Politik Tata Kelola Agraria Pada Komunitas Petani
Di DAS Cidanau Kabupaten Serang Provinsi Banten
HIDAYAT
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif:
Studi Peluruhan Kelembagaan Lokal dan Kegagalan Politik Tata Kelola Agraria Pada
Komunitas Petani di DAS Cidanau, Kabupaten Serang Provinsi Banten” adalah karya
akademik saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya diterbitkan maupun tidak diterbitkan
dari penulis telah saya sebutkan dalam catatan kaki, teks dan dicantumkan dalam Daftar
Pustaka dibagian akhir disertasi ini.
Bogor, 16 Pebruari 2011
Hidayat
Political Failure On Management Setting of Agrarian in Peasant Community of Cidanau Watershed, Regency of Serang, Province of Banten. Suvervised by ENDRIATMO SOETARTO, DJUARA P. LUBIS, SEDIONO M.P.TJONDRONEGORO.
The research was aimed to study 3 aspect: management setting model of agrarian resources based local institutions which was conducted by forest peasant community in the upstream watershed region of Cidanau, sectoral contestation, local superlocal and contes-tation in the internal scope of peasant community. To study the mentioned above, this research used a critical paradigm. The research was done in 3 villages location which have different ecological characteristics namely dry land, and wet/rice fields and rice fields. The collecting data methods used observed participation, in depth interview and Focus Group Discussion (FGD). Data Analysis used qualitative analysis approach. In an effort of obtaining data validity truth can be convinced, data eligibility tested through technical triangulation resources and method. The results of this research showed that local institutional management setting of agrarian resources in this area has relation with life insight and social culture value and being rule of game form of management setting of conducive agrarian resources for sustainability development.
The local institution is in the form covering (1) soil conception, land used management (2) and forest zonation (3) local knowledge/wise regarding food plants and medicines (4) buyut, pipeling
institutions. While local institutions is in the form organization and management setting practices are
liliuran dan wanatani (agroforestry). In management setting of agrarian resources manifest from local institution ia an agricultural technological appliances of rotated farming, ngaseuk (land managed conservation form), coo bibit (prime seed upgrading), environment friendly plant germs eradication and planting period following season and rotated plants.
The agrarian resources control contestation in the village area goes on in 3 forms, sectoral contestation, local superlocal and internal scope community. The sectoral contestation was due to the lack of comprehension over agrarian resources function as stock, public commodity and resources as commodity and political will and political action weakness of government agency. In the contestation sector of rural community push country’s control towards rural resources, institutional conflict, taking away of increasing standard of living achieved and independent appearance of rural community. The contestation sector was jeered by synergy weakness and government coordination in planning aspect, implementation, evaluation and monitoring. The local superlocal contestation appeared in the form of holistic contestation versus reductionist, agroforestry community versus plantations, institutional community versus institutional made government. The scope of internal community contestation relating with the difference of religion understanding, political and economical orientation, ecological condition and environmental services receipt.
The course of farmers’ history in Indonesia was colored by superlocal power domination the form of which vary from time to time depend on political interest and economical regime of the ruling one.The agrarian politic of new order which oriented betting on the strong had complex impact towards rural community that caused local institutional declining of management setting went on systematically. The declining occurred over level system, rule of laws, level organization and individual. The declining towards buyut institution, the removal of liliuran social capital, the rottening of conservation ethics and declining local wise. The oriented agrarian politic was betting on the strong caused the ruling government had failed to create the objective of institutional for prosperity at large and people’s welfare. The failure of agrarian politics was performed by the marginalization of agrarian community structure, agrarian predator appeared, peasant eviction and low concern towards environment services.
dan Kegagalan Politik Tata Kelola Agraria Pada Komunitas Petani di DAS Cidanau,
Kabupaten Serang Provinsi Banten.” Dibimbing oleh ENDRIATMO SOETARTO,
DJUARA P. LUBIS, SEDIONO M.P.TJONDRONEGORO.
Penelitian
bertujuan untuk mengkaji
tiga hal yaitu: (1)
praktik dan tradisi tata
kelola sumberdaya agraria berbasis kearifan lokal pada komunitas petani hutan di
kawasan hulu DAS Cidanau, (2) proses kontestasi sektoral, lokal supralokal dan
kontestasi dalam lingkup internal komunitas petani dan (3) peluruhan kelembagaan lokal
dan kegagalan politik agraria bidang kehutanan di kawasan DAS Cidanau.
Untuk mengkajinya diggunakan paradigma kritis, karena interaksi kelembagaan
lokal dan supra lokal yang berlangsung di lokasi penelitian berlangsung timpang,
diwarnai penetrasi kekuasaan, posisi tineliti yang termarginalkan. Dengan penggunaan
paradigma kritis diharapkan dapat membongkar dimensi struktur yang timpang dan
menindas untuk selanjutnya mendorong kesadaran kolektif (
collective consciousness
) dan
perbaikan posisi sosial dan ekonominya yang termarginalkan. Penelitian dilakukan di tiga
desa komunitas petani hutan di kawasan DAS Cidanau, yaitu Desa Citaman Kecamatan
Ciomas (representasi lahan kering), Desa Cibojong (representasi campuran lahan kering
dan basah) dan Desa Citasuk Kecamatan Padarincang, yang merupakan lahan sawah.
Metode pengumpulan datanya menggunakan pengamatan partisipasi, wawancara
mendalam dan
Focus Group Discussion
(FGD). Analisis datanya menggunakan
pendekatan analisa kualitatif melalui teknik triangulasi teori, sumber dan metode.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelembagaan lokal tata kelola sumberdaya
agraria di lokasi penelitian memiliki hubungan dengan pandangan hidup, nilai sosial
budaya, bentuk aturan tata kelola sumberdaya agraria yang kondusif untuk pembangunan
pertanian dan kehutanan berkelanjutan. Kelembagaan lokalnya berbentuk pranata, nilai
dan norma dan berupa organisasi dan praktek tata kelola sumberdaya agraria.
Kelembagaan lokal berbentuk pranata melipiuti (1) konsepsi tanah dan tata guna tanah,
(2) zonasi hutan
(leuweung),
(3) kearifan lokal tentang tanaman pangan dan obat (4)
Kelembagaan
buyut
,
pipeling
. Sedangkan kelembagaan lokal berupa organisasi dan
praktek tata kelola adalah
liliuran
dan wanatani (
agroforestry
). Dalam praktik tata kelola
sumberdaya agraria manifestasinya adalah penerapan teknologi pertanian gilir balik
(
rotated farming
),
ngaseuk
, (bentuk olah tanah konservasi),
coo benih
(pemulian bibit
unggul), pemberantasan hama tanaman ramah lingkungan, dan masa tanam mengikuti
daur musim dan pergiliran tanaman.
dengan perbedaan paham keagamaan, orientasi politik dan ekonomi, kondisi ekologi serta
perebutan penerimaan jasa lingkungan.
Perjalanan sejarah petani di Indonesia diwarnai oleh dominasi kekuasaan supra
lokal yang bentuknya berbeda-beda dari waktu ke waktu tergantung kepentingan politik
dan ekonomi rezim yang berkuasa. Politik agraria Orde Baru yang berorientasi
betting on
the strong
memiliki dampak yang kompleks terhadap masyarakat pedesaan. Meskipun
meningkatkan perolehan devisa negara dari sektor kehutanan dan menggelembungnya
"dompet pemerintah pusat", tetapi tidak meneteskan kemakmuran bagi masyarakat
lokal/sekitar hutan; yang terjadi justru peminggiran dan penyempitan ruang hidupnya dan
peluruhan kelembagaan lokal secara sistemik. Peluruhan berlangsung pada aras sistem
(peraturan perundang-undangan), organisasional (pembentukan kelembagaan bentukan
pemerintah yang merupakan substitusi terhadap kelembagaan komunitas) dan pada aras
individual, melalui provokasi, stigmatisasi dan promosi prilaku yang bertentangan
dengan nilai budaya sosial religius, menjunjung tinggi resiprositas dan solidaritas sosial
dan keseimbangan hidup antara material dan spiritual.
Peluruhan kelembagaan komunitas di lokasi penelitian mencakup kelembagaan
buyut
, modal sosial
liliuran
, etika konservasi dan kearifan lokal. Kondisi ini terjadi
karena karena politik agraria kehutanan yang berorientasi ekonomi dan produksi kurang
mempertimbangkan manusia sebagai komponen utama ekosistem hutan dan kepentingan
peran serta masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Komunitas dan
sekitar hutan dan kelembagaannya dipandang sebagai "sumber gangguan" daripada
"kunci keberhasilan".
Pemangku kepentingan lebih melayani kepentingan dunia bisnis dan investasi
daripada mewujudkan
sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.
