berbeda 3. Teman diskusi yang salah 4. Keyakinan dan agama
5. Penjelasan orang lain yang keliru 6. Konteks hidup siswa
7. Kondisi perasaan siswa Cara Mengajar 1. Hanya ceramah dan menulis
2. Tidak mengungkapkan miskonsepsi siswa 3. Tidak mengoreksi PR yang salah
4. Model analogi 5. Model praktikum 6. Model diskusi
7. Model demonstrasi yang sempit
8. Non-multiple intellegences
Dengan demikian, miskonsepsi bukan semata hanya disebabkan oleh proses
pembelajaran, tetapi juga oleh komponen-komponen dalam kegiatan itu sendiri.
Misalnya: siswa, guru, buku teks, konteks, dan metode pengajaran.
d. Cara Mengidentifikasi Miskonsepsi
Pemahaman siswa terhadap suatu konsep dapat diketahui melalui pemberian
tes. Dari hasil tes tersebut dapat diketahui seberapa besar pemahaman siswa. Hasil
20
Oleh karena itu, diperlukan alat tes lain yang dapat mengungkap pemahaman
siswa terhadap suatu konsep.
Pemahaman siswa yang salah dan tidak sesuai dengan pendapat para ahli
dapat menyebabkan siswa mengalami miskonsepsi.31 Miskonsepsi tidak mudah untuk dihilangkan.32 Selain itu, miskonsepsi juga dikhawatirkan dapat menghambat pembentukan pengetahuan pada struktur kognitif siswa. Oleh karena
itu, miskonsepsi perlu dideteksi untuk mengetahui materi yang dianggap sulit oleh
siswa sehingga guru dapat menentukan pembelajaran remidiasi yang harus
dilakukan.
Beberapa alat deteksi yang sering digunakan oleh para peneliti menurut
Suparno antara lain:33
1) Peta konsep, yaitu menghubungkan antara konsep dengan konsep dan
menekankan ide-ide pokok yang disusun secara hierarkis.
2) Tes multiple choice dengan reasoning terbuka, yaitu penggunaan tes pilihan
berganda dengan pertanyaan terbuka. Siswa harus menjawab atau menulis
alasan mereka memilih suatu jawaban.
3) Tes esai tertulis, dari tes ini akan diketahui miskonsepsi yang dibawa siswa.
Kemudian dapat dilakukan wawancara untuk mengetahui tentang
miskonsepsi tersebut.
4) Wawancara diagnosis, yaitu mengetahui miskonsepsi siswa sekaligus
penyebabnya. Melalui wawancara dapat dipahami pola pikir siswa.
5) Diskusi dalam kelas, melalui diskusi akan diungkapkan ide-ide siswa tentang
konsep yang telah atau hendak diajarkan. Dari diskusi tersebut dapat dideteksi
apakah gagasan mereka itu tepat atau tidak.
6) Praktikum dengan tanya jawab, yaitu guru memberikan pertanyaan tentang
bagaimana konsep yang dimiliki siswa dan menjelaskan praktikum tersebut.
Sementara itu, menurut Suwarto pendeteksian miskonsepsi dapat dilakukan
melalui:34
31 Suparno, op. cit., h. 8 32 Ibid.
33Ibid., h. 121-129.
1) Pearsall dkk menyatakan bahwa dengan mencermati peta konsep kita dapat
mendeteksi konsep apa saja yang kurang tepat dan perubahan konsepnya.
2) Tes uraian tertulis, yaitu tes yang terdiri dari butir-butir tes berupa pertanyaan
yang menghendaki jawaban yang berupa uraian panjang.
3) Wawancara klinis, yaitu wawancara yang dilakukan kepada siswa dengan
memilih pertanyaan-pertanyaan yang diperkirakan sulit dimengerti oleh
siswa, atau konsep yang penting untuk diajarkan.
4) Diskusi dalam kelas untuk mengungkapkan gagasan mereka tentang konsep
yang sudah atau akan diajarkan.
