• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tipologi kemiskinan dan kerentanan berbasis agroekosistem dan implikasinya pada kebijakan pengurangan kemiskinan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tipologi kemiskinan dan kerentanan berbasis agroekosistem dan implikasinya pada kebijakan pengurangan kemiskinan"

Copied!
288
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

HARNIATI. Tipologi Kemiskinan dan Kerentanan Berbasis Agroekosistem dan Implikasinya pada Kebijakan Pengurangan Kemiskinan (D.S. PRIYARSONO sebagai Ketua, KUNTJORO dan RINA OKTAVIANI sebagai Anggota Komisi Pembimbing).

Kemiskinan di Indonesia masih merupakan masalah serius meskipun berbagai upaya telah dilakukan untuk menanggulanginya. Secara umum, tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis tipologi kemiskinan dan kerentanan, variabel penciri kemiskinan serta memberikan rekomendasi pengurangan kemiskinan dengan pendekatan berbasis agroekosistem.

Ruang lingkup penelitian yaitu kemiskinan perdesaan dengan pendekatan agroekosistem. Tipologi kemiskinan meliputi indikator kemiskinan, sifat dan kerentanan kemiskinan. Indikator kemiskinan dihitung dengan menggunakan FGT Index. Kerentanan kemiskinan diukur dengan elastisitas indikator kemiskinan terhadap garis kemiskinan dan peluang untuk keluar dari kemiskinan. Variabel penciri kemiskinan diestimasi menggunakan regresi logit dengan pengeluaran sebagai variabel dependen. Penelitian ini menemukan bahwa kemiskinan berasosiasi kuat dengan agroekosistem. Tipologi kemiskinan berbeda pada tiap agroekosistem. Kemiskinan tidak secara acak terjadi, tetapi mengikuti pola-pola tertentu (systematic patterns). Temuan dan simulasi terhadap indikator kemiskinan memperlihatkan bahwa ada keragaman kemiskinan dan kerentanan diantara agroekosistem. Selain itu, kerentanan terhadap kemiskinan berasosiasi kuat dengan agroekosistem. Rumahtangga miskin di lahan basah lebih rentan terhadap perubahan, sedangkan rumahtangga di kawasan hutan relatif paling rendah kerentanannya dibandingkan dengan agroekosistem lainnya. Selanjutnya, penelitian ini menemukan juga, bahwa faktor-faktor penciri kemiskinan terkait erat dengan agroekosistem. Secara umum, faktor pengeluaran rumahtangga untuk makanan, pemilikan rumah sebagai modal fisik merupakan faktor penciri lainnya pada semua agroekosistem. Secara spesifik, faktor fasilitas kesehatan dan pengeluaran untuk kesehatan, sanitasi dan lingkungan merupakan ciri yang khas di lahan basah. Sumber penghasilan dari peternakan dan pertambangan, dan porsi pengeluaran yang besar untuk pendidikan terjadi di lahan campuran. Faktor bahan bakar minyak tanah merupakan penciri pengeluaran dataran tinggi, lahan kering, hutan dan pantai/pesisir. Sumber penerangan listrik merupakan faktor yang khas di pantai/pesisir. Faktor transportasi darat berpengaruh nyata terhadap pengeluaran rumahtangga di lahan campuran. Secara umum, penelitian ini memberikan rekomendasi yaitu: (1) kebijakan di bidang pangan bagi penduduk miskin, (2) kebijakan penyediaan modal fisik (physical capital) bagi rumahtangga miskin, dan (3) kebijakan pembangunan infrastruktur fisik yang berpihak pada rumahtangga miskin sebagai kebijakan prioritas utama yang harus dilaksanakan di semua agroekosistem dan nasional. Selanjutnya secara lebih spesifik, untuk lahan basah, kebijakan pembangunan infrastruktur dan fasilitas kesehatan menjadi kebutuhan prioritas. Untuk hutan dan pantai/pesisir, diperlukan penataan kelembagaan, kebijakan pengembangan sumberdaya manusia (human capital) dan alternatif matapencarian. Selanjutnya, untuk pesisir/pantai, diperlukan kebijakan khusus yang memperluas akses rumahtangga terhadap penguasaan aset fisik dan keuangan.

(2)

ABSTRACT

HARNIATI. Typology of Poverty and Vulnerability Based on Agro-ecosystem and Their Implication on Poverty Alleviation Policies (D.S. PRIYARSONO as Chairman, KUNTJORO and RINA OKTAVIANI as Members of the Advisory Committee).

Poverty has always been a serious problem in Indonesia eventhough various efforts have been conducted to alleviate poverty and its vulnerability. In general, the objectives of the research are to analyze typology and characteristics of Indonesian poverty and its vulnerability based on agro-ecosystem as well as to provide recommendation on poverty alleviation using agro-ecosystem approaches.

Scope of the research includes poverty in Indonesia based on agro-ecosystem zone. Poverty indicator is analyzed by using FGT Index, while vulnerability is estimated by utilizing elasticity and probability theory. Poverty characteristic is estimated by using logarithmic regression with outputs as dependent variables.

This research found that poverty is strongly related to spatial factor based on agro-ecosystem. The poverty and vulnerability typology have different characteristics at different agro-ecosystem, in which forest has the highest poverty incidence, poverty gap and poverty severity among other agro-ecosystems, and followed by mixed farming agro-ecosystem. Poverty is not randomly occurred, however, it follows a systematic pattern. Findings and simulation of poverty indicators show that there are various poverty indicator performance among agro-ecosystems. Besides, the vulnerability of poverty is strongly related to agro-ecosystem economy. Poor households in wet land are more vulnerable to changes, whilst those in the forest area are relatively lower than that of in other agro-ecosystems.

Hence, the research also found that poverty characteristics are strongly related to agro-ecosystem. In general, household expenditure for foods and house ownership as physical capital are characteristics at all agro-ecosystems. Specifically, health facilities and expenditures for health, sanitation and environment have specific characteristics in wet land area. Income resources from livestock production and mining, and large expenditure for education occur in mixed farming agro-ecosystem. Kerosene fuel is a characteristics factor for expenditure in the upland, dry land, forest and coastal areas. Electricity factor is a specific factor in the coastal area. Land transportation factor significantly affects to household expenditures at mixed cropping area.

Generally, this research provide recommendations as follows: (1) policy on food provision for poor, (2) policy on provision of physical capital for the poor, and (3) policy on pro poor infrastructure development is priority that should be nationally implemented in all agro-ecosystems. Specifically, in wet land area, policy on infrastructure development and health facilities are priority needs. In forest area, it is required a policy on human capital development in terms of attitude, knowledge and skills. While, in the coastal area, it is required specific policy which provides households access to physical assets and finance as well as human resources enhancement.

(3)

TIPOLOGI KEMISKINAN DAN KERENTANAN BERBASIS

AGROEKOSISTEM DAN IMPLIKASINYA PADA

KEBIJAKAN PENGURANGAN KEMISKINAN

DISERTASI

HARNIATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(4)

ABSTRAK

HARNIATI. Tipologi Kemiskinan dan Kerentanan Berbasis Agroekosistem dan Implikasinya pada Kebijakan Pengurangan Kemiskinan (D.S. PRIYARSONO sebagai Ketua, KUNTJORO dan RINA OKTAVIANI sebagai Anggota Komisi Pembimbing).

Kemiskinan di Indonesia masih merupakan masalah serius meskipun berbagai upaya telah dilakukan untuk menanggulanginya. Secara umum, tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis tipologi kemiskinan dan kerentanan, variabel penciri kemiskinan serta memberikan rekomendasi pengurangan kemiskinan dengan pendekatan berbasis agroekosistem.

