STRATE GI ALOKASI BE LANJA PUBLIK
UNTUK PE NINGKATAN KE SE JAHTE RAAN
MASYARAKAT
CARDIMAN
SE KOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PE RTANIAN BOGOR
iii
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul :
STRATEGI ALOKASI BELANJA PUBLIK UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Desember 2006
ii
CARDIMAN. Strategi Belanja Publik Untuk Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat. Dibimbing oleh HERMANTO SIREGAR sebagai ketua dan
HARIANTO sebagai anggota komisi pembimbing.
Sejak diberlakukannya paket undang -undang otonomi daerah (UU No. 32 dan 33 tahun 2004), maka paradigma penyelenggaraan pemerintahan mengalami pergeseran. Semula bersifat sentralistik berubah menjadi desentralistik. Implikasinya terhadap pemerintah daerah adalah bahwa pemerintah daerah diberikan kewenangan yang lebih besar untuk mengatur dan mengurus daerahnya sendiri termasuk dalam hal pengelolaan keuangan daerah.
Otonomi daerah dilihat dari segi anggaran mengakibatkan peningkatan pendapatan daerah. Peningkatan pendapatan daerah berarti juga meningkatkan anggaran belanja daerah. Peningkatan belanja daerah akan meningkatkan pembangunan prasarana dan sarana ekonomi di daerah yang selanjutnya akan menciptakan berbagai lapangan kerja bagi masyarakat yang akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah tersebut.
Pening katan anggaran APBD semestinya diikuti oleh peningkatan kesejahteraan masyarakat yang dicerminkan lewat pendapatan per kapita per tahun dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Untuk mengetahui pengaruh APBD terhadap kesejahteraan masyarakat dianalisis menggunakan metode analisis ekonometrika (regresi linier). Untuk penyusunan strategi/rancangan program, metode analisis yang digunakan adalah analisis situasi (SWOT).
iv
© Hak cipta milik Cardiman, tahun 2006 Hak cipta dilindungi
UNTUK PE NINGKATAN KE SE JAHTE RAAN
MASYARAKAT
CARDIMAN
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
SE KOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PE RTANIAN BOGOR
NRP : A 153 044 075
Program Studi : Manajemen Pembangunan Daerah
Menyetujui : Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec Dr. Ir. Harianto , MS Ketua Anggota
Mengetahui :
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Manajemen Pembangunan
Daerah
Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro , MS.
ix
Karya ilmiah ini penulis persembahkan kepada :
NUNUNG NURHIMAH, S.Ag; HIRA RAHIMAH;
KHAIRA NUUR RAHIMAH;
MUHAMMAD HANIF NUUR RAHMAN.
vii
Penulis dilahirkan di Indramayu Jawa Barat pada tanggal 20 September 1966 dari ayah Wasman (alm) dan ibu Warsidem sebagai anak tunggal.
Pendidikan SD sampai dengan SMA diselesaikan di Indramayu. Lulus SMA Negeri Indramayu pada tahun 1986 dan pada tahun yang sama diterima di Institut Pertanian Bogor, Fakultas Politeknik Pertanian, Program Studi Produsen Benih (Diploma III) lulus pada tahun 1989. Tahun 1992 Penulis diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil Pemda Provinsi Jawa Barat dan ditempatkan di Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Lebak, sejak tahun 1994 menjabat sebagai Kepala Sub Seksi Data dan Statistik Bina Program. Tahun 1995 Penulis lulus Sarjana Pertanian Universitas Winaya Mukti Bandung. Pada tahun 1999 Penulis pindah kerja dari Pemda Kabupaten Lebak ke Pemda Kodya Bekasi dan menjabat sebagai Kepala Seksi Pengembangan Teknologi Pertanian Dinas Pertanian Kodya Bekasi. Selanjutnya pada tahun 2006 Penulis beralih tugas ke Bappeda Kota Bekasi dan menjabat sebagai Kepala Sub Bidang Perindustrian, Perdagangan dan Pariwisata Bidang Ekonomi Bappeda Kota Bekasi sampai dengan sekarang.
viii
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Adapun judul tesis yang penulis susun adalah Strategi Alokasi Belanja Publik Untuk Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec sebagai ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Harianto, MS sebagai anggota komisi pembimbing yang berkenan meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Ucapan terima kasih penulis sampaikan juga kepada Bapak Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec, Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec, dan Dr. Ir. Lukman M Baga, M.Ec sebagai pengelola Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah yang telah me mberikan semangat dan motivasi untuk menyelesaikan tesis ini. Juga penulis ucapkan terima kasih kepada Ir. H. Maman Sukirman dan Nellyana Koesman, SH, MSi sebagai Kepala Bappeda dan Kepala Bidang Ekonomi Bappeda Kota Bekasi yang telah memberikan dukungan moral kepada penulis. Serta kepada Ibu Nunung Nurhimah, S.Ag sebagai istri tercinta dan Hira Rahimah, Khaira Nuur Rahimah, dan Muhammad Hanif Nuur Rahman sebagai anak-anak tersayang yang telah mend ukung dengan penuh pengertian dan kesabaran, penulis ucapkan terima kasih dan kepada berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Desember 2006
x Halaman I II III IV
DAFTAR TABEL ………... DAFTAR GAMBAR ……….. DAFTAR LAMPIRAN ...
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ………. 1.2 Perumusan Masalah ……… 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ………..
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ……… 2.1.1 Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ...
2.1.2 Mekanisme Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ... 2.1.3 Peranan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dalam Pembangunan Ekonomi Daerah ... 2.1.4 Rasio Aktifitas Keuangan Daerah ... 2.2 Kesejahteraan Masyarakat ...
2.2.1 Pendapatan per Kapita ... 2.2.2 Indeks Pembangunan Manusia ...
METODOLOGI
3.1 Kerangka Pemikiran ... 3.2 Lokasi dan Waktu Kajian ... 3.3 Metode Pe nelitian ………. 3.3.1 Sasaran Penelitian ……… 3.3.2 Metode Pengumpulan Data ………. 3.3.3 Metode Pengolahan dan Analisis Data ………. 3.3.3.1 PDRB Per Kapita Sebagai Fungsi dari
Belanja Publik dan Belanja Aparatur…….. 3.3.3.2 Rasio Alokasi Belanja Aparatur dan
Belanja Publio ………. 3.3.3.3 Indeks Pembangunan Manusia Sebagai
Fungsi dari Belanja Pemerintah Daerah … 3.4 Metode Perancangan Program ………..
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Analisis Ekonometrika Pengaruh Belanja Aparatur dan Belanja Publik terhadap PDRB Per Kap ita ... 4.2 Analisis Ekonometrika Pengaruh Belanja Aparatur dan
Belanja Publik terhadap Indeks Pembangunan Manusia ... 4.3 Analisis Rasio Alokasi Belanja Aparatur dan Belanja
STRATE GI ALOKASI BE LANJA PUBLIK
UNTUK PE NINGKATAN KE SE JAHTE RAAN
MASYARAKAT
CARDIMAN
SE KOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PE RTANIAN BOGOR
iii
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul :
STRATEGI ALOKASI BELANJA PUBLIK UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Desember 2006
ii
CARDIMAN. Strategi Belanja Publik Untuk Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat. Dibimbing oleh HERMANTO SIREGAR sebagai ketua dan
HARIANTO sebagai anggota komisi pembimbing.
Sejak diberlakukannya paket undang -undang otonomi daerah (UU No. 32 dan 33 tahun 2004), maka paradigma penyelenggaraan pemerintahan mengalami pergeseran. Semula bersifat sentralistik berubah menjadi desentralistik. Implikasinya terhadap pemerintah daerah adalah bahwa pemerintah daerah diberikan kewenangan yang lebih besar untuk mengatur dan mengurus daerahnya sendiri termasuk dalam hal pengelolaan keuangan daerah.
Otonomi daerah dilihat dari segi anggaran mengakibatkan peningkatan pendapatan daerah. Peningkatan pendapatan daerah berarti juga meningkatkan anggaran belanja daerah. Peningkatan belanja daerah akan meningkatkan pembangunan prasarana dan sarana ekonomi di daerah yang selanjutnya akan menciptakan berbagai lapangan kerja bagi masyarakat yang akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah tersebut.
Pening katan anggaran APBD semestinya diikuti oleh peningkatan kesejahteraan masyarakat yang dicerminkan lewat pendapatan per kapita per tahun dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Untuk mengetahui pengaruh APBD terhadap kesejahteraan masyarakat dianalisis menggunakan metode analisis ekonometrika (regresi linier). Untuk penyusunan strategi/rancangan program, metode analisis yang digunakan adalah analisis situasi (SWOT).
iv
© Hak cipta milik Cardiman, tahun 2006 Hak cipta dilindungi
UNTUK PE NINGKATAN KE SE JAHTE RAAN
MASYARAKAT
CARDIMAN
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
SE KOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PE RTANIAN BOGOR
NRP : A 153 044 075
Program Studi : Manajemen Pembangunan Daerah
Menyetujui : Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec Dr. Ir. Harianto , MS Ketua Anggota
Mengetahui :
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Manajemen Pembangunan
Daerah
Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro , MS.
ix
Karya ilmiah ini penulis persembahkan kepada :
NUNUNG NURHIMAH, S.Ag; HIRA RAHIMAH;
KHAIRA NUUR RAHIMAH;
MUHAMMAD HANIF NUUR RAHMAN.
vii
Penulis dilahirkan di Indramayu Jawa Barat pada tanggal 20 September 1966 dari ayah Wasman (alm) dan ibu Warsidem sebagai anak tunggal.
