• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persepsi remaja terhadap unsur kekerasan dalam sinetron di televisi: studi kasus Remaja Karang Taruna "ANTASARI" di Komplek Perumahan Taman Cimanggu, Kelurahan Kedung Waringin, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Persepsi remaja terhadap unsur kekerasan dalam sinetron di televisi: studi kasus Remaja Karang Taruna "ANTASARI" di Komplek Perumahan Taman Cimanggu, Kelurahan Kedung Waringin, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor"

Copied!
227
0
0

Teks penuh

(1)

PERSEPSI REMAJA TERHADAP UNSUR KEKERASAN

DALAM SINETRON DI TELEVISI

(Studi Kasus: Remaja Karang Taruna “ANTASARI” di Komplek Perumahan Taman Cimanggu, Kelurahan Kedung Waringin,

Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor)

Oleh :

Dhimas Cesar Atma Yuritsa

I34053870

Dosen Pembimbing :

Dr. Ir. Pudji Muljono, M.Si

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERSEPSI REMAJA TERHADAP UNSUR KEKERASAN

DALAM SINETRON DI TELEVISI

(Studi Kasus: Remaja Karang Taruna “ANTASARI” di Komplek Perumahan Taman Cimanggu, Kelurahan Kedung Waringin,

Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor)

Oleh :

Dhimas Cesar Atma Yuritsa

I34053870

Skripsi

Sebagai Bagian Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pada

Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang ditulis oleh

Nama : Dhimas Cesar Atma Yuritsa NIM : I34053870

Judul : Persepsi Remaja Terhadap Unsur Kekerasan dalam Sinetron di Televisi (Studi Kasus: Remaja Karang Taruna “ANTASARI” di Komplek Perumahan Taman Cimanggu, Kelurahan Kedung Waringin, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor)

Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Pudji Muljono, M.Si NIP. 19621010 198903 1 005

Mengetahui,

Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003

(4)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL

”PERSEPSI REMAJA TERHADAP UNSUR KEKERASAN DALAM SINETRON

DI TELEVISI (STUDI KASUS: REMAJA KARANG TARUNA “ANTASARI” DI KOMPLEK PERUMAHAN TAMAN CIMANGGU, KELURAHAN KEDUNG

WARINGIN, KECAMATAN TANAH SAREAL, KOTA BOGOR)” BELUM

PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.

Bogor, 20 Januari 2011

(5)

ABSTRACT

DHIMAS CESAR ATMA YURITSA. ADOLESCENT PERCEPTION ABOUT THE

ELEMENT OF VIOLENCE IN SOAP OPERAS ON TELEVISION (CASE STUDY:

ADOLESCENTS OF “ANTASARI” YOUTH COMMUNITY ON TAMAN CIMANGGU, KEDUNG WARINGIN VILLAGE, TANAH SAREAL SUB-DISTRICT, BOGOR CITY). Supervised by Pudji Muljono.

Large number of soap operas with high rating raise concerns of many parties about the impact that will be experienced by adolescents, because there are contained of many negative things and often showing scenes of anti-social. Purposes of this research were to get the representation of adolescent perception about the element of violence in soap operas on television, and also to asses the factors that associated with adolescent perception about the element of violence in soap operas on television. This research method was quantitative as a primary method which used the survey research. Result showed that there were factors related and unrelated to the element of violence in soap operas on television. The related factors are: the influence of parents, friends, and media. And the unrelated factors are: age, gender, education level, frequency of watching television, duration of watching television, and influence of teacher.

(6)

RINGKASAN

DHIMAS CESAR ATMA YURITSA. PERSEPSI REMAJA TERHADAP UNSUR

KEKERASAN DALAM SINETRON DI TELEVISI. STUDI KASUS: REMAJA

KARANG TARUNA “ANTASARI” DI KOMPLEK PERUMAHAN TAMAN CIMANGGU, KELURAHAN KEDUNG WARINGIN, KECAMATAN TANAH SAREAL, KOTA BOGOR. (Di Bawah Bimbingan PUDJI MULJONO).

Banyaknya stasiun televisi swasta yang hadir di Indonesia menyebabkan persaingan di antara stasiun televisi semakin tinggi, sehingga mereka berusaha mengikuti selera pasar dengan menyajikan acara yang menarik dan berlomba-lomba untuk mendapatkan rating yang tinggi. Tingginya rating pada suatu acara tertentu dapat meningkatkan laba yang diperoleh. Salah satu caranya ialah dengan menayangkan sinema elektronik, atau yang lebih dikenal dengan istilah sinetron, yang sangat digemari oleh berbagai macam lapisan masyarakat pada umumnya, dengan berbagai macam isi cerita.

Jumlah sinetron dengan rating yang tinggi menimbulkan kekhawatiran banyak pihak mengenai dampak yang akan dialami oleh remaja, karena di dalam sinetron banyak terkandung muatan negatif dan sering menampilkan adegan-adegan anti-sosial. Sinetron menyebabkan makna sekolah bagi remaja bukan lagi tempat untuk belajar, melainkan tempat untuk pacaran, mengembangkan intrik dan berkelahi. Hal ini dikarenakan hampir semua sinetron menampilkan adegan tersebut. Karena itu, apabila sinetron-sinetron semacam ini dibiarkan menampilkan gambaran tentang sekolah atau kampus yang demikian, sangat potensial membentuk persepsi di benak remaja bahwa sekolah menjadi tempat kegiatan remaja yang tidak produktif, bahkan cenderung negatif.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapat gambaran mengenai persepsi remaja terhadap unsur kekerasan dalam sinetron di televisi. Selain itu untuk mengkaji faktor-faktor yang memiliki hubungan dengan persepsi remaja terhadap unsur kekerasan dalam sinetron di televisi.

Penelitian ini dilakukan di Kota Bogor, tepatnya di Komplek Perumahan Taman Cimanggu, Kelurahan Kedung Waringin, Kecamatan Tanah Sareal. Metode yang digunakan untuk mengetahui persepsi remaja terhadap unsur kekerasan dalam sinetron di televisi adalah metode kuantitatif, yaitu melalui survei. Responden dalam penelitian ini adalah remaja anggota Karang Taruna “ANTASARI” di Komplek Perumahan Taman Cimanggu, Kelurahan Kedung Waringin, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor. Survei menggunakan metode Purposive Sampling yang bertujuan untuk mendapatkan data dari responden sebanyak 40 orang. Penentuan responden tersebut dilakukan pada remaja yang memiliki televisi di tempat tinggalnya masing-masing. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui persepsi mereka terhadap unsur kekerasan yang terdapat dalam tayangan di televisi, khususnya sinetron.

(7)

dengan bantuan komputer, terdiri atas tiga kegiatan yaitu: penyuntingan (editing), dengan memeriksa kembali setiap lembar kuesioner untuk memastikan bahwa setiap pertanyaan telah diisi dengan baik oleh setiap responden, kemudian pengkodean (coding), yaitu melakukan pengkodean pada setiap jawaban dalam kuesioner, dan tabulasi (tabulating), yaitu dengan memasukkan data yang telah dikoding ke dalam bentuk tabel-tabel manual dan kemudian diolah dengan menggunakan software komputer SPSS 11.0 untuk Windows.

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan ada beberapa faktor yang berhubungan dengan persepsi remaja terhadap unsur kekerasan dalam sinetron di televisi. Faktor tersebut adalah pengaruh orang tua, pengaruh teman, dan pengaruh media. Selain itu, ada juga faktor yang tidak berhubungan dengan persepsi remaja terhadap unsur kekerasan di televisi, yaitu: umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, frekuensi menonton televisi, durasi menonton televisi, dan pengaruh guru. Remaja yang menjadi responden dalam penelitian ini juga sebagian besar merasa kurang senang dengan tayangan televisi yang mengandung unsur kekerasan. Menurut mereka, tayangan yang mengandung unsur kekerasan di televisi merupakan tayangan yang tidak mendidik. Terutama sinetron yang menurut responden paling banyak mengandung unsur kekerasan, seperti adegan perkelahian, penyiksaan, dan ancaman terhadap orang yang tidak disukai. Selain itu, pemeran dalam sinetron seringkali tidak menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar, sering menggunakan bahasa kasar ketika marah. Ekspresi kemarahan yang diluapkan oleh pemeran dalam sinetron sangat berlebihan, ditambah dengan cacian dan makian dalam percakapan. Adegan dalam sinetron yang menampilkan perkelahian, pemukulan, dan pengrusakan cenderung tidak disensor. Kontak fisik yang berkaitan dengan kekerasan sering ditampilkan di dalam sinetron, seperti tamparan, pukulan, dorongan, dan lain sebagainya, ditambah efek-efek visualisasi yang mencerminkan unsur kekerasan sering timbul dalam sinetron, seperti letusan senjata, percikan darah, dan lain sebagainya.

(8)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, Dzat yang senantiasa memberikan Rahmat dan Hidayat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan Judul

Persepsi Remaja terhadap Unsur Kekerasan dalam Sinetron di Televisi (Studi Kasus: Remaja Karang Taruna “ANTASARI” di Komplek Perumahan Taman Cimanggu, Kelurahan Kedung Waringin, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor). Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW.

