• Tidak ada hasil yang ditemukan

DINAMIKA TATA KELOLA SUMBERDAYA AGRARIA BERBASIS KELEMBAGAAN LOKAL

5.2. Kearifan Lokal Tata Kelola Sumberdaya Agraria

5.2.1. Konsepsi dan Tata Guna Tanah

Istilah yang digunakan warga untuk menyebut tanah adalah taneuh atau

lemah. Kata ini sering dipertukarkan dengan lembur (kampung) dan dikaitkan dengan cai (air), lemah cai (tanah air) seperti terangkum pepatah Sunda: ”ka cai

jadi sa leuwi ka darat jadi sa logak”. Pepatah ini mengandung makna bahwa konsep tanah dipahami secara luas dan holistik. Pemahaman warga tentang tanah tidak dilihat dalam bentuk fisik semata-mata tetapi dalam horizon luas.126 Secara fisik tanah merupakan bagian dari permukaan-lapisan kulit bumi untuk menanam tanaman dan tempat membuat tapak rumah. Dalam arti luas tanah merupakan tempat berlangsungnya berbagai peristiwa kehidupan (kelahiran, perkawinan, mencari nafkah, ibadah dan kematian). Sehingga manusia sepanjang hidupnya membutuhkan dan tergantung pada tanah. Paling sedikit terdapat tiga kebutuhan manusia yang pemenuhannya berkaitan dengan tanah: (1) Manusia membutuhkan tanah untuk memperoleh pendapatan guna menunjang dan kelangsungan kehidupan.127 (2) Manusia memerlukan tanah untuk mendirikan rumah sebagai tempat tinggal.128 (3) Manusia membutuhkan tanah untuk tempat tinggalnya yang terakhir pada saat mengakhiri hidupnya di dunia.

Pemahaman warga tentang tata guna tanah dibedakan atas lahan basah/sawah dan lahan kering. Tata guna lahan kering mencakup pemanfaatan tanah untuk pekarangan, kebun, kebun campuran, talun kebun dan ladang. Tata guna tanah basah penggunaannya untuk tanaman padi dan berbagai jenis tanaman palawija. Kedua jenis tanah tersebut pada mulanya berasal dari pembukaan hutan dan ladang. Pemanfaatan dan tata guna lahan kering di lokasi penelitian berlangsung secara linier: berawal dari pembukaan hutan menjadi ladang, kemudian menjadi kebun, talun kebun dan terakhir pekarangan dan pemukiman.

Warga menyebut pekarangan pada sebidang tanah di sekitar tempat tinggal yang sekelilingnya ditanami berbagai jenis tanaman semusim dan tahunan.

126 Bandingkan dengan tulisan Sediono MP Tjondronegero dan Gunawan Wiradi, ”Menelusuri

Pengertian Istilah Agraria”, Jurnal Analisis Sosial, Vol.9, No.1 April 2004.

127 More menyatakan, pemilikan de facto atas tanah merupakan ciri pokok yang membedakan

petani dan bukan petani. Bagi komunitas petani tanah merupakan bagian penting kehidupan. Lihat Henry Landsberger, 1984. Pergolakan Petani dan Perubahan Sosial, Jakarta: Rajawali Press. Wolf dalam Scot (1989) menyatakan petani merupakan produsen pertanian dengan penguasaan efektif pada tanah, mengganggu tanah petani berarti mengusik statusnya sebagai produsen pertanian, karena tanah merupakan tulang punggung hidupnya. James Scott, 1989. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi Di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES.

128 Tanah dianalogikan dengan perempuan/ibu pertiwi, tempat manusia membangun tapak rumah,

meskipun sempit bila diserobot akan dipertahankan dengan nyawa. Lihat Paschalis Laksano, ”Tanpa Tanah, Budaya Nir Papan, Antropologi Antah Berantah”, dalam Lounela, Anu dan R Yando Zakaria (eds), 2002. Berebut Tanah Beberapa Kajian Perspektif Kampus dan Kampung. Yogyakarta: Insis Press dan Karsa.