Kegagalan mewujudkan
tujuan politik agraria ditunjukkan dengan ketidakmampuan mewujudkan kelembagaan
agraria yang berkeadilan dan berkelanjutan, depeasanisasi, tampilnya agensi sebagai
predator, penggusuran petani dan relokasi petani secara
exsitu
dan kepedulian semu
pemerintah terhadap jasa lingkungan. Kegagalan tersebut disebabkan bangunan ideologis
dan signifikansi politik agraria bersifat kapitalistik, ekstraktif dan mengabaikan dimensi
manusia dalam pembangunan sumberdaya hutan. Dampak dari politik agraria kehutanan
tersebut adalah terabaikannya konservasi hutan, jasa lingkungan hutan dan hubungan
hulu dan hilir kawasan DAS. Akibatnya pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau
tidak menjadi insentif untuk meningkatkan kesejahteraan petani hutan dan penghargaan
terhadap komunitas petani yang melaksanakan sistem agroforstry dan sistem olah tanah
konservasi. Sebaliknya pembayaran jasa lingkungan menjadi alat kontrol kekuatan
supralokal terhadap aktivitas agroforestry komunitas melalui prosedur dan mekanisme
pembayaran jasa lingkungan yang tidak partisipatif dan tidak demokratis.
1.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber.
a.
Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tujuan suatu
masalah.
b.
Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
Agraria Pada Komunitas Petani di DAS Cidanau
Kabupaten Serang Provinsi Banten
HIDAYAT
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Doktor
Pada Program Studi Sosiologi Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji Luar Komisi:
1.
Prof. Dr. Hariadi Kartodihardjo
Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB
2.
Dr. Satyawan Sunito
Staf Pengajar Sosiologi Pedesaan
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Fakultas Ekologi Manusia IPB
Ujian Terbuka
: 16 Pebruari 2011
Penguji Luar Komisi:
1.
Dr. Harry Santoso
Direktur Jenderal Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial
Kementerian Kehutanan RI
2.
Dr. Soeryo Adiwibowo, MS.
Nama
: Hidayat
NRP
: A162040021
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA.
Ketua
Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS. Prof. Dr. Sediono M.P.Tjondronegoro
Anggota Anggota
Diketahui
Koordinator Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana
Ilmu Sosiologi Pedesaan
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 6 Agustus 1962 sebagai anak sulung
dari tiga bersaudara dari pasangan bapak Amin Amsani dan Ibu Zubaidah. Pendidikan
dasar dan menengah diselesaikan di kota hujan, Bogor. Lulus sarjana pendidikan sejarah
pada tahun 1986 dari Fakultas Pendidikan Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta.
Pendidikan Magister diraih dari Program Studi Sosiologi Antropologi Pascasarjana
Universitas Padjadjaran Bandung pada tahun 2003. Penulis melanjutkan studi Program
Doktor pada Program Studi Sosiologi Pedesaan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor sejak tahun 2004 dengan biaya BPPS dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Kementerian Pendidikan Nasional.
hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan disertasi berjudul “
Politik Agraria
Transformatif:
Studi Peluruhan Kelembagaan Lokal dan Kegagalan Politik Tata Kelola
Agraria Pada Komunitas Petani di DAS Cidanau, Kabupaten Serang Provinsi Banten
”.
Penulisan disertasi ini merupakan proses pembelajaran berharga berkaitan dengan
kelembagaan lokal, politik agraria, tata kelola hutan dan Daerah Aliran Sungai, kontestasi
sektoral, mengingat tema tersebut sebelumnya bukan merupakan kompetensi penulis.
Sehingga tulisan disertasi ini disadari sepenuhnya masih jauh dari kesempurnaan dan
memuaskan.
Penulisan disertasi ini berkat arahan dan bimbingan dari Prof. Dr. Endriatmo
Soetarto, MA. Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS. dan Prof. Dr. Sediono M.P.Tjondronegoro.
Pada tempatnya kepada beliau penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya
atas dukungan yang tak terhingga, diskusi dan bimbingan yang mendidik serta membuka
cakrawala akademik penulis. Kesediaan beliau bertiga mengalokasikan waktu kepada
penulis di tengah kesibukannya mengemban tugas mulia merupakan kemewahan luar
biasa yang ludiberikan kepada penulis.
Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya saya sampaikan kepada:
1.
Rektor Institut Pertanian Bogor beserta jajarannya yang telah memberikan
kesempatan dan layanan yang baik selama penulis menempuh kuliah.
2.
Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB dan Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan
beserta jajarannya yang telah memberikan layanan perkuliahan kepada penulis.
3.
Rektor Universitas Negeri Medan dan Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri
Medan yang mendorong dan mengizinkan penulis menempuh studi doktor di IPB.
4.
Direktur Direktorat Kelautan dan Perikanan dan Direktur Pedesaan Perkotaan
Bappenas yang telah mempercayai penulis untuk terlibat dalam Peningkatan
Kapasitas Kelembagaan Masyarakat Nelayan dan Pembangunan Ekonomi Lokal.
5.
Dr. Sugeng Budisuharsono, bukan hanya memberikan pandangan dan pendapatnya
tentang dunia akademik tetapi berjasa membantu mendapatkan pendapatan sehingga
penulis dapat bertahan dan terus berkelanjut studi doktor di Pascasarjana IPB. Ucapan
terimakasih juga disampaikan kepada Dr. Rahmat Abbas, Dr. Abubakar dan Ir.
Ahmad Yani, MSi atas kerjasamanya dalam kegiatan survei.
6.
Staf Kecamatan Padarincang dan Ciomas, Kepala Desa Citaman, Desa Citasuk dan
Desa Cibojong dan KRH atas informasi yang berharga untuk penulisan disertasi ini.
7.
Teman-teman mahasiswa S3 Sosiologi Pedesaan khusunya kepada Dr. Yety
Rocwulaningsih, Dr. Undang Fadjar dan Dr. Hartoyo atas kerjasama dan diskusinya
yang membuka inspirasi penulis dalam penulisan disertasi ini.
8.
Secara khusus ucapan terimakasih disampaikan kepada isteri penulis Dandi Muhidin,
anak-anak tercita Eka Maulida Hardiyanti, Mohammad Luthfi, Rahmi Rafikasari dan
Meli Deliana Kamila, atas pengorbanannya yang tak terhingga selama penulis studi
S3 di IPB. Semoga penulisan disertasi ini menjadi sumber inspirasi untuk
mengembangkan diri dan menyongsong masa depan yang lebih gemilang.
Halaman
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang...
1
1.2. Pertanyaan Penelitian ...
9
1.3. Tujuan Penelitian ...
10
1.4. Kegunaan Penelitian ...
10
1.5. Novelti ...
11
2. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
2.1. Kelembagaan Lokal ...
14
2.2. Kontestasi Sektoral dan Kontestasi Lokal Supralokal ...
21
2.2.1. Kontestasi Sektoral...
24
2.2.2. Kontestasi Lokal Supralokal ...
27
2.3. Politik Agraria dan Peluruhan Kelembagaan Lokal ...
31
2.4. Kerangka Pikir ...
40
2.5. Hipotesa Pengarah……… 42
3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Metodologi dan Kerangka Penelitian ...
43
3.2. Pokok Penelitian dan Metode Pengumpulan Data ...
44
3.3. Metode Penelitian ...
45
3.4. Pemilihan Lokasi Penelitian ...
46
3.5. Informan Penelitian ...
47
3.6. Teknik Pengumpulan Data ...
47
3.7. Teknik Pengolahan dan Analisa Data ...
48
3.8. Jadwal Penelitian ...
49
4. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN
4.1. Kondisi Geografi dan Demografi DAS Cidanau ...
50
4.2. Kondisi Geografi dan Demografi Lokasi Penelitian ...
50
4.3. Struktur Mata Pencaharian……… 54
4.4. Resiprositas dan Solidaritas ...
56
4.5. Transisi Elit ...
59
4.6. Kelembagaan Lokal ...
62
5. DINAMIKA TATA KELOLA SUMBERDAYA AGRARIA BERBASIS
KELEMBAGAAN LOKAL
5.1. Pendahuluan ...
65
5.2. Kearifan Lokal Tata Kelola Sumberdaya Agraria ...
65
5.3. Dinamika Kelembagaan Agroforestry ...
80
5.3.1. Kelembagaan Agroforestry ...
80
5.3.2. Agroforestry Sebagai Strategi Bertahan ... 82
5.3.3. Perkembangan Komunitas Agroforestry……… . 84
5.3.4.