3. Identifikasi Miskonsepsi dengan Tes Diagnostik Two-Tier Multiple
Choice (TTMC)
a. Tes Diagnostik
Untuk mengetahui sebab-sebab masalah yang dialami siswa, guru melakukan
pemeriksaan diagnosis melalui tes yang berfungsi diagnosis untuk mengetahui
sumber permasalahan siswa.35 Tes diagnostik digunakan untuk menentukan bagian tertentu pada suatu mata pelajaran yang memiliki kelemahan dan
menyediakan alat untuk menemukan penyebab kekurangan tersebut. Tes
diagnostik juga dapat digunakan untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan siswa
dalam belajar. Tujuan penggunaan tes ini adalah untuk menentukan pengajaran
yang perlu dilakukan di masa yang akan datang.36
Salah satu bentuk tes diagnostik adalah two-tier multiple choice (TTMC).
TTMC pertama kali dikenalkan oleh pria kebangsaan Australia bernama David, F.
Treagust pada tahun 1978. TTMC adalah tes diagnostik bertingkat dua, yaitu tes
pilihan ganda beralasan dimana pada pertanyaan pertama siswa diminta untuk
menjawab pertanyaan, dan pada tingkat kedua siswa harus memilih alasan untuk
jawaban mereka pada pertanyaan tingkat pertama. Tujuan adanya pertanyaan
tingkat kedua sebagai pertanyaan alasan adalah sebagai bentuk diagnosis
miskonsepsi siswa. Hal tersebut didasarkan pada penyusunan pilihan jawaban
22
pengecoh pada pertanyaan tingkat kedua yang berasal dari pilihan ganda beralasan
bebas, wawancara ataupun studi literasi.37 Seiring dengan perkembangan dunia pendidikan, saat ini terdapat berbagai tipe TTMC yang telah dikembangkan oleh
beberapa ahli. Meskipun alasan untuk setiap pertanyaan di tingkat satu telah
disediakan, pada beberapa tipe TTMC ruang kosong tetap disediakan bagi siswa
untuk menuliskan alasan lain apabila alasan yang tersedia pada pertanyaan tingkat
kedua tidak sesuai dengan pendapat mereka.
b. Two-Tier Multiple Choice (TTMC)
Tes diagnostik TTMC adalah tes diagnostik yang dikembangkan oleh
Treagust pada tahun 1987 yang merupakan tes berbentuk pilihan ganda bertingkat.
Pada perkembangannya, TTMC khusus ditujukan untuk mengidentifikasi
konsepsi alternatif siswa (miskonsepsi siswa).
Selain sebagai tes diagnostik pada akhir pembelajaran, TTMC juga dapat
digunakan pada awal pembelajaran. Hal tersebut bertujuan agar guru dapat
mengetahui dengan baik konsepsi awal yang ada pada siswa, sehingga guru dapat
mengembangkan atau menggunakan pendekatan pengajaran alternatif untuk
memperbaiki miskonsepsi siswa.38
TTMC adalah tes diagnostik bertingkat dua. Pada pertanyaan tingkat
pertama siswa diminta untuk menjawab pertanyaan. Pada tingkat kedua terdiri
dari satu set alasan untuk jawaban pertanyaan tingkat pertama. Siswa harus
memilih alasan atas jawaban mereka pada pertanyaan tingkat pertama. Ruang
kosong juga dapat disediakan bagi siswa yang memiliki alasan lain pada
pertanyaan tingkat kedua.
37 David F. Treagust, “Development and Use of Diagnostic Test to Evaluate Students’s Misconceptions in Science”, Journal Science Education, Vol. 10, 1988, h. 163.