Ruang lingkup penelitian yaitu kemiskinan perdesaan dengan pendekatan agroekosistem. Tipologi kemiskinan meliputi indikator kemiskinan, sifat dan kerentanan kemiskinan. Indikator kemiskinan dihitung dengan menggunakan FGT Index. Kerentanan kemiskinan diukur dengan elastisitas indikator kemiskinan terhadap garis kemiskinan dan peluang untuk keluar dari kemiskinan. Variabel penciri kemiskinan diestimasi menggunakan regresi logit dengan pengeluaran sebagai variabel dependen. Penelitian ini menemukan bahwa kemiskinan berasosiasi kuat dengan agroekosistem. Tipologi kemiskinan berbeda pada tiap agroekosistem. Kemiskinan tidak secara acak terjadi, tetapi mengikuti pola-pola tertentu (systematic patterns). Temuan dan simulasi terhadap indikator kemiskinan memperlihatkan bahwa ada keragaman kemiskinan dan kerentanan diantara agroekosistem. Selain itu, kerentanan terhadap kemiskinan berasosiasi kuat dengan agroekosistem. Rumahtangga miskin di lahan basah lebih rentan terhadap perubahan, sedangkan rumahtangga di kawasan hutan relatif paling rendah kerentanannya dibandingkan dengan agroekosistem lainnya. Selanjutnya, penelitian ini menemukan juga, bahwa faktor-faktor penciri kemiskinan terkait erat dengan agroekosistem. Secara umum, faktor pengeluaran rumahtangga untuk makanan, pemilikan rumah sebagai modal fisik merupakan faktor penciri lainnya pada semua agroekosistem. Secara spesifik, faktor fasilitas kesehatan dan pengeluaran untuk kesehatan, sanitasi dan lingkungan merupakan ciri yang khas di lahan basah. Sumber penghasilan dari peternakan dan pertambangan, dan porsi pengeluaran yang besar untuk pendidikan terjadi di lahan campuran. Faktor bahan bakar minyak tanah merupakan penciri pengeluaran dataran tinggi, lahan kering, hutan dan pantai/pesisir. Sumber penerangan listrik merupakan faktor yang khas di pantai/pesisir. Faktor transportasi darat berpengaruh nyata terhadap pengeluaran rumahtangga di lahan campuran. Secara umum, penelitian ini memberikan rekomendasi yaitu: (1) kebijakan di bidang pangan bagi penduduk miskin, (2) kebijakan penyediaan modal fisik (physical capital) bagi rumahtangga miskin, dan (3) kebijakan pembangunan infrastruktur fisik yang berpihak pada rumahtangga miskin sebagai kebijakan prioritas utama yang harus dilaksanakan di semua agroekosistem dan nasional. Selanjutnya secara lebih spesifik, untuk lahan basah, kebijakan pembangunan infrastruktur dan fasilitas kesehatan menjadi kebutuhan prioritas. Untuk hutan dan pantai/pesisir, diperlukan penataan kelembagaan, kebijakan pengembangan sumberdaya manusia (human capital) dan alternatif matapencarian. Selanjutnya, untuk pesisir/pantai, diperlukan kebijakan khusus yang memperluas akses rumahtangga terhadap penguasaan aset fisik dan keuangan.

(5)

ABSTRACT

HARNIATI. Typology of Poverty and Vulnerability Based on Agro-ecosystem and Their Implication on Poverty Alleviation Policies (D.S. PRIYARSONO as Chairman, KUNTJORO and RINA OKTAVIANI as Members of the Advisory Committee).

Poverty has always been a serious problem in Indonesia eventhough various efforts have been conducted to alleviate poverty and its vulnerability. In general, the objectives of the research are to analyze typology and characteristics of Indonesian poverty and its vulnerability based on agro-ecosystem as well as to provide recommendation on poverty alleviation using agro-ecosystem approaches.

Scope of the research includes poverty in Indonesia based on agro-ecosystem zone. Poverty indicator is analyzed by using FGT Index, while vulnerability is estimated by utilizing elasticity and probability theory. Poverty characteristic is estimated by using logarithmic regression with outputs as dependent variables.

This research found that poverty is strongly related to spatial factor based on agro-ecosystem. The poverty and vulnerability typology have different characteristics at different agro-ecosystem, in which forest has the highest poverty incidence, poverty gap and poverty severity among other agro-ecosystems, and followed by mixed farming agro-ecosystem. Poverty is not randomly occurred, however, it follows a systematic pattern. Findings and simulation of poverty indicators show that there are various poverty indicator performance among agro-ecosystems. Besides, the vulnerability of poverty is strongly related to agro-ecosystem economy. Poor households in wet land are more vulnerable to changes, whilst those in the forest area are relatively lower than that of in other agro-ecosystems.

Hence, the research also found that poverty characteristics are strongly related to agro-ecosystem. In general, household expenditure for foods and house ownership as physical capital are characteristics at all agro-ecosystems. Specifically, health facilities and expenditures for health, sanitation and environment have specific characteristics in wet land area. Income resources from livestock production and mining, and large expenditure for education occur in mixed farming agro-ecosystem. Kerosene fuel is a characteristics factor for expenditure in the upland, dry land, forest and coastal areas. Electricity factor is a specific factor in the coastal area. Land transportation factor significantly affects to household expenditures at mixed cropping area.

Generally, this research provide recommendations as follows: (1) policy on food provision for poor, (2) policy on provision of physical capital for the poor, and (3) policy on pro poor infrastructure development is priority that should be nationally implemented in all agro-ecosystems. Specifically, in wet land area, policy on infrastructure development and health facilities are priority needs. In forest area, it is required a policy on human capital development in terms of attitude, knowledge and skills. While, in the coastal area, it is required specific policy which provides households access to physical assets and finance as well as human resources enhancement.

(6)

Hak Cipta milik IPB, tahun 2007

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh

(7)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul :

TIPOLOGI KEMISKINAN DAN KERENTANAN BERBASIS AGROEKOSISTEM DAN IMPLIKASINYA PADA KEBIJAKAN PENGURANGAN KEMISKINAN

merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri, dengan bimbingan ketua dan anggota Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya.

Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Agustus 2007

HARNIATI

NRP. A5460141914/EPN

(8)

TIPOLOGI KEMISKINAN DAN KERENTANAN

BERBASIS AGROEKOSISTEM DAN IMPLIKASINYA

PADA KEBIJAKAN PENGURANGAN KEMISKINAN

HARNIATI

DISERTASI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Judul Disertasi : TIPOLOGI KEMISKINAN DAN KERENTANAN BERBASIS AGROEKOSISTEM DAN

IMPLIKASINYA PADA KEBIJAKAN PENGURANGAN KEMISKINAN Nama Mahasiswa : Harniati

Nomor Pokok : A 5460141914

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Dominicus Savio Priyarsono, MS Ketua

Prof. Dr. Ir. Kuntjoro Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS Anggota Anggota

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Ekonomi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

(10)

RIWAYAT HIDUP tahun 1978 penulis diterima sebagai mahasiswa pada Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur penelusuran minat dan kemampuan (PMDK, Proyek Perintis II). Penulis meraih gelar Sarjana dari Fakultas Pertanian-IPB pada tahun 1983. Selanjutnya, gelar Master of Science diraih penulis pada bidang Agricultural Economics pada tahun 1996 dari The Ohio State University, Columbus, USA

atas beasiswa dari OTO-Bappenas. Semasa menyelesaikan kuliah di Ohio, penulis mendapat penghargaan in recognition of high scholarship, outstanding achievement or service dari The Honor Society of Agriculture –Gamma Sigma Delta. Pada tahun 2002, penulis menempuh pendidikan doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN), Sekolah Pascasarjana, IPB di Bogor.

Sejak tahun 1983 sampai dengan sekarang, penulis bekerja di Departemen Pertanian, Jakarta. Pada tahun 1984 mendapat kesempatan mengikuti Program Persahabatan Indonesia Jepang Abad ke 21 di Jepang. Pada tahun 1985 menjadi Kepala Sub Bidang Bimbingan Praktek Lapangan, pada Sub Bagian Sistem dan Metoda (1990), Sub Bidang Penyusunan Rencana Diklat (1996), Kepala Bidang Penyelenggaraan Pendidikan (2000), dan Kepala Bidang Penyelenggaraan Pelatihan (2002). Kemudian, sejak tahun 2005 penulis menjadi Sekretaris Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian.

Selama mengabdi di Departemen Pertanian, penulis terlibat aktif dalam berbagai program antara lain pada Rural Income Generating Project atau Proyek Peningkatan Pendapatan Petani Kecil dan Nelayan (P4K), Gerakan Mandiri Palawija dan Jagung (Gema Palagung), Proyek Lahan Gambut Sejuta Hektar, Pengembangan Lembaga Mandiri Mengakar di Masyarakat (LM3), Pengembangan Agropolitan, Pengarustamaan Gender, dan Pemberdayaan Masyarakat dan Pengentasan Kemiskinan di Daerah Marjinal. Sepanjang bertugas di Departemen Pertanian, penulis mendapatkan berbagai kesempatan menjadi pembicara pada berbagai seminar tingkat nasional dan internasional, mengikuti pelatihan, magang, menjadi Anggota Delegasi Republik Indonesia (DELRI) dan mengikuti berbagai event internasional lainnya serta menggalang kerjasama dengan berbagai lembaga internasional.

Selain mengabdi di Departemen Pertanian, penulis juga aktif sebagai Dosen Tidak Tetap pada Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti (1996-2000), Komite Ketenagakerjaan Tani, Anggota Dewan Pimpinan Pusat HKTI (2004-2009), Kepramukaan sebagai Ketua Harian Pimpinan Saka Tarunabumi, dan Anggota Dewan Pakar pada Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Tertinggal (The Indonesian Marginalized Community Empowerment Foundation-IMCEF),

serta Ketua Bidang Pembinaan Generasi Muda pada Yayasan Mujahidin.

(11)

Mengapa Tidak Cukup dengan Memacu Pertumbuhan Ekonomi?. Buku ini diterbitkan oleh Brighten Press, Bogor.

PRAKATA

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan karunia dan perkenan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini.

Penghargaan dan terimakasih yang setulusnya, penulis sampaikan kepada Dr. Ir. D.S. Priyarsono, M.S. selaku Ketua Komisi Pembimbing, Prof. Dr.Ir Kuntjoro dan Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S. masing-masing sebagai Anggota Komisi Pembimbing. Tanpa bimbingan dan dorongan semangat Bapak dan Ibu, maka tidak mungkin penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Sungguh, apa yang telah ditunjukkan kepada penulis selama ini adalah keteladanan yang sangat berharga dari nilai-nilai luhur jiwa pendidik.