Liliuran
: Bertahan Sebagai Sarana Pencarian Nafkah ……… 87
5.4. Ihtisar ... 90
6. KONTESTASI SEKTORAL, LOKAL SUPRALOKAL DAN INTERNAL
6.1. Pendahuluan ... 91
6.2. Kontestasi Sektoral ... 91
6.2.1. Aktor Kontestasi Sektoral ………. 94
6.2.2. Kontestasi Sektoral: Kapitalisasi Sumberdaya ... 97
6.3. Kontestasi Lokal Supra Lokal ... 100
6.3.1. Holistik Versus Reduksionistik ... 100
6.3.2. Konflik Tenurial ... 103
6.4. Kontestasi Internal Komunitas ... 106
6.4.1. Perbedaan Orientasi Keagamaan ... 107
6.4.2. Afiliasi Politik dan Konflik Elit ... 109
6.4.3. Kontestasi Merebut Insentif Jasa Lingkungan ... 114
6.5. Ihtisar ... 117
7. PELURUHAN KELEMBAGAAN LOKAL DAN KEGAGALAN POLITIK
TATA KELOLA SUMBERDAYA AGRARIA
7.1. Pendahuluan ... 119
7.2. Politik Agraria dan Peluruhan Kelembagaan Lokal ... 120
7.2.2.1. Latar Belakang Sejarah Peluruhan Kelembagaan Lokal ... 120
7.2.2. Politik Pertanian dan Kehutanan Orde Baru ... 124
7.3. Proses dan Bentuk Peluruhan Kelembagaan Lokal ... 126
7.3.1 Peluruhan Kelembagaan
Buyut dan Pipeling
... 128
7.3.2. Penghancuran Modal Sosial ... 130
7.3.3. “Pembusukan” Etika Konservasi... 133
7.3.4. Peluruhan Kearifan Lokal ... 136
7.4. Kegagalan Politik Agraria ... 140
7.4.1. Penggusuran Petani (
Depeasanitation Processes) ...
140
7.4.2. Predator Agraria ... 146
7.4.3. Pendudukan Petani dan
Enclavisme
... 149
7.4.4. Pembayaran Jasa Lingkungan dan Kepedulian Semu ... 156
Dominasi Birokrasi dan Kooptasi
Civil Society Associations
(CSA) ... 161
8.2. Penguatan Kelembagaan Komunitas ... 167
8.3. Menuju Politik Agraria Transformatif ... 172
9. KESIMPULAN DAN SARAN
9.1. Kesimpulan ... 178
9.2. Saran dan Implikasi Kebijakan ... 181
DAFTAR PUSTAKA ... 183
Halaman
Tabel 1. Pengelolaan SDA Menurut 5 UU dan Potensi Masalahnya... 25
Tabel 2. Pokok Penelitian dan Metode Pengumpulan Data... 44
Tabel 3. Struktur Penduduk Desa Citaman, Citasuk dan Cibojong ... 53
Menurut Kelompok Usia
Tabel 4. Mata Pencaharian Penduduk Desa Citaman, Desa Citasuk ... 55
dan Desa Cibojong
Tabel 5. Sebaran Ikatan Hak Milik, Ikatan Kerabat Sosiologis dan Ikatan
Kerabat Genealogis Dalam Komunitas Desa Citaman ... 58
Tabel 6. Komposisi Tanaman Agroforestry Komunitas... 82
Tabel 7. Kelembagaan Bentukan Pemerintah di Wilayah Pedesaan………… 99
Tabel 8. Program dan Pengelola Bantuan Sosial Kementerian Pertanian…... 100
di Pedesaan
Tabel 9. Jenis Kebutuhan Petani Yang Mendorong Transfer Tanah………. 142
Halaman
Gambar 1. Kerangka Pikir... 42
Gambar 2. Tata Guna Tanah Petani Desa Citaman dan Cibojong…….. 67
Gambar 3. Kontestasi Sektoral... 92
Gambar 4. Konsesi Kolosal Pengelolaan SDA……… 93
Gambar 5. Aktor Kontestasi Pengelolaan Hutan DAS Cidanau………. 94
Gambar 6. Kontestasi Kehutanan dan Pertambangan... 96
Gambar 7. Proses Peluruhan Kelembagaan Lokal ……… 127
Gambar 8. Grafik Proses Transformasi Penguasaan Tanah ... 143
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam buku Max Havelar, Multatuli menyebut Indonesia sebagai negeri jamrud khatulistiwa dan dalam hal keragaman hayati mendapat predikat
megadiversity country.1 Tetapi predikat itu kontras dengan kondisi kehidupan sosial ekonomi sebagian besar masyarakatnya dan kondisi sumberdaya alamnya termasuk sumberdaya hutan yang tidak seindah jamrud. Kekayaan dan keragaman hayati Indonesia semakin terancam kelestariannya. Laju kerusakan hutan seluas enam kali lapangan sepak bola per menit atau berkisar 1,6 – 2 juta hektar per tahun, mengakibatkan lebih dari separuh hutan tropis Indonesia (77.806.881 hektar) dalam kategori kritis, sedangkan kemampuan merehabilitasinya hanya sekitar 300.000 hektar per tahun.2 Eksploitasi hutan yang berlangsung secara massif, tidak hanya mengakibatkan rusaknya ekosistem hutan dan sebagian besar DAS dalam kondisi kritis,3 tetapi juga komunitas yang bermukim di kawasan itu termarginalkan.
Pernyataan Multatuli “...bahwa nun di sana rakyat Tuan yang lebih dari tiga puluh juta dihisap atas nama Tuan4…, pada akhir abad sembilan belas, masih relevan untuk menggambarkan kondisi kehidupan sosial ekonomi masyarakat
1 Keanekaragaman hayati Indonesia mencakup berbagai jenis fauna dan flora, uraiannya lihat
BAPPENAS, 2003. Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia 2003-2020. Jakarta: BAPPENAS.
2 Lihat A.Ng. Ginting dan Kirsfianti Ginoga, “Peluang dan Tantangan Kebijakan Moratorium
Lahan Gambut dan Deforestasi”. Makalah “Seminar Lokakarya Nasional Pemanfaatan Lahan Gambut Berkelanjutan Untuk Pengurangan Kemiskinan dan Percepatan Pembangunan Daerah”. Pusat Studi Pembangunan dan Pedesaan IPB, Bogor 28 Oktober 2010.
3 Pada era otonomi daerah kerusakan ekosistem hutan dan DAS cenderung meningkat kualitas dan
kuantitasnya, karena menguatnya ego sektoral disertai ego kedaerahan dalam upaya meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Gambaran kerusakan ekosistem DAS lihat Budi Prasetyo, “Perubahan Penutupan/ Penggunaan Lahan, Degradasi Lahan dan Upaya Penanggulangannya: Studi Kasus di Daerah Aliran Sungai Citanduy” dalam Arya Hadi Dharmawan (penyunting), 2005. Pembaharuan Tata Pemerintahan Lingkungan: Menciptakan Ruang Kemitaran Negara-Masyarakat Sipil - Swasta. Bogor, PSP3 dan Partnership For Governance Reform In Indoensia, UNDP.
4
Indonesia dewasa ini. Pambudi (2010) misalnya mencatat, sekitar 14,7 juta g penduduk Indonesia kurang gizi. Dari 237,6 juta penduduk Indonesia, 35 juta orang di antaranya berpendapatan kurang dari 65 sen dollar Amerika Serikat atau Rp 6000 sehari, dan 127 juta orang pendapatannya kurang dari dua dollar Amerika Serikat.5 Sementara 56 persen aset yang ada di tanah air, baik berupa property, tanah maupun perkebunan, dikuasai hanya oleh 0,2 persen penduduk Indonesia. Sawit Watch mencatat: “hingga Juni 2010 pemerintah telah memberi hak konsesi 9,4 juta ha tanah dan mencapai 26,7 juta ha pada tahun 2010 kepada 30 kelompok usaha yang mengontrol 600 perusahaan”. Angka ini menunjukkan penguasaan tanah oleh kelompok kecil pemilik modal hampir setara dengan yang dikuasai oleh 26,7 juta petani miskin, jika setiap petani memiliki tanah 1 hektar. Padahal sebagian besar petani Indonesia adalah, petani gurem, menguasai tanah di bawah 0,5 hektar.6 Sementara Hutan Taman Rakyat yang difasilitasi oleh Badan Layanan Umum P2H (Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan) yang ditargetkan 5,4 juta hektar hanya mencapai 87.299.89 hektar.
Data tersebut menunjukkan kronisnya ketimpangan struktur agraria di Indonesia. Ketimpangan struktur agraria disertai eksploitasi sumberdaya agaria oleh sekelompok kecil pemilik modal yang berlangsung secara masif dapat berakibat hilangnya harapan masa depan sebagian masyarakat Mengingat prakarsa dan tindakan penyelenggara negara masih jauh dari peran dan fungsi semestinya, baik sebagai regulator untuk membuat regulasi yang adil dan demokratis maupun kapasitas untuk melindungi sumberdaya agraria dan sumberdaya manusia Indonesia dari gempuran kekuatan ekonomi dan politik global. Bila tidak ada langkah strategis dan political action, kondisi tersebut dapat mengantarkan “Indonesia sebentar lagi”.
Sejauh ini peran penyelenggara merujuk pada Pierre Boudieu mengarah pada dominasi simbolik dan pola interaksi negara warga negara terbangun atas
5 Lihat Rachmat Pambudi, “Hak dan Kewajiban Atas Pangan”,
Harian Kompas, 15 Oktober 2010.