Skripsi ini menjelaskan mengenai gambaran mengenai persepsi remaja terhadap unsur kekerasan dalam sinetron di televisi. Selain itu juga mengkaji faktor-faktor yang memiliki hubungan dengan persepsi remaja terhadap unsur kekerasan dalam sinetron di televisi.

(9)

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini, terutama kepada:

1. Dr. Ir. Pudji Muljono, M.Si sebagai dosen pembimbing skripsi, atas bimbingan, koreksi, pemikiran, serta sarannya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

2. Keluarga tercinta, terutama Mama, Papa, Dhinanda Bayu Kresnapati, dan Imanda Transa Kertapati yang selalu mendoakan penulis, memberi motivasi, kasih sayang, perhatian, dan lain-lainnya yang tidak mungkin disebutkan semuanya.

3. Ghea Gatya Ezaputri Panduwinata yang selalu menyemangati, memberi perhatian, kasih sayang, dan doa kepada penulis sehingga penulis selalu semangat untuk cepat menyelesaikan skripsinya.

4. Teman satu bimbingan (Edu dan Wulan) yang selalu memberi semangat dan motivasi kepada penulis.

5. Ketua RT 04/IX Taman Cimanggu Bogor yang membantu pemerolehan data dalam penelitian penulis.

6. Pembina, pengurus, dan seluruh anggota Karang Taruna ”ANTASARI” atas partisipasi dan kerja samanya yang banyak membantu penulis dalam mendapatkan data penelitian.

7. Teman-teman ”ENTER Automotive Club” yang selalu memberi motivasi dan bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsinya.

(10)

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Penulis bernama Dhimas Cesar Atma Yuritsa yang dilahirkan di Malang pada tanggal 18 Juni 1987 dari ayah bernama Ir. Adi Chandra dan ibu bernama Naniek Setyawati. Penulis merupakan anak pertama dari 3 (tiga) bersaudara dengan adik bernama Dhinanda Bayu Kresnapati, dan Imanda Transa Kertapati.

Pendidikan formal yang pernah dilalui penulis yaitu pada tahun 1993 SD Bina Insani Bogor dan lulus pada tahun 1999. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMPN 1 Bogor dan lulus pada tahun 2002, kemudian penulis diterima di SMAN 2 Bogor dan lulus pada tahun 2005. Pendidikan non-formal yang pernah dilalui penulis diantaranya kursus Bahasa Inggris di ILP dan LBPP-LIA Bogor.

Pada tahun 2005 penulis diterima di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor melalui jalur BUD. Pengalaman organisasi yang pernah diikuti oleh penulis antara lain: menjabat Seksi Humas dalam Karang Taruna “ANTASARI”, menjabat Seksi Dekorasi dalam acara COMMNEX (Comunication and Community Development Expo), menjabat Seksi Transportasi dalam kegiatan MPD-KPM (Masa Perkenalan Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat), dan menjabat Ketua Umum dalam komunitas otomotif bernama ENTER (Eternity On The Road).

Demikian daftar riwayat hidup ini saya buat sesuai dengan data yang sesungguhnya.

Bogor, 20 Januari 2011

(11)

i

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Kegunaan Penelitian ... 4

BAB II. PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka ... 5

2.1.1 Televisi ... 5

2.1.1.1 Sejarah dan Perkembangan Televisi ... 5

2.1.1.2 Pengertian Televisi ... 8

2.1.1.3 Fungsi Televisi ... 10

2.1.2 Tayangan di Televisi ... 14

2.1.3 Sinetron sebagai Salah Satu Tayangan Televisi ... 16

2.1.4 Kekerasan ... 20

2.1.4.1 Pengertian Kekerasan ... 20

2.1.4.2 Jenis Kekerasan ... 21

2.1.5 Unsur kekerasan dalam Sinetron di Televisi ... 22

2.1.6 Undang-Undang Penyiaran... 24

2.1.7 Persepsi ... 26

2.1.7.1 Pengertian Persepsi ... 26

2.1.7.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi ... 29

2.1.8 Remaja ... 30

2.1.8.1 Pengertian Remaja ... 30

2.1.8.2 Periode pada Usia Remaja ... 33

2.2 Kerangka Pemikiran ... 34

2.3 Definisi Operasional ... 36

(12)

ii

BAB III. METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian ... 42

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 42

3.3 Penentuan Responden ... 42

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 43

3.5 Teknik Analisis Data ... 44

BAB IV. DESKRIPSI UMUM 4.1 Deskripsi Karang Taruna ANTASARI ... 46

4.2 Visi dan Misi Karang Taruna ANTASARI ... 46

4.3 Keanggotaan Karang Taruna ANTASARI ... 47

BAB V. KARAKTERISTIK RESPONDEN 5.1 Usia ... 48

5.2 Jenis Kelamin... 48

5.3 Tingkat Pendidikan ... 49

5.4 Frekuensi Menonton Televisi ... 49

5.5 Durasi Menonton Televisi ... 50

BAB VI. PERSEPSI REMAJA TERHADAP UNSUR KEKERASAN DALAM SINETRON DI TELEVISI 6.1 Persepsi Remaja terhadap Unsur Kekerasan dalam Sinetron di Televisi ... 51

6.2 Pengaruh Orang Tua ... 54

6.3 Pengaruh Teman atau Sahabat ... 55

6.4 Pengaruh Guru atau Dosen ... 56

(13)

iii

BAB VII. FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERSEPSI REMAJA TERHADAP UNSUR KEKERASAN DALAM SINETRON DI

TELEVISI

7.1 Hubungan antara Karakteristik Responden dengan Persepsi Remaja

terhadap Unsur Kekerasan dalam Sinetron di Televisi... 59

7.2 Hubungan antara Pengaruh Orang Tua dengan Persepsi Remaja terhadap Unsur Kekerasan dalam Sinetron di Televisi ... 61

7.3 Hubungan antara Pengaruh Teman atau Sahabat dengan Persepsi Remaja terhadap Unsur Kekerasan dalam Sinetron di Televisi... 61

7.4 Hubungan antara Pengaruh Guru atau Dosen dengan Persepsi Remaja terhadap Unsur Kekerasan dalam Sinetron di Televisi... 62

7.5 Hubungan antara Pengaruh Media dengan Persepsi Remaja terhadap Unsur Kekerasan dalam Sinetron di Televisi ... 63

BAB VIII. KESIMPULAN DAN SARAN 8.1 Kesimpulan ... 64

8.2 Saran ... 64

DAFTAR PUSTAKA ... 66

(14)

iv

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Daftar Judul Sinetron yang Ditayangkan Stasiun Televisi di Indonesia ... 19 Tabel 2. Skala Interval dan Bobot Nilai Jawaban Responden ... 45 Tabel 3. Persentase Persepsi Remaja terhadap Unsur Kekerasan dalam Sinetron

di Televisi ... 52 Tabel 4. Persentase Pengaruh Orang Tua terhadap Persepsi Remaja tentang

Unsur Kekerasan dalam Sinetron di Televisi ... 54 Tabel 5. Persentase Pengaruh Teman terhadap Persepsi Remaja tentang Unsur

Kekerasan dalam Sinetron di Televisi ... 55 Tabel 6. Persentase Pengaruh Guru terhadap Persepsi Remaja tentang Unsur

Kekerasan dalam Sinetron di Televisi ... 56 Tabel 7. Persentase Pengaruh Media terhadap Persepsi Remaja tentang Unsur

Kekerasan dalam Sinetron di Televisi ... 57 Tabel 8. Hasil Perhitungan Hubungan antara Jenis Kelamin terhadap Persepsi

Remaja ... 59 Tabel 9. Hasil Perhitungan Hubungan antara Usia, Tingkat Pendidikan,

Frekuensi Menonton, dan Durasi Menonton terhadap Persepsi Remaja ... 60 Tabel 10. Hasil Perhitungan Hubungan antara Pengaruh Orang Tua terhadap

Persepsi Remaja ... 61 Tabel 11. Hasil Perhitungan Hubungan antara Pengaruh Teman atau Sahabat

terhadap Persepsi Remaja ... 62 Tabel 12. Hasil Perhitungan Hubungan antara Pengaruh Guru atau Dosen

terhadap Persepsi Remaja ... 62 Tabel 13. Hasil Perhitungan Hubungan antara Pengaruh Media terhadap Persepsi

(15)

v

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kerangka Pemikiran ... 35

Gambar 2. Persentase Jenis Kelamin Responden ... 48

Gambar 3. Persentase Tingkat Pendidikan Responden ... 49

Gambar 4. Persentase Frekuensi Responden dalam Menonton Televisi ... 49

(16)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Televisi merupakan salah satu media komunikasi massa yang dapat mempengaruhi pemirsa khalayak penontonnya, termasuk remaja. Menurut McLuhan (Rahmat, 2004), media sudah menjadi pesan. Ia bahkan menolak pengaruh isi pesan, dan menambahkan bahwa yang mempengaruhi khalayak bukan yang disampaikan media, tetapi jenis media komunikasi yang khalayak pergunakan seperti: media interpersonal, media cetak, atau media elektronik (televisi dan radio).