Terimakasih dan penghargaan juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Manuntun Parulian Hutagaol, MS, Dr.Ir. Harianto, MS, dan Dr. Ir Tahlim Sudaryanto sebagai penguji luar komisi pada Ujian Tertutup dan Ujian Terbuka. Saran dan kritik beliau sangat berharga demi perbaikan disertasi ini. Demikian juga terimakasih dan penghargaan penulis kepada Dekan Sekolah Pasca Sarjana dan Prof. Dr. Bonar M. Sinaga, MA selaku Ketua Program Studi, serta semua dosen EPN-IPB pengajar kelas khusus yang telah memberikan bimbingan dan dorongan sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dengan baik.

Kepada rekan-rekan satu kelas S3-EPN Khusus angkatan pertama, penulis menyampaikan terimakasih atas kerjasama dan dorongan semangatnya. Kekompakan, persahabatan dan hari-hari indah selama masa kuliah adalah anugerah yang tidak akan terlupakan. Khususnya kepada Dr. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Dr. Agus Justianto dan Ir. Bambang Sukmananto MSc penulis sampaikan terimakasih atas dorongan dan bantuan literaturnya.

(12)

Berbagai pihak telah memberikan kontribusi dalam penyelesaian disertasi ini baik secara langsung ataupun tidak langsung. Meskipun tidak semua pihak dapat penulis sebutkan satu per satu, melalui kesempatan ini perkenankanlah penulis menyampaikan terimakasih dan penghargaan atas segala dorongan dan bantuan yang diberikan.

Secara khusus, penulis menyampaikan terimakasih dan penghargaan kepada suami Ir. R. Totok Budi Rachman Oktaputra, putra-putri kami tercinta Ivan Rachman Eka Nugraha (alm) dan Vina Larasati Dewi yang dengan cinta kasih senantiasa berdoa, memberikan dukungan dan pengorbanannya selama penulis menyelesaikan kuliah dan disertasi. Terimakasih juga pada adik-adik penulis Harnedi, Ir. Harmemi, Ir.Harfizal, MSc, dan Harwendi atas doa dan dorongannya.

Kepada ibunda Hj. Husna Udin (alm) dan ayahanda H. Haroen Sutan Mangkudun (alm), penulis menyampaikan terimakasih dan penghargaan yang tidak terhingga. Meskipun telah sekian lama beliau kembali kehadiratNya, namun semangat, nilai-nilai luhur yang ditanamkan, cinta kasih dan ketulusan pengorbanannya senantiasa menjadi pelita dan teladan bagi penulis dalam menjalani kehidupan ini.

(13)

Di sisi lain, berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk menanggulangi kemiskinan. Kebijakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi ternyata belum cukup untuk mengurangi kemiskinan. Sehingga, diperlukan pendekatan lain dalam kebijakan pengurangan kemiskinan.

Pemikiran dalam disertasi ini, harapan dan doa dipersembahkan pada para pemimpin dan mereka yang peduli terhadap pengurangan kemiskinan di Indonesia agar dapat membantu kaum miskin untuk dapat menolong dirinya sendiri. Agar tidak ada lagi bocah-bocah yang terpaksa jadi pengemis atau pengapung jaring di jermal; agar tidak ada lagi gadis-gadis kecil yang dijual demi sesuap nasi; agar tidak ada lagi keluarga yang bunuh diri; semua karena belenggu kemiskinan. Kepada saudara-saudaraku kaum miskin, yang terpinggirkan, yang matanya nanar menatap fatamorgana kehidupan, yang suaranya sering dan bahkan tak pernah didengar, disertasi ini penulis dedikasikan.

Semoga segala upaya penulis dalam menempuh kuliah dan menyelesaikan disertasi ini mendapat ridho dari Allah SWT; kiranya hanya Allah SWT pula yang dapat membalas kebaikan semua pihak yang telah membantu penulis. Pada akhirnya, segala kekurangan dalam penulisan disertasi ini sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Bogor, Agustus 2007

(14)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL xv

DAFTAR GAMBAR xviii

DAFTAR LAMPIRAN xix

I. PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Perumusan Masalah... 7

1.3. Tujuan Penelitian... 9

1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian... 9

1.5. Manfaat Penelitian... 10

II. TINJAUAN PUSTAKA... 12

2.1. TinjauanTeoretis... 12

2.1.1. Ekonomi Kemiskinan... 12

2.1.2. Perkembangan Konsep dan Pengukuran... 17

2.2. Beberapa Temuan Empirik tentang Karakteristik dan Perkembangan Kemiskinan di Indonesia... 25

2.3. Agroekosistem dan Faktor-faktor yang Berkorelasi dengan Kemiskinan... 29

2.4. Kebijakan dan Program Pengurangan Kemiskinan di Indonesia... 33

III. KERANGKA PEMIKIRAN... 36

3.1. Aspek-Aspek Kemiskinan Berbasis Agroekosistem... 3.2. Analisis Tipologi Kemiskinan... 36 46 3.3. Faktor Penciri Kemiskinan dan Kerentanan... 49

3.3.1. Faktor Rumahtangga... 50

3.3.2. Faktor Spasial dan Infrastruktur... 52

(15)

3.4.1. Garis Kemiskinan... 55

3.4.2. Data Survei Sosial Ekonomi Nasional dan Potensi Desa ... 57

3.4.3. Kemiskinan dan Kerentanan... 57

3.4.4. Karakteristik Rumahtangga Miskin... 58

(16)

5.7.1. Indikator Kemiskinan... 136

5.7.2. Kerentanan Kemiskinan... 138

VI. FAKTOR PENCIRI KEMISKINAN... 145

6.1. Nasional... 146

6.2. Lahan Basah... 151

6.3. Lahan Kering... 155

6.4. Lahan Campuran... 159

6.5. Dataran Tinggi... 162

6.6. Hutan... 164

6.7. Pantai/Pesisir... 169

VII. KEBIJAKAN PENGURANGAN KEMISKINAN BERBASIS AGROEKOSISTEM... 7.1. Kemiskinan dan Agroekosistem... 7.2. Tinjauan Empirik Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan... 7.2.1. Perode sampai dengan Tahun 2000... 7.2.2. Periode Sesudah Tahun 2000... 7.3. Pendekatan Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Agroekosistem... 172 172 187 188 191 193 VIII. KESIMPULAN DAN SARAN... 201

8.1. Kesimpulan... 201

8.2. Saran Kebijakan... 203

8.3. Saran Untuk Penelitian Lanjutan... 207

DAFTAR PUSTAKA... 209

(17)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Variabel Rumahtangga... 65

2. Variabel Infrastruktur Fisik dan Sosial... 68

3. Jumlah Rumahtangga Berdasarkan Agroekosistem Tahun 2005... 74

4. Indikator dan Elastisitas Kemiskinan Nasional Tahun 2005 ... 78

5. Sifat Kemiskinan Nasional... 82

6. Perubahan Sifat Kemiskinan Nasional ... 84

7. Beda Relatif Ratio Rataan dan Median Pengeluaran Per Kapita Nasional Terhadap Garis Kemiskinan... 84

8. Insiden Kemiskinan Nasional per Agroekosistem Tahun 2005... 86

9. Indikator dan Elastisitas Kemiskinan Pada Lahan Basah Tahun 2005 ... 89

10. Sifat Kemiskinan Pada Lahan Basah ... 93

11. Perubahan Sifat Kemiskinan Pada Lahan Basah... 96

12. Beda Relatif dan Ratio Rataan dan Median Pengeluaran Per Kapita Terhadap Garis Kemiskinan Pada Lahan Basah... 96

13. Indikator dan Elastisitas Kemiskinan Pada Lahan Kering... 100

14. Sifat Kemiskinan Pada Lahan Kering... 104

15. Perubahan Kerentanan Kemiskinan Pada Lahan Kering... 106

16. Beda Relatif dan Ratio Rataan dan Median Pengeluaran Per Kapita Terhadap Garis Kemiskinan Pada Lahan Kering ... ... 107

17. Indikator dan Elastisitas Kemiskinan Pada Lahan Campuran... 110

18. Sifat Kemiskinan Pada Lahan Campuran ... 114

19. Perubahan Sifat Kemiskinan Pada Lahan Campuran ... 116 20. Beda Relatif dan Ratio Rataan dan Median Pengeluaran Per Kapita

Terhadap Garis Kemiskinan Pada Lahan Campuran ...