6 Penguasaan sumberdaya agraria oleh segelintir orang semakin jelas jika dilihat secara sektoral.
benevolent obedient7. Dalam konteks komunitas sekitar hutan pola interaksi
benevolent obedient ditandai adanya stigmatisasi dan predikat: “terbelakang, terasing, orang pasisian, dan perambah hutan”. Pola interaksi negara warga negara berpola benevolent - obedient dan stigmatisasi, menurut Dove,8 mencerminkan “kegelapan” pandangan “orang-orang lain” terhadap “orang-orang berbudaya lain”. Dalam analisis Tania, stigmatisasi pihak supralokal sebagai upaya “teritorialisasi” dan modernisasi komunitas sekitar hutan menjadi “orang modern”.9 Stigmatisasi dan “teritorialisasi” kekuatan supralokal merupakan pembungkus untuk meraih kepentingan ekonomi dan melegalkan eksploitasi sumberdaya hutan, baik melalui konsesi Hak Penguasahaan Hutan (HPH) atau Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK), Hutan Taman Industri (HTI) dan hak kuasa pertambangan.
Perkembangan penguasaan sumberdaya hutan oleh pemilik konsesi/pemilik modal, diakaui berdampak positif terhadap peningkatkan kontribusi sektor kehutanan terhadap PDB dan APBN. Tetapi peningkatan kontribusinya harus dibayar mahal, karena berakibat meluasnya deforestasi, degradasi hutan, delegitimasi akses dan hak sosial ekonomi komunitas terhadap sumberdaya hutan. Komunitas lokal yang telah memiliki ikatan sejarah dan penguasaan sumberdaya hutan berdasarkan tradisi, dikriminalisasi dan menjadi sasaran aksi polisionil. Di sisi lain, pihak berwenang cenderung tidak berdaya mengatasi aktivitas illegal logging yang melibatkan oknum aparat penguasa dan pengusaha, karena upaya penegakkan hukumnya bersifat transaksional semata-mata.
7 William Liddle, 1988. “Politics and Culture in Indonesia”. Center for Political Studies for Social
Research” The University of Michigan.
8 Lihat Michael Dove, “Representasi Orang yang Berbudaya Lain” oleh ”Orang-Orang Lain”:
Tantangan Etnografis tentang Pandangan Pengusaha Perkebunan terhadap Petani Kecil di Indonesia” dalam Tania Murray (peny.), 2002. Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
9 “Murray Li, “Keterpinggiran, Kekuasaan dan Produksi: Analisis Terhadap Transformasi Daerah
Kondisi ini menimbulkan kegundahan masyarakat dan mendorong tampilnya komunitas terbayang,10 karena menyaksikan ketidak hadiran negara dan kegagalan kelembagaan negara.11 Indikasinya ditunjukkan oleh pembiaran masyarakat menyelesaikan masalahnya sendiri atau main hakim sendiri, meluasnya korupsi dan konflik sosial dan meningkatnya deforestasi dan degradasi hutan yang menimbulkan bencana alam di berbagai wilayah di Indonesia. Kegagalan kelembagaan negara juga ditunjukkkan dari ketidakmampuan penyelenggara negara membangun kelembagaan tata kelola sumberdaya agraria yang adil dan memungkinkan para pihak mendapatkan perlakuan yang setara dan demokratis, serta akses informasi yang akurat dan transfran. Jika dikaitkan dengan tujuan politik agraria yang diamanatkan konstitusi untuk mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, ketidakmampuan penyelenggara negara mewujudkannya dapat dipandang sebagai “kegagalan kelembagaan negara”12
Secara sosio-historis kegagalan kelembagaan negara mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, merupakan implikasi dari pengarus-utamaan politik agraria kapitalis yang berurat akar dalam sejarah politik Kolonial Belanda. Kondisi ini diperteguh dengan mistifikasi pembangunan dan menguatnya kontestasi sektoral dalam pembangunan ekonomi dan sumberdaya. Pelestarian politik agraria kapitalis kolonial Belanda, ditunjukkan dengan “pemberlakukan
domain verklaring” dan pemberian hak konsesi penguasaan sumberdaya hutan dan tambang kepada pemilik modal, tetapi mengabaikan Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960 yang bersifat populis. Ciri penting dari politik agraria kapitalis adalah akumulasi modal lebih diutamakan dan menempatkan
10 Istilah “komunitas terbayang” dikemukakan Benecdict Anderson,” merujuk pada kondisi
kehidupan masyarakat Indonesia pada masa pergerakkan yang memiliki kesamaan cita-cita sebagai bangsa, meskipun di antara mereka tidak pernah bertatap muka dan saling mengenal. Lihat Benecdict Anderson, 2001. Imagined Communities. Yogyakarta, INSIST. Dewasa ini komunitas terbayang muncul dalam jejaring sosial dunia maya sebagai kekuatan alternatif dan penekan, karena rendahnya political will dan ketidak hadiran negara terhadap persoalan masyarakat dan lingkungan.
11Dalam analisis North kegagalan kelembagaan dicirikan berbiaya trasaksi tinggi, salah urus dan
kelembagaan yang tidak tepat. Lihat North, D.C. (1990). Institutions, Institutional Change and Economic Performance. Cambridge University Press, USA.
12Swedberg menyebut institutional failure sebagai keterbelakangan kelembagaan (the biggest
laggard), kebijakan yang tidak tepat, informasi asimetris dan perilaku cheating dan oportunis.
sumberdaya agraria dan sumberdaya manusia menjadi komoditas semata-mata,13 sementara upaya mencerdaskan bangsa dan mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat diabaikan. 14
Dalam penegelolaan sumberdaya kehutanan, politik agraria kapitalis ditandai mistifikasi produksi, pertumbuhan ekonomi dan menguatnya kontestasi sektoral dalam upaya mendapatkan rente ekonomi. Sehingga proses pembangunan kehutanan bukan hanya tidak sinegis tetapi juga tidak meningkatkan perbaikan kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Sebaliknya pembangunan kehutanan mengakibatkan alienasi dan mendorong masyarakat sekitar hutan menjadi buruh upahan15 dan tenaga kuli.16 Hal ini terjadi karena pembangunan kehutanan yang berorientasi kapitalis tidak ramah terhadap ”wong cilik”. Kondisi ini diperkuat dengan pendekatan pembangunan yang bersifat teknokratis yang kurang menghargai peran dan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan.
Dampak lebih lanjut dari politik agraria kapitalis adalah kontestasi sektoral yang tidak sehat, tergerusnya kelangsungan berbagai entitas sosial budaya dan terancamnya keragaman hayati bumi Indonesia. Sementara itu tolak ukur pembangunan yang menguatamakan keberhasilan pembangunan fisik material dan indikator kuantitatif, berakibat aspek sosial dan kemanusiaan kurang dipertimbangkan. Sehingga dibalik pencapaian pembangunan ekonomi sumberdaya yang gemilang secara fisik dan kuantitatif, berlangsung proses dekonstruksi dan delegitimasi kelembagaan komunitas.
Pada komunitas sekitar hutan di luar Pulau Jawa, gambaran dekonstruksi dan delegitimasi tersebut dapat disimak antara lain dari kajian yang dilakukan
13 Lihat Roy Ellen, 2002. “Pengetahuan tentang Hutan, Transformasi Hutan: Ketidakpastian
Politik, Sejarah Ekologi dan Renegosiasi Terhadap Alam di Seram Tengah,” dalam Murray Li, 2002. Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
14
Nancy Lee Peluso, 2006. Hutan Kaya, Rakyat Melarat: Penguasaan Sumber Daya dan Perlawanan Rakyat. Yogyakarta: Insist Press.
15
Ben White, 2002. “Inti dan Plasma: Pertanian Kontrak dan Pelaksanaan Kekuasaan di Dataran Tinggi Jawa Barat” dalam Tania Murray (peny.), 2002. Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
16
oleh Djuweng dan Dove pada komunitas Dayak, 17 Awang di Lampung,18 Zakaria di Mentawai, 19 dan Tania di Sulawesi20. Sedangkan kajian terhadap komunitas sekitar hutan di Jawa, antara lain dilakukan oleh Santoso dan Peluso,21 White dan Marzali di Jawa Barat. 22 Dari kajian tersebut diketahui bahwa berbagai entitas yang sebelumnya memiliki tradisi dan kearifan lokal yang berkontribusi terhadap kelestarian hutan, seperti sebagai “pelestari plasma nutfah”,23 menjadi tidak berdaya menghadapi proses penetrasi kekuatan supra lokal (nasional dan global).
Dalam konteks pembangunan kehutanan berkelanjutan, program perhutanan sosial dan pengembangan masyarakat, ketidakberdayaan komunitas sekitar hutan merupakan masalah serius yang layak dicermati. Berpangkal dari pemikiran tersebut, penulis tertantang untuk mengkaji dinamika kelembagaan komunitas di hulu DAS Cidanau dalam proses interaksi dan adaptasinya dengan kekuatan supra lokal (negara dan pasar). Ketertarikan penulis mengkaji masalah ini terdorong oleh keprihatinan, di mana proses pembangunan kehutanan yang memistifikasi pertumbuhan ekonomi dan produksi, yang berlangsung di kawasan
17 Djuweng, “Orang Dayak, Pembangunan dan Agama Resmi” dalam Stepanus Djuweng, Yando
Zakaria dkk, 1996. Kisah Dari Kampung Halaman: Masyarakat Suku, Agama Resmi dan Pembangunan”. Yogyakarta: Interfidei. Michael Dove, “Representasi “Orang yang Berbudaya Lain” oleh Orang-orang Lain”: Tantangan Etnografis tentang Pandangan Pengusaha Perkebunan terhadap Petani kecil di Indonesia” dalam Tania Murray (peny.), 2002. Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
18 San Afri Awang, 2006. Sosiologi Pengetahuan Deforestasi: Konstruksi Sosial dan Perlawanan.
Jogyakarta: Debut Press.