Perlu diperhatikan bahwa dalam tingkatan pembelajaran, respon pada
pertanyaan tingkat pertama relatif mudah, tetapi pertanyaan tingkat kedua
membutuhkan penyelidikan secara mendalam pemahaman dibalik jawaban pada
tingkat pertama.39 Siswa akan mendapatkan poin satu apabila menjawab benar pada kedua tingkat pertanyaan dan akan mendapat poin nol apabila salah satu
pertanyaan pada kedua tingkat pertanyaan tersebut dijawab salah. Dengan teknik
ini, kemungkinan siswa untuk menjawab benar ataupun salah sangat rendah.40 Beberapa topik penelitian miskonsepsi Biologi yang telah dilakukan
menggunakan instrumen TTMC antara lain: difusi dan osmosis oleh Odom dan
Barrow pada tahun 1995, fotosintesis dan respirasi oleh Haslam dan Treagust
pada tahun 1987, bernafas dan respirasi oleh Mann dan Treagust pada tahun 1998,
transport internal pada pertumbuhan dan sistem peredaran darah oleh Wang pada
tahun 2004, pertumbuhan dan perkembangan tanaman bunga oleh Linn pada
tahun 2004, Genetika oleh Tsui pada tahun 2011.
c. Pembuatan soal Two-tier Multiple Choice (TTMC)
Treagust telah memberikan pedoman yang berguna bagi pengembangan
instrumen-instrumen dengan tujuan khusus untuk mengidentifikasi konsep-konsep
alternatif siswa pada berbagai konsep.41 Desain instrumen TTMC berdasarkan pada prosedur yang digambarkan oleh Treagust meliputi: 42
1) Tahap pertama: mengidentifikasi konten
a) Identifikasi pernyataan proposisi sesuai dengan konten yang akan diujikan
b) Mengembangkan peta konsep sesuai dengan konten yang diujikan. Tujuan
dari langkah 1 dan 2 adalah agar peneliti lebih cermat dalam mengurai
konten yang akan diujikan.
39 A. L. Chandrasegarana, David F. Treagust dan Mauro Mocerino, “The Development of a Two-tier Multiple-Choice Diagnostic Instrumen for Evaluating Secondary School Students’ Ability to Describe and Explain Chemical Reactions Using Multiple Levels of Representation”,
Chemistry Education Research and Practice, 2007, h. 295.
40 Chi-Yan Tsui dan David Treagust, “Evaluating Secondary Students’ Scientific Reasoning in Genetics Using a Two-Tier Diagnostic Instrument”, International Journal of Science Education, Vol. 32, 2010, h. 1075.
41 Chandrasegarana, Treagust dan Mocerino, loc.cit.
24
c) Menghubungkan peta konsep dengan pernyataaan proposisi yang telah
dibuat untuk memastikan bahwa keduanya memang akan menguji topik
yang sama dan telah mewakili konten yang akan diselidiki. Tahap ini
dilakukan oleh peneliti.
d) Memvalidasi konten, yaitu dengan memvalidasi pernyataan proposisi dan
peta konsep kepada guru sains, guru sains di sekolah menengah dan saintis.
2) Tahap kedua: mendapatkan informasi tentang miskonsepsi siswa
a) Memeriksa literatur terkait yang berhubungan dengan topik penelitian
miskonsepsi. Dengan memeriksa deskripsi miskonsepsi dan wilayah yang
dianggap sulit oleh siswa pada topik tersebut akan memungkinkan untuk
membangun informasi dasar dalam mengembangkan pertanyaan pilihan
ganda.
b) Melaksanakan wawancara tak terstruktur kepada siswa. Wawancara ini
bertujuan untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya informasi tentang
miskonsepsi siswa. Siswa yang diwawancarai adalah siswa yang telah
menyelesaikan pembelajaran pada topik tersebut. Pertanyaan yang
diberikan berhubungan dengan “open ended question”. Pendapat dari
siswa kemudian dibandingkan dengan pendapat dari guru. Hasil
wawancara ini akan membantu untuk mengidentifikasi wilayah
pemahaman dan miskonsepsi serta sebagai ide untuk tahap penelitian lebih
lanjut menggunakan pilihan ganda dengan alasan bebas.