Pendidikan SD sampai dengan SMA diselesaikan di Indramayu. Lulus SMA Negeri Indramayu pada tahun 1986 dan pada tahun yang sama diterima di Institut Pertanian Bogor, Fakultas Politeknik Pertanian, Program Studi Produsen Benih (Diploma III) lulus pada tahun 1989. Tahun 1992 Penulis diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil Pemda Provinsi Jawa Barat dan ditempatkan di Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Lebak, sejak tahun 1994 menjabat sebagai Kepala Sub Seksi Data dan Statistik Bina Program. Tahun 1995 Penulis lulus Sarjana Pertanian Universitas Winaya Mukti Bandung. Pada tahun 1999 Penulis pindah kerja dari Pemda Kabupaten Lebak ke Pemda Kodya Bekasi dan menjabat sebagai Kepala Seksi Pengembangan Teknologi Pertanian Dinas Pertanian Kodya Bekasi. Selanjutnya pada tahun 2006 Penulis beralih tugas ke Bappeda Kota Bekasi dan menjabat sebagai Kepala Sub Bidang Perindustrian, Perdagangan dan Pariwisata Bidang Ekonomi Bappeda Kota Bekasi sampai dengan sekarang.
viii
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Adapun judul tesis yang penulis susun adalah Strategi Alokasi Belanja Publik Untuk Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec sebagai ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Harianto, MS sebagai anggota komisi pembimbing yang berkenan meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Ucapan terima kasih penulis sampaikan juga kepada Bapak Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec, Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec, dan Dr. Ir. Lukman M Baga, M.Ec sebagai pengelola Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah yang telah me mberikan semangat dan motivasi untuk menyelesaikan tesis ini. Juga penulis ucapkan terima kasih kepada Ir. H. Maman Sukirman dan Nellyana Koesman, SH, MSi sebagai Kepala Bappeda dan Kepala Bidang Ekonomi Bappeda Kota Bekasi yang telah memberikan dukungan moral kepada penulis. Serta kepada Ibu Nunung Nurhimah, S.Ag sebagai istri tercinta dan Hira Rahimah, Khaira Nuur Rahimah, dan Muhammad Hanif Nuur Rahman sebagai anak-anak tersayang yang telah mend ukung dengan penuh pengertian dan kesabaran, penulis ucapkan terima kasih dan kepada berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Desember 2006
x Halaman I II III IV
DAFTAR TABEL ………... DAFTAR GAMBAR ……….. DAFTAR LAMPIRAN ...
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ………. 1.2 Perumusan Masalah ……… 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ………..
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ……… 2.1.1 Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ...
2.1.2 Mekanisme Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ... 2.1.3 Peranan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dalam Pembangunan Ekonomi Daerah ... 2.1.4 Rasio Aktifitas Keuangan Daerah ... 2.2 Kesejahteraan Masyarakat ...
2.2.1 Pendapatan per Kapita ... 2.2.2 Indeks Pembangunan Manusia ...
METODOLOGI
3.1 Kerangka Pemikiran ... 3.2 Lokasi dan Waktu Kajian ... 3.3 Metode Pe nelitian ………. 3.3.1 Sasaran Penelitian ……… 3.3.2 Metode Pengumpulan Data ………. 3.3.3 Metode Pengolahan dan Analisis Data ………. 3.3.3.1 PDRB Per Kapita Sebagai Fungsi dari
Belanja Publik dan Belanja Aparatur…….. 3.3.3.2 Rasio Alokasi Belanja Aparatur dan
Belanja Publio ………. 3.3.3.3 Indeks Pembangunan Manusia Sebagai
Fungsi dari Belanja Pemerintah Daerah … 3.4 Metode Perancangan Program ………..
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Analisis Ekonometrika Pengaruh Belanja Aparatur dan Belanja Publik terhadap PDRB Per Kap ita ... 4.2 Analisis Ekonometrika Pengaruh Belanja Aparatur dan
Belanja Publik terhadap Indeks Pembangunan Manusia ... 4.3 Analisis Rasio Alokasi Belanja Aparatur dan Belanja
xi
VI
5.3 Analisis SWOT ………..
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan ……… 6.2 Saran-Saran ………..
DAFTAR PUSTAKA ………. LAMPIRAN ………
66
73 75
xii
Tabel Halaman
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Perkembangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Bekasi Tahun 1999 -2004 ………..
Perkembangan PDRB Per Kapita Penduduk Kota Bekasi Tahun 1997-2004 ………...
Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia di Kota Bekasi Tahun 1999 -2004 ………..
Jenis dan Sumber Data Sekunder Bahan Kajian Alokasi Anggaran Belanja untuk Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat ...
Kaitan Antara Tujuan, Data dan Metode Analisis …………..
Pengaruh Belanja Aparatur, Belanja Publik, Penerapan Otonomi Daerah dan Pemekaran Wilayah terhadap PDRB Per Kapita pada Periode 1983-2004 ………..
.Dampak Penerapan Otonomi Daera h Terhadap
Pendapatan dan Belanja Pemerintah Kota Bekasi ………..
Pengaruh Belanja Aparatur, Belanja Publik dan Penerapan Otonomi Daerah terhadap IPM pada Periode 1999-2005 ..
Pengaruh Belanja Aparatur, Belanja Publik dan Penerapan Otonomi Daerah terhadap Indeks Pendapatan pada
Periode 1999 -2005 ……….
Pengaruh Belanja Aparatur, Belanja Publik dan Penerapan Otonomi Daerah terhadap Indeks Kesehatan pada Periode 1999-2005 ………
Pengaruh Belanja Aparatur, Belanja Publik dan Penerapan Otonomi Daerah terhadap Indeks Pendidikan pada
Periode 1999 -2005 ………
Pengaruh Belanja Aparatur, Belanja Publik dan Penerapan Otonomi Daerah terhadap Rata-rata Lama Sekolah pada Periode 1999 -2005 ………
xiii
14
15
16
17
18
19
20
Kegiatan/Proyek Bidang Ekonomi pada Periode 2001-2005 di Pemerintah Kota Bekasi ……….
Kegiatan/Proyek Bidang Kesehatan pada Periode 2001-2005 di Pemerintah Kota Bekasi ...
Kegiatan/Proyek Bidang Pendidikan pada Periode 2001-2005 di Pemerintah Kota Bekasi ……….
Key Success Factors (KSF) Acuan Alokasi Belanja Publik untuk Kesejahteraan Masyarakat ………
Hasil Analisis Situasi Eksternal Acuan Alokasi Belanja Publik untuk Kesejahteraan Masyarakat ………
Hasil Analisis Situasi Internal Acuan Alokasi Belanja Publik untuk Kesejahteraan Masyarakat ………
Hasil Analisis SWOT ………..
53
55
57
62
64
65
xiv
Gambar Halaman
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Pertumbuhan APBD Riil dan PDRB Per Kapita Kota Bekasi Tahun 1998 -2004 ………...
Pertumbuhan APBD Riil dan IPM Kota Bekasi Tahun 2000-2004 ……….
Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ...
Struktur dan Komponen APBD pada Masa O tonomi Daerah ………..
Struktur dan Komponen APBD pada Masa Orde Baru ….
Proses Penyusunan Anggaran Belanja dan Pendapatan Daerah ………..
Komponen-Komponen Penyusun Indeks Pembangunan Manusia ...
Kerangka Pikir Strategi Alokasi Belanja Daerah untuk Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat ……….
Mekanisme Penyusunan Rancangan Program...
Perbandingan Rasio Belanja Aparatur dan Belanja Publik Periode 1983-2005 ………..
Perbandingan Rasio Belanja Aparatur dan Belanja Publik Pemerintah Kota Bekasi Periode 1997-2005 ……..
Perbandingan Rasio Belanja Pembangunan/Rehab Gedung Pendidikan dan Sarana Pendidikan Lainnya Periode 1997 -2005 di Kota Bekasi ………...
Hasil Analisis SWOT Dengan Strategi S-O ……….
xv
Lampiran Halaman
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
PDRB Berdasarkan Harga Berlaku dan Harga Konstan 1993 dan PDRB Per Kapita Berdasarkan Harga Berlaku dan Harga Konstan 1993 Periode 1983-2004 ………
APBD Nominal dan APBD Riil Pemerintah Kota Bekasi Tahun Anggaran 1983/1984-2005 ………
Pendapatan dan Belanja Pemerintah Kota Bekasi Tahun 1983-2005 ...
Pendapatan dan Belanja Pemerintah Kota Bekasi Tahun Anggaran 2001 -2005 ………...
Pendapatan dan Belanja Pemerintah Kota Bekasi Tahun Anggaran 2001 -2002 ...
Pendapatan dan Belanja Pemerintah Kota Bekasi Tahun Anggaran 2003 -2005 ...
Belanja Bidang Ekonomi Pemeritah Kota Bekasi Tahun Anggaran 2001 ...