Menurut Tranggono yang dikutip Murniatmo (1993), televisi dengan segala kekuatan yang dimilikinya, mampu mengatur sekaligus menentukan persepsi dan perilaku masyarakat. Hal ini didukung oleh McQuail, yang juga dikutip oleh Murniatmo (1993), bahwa “media massa mampu mengubah perilaku khalayak dalam keadaan apapun, terlebih lagi media audio visual yang pesan-pesannya seakan menghipnotis massa dalam berperilaku”.

Kuswandi (1996) berpendapat bahwa acara televisi dapat mengancam atau menguatkan nilai sosial yang ada, serta dapat membentuk nilai-nilai sosial baru dalam kehidupan masyarakat. Selain itu, Kuswandi (1996) juga menambahkan bahwa acara televisi dapat menimbulkan dampak terhadap pemirsanya, yaitu:

a. Dampak kognitif, yaitu kemampuan yang dimiliki pemirsa untuk menyerap dan memahami acara yang ditayangkan televisi yang pada akhirnya menimbulkan pengetahuan bagi pemirsa.

b. Dampak peniruan, yaitu televisi menayangkan trend saat ini yang dapat menyebabkan timbulnya gejala imitasi dari pemirsa.

(17)

2 Menurut Drabman dan Thomas yang dikutip Surbakti (2008), bahaya tayangan yang mengandung unsur kekerasan yang disiarkan oleh televisi adalah mengajarkan kepada mereka sikap hidup dan perilaku agresif sebagai falsafah hidup. Dampaknya terhadap kehidupan remaja adalah:

a. Meningkatkan perilaku kekerasan bagi sebagian besar remaja. Meskipun mereka dididik untuk memiliki sikap toleransi, namun tayangan yang mereka saksikan justru mengajarkan sebaliknya, sehingga terjadi benturan hebat di dalam batin mereka untuk memilih sikap yang akan mereka ambil.

b. Tayangan kekerasan menyebabkan remaja kehilangan kepekaan terhadap perilaku agresif itu sendiri. Artinya, mereka menganggap kekerasan adalah sesuatu yang wajar dan biasa saja. Akibatnya, mereka menjadi terbiasa melakukan kekerasan dalam interaksi mereka sehari-hari.

Seiring dengan maraknya stasiun televisi swasta yang hadir di Indonesia maka persaingan di antara stasiun televisi semakin tinggi, sehingga mereka berusaha mengikuti selera pasar dengan menyajikan acara yang menarik dan berlomba-lomba untuk mendapatkan rating yang tinggi. Tingginya rating pada suatu acara tertentu dapat meningkatkan laba yang diperoleh. Salah satu caranya ialah dengan menayangkan sinema elektronik, atau yang lebih dikenal dengan istilah sinetron, yang sangat digemari oleh berbagai macam lapisan masyarakat pada umumnya, dengan berbagai macam isi cerita.

Banyaknya jumlah sinetron dengan rating yang tinggi menimbulkan kekhawatiran banyak pihak mengenai dampak yang akan dialami oleh remaja, karena di dalam sinetron banyak terkandung muatan negatif dan sering menampilkan adegan-adegan anti-sosial.

Menurut Guntarto (2004), terdapat tiga aspek yang terkandung dalam sinetron yang dikhawatirkan akan membawa pengaruh buruk terhadap perilaku etis anak-anak dan remaja, yaitu:

(18)

3 2. Aspek kekerasan; yaitu aspek yang memperlihatkan adegan marah-marah, penyiksaan, dan perkelahian dengan teman. Adegan serangan fisik dan lontaran kata-kata kasar pun ditampilkan secara jelas.

3. Aspek seksualitas; aspek ini bisa ditampilkan dalam bentuk narasi atau percakapan dalam sinetron, dari cara berpakaian, pergaulan pria dan wanita yang cenderung permisif.

Sinetron menyebabkan perubahan makna sekolah bagi remaja, bukan lagi tempat untuk belajar, melainkan tempat untuk pacaran, mengembangkan intrik dan berkelahi, karena hampir semua sinetron menampilkan adegan tersebut. Karena itu, apabila sinetron-sinetron semacam ini dibiarkan menampilkan gambaran tentang sekolah atau kampus yang demikian, sangat potensial membentuk persepsi di benak remaja bahwa sekolah menjadi tempat kegiatan remaja yang tidak produktif, bahkan cenderung negatif. Kegiatan negatif tersebut antara lain bertengkar untuk memperebutkan pria atau wanita, berkelahi, melabrak teman atau adik kelas, dan perilaku negatif lainnya yang termasuk ke dalam unsur kekerasan.

1.2 Perumusan Masalah

Meski semua orang tahu bahaya yang ditimbulkan akibat unsur-unsur kekerasan yang terkandung dalam tayangan sinetron di televisi, tetapi beragam jenis dan judul sinetron yang mengandung unsur kekerasan kini marak ditayangkan. Setiap hari pemirsa selalu disuguhi tayangan-tayangan yang mengandung unsur kekerasan, yang disajikan dalam beragam gaya dan bentuk, termasuk sinetron itu sendiri. Pemirsa juga dapat menyaksikannya pada waktu

(19)

4 1. Bagaimana persepsi remaja terhadap unsur kekerasan dalam sinetron di

televisi?

2. Faktor-faktor apa saja yang memiliki hubungan dengan persepsi remaja terhadap unsur kekerasan dalam sinetron di televisi?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah:

1. Mendapat gambaran mengenai persepsi remaja terhadap unsur kekerasan dalam sinetron di televisi.

2. Mengkaji faktor-faktor yang memiliki hubungan dengan persepsi remaja terhadap unsur kekerasan dalam sinetron di televisi.

1.4 Kegunaan Penelitian

Sesuai dengan tujuan penelitian, maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkannya, diantaranya: 1. Bagi pengelola televisi, dapat menjadi bahan masukan dan pertimbangan

untuk penyajian acara yang mengandung unsur kekerasan, khususnya sinetron.

2. Bagi peneliti, menambah pengetahuan dan wawasan tentang persepsi masyarakat terhadap unsur kekerasan dalam sinetron di televisi, khususnya remaja.

3. Bagi khalayak umum, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi mengenai pengendalian perilaku remaja dalam menonton televisi. 4. Bagi kalangan akademis dan peneliti lain, melalui hasil penelitian ini dapat

(20)

5

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Televisi

2.1.1.1 Sejarah dan Perkembangan Televisi

Sejarah perkembangan televisi diawali pada tahun 1884, seorang mahasiswa di Berlin menciptakan sebuah alat yang merupakan cikal-bakal pesawat televisi. Namun prinsip televisi tidak dapat dilepaskan dari penemuan teknologi radio. Pada tahun itu pula penemuan Paul Nipkow itu dipatenkan. Selanjutnya, nipkow bercita-cita ingin menciptakan prinsip-prinsip pembentukan gambar yang kemudian dikenal dengan nama jantra Nipkow. Dan pada tahun 1965 James Maxwell menemukan prinsip baru untuk mewujudkan gelombang elektromagnetis, yaitu gelombang yang digunakan televisi. Penemuan Maxwell ini kemudian dikembangkan oleh Guglemo Marconi. Pada tahun 1875 George Carey di Boston mengembangkan gambar televisi. Namun penayangan elemen-elemen gambar dengan cepat, garis demi garis, frame demi frame, ditampilkan oleh WE Sawyer dari Amerika dan Maurice Leblanc dari Perancis pada tahun 1880 (Istanto, 1995).

Sudibyo (2004) menyatakan bahwa siaran televisi pertama di Indonesia ditayangkan pada tanggal 17 Agustus 1962, bertepatan dengan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-17. Siaran tersebut berlangsung mulai pukul 07.30 sampai pukul 11.02 WIB untuk meliput upacara peringatan Hari Proklamasi di Istana Negara. Inilah momentum dimana Indonesia mengukuhkan diri sebagai negara Asia keempat yang memiliki media penyiaran televisi setelah Jepang, Filipina, dan Thailand.

Liputan perdana TVRI adalah upacara pembukaan Asian Games ke IV di Stadion Utama Senayan Jakarta. Liputan pertama TVRI dikoordinir oleh

Organizing Committe Asian Games IV yang dibentuk khusus untuk event

(21)

6 TVRI menayangkan iklan pada tanggal 1 Maret 1963, seiring ditetapkannya TVRI sebagai televisi berbadan hukum yayasan melalui Keputusan Presiden RI Nomor 215 tahun 1963. Saat ini siaran telah dapat menjangkau hampir semua provinsi di seluruh Indonesia berkat pemanfaatan satelit Palapa, bahkan mampu menjangkau wilayah ASEAN. Munculnya TVRI kemudian disusul pula dengan munculnya stasiun-stasiun televisi swasta lainnya (Sudibyo, 2004).

Menurut Mursito (1998) pertelevisian kita, khususnya televisi swasta telah mengalami perkembangan pesat dan pada awalnya ingin didesain sebagai institusi media yang antara lain memiliki fungsi informatif-edukatif, membentuk kepribadian bangsa, bertujuan menangkal pengaruh budaya asing, menjadi tuan rumah di negeri sendiri, juga memelihara dan melestarikan budaya adiluhung. Selain itu, dengan adanya televisi kita hendak mendefinisikan kehidupan bangsa ke arah yang sesuai dengan desain besar kebudayaan, yang disebut kebudayaan nasional.