c) Mengembangkan soal pilihan ganda dengan respon bebas dimana setiap
soal pilihan ganda dibuat berdasarkan pernyataan proposisi dan didesain
untuk memperbaiki miskonsepsi sesuai hasil penelitian sebelumnya
tentang kesulitan belajar dan berdasarkan hasil wawancara. Setiap soal
pilihan ganda disertai ruang kosong untuk menuliskan alasan
3) Tahap ketiga: pengembangan tes diagnostik
a) Pengembangan two-tier diagnostic test
2) Tingkat kedua pertanyaan terdiri dari 4 pilihan alasan jawaban
3) Alasan jawaban terdiri dari: jawaban benar, miskonsepsi yang
teridentifikasi atau miskonsepsi, dan jawaban pengecoh lain bila
diperlukan.
4) Pilihan ganda tingkat kedua dikembangkan dari respon siswa pada
pertanyaan dengan respon terbuka, wawancara, dan hasil penelitian
sebelumnya.
b) Mendesain specification grid
Pembuatan “specification grid” untuk memastikan bahwa tes diagnostik
telah mencakup pernyataan proposisi dan konsep yang terdapat dalam peta
konsep yang sesuai dengan konten yang akan diselidiki.
c) Melakukan perbaikan
Soal two tier kemudian diujikan di beberapa kelas yang berbeda untuk
memastikan bahwa tes secara keseluruhan dapat digunakan untuk
mendiagnosis miskonsepsi pada siswa. hal ini dilakukan untuk
meningkatkan fungsi tes ini sebagai alat identifikasi miskonsepsi.
Selain Treagust, terdapat beberapa peneliti yang juga memberikan pedoman
dalam penyusunan soal two-tier ini, antara lain Jing Ru Wang dan Cengiz Tuysuz.
Pengembangan TTMC menggunakan metode Wang terdiri dari tiga tahapan
utama seperti yang dijelaskan oleh Treagust, namun terdapat beberapa langkah
tambahan pada setiap tahapan tersebut. Tambahan langkah tersebut adalah sebagai
berikut:43
1) Tahap pertama: menentukan domain konten
a) Meninjau isi buku teks dan pedoman pengajaran
b) Identifikasi pernyataan proposisi
c) Mengembangkan peta konsep
d) Menghubungkan pernyataan proposisi dengan peta konsep
e) Validasi konten
26
2) Tahap kedua: identifikasi konsepsi alternatif siswa
a) Meninjau literatur terkait
b) Pengembangan wawancara keterampilan
c) Melaksanakan wawancara
d) Melaksanakan tes pilihan ganda beralasan bebas
3) Tahap ketiga: pengembangan dan validasi instrumen
a) Pengembangan TTMC
b) Mendesain specification grid
c) validasi instrumen oleh ahli
d) Melaksanakan uji coba
e) Memperbaiki soal
f) Melaksanakan penelitian dan analisis statistik
Pada penelitian ini digunakan aturan penyusunan TTMC sesuai metode yang
diberikan Tuysuz. Dalam aturan penyusunannya, TTMC ini terdiri dari lima
pilihan jawaban pada tingkat pertama dan lima pilihan jawaban pada tingkat
kedua. Tahapan penyusunan TTMC menurut Cengiz adalah sebagai berikut:44 1) Tahap pertama: wawancara
Melakukan wawancara secara individu menggunakan open ended question.
Melalui wawancara akan terungkap konsepsi yang dimiliki siswa. Selanjutnya,
wawancara ini dilakukan untuk mendapatkan data yang akan digunakan
sebagai pilihan pada tahap kedua (paper and pencil test).