Belanja Bidang Kesehatan Pemeritah Kota Bekasi Tahun Anggaran 2001 ...
Belanja Bidang Pendidikan Pemeritah Kota Bekasi Tahun Anggaran 2001 ...
Belanja Bidang Ekonomi Pemeritah Kota Bekasi Tahun Anggaran 2002 ...
Belanja Bidang Kesehatan Pemeritah Kota Bekasi Tahun Anggaran 2002 ... ...
Belanja Bidang Pendidikan Pemeritah Kota Bekasi Tahun Anggaran 2002 ...
Belanja Bidang Ekonomi Pemeritah Kota Bekasi Tahun Anggaran 2003 ...
Belanja Bidang Kesehatan Pemeritah Kota Bekasi Tahun Anggaran 2003 ...
xvi 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
Belanja Bidang Ekonomi Pemeritah Kota Bekasi Tahun Anggaran 2004 ...
Belanja Bidang Kesehatan Pemeritah Kota Bekasi Tahun Anggaran 2004 ... ...
Belanja Bidang Pendidikan Pemeritah Kota Bekasi Tahun Anggaran 2004 ...
Belanja Bidang Ekonomi Pemeritah Kota Bekasi Tahun Anggaran 2005 ...
Belanja Bidang Kesehatan Pemeritah Kota Bekasi Tahun Anggaran 2005 ...
Belanja Bidang Pendidikan Pemeritah Kota Bekasi Tahun Anggaran 2005 ...
Indeks Pembangunan Manusia Kota Bekasi Tahun 1999-2005 ...
Komponen IPM Kota Bekasi Tahun 1999 -2005 ...
Hubungan Belanja Aparatur, Belanja Publik, Penerapan Otonomi Daerah dan Pemekaran Wilayah Terhadap PDRB Per Kapita Berbasarkan Harga Konstan 1993 Periode 1983 -2004 di Kota Bekasi ...
Hubungan Belanja Aparatur, Belanja Publik dan
Penerapan Otonomi Daerah Terhadap IPM Kota Bekasi Tahun 1999-2005 ...
Hubungan Belanja Aparatur, Belanja Publik dan Penerapan Otonomi Daerah Terhadap Indeks
Pendapatan Periode 1999-2005 di Kota Bekasi ...
Hubungan Belanja Aparatur, Belanja Publik dan Penerapan Otonomi Daerah Terhadap Indeks
Kesehatan Periode 1999-2005 di Kota Bekasi ...
Hubungan Belanja Aparatur, Belanja Publik dan Penerapan Otonomi Daerah Terhadap Indeks
Pendidikan Periode 1999 -2005 di Kota Bekasi ...
xvii
30
31
32
33
34
35
36
37
Hubungan Belanja Aparatur, Belanja Publik dan
Penerapan Otonomi Daerah Terhadap Angka Harapan Hidup Periode 1999-2005 di Kota Bekasi ...
Hubungan Belanja Aparatur, Belanja Publik dan
Penerapan Otonomi Daerah Terhadap Rata-Rata Lama Sekolah Periode 1999-2005 di Kota Bekasi ...
Hubungan Bela nja Aparatur, Belanja Publik dan Penerapan Otonomi Daerah Terhadap Angka Melek Huruf Periode 1999 -2005 di Kota Bekasi ...
Rasio Belanja Aparatur dan Belanja Publik Pemerintah Kota Bekasi Periode 1983-2005 ...
Rasio Belanja Aparatur dan Belanja Publik Pemerintah Kota Bekasi Periode 1997-2005 ...
Rasio Belanja Bidang Ekoomi, Kesehatan dan
Pendidikan Terhadap Belanja Publik Pemerintah Kota Bekasi Periode 2001-2005 ...
Rasio Belanja Bidang Ekoomi, Kesehatan dan
Pendidikan Terhadap APBD Pemerintah Kota Bekasi Periode 2001 -2005 ...
Angket Analisis SWOT ………...
126
128
130
132
133
134
135
1.1. Latar Belakang
Sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang disempurnakan dengan Undang-undang No. 32 tahun 2004 dan Undang-Undang-undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang disempurnakan dengan Undang -undang No. 33 tahun 2004, maka paradigma peyelenggaraan pemerintahan mengalami pergeseran. Semula bersifat sentralistik berubah menjadi desentralistik. Implikasinya terhadap pemerintah daerah adalah bahwa pemerintah daerah diberikan kewenangan yang lebih besar untuk mengatur dan mengurus daerahnya sendiri termasuk dalam hal pengelolaan keuangan daerah.
Sebelum era otonomi daerah, struktur anggaran daerah (APBD) yang berlaku adalah anggaran berimbang, dimana anggaran penerimaan atau pendapatan sama dengan jumlah pengeluaran atau belanja (Saragih, 2003:21). Di era otonomi daerah, struktur APBD mengacu pada pendapatan masing-masing daerah sehingga tiap-tiap daerah struktur APBD-nya akan berbeda dengan daerah lain tergantung dari kapasitas keuangan yang dimilikinya. Referensi bagi struktur APBD di era otonomi daerah adalah Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 pasal 16 dan Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 yaitu struktur APBD terdiri dari anggaran pendapata n, anggaran belanja dan pembiayaan.
Peningkatan pendapatan daerah berarti juga meningkatkan anggaran belanja daerah. Peningkatan belanja daerah akan meningkatkan pembangunan prasarana dan sarana ekonomi di daerah yang selanjutnya akan menciptakan berbagai lapangan kerja bagi masyarakat yang akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah tersebut. Hal demikian sejalan dengan salah satu fungsi APBD yaitu fungsi alokasi yaitu anggaran daerah harus diarahkan untuk menciptakan lapangan kerja/mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efesiensi dan efektivitas perekonomian. Mangkoesoebroto (2001) mengemukakan bahwa peranan alokasi untuk mengusahakan agar alokasi sumber-sumber ekonomi dilaksanakan secara efesien untuk kesejahteraan masyarakat merupakan salah satu peranan pemerintah.
Indikator kesejahteraan masyarakat dalam pembangunan dapat diukur dengan pendekatan indikator moneter dan non moneter (Arsyad, 2004:25-38). Indikator moneter mengukur kesejahteraan masyarakat berdasarkan pendekatan pendapatan per kapita. Kelemahan dari pendekatan ini adalah diabaikannya distribusi pendapatan sehingga kesejahteraan masyarakat yang diukur dengan pendekatan pendapatan per kapita belum mencerminkan tingkat kesejahteraan yang sesungguhnya di masyarakat. Walaupun demikian pengukuran kesejahteraan masyarakat dengan pendekatan pendapatan per kapita masih digunakan di berbagai negara termasuk di Indonesia, alasannya bahwa data-data untuk mengukur pendapatan per kapita mudah diperoleh (tersedia) di setiap negara/daerah. Pengukuran tingkat kesejahteraan masyarakat dengan Indikator non moneter mengacu pada suatu indeks yang telah dikembangkan oleh United Nations for Develpment Program
(UNDP) yaitu Indeks Pembangunan Manusia (Human Development
Index). Indikator-indikator yang digunakan untuk menyusun indeks ini
Kota Bekasi merupakan daerah pemekaran baru dari Kabupaten Bekasi Propinsi Jawa Barat dengan luas wilayah 210,49 Km2 dan
berpenduduk sebayak 1.914.316 jiwa pada tahun 2004. Pemekaran wilayah Kota Bekasi terjadi pada tahun 1997.
Perkembangan APBD Kota Bekasi selama tahun 1997 sampai dengan tahun 2004 (Tabel 1), menunjukkan bahwa pertumbuhan anggaran APBD sebelum era otonomi daerah (sampai dengan tahun 2000) cenderung mengalami penurunan sedangkan mulai tahun 2001 yaitu awal penerapan otonomi daerah dan setelahnya alokasi anggaran APBD cenderung mening kat. Kondisi seperti ini semestinya sejalan dengan tingkat kesejahteraan rakyat yang makin meningkat pula. Namun demikian dalam kenyataannya kesejahteraan yang dicerminkan melalui pendapatan per kapita per tahun tidak sejalan dengan pertumbuhan anggaran APBD yang tumbuh rata-rata sebesar 43,78 % per tahun.
Tabel 1 Perkembangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Bekasi Tahun 1999-2004
(dalam jutaan rupiah)
Tahun APBD Indeks Deflator APBD Riil
Pertumbuhan APBD (%)
1997/1998 31.408 0,710185329 22.306
-1998/1999 74.962 0,437423201 32.790 47,00
1999/2000 100.852 0,415804566 41.935 27,89
2000 123.429 0,378503806 46.718 11,41
2001 362.366 0,350797702 127.117 172,09
2002 442.038 0,338284178 149.534 17,64
2003 542.781 0,3287755 178.453 19,34
2004 623.957 0,317747182 198.261 11,10
Sumber : BPS dan Bappeda Kota Bekasi, 1997-2004
awal penerapan otonomi daerah dan tahun-tahun selanjutnya mengalami peningkatan, walaupun pertumbuhannya masih dibawah 1 % per tahun.