(18)

21. Indikator dan Elastisitas Indikator Kemiskinan di Dataran Tinggi ... 120

22. Sifat Kemiskinan pada Dataran Tinggi ... 123

23. Perubahan Sifat Kemiskinan di Dataran Tinggi ... 125

24. Beda Relatif dan Ratio Rataan dan Median Pengeluaran Per Kapita Terhadap Garis Kemiskinan (GK) Pada Dataran Tinggi ... 126

25. Indikator dan Elastisitas Kemiskinan di Hutan... 129

26. Sifat Kemiskinan di Hutan ... 133

27. Perubahan Sifat Kemiskinan di Hutan... 134

28. Beda Relatif dan Ratio Rataan dan Median Pengeluaran Per Kapita Terhadap Garis Kemiskinan Pada Agroekosistem Hutan ... 135

29. Indikator dan Elastisitas Kemiskinan... 138

30. Sifat Kemiskinan Agroekosistem Pantai/Pesisir... 141

31. Perubahan Sifat Kemiskinan Pada Agroekosistem Pantai/Pesisir... 143

32. Beda Relatif dan Ratio Rataan dan Median Pengeluaran Per Kapita Terhadap Garis Kemiskinan Pada Agroekosistem Pantai/Pesisir... 144

33. Hasil Regresi Logit Dengan Nilai Exponent (B) < 1... 147

34. Pengaruh Beta Untuk Variabel dengan Beta lebih dari 0.10 ... 148

35. Variabel Penciri Kemiskinan Nasional... 149

36. Pengaruh Beta Untuk Variabel Dengan Beta lebih dari 0.10 ... 152

37. Variabel Penciri Kemiskinan di Lahan Basah... 154

38. Pengaruh Beta Untuk Variabel Dengan Beta lebih dari 0.10 ... 155

39. Variabel Penciri Kemiskinan di Lahan Kering... 157

40. Pengaruh Beta Untuk Variabel Dengan Beta lebih dari 0.10 di Lahan Campuran ... 160

41. Variabel Penciri Kemiskinan di Lahan Campuran... 161

(19)

43. Variabel Penciri Kemiskinan di Dataran Tinggi... 163 44. Pengaruh Beta Untuk Variabel Dengan Beta lebih dari 0.10 di

Hutan... 164 45. Variabel Penciri Kemiskinan di Hutan... 166 46. Pengaruh Beta Untuk Variabel Dengan Beta lebih dari 0.10 di

Pantai/Pesisir... 169 47. Variabel Penciri Kemiskinan di Pantai/Pesisir... 171 48. Tipologi Kemiskinan dan Kerentanan... 173 49. Pengaruh Beta (%) Untuk Variabel Dengan Beta lebih dari 0.10 pada

Tiap Agroekosistem ... 185 50. Daftar Kebijakan/Program Penanggulangan Kemiskinan

(20)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Tren Kemiskinan di Perdesaan dan Perkotaan Tahun 1981-2006 ... 29

2. Karakteristik Agroekosistem... 43

3. Kerangka Pemikiran... 45

4. Kerangka Kerja Penelitian... 62

5. Distribusi Pengeluaran Rumahtangga Secara Nasional... 81

6. Distribusi Frekuensi Pengeluaran Rumahtangga di Lahan Basah... 90

7. Distribusi Frekuensi Pengeluaran Rumahtangga di Lahan Kering... ... 100

8. Distribusi Frekuensi Pengeluaran Rumahtangga di Lahan Campuran... ... 111

9. Distribusi Frekuensi Pengeluaran Rumahtangga di Dataran Tinggi... 121

10. Distribusi Frekuensi Pengeluaran Rumahtangga di Hutan... 130

(21)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Hasil Estimasi Faktor Penentu Kemiskinan Dengan Menggunakan

Metoda Logit Regression... 215 2. Keterangan Variabel Bebas... 219 3. Variabel Dummy dan Deskripsinya... 221 4. Variabel yang Nyata Untuk Model Lahan Basah Dengan Garis

Kemiskinan Biasa... 225 5. Variabel yang Nyata Untuk Model Lahan Kering Dengan Garis

Kemiskinan Biasa... 227 6. Variabel yang Nyata Untuk Model Lahan Campuran Dengan

Garis Kemiskinan Biasa... 229 7. Variabel yang Nyata Untuk Model Pantai Dengan Garis

Kemiskinan Biasa... 231 8. Variabel yang Nyata Untuk Model Dataran Tinggi Dengan Garis

Kemiskinan Biasa... 233 9. Variabel yang Nyata Untuk Model Daerah Aliran Sungai Dengan

Garis Kemiskinan Biasa ... 235 10. Variabel yang Nyata Untuk Model Hutan Dengan Garis

Kemiskinan Biasa...

237 11. Variabel yang Nyata Untuk Model Nasional Dengan Garis

Kemiskinan Ditingkatkan 10 Persen... 239 12. Variabel yang Nyata Untuk Model Lahan Basah Dengan Garis

Kemiskinan Ditingkatkan 10 Persen ... 241 13. Variabel yang Nyata Untuk Model Lahan Kering Dengan Garis

Kemiskinan Ditingkatkan 10 Persen ... 242 14. Variabel yang Nyata Untuk Model Lahan Campuran Dengan

Garis Kemiskinan Ditingkatkan 10 Persen ... 244 15. Variabel yang Nyata Untuk Model Pantai Dengan Garis

Kemiskinan Ditingkatkan 10 Persen... 246 16. Variabel yang Nyata Untuk Model Dataran Tinggi Dengan Garis

(22)

17. Variabel yang Nyata Untuk Model Hutan Dengan Garis

Kemiskinan Ditingkatkan 10 Persen... 250 18. Variabel yang Nyata Untuk Model Nasional Dengan Garis

Kemiskinan Ditingkatkan 10 Persen ... 252 19. Variabel yang Nyata Untuk Model Lahan Basah Dengan Garis

Kemiskinan Ditingkatkan 20 Persen ... 254 20. Variabel yang Nyata Untuk Model Lahan Kering Dengan Garis

Kemiskinan Ditingkatkan 20 Persen ... 255 21. Variabel yang Nyata Untuk Model Lahan Campuran Dengan

Garis Kemiskinan Ditingkatkan 20 Persen ... 257 22. Variabel yang Nyata Untuk Model Pantai Dengan Garis

Kemiskinan Ditingkatkan 20 Persen ... 259 23. Variabel yang Nyata Untuk Model Dataran Tinggi Dengan Garis

Kemiskinan Ditingkatkan 20 Persen... 260 24. Variabel yang Nyata Untuk Model Hutan Dengan Garis

Kemiskinan Ditingkatkan 20 Persen ... 262 25. Statistik Deskriptif Pengeluaran Per Kapita Menurut

Agroekosistem dan Tipe Kemiskinan... 264 26. Statistik Deskriptif Pengeluaran Per Kapita Menurut

Agroekosistem dan Tipe Kemiskinan ... 265 27. Statistik Deskriptif Pengeluaran Per Kapita Menurut

(23)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kemiskinan telah menjadi isu dunia karena seperempat penduduk dunia dewasa ini tergolong miskin sebagaimana dilaporkan oleh The World Bank

(2004). Kemiskinan di Indonesia berdasarkan standar hidup minimum dengan pengeluaran per kapita per hari di bawah US$ 1 berjumlah sekitar 35 juta orang. Jika dihitung dengan standar US$ 2, maka penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan sekitar 80 persen atau lebih dari 175 juta orang; jumlah ini sama dengan jumlah total penduduk miskin di negara-negara Asia Timur tanpa Cina (The World Bank, 2006).

Negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada

Millenium Summit tahun 2000 menyepakati Millenium Development Goals

(MDGs) sebagai target sekaligus indikator perbaikan dunia; yakni mengurangi kemiskinan hingga menjadi 50 persen pada tahun 2015. MDGs memuat delapan butir tujuan, salah satu di antaranya adalah Eradicate Extreme Poverty and Hunger. Kemiskinan menjadi penting mendapat perhatian karena kemiskinan akan menurunkan kualitas hidup (quality of life) masyarakat, mengakibatkan antara lain tingginya beban sosial-ekonomi masyarakat, rendahnya kualitas dan produktivitas sumberdaya manusia, serta menurunnya ketertiban umum (Yudhoyono dan Harniati, 2004).

(24)

dengan indeks kedalaman kemiskinan (squared poverty gap) di sektor pertanian dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan sektor non-pertanian. Intensitas kemiskinan atau keparahan kemiskinan di sektor pertanian 2.21 lebih tinggi dibandingkan dengan sektor non-pertanian.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (Kompas, 2007), jumlah penduduk miskin di Indonesia tahun 2006 mencapai sekitar 39.05 juta atau sekitar 17.75 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Secara geografis, penduduk yang tinggal di bagian timur Indonesia yakni Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara menunjukkan persentase penduduk miskin lebih tinggi daripada penduduk di wilayah Indonesia bagian barat dan tengah. Indeks kedalaman dan indeks keparahan kemiskinan di daerah tersebut juga lebih tinggi daripada daerah lain di Indonesia.

Selanjutnya, sebagian penduduk Indonesia yang tidak tergolong miskin, berada di atas garis kemiskinan, namun merupakan penduduk yang rentan jatuh pada golongan miskin. Peningkatan insiden kemiskinan menunjukkan angka yang tinggi pada masa krisis yakni dari 11.3 persen pada tahun 1996 menjadi 24.2 persen pada tahun 1998 sebagaimana dilaporkan oleh Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (2007). Hal ini menggambarkan bahwa sebagian masyarakat Indonesia sangat rentan terhadap gejolak perekonomian.

(25)

bertumpu pada pertumbuhan ekonomi makro, (2) lebih banyak bersifat menyembuhkan (curative) bahkan lebih banyak yang bersifat karitatif (charity), (3) kebijakan yang tidak memperhitungkan indikator dan karakteristik kemiskinan, (4) kurang berkesinambungan dalam implementasinya, dan (5) kebijakan yang terpusat dan cenderung seragam. Sementara itu, Dartanto (2007) menyebutkan bahwa kebijakan pemerintah selalu bersifat reaktif, parsial, dan tidak konsisten dalam mengimplementasikan kebijakan pengentasan kemiskinan serta kurangnya sinergi dan koordinasi antar berbagai instansi pemerintah.