2) Tahap kedua: paper and pencil test
Hasil dari wawancara digunakan untuk membuat soal pilihan ganda untuk
paper and pencil test. Soal-soal ini didesain menjadi soal yang student-oriented
dan berbeda dengan soal pilihan ganda biasa. Pada soal pilihan ganda ini, siswa
diminta memilih jawaban dan menuliskan alasan (alasan bebas) untuk setiap
jawaban mereka. Data yang didapatkan dari tes ini kemudian dianalisis dan
dikembangkan menjadi soal TTMC. Soal pada tingkat pertama diambil dari
gambaran representatif mereka dari hasil wawancara dan soal pada tingkat
kedua diambil dari penjelasan siswa pada paper and pencil test. Soal pada
tingkat kedua dipersiapkan berdasarkan miskonsepsi siswa yang valid dan
ditentukan oleh dua orang profesor pada mata pelajaran tersebut. Dalam
penelitian ini, validasi tersebut dilakukan oleh kedua dosen pembimbing.
3) Tahap ketiga: Two Tier Test (TTT)
TTMC atau disebut TTT oleh Tuysuz dikembangkan untuk mengetahui
miskonsepsi siswa pada konsep tertentu dan menentukan apakah TTMC dapat
digunakan sebagai alternatif dari soal pilihan ganda dalam dunia pendidikan.
Soal TTMC yang telah dibuat melalui beberapa tahap di atas kemudian
diujikan kepada sejumlah siswa untuk mendapatkan soal yang reliabel.
d. Kelebihan Two-Tier Multiple Choice
Kelebihan penggunaan instrumen TTMC dalam mengungkap miskonsepsi
siswa antara lain:
1) Dengan menggunakan instrumen diagnostik ini pada awal (pretest) atau pada
saat akhir (post test) dari materi tertentu, guru dapat memahami dengan lebih
baik tentang pemahaman awal siswa dan setiap konsepsi atau miskonsepsi
yang terjadi pada materi tertentu yang sedang dipelajari, sehingga guru dapat
merencanakan langkah-langkah yang tepat untuk mengurangi timbulnya
miskonsepsi siswa. Miskonsepsi yang terungkap, menunjukkan bahwa TTMC
dapat berfungsi sebagai alat diagnostik yang efektif.45
2) Menurut Cengiz, dalam pilihan ganda konvensional dengan lima
kemungkinan jawaban, kemungkinan siswa menebak jawaban benar sebesar
20%, tetapi dalam TTMC, kemungkinan tersebut diperkecil menjadi 4%. 46 3) Berdasarkan penelitan yang dilakukan oleh Treagust, TTMC juga dapat
dipergunakan sebagai evaluasi formatif. Siswa secara berkelompok dapat
mendiskusikan jawaban mereka.47
45 Treagust, op. cit., h. 167. 46 Tuysuz, op.cit., h. 628.
28
4) Dengan disediakannya alasan pada tingkat kedua akan mempermudah guru
dalam penerapan dan pemeriksaan jawaban serta mempermudah dalam proses
penskoran.48
5) Dapat dilaksanakan serempak untuk sekelompok siswa sehingga dapat
menghemat waktu.
6) Dibandingkan dengan tes diagnostik lainnya, pada tipe soal TTMC dengan
alasan terbuka-tertututp (dengan disediakan alasan untuk setiap pemilihan
jawaban dan ruang kosong untuk menuliskan alasan lain pada pertanyaan
tingkat kedua), guru dapat mengungkap adanya miskonsepsi siswa sampai
dengan mengetahui apa konsepsi yang dimiliki siswa untuk materi pelajaran
tertentu.
e. Kelemahan Two-Tier Multiple Choice
Selain memiliki berbagai kelebihan, penggunaan instrumen ini juga memiliki
beberapa kekurangan, antara lain:
1) Masih terdapat kemungkinan menebak jawaban, baik pada pertanyaan tingkat
pertama dan kedua.
2) Konsepsi siswa tidak secara keseluruhan dapat terungkap karena terdapat
kemungkinan siswa malas menuliskan alasan mereka sendiri (pada tipe
TTMC terbuka-tertutup) apabila alasan yang telah disediakan tidak sesuai
dengan pendapat mereka.