Tabel 2 Perkembangan PDRB Per Kapita Penduduk Kota Bekasi Tahun 1997 -2004
(dalam rupiah)
Tahun PDRB per Kapita (Harga Berlaku)
PDRB Per Kapita (Harga Konstan 1993)
Pertumbuhan PDRB Per Kapita (%)
1997 3,794,837 2,695,038
-1998 4,644,822 2,031,753 -24.61
1999 4,818,183 2,073,187 2.04
2000 5,726,149 2,167,369 4.54
2001 6,261,037 2,196,357 1.34
2002 6,543,263 2,213,482 0.78
2003 6,742,554 2,216,786 0.15
2004 7,017,433 2,229,770 0.59
Sumber : BPS dan Bappeda Kota Bekasi, 1997-2004.
Berdasarkan Tabel 1 dan 2 dapat dibandingkan laju pertumbuhan APBD dan PDRB per kapita. Pertumbuhan APBD yang terjadi sejak awal diberlakukannya otonomi daerah (tahun 2001) tidak diikuti oleh pertumbuhan PDRB per kapita yang sebanding dengan pertumbuhan APBD. Pertumbuhan APBD rata -rata sebesar 43,78 % per tahun, sedangkan pertumbuhan pendapatan per kapita hanya tumbuh dibawah 3 % per tahun (Gambar 1).
-50,00 0,00 50,00 100,00 150,00 200,00
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Tahun
Pertumbuhan (%)
PDRB Per Kapita APBD Riil
[image:31.612.141.501.481.671.2]Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) selama tahun 1999 sampai dengan tahun 2004 (Tabel 3), menunjukkan bahwa pertumbuhan IPM tertinggi terjadi pada tahun 2002, dimana merupakan tahun kedua dari penerapan otonomi daerah. Hal ini sejalan dengan pertumbuhan anggaran APBD yang terjadi pada tahun pertama penerapan otonomi daerah yaitu sebesar 172,09 %.
Tabel 3 Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia di Kota Bekasi Tahun 1999-2004
Tahun Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Pertumbuhan IPM (%)
1999 68,71
-2000 69,14 0,63
2001 66,61 -3,66
2002 72,85 9,38
2003 73,49 0,87
2004 74,95 2,00
Sumber : BPS dan Bappeda Kota Bekasi, 1999-2004.
-20,00 0,00 20,00 40,00 60,00 80,00 100,00 120,00 140,00 160,00 180,00 200,00
2000 2001 2002 2003 2004
Tahun
Pertumbuhan (%)
[image:33.612.143.504.88.333.2]APBD Riil IPM
Gambar 2. Pertumbuhan APBD Riil dan IPM Kota Bekasi Tahun 2000-2004
Uraian di atas menggambarkan bahwa peningkatan APBD tidak selalu diikuti dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang dicerminkan oleh PDRB per kapita dan IPM, sehingga timbul pertanyaan sebagai berikut : Bagaimanakah strategi pengalokasian anggaran belanja publik untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat?
1.2. Perumusan Masalah
Peningkatan anggaran APBD semestinya diikuti oleh peningkatan kesejahteraan masyarakat yang dicerminkan lewat pendapatan per kapita per tahun. Berdasarkan uraian diatas, menunjukkan bahwa pertumbuhan APBD yang relatif tinggi tidak diikuti oleh pertumbuhan PDRB per kapita masyarakat yang memadai. Dengan demikian pertanyaannya adalah apakah ada pengaruh APBD terhadap PDRB per kapita?
otonomi daerah mempengaruhi peningkatan kesejahteraan masyarakat yang tercermin dalam PDRB per kapita?
Pemekaran wilayah Kota Bekasi terjadi pada tahun 1997, sebelumnya Kota Bekasi bergabung dengan wilayah Kabupaten Bekasi. Pertanyaannya adalah apakah pemekaran wilayah mempengaruhi kesejahteraan masyarakat Kota Bekasi yang direfleksikan melalui PDRB per kapita?
Belanja pemerintah daerah terdiri dari belanja publik dan belanja aparatur. Komposisi dari belanja publik dan aparatur akan mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat. Pertanyaannya adalah bagaimana rasio alokasi belanja publik dan belanja aparatur diterapkan di Pemda Kota Bekasi?
Indeks Pembangunan Manusia merupakan indikator kesejahteraan masyarakat komposit yang diukur dari aspek pendidikan, kesehatan dan daya beli masyarakat. Dari uraian diatas menunjukkan bahwa peningkatan anggaran APBD tidak diikuti dengan peningkatan IPM. Pertanyaannya adalah seberapa jauh pengaruh APBD terhadap IPM?
Dari rangkaian pertanyaan-pertanyaan di atas, pertanyaan lebih lanjut adalah bagaimana menyusun strategi alokasi belanja publik untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat?
1.3. Tujuan dan Manfaat Kajian
Tujuan umum yang akan dicapai untuk memecahkan masalah-masalah yang telah dipaparkan diatas adalah mengkaji strategi pengalokasian angaran publik untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat di Kota Bekasi. Untuk mendukung kajian tersebut, maka disusun tujuan-tujuan spesifik sebagai berikut :
1. Menganalisis pengaruh APBD, otonomi daerah dan pemekaran wilayah terhadap PDRB per kapita.
2. Menganalisis pengaruh APBD terhadap Indeks Pembangunan Manusia.
4. Menyusun strategi alokasi belanja publik untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat Kota Bekasi.
2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
2.1.1 Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Nomor 33 Tahun 2004 yang dimaksud dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang ditetapkan dengan peraturan daerah. Struktur APBD terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan pembiayaan (Gambar 3) (Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 pasal 16 PP No. 58 tahun 2005 Pasal 20).
APBD
PENDAPATAN
BELANJA
[image:36.612.148.322.345.477.2]PEMBIAYAAN
Gambar 3 Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
kekayaan yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, dan komisi/potongan sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah.
Belanja adalah semua pengeluaran daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi beban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih. Angaran Belanja diklasifikasikan menurut organisasi, fungsi, program, kegiatan dan jenis belanja. Klasifikasi belanja menurut organisasi disesuaikan berdasarkan susunan organisasi daerah seperti setda, dinas daerah dan lembaga teknis dinas daerah lainnya. Klasifikasi belaja menurut fungsinya didasarkan pada urusan kewenangan pemerintah daerah seperti : pelayanan umum, ketertiban dan keamanan, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas umum, kesehatan, pariwisata dan budaya, agama, pendidikan serta perlindungan sosial. Kalsifikasi belanja menurut program dan kegiatan disesuaikan dengan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah. Klasifikasi belanja menurut jenis belanja, anggaran belanja dikelompokan berdasarkan belanja pegawai, belanja barang dan jasa, belanja modal, bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil dan bantuan keuangan, serta belanja tidak terduga ( Peraturan Pemerintah RI No. 58 tahun 2005).
Berdasarkan struktur anggaran tersebut elemen-elemen yang termasuk dalam belanja daerah terdiri dari : belanja aparatur daerah, belanja pelayanan Publik, belanja bagi hasil dan bantuan keuangan daerah, serta belanja tidak tersangka.
penerimaan kembali pemberian pinjaman. Pengeluaran pembiayaan terdiri dari pembentukan dana cadangan, penyertaan modal pemerintah daerah, pembayaran pokok utang, dan pemberian pinjaman. Pembiayaan merupakan transaksi keuangan daerah yang dimaksudkan untuk menutup selisih antara pendapatan daerah dan belanja daerah (Mardiasmo, 2002 : 187).
Berdasarkan uraian diatas, struktur APBD dan komponen-komponen penyusunnya di era otonomi daerah dapat dilihat pada Gambar 4 berikut ini.
APBD
PENDAPATAN
BELANJA
PEMBIAYAAN
PAD
Dana Perimbangan
Lain-lain penerimaan yg sah
Aparatur Daerah
Pelayanan Publik
Bagi hasil & Bant. Keu
Blj. tdk tersangka
Pemb. Penerimaan
Pemb. Pengeluaran
Gambar 4 Struktur dan Komponen APBD pada Masa Otonomi Daerah
lain-lain usaha daerah yang sah seperti biaya perijinan dan hasil dari kekayaan daerah. Bagi hasil pajak dan bukan pajak meliputi : penerimaan pajak pemerintah pusat seperti PBB dan pajak bahan bakar kendaraan bermotor serta bagi hasil dari pungutan kekayaan daerah seperti iuran hasil hutan. Bagian dari sumbangan dan bantuan terdiri atas sumbangan dari pemerintah pusat dan sumbangan dari pemerintah propinsi.
Pengeluaran dikelompokan menjadi pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Pengeluaran rutin adalah pengeluaran untuk gaji pegawai dan belanja barang disamping untuk pembiayaan DPRD dan kepala daerah. Pengeluaran pembangunan yaitu pengeluaran pembangunan untuk sektor-sektor seperti sektor industri, pertanian dan kehutanan, air dan irigasi, tenaga kerja, perdagangan, transportasi, tambang dan energi, pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya.