Selanjutnya, Center for Economic and Social Studies (CESS, 2004). melaporkan bahwa semenjak krisis ekonomi, terdapat setidaknya 28 program aksi dalam rangka pengurangan kemiskinan; yang terdiri dari 16 program aksi yang dilakukan oleh instansi pemerintah, empat oleh Lembaga Swadaya Masyarakat dan delapan oleh organisasi internasional. Sementara itu, Daly dan Fane (2002) memaparkan bahwa program pemerintah yang spesifik menyentuh penduduk miskin terdiri dari tiga kelompok yaitu skema bantuan langsung tunai (cash transfer schemes), subsidi dan bantuan (benefits in kind), serta penciptaan lapangan kerja (job creation). Pengeluaran pemerintah untuk program-program tersebut antara tahun 1998/1999 sampai dengan tahun 2000 rata-rata sekitar 12.84 triliun per tahun.

(26)

Sementara itu, Overseas for Development Institute (ODI) dan

Multistakeholder Forestry Program (2005) melaporkan bahwa di desa dalam dan tepi hutan terdapat lebih tinggi angka kemiskinan dibandingkan dengan desa di luar hutan. Rata-rata kemiskinan di desa dalam dan di tepi hutan adalah sekitar 37-50 persen dari kemiskinan di masing-masing wilayah; tertinggi di wilayah Papua yakni sekitar 70 persen dari jumlah penduduk miskin di wilayah tersebut. Setelah itu menyusul Nusa Tenggara yakni sebesar 66 persen dari jumlah penduduk miskin. Sedangkan di Sumatera, Jawa dan Bali serta Kalimantan, rumahtangga miskin yang tinggal pada zona agroekosistem hutan lebih rendah daripada rata-rata kemiskinan nasional.

Lebih jauh, Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian (1995) melaporkan bahwa pada agroekosistem lahan kering dan pantai, kemiskinan dicirikan oleh mutu sumberdaya manusianya yang rendah, daya adopsi terhadap teknologi baru dan ketrampilan lebih rendah yang mengakibatkan produktivitas rendah serta aksesibilitas terhadap pasar tenaga kerja rendah. Disebutkan juga bahwa pada agroekosistem lahan kering di Lampung menunjukkan ciri desa antara lain tidak memadainya prasarana ekonomi seperti transportasi dan infrastruktur lainnya mencakup sarana komunikasi, informasi, listrik dan lain-lain sehingga berpengaruh terhadap aktivitas ekonomi.

(27)

konteks kerentanan (vulnerability) mulai dijadikan tema riset dalam menganalisis fenomena kemiskinan dan penanggulangannya. Namun, riset mengenai kerentanan terhadap kemiskinan tersebut khususnya di Indonesia jumlahnya masih terbatas.

Kondisi kemiskinan sebagaimana tersebut di atas menyiratkan bahwa kemiskinan di Indonesia menunjukkan keragaman keragaan berdasarkan agroekosistem. Disamping itu, kemiskinan di Indonesia mempunyai fenomena yang khas pada tiap agroekosistem. Pada disertasi ini, agroekosistem didefinisikan sebagai sistem interaksi antara manusia dan lingkungan biofisik sumberdaya perdesaan dan pertanian guna memungkinkan kelangsungan hidup penduduknya.

Oleh karena itu, kebijakan pengurangan kemiskinan di Indonesia tidak sepenuhnya dapat mengacu pada resep-resep pengentasan kemiskinan negara lain, hasil kajian negara lain ataupun pendekatan spasial dengan skala agregat seperti Asia-Pasifik dan lain-lain. Upaya pengurangan kemiskinan dan kerentanan di Indonesia juga tidak dapat menggunakan satu resep tertentu. Hal ini berkaitan dengan kekhasan fenomena sekaligus keragaman keragaan kemiskinan dan kerentanan khususnya berdasarkan agroekosistem.

(28)

sebagai keragaan yang mempresentasikan karakter dan magnitut kemiskinan dan kerentanan.

Dengan menganalisis tipologi kemiskinan, dapat diketahui: (1) kebijakan yang sesuai untuk sasaran tertentu, (2) ”titik masuk” pengurangan kemiskinan, (3) prioritas berdasarkan urgensi dan keterbatasan sumberdaya, dan (4) rentang waktu intervensi. Karena itu, analisis mengenai tipologi kemiskinan serta faktor-faktor penciri yang melekat pada rumahtangga miskin sangat diperlukan. Kecenderungan mengabaikan tipologi kemiskinan khususnya berdasarkan agroekosistem dengan spesifik Indonesia haruslah dikoreksi dalam kebijakan pengurangan kemiskinan pada masa yang akan datang.

Selain tipologi, didapati juga bahwa adanya perbedaan daya dukung dan peluang ekonomi tiap agroekosistem untuk memenuhi kebutuhan hidup. Hal ini ditunjukkan oleh perbedaan karakteristik atau faktor-faktor penciri yang melekat pada rumahtangga miskin. Dengan kata lain, faktor penciri yang melekat pada kemiskinan tersebut adalah suatu archetype kemiskinan; household that is consider to be the poor because they have all their most important

characteristics.

Dengan demikian, maka kebijakan dalam pengurangan kemiskinan tidak dapat seragam tetapi hendaklah memperhitungkan tipologi dan faktor penciri kemiskinan terkait dengan keragaman agroekosistem di Indonesia. Jadi, kebijakan pengurangan kemiskinan tidak dapat dengan solusi one fits for all. Hal ini didasari pemikiran bahwa keragaman kemiskinan mencerminkan perbedaan peluang-peluang ekonomi; peluang usaha dan peluang kerja serta harga sumberdaya yang berbeda antara agroekosistem satu dengan yang lainnya.

(29)

yang pro poor merupakan prasyarat penting (necessary condition), tetapi belum cukup (insufficient). Untuk itu, diperlukan perspektif mikro yang selama ini terabaikan dalam upaya-upaya penanggulangan kemiskinan. Perspektif mikro dalam dimensi kemiskinan antara lain peningkatan kapabilitas individu dan rumahtangga, pengurangan kerentanan, perbaikan kelembagaan dan lingkungan. Dengan kata lain, pembangunan sosial dan ekonomi dapat dilakukan mulai dari tingkat bawah.

Berdasarkan uraian-uraian terdahulu, maka pendekatan agroekosistem layak dipilih sebagai alternatif acuan untuk pengurangan kemiskinan. Disertasi ini menghipotesiskan bahwa kemiskinan tidak secara acak terjadi, tetapi mengikuti pola-pola sistematis (systematic patterns) yang secara struktural berkorelasi kuat dengan agroekosistem. Sebagian rumahtangga miskin pada agroekosistem tertentu terperangkap dalam kemiskinan (spatial poverty trap) yang begitu dalam, dan sulit melewati ambang batas miskin tanpa intervensi pemerintah.

1.2. Perumusan Masalah

(30)

infrastruktur merupakan faktor-faktor penting yang berasosiasi dengan insiden kemiskinan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan pun beragam, berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lain, dari satu daerah ke daerah lain, bahkan dari satu waktu ke waktu yang lain. Karena itu, kebijakan pengurangan kemiskinan yang bersifat seragam dan karitas tidaklah tepat. Kebijakan pengurangan kemiskinan hendaknya tidak membuat ketergantungan penduduk miskin.

Menurut Sharp, Register, dan Grimes (1998), para ahli ekonomi pembangunan menyatakan bahwa;

Problems with the old welfare system: It was argued that most programs placed an emphasis on financial support and did not encourage recipients to remedy the causes of their poverty. Many argued that the programs were structured in ways that created a ‘welfare dependency” that resulted in a permanent culture of poverty”.

Kritik Sharp dan kawan-kawan tersebut membawa perubahan terhadap penanganan kesejahteraan (welfare reform) sejak pertengahan dekade 1990-an.

Dalam rangka memberikan kontribusi untuk menjawab permasalahan dan keterbatasan-keterbatasan penelitian tentang kemiskinan dengan pendekatan agroekosistem, disertasi ini dirumuskan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah tipologi kemiskinan di Indonesia? Adakah keragaman antar agroekosistem dalam hal tipologi kemiskinan?

2. Faktor-faktor apakah yang dapat menjelaskan kemiskinan pada tiap-tiap agroekosistem?

3. Bagaimanakah kebijakan pemerintah dalam penanggulangan dan pencegahan kemiskinan berdasarkan agroekosistem tersebut?

(31)

sasarannya dan sesuai dengan faktor-faktor yang berasosiasi dengan kemiskinan.

1.3. Tujuan Penelitian

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tipologi dan variabel penciri kemiskinan Indonesia dan agroekosistem serta memberikan rekomendasi pengurangan kemiskinan dengan pendekatan berbasis agroekosistem. Secara lebih spesifik, tujuan penelitian adalah:

1. Mengalisis insiden kemiskinan, indeks kedalaman, dan indeks keparahan kemiskinan tiap agroekosistem.

2. Menganalisis kerentanan kemiskinan pada tiap agroekosistem. 3. Menganalisis karakteristik kemiskinan pada tiap agroekosistem.