Namun, menurut Radikun (1995) saat ini tayangan televisi sangat memprihatinkan karena sudah tidak lagi sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Tayangan televisi yang dimaksud adalah tayangan-tayangan berselera rendah yang menampilkan hasrat tercela, sikap negatif, perbuatan merusak, hedonisme, pornografi, kekerasan, sadisme, dan egoisme.

Radikun (1995) menambahkan bahwa tayangan hedonisme adalah tayangan yang mempertontonkan pelampiasan memburu kesenangan, hidup mewah berfoya-foya, hidup tanpa batas yang semuanya hanya demi kepuasan hawa nafsu, tanpa menghiraukan akibat buruk di belakang hari, dan tanpa mengindahkan larangan agama. Adapun tayangan pornografi yaitu tayangan yang menampilkan adegan-adegan merangsang birahi dan mendorong pergaulan bebas atau seks bebas.

(22)

7 dimana yang kuat menyiksa yang lemah. Sedangkan tayangan egoisme adalah tayangan yang menampilkan sikap mementingkan diri sendiri, keserakahan, dan mengorbankan orang lain dengan menggunakan strategi yang licik (Radikun, 1995).

Mursito (1998) juga menambahkan pada saat ini, televisi kita telah berkembang tidak sesuai dengan desain kebudayaan nasional dan hanya berkembang menjadi media hiburan, yang dapat dilihat dari dominasi hiburan pada acara-acaranya. Hal tersebut terjadi berdasarkan asumsi bahwa saat ini acara yang digandrungi oleh khalayak adalah hiburan, maka siaran televisi dipenuhi oleh acara-acara hiburan seperti sinetron, film, dan acara musik.

Menurut Lubis (2001), televisi adalah jendela dunia rumah kita, dimana pesan-pesan dan informasi baik hiburan maupun tidak berdatangan menghampiri kita sehingga model perilaku dan tokoh identifikasi diri. Televisi sendiri sebagai salah satu bentuk media massa ternyata membawa perubahan pada gaya hidup. Salah satu contohnya adalah gaya berbahasa orang Jakarta telah tersebar ke seluruh pelosok tanah air, mode pakaian dan gaya rambut artis menjadi trend di masyarakat.

(23)

8

2.1.1.2 Pengertian Televisi

Menurut Cassirer (1987) dalam Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esai tentang Manusia, televisi merupakan pengubahan dari dunia material, dunia sosial, dan dunia simbolik yang menjadi lingkungan manusia. Sebagaimana dikemukakan Kuntowijoyo (1987) dalam Budaya dan Masyarakat, halaman 66, bahwa televisi mengubah dan mentransformasikan “dunia manusia” ini menjadi realitas media (televisi). Media menentukan bagaimana suatu realitas diformat, dikemas dengan trik-trik kamera dan editing yang membuat suatu “materi” tampil

menarik, membentuk cerita baru tentang realitas: realitas televisi.

Pemirsa bebas memilih acara-acara yang disukai dan dibutuhkannya melalui beberapa stasiun yang ada. Maka tidak heran jika dibandingkan dengan faktor lain, menurut Fred Allen dalam Cross (1983), televisi adalah media komunikasi massa yang paling menggairahkan/menggiurkan (the most seductive), paling meresap (the most pervasive), dan paling berpengaruh (the most influential). Televisi memang media yang banyak digemari dan memberikan pengaruh yang kuat.

Dewasa ini, televisi boleh dikatakan telah mendominasi hampir semua waktu luang setiap orang. Televisi memiliki sejumlah kelebihan, terutama kemampuannya dalam meyatukan antara fungsi audio dan fungsi visual, ditambah dengan kemampuannya dalam memainkan warna. Selain itu televisi juga mampu mengatasi jarak dan waktu, sehingga penonton yang tinggal di daerah terpencil dapat menikmati siaran televisi (Mulyana, 2001).

(24)

9 Amri Jahi dalam Hasnah (2004) menyatakan bahwa televisi termasuk media elektronik yang dapat menyampaikan pesan-pesan audio dan visual secara serentak. Karena itulah pesan yang disampaikan televisi menjadi lebih menarik dan disukai masyarakat. Pesan tersebut ditujukan untuk seluruh masyarakat. Mulai anak-anak sampai orang tua, pejabat tinggi sampai petani/nelayan, yang ada di desa bisa menyaksikan acara-acara yang sama melalui “tabung ajaib” itu.

Kemampuan televisi dalam menarik perhatian massa menunjukkan bahwa media tersebut telah menguasai jarak secara geografis dan sosiologis. Media televisi sebagai sarana tayang realitas sosial menjadi penting artinya bagi manusia untuk memantau diri mereka dalam kehidupan sosialnya. Hal ini tergantung dari bagaimana kesiapan manusianya untuk menghadapi informasi televisi. Faktor pendidikan manusia adalah salah satu pemecahan paling utama sebagai “filter” untuk mencegah efek negatif materi tayangan televisi. Media televisi sanggup menjauhkan manusia dari kenyataan hidup sehari-hari. Tetapi, televisi juga dapat dianggap sebagai “jendela dunia besar” karena realitas sosial yang berhasil ditayangkannya. Daya tarik media televisi sedemikian besar, sehingga pola-pola kehidupan rutinitas manusia sebelum muncul televisi berubah total sama sekali (Kuswandi, 1996).

(25)

10

2.1.1.3 Fungsi Televisi

Secara umum, televisi mempunyai fungsi yang sama dengan media massa lain, yaitu: (1) Menyiarkan informasi. Hal Ini merupakan fungsi utama media massa, sebab masyarakat membeli media massa tersebut karena memerlukan informasi tentang berbagai hal yang terjadi di dunia ini; (2) Mendidik, karena fungsi yang kedua ini, media massa menyajikan pesan-pesan atau tulisan-tulisan yang mengandung pengetahuan, serta sekaligus dapat dijadikan media pendidikan; (3) Menghibur, karena media massa biasanya menyajikan rubrik-rubrik atau program-program yang bersifat hiburan; dan (4) Mempengaruhi, karena dengan fungsi ini media massa dapat mempengaruhi khalayak, sehingga terjadi perubahan pada khalayak, baik perubahan pengetahuan, sikap, maupun tindakan. Melalui fungsinya yang keempat ini, pres memegang peranan penting dalam tatanan kehidupan masyarakat (Muhtadi, 1999).

Kuatnya pesan televisi mempengaruhi pemirsa dimungkinkan oleh adanya daya tarik dari suatu tayangan program acara yang terkait dengan informasi yang dibutuhkan pemirsa. Televisi sebagai media massa memiliki empat fungsi sekaligus, yaitu menyampaikan informasi, pendidikan, hiburan, dan mempengaruhi (Sukarelawati, 2009).

Departemen Komunikasi dan Informatika (2006) menjelaskan bahwa sebagai pilar demokrasi maka televisi memiliki empat fungsi: pertama, sebagai penyambung lidah dan penyampai informasi bagi masyarakat. Kedua, menjadi dinamisator bagi Indonesia. Ketiga, dituntut untuk menyajikan informasi yang benar, akurat, valid, dan kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Keempat, sebagai pengawasan terhadap kritik, koreksi. Kelima, menjadi kontrol bagi tiap usaha-usaha pengaburan kebenaran dan praktik-praktik “pandang bulu”.

(26)

11 pendidikan, diharapkan dapat menanamkan pesan informasi yang memberi pencerahan bagi pemirsa. Pemirsa dimotivasi untuk melakukan kegiatan yang bermanfaat bagi dirinya sebagai warga negara maupun peranannya dalam kehidupan bermasyarakat. Televisi layaknya menyajikan yang benar, akurat, valid antara pernyataan atau pesan yang diinformasikan dengan bukti atau keadaan yang sebenarnya, sekaligus terbuka terhadap setiap kritik dan koreksi yang dapat dipertanggungjawabkan pada kepentingan publik. Fungsi televisi sebagai media penghibur, pada dasarnya merupakan faktor penting sebagai pendukung fungsi utama, yaitu menyampailan informasi dan fugsi pendidikan. Dengan nilai hiburan, diharapkan televisi memiliki nilai tambah bagi kecerdasan dan kesejahteraan lahir batin pemirsa, dalam memenuhi kebutuhan hidup dari suatu informasi. Pada tahap tertentu, televisi diharapkan pula memiliki kekuatan dalam mempengaruhi pemirsa kalangan tertentu yang perlu didorong dan diarahkan pada suatu kepentingan, antara lain bagaimana mengadopsi suatu temuan yang bermanfaat bagi kepentingannya (Sukarelawati, 2009).

Televisi sebagai media informasi, memiliki kekuatan yang ampuh untuk menyampaikan pesan. Karena media ini dapat menghadirkan pengalaman yang seolah-olah dialami sendiri dengan jangkauan yang luas dalam waktu yang bersamaan. Penyampaian isi pesan seolah-olah langsung antara komunikator dan komunikan. Betapa besar kemajuan dan perubahan yang terjadi sejak televisi ditemukan. Kita dapat menyaksikan liputan berita tentang berbagai peristiwa dari seluruh dunia. Kita dapat menyaksikan berbagai jenis film, dari film kartun, drama, biografi, aksi, edukasi, musik, dan lain sebagainya, baik dari dalam maupun luar negeri.