19 Lihat Zakaria, “Pembangunan Yang Melumpuhkan: Pelajaran dari Kepulauan Mentawai” dalam
Stepanus Djuweng, Yando Zakaria dkk, 1996. Kisah Dari Kampung Halaman: Masyarakat Suku, Agama Resmi dan Pembangunan”. Yogyakarta: Interfidei.
20 Lihat Murray Li, “Keterpinggiran, Kekuasaan dan Produksi: Analisis Terhadap Tranformasi
Daerah Pedalaman” dalam Tania Murray Li (peny.), 2002. Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
21 Hery Santoso, 2006.
Perlawanan Di Simpang Jalan: Konteks Harian di Desa-Desa Sekitar Hutan” Yogyakarta: Penerbit Damar; Nancy Lee Peluso, 2006. Hutan Kaya, Rakyat Melarat: Penguasaan Sumber Daya dan Perlawanan Rakyat. Yogyakarta: Insist Press.
22 Ben White, 2002. “Inti dan Plasma: Pertanian Kontrak dan Pelaksanaan Kekuasaan di Dataran
Tinggi Jawa Barat” dalam Tania Murray Li (peny.), 2002. Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Amri Marzali, 1992. The Urang Sisi of West Java: A Study of Peasants: Responses to Population Pressure”. Boston University.
23
tersebut terindikasi kuat mengakibatkan proses delegitimasi kelembagaan komunitas.
Delegitimasi kelembagaan komunitas sekitar hutan, bukan hanya menjadi ancaman serius terhadap pembangunan hutan berkelanjutan, tetapi juga menyangkut kelanjutan kehidupan sosial budaya dan ekonomi jutaan penduduk yang berada di sekitar hutan. Proses delegitimasi kelembagaan komunitas sekitar hutan juga berdampak pada pemberdayaan masyarakat, ketahanan budaya serta pembangunan karakter bangsa Indonesia. Dalam era globalisasi dewasa ini, bangsa Indonesia bukan hanya membutuhkan modal ekonomi yang kuat dan ketangguhan teknologi, tetapi juga ketahanan sosial budaya dan keberlanjutan sumberdaya hutan.
Sejauh jangkauan penulis, kajian pemerhati dan rimbawan lebih tercurah pada keberlanjutan sumberdaya hutan dalam rangka moratium kehutanan. Sementara keunikan sosial budaya dan kelembagaan komunitas sekitar hutan kurang dipertimbangkan, padahal mereka merupakan bagian terdepan yang akan menerima dampak negatif dari moratorium kehutanan.
Hasrat penulis mengkaji komunitas petani di hulu DAS Cidanau, terdorong adanya kemitraan hulu dan hilir dalam bentuk mekanisme pembayaran jasa lingkungan. Dari sekitar 450 DAS di Indonesia, pembayaran jasa lingkungan oleh pemakai jasa di hilir kepada petani (penghasil jasa lingkungan) di hulu, baru diterapkan di DAS Cidanau. Pemakai jasa lingkungan di hilir yakni PT Krakatau Tirta Industri (KTI), bersedia membayar jasa lingkungan (willingness to pay) dan komunitas petani hutan di hulu DAS, bersedia memelihara area kebunnya secara konservasi untuk menghasilkan jasa lingkungan. Kemitraan hulu dan hilir merupakan fondasi untuk terbangunnya kelembagaan tata kelola DAS terpadu dan berkelanjutan atas prinsip one river, one plan and one management.
Pertimbangan lain yang mendorong penulis mengkaji kelembagaan DAS Cidanau adalah karena sebagian kajian tentang DAS Cidanau tercurah pada aspek ekologi fisik24, sedangkan dimensi sosiologi, ekologi budaya dan kelembagaannya
24 Kajian ini dilakukan tim peneliti Indonesia Jepang yang tergabung dalam Research Unit For
termasuk kemitraan hulu hilir belum mendapat perhatian yang memadai. Padahal keberlanjutan tata kelola DAS, tidak hanya ditentukan secara teknik dan ekonomi, melainkan terkait dengan dimensi sosial dan kelembagaannya. Dari segi ini kemitraan hulu hilir berbentuk mekanisme pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau menarik untuk di kaji. Bahkan kemitraan hulu hilir berbentuk mekanisme pembayaran jasa di DAS Cidanau telah menjadi sumber inspirasi pengelolaan DAS di Nusa Tenggara Timur, Sumatera Barat dan Sumatera Utara.
Pilihan terhadap kelembagaan komunitas petani di hulu DAS Cidanau diperkuat dengan hasil pengamatan lapangan, bahwa pengarus-utamaan politik agraria kapitalis dan kontestasi sektoral di kawasan tersebut, berujung pada pengabaian “negara” terhadap komunitas lokal sampai pada kondisi menciptakan keresahan sosial, maraknya demonstrasi petani (ke DPRD), meluasnya konflik agraria dan mengarah pada kebangkrutan sosial.25
Merujuk pada pendapat Beck, kondisi ini berpotensi dan dapat mengarah pada risk society.26 Dalam konteks wilayah Kabupaten Serang, mencuatnya keresahan sosial, mengingatkan penulis pada keresahan petani di wilayah ini pada penghujung abad ke sembilan belas yang berujung dengan pemberontakan petani.27 Bila tidak ada langkah strategis dan “political action”, kekhawatiran “sejarah berulang” dapat menjadi kenyataan. Dari segi ini, kajian terhadap politik agraria kapitalis terkandung maksud dan upaya agar “sejarah tidak berulang”. Sebab bila sejarah berulang, keresahan sosial meluas dan pembrontakan petani meletus, ongkos sosial ekonomi dan politiknya terlalu mahal. Atas dasar itu dan terinspirasi oleh pemikiran Sobhan
Harmonization Between Development and Environmental Conservation in Biological Production. The University of Tokyo; Feb 21-23 2001. Goto A Kato, 2003. Studies on Environment Changes and Sustainable Development. Water Quality Model of Cidanau Watershed, Indonesia, for Watershed Management Planning. Proceeding of the 2nd Seminar on Toward Harmonization Between Development and Environmental Conservation in Biological Production. The University of Tokyo; Feb. 15-16 2003.
25 Indikasinya: tingginya kemiskinan dan pengangguran, pembiaran rakyat dibelit masalah,
perilaku koruptif dan tereduksinya keluhuran politik menjadi sekadar politik praktis yang kerdil, sempit dan berdurasi pendek. Lihat “Kesalehan Sosial Bangkrut” HarianKompas, 10 Agustus 2010.
26 Beck, Ulrich, 2000. “Risk Society Revisited: Theory, Politics and Research Programmes” in J.
Van Loon (ed). The Risk Society and Beyond Critical Issues for Social Theory. London: Sage.
27 Pembrontakan petani di Banten dipicu oleh tindakan kesewenang-wenangan penguasa yang
(1993), maka politik agraria transformatif relavan diangkat dan menjadi salah tema tulisan ini.
Sejalan dengan pentingnya politik agraria transformatif dan penguatan kelembagaan komunitas, perspektif dan posisi tulisan ini lebih dekat dengan perspektif populis28 dan rasionalitas ekologi utility maximising manner dari (Gorz, 1996).29 Perspektif tersebut menjadi ciri dan pembeda dari kajian sebelumnya. Karena itu pemanfaatan sumber dan tulisan yang beraroma (modernis dan developmentalis) dan kurang sejalan dengan jiwa/perspektif utama, menunjukkan sebuah perspektif mengandung kelemahan dan kelebihan dalam menganalisis suatu gejala sosiologis dan realitas sosial. Dalam tulisan ini perspektif populis,
rasionalitas ekologis dan utility maximising manner dijadikan landasan pemikiran perlunya politik agraria transformatif, tata kelola DAS partisipatif dan penguatan kelembagaan komunitas petani di kawasan DAS Cidanau.
1.2. Pertanyaan Penelitian
1. Mengapa unsur-unsur kelembagaan lokal di kawasan hulu DAS Cidanau rentan dalam adaptasi dan interaksinya dengan kekuatan supralokal ?
2. Mengapa program pembangunan sektoral yang berlangsung di kawasan DAS Cidanau menimbulkan konflik agraria dan kapitalisasi sumberdaya pedesaan ? 3. Mengapa pelaksanaan politik agraria bidang kehutanan mengakibatkan
peluruhan kelembagaan lokal dan gagal mewujudkan politik tata kelola agraria berkeadilan dan berkelanjutan?