APBD
PENERIMAAN
PENGELUARAN
RUTIN
PEMBANGUNAN
RUTIN
PEMBANGUNAN
PADS
Pajak, bukan pajak
Sumbangan, bantuan
Gaji pegawai, belanja barang, belanja DPRD, biaya kepala daerah
[image:40.612.162.473.89.311.2]Pembangunan Sektor-sektor
Gambar 5 Struktur dan Komponen APBD pada Masa Orde Baru
Berdasarkan kedua paparan diatas, antara struktur APBD pada masa otonomi daerah dan orde baru terdapat perbedaan. Perbedaan tersebut merupakan ko nsekuensi dari perubahan penerapan paradigma pembangunan yang pada masa orde baru bersifat sentralistik dengan orientasi utama pada pembangunan pertumbuhan ekonomi menjadi bersifat desentralisasi dengan orientasi pembangunan yang berkeadilan (equity) dan distribusi pendapatan yang merata disamping tetap mempertahankan pertumbuhan ekonomi.
2.1.2 Mekanisme Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(RKPD) yang telah ditetapkan. Berdasarkan KUA yang telah disepakati oleh DPRD, pemerintah daerah bersama-sama dengan DPRD membahas Prioritas dan Plafon Anggaran Sementasa (PPAS) untuk dijadikan sebagai acuan bagi setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Kepala SKPD selanjutnya menyusun Rencana Kerja dan Anggaran SKPD (RKA-SKPD) yang disusun berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai. Pemerintah daerah selanjutnya menyampaikan RKA-SKPD kepada DPRD untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD. Hasil pembahasan ini disampaikan kepada kepala daerah sebagai pejabat pengelola keuangan daerah sebagai bahan penyusunan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang APBD. Proses selanjutnya pemerintah daerah mengajukan Raperda APBD kepada DPRD untuk ditetapkan sebagai Perda APBD, tetapi apabila Raperda APBD tersebut tidak disetujui oleh DPRD maka untuk membiayai keperluan setiap bulan pemerintah daerah menggunakan APBD tahun sebelumnya.
Proses penyusunan APBD sesuai dengan Peraturan Pemerintah RI No. 58 tahun 2005 secara ringkas dapat dilihat pada Gambar 6.
KUA
PPAS
RKA-SKPD
Raperda APBD
Perda APBD
APBD tahun lalu
PEMDA : menyampaikan KUA kepada DPRD DPRD : membahas KUA sebagai landasan RAPBD
PEMDA : menyampaikan kepada DPRD
DPRD : membahas sebagai pendahuluan RAPBD PEMDA : bersama DPRD membahas PPAS DPRD : bersama PEMDA membahas PPAS
PEMDA : mengajukan kepada DPRD DPRD : membahas sebagai sebagai Perda
Jika Raperda APBD disetujui oleh DPRD
Jika Raperda APBD tidak disetujui oleh DPRD
[image:41.612.175.468.421.639.2]Pendekatan penyusunan APBD pada masa otonomi daerah menggunakan pendekatan kinerja, yaitu suatu pendekatan sistem anggaran yang mengutamakan kepada upaya pencapaian hasil kinerja atau output dari perencanaan alokasi biaya atau input yang ditetapkan. Untuk mengukur kinerja APBD menggunakan standar analisis belanja (SAB), tolok ukur kinerja dan standar biaya (Mardiasmo, 2002 : 192).
Standar Analisis Belanja (SAB) adalah penilaian kewajaran atas beban kerja dan beban biaya terhadap suatu kegiatan. Dalam rangka perhitungan SAB, anggaran belanja unit kerja dikelompokkan menjadi belanja langsung dan belanja tidak langsung. Belanja langsung adalah belanja yang dipengaruhi secara langsung oleh adanya program atau kegiatan yang direncanakan. Jadi keberadaan anggaran belanja langsung merupakan konsekuensi adanya program atau kegiatan. Belanja tidak langsung adalah belanja yang tidak dipengaruhi secara langsung oleh adanya program atau kegiatan. Jadi keberadaan anggaran belanja tidak langsung bukan merupakan konsekuensi ada atau tidaknya suatu program atau kegiatan.
Tolok ukur kinerja adalah ukuran keberhasilan yang dicapai pada setiap unit kerja perangkat daerah. Tolok ukur kinerja ditetapkan dalam bentuk Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang ditentukan oleh masing-masing daerah. Standar biaya merupakan standar untuk menentukan kebutuhan pengeluaran daerah.
Perbedaan mendasar dari proses penyusunan APBD di era otonomi daerah dan pada masa orde baru yaitu bahwa APBD di era otonomi daerah disusun melalui mekanisme bottom up melalui musyawarah rencana pembangunan (musrenbang) mulai dari tingkat kelurahan/desa, kecamatan sampai dengan tingkat kota/kabupaten yang selanjutnya ditetapkan melalui peraturan daerah menjadi APBD. Selain itu APBD di era otonomi daerah disusun berdasarkan kemampuan daerah masing-masing, tidak berdasarkan flafon anggaran yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Sedangkan pada masa orde baru mekanisme yang digunakan dalam penyusunan APBD bersifat top down yaitu APBD disusun berdasarkan flafon anggaran yang telah ditetapkan dari pemerintah pusat kemudian diuraikan ke tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota . Walaupun pada masa orde baru juga ada rakorbang (rapat koordinasi pembangunan) yang dimulai dari tingkat desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi dan pusat, Namun pelaksanaan rakorbang tersebut dimulainya dari tingkat pusat terlebih dahulu kemudian berlanjut ke tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota.
2.1.3 Peranan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dalam Pembangunan Ekonomi Daerah
Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan membentuk suatu kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang pe rkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut (Arsyad, 2004:298). Indikator makro ekonomi untuk mengukur tingkat keberhasilan pembangunan ekonomi daerah salah satunya dengan pendekatan laju pertumbuhan ekonomi (LPE).
selisih ekspor impor daerah. Belanja pemerintah daerah itu sendiri terdiri dari belanja aparatur (rutin) dan belanja Publik (pembangunan).
Daerah yang mempunyai LPE tinggi maka akan berimplikasi pada penyerapan tenaga kerja daerah yang tinggi pula. Setiap kenaikan LPE 1 % diperkirakan mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 120.000 orang. Selanjutnya setiap orang yang sudah bekerja dengan sendirinya pendapatannya akan meningkat yang pada akhirnya tingkat kesejahteraan mereka juga ikut meningkat pula.
2.1.4 Rasio Aktifitas Keuangan Daerah
Berdasarkan pasal 10 UU nomor 32 tahun 2004 bahwa pemerintah daerah diberi wewenang yang luas dalam penyelenggaraan semua urusan pemerintahan kecuali dalam masalah politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional serta agama. Pada pasal 4 PP nomor 58 tahun 2005 disebutkan bahwa keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efesien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggungjawab dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat. Untuk mengukur kinerja keuangan pemerintah daerah, salah satunya dengan pendekatan analisis rasio aktifitas keuangan daerah.
Rasio aktifitas terdiri dari rasio keserasian dan rasio penyerapan dana per triwulan. Rasio keserasian menggambarkan bagaimana pemerintah daerah memprioritaskan alokasi dana APBD-nya. Semakin tinggi rasio belanja aparatur (rutin) terhadap APBD maka semakin kecil dana yang digunakan untuk pembangunan ekonomi di wilayah dan akan semakin kecil dampak terhadap peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat (Hakim, 2006 : 28).
Analisis rasio keserasian dapat dilakukan dengan menggunakan rumus berikut ini.
Rasio Belanja Publik terhadap APBD = Total Belanja Publik Total APBD
Rasio Belanja Aparatur terhadap APBD = Total Belanja Aparatur Total APBD
2.2 Kesejahteraan Masyarakat 2.2.1 Pendapatan per Kapita
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia kesejahteraan mengandung arti hal atau keadaan sejahtera, keamanan, keselamatan, ketentraman. Sejahtera itu sendiri mempunyai arti aman, sentosa, dan makmur, selamat (terlepas dari segala macam gangguan).(Pusat Bahasa Depdiknas, 2005).
Kesejahteraan masyarakat atau sering disebut kesejahteraan sosial adalah suatu kondisi (keadaan) yang digambarkan oleh suatu tatanan (tata kehidupan) yang seimbang antara kehidupan jasmani dan rohani atau antara aspek material maupun spiritual (Adi, 2003 : 41).
Dari aspek ekonomi dan sosial, kesejahteraan masyarakat diantaranya dapat diukur dengan pendekatan pendapatan per kapita (PDRB per kapita) per tahun dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) (Arsyad, 2004 : 25-38). Kelemahan dari pendekatan pendapatan per kapita adalah diabaikannya distribusi pendapatan. Namun demikian, berdasarkan perhitungan BPS Kota Bekasi (2003 : 50) bahwa angka indeks gini (koefisien gini) untuk Kota Bekasi adalah 0,132. Dengan demikian menggambarkan distribusi pendapatan penduduk Kota Bekasi merata dengan kata lain ketimpangan distribusi pendapatan di Kota Bekasi rendah. Hal ini sesuai dengan Arsyad (2004 : 233) bahwa koefisien gini merupakan ukuran untuk distribusi pendapatan yang nilainya antara 0 (kemerataan sempurna) dan 1(ketidakmerataan sempurna).
atau setara dengan Rp. 10.000 per hari (Sumardjo, 2006 : 25). Namun demikian, pendapatan penduduk yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendapatan per kapita yang diperoleh dari PDRB per kapita. Pilihan ini didasarkan pada argumentasi bahwa data PDRB per kapita mudah diakses dan PDRB per kapita dapat dijadikan indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut.