4. Merumuskan opsi kebijakan (policy option) pengurangan kemiskinan dan kerentanan terhadap kemiskinan berdasarkan agroekosistem dan prioritas program dikaitkan dengan pencapaian MDGs khususnya tujuan pertama (eradicate extreme poverty and hunger).

1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Analisis kemiskinan dibatasi dengan pendekatan pengeluaran penduduk miskin dibandingkan dengan garis kemiskinan, dihitung dengan menggunakan standar BPS. Indikator yang digunakan yaitu headcount index, poverty gap index

(32)

Kerentanan insiden kemiskinan tiap agroekosistem terhadap garis kemiskinan diukur dengan elastisitas insiden kemiskinan, kedalaman dan keparahan kemiskinan terhadap garis kemiskinan. Sifat kemiskinan yang mengindikasikan kemiskinan kronis (chronic poverty) dan tidak kronis (transient poverty) dianalisis dengan menghitung peluang penduduk keluar dari kemiskinan Sedangkan faktor penciri kemiskinan atau faktor-faktor yang berasosiasi dengan kemiskinan di estimasi dengan probabilitas rumahtangga jatuh ke bawah garis kemiskinan yang dicerminkan oleh parameter variabel bebas.

Penelitian ini mempunyai keterbatasan antara lain; jumlah agroekosistem yang diteliti dibatasi di enam (6) agroekosistem yaitu pantai pesisir, dataran tinggi, hutan, lahan basah, lahan kering, lahan campuran sesuai dengan ketersediaan data yang menggunakan gabungan data Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dan Potensi Desa (Podes) dari Badan Pusat Statistik (BPS). Namun, tiap agroekosistem tidak eksklusif kecuali lahan basah, lahan kering dan lahan campuran. Karena itu, untuk melihat keragaman antara agroekosistem, maka analisis uji proporsi insiden kemiskinan hanya dilakukan terhadap lahan basah, lahan kering dan lahan campuran.

1.5. Manfaat Penelitian

(33)
(34)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Teoritis

2.1.1. Ekonomi Kemiskinan

Aspek-aspek ekonomi kemiskinan (the economic aspects of poverty) dapat ditinjau dari tiga pendekatan yaitu tingkat pendapatan absolut, distribusi pendapatan, dan problem ekonomi yang berkorelasi dengan kemiskinan. Ketiga hal tersebut dianalisis melalui konsep ekonomi antara lain pertumbuhan ekonomi, kesenjangan pendapatan (income inequality), distribusi pendapatan (determinants of income distribution), permintaan terhadap tenaga kerja, penawaran tenaga kerja, kepemilikan sumberdaya (ownership pattern of resources), intervensi pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan seperti dalam penetapan harga (price floors and price ceilings) dan upah (wage rate determination) serta pelayanan umum (Sharp et al, 1998)

Pada kondisi terjadi kemiskinan, dikatakan bahwa timbul problem ekonomi yang fundamental yakni keterbatasan sumberdaya (resources) dibandingkan dengan kebutuhan manusia. Kemiskinan dalam konteks ekonomi dapat dilihat dalam kaitannya dengan tingkat pendapatan absolut, distribusi pendapatan dan korelasi antara problem ekonomi dengan kemiskinan.

Fenomena kemiskinan tidak terlepas dari hubungan berbagai variabel ekonomi; yaitu: (1) nilai atau harga sumberdaya keluarga yang dapat dikategorikan dalam dua kelompok besar yaitu tenaga kerja (labor) dan modal (capital), dimana sumberdaya tenaga kerja meliputi upaya fisik dan mental manusia untuk berperan dalam aktivitas ekonomi, sedangkan capital resources

(35)

ini tergantung pada distribusi kepemilikan sumberdaya dan perbedaan harga sumberdaya (Sharp et al 1998 dan Todaro, 2000).

Perbedaan ekonomi yang berkontribusi terhadap pendapatan keluarga atau individu merupakan perbedaan peluang ekonomi untuk meningkatkan pendapatan. Variabel yang menentukan nilai tenaga kerja antara lain tingkat pendidikan, keahlian dan keterampilan. Upaya-upaya penurunan kemiskinan dapat diperoleh dengan pertumbuhan ekonomi dan perbaikan distribusi pendapatan. Kebijakan-kebijakan yang mengarah untuk memperkecil kesenjangan pendapatan dapat memperkecil kemiskinan dalam jangka pendek maupun menengah. Jika pun terjadi trade off antara pertumbuhan ekonomi dengan kemerataan, sepanjang peningkatan pertumbuhan ekonomi lebih besar daripada peningkatan kesenjangan dan tingkat kesenjangan tersebut masih bertahan, maka penurunan kemiskinan masih dapat diharapkan (Todaro, 2000 dan Tambunan, 2001)

Dengan pertumbuhan ekonomi akan terjadi perubahan struktur ekonomi; konsumsi terhadap barang dan jasa meningkat, produksi meningkat, investasi untuk physical capital and human capital meningkat. Selanjutnya, akan meningkatkan output per tenaga kerja dan pada akhirnya meningkatkan pendapatan tenaga kerja. Peningkatan pertumbuhan ekonomi yang ditunjukkan oleh kenaikan Produk Domestik Bruto per kapita, tidak hanya merupakan peningkatan penyediaan barang dan jasa, tetapi juga meningkatkan kesempatan dan akses penduduk untuk memperoleh pilihan-pilihan yang lebih baik terhadap kesehatan, kebebasan ekonomi, kemandirian dan pendidikan. (Hayami, 2001)

(36)

bahwa sebenarnya untuk pertumbuhan ekonomi, pendidikan dan kesehatan mempunyai efek yang sama dengan tangible capital dan seharusnya dipandang sebagai investasi dalam human capital. Namun dalam ekonomi, pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan diperhitungkan sebagai bagian dari konsumsi. Sebagai bagian dari konsumsi barang dan jasa, pendidikan dan kesehatan mempunyai elastisitas pendapatan yang cukup tinggi.

Pendidikan dapat meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan kualitas tenaga kerja, stimulasi inovasi dan riset serta peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Kapabilitas individu dalam menetapkan pilihannya merupakan hal yang penting untuk kesejahteraan manusia. Terdapat korelasi positif yang tinggi antara faktor pendidikan dan kesehatan dengan output per kapita atau GNP per kapita. Pada waktu bersamaan, hubungan sebab akibatnya adalah pendapatan per kapita yang tinggi mendorong penduduk membelanjakan lebih banyak pendapatannya untuk pendidikan dan kesehatan (Hayami, 2001).

Pada tahun 1980-an, Robert Lucas dalam Romer (1996) membuat

endogeneous growth model yang menspesifikasikan pendidikan sebagai critical force that generates technological progress in an economy. Pendidikan dan

human capital dapat dilihat sebagai faktor produktif langsung dalam produksi pada Solow growth model (dalam Romer 1996). Karena itu, pendidikan disebut sebagai faktor utama pertumbuhan ekonomi.

(37)

tingkat kesehatan bergerak bersama-sama ke arah yang sama dan saling mempengaruhi.

Dalam ekonomi kesejahteraan, pengukuran tingkat kesejahteraan didasarkan pada fungsi utilitas (utility function); yang menyatakan bahwa semakin tinggi konsumsi barang dan jasa (goods and services), semakin tinggi tingkat kesejahteraannya. Hal ini mencerminkan tingkat pendapatan atau tingkat pengeluaran terhadap barang dan jasa tertentu.

Meskipun definisi kesejahteraan dapat diterima dan dipahami, secara operasional hal ini sulit dan hampir tidak mungkin dapat untuk membandingkan tingkat kesejahteraan satu individu dengan individu lainnya (Deaton,1980). Hal ini disebabkan oleh: (1) sulit menggambarkan bentuk kurva utility, karena sulit membuat model untuk kurva utilitas dengan banyak dimensi sesuai dengan dunia nyata dan (2) individu dengan pendapatan yang sama bisa saja memilih tingkat konsumsi dengan kombinasi yang berbeda; sehingga tidak dapat diperbandingkan tingkat kesejahteraannya. Untuk mengatasi hal tersebut, dalam ekonomi kesejahteraan dibuat asumsi-asumsi, yaitu: (1) kurva utilitas yang dihadapi adalah sama (identical); jadi individu memiliki kesamaan preferensi terhadap barang dan jasa dan (2) semakin tinggi pendapatan atau pengeluaran terhadap konsumsi, maka semakin tinggi kepuasannya. Dengan demikian, dapat dibuat ranking kesejahteraan di antara individu.

(38)

rumah tangga dapat digunakan untuk konsumsi atau untuk disimpan (saving) dalam rangka memelihara standar hidup, dan (3) dalam konteks statistik kemiskinan, utamanya di negara-negara berkembang, data konsumsi cenderung lebih akurat (more accurate and less severe) daripada data pendapatan (Deaton,1980).