(27)

12 ketaatan dan disiplin bagi para pemirsanya untuk tercapainya keberhasilan pembangunan (Widarto, 1994).

Televisi sebagai media hiburan dianggap sebagai media yang ringan, santai, dan segala sesuatu yang mungkin bisa menyenangkan, hanya dengan memencet tombol di remote control kita dapat memindahkan dan memilih

channel yang diinginkan. Televisi bisa menciptakan suasana tertentu, yaitu para penonton dapat melihat sambil duduk santai tanpa kesengajaan untuk menyaksikannya. Memang televisi akrab dengan suasana rumah dan kegiatan penonton sehari-hari (Hasnah, 2004).

Kelebihan televisi antara lain penyampaian isi pesan seolah-olah langsung antara komunikator dan komunikan, informasi yang disampaikan akan mudah dimengerti karena jelas terdengar secara audio dan terlihat secara visual serta dengan adanya satelit komunikasi, maka peristiwa di satu tempat dapat dilihat di tempat lain melalui televisi. Media televisi bersifat transitory (hanya meneruskan maka pesan-pesan yang disampaikan melalui komunikasi massa media tersebut hanya dapat didengar dan dilihat secara sekilas. Isi pesan media televisi berasal dari sumber resmi tentang suatu isu yang terjadi di masyarakat. Karena sifat komunikasi massa media televisi itu transitory, maka isi pesan yang disampaikan harus singkat dan jelas, cara penyampaian kata per kata harus jelas, serta intonasi suara dan artikulasi harus tepat dan baik. Kesemuanya itu tentu saja menekankan unsur isi pesan yang komunikatif agar pemirsa dapat mengerti secara tepat tanpa harus menyimpang dari pemberitaan yang sebenarnya. Kelemahan televisi adalah karena bersifat “transitory” maka isi pesannya tidak dapat

di’memori’ oleh pemirsa. Media televisi terikat oleh waktu tontonan dan tidak bisa melakukan kritik sosial dan pengawasan secara langsung dan vulgar (Kuswandi, 1996).

Hoffman dalam Syarief (2007) mengatakan bahwa fungsi televisi adalah: 1. Pengawasan situasi masyarakat dan dunia. Televisi berfungsi mengamati

(28)

13 2. Menghubungkan satu hal dengan yang lain. Televisi dapat menghubungkan hasil pengawasan yang satu dengan hasil pengawasan lain secara lebih gamblang daripada sebuah dokumen tertulis.

3. Menyalurkan kebudayaan. Fungsi ini dapat disebut juga sebagai fungsi pendidikan, namun dalam hal ini istilah “pendidikan” tidak digunakan karena di dalam kebudayaan audio-visual tidak ada yang namanya kurikulum. Kebudayaan yang dikembangkan oleh televisi merupakan tujuan tanpa pesan khusus di dalamnya.

4. Hiburan. Fungsi ini memang dibutuhkan oleh masyarakat, jika sebuah tayangan tidak dapat menghibur pemirsa, maka tidak akan ditonton. Akan tetapi, hiburan ini bukan berarti hiburan semata tanpa ada sesuatu yang diambil pelajarannya dari suatu program.

5. Pengarahan masyarakat untuk bertindak dalam keadaan darurat. Televisi harus pro-aktif dalam memberi motivasi dan pengetahuan untuk menghadapi suatu keadaan darurat.

Karo (2008) berpendapat bahwa dalam hal kelancaran siaran televisi harus ada pihak yang bertanggungjawab, yaitu pengarah acara. Apabila pengarah acara membuat naskah, ia harus berpikir dalam gambar, yang mempunyai tahapan, yaitu:

1. Visualisasi, yakni menterjemahkan kata-kata yang mengandung gagasan yang menjadi gambar secara individual. Dalam proses visualisasi pengaruh acara harus berusaha menunjukkan obyek-obyek tertentu menjadi gambar yang jelas dan menyajikan sedemikian rupa sehingga mengandung suatu makna. 2. Penggambaran, yaitu kegiatan merangkai gambar-gambar individual

(29)

14

2.1.2 Tayangan di Televisi

Tayangan televisi dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu berita, iklan, dan hiburan. Fungsi hiburan media elektronik menduduki posisi yang paling tinggi dibandingkan dengan fungsi-fungsi yang lain, karena masyarakat masih menjadikan TV sebagai media hiburan. Jam-jam prime-time (pukul 19.00 sampai 21.00 WIB) akan disajikan acara-acara hiburan seperti sinetron, kuis, atau acara jenaka lainnya (Karo, 2008).

Menurut Gilang (2005) televisi mempunyai pengaruh yang cukup ampuh dibanding media massa lainnya seperti suratkabar, majalah, atau tabloid dalam mempengaruhi perilaku pemirsa. Motion picture di televisi dapat membuat informasi yang disampaikan sedemikian menarik dan menyenangkan sehingga penonton dapat terlena dengan tayangan-tayangan yang disajikan. Sadar atau tidak, setiap hari pemirsa diterpa dengan pesan-pesan yang belum tentu sesuai dengan konsumsi mereka. Menurut Nitibaskara dalam Gilang (2005) televisi berpotensi mempengaruhi 75 persen pemirsa, radio tidak lebih dari 25 persen, dan suratkabar hanya mempengaruhi 13 persen pembaca.

Hanafiah dalam Sukarelawati (2009) menjelaskan bahwa daya tarik di televisi di mata pemirsa bukan pada kotak (bentuk) fisiknya, tetapi pada menu program yang telah disuguhkan oleh televisi secara beragam. Atas alasan itu, televisi menjadi magnet yang menyeret siapa saja sampai menjadi kebutuhan akan kehadirannya. Begitu besar daya pikat televisi sehingga mampu mempengaruhi watak dan karakter, bahkan pola hidup (waktu) seseorang (pemirsa). Sains dan televisi diacu dalam Hanafiah, yang dikutip oleh Sukarelawati (2009), menggambarkan televisi sebagai medium yang sangat bagus untuk membagi informasi dan prinsip-prinsip ilmu kepada masyarakat secara luas. Melalui program-program televisi yang mendidik sambil menghibur kita dapat meningkatkan daya tarik masyarakat untuk belajar ilmu pengetahuan.

Menurut Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran, pada Bab I mengenai Ketentuan Umum, pasal 1, disebutkan bahwa tayangan di televisi terbagi menjadi dua, yaitu:

(30)

15 Tayangan faktual adalah program siaran yang menyajikan fakta non-fiksi, diproduksi dengan berpegang pada prinsip jurnalistik, terutama apabila materi yang disiarkan berkaitan dengan kebijakan publik. Yang termasuk dalam program faktual adalah program berita, features, dokumentasi, program realita (reality show), konsultasi on-air, diskusi, talkshow, jajak pendapat, pidato, ceramah, editorial, kuis, perlombaan, pertandingan olahraga, dan program-program sejenis lainnya yang bersifat nyata, terjadi tanpa rekayasa. 2. Tayangan Non-Faktual.

Tayangan non-faktual adalah program siaran yang berisi ekspresi, pengalaman situasi dan/atau kondisi individual dan/atau kelompok yang bersifat rekayasa atau imajinatif dan bersifat menghibur. Yang termasuk di dalam program non faktual adalah drama yang dikemas dalam bentuk sinetron atau film, program musik, seni, dan/atau program-program sejenis lainnya yang bersifat rekayasa dan bertujuan menghibur.

Menurut Siregar dalam Testiandini (2006) isi siaran televisi dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Faktual, berasal dari empiris/sosiologis dan bersifat objektif. Materi dari faktual ada yang bersifat keras yang terikat dengan aktualitas, serta bersifat lunak yang lebih menekankan nilai human interest. Fungsi primer dari materi faktual adalah sosial (informasional). Walaupun terdapat juga fungsi hiburannya, namun hanya bersifat sekunder.

2. Fiksional, berasal dari dunia humanities psychology dan bersifat subjektif. Fungsi primer dari materi fiksional adalah psikologi (menghibur). Materi fiksional juga memiliki fungsi informasional namun hanya bersifat sekunder.

Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran, pada Bab VIII mengenai Penggolongan Program Siaran Televisi, pasal 11, menjelaskan bahwa:

(31)

16 2. Penggolongan isi siaran diklasifikasikan dalam 4 (empat) kelompok usia,

yaitu:

a. Klasifikasi A: Tayangan untuk Anak, yakni khalayak berusia di bawah 12 tahun.

b. Klasifikasi R: Tayangan untuk Remaja, yakni khalayak berusia 12-21 tahun.

c. Klasifikasi D: Tayangan untuk Dewasa. d. Klasifikasi SU: Tayangan untuk Semua Usia.

3. Untuk memudahkan khalayak penonton mengidentifikasi, informasi penggolongan program isi siaran ini harus terlihat di layar televisi di sepanjang acara berlangsung.

4. Secara khusus atas program isi siaran yang berklasifikasi Anak dan/atau Remaja, lembaga penyiaran dapat memberi peringatan dan himbauan tambahan bahwa materi program isi siaran klasifikasi Anak dan/atau Remaja perlu mendapatkan arahan dan bimbingan orang tua.