2.2.2 Indeks Pembangunan Manusia
Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) yang telah dikembangkan oleh United Nations for Develpment Program (UNDP) sejak tahun 1990 merupakan indeks komposit yang merupakan gabungan dari tiga dimensi pokok kemampuan dasar (basic capabilities) penduduk
yang terdiri dari : (1) dimensi eko nomi; (2) dimensi sosial ; dan (3) dimensi kesehatan (Siregar, 2005 : 3).
Dimensi ekonomi perwujudannya adalah kehidupan yang layak
(decent living) yang diukur dengan pendekatan indikator pengeluaran
perkapita riil dan UNDP menggunakan indikator Pendapatan Domestik Bruto (PDB) riil (adjusted real GDP per capita). Dimensi sosial perwujudannya adalah pengetahuan (knowledge) dengan indikator angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah. Indikator angka melek huruf diperoleh dari variab el kemampuan membaca dan menulis, sedangkan indikator rata-rata lama sekolah dihitung dengan menggunakan dua variabel secara simultan yaitu tingkat/kelas yang sedang/pernah dijalani dan jenjang pendidikan tertinggi yang ditamatkan. UNDP mengukur komponen pendidikan dengan indikator partisipasi sekolah dasar, menengah dan tinggi sebagai pengganti rata-rata lama sekolah yang secara global sulit diperoleh. Sedangkan dimensi kesehatan perwujudannya yaitu umur panjang dan sehat (longevity) dengan indikator
angka harapan hidup saat lahir.
Umur Panjang
dan Sehat Pengetahuan
Kehidupan yang Layak
Angka Haparan Hidup Saat Lahir
Angka Melek Huruf
Rataan Lama Sekolah
Pengeluaran Perkapita Rill
Indeks Harapan Hidup
Indeks Pendidikan
Indeks Pendapatan
IPM DIMENSI :
INDIKATOR :
INDEKS DIMENSI :
Sumber : Siregar, 2005.
Gambar 7 Komponen-Komponen Penyusun Indeks Pembangunan Manusia
[image:47.612.146.464.103.316.2]3.1 Kerangka Pemikiran
Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di era otonomi daerah terdiri dari: (1) Pendapatan; (2) Belanja; dan (3) Pembiayaan. Pendapatan daerah adalah hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah nilai ke kayaan bersih. Komponen pendapatan daerah terdiri atas : (1) Pendapatan Asli Daerah (PAD); (2) Dana perimbangan; dan (3) Lain-lain pendapatan yang sah. Pada dana perimbangan di dalamnya terdapat dana bagi hasil, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang merupakan sumber utama pendapatan dari tiap -tiap daerah. Dengan demikian penerapan otonomi daerah mengakibatkan peningkatan pendapatan daerah (APBD) melalui dana perimbangan.
Belanja daerah adalah kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih. Belanja daerah terdiri dari belanja publik (pembangunan) dan belanja aparatur (rutin). Bedasarkan jenisnya, belanja daerah dirinci menjadi belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, bunga, subsidi, hibah, dan bantuan sosial.
Pembiyaan daerah adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya. Pembiayaan terdiri atas penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan. Pembiayaan merupakan transaksi keuangan daerah yang dimaksudkan untuk menutup selisih antara pendapatan daerah dan belanja daerah (Mardiasmo, 2002 : 187).
kesejahteraan masyarakat. Disamping itu penerapan otonomi daerah dan pemekaran wilayah, selain dapat meningkatkan anggaran pendapatan daerah juga dapat mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat yang diakibatkan oleh peningkatan pendapatan daerah (APBD). Hasil analisis pengaruh belanja aparatur dan belanja publik terhadap kesejahteraan masyarakat yang diukur melalui indikator PDRB per kapita dan IPM selanjutnya dijadikan sebagai dasar dalam penyusunan strategi alokasi belanja aparatur dan belanja publik untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Strategi tersebut, selanjutnya dijadikan sebagai feedback
bagi penyusunan APBD berikutnya.
Kerangka pemikiran yang telah diuraikan diatas dapat diringkas dalam diagram alir (Gambar 8) sebagai berikut :
APBD
Pendapatan Belanja Pembiayaan
Aparatur Publik
KESEJAHTERAAN
PDRB per kapita IPM
SRATEGI ALOKASI BELANJA Otda dan
Pemekaran Wilayah
[image:49.612.159.440.336.553.2]Rasio Aktifitas
Gambar 8. Kerangka Pikir Kajian Strategi Alokasi Belanja Daerah untuk Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat
3.2 Lokasi dan Waktu Kajian
pada pertimbangan bahwa peneliti bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Pemda Kota Bekasi dan bertempat tinggal di Kota Bekasi.
Pelaksanaan kajian direncanakan selama empat bulan mulai dari bulan Agustus 2006 sampai dengan bulan Nopember 2006.
3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Sasaran Penelitian
Unit analisis yang menjadi sasaran penelitian adalah Pemerintah Daerah Kota Bekasi dengan sasaran kajian : Bappeda, Dinas Pendapatan Daerah, Bagian Keuangan, Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, Dinas Perekonomian Rakyat dan Koperasi, Dinas Perindustrian dan Perdagangan dan Kantor BPS.
Aspek yang dikaji meliputi : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), Pendapatan per kapita (PDRB per kapita) per tahun berdasarkan harga konstan tahun 1993 dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
3.3.2 Metode Pengumpulan Data
Tabel 4. Jenis dan Sumber Data Sekunder Bahan Kajian Alokasi
Anggaran Belanja untuk Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat
No Jenis Data Karakteristik Data Periode Data
Sumber Data
1 PDRB PDRB berdasarkan Harga Berlaku dan Harga konstan 1993
1983-2004 BPS Kota Bekasi, BPS Kab. Bekasi, Bappeda Kota Bekasi.
2 Jumlah Penduduk
Penduduk
pertengahan tahun
1983-2004 BPS Kota Bekasi, BPS Kab. Bekasi 3 PDRB per
Kapita
PDRB per Kapita berdasarkan Harga Berlaku dan
Harga konstan 1993
1983-2004 BPS Kota Bekasi,
Bappeda Kota Bekasi.
4 APBD Belanja aparatur (rutin) dan Belanja publik. 1983-2004 dan tahun 2005 BPS Kota Bekasi, BPS Kab. Bekasi, Bappeda Kota Bekasi.
5 IPM Komponen IPM Indeks Pendidikan, Indeks Kesehatan, dan Indeks Daya Beli masyarakat.
1999-2005 BPS Kota Bekasi,
Bappeda Kota Bekasi.
Selain data sekunder kajian ini juga menggunakan data primer berupa hasil angket Ekstenal Faktors Analysis (EFA) dan Internal Faktors
Analysis (IFA) yang diperoleh dari Stakeholders pembangunan di Kota
3.3.3 Metode Pengolahan dan Analisis Data
Data kajian strategi alokasi belanja publik untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat untuk tolok ukur pendapatan per kapita (PDRB per kapita) dan indeks pembangunan manusia menggunakan metode analisis kuantitatif yaitu analisis ekonometrika. Ekonometrika secara harfiah berarti pengukuran ekonomi (Widarjono, 2005 : 3). Ekonometrika dapat menjelaskan seberapa besar pengaruh belanja pemerintah daerah sebagai variabel dependen terhadap kesejahteraan masyarakat sebagai variabel independen. Untuk menjawab pertanyaan utama yaitu penyusunan strategi/rancangan program, metode analisis yang digunakan adalah analisis situasi. Analisis ini menggunakan data-data faktor internal sebagai kekuatan dan kelemahan (strength and weakness) dan faktor ekstenal sebagai peluang dan tantangan (opportunity and treath).
[image:52.612.134.508.414.671.2]Metode pengolahan dan analisis data kajian untuk menjawab tujuan penelitian tersaji dalam Tabel 5 b erikut ini.
Tabel 5. Kaitan Antara Tujuan, Data dan Metode Analisis
No Tujuan Data Metode analisis
1 Menganalisis pengaruh APBD terhadap pendapatan per kapita.
Belanja publik, Belanja aparatur, PDRB per kapita Ekonometrika (Regresi dan Elastisitas)
2 Menganalisis pengaruh otonomi daerah terhadap pendapatan per kapita
PDRB per kapita, otonomi daerah (dummy factor) Ekonometrika (Regresi dan Elastisitas)
3 Menganalisis pengaruh pemekaran wilayah terhadap pendapatan per kapita PDRB per kapita, pemekaran wilayah (dummy factor Ekonometrika (Regresi dan Elastisitas)
Lanjutan Tabel 5.
No Tujuan Data Metode analisis
5 Menganalisis pengaruh APBD terhadap Indeks Pembangunan Manusia Belanja publik, Belanja aparatur, IPM Ekonometrika (Regresi)
6 Srategi alokasi belanja publik untuk Peningkatan kesejahteraan masyarakat KSF, Faktor Internal (kekuatan, kelemahan). Faktor Eksternal (Peluang, Tantangan) Analisis Situasi (SWOT)
3.3.3.1 PDRB Per Kapita Sebagai Fungsi dari Belanja Publik dan Belanja Aparatur
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita sebagai fungsi dari belanja publik dan belanja aparatur pemerintah daerah dapat ditunjukkan pada persamaan (1)
PDRB Perkapitat = ß0 + ß1 Belanja Publikt + ß2 Belanja Aparaturt + ß3 D1t +
ß4D2t+
e
t ...(1)Dimana :
PDRB Perkapitat = Produk Domestik Regional Bruto Perkapita
Tahun ke-t.