Secara menyeluruh untuk suatu negara, kesejahteraan sering diukur dengan besaran Produk Domestik Bruto (PDB). Meskipun hal ini belum dapat dikatakan dapat mencerminkan tingkat kesejahteraan penduduk yang bersangkutan di suatu negara, namun dapat sebagai data awal untuk melihat aktivitas ekonomi suatu negara. Agar dapat mendekati keadaan nyata kesejahteraan suatu negara, PDB haruslah ada penghitungan dan penyesuaian dengan (1) tingkat inflasi yang menghasilkan PDB riil, (2) populasi yang menghasilkan PDB riil per kapita dan (3) distribusi; bagaimana kesejahteraan terdistribusikan di antara penduduk. PDB harus tumbuh dengan laju yang lebih besar daripada laju pertumbuhan penduduk.

(39)

Selain faktor tenaga kerja, produksi dipengaruhi oleh rasio sumberdaya kapital dengan tenaga kerja yang selanjutnya mempengaruhi produktivitas dan kemiskinan. Negara dengan keterbatasan sumberdaya, teknologi yang belum baik, jaringan komunikasi dan transportasi yang buruk akan memiliki PDB per kapita yang rendah.

2.1.2 Perkembangan Konsep dan Pengukuran

Kemiskinan dapat dilihat dari dua sisi pengertian yaitu kemiskinan relatif dan kemiskinan absolut. Kemiskinan relatif yaitu ukuran kesenjangan di dalam distribusi pendapatan, berkaitan dengan tingkat rata-rata dari distribusi, atau proporsi dari tingkat pendapatan rata-rata. Sedangkan kemiskinan absolut didefinisikan sebagai derajat kemiskinan ketika kebutuhan minimum untuk bertahan hidup tidak dapat dipenuhi.

Suatu individu atau rumahtangga didefinisikan miskin bila individu atau rumahtangga tidak dapat memenuhi kebutuhannya dan berada di bawah standar minimal tingkat kebutuhan, yang diukur dengan garis kemiskinan. Banyak metoda yang dikembangkan para ahli dalam penentuan garis kemiskinan ini, yang secara rinci dibahas tersendiri pada bab ini.

Dalam kaitan dengan kemiskinan absolut, diperlukan pemahaman tentang garis kemiskinan; yang diukur berdasarkan bundel kebutuhan minimum terhadap barang dan jasa. Kemiskinan absolut terkait dengan kemampuan yang dimiliki rumahtangga ataupun individu dengan berbagai karakteristiknya untuk memanfaatkan peluang-peluang ekonomi guna memenuhi kebutuhannya.

Sejak pertengahan dekade 1980-an, kemiskinan tidak lagi dipersepsikan sebagai hanya persoalan ekonomi, tetapi menyangkut kualitas hidup (The

(40)

manusia tidak boleh dipandang dari hanya sekedar tingkat pendapatan, namun juga dari kualitas hidup yang dimilikinya. Alternatif pengukuran the Quality of Life diulas oleh Berg (2001) yang mengatakan bahwa kualitas hidup itu terdiri dari komponen Gross Domestic Product (GDP) riil per kapita, life expectancy, rata-rata lama pendidikan, tingkat kematian bayi dan anak-anak.

Mulai dekade 1990-an, tolok ukur kemiskinan memasukkan dimensi sosial kemiskinan. Pada Konferensi Dunia untuk Pembangunan Sosial (World Summit for Social Development) di Kopenhagen,1995, kemiskinan didefinisikan sebagai berikut:

”Kemiskinan memiliki wujud yang majemuk, termasuk rendahnya tingkat pendapatan dan sumber daya produktif yang menjamin kehidupan berkesinambungan; kelaparan dan kekurangan gizi; rendahnya tingkat kesehatan; keterbatasan dan kurangnya akses pada pendidikan dan layanan-layanan pokok lainnya; kondisi tak wajar dan akibat penyakit yang terus meningkat; kehidupan bergelandang dan tempat tinggal yang tidak memadai; lingkungan yang tidak aman, serta diskriminasi dan keterasingan sosial; dan dicirikan juga oleh rendahnya tingkat partisipasi dalam proses pengambilan keputusan dan dalam kehidupan sipil, sosial dan budaya”.

(41)

dalam dimensi ekonomi (Yudhoyono dan Harniati, 2004). Seseorang dinyatakan miskin ialah bila berpendapatan di bawah garis kemiskinan (poverty line). Berapa besaran garis kemiskinan dan bagaimana metoda pengukuran atau penghitungannya sering dijadikan bahan analisis atau studi dan banyak diperdebatkan.

Dalam perkembangannya, kriteria tingkat kesejahteraan masyarakat ataupun kemiskinan mengalami perkembangan. Hingga dekade 1970-an, GDP dipakai sebagai patokan kesejahteraan. Namun berbagai studi menunjukkan bahwa banyak dijumpai kasus dimana GDP tinggi, namun banyak penduduk miskin.

Pada tahun 1995 ilmuwan dari United Naton Development Programme, diprakarsai Mahbub Ul Haq mengembangkan Human Development Index (HDI) atau Index Pembangunan Manusia sebagai indikator perkembangan kesejahteraan. Pada HDI ini selain dimensi ekonomi, juga dimasukkan dimensi selain ekonomi. Variabel HDI merupakan besaran agregat GNP, tingkat harapan hidup, dan tingkat pendidikan. Peringkat HDI menunjukkan komparasi kesejahteraan antarnegara.

UNDP kemudian juga memperkenalkan pengukuran kemiskinan yang dikenal dengan Human Poverty Index (HPI) atau indeks kemiskinan manusia. Pada HPI, variabel-variabel kemiskinan antara lain persentase penduduk dengan usia harapan hidup di bawah 40 tahun, persentase keberaksaraan penduduk usia dewasa, rata-rata persentase penduduk tanpa akses kepada sumber air aman diminum, dan akses terhadap pelayanan kesehatan.

(42)

sementara (transient poverty) ialah kemiskinan yang ditandai dengan menurunnya pendapatan sebagai akibat dari perubahan siklus ekonomi dari kondisi normal menjadi kondisi krisis.

Berbagai literatur mendefinisikan kemiskinan tidak hanya berkenaan dengan tingkat pendapatan, tetapi juga dari aspek kehidupan sosial, lingkungan bahkan keberdayaan dan tingkat partisipasinya sebagaimana digambarkan oleh

The World Bank (2000):

Poverty is hunger. Poverty is lack of shelter. Poverty is being sick and not being able to go to school and not knowing to know how to read. Poverty is not having job, is fear for the future, living one day at a time. Poverty is losing a child to illness bring about by unclean water. Poverty is powerlessness, lack of representation and freedom.

Analisis kebijakan ataupun studi tentang kemiskinan pada masa lalu menggunakan pendekatan statistik klasik terhadap kemiskinan. Indikator kemiskinan yang digunakan yaitu pendapatan, pendidikan, dan kesehatan. Besaran pendapatan untuk penetapan kategori miskin atau batas miskin (poverty line) diturunkan dari survei tradisional terhadap pendapatan penduduk atau pengeluaran konsumsi rumahtangga. Menurut Robb (2003) pengukuran atau indikator tersebut gagal menangkap multidimensi kemiskinan. Untuk mengerti tentang kemiskinan, haruslah melihat bagaimana kehidupan orang miskin dengan menggunakan pendekatan multidisiplin.

(43)

seseorang yang hanya dapat memenuhi makanannya kurang dari 2100 kalori per kapita per hari.

Di Indonesia, sejak tahun 1976, BPS menggunakan batas miskin dari besarnya rupiah yang dibelanjakan per kapita sebulan untuk memenuhi kebutuhan makanan dan non makanan. Untuk kebutuhan makanan digunakan patokan 2.100 kalori per hari, sedangkan pengeluaran kebutuhan minimum bukan makanan meliputi pengeluaran untuk perumahan, sandang, serta aneka barang dan jasa. Komponen non-makanan ini juga dibedakan antara perkotaan dengan perdesaan. Sayogyo dalam CESS dan ODI (2003) menentukan garis kemiskinan dengan menggunakan ekuivalen konsumsi beras per kapita; yakni 320 kg beras untuk perdesaan dan 480 kg untuk perkotaan (per kapita per tahun).

Indikator kemiskinan yang digunakan dalam studi-studi empiris yaitu: 1. the incidence of poverty (the poverty headcount index), yang menggambarkan

persentase dari populasi yang hidup dalam keluarga dengan pengeluaran konsumsi per kapita di bawah garis kemiskinan,

2. the depth of poverty (the poverty gap index), yang menggambarkan dalamnya kemiskinan; yakni jarak/perbedaan rata-rata pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan,

3. the severity of poverty, yang menunjukkan keparahan kemiskinan; yang memperlihatkan ketimpangan diantara orang miskin.

(44)

antara penduduk miskin, karena itu perlu diukur dengan indeks keparahan kemiskinan.