Peringatan atau himbauan tambahan tersebut berbentuk kode huruf BO (Bimbingan Orangtua) ditambahkan berdampingan dengan kode huruf A untuk klasifikasi Anak, dan/atau R untuk klasifikasi Remaja. Kode huruf BO tidak berdiri sendiri sebagai sebuah klasifikasi penggolongan program isi siaran, namun harus bersama-sama dengan klasifikasi A dan R.

2.1.3 Sinetron sebagai Salah Satu Tayangan Televisi

Menurut Radikun (1995) televisi dapat pula berfungsi sebagai media hiburan dan media pendidikan. Salah satu hal yang membuat televisi menjadi komunikasi yang efektif ialah kemampuannya untuk memikat perhatian penonton dan banyak membuat ketagihan.

(32)

17 realitas sosial pemirsa, isi pesannya mengandung cerminan tradisi nilai luhur dan budaya pemirsa, dan isi pesannya lebih banyak mengangkat permasalahan atau persoalan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat (Kuswandi, 1996).

Dalam membuat paket ini, kru televisi harus memasukkan isi pesan yang positif dan pesan dapat mewakili aktualitas kehidupan masyarakat dalam realitas sosialnya. Untuk membuat sinetron ada dua hal perlu diperhatikan yaitu terdapat permasalahan sosial dalam cerita sinetron yang mewakili realitas sosial dalam masyarakat dan menyelesaikan permasalahan yang terjadi dalam sinetron secara positif dan responsif (Kuswandi, 1996).

Salah satu acara jenis hiburan yang banyak ditayangkan oleh stasiun televisi adalah drama. Berbagai bentuk interaksi manusia, baik pegaulan biasa, hubungan cinta, kerja sama, kontak bisnis, hubungan kerja, perlombaan, persaingan, permusuhan baik yang mencerminkan saling pengertian maupun yang mencerminkan salah pengertian dikemas dalam berbagai bentuk drama televisi, baik komedi maupun tragedi (Radikun, 1995).

Radikun (1995) menambahkan tayangan drama di televisi berguna untuk pembentukan sikap dan pembiasaan tingkah laku untuk membanding dan mencontoh dipandang penting bagi pembentukan sikap dan watak serta pembiasaan perilaku di kalangan muda karena melalui proses peniruan itulah generasi muda menghayati berbagai perasaan dan memberikan respon yang wajar, belajar menghendaki hal-hal yang pantas, respon positif dan membiasakan tingkah laku yang baik.

(33)

18 Sinetron termasuk ke dalam program siaran drama yang dapat dibagi dua, yaitu sinetron cerita dan non-cerita. Perbedaannya terletak pada format sinetron. Sinetron cerita terdiri dari beberapa jenis, yaitu sinetron drama modern, sinetron drama legenda, sinetron drama komedi, sinetron drama saduran, dan sinetron drama yang dikembangkan dari cerita atau buku novel, cerita pendek dan sejarah. Menurut Soenarto dalam Karo (2008) sinetron drama dapat ditempatkan pada pagi hari, sore, atau malam hari, tergantung tema cerita dan siapa sasarannya. Cerita drama bisa didapatkan dari produk dalam negeri atau disewa dari luar negeri. Durasinya bisa 30 menit, 60 menit, 90 menit, atau bahkan lebih.

Sinetron merupakan singkatan dari sinema elektronik yang pada dasarnya sama dengan film. Bedanya, sinetron merupakan cerita yang berlanjut atau bersambung dan diambil dengan kamera video (secara elektronik). Menurut Jarvie

dalam Karo (2008) film adalah gambar bergerak yang mempunyai makna. Film secara garis besar dibedakan menjadi dua macam, yaitu film cerita dan film non-cerita. Yang termasuk ke dalam kategori film cerita adalah: film drama, film horor, film perang, film sejarah, film fiksi ilmiah, film komedi, film laga, film musikal, dan film koboi. Sedangkan yang termasuk ke dalam kategori film non cerita adalah: film dokumenter dan film faktual (Sumarno, 1996).

Sinetron telah menjadi bagian dari wacana publik dalam ruang sosial masyarakat. Pada bulan Maret 2004, sebanyak 35 persen dari sinetron yang ditayangkan di televisi adalah sinetron bertemakan remaja (Guntarto, 2004). Akan tetapi, perkembangan sinetron di Indonesia saat ini semakin tidak mengarah pada suatu tujuan pendidikan maupun informasi. Rumah Produksi sinetron lebih sering mengangkat kisah-kisah percintaan, kekerasan, mistis, dan harta. Cerita sinetron tidak hanya menjadi sajian menarik di televisi, tetapi juga telah menjadi bahan diskusi di berbagai kalangan masyarakat, bahkan tidak jarang nilai-nilai sosial di dalamnya hadir sebagai rujukan perilaku para penggemarnya, khususnya di kalangan remaja.

Menurut Kuswandi (1996) paket sinetron yang ditayangkan banyak diminati karena menyangkut tiga hal, yaitu:

(34)

19 2. Isi pesannya mengandung cerminan tradisi nilai luhur dan budaya

masyarakat.

3. Isi pesannya lebih banyak mengangkat permasalahan atau persoalan yang terjadi dalam kehidupan.

Kekuatan media memang sering menciptakan imitasi di kalangan masyarakat, mulai dari anak-anak hingga dewasa, termasuk remaja. Perilaku para pemeran sinetron tidak jarang menjadi panutan para ibu dan remaja putri. Mereka mengubah model rambut dan dandanannya seperti pemain sinetron. Mereka berusaha mengubah gaya hidupnya seperti kehidupan yang diceritakan dalam suatu sinetron.

Berikut adalah daftar beberapa judul sinetron yang pernah ditayangkan di stasiun televisi:

Tabel 1. Daftar Judul Sinetron yang Ditayangkan Stasiun Televisi di Indonesia.

Judul Sinetron Hari Tayang Jam Tayang (WIB) Stasiun Televisi

Lagu Cinta Nirmala Setiap Hari 18:00 - 19:30 RCTI

Putri yang Ditukar Setiap Hari 19:30 - 22:30 RCTI

Arini 2 Setiap Hari 21:00 - 22:30 SCTV

Islam KTP Setiap Hari 18:00 - 19:30 SCTV

Titip Rindu Setiap Hari 20:30 - 22:00 SCTV

Bintang untuk Baim Setiap Hari 19:30 – 21:00 SCTV

Cinta Fitri Season 7 Setiap Hari 20:30 – 22.00 INDOSIAR

(35)

20

2.1.4 Kekerasan

2.1.4.1 Pengertian Kekerasan

Kekerasan dalam kamus Bahasa Indonesia diartikan sebagai sifat atau hal yang keras, paksaan. Jadi, terlihat adanya unsur paksa dengan kekerasan yang sangat dominan. Hadiwardoyo seperti dikutip Sudarsono, dalam Marliana (2006), secara sederhana mengatakan bahwa kekerasan adalah tindakan yang memaksa secara fisik dan psikis, sehingga dapat menimbulkan penderitaan terhadap banyak orang yang tidak bersalah. Kekerasan disini ditekankan pada perilaku antar manusia secara fisik dan psikis.

Menurut Surbakti (2008) kekerasan dapatlah dipahami sebagai tindakan menyakiti, merendahkan, menghina, atau tindakan kekejaman yang bertujuan untuk membuat obyek kekerasan tersebut menderita, baik secara psikologis maupun fisiologis. Dengan demikian, dapat diduga bahwa tidak seorang pun manusia yang hidup di dunia ini luput dari kekerasan. Setiap orang dalam perjalanan hidupnya kemungkinan sekali pernah mengalami kekerasan. Bentuk kekerasan yang dialami bermacam-macam dan intensitasnya pun berbeda-beda.

Menurut Galtung seperti dikutip Sudarsono, dalam Marliana (2006), kekerasan terjadi ketika manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi potensialnya. Selain itu, kekerasan juga terjadi ketika manusia terhambat potensinya sehingga tidak dapat bertumbuh kembang secara optimal. Jadi, kekerasan tidak hanya dalam pengertian sempit pada perlakuan fisik saja, namun juga pada mental yang terlihat maupun tidak, yang berefek langsung maupun tidak langsung.

(36)

21 Kekerasan juga dapat diartikan sebagai cara untuk mengendalikan dan menekan yang dapat mencakup segi kekuatan emosi, sosial atau ekonomi, pemaksaan atau penekanan, selain agresi fisik. Kekerasan dapat dilakukan secara terbuka dalam bentuk penyerangan fisik atau mengancam seseorang dengan senjata, dan bisa secara tertutup melalui intimidasi, ancaman tuntutan, tipuan, dan bentuk-bentuk lain tekanan psikologis maupun sosial. Penganiayaan merupakan penyalahgunaan kekuasaan untuk si pelaku memperoleh kendali atau keuntungan dari korban, dengan mengganggu secara fisik atau psikologis atau dengan memicu rasa takut melalui gangguan tersebut. Penganiayaan menghambat seseorang untuk mengambil keputusan yang bebas, serta memaksa mereka untuk bertindak melawan kehendaknya sendiri (Monalisa, 2005).