28 Jones (1999) mengidentifikasi lima perspektif tentang keberlanjutan dan degradasi sumberdaya:
Neo-Malthusian, Technocratik, Neo Marxist/Dependensi, Neo Liberal dan Populis. Perspektif
populis memandang degradasi sumberdaya disebabkan tidak sempurna dan kurangnya penghargaan atas lembaga dan kearifan lokal. Pengelolaan sumberdaya agraria yang adaptif, berbasis komunitas dan kearifan lokal dipandang sebagai salah satu alternatif untuk mengurangi degradasi lingkungan. Lihat Roe, E. 1991. Development Naratives or Making the Best of Blueprint Development. World Development 19 (4: 287-300; Biot, Y, Blaike, M., and Palmer-Jones, 19995.
Rethinking Research on Land Degradation in Developing Countries. World Bank Discussion Paper No. 289. World Bank: Washington; Jones, S. 1999. From Meta Naratives to Flexible Framework: An Actor Analysis of Land Degradation Highland Tanzania. PP 211-219. Global Environmental Vol. 9.
29Rasionalitas ekologis yang ditawarkan Gorz adalah perlunya pembatasan pengaruh rasionalitas
1.3. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui unsur-unsur kelembagaan lokal di kawasan hulu DAS Cidanau yang rentan dalam adaptasi dan interaksinya dengan kekuatan supralokal. 2. Menjelaskan program pembangunan sektoral yang berlangsung di kawasan
DAS Cidanau yang menimbulkan konflik agraria dan kapitalisasi sumberdaya pedesaan.
3. Menganalisis pelaksanaan politik agraria bidang kehutanan yang mengakibatkan peluruhan kelembgaan lokal dan gagal mewujudkan politik tata kelola agraria berkeadilan dan berkelanjutan.
1.4. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini memiliki kontribusi teoritis dan impliksi kebijakan sebagai berikut:
1. Pada tataran teoritis, penelitian ini memberikan penjelasan terhadap persoalan kelembagaan lokal, kontestasi sektoral, proses peluruhan kelembagaan komunitas dan kegagalan politik tata kelola agraria bidang kehutanan dan kerangka politik agraria transformatif. Dari penelitian ini ditemukan (1) kelembagaan tata kelola sumberdaya agraria komunitas petani yang memadukan aspek ekonomi dan konservasi, (2) kerangka analisis kontestasi sektoral yang menimbulkan konflik agraria dan kapitalisasi sumberdaya pedesaan, (3) kerangka analisis proses peluruhan kelembagaan komunitas dan kegagalan mewujudkan tata kelola DAS partisipatif dan (4) kerangka analisis politik agraria transformatif.
2. Pada tataran kebijakan, temuan penelitian ini dapat menjadi bahan masukan, informasi dan refleksi untuk perumusan kebijakan instansi Pemerintah Daerah Kabupaten Serang dan pihak terkait yang bertugas dan berempati terhadap pembangunan kehutanan berkelanjutan, pengembangan kapasitas kelembagaan dan pemberdayaan komunitas sekitar hutan, kemitraan hulu hilir DAS Cidanau dan terpeliharanya kawasan konservasi Rawa Danau.
1.5. Novelti Penelitian
berbagai wilayah kabupaten di P. Jawa.Implikasinya kajian tentang kelembagaan komunitas petani, cenderung didominasi dan berlatar belakang komunitas petani sawah30. Kondisi ini menimbulkan bias kebijakan pembangunan pertanian dan swa sembada pangan kepada padi/beras atau lahan sawah. Sementara wilayah Jawa berupa lahan kering yang cukup luas, lebih bervariasi dan memiliki potensi sosial ekonomi yang tidak kalah penting dari sawah diabaikan.
Hal ini tercermin dari cara Biro Pusat Statistik menyederhanakan semua kawasan lahan kering dalam rubrik “tegalan”. Padahal aktivitas pertanian lahan kering di P. Jawa terbentang antara lain di Jawa Barat bagian Selatan dan Banten, selain tegalan terdapat pekarangan, kebun, talun, kebun campuran, plantasi kecil dan agroforestry.
Sejauh jangkauan penulis kajian dari perspektif sosiologi terhadap aktivitas pertanian lahan kering dan kelembagaannya relatif terbatas.31 Kajian terhadap komunitas lahan kering di wilayah Jawa Barat antara lain dilakukan oleh Ben White di Sukabumi dan Marzali di Cianjur. Keduanya mengkaji dari perspektif sosiologi ekonomi dan antropologi. Kajian serupa di lakukan oleh Hefner pada suku Tengger di kaki Gunung Bromo Jawa Timur.
Komunitas lahan kering juga menarik perhatian peneliti Balibang Kehutanan. Sebagian besar kajian yang dilakukan oleh peneliti Balibang Kehutanan menggunakan teori positivisme, pendekatan teknis, metodologi statistik kuantitatif dan metode survey.32 Hasil kajiannya cenderung membenarkan kebijakan, keangkuhan agensi dan menempatkan masyarakat lokal sebagai "sumber gangguan" dari pada kunci keberhasilan konservasi dan pertanian
30 Misalnya Herman Suwardi di Cianjur berjudul “Respon Masyarakat Desa Terhadap Modernitas
di Bidang Produksi Pertnian di Jawa Barat”.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
31 Kajian terhadap sistem pertanian dan kelembagaan komunitas lahan kering di Jawa dilakukan
oleh White dan Hefner serta muridnya Marzali. Lihat Ben White, “Inti dan Plasma: Pertanian Kontrak dan Pelaksanaan Kekuasaan di Dataran Tinggi Jawa Barat” dalam Tania Murray Li (peny.), 2002. Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hefner 1990. The Political Economy of Mountain Java: An Interpretative History. University of California Press. Amri Marzali, 1992. The Urang Sisi of West Java: A Study of Peasants: Responses to Population Pressure”. Boston University.
32Lihat: (1) Ogi Setiawan dan Ryke Nandini, “Kuantifikasi Jasa Hutan Lindung Sebagai Pengatur
berkelanjutan.33 Kelembagaan dan komunitas sekitar hutan dan hulu DAS sebagai “tertuduh”, objek eksploitasi, tanpa ada pembelaan dan kajian kritis.
Berbeda dengan kajian di atas, paradigma, pendekatan dan metodologi dalam studi ini mengunakan paradigma kritis. Pilihan paradigma ini didasarkan pemikiran, bahwa pandangan yang menempatkan komunitas sekitar hutan sebagai “perambah hutan” dan "sumber gangguan" bersifat tendensius, tidak proporsional dan penilainnya dari perspektif orang Berbudaya Lain” terhadap “Orang-orang Lain”. Boleh dikatakan keberadaan komunitas sekitar hutan menjadi penyebab tunggal terancamnya kelestarian sumberdaya hutan. Sementara pemilik modal yang mengeksploitasi sumberdaya hutan secara masif, jarang diungkap dan disebut sebagai perusak dan perambah hutan, karena aktivitas mereka berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja.
Senyatanya penyebab dan sumber gangguan terhadap kelestarian sumberdaya hutan dan kawasan hulu DAS bervariasi. Penyebab kerusakan sumberdaya hutan dan kritisnya kawasan hulu DAS, tidak tunggal; bisa bersumber dari kebijakan yang tidak tepat dan ”permainan” kelompok kepentingan di aras supralokal yang melibatkan komunitas lokal. Pelaksanaan politik agraria transaksional dan kontestasi sektoral merupakan penyebab struktural kerusakan sumberdaya hutan dan kritisnya kawasan DAS di Indonesia berlangsung masif.
Berangkat dari pemikiran tersebut, maka upaya pembangunan kehutanan berkelanjutan, tata kelola DAS terpadu dan pemberdayaan komunitas sekitar hutan, tidaklah memadai dengan pendekatan politik tata kelola agraria konvensional. Karena pendekatan politik tata kelola agraria konvensional gagal mewujudkan politik agraria yang diamanatkan konstitusi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kegagalan tersebut disebabkan menempatkan sumberdaya agraria dan sumberdaya manusia sebagai komoditas dan objek semata-mata.
33Lihat: (1) Christian Wulandari, “Tingkatan Penerimaan Sosial Masyarakat Sekitar Hutan Dalam
Mengadopsi Agroforestry di Lahan Pekarangan” dalam Jurnal Hutan Rakyat Vol. VII No.1 Tahun 2005, p. 17-27; (2) Heriyanto dan Garsetiasih, “Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Oleh Masyarakat Lokal di Taman Nasional Meru Betiri Jawa Timur, Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam
Vol. III No.3 Tahun 2006, p.297-306; (3) Triyono Puspitojati, Preferensi Pemangku Kepentingan Dalam Pengelolaan Hutan Produksi: Studi Kasus Pengolahan Hutan Produksi di KPH Bogor”,
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
2.1. Kelembagaan Lokal
Kelembagaan yang hidup dalam masyarakat bersifat dinamis dan kompleks, jenis dan ragamnya berkembang sesuai dengan dinamika kehidupan masyarakat.34 Interaksi desa dengan supra desa yang intensif mengakibatkan kelembagaan yang hidup dalam masyarakat pedesaan tidak hanya berasal dari dalam dan tumbuh dalam komunitas atau desa, tetapi juga berasal dari supra desa. Hal ini menunjukkan kelembagaan yang terdapat dalam wilayah pedesaan atau entitas bersifat dinamis dan kompleks.