Indeks kedalaman dan keparahan diturunkan dari apa yang disebut “a class of additively decomposable measures”. seperti yang diformulasikan oleh Foster, Greer dan Thorbecke dalam BPS (2005), yang dikenal dengan FGT

Index. Formula FGT meliputi insiden kemiskinan, indeks kedalaman dan indeks keparahan, dirumuskan sebagai: besar pula timbangan yang diterapkan untuk mengukur keparahan dari insiden kemiskinan

yi = nilai rata-rata pengeluaran konsumsi per kapita/bulan dari penduduk

yang berada di bawah garis kemiskinan; dimana i = (1,2,....q)

berurutan menurut besarnya pendapatan dengan ketentuan:

α= 0 adalah head-count index; yang mengindikasikan proporsi penduduk

(45)

α=1 adalah rata-rata kedalaman kemiskinan (yang dinyatakan sebagai

proporsi terhadap garis kemiskinan). Jika α=1 maka P1= (1/n)Σ

(z-yi/z)1. Misalkan P1=0,15; ini berarti bahwa gap (kesenjangan) antara

total penduduk miskin terhadap garis kemiskinan, jika dirata-ratakan terhadap seluruh penduduk (baik miskin maupun tidak miskin), adalah 15 pesen. P1/Po = 1/q Σ(z-yi/z) adalah rata-rata kedalaman

kemiskinan sebagai proporsi dari garis kemiskinan.

α=2 adalah suatu ukuran yang dalam beberapa hal sensitif terhadap perubahan distribusi pengeluaran diantara penduduk miskin.

Disagregasi kemiskinan dilakukan oleh Ikhsan (1999) berdasarkan kondisi kemiskinan terhadap masyarakat miskin yang berada di bawah garis kemiskinan. Penelitian tersebut membangun garis kemiskinan yang baru dengan mengacu pada standar kemiskinan versi The World Bank dan berbeda dengan garis kemiskinan versi BPS. Disagregasi yang dilakukan yaitu karakteristik kemiskinan yang bersifat nasional (Indonesia).

Studi tentang kerentanan yang dilakukan oleh Sumarto dan Suryahadi (2001) mengkuantifikasi kerentanan dan menghasilkan pemilahan antara kemiskinan kronik dan kemiskinan sementara pada masa sebelum dan sesudah krisis ekonomi di Indonesia. Kerentanan terhadap kemiskinan (vulnerability to poverty) didefinisikan sebagai probabilitas atau resiko rumahtangga mengalami kemiskinan setidaknya pada suatu masa dalam siklus hidupnya di masa yang akan datang. Perbedaan kerentanan terhadap kemiskinan dan insiden kemiskinan menurut Chaudhuri (2001) ialah;

Vulnerability is a forward-looking ex-ante measure of a household’s well-being; poverty is an ex-post measure of a household’s well-being (or lack thereof).

(46)

Suatu rumahtangga dianggap rentan (vulnerable) terhadap kemiskinan bila probabilitasnya jatuh pada kondisi kemiskinan sama atau lebih besar dari 50 persen. Kerentanan terhadap kemiskinan ini bisa dikuantifikasi, yakni dengan menghitung atau mengkuantifikasi kemungkinan atau resiko jatuh miskin atau berada dalam kondisi di bawah garis kemiskinan. Kerentanan berdasarkan

Headcount PovertyRate tersebut juga kerentanan garis kemiskinan (Vulnerability to Poverty Line).

Kondisi rentan dapat menjadi jatuh di bawah garis kemiskinan bila ada faktor yang mendorong atau memicu. Menurut Islam (2001), faktor-faktor tersebut dapat berupa goncangan tingkat mikro/household seperti pencari nafkah jatuh sakit atau meninggal, pada tingkat meso/community seperti gagal panen, fluktuasi harga produk dan degradasi lingkungan; dan pada tingkat makro/economy-wide level seperti krisis finansial tahun 1997.

Penelitian yang dilakukan Ikhsan (1999) dan Pritchett et al (2000) menunjukkan bahwa jumlah rumahtangga miskin berubah signifikan dengan adanya krisis ekonomi. Selanjutnya, penelitian Sumaryadi (2001) menunjukkan bahwa 38-50 persen dari rumahtangga Indonesia sangat riskan terhadap gejolak perekonomian, dan sekitar 18 persen dari mereka tergolong pada kemiskinan absolut. Studi oleh The World Bank (2003) juga memperlihatkan bahwa jumlah penduduk miskin akan naik dua kali lipat (200 persen) jika garis kemiskinan naik dari US$ 1 ke US$ 2 per kapita per hari.

(47)

rumahtangga. Hasil regresi juga memungkinkan untuk analisis perbedaan tingkat kerentanan. Estimasi variabilitas pendapatan menggunakan koefisien variasi pendapatan. Namun, hal ini bisa bias karena tidak mudah mencari variabilitas pendapatan dengan kemiskinan, utamanya pada yang selalu dalam kategori miskin. Dalam konteks kerentanan, penelitian bersama IPB, UGM, UI (2004) merekomendasikan agar sasaran kebijakan penanggulangan kemiskinan tidak hanya pada penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan tetapi juga yang nyaris atau rentan terhadap garis kemiskinan.

2.2. Beberapa Temuan Empirik tentang Karakteristik dan Perkembangan Kemiskinan di Indonesia

Potret kemiskinan Indonesia berdasarkan data BPS 2005 menunjukkan bahwa persentase penduduk miskin di perdesaan sebanyak 22.7 juta jiwa; sementara jumlah total penduduk miskin sebesar 35.1 juta jiwa atau 15.7 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Dibandingkan dengan data tahun 2003, mengalami penurunan dimana jumlah penduduk miskin di Indonesia 38.4 juta jiwa. Sekitar 65.4 persen dari penduduk miskin tersebut berada di perdesaan dan 82.1 pesen di antaranya menggantungkan hidup dari sektor pertanian.

Perkembangan kondisi kemiskinan menurut BPS (2002) adalah sebesar 37.7 juta jiwa (17.9 persen), yang terdistribusi sebanyak 14.3 persen di perkotaan dan 20.5 persen di perdesaan. Penyebaran penduduk miskin tersebut sebanyak 58.1 persen di Jawa dan Bali, 20.5 persen di Sumatera dan 21.4 persen di Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Irian Jaya.

(48)

Sementara itu, indeks keparahan kemiskinan di perkotaan meningkat dari 3.53 menjadi 5.01 dan di perdesaan dari 0.96 menjadi 1.48.

Peningkatan kedua indeks tersebut mengindikasikan bahwa krisis ekonomi yang terjadi telah memperdalam dan memperparah kemiskinan di Indonesia. Pada tahun 2002, indeks kedalaman kemiskinan mengalami perbaikan menjadi 3.01 dan indeks keparahan kemiskinan menjadi 0.79.

Menurut data The World Bank (2001), pada awal tahun 1999 jumlah penduduk miskin di perdesaan sebanyak 36.7 juta jiwa dan di perkotaan 19.1 juta jiwa. Kemiskinan perkotaan sering dikatakan sebagai efek dan tumpahan kemiskinan di perdesaan. Selanjutnya, IFAD (2001) melaporkan bahwa 75.7 persen penduduk miskin berada di perdesaan dan menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Sebelumnya, pada tahun 2001, penduduk miskin yang tinggal di perdesaan sekitar 75.7 persen, sehingga dapat dikatakan bahwa pada umumnya kemiskinan merupakan fenomena perdesaan.

Secara lebih spesifik, Pasaribu dalam Rusastra et al (2006) menyebutkan bahwa karakteristik penduduk miskin dicirikan oleh beberapa hal antara lain; (a) masyarakat miskin sebagian besar tinggal di perdesaan dengan mata pencarian dominan berusaha sendiri di sektor pertanian (60 persen); (b) penduduk miskin dengan kualitas sumberdaya manusia yang rendah, umumnya tinggal di wilayah dengan karakteristik marjinal, dukungan infrastruktur terbatas dan tingkat adopsi teknologi yang rendah.

Gambar

Gambar 1. Tren Kemiskinan di Perdesaan dan Perkotaan Tahun 1981-                               2006
Gambar 2. Karakteristik Agroekosistem
Gambar 3.
Tabel  1.   Variabel Rumahtangga
+7

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Mel Silberman (2009: 251) strategi pembelajaran aktif College Ball yaitu siswa belajar berkelompok dengan mendiskusikan materi dan tugas-tugas matematika,

Metode yang digunakan dalam pengembangan aplikasi ini yaitu menggunakan metode Waterfall yang meliputi: analisis, perancangan, pengkodean, dan pengujian hasil

Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa: adanya pengaruh secara bersama-sama dari variabel persepsi resiko, variabel kualitas, variabel harga dan variabel nilai terhadap

Indonesia, (online) available: www.rumahwakaf.org. Diakses pada tanggal 10 Desember 2018.. Asy Syar’iyyah, Vol. Contohnya mendirikan gedung wakaf dan gedung pusat bisnis untuk

Breksi autoklastik pada Pantai Lumpue berwarna abu-abu kehijauan, memperlihatkan struktur blocky yang terbentuk akibat adanya gumpalan-gumpalan gas pada saat

 Jaringan drainase sisi Selatan dan jaringan drainase Irigasi Sungai Ular dapat dimanfaatkan sebagai penampung aliran permukaan yang berasal dari sisi Selatan

Dari 20 (duapuluh) industri yang berlokasi di sepanjang DAS Brantas Hulu ada 5 (lima).. industri yang sangat berpengaruh terhadap penurunan kualitas air. Industri- industri

Saat ini saya sedang melakukan penelitian tentang “Koping pada Pasien Kanker Kolorektal saat Menjalani Perawatan Post Kolostomi di RSUP H.. Adam