2.1.4.2 Jenis Kekerasan

Jack D. Douglas dan Frances Chaput Waksler dalam Santoso (2002) mengatakan bahwa istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik yang terbuka (overt) dan tertutup (covert), atau yang bersifat menyerang (offensive) dan bertahan (deffensive), yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain. Oleh karena itu, ada empat jenis kekerasan yang dapat diidentifikasi, yaitu:

1. Kekerasan terbuka. Kekerasan yang dapat dilihat, seperti perkelahian, pemukulan, pengrusakan, cacian, makian, dan lain sebagainya.

2. Kekerasan tertutup. Kekerasan tersembunyi atau tidak dilakukan langsung, seperti perilaku mengancam.

3. Kekerasan agresif. Kekerasan yang dilakukan untuk perlindungan, tetapi untuk mendapatkan sesuatu, seperti pemalakan.

4. Kekerasan defensif. Kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan perlindungan diri, seperti tindakan seseorang yang balas memukul apabila ia dipukul.

(37)

22 Orang yang melakukan ancaman sesungguhnya tidak bermaksud melakukan kekerasan, sehingga orang hanya mempercayai kebenaran ancaman dan kemampuan pengancam mewujudkan ancamannya. Dengan mengancam, ada sedikit orang yang bisa mengontrol orang lain. Ancaman dianggap sebagai bentuk kekerasan, merupakan unsur penting kekuatan, kemampuan untuk mewujudkan keinginan seseorang sekalipun menghadapi keinginan yang berlawanan. Ancaman menjadi efektif jika seseorang mendemonstrasikan keinginan untuk mewujudkan ancamannya.

2.1.5 Unsur kekerasan dalam Sinetron di Televisi

Menurut Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran, pada Bab I mengenai Ketentuan Umum, pasal 1, disebutkan bahwa tayangan yang mengandung muatan kekerasan adalah program yang dalam penyajiannya memunculkan efek suara berupa hujatan, kemarahan yang berlebihan, pertengkaran dengan suara seolah orang membanting atau memukul sesuatu, dan/atau visualisasi gambar yang nyata-nyata menampilkan tindakan seperti pemukulan, pengrusakan secara eksplisit dan vulgar.

Selanjutnya dalam Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran, pada Bab VII mengenai Pelarangan dan Pembatasan Program Adegan Seksual, Kekerasan, dan Sadisme, Bagian Kedua tentang Pelarangan dan Pembatasan Adegan Kekerasan dan Sadisme, pasal 10, dijelaskan bahwa program dikatakan mengandung muatan kekerasan secara dominan apabila sepanjang tayangan sejak awal sampai akhir, unsur kekerasan muncul mendominasi program dibandingkan unsur-unsur yang lain, antara lain yang menampilkan adegan tembak-menembak, perkelahian dengan menggunakan senjata tajam, darah, korban dalam kondisi mengenaskan, penganiayaan, pemukulan, baik untuk tujuan hiburan maupun kepentingan pemberitaan (informasi).

(38)

23 1. Lembaga penyiaran televisi dilarang menyajikan program dan promo

program yang mengandung adegan di luar perikemanusiaan atau sadistis. 2. Lembaga penyiaran dilarang menyajikan program yang dapat dipersepsikan

sebagai mengagung-agungkan kekerasan atau menjustifikasi kekerasan sebagai hal yang lumrah dalam kehidupan sehari-hari.

3. Lembaga penyiaran dilarang menyajikan lagu-lagu atau klip video musik yang mengandung muatan pesan menggelorakan atau mendorong kekerasan.

Saat ini, sinetron tidak lagi merupakan akronim dari sinema elektronik. Melainkan sudah menjadi sebuah genre acara sendiri di layar kaca karena telah dimaknai sebagai program sinetron unggulan karena waktu tayangnya pada prime time dan diandalkan oleh stasiun televisi untuk meraih rating (Pratomo, 2003). Produksi sinetron juga telah menjadi lahan utama bagi stasiun televisi untuk berlomba-lomba menampilkan yang terbaik untuk menjadi populer (Laksitarukmi, 1997).

Diskusi-diskusi kecil, konflik kecil akibat rasa cemas tidak bisa mengikuti alur sinetron secara lengkap, parodi lagu-lagu sinetron, munculnya komunitas fans artis sinetron, sampai trend menirukan model pakaian dan potongan rambut para artis sinetron, serta memanfaatkan kepopuleran seorang artis sinetron sepintas hanya peristiwa-peristiwa kecil yang berkembang di masyarakat secara musiman, yang beberapa saat kemudian akan hilang dengan sendirinya. Kenyataan tersebut sebenarnya menunjukkan bahwa ada realitas sosial media yang memiliki daya tarik luar biasa sehingga ada orang rela bertahan selama beberapa jam di depan layar kaca. Pemain sinetron yang sebenarnya tidak lebih dari orang biasa, menjadi orang yang memiliki daya tarik dan menjadi panutan penggemarnya.

Di dalam sinetron, bahasa yang sering digunakan adalah Bahasa Indonesia prokem. Menurut pakar bahasa Sugono (2004), sinetron-sinetron yang ditayangkan di televisi dalam beberapa adegannya kurang memperhatikan nilai kepantasan dalam berbahasa, karena banyak menggunakan bahasa Betawi dan

(39)

24 Berdasarkan penelitian Pratomo (2003) adegan-adegan anti-sosial di dalam sinetron seperti penganiayaan, kekerasan, dan ucapan kasar lebih sering muncul dibandingkan adegan pro-sosial seperti tolong-menolong, kasih sayang, toleransi, dan lain-lain. Sehingga dapat disimpulkan bahwa saat ini adegan anti-sosial bukan lagi sekedar “bumbu” untuk menciptakan konflik. Adegan-adegan anti-sosial yang sering ditampilkan dalam sinetron akan mendorong remaja untuk melakukan kekerasan dan mengucapkan kata-kata kasar terhadap orang lain.

2.1.6 Undang-Undang Penyiaran

Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, pada Bab IV Pelaksanaan Siaran, Pasal 36 mengenai isi siaran, yang dikutip Syarief (2007), menjelaskan bahwa:

1. Isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia.

2. Isi siaran dan jasa penyiaran televisi, yang diselenggarakan oleh Lembaga Penyiaran Swasta dan Lembaga Penyiaran Publik, wajib sekurang-kurangnya menayangkan 60% mata acara yang berasal dari dalam negeri.

3. Isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, yaitu anak-anak dan remaja, dengan menyiarkan mata acara pada waktu yang tepat, dan lembaga penyiaran wajib mencantumkan dan/atau menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai dengan isi siaran.

4. Isi siaran wajib dijaga netralisasinya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu.

5. Isi siaran dilarang:

a. Memfitnah, menghasut, menyesatkan, dan/atau bohong;

b. Menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang, atau

(40)

25 6. Isi siaran dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan, dan/atau merendahkan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional.

Adapun pada Bab VI, Pasal 52 mengenai peran serta masyarakat, antara lain:

1. Setiap warga negara Indonesia memiliki hak, kewajiban, dan tanggung jawab dalam berperan serta mengembangkan penyelenggaraan penyiaran nasional. 2. Organisasi nirlaba, Lembaga Swadaya Masyarakat, Perguruan Tinggi, dan

(41)

26

2.1.7 Persepsi

2.1.7.1 Pengertian Persepsi

Persepsi adalah proses dimana seseorang mengumpulkan dan menginterpretasikan informasi. Persepsi menjadi media penghubung antara individu dengan lingkungan sekitar individu tersebut. Tanpa adanya persepsi, maka kehidupan bermasyarakat tidak akan terlaksana. Dalam hal ini, persepsi menghasilkan makna dan pengetahuan baru (Zanden, 1984). Persepsi adalah penilaian seseorang terhadap obyek tertentu yang dihasilkan oleh kemampuan mengorganisasikan indera pengamatan. Sementara itu, Rahmat (2004) mendefinisikan persepsi adalah pengalaman tentang obyek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan meyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan.

Menurut Walgito (1990), persepsi merupakan proses pengorganisasian, penginterpretasian terhadap suatu stimulus yang diterima oleh organisme atau individu sehingga merupakan sesuatu yang berarti, dan merupakan aktivitas yang

integrated dalam diri individu. Sedangkan menurut Baron dan Byrne (2000), persepsi adalah suatu proses memilih, mengorganisir, dan menginterpretasi informasi yang dikumpulkan oleh pengertian seseorang dengan maksud untuk memahami dunia sekitar.

Desiderato dalam Rahmat (2004) berpendapat bahwa persepsi adalah pengalaman tentang obyek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan dan menafsirkan pesan. Persepsi ialah pemberian makna pada stimuli indrawi. Hubungan sensasi dengan persepsi sudah jelas. Sensasi adalah bagian dari persepsi. Walau demikian, menafsirkan makna informasi indrawi tidak hanya melibatkan sensasi tetapi juga atensi, ekspektasi, motivasi, dan memori.

(42)

27 namun persepsi juga merupakan proses “menamai”, melukiskan, menggambarkan, serta memberikan arti bagi stimuli atau dunia sekitarnya.