Belanja Publikt = Belanja Publik Tahun ke-t.
Belanja Aparaturt = Belanja Aparatur Tahun ke-t.
ßi ; i = 1,2 ,3 = Parameter regresi.
D1t = Variabel boneka (dummy) untuk menangkap
pengaruh penerapan otonomi daerah, D1t = 1
untuk tahun 2001-2004 dan D1t = 0 untuk
tahun 1983 -2000.
D2t = Variabel boneka (dummy) untuk menangkap
pengaruh pemekaran wilayah, D2t = 1
untuk tahun 1997-2004 dan D2t = 0 untuk
tahun 1983 -1996.
Terlihat dari persamaan (1) bahwa PDRB per kapita disusun sebagai fungsi dari belanja publik dan belanja aparatur. Spesifikasi tersebut disusun dengan alasan bahwa komponen utama belanja pemerintah daerah adalah belanja publik dan belanja aparatur yang akan mempengaruhi kesejahteraan masyarakat, sedangkan PDRB perkapita merupakan salah satu indikator yang dipergunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat. Penerapan otonomi daerah dan pemekaran wilayah dijadikan sebagai variabel boneka (dummy) masing-masing untuk menangkap pengaruh penerapan otonomi daerah yang mulai diterapkan pada tahun 2001 dan pemekaran wilayah yang mulai terjadi pada tahun 1997. Pemekaran wilayah Kota Bekasi dari Kabupaten Bekasi berdasarkan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1996 tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Bekasi. Namun penyelenggaraan pemerintahan Kotamadya Bekasi secara efektif pelaksanaannya mulai tahun 1997. Wilayah Kabupaten Bekasi sebelum dimekarkan terdiri dari 22 kecamatan dengan luas wilayah 148.437 hektar. Sedangkan wilayah Kotamadya Bekasi terdiri dari empat kecamatan eks -Kota Administratif (Kotif) Bekasi yaitu Kecamatan Bekasi Barat, Bekasi Selatan, Bekasi Timur dan Bekasi Utara serta tiga kecamatan lainnya yakni Kecamatan Pond okgede, Jatiasih, dan Bantargebang dengan luas wilayah 21.049 hektar. Dengan adanya pemekaran wilayah maka potensi ekonomi dari Kabupten Bekasi yang meliputi PAD, dana bagi hasil dan penerimaan daerah lainnya menjadi berkurang. Sebaliknya bagi Kotamadya Bekasi (selanjutnya menjadi Kota Bekasi) adanya pemekaran wilayah merupakan awal dari kepemilikan dan pengelolaan potensi ekonomi wilayah secara mandiri untuk kepentingan penyelenggaraan pemerintahan dan kesejahteraan masyarakat.
Diharapkan bahwa ß1 > 0, ß2 > 0, ß3> 0 dan ß4 > 0, artinya
Belanja publik dan belanja aparatur yang digunakan dalam analisis PDRB per Kapita (kesejahteraan masyarakat) ini menggunakan belanja publik riil dan belanja aparatur riil. Belanja publik riil diperoleh dari hasil perkalian antara belanja publik dengan indeks deflator. Begitu juga belanja aparatur riil merupakan hasil dari perkalian antara belanja aparatur dan indeks deflator. Indeks deflator diperoleh dari hasil pembagian antara PDRB berdasarkan harga konstan 1993 dan PDRB berdasarkan harga berlaku. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan sofware Microsoft Excel.
Elastisitas belanja aparatur dan belanja publik terhadap PDRB per Kapita adalah persentase perubahan PDRB per Kapita dibagi perubahan belanja aparatur dan belanja publik. Analisis yang digunakan untuk mengetahui besarnya elastisitas ditunjukkan pada persamaan (2 dan 3).
? = ß1 x (Rata -rata Belanja Publik / Rata-rata PDRB per Kapita) ... (2)
Dimana :
? = Elastisitas Belanja Publik Terhadap PDRB per Kapita.
ß1 = Koefisien Regresi Belanja Publik.
Rata-rata Belanja Publik = Periode tahun 1983-2004. Rata-Rata PDRB per Kapita = Periode tahun 1983-2004.
? = ß2 x (Rata -rata Belanja Aparatur / Rata-rata PDRB per Kapita) ...(3)
Dimana :
? = Elastisitas Belanja Aparatur Terhadap PDRB per Kapita.
?2 = Koefisien Regresi Belanja Aparatur.
Rata-rata Belanja Aparatur = Periode tahun 1983-2004. Rata-Rata PDRB per Kapita = Periode tahun 1983-2004.
perubahan belanja publik dan belanja aparatur terhadap PDRB per kapita semakin besar.
3.3.3.2 Indeks Pembangunan Manusia Sebagai Fungsi dari Belanja Pemerintah Daerah
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang merupakan indeks komposit dari indikator pendidikan, kesehatan, dan daya beli sebagai fungsi dari belanja pemerintah daerah (APBD) yang terdiri dari belanja publik dan belanja aparatur dapat ditunjukkan pada persamaan (4).
IPMt = ß0 + ß1 Belanja Publikt-1 + ß2 Belanja Aparaturt-1 + ß3 Dt+
e
t ...(4)Dimana :
IPMt = Indeks Pembangunan Manusia Tahun ke-t.
Belanja Publikt-1 = Belanja Publik Tahun ke t-1.
Belanja Aparaturt-1 = Belanja Aparatur Tahun ke t-1.
ßi ; i = 1,2 ,3 = Parameter regresi.
Dt = Variabel boneka (dummy) untuk menangkap
pengaruh penerapan otonomi daerah, Dt = 1
untuk tahun 2001-2005 dan Dt = 0 untuk
tahun 1999 -2000.
e
t = Error Termotonomi daerah dijadikan sebagai variabel boneka (dummy) untuk menangkap pengaruh penerapan otonomi daerah yang mulai diterapkan pada tahun 2001. Diharapkan bahwa ß1 > 0, ß2 > 0 dan ß3 > 0, artinya
peningkatan belanja pemerintah daerah (APBD), baik belanja publik maupun belanja aparatur dapat memicu peningkatan output (IPM) dan penerapan otonomi daerah juga dapat mendongkrak peningkatan IPM.
Belanja publik dan belanja aparatur yang digunakan dalam analisis IPM ini menggunakan belanja publik riil dan belanja aparatur riil. Belanja publik riil diperoleh dari hasil perkalian antara belanja publik dengan indeks deflator. Begitu juga belanja aparatur riil merupakan hasil dari perkalian antara belanja aparatur dan indeks deflator. Indeks deflator diperoleh dari hasil pembagian antara PDRB berdasarkan harga konstan 1993 dan PDRB berdasarkan harga berlaku. Pengolahan data menggunakan sofware Microsoft Excel.
Elastisitas belanja aparatur dan belanja publik terhadap IPM adalah persentase perubahan IPM dibagi perubahan belanja aparatur dan belanja publik. Analisis yang digunakan untuk mengetahui besarnya elastisitas ditunjukkan pada persamaan (5 dan 6).
? = ß1 x (Rata -rata Belanja Publik / Rata-rata IPM) ... (5)
Dimana :
? = Elastisitas Belanja Publik Terhadap IPM.
ß1 = Koefisien Regresi Belanja Publik.
Rata-rata Belanja Publik = Periode tahun 2001-2005. Rata-Rata IPM = Periode tahun 2001-2005.
? = ß2 x (Rata -rata Belanja Aparatur / Rata-rata IPM) ... (6)
Dimana :
? = Elastisitas Belanja Aparatur Terhadap IPM.
Rata-rata Belanja Aparatur = Periode tahun 2001-2005. Rata-Rata IPM = Periode tahun 2001-2005.
Diharapkan bahwa ? > 1 artinya Elastisitas belanja publik dan belanja aparatur bersifat elastis. Semakin elastis maka pengaruh perubahan belanja publik dan belanja aparatur terhadap IPM semakin besar.
3.3.3.3 Rasio Alokasi Belanja Aparatur dan Belanja Publik
Rasio alokasi belanja aparatur dan belanja publik yang dikenal dengan rasio keserasian ditunjukkan pada persamaan (7a dan 7b).
Rasio Belanja Aparatur terhadap APBD = Total Belanja Aparatur ... (7a) Total APBD
Rasio Belanja Publik terhadap APBD = Total Belanja Publik ... (7b) Total APBD
dampaknya terhadap peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat cenderung semakin tinggi.