3) Hasil penelitian menggunakan instrumen TTMC tidak mudah digunakan oleh
praktisi pendidikan. Oleh karena itu, salah satu kemungkinan penerapannya di
dalam kelas adalah dengan menggabungkan penemuan dari hasil penelitan ke
dalam tes diagnostik. 49
B. Tinjauan Konsep Archaebacteria dan Eubacteria
Konsep Archaebacteria dan Eubacteria adalah konsep yang diajarkan di kelas
X-IPA Sekolah Menengah Atas pada semester Ganjil. Adapun Standar
Kompetensi, Kompetensi Dasar dan Indikator Pembelajaran untuk konsep ini
[image:42.595.109.518.196.555.2]dapat dilihat pada tabel 2.3.
Tabel 2.3 SK, KD, dan Indikator Pembelajaran
Standar Kompetensi:
3. Memahami, menerapkan, menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural berdasarkan rasa ingintahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah.
Kompetensi Dasar:
3.4 Mengidentifikasi ciri-ciri Archaebacteria dan Eubacteria dan peranannya bagi kehidupan berdasarkan percobaan secara teliti dan sistematis.
Indikator Pembelajaran:
1. Mengidentifikasi ciri-ciri Archaebacteria 2. Mengidentifikasi ciri-ciri Eubacteria
3. Menjelaskan pengelompokkan Archaebacteria 4. Menjelaskan pengelompokkan Eubacteria 5. Menjelaskan reproduksi Bakteri
6. Menjelaskan cara bakteri mendapatkan nutrisi 7. Menjelaskan peranan bakteri dalam kehidupan
1. Archaebacteria
Archaebacteria adalah makhluk hidup pertama yang menggunakan reaksi
kimia anorganik untuk menghasilkan energi. Energi tersebut kemudian digunakan
untuk membuat materi organik. Habitat Archaebacteria umumnya di tempat yang
ekstrem (sumber air panas, daerah yang mengandung garam, asama dan daerah
yang sedikit mengandung Oksigen). 50
Archaebacteria dibedakan menjadi empat kelompok, yaitu sebagai berikut:51 a. Halofili, yaitu golongan Archaebcateria yang hidup di perairan dengan
salinitas tinggi.
30
b. Metannogen, yaitu golongan Archaebacteria yang dapat mengubah Karbon
dioksida (CO2) dan Hidrogen (H2) menjadi metana (CH4).
c. Termoasidofili, yaitu golongan Archaebacteria yang hidup di daerah sumber
bersulfur.
d. Pereduksi sulfur, yaitu golongan Archaebacteria yang menggunakan Hidrogen
dan Sulfur anorganik sebagai sumber energinya.
2. Eubacteria
Eubacteria dikenal sebagai bakteri sesungguhnya. Bakteri merupakan
makhluk prokariotik (tidak memiliki membran inti sel). Bakteri dapat hidup
dimana saja. Bakteri juga banyak memiliki peran dalam kehidupan manusia.
Umumnya bakteri memiliki diameter sekitar 0.5 mikron. Bakteri yang berbentuk
batang memiliki lebar sekitar 0.2 sampai dengan 2 mikron dan panjangnya antara
1 sampai dengan 15 mikron. Beberapa jenis bakteri mampu membentuk spora di
dalam sel mereka yang dikenal sebagai endospora. Endospora bukanlah alat
reproduksi bagi bakteri, melainkan endospora adalah bentuk yang meindungi
bakteri dari lingkungan yang berbahaya agar ia dapat tetap bertahan hidup.52
3. Struktur tubuh bakteri
Struktur bakteri terdiri dari:53 a. Kapsul
Kapsul adalah lapisan luar dari dinding sel yang dihasilkan oleh bakteri
tertentu. Lapisan luar tersebut berfungsi untuk melindungi dinding bakteri,
menyatukan bakteri ke dalam bentuk koloni, dan sebagai alat pertahanan
terhadap inf