Kristono sebagaimana dikutip Istyawati (2008), mendefinisikan persepsi sebagai proses aktif baik mengenai stimuli yang mengenai seseorang, juga mencakup pengalaman, motivasi, dan sikap-sikap yang relevan terhadap stimuli tersebut. Apa yang dilakukan seseorang tidak terlepas dari caranya mempersepsikan situasi, mengapresiasikannya, atau apa yang ia ingat mengenai hal yang dihadapinya. Definisi persepsi lainnya dikemukakan oleh Handoko yang dikutip oleh Istyawati (2008), menyatakan bahwa persepsi sebagai interpretasi atau penafsiran seseorang akan makna sesuatu baginya di dalam memahami informasi tentang “dunianya” baik melalui penglihatan, pendengaran, perasaan, dan penalaran.

Menurut Sarwono dalam Oktaviana (2002) persepsi adalah proses pencarian informasi untuk dipahami. Alat untuk mencari informasi adalah indera, sedangkan alat untuk memahaminya adalah kesadaran atau kognisi. Menurut Zanden (1984), dengan persepsi seseorang dapat merasakan dunia di sekitarnya dan memberi arti pada input sensory, yaitu dengan tidak secara langsung memberi tanggapan kepada dunia kejadian, obyek, dan orang. Untuk mengubah stimulus dari luar menjadi sistem dalam diri seseorang, maka stimulus tersebut itu perlu diberi arti. Morgan dalam Oktaviana (2002) berpendapat bahwa persepsi merupakan proses penangkapan kualitas dari stimulus. Artinya bahwa individu mampu mengadakan perbedaan antara stimulasi untuk disusun dalam suatu pengertian tersendiri. Proses ini mengarah kepada proses psikologis, yaitu sebagai perantara dari proses penginderaan dan tingkah laku.

(43)

28 Menurut Newcomb, et al (1978) ada dua fase dalam proses persepsi, yaitu selektif perseptual dan penguraian kode. Selektif perseptual terjadi karena setiap situasi kompleks (situasi yang berubah-ubah), tidak mungkin dihindari, karena informasi potensial yang dapat disajikan memang sangat luas. Disamping kemampuan manusia memiliki keterbatasan dalam menerima informasi secara tepat. Oleh karena itu, ada sebagian informasi yang mendapat perhatian penuh, sebagian tidak penuh, dan sebagian lagi luput dari perhatian. Penguraian kode adalah suatu usaha untuk dapat menempatkan informasi yang masuk sesuai dengan simpanan informasi masa lalu seseorang, dengan demikian dapat memberi makna kepada informasi tersebut. Keduanya merupakan fenomena yang saling berkaitan.

Proses terbentuknya persepsi menurut Veitch dan Arkellin sebagaimana dikutip oleh Handoko (2003), dibedakan menjadi empat tahapan, yaitu detection, recognition, discrimination, dan scaling terhadap stimuli yang diterima dari lingkungan.

Proses awal terbentuknya persepsi adalah detection, yaitu mendeteksi stimulus berupa perubahan energi dalam lingkungan seperti energi elektromagnetik, mekanik, kimia, atau perubahan suhu lingkungan. Proses deteksi ini merupakan proses mengenali jenis stimuli, tingkat stimuli, intensitas, atau jumlah stimuli yang dapat diterima oleh individu. Tahap berikutnya adalah

recognition, atau proses mengetahui. Setelah mempu mendeteksi obyek atau stimuli dari lingkungannya, maka proses selanjutnya adalah individu harus mengetahui stimulus atau obyek apa yang dideteksi tersebut. Tahap ketiga adalah

discrimination, dimana individu melakukan proses diskriminasi terhadap stimuli. Individu harus mampu mendiskriminasikan atau membedakan antara stimulus yang satu dengan stimulus yang lain. Tahap keempat adalah scaling atau kemampuan mengukur dari individu terhadap stimuli di lingkungannya, merupakan proses dimana individu mampu mengukur seberapa besar stimuli yang dapat diterima oleh individu tersebut.

(44)

29 seseorang tentang obyek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dari menyimpulkan informasi melalui stimuli inderawi dan penafsiran pesan.

2.1.7.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi

Menurut Kayam dalam Okturna (2004), persepsi ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor dari dalam diri individu (faktor internal) dan faktor dari luar diri individu (faktor eksternal). Faktor internal meliputi usia, jenis kelamin, pengalaman masa lalu, dan tingkat pendidikan. Sedangkan faktor eksternal meliputi pengaruh masyarakat, pengaruh media, dan lain sebagainya.

Krech dan Crutchfield seperti dikutip oleh Rahmat (2004), mengemukakan dua faktor yang menentukan persepsi, yaitu: (1) Faktor fungsional, berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu, dan hal-hal lain yang disebut sebagai faktor-faktor personal. Persepsi bukan ditentukan oleh jenis atau bentuk stimuli, tetapi karakteristik orang yang memberikan respon terhadap stimuli tersebut; (2) Faktor Struktural, berasal semata-mata dari stimuli fisik dan efek-efek syaraf yang ditimbulkannya pada sistem syaraf individu.

Andersen dalam Rahmat (2004) mengemukakan bahwa sesuatu yang diperhatikan pemirsa akan ditentukan oleh faktor-faktor situasional dan personal. Faktor situasional terkadang disebut sebagai determinan perhatian yang bersifat eksternal atau penarik perhatian (attention getter) dan faktor personal sebagai determinan internal.

Empat stimuli yang mempunyai sifat-sifat yang menonjol, antara lain adalah gerakan, intensitas, kebaruan, dan perulangan. Uraian ringkas dari sifat stimuli adalah sebagai berikut:

1. Gerakan; manusia tertarik pada obyek-obyek yang bergerak.

2. Intensitas; manusia akan memperlihatkan stimuli yang lebih menonjol dibanding stimuli yang lain. Dengan demikian, menguatkan pemahaman pemirsa terhadap isi pesan dalam tayangan dan sekaligus memperkuat perhatiannya tentang sesuatu hal.

(45)

30 pesan tetapi juga dari metode atau cara penyampaian tokoh atau sumber pesan dalam tayangan.

4. Perulangan; hal-hal yang disajikan berkali-kali disertai dengan sedikit variasi atau hal yang sudah dikenal sebelumnya, berpadu dengan unsur yang baru, termasuk unsur sugesti (mempengaruhi bawah sadar pemirsa), akan dapat menarik perhatian terhadap acara yang sedang ditayangkan di televisi.

Menurut Rahmat (2004) faktor internal penaruh perhatian adalah menjelaskan kemampuan indera manusia untuk menunjukkan perhatian yang selektif (selective attention), yang bisa lolos dari perhatian orang lain. Faktor tersebut terkait dengan faktor biologis, meliputi kebutuhan terpenting seseorang dalam memenuhi pencapaian tujuan atau keinginanyang diharapkan. Hal ini dipengaruhi oleh latar belakang kebudayaan, pengalaman, dan pendidikannya.

2.1.8 Remaja

2.1.8.1 Pengertian Remaja

Menurut Hurlock (1996) masa remaja dianggap mulai pada saat anak secara seksual menjadi matang dan berakhir saat ia mencapai usia matang secara hukum. Namun, penelitian tentang perubahan perilaku, sikap, dan nilai-nilai sepanjang masa remaja tidak hanya menunjukkan bahwa setiap perubahan terjadi lebih cepat pada masa awal remaja daripada tahap akhir remaja, tetapi juga menunjukkan bahwa perilaku, sikap, dan nilai-nilai pada awal remaja berbeda dengan pada akhir masa remaja. Oleh karena itu, secara umum masa remaja dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu awal dan akhir masa remaja.

Secara umum, yang dimaksud masa remaja adalah saat anak mulai matang secara seksual dan berakhir pada saat tercapainya kedewasaan pertumbuhan fisik, serta kesanggupan bertingkah laku yang dikuasai rasio dan pengendalian emosi. Dengan tercapainya kematangan fisik yang berkaitan dengan kematangan alat genetika bagian dalam, maka berakhirlah masa pubertas, disaat seseorang mulai menginjak masa remaja.

Gambar

Tabel 1. Daftar Judul Sinetron yang Ditayangkan Stasiun Televisi di Indonesia.
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Persepsi Remaja terhadap Unsur Kekerasan di Televisi
Tabel 1. Skala Interval dan Bobot Nilai Jawaban Responden
Gambar 2. Persentase Jenis Kelamin Responden
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil pengolahat data arus dengan menggunakan current rose untuk arus kedalaman dasar (12 m) dimana pergerakan arus dominan ke arah timur dan barat dimana kecepatan tertinggi

Upaya Menghadapi Hambatan Memasuki Pasar Internasional (Studi Kasus pada PT. Windika Utama) sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

Dalam melaksanakan studi dokumentasi peneliti mengumpulkan data sekunder yaitu berupa data dari buku-buku, karya tulis ilmiah seperti tesis, skripsi, jurnal, dan

Upaya yang telah dilakukan oleh perusahaan Telkomsel pada produk Simpati Loop dengan memberikan Iklan, Brand Trust dan Brand Image, tentunya berujung pada minat beli

Bantul Governance not optimally yet on improving volleyball sport as an icon or cultural sport in there.. It is showed by the people in Bantul right now not believe again

telekomunikasi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dengan analisis. rasio keuangan dengan pendekatan Piotroski’s

[r]

Nyamuk Anopheles spp yang tertangkap istirahat di luar rumah dan di dalam rumah pada malam hari dan pagi hari, dilakukan pembedahan ovarium untuk menentukan angka paritas