3.4. Metode Perancangan Program
Perancangan program merupakan bagian dari kegiatan kajian strategi alokasi belanja aparatur dan belanja publik untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Data-data hasil analisis pengaruh belanja aparatur dan belanja publik terhadap kesejahteraan masyarakat yang diukur melalui indikator PDRB per kapita dan IPM selanjutnya dikomunikasikan kepada stakeholders untuk bersama-sama menyusun rancangan program yang aplikatif. Me tode analisis yang digunakan adalah analisis situasi. Analisis situasi adalah kegiatan untuk menemukan gambaran kondisi lingkungan internal-eksternal yang berpengaruh terhadap organisasi dan kemudian melakukan analisis terhadapnya sehingga dapat ditentukan apakah kondisi tersebut merupakan kekuatan, kelemahan, peluang atau ancaman (Tripomo dan Udan, 2005:88). Secara umum tahapan analisis situasi terdiri dari : (1) Identifikasi faktor kunci keberhasilan (key success factors/KSF); (2) Identifikasi situasi internal dan eksternal; dan (3) Analisis SWOT.
Key success factors (KSF) adalah faktor-faktor internal organisasi
(sumberdaya dan kompetensi) yang paling kritis atau yang paling penting yang mungkin digunakan oleh suatu organisasi sebagai alat utama untuk menangani peluang dan ancaman agar dapat bertahan dan memenangkan persaingan (meningkatkan posisi persaingan). KSF potensial yang telah teridentifikasi selanjutnya jumlahnya dibatasi agar organisasi dapat mengkonsentrasikan usahanya pada beberapa hal yang benar-benar berpengaruh besar pada keberhasilan organisasi. KSF terpilih kemudian diberikan skor/pembobotan untuk menetapkan ranking besarnya pengaruh terhadap keberhasilan organisasi.
eksternal merupakan kegaitan analisis untuk menentukan isu-isu strategis dan indentifikasi situasi internal dipergunakan untuk mengetahui situasi internal yang penting (isu internal) saat ini.
Analisis SWOT adalah penilaian (assessment) terhadap hasil
identifikasi situasi, untuk menentukan apakah suatu kondisi dikategorikan sebagai kekuatan, kelemahan, peluang atau ancaman. Kekuatan
(strength) adalah situasi internal organisasi yang berupa kompetensi/
kapabilitas/sumberdaya yang dimiliki organisasi yang dapat digunakan sebagai alternatif untuk menangani peluang dan ancaman. Kelemahan
(weakness) adalah situasi internal organisasi dimana kompetensi/
kapabilitas/sumberdaya organisasi sulit digunakan untuk menangani kesempatan dan ancaman. Peluang (opportunity) adalah situasi eksternal
organisasi yang berpotensi menguntungkan. Ancaman (threat) adalah suatu keadaan eksternal organisasi yang berpotensi menimbulkan kesulitan.
Dalam analisis SWOT penentuan pembobotan/score faktor internal baik sebagai faktor kekuatan maupun kelemahan ditentukan bersama-sama oleh stakeholders. Begitu juga untuk menentukan pembobotan/score faktor eksternal baik sebagai faktor peluang maupun tantangan ditentukan bersama-sama oleh stakeholders. Stakeholders
kesejahteraan masyarakat yang akan direkomendasikan kepada Pemerintah Daerah Kota Bekasi. Mekanisme penyusunan rancangan program untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui alokasi belanja publik dipaparkan dalam Gambar 9.
TUJUAN
Kesejahteraan Masyarakat
STRATEGI/ PROGRAM
Strategi/Program yang akan direkomendasikan ANALISIS SWOT
Hasil Analisis SWOT dari IFA dan EFA (Hasil Analisis Regresi, Analisis
Rasio Aktifitas dan Hasil Pengamatan Lapangan)
REGRESI Hasil Analisis Regresi dan
Elastisitas
RASIO AKTIFITAS
Hasil Analisis Alokasi Belanja
Gambar 9. Mekanisme Penyusunan Rancangan Program
Gambar 9 menunjukkan hasil analisis regresi pengaruh belanja publik terhadap kesejahteraan masyarakat dan hasil analisis alokasi belanja publik periode tahun 1983-2005 dan tahun 1997-2005 selanjutnya dimasukkan sebagai IFA (Internal Factors Analysis) dan EFA (External
Factors Analysis). Kedua faktor tersebut selanjutnya dianalisis
[image:61.612.145.511.80.409.2]4.1
Analisis Ekonometrika Pengaruh Belanja Aparatur dan Belanja
Publik terhadap PDRB Per Kapita
Data terperinci yang digunakan dalam analisis ekonometrika dapat
dilihat pada Lampiran 24 sampai dengan 32. Output (hasil) olahan dengan
menggunakan software microsoft excel disajikan pada Lampiran yang sama
(di bawahnya).
Pengaruh belanja aparatur dan belanja pemerintah serta penerapan
otonomi daerah dan pemekaran wilayah terhadap PDRB per Kapita
(kesejahteraan) disajikan pada Tabel 6. P-value ANOVA sebesar 0,000
lebih kecil dari taraf signifikan (a = 0,05) menunjukkan bahwa model yang
digunakan bersifat signifikan. Koefisien determinasi sebesar 0,7827 artinya
bahwa 78,27 % variasi PDRB per kapita dapat dijelaskan oleh variasi
variabel-variabel penjelas dalam model. Kedua indikator tersebut di atas
[image:62.612.112.526.517.648.2]menunjukkan bahwa model yang digunakan cukup baik.
Tabel 6. Pengaruh Belanja Aparatur, Belanja Publik, Penerapan Otonomi
Daerah dan Pemekaran Wilayah terhadap PDRB Per Kapita pada
Periode 1983-2004
Variabel Terikat : PDRB Per Kapita Berdasarkan Harga Konstan 1993
Varibel Bebas
Koefisien
t-Hitung
P-Value
Elastisitas
Intersep
1.006.069
7,9350
0,0000
-Belanja Aparatur
21,8024
3,0703
0,0069
0,352
Belanja Publik
6,6795
1,6227
0,1231
0,122
Penerapan Otonomi Daerah (Dummy 1)
-1.716.549
-4,5161
0,0003
-Pemekaran Wilayah (Dummy 2)
681.476,0068
4,4023
0,0004
-P-Value ANOVA = 1,7757E-05; R
2= 0,782667112
Tabel di atas menunjukkan bahwa belanja aparatur memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap PDRB per Kapita. Pengaruh tersebut bersifat nyata
pada taraf signifikan 5 %. Koefisien regresi yang besangkutan sebesar
21,8024 artinya bahwa setiap kenaikan belanja aparatur sebesar Rp.
100.000.000 akan meningkatkan PDRB per kapita sebesar Rp. 2.180,24.
Belanja publik berpengaruh signifikan terhadap PDRB per kapita pada
taraf signifikan 13 %. Koefisien regresi yang dimiliki sebesar 6,6795, artinya
setiap kenaikan belanja publik sebesar Rp. 100.000.000 akan meningkatkan
PDRB per Kapita sebesar Rp. 667,95.
Penerapan otonomi daerah menunjukkan pengaruh yang signifikan
terhadap PDRB per kapita. Pengaruh tersebut bersifat nyata pada taraf
signifikan 5 %. Koefisien regresi variabel dummy tersebut sebesar -1.716.549
artinya bahwa setelah penerapan otonomi daerah, intersep model lebih
rendah sebesar Rp.1.716.549 dibandingkan sebelum otonomi daerah.
Penerapan otonomi daerah menunjukkan hasil yang kontradiktif
dengan harapan (ß
3< 0), hal ini diduga terjadi karena beberapa hal, antara
lain :
1. Kebijakan otonomi daerah masih relatif baru, penerapan otonomi
daerah baru berjalan empat tahun sejak diberlakukannya
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 yang secara efektif diberlakukan sejak
tahun 2001, sehingga pengaruhnya terhadap PDRB per kapita masih
negatif. Walaupun dari sisi penerimaan (pendapatan) pemerintah
daerah telah mengalami peningkatan.
2. Penerapan otonomi daerah telah meningkatkan pendapatan daerah
Kota Bekasi sebesar 135,55 % dan belanja sebesar 193,58% (Tabel
7). Di sisi lain ekses dari penerapan otonomi daerah muncul euforia
politik dan demokrasi yang berlebihan serta adanya issue putra daerah
yang tidak proposional sehingga cenderung memicu memunculkan
3. Sejak otonomi daerah pertama kali diterapkan yaitu pada 1 Januari
2001, undang-undang yang
dijadikan pedoman operasional
pelaksanaan otonami daerah antara lain : UU No. 22 tahun 1999, UU
No 25 tahun 1999, UU No. 32 tahun 2004, UU No. 33 tahun 2004
yang dikeluarkan oleh Departemen Dalam Negeri, UU No.17 tahun
2003, PP 55 tahun 2005 dan PP 58 tahun 2005 dikeluarkan oleh
Departemen Keuangan, dan UU No. 25 tahun 2004 yang dikeluarkan
oleh Bapenas. Undang-undang yang telah dikeluarkan oleh ketiga
departemen tersebut dalam beberapa hal ternyata tidak saling
komplementer bahkan cenderung bertentangan. Sebagai contoh
dalam UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dinyatakan bahwa Dana
Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang dialokasikan dari APBN
kepada daerah tertentu dalam rangka pendanaan pelaksanaan
desentralisasi untuk mendanai kegiatan khusus yang ditentukan
pemerintah atas dasar prioritas nasional, berdasarkan definisi tersebut,
artinya bahwa tidak semua daerah bisa mendapatkan DAK dan