Dinamika dan kompleksitas kelembagaan dalam masyarakat dapat disimak dari analisis yang dikemukakan oleh Tjondronegoro (1984). Menurutnya kelembagaan masyarakat berkembang secara kontinum, dari lembaga menjadi organisasi.35 Meskipun antara lembaga atau institusi sulit dipisahkan dan memiliki persamaan, tetapi antara keduanya terdapat perbedaan ciri-cirinya. Menurut Tjondronegoro, lembaga memiliki ciri: berorientasi pada kebutuhan, peranan yang dimainkan, upacara, pengawasan sosial, pengakuan karena membudaya, terlibatnya pendukung, tradisi turun-temurun, empiris, berpegang pada norma, prioritas usia dan gengsi dan sifat memenuhi kebutuhan tertentu. Sedangkan organisasi memiliki karakteristik: berorientasi pada tujuan, tugas yang dilaksanakan, prosedur, pengawasan peraturan, pengakuan karena didirikan resmi, kebiasaan karena rutin, digagas dan diwujudkan, kesetiaan dan ikatan pada tujuan, prioritas pada keterampilan dan kemampuan dan alat mencapai tujuan tertentu.
Kompleksitas kelembagaan dalam masyarakat juga dapat dilihat dari jangkauan dan cakupannya. Dimensi kelembagaan seperti ini dikemukakan oleh
34 Koentjaraningrat mengidentifikasi kelembagaan menurut fungsinya meliputi kelembagaan: (1)
kekerabatan/domestik, (2) ekonomi (mata pencaharian, produksi, menimbun dan distribusi kekayaan), (3) pendidikan, (4) ilmiah, (5) politik (mengatur kehidupan kelompok besar atau kehidupan negara), (5) keagamaan (untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhan), (6) estetika dan rekreasi (untuk menyatakan rasa keindahan dan rekreasi) dan (7) somatik (jasmaniah manusia). Lihat Koentjaraningrat, 1986. Pengantar Antropologi. Jakarta, Aksara Baru.
35 Sediono M.P Tjondronegoro, “Gejala Organisasi dan Pembangunan Berencana Dalam
dikemukakan oleh Uphoff (1986). Ia mengidentifiksi kelembagaan secara hirakis dan vertikal: kelembagaan mikro, meso dan kelembagaan makro. Kelembagaan mikro atau kelembagaan lokal, adalah kelembagaan yang hidup dinamis dalam komunitas/masyarakat, baik publik, partisipatori maupun swasta. Dalam analisis Uphoff, kelembagaan lokal jangkauannya mencakup administrasi pemerintahan terkecil, seperti desa.36 Pada kelembagaan lokal yang bersifat publik, jangkauannya mencakup administrasi dan pemerintahan lokal dengan perangkat birokrasi yang terdapat di dalamnya. Pada kelembagaan lokal bersifat partisipatori, meliputi lembaga-lembaga yang tumbuh dalam masyarakat yang dibangun secara sukarela dan swadaya. Menurut Uphoff, kelembagaan lokal dapat berupa kelembagaan bisnis yang terdapat dalam suatu wilayah seperti kelembagaan pertanian, perdagangan, kerajinan, industri dan kelembgaan bisnis lainnya yang berorientasi profit.
Kelembagaan lokal baik partisipatori, publik maupun bisnis, dinamika dan kompleksitasnya dipengaruhi oleh kemampuan dan fungsinya dalam pemenuhan kebutuhan sosial dan ekonomi komunitas. Sepanjang kelembagaan lokal tersebut memiliki kapasitas dan adaptabilitas untuk memenuhi kebutuhan sosial dan ekonomi komunitas, eksistensinya akan terjaga dan terpelihara dengan baik. Tetapi bila kapasitas dan adaptabilitas melemah dan disfungsional, kelembagaan lokal tersebut hanya akan menjadi artefak sejarah. Salah salah kelembagaan lokal yang bersifat parsipatori dan persisten dalam kehidupan komunitas pedesaan adalah kelembagaan tata kelola sumberdaya agraria. Kelembagaan jenis ini ditemukan pada berbagai komunitas dan entitas di Indonesia.
Merujuk pada Schmidt, (1987)37, persistensi kelembagaan parsipatori ini disebabkan memiliki yurisdiksi, representasi dan mengatur hak kepemilikan
36 Lihat Uphoff, Norman, 1986.
Local Institutional Development: An Analytical Sourcebook With Cases. Conecticut, Kumarian Press. p.130
37 Yurisdiksi merujukpada adanya batas wilayah kekuasaan atau batas otoritas yang dimiliki oleh
sumberdaya. Perangkat aturannya mengatur hak, kewajiban dan tanggung jawab bagi anggotanya dan menyediakan jaminan sosial, kepercayaan dan perlindungan ekonomi (aturan main dan ”kepastian” tentang siapa memperoleh apa dan berapa banyak). Kelembagaan jenis ini secara sosiologis berpotensi menurunkan derajat ketidakpastian dalam kehidupan masyarakat. Dalam analisis Berkes (1989)38 hal ini disebabkan pada kelembagaan kategori ini bersifat praktis, menghargai kolektivitas dan resiprositas sesuai ruang spasial dan kulturalnya. Kelembagaan lokal ketegori ini tercakup dalam kelembagaan buyut, pipeling dan liliuran
sebelum meluasnya kapitalisasi sumberdaya pada komunitas petani di hulu DAS Cidanau.
Dalam perspektif sosiologi, kelembagaan yang hidup dalam suatu komunitas dapat dianalisis dalam dua perspektif. Perspektif pertama kelembagaan sebagai nilai, norma, aturan perilaku dan aturan main, dan perspektif kedua kelembagaan sebagai institusi/organisasi atau struktur. Pandangan yang menempatkan kelembagaan sebagai nilai, norma, aturan perilaku dan aturan main terangkum dalam fakta sosial yang dikemukakan oleh Emile Durkheim39 atau tindakan subjektif penuh arti (verstehen) yang dikemukakan oleh Max Weber.40
Kelembagaan sebagai nilai, norma, aturan perilaku dan aturan main, menurut Giddens (Scot, 2008) memberikan kedamaian bagi kehidupan sosial dan dukungan pada sistem sosial.41 Dalam analisis Scott (1989) keberadaan
ongkos yang dikeluarkan. Lihat Schmidt, A. 1987. Property, Power, and an Inquiry Into Law and Economic. New York Praeger.
38 Fikret Berkes, C. Folke and J. Colding, eds, 1998. Linking Social and Ecological Systems:
Management Practices and Social Mechanisms for Building Resilience. Cambridge: Cambridge University Press.
39 Durkheim membedakan fakta sosial atas material (dapat disimak, ditangkap dan diobservasi)
dan non material (fenomena inter subjektif dari kesadaran manusia). Fakta sosial material dan non material bersifat nyata dan eksternal. Fakta sosial antara lain kesadaran, sistem sosial, kesatuan masyarakat, nilai, keluarga, dan perusahaan dan pemerintahan. Emile, Durkheim, 1964. The Rule of Sociological Method. New York: The Free Press.
40 Inti pemikiran Weber adalah tindakan sosial penuh arti, hanya individu yang riil secara objektif
yang berarti, masyarakat hanyalah satu nama menunjuk pada sekumpulan individu. Menurut Weber tindakan sosial adalah tindakan individu sepanjang tindakannya mempunyai arti subjektif bagi dirinya dan diarahkan pada orang lain dan untuk memahaminya perlu empati dan pemahaman (verstehen). Lihat Max Weber, 1964. The Theory of Social and Economic Organization. New York: The Free Press.p.88
41Lihat Richard, W. Scot, 2008,
kelembagaan komunitas di pedesaan pra kapitalis berfungsi sebagai “asuransi terselubung” dan “energi sosial” dalam mengatasi masalah-masalah kehidupan. Sehingga ketika kedua fungsi itu memudar akibat penetrasi kekuatan ekonomi kapitalis menimbulkan ketegangan sosial dan pemberontakan di pedesaan.42
Kelembagaan sebagai institusi/organisasi telah mendapat perhatian dari Durkheim dan Weber. Analis Durkheim tentang organisasi dijelaskan dalam pembagian kerja, solidaritas organis dan solidaritas mekanis.43 Analisis Weber tentang organisasi diuraikan dalam birokrasi modern berciri otoritas legal/rasional, regulatif, memiliki struktur formal dan aturan main yang diatur secara legal. 44
Peran kelembagaan lokal baik sebagai nilai, norma, aturan perilaku dan aturan main atau sebagai institusi, eksistensinya dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman dan budaya komunitas, fungsionalitas dan intensitas interaksinya dengan supralokal. Kelembagaan komunitas kehadirannya didorong oleh adanya kebutuhan bersama dari anggota untuk menciptakan ketertiban, keamanan dan keberlanjutan sumberdaya ataupun kesejahteraan. Dalam hal ini kelembagaan lokal merupakan upaya pemenuhan kebutuhan bersama yang dilembagakan. Karena keberadaannya didasarkan pada kebutuhan bersama, maka kelembagaan komunitas muncul dan tenggelam seiring dengan kebutuhan dan dinamika masyarakatnya.45 Kelembagaan komunitas akan tetap eksis jika dirasakan fungsional oleh masyarakatnya, dan akan ditinggalkan jika dirasakan sudah
disfunction.46
Kelembagaan lokal yang hidup dalam komunitas dapat berupa kelembagaan tradisional/adat dan kelembagaan bukan tradisional. Kelembagaan
42Scott, James, 1989.
Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. Jakarta, LP3ES.
43 Lihat Emile, Durkheim,1967.
The Division of Labor in Society. The Free Press, p.79,172.
44
Lihat Max Weber, 1964. The Theory of Social and Economic Organization. New York: The Free Press Press, p,328,358.
45Berkaitan dengan fungsi kelembagaan, Soekanto mengidentifikasinya atas empat hal, yaitu (1)
memenuhi kebutuhan pokok manusia, (2) memberi pedoman pada anggota masyarakat bagaimana mereka bersikap dan bertingkah laku dalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat, terutama yang menyangkut pemenuhan kebutuhan-kebutuhan manusia, (3) menjaga keutuhan masyarakat, dan (4) memberi pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan kontrol sosial. Soerjono, Soekanto. 1990. Sosiologi, Suatu Pengantar. Jakarta, Rajawali.
46 Lihat Masyhuri Imron, Peran Pemerintah Dalam Pengembangan Kelembagaan Masyarakat
tradisional dibentuk dan dipraktikkan secara turun-temurun oleh masyarakat yang bersangkutan. Sedangkan kelembagaan bukan tradisional bentuknya mungkin tradisional (belum memiliki struktur kepengurusan seperti kelembagaan modern), tetapi merupakan bentukan generasi baru (bukan turun-temurun) atau hasil bentukan (intervensi) dari luar komunitas, seperti KUB (Kelompok Usaha Bersama), Kelompok Tani Hutan, Lembaga Masyarakat Desa Hutan dan sejenisnya.
Struktur kelembagaan lokal tidak selalu formal, tetapi nilai dan aturan mainnya tersosialisasikan secara melembaga, sehingga kelembagaan lokal terinternalisasikan secara terus-menerus. Internalisasi kelembagaan lokal dalam suatu komunitas berkaitan dengan pengetahuan/kearifan lokalnya. Kearifan lokal merupakan totalitas pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki komunitas dalam wilayah geografis tertentu yang memungkinkan mereka menjangkau dan menata lingkungan alamiahnya. Pengetahuan dan keterampilan komunitas bersumber dari pengalaman trial and error dan berasal dari proses adaptasi dan akomodasi terhadap keadaan dan lingkungan yang senantiasa berubah.
Pengetahuan lokal yang hidup dalam suatu komunitas merupakan implikasi dari keterlibatannya dengan tradisi, praktik tata kelola sumberdaya dan lingkungan. Dalam istilah Geertz pengetahuan lokal berakar pada pengalaman dan ruang spasial.47 Meskipun demikian, pengetahuan lokal bukan merupakan suatu kategori pengetahuan yang bersifat distingtif dan terpisah, murni yang diwariskan, dipelajari dan dilestarikan secara apa adanya.48 Sebaliknya pengetahuan lokal dikonstruksi oleh para partisipan dan pelakunya melalui uji coba, praksis dan wacana secara terus menerus. Karena sifat dasar dari setiap bentuk pengetahuan manapun termasuk pengetahuan lokal selalu kontekstual dan menyerap
47 Kajian antropologis tentang proses pembentukan pengetahuan lokal diulas oleh Geertz. Lihat
Clifford Geertz. 2003. Pengetahuan Lokal: Esai-Esai Lanjutan Antropologi Interpretatif.
Yogyakarta: 253-267.
48 Pengetahuan lokal bersifat kategoris dan distingtif dikemukakan kaum positvis/modernis karena
unsur yang berlainan.49 Gambaran bahwa pengetahuan lokal bersifat orisinal dan statis merupakan konstruksi “the other”. Karakteristik dari pengetahuan lokal seperti ini ditemukan dan dialami oleh berbagai entitas.
Dalam kajian Nygren terhadap komunitas lokal di Rio San Juan, salah satu “the other” yang menempatkan pengetahuan lokal bersifat distingtif adalah petugas/ agensi konservasi.50 Mereka memandang kelembagaan lokal sebagai
“ignorant” dan kendala pembangunan, dipersepsi terbelakang dan terasing. Karena itu agensi konservasi berpendapat, negara dan agensi pembangunan berkewajiban untuk menolong dan membawanya menuju kebudayaan modern dan global. Prejudice tersebut menyebabkan benturan antara otoritas konservasi dengan komunitas lokal di kawasan penyangga hutan lindung. Para petugas konservasi memandang bahwa komunitas lokal hidup dalam suatu habitat tropis yang kaya, namun mereka tidak menyadari keanekaragaman hayatinya dan tidak tahu bagaimana cara memeliharanya. Agensi konservasi memandang dirinya sebagai aktor yang memiliki kapasitas untuk melakukan konservasi atas kekayaan ekologis hutan tropis.
Perbedaan pengetahuan dan kelembagaan dalam merawat hutan tropis, selanjutnya dijadikan alasan untuk memperkuat hak-hak pemegang otoritas konservasi untuk mengontrol sumberdaya alam dan komunitas lokal. Mereka menganggap komunitas lokal memerlukan bimbingan dan pencerahan agar mencapai kesadaran lingkungan yang modern.51 Kalaupun terdapat penghargaan terhadap kelembagaan lokal terbatas pada upaya memperkaya diskursif bukan sebagai basis diskursif dan praksis tata kelola hutan tropis dan lingkungannya.52
49 Sillitoe, Paul, “The Development of Indigenous Knowledge: A New Applied Anthropology”
Current Anthropology, Vol. 39, No. 2, 1998.
50Nygren, 1999. “Indigenous Knowledge in Environment Development Discourse: From
Dichotomies to Situated Knowledge” dalam Crtique of Antropology Vol. 19 No. 3 Th 1999
51 Pemahaman demikian dikemukakan oleh konservasionis. Sebaliknya eko-populis memandang
masyarakat adat/lokal memiliki kemampuan untuk melakukan konservasi lebih baik dan pengawal kelestarian sumberdaya. Lihat Wittemer, Heidi dan Regina Bitmer, 2005. Between Conservationsm, Eco-Populisme and Developmentalism: Discurse in Biodiversity Policy in Thailand and Indonesia. CAPRI Working paper No. 37. Washington DC, International Food Policy Research Institute.
52 Eko populis memandang kelembagaan lokal sebagai gudang kesadaran refleksif, mitos- pada
Pandangan agensi kehutanan dan konservasi tentang kelembagaan lokal di Rio San Juan Brazil yang dikemukakan Nygren, ternyata terjadi dan dialami oleh komunitas sekitar hutan di Indonesia, seperti Komunitas Dayak Kanarakan di Kalimantan, komunitas Kulawi di Bolapapu, Sulawesi Tengah dan komunitas Naulu di Seram Tengah Maluku. Pandangan pemangku otoritas atau “the other” terhadap komunitas lokal yang cenderung bersifat prejudice merupakan ”pembungkus” dalam proses ”teritorialisasi” karena sering berujung pada penguasaan sumberdaya dan peluruhan kelembagaan komunitas.
Pada Komunitas Dayak Kanarakan di Kalimantan Tengah, penetrasi supra lokal melalui industrialisasi kehutanan menyebabkan anomali, degradasi dan bersitegangnya posisi asosiasi-asosiasi tradisional ke aras bawah komunitas, resiprositas dan kerjasama balas-membalas yang sebelumnya berskala luas bergeser ke dalam jaringan primordial.53 Pada komunitas Kulawi, penetrasi kelembagaan supra lokal telah menyebabkan terkooptasinya kelembagaan tradisional totua ngata dan mendorong terjadinya pertarungan antar kelompok sosial yakni Totua Ngata dengan Ngato Toro. 54 Pada komunitas Naulu di Seram Tengah, kehadiran perusahaan kehutanan yang mengeksploitasi hutan menimbulkan kerusakan ekosistem hutan dan ketidakpastian kehidupan. Karena pengusahaan hutan yang dilakukan oleh pemilik modal di wilayah suku Naulu mengakibatkan kerusakan eksosistem hutan, hilangnya binatang buruan dan ikan di sungai, kesulitan suku Naulu mendapatkan makanan, deforestasi dan degradasi hutan.55
Kapitalisasi sumberdaya hutan yang berujung pada marginalisasi kelembagaan lokal bukan hanya terjadi pada komunitas Dayak Kanarakan, berkeadilan, demokrasi, dan integritas moral. Bryant, Raymond L., “Power, Knowlwdge and Political Ecology in the Third World: A Review,” Progress in Geography, 22 (1),p. 998.
53
Lihat Siregar, Budi Baik, 20