Karakteristik utama yang membedakan pekarangan dengan ladang, kebun, talun kebun, adalah adanya rumah pada pekarangan. Pepohonan sekitar rumah atau pekarangan selain berfungsi sebagai pembatas juga bernilai ekonomi dan konservasi. Pohon buah-buahan di pekarangan berfungsi ganda, menghasilkan buah-buahan untuk kebutuhan keluarga dan dijual, sekaligus pelindung tanah dari bahaya erosi, mengatur tata air, memelihara kesejukan dan keteduhan tempat tinggal.

Warga membedakan ladang, kebun, talun kebun atas dasar jenis dan susunan tanaman yang ditanam. Kebun merujuk pada sebidang tanah yang didominasi oleh jenis tanaman semusim dan memerlukan curahan waktu dan tenaga untuk merawatnya. Kebun campuran adalah sebidang yang ditanami berbagai jenis tanaman semusim dan tahunan yang keragamannya relatif tinggi. Sedangkan talun merujuk pada sebidang tanah yang ditanami tanaman tahunan atau jenis tanaman keras (untuk kayu bakar atau bangunan) dan buah-buahan. Sebutan talun mangga atau talun cengkeh untuk menggambarkan bahwa di dalam kebun terdapat dominasi tanaman mangga atau cengkeh dan adanya suksesi (pergantian) tanaman. Proses suksesi biasanya disebabkan menurunnya produktivitas, atau jenis komoditi tertentu sedang naik daun yang mendorong pemiliknya menanam tanaman yang diperkirakan hasilnya memiliki nilai jual lebih tinggi. Talun jenis ini secara perlahan akan menjadi kebun (karena adanya dominasi tanaman tertentu) atau kebun campuran (yang ditumbuhi campuran jenis tanaman semusim dan tahunan). Tata guna tanah lahan kering di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 2.

Selain tata guna tanah yang diuraikan di atas, warga juga mengenal tata guna tanah untuk tanah pertanian (taneuh tatanen), tanah tempat tinggal (taneuh bumenan), tanah tempat ibadah dan tanah kuburan, tanah kaguronan, kajaroan

Lahan Kering

Kebun Campuran kering

Lahan Pemukiman PPPemukimankerin

Lahan di Luar Pemukiman

Pekarangan kering Kebun kering Talun Kebun kering Ladang kering Gambar 2.Tata Guna Tanah Petani Desa Citaman & Cibojong

dan tanah perburuan. Warga memandang tanah yang baik untuk huma dan kebun adalah tanah yang kemiringannya di bawah 30˚, karena lapisan permukaan tanah relatif stabil. Sebaliknya permukaan tanah dengan kemiringan 45˚-75˚ akan mengalami erosi dan dapat menurunkan kesuburan tanah, kapasitas dan daya menahan air jelek, peka terhadap erosi dan vegetasinya kebanyakan berupa belukar dan pohon yang berbatang lurus. Pada tanah yang kemiringannya di bawah 45˚ bergelombang dan agak landai, dinilai warga cocok untuk ladang. Warga setempat memiliki pengetahuan tanah tatanen berdasarkan arah mata angin, di mana bidang tanah yang baik untuk pertanian adalah yang membujur dari utara ke selatan. Pepohonan yang ditanam pada bidang tanah tersebut pertumbuhannya lebih cepat dan hasilnya lebih produktif, karena mendapat sinar matahari yang cukup.

Warga juga memiliki pengetahuan tentang tata guna tanah untuk tempat tinggal, tempat ibadah dan kuburan. Menurut warga, tanah yang baik untuk tempat tinggal adalah berupa hamparan datar dan letaknya tidak jauh dari sumber mata air. Bila tidak memiliki tanah datar, tingkat kemiringan tanah yang sesuai untuk tempat tinggal adalah tanah yang kemiringannya di bawah 30 derajat. Hal ini didasarkan pertimbangan praktis untuk meratakannya tidak memakan waktu dan tenaga kerja yang besar.

Tanah yang baik untuk tempat ibadah (masjid dan musholla) adalah letaknya lebih tinggi dari tempat tinggal dan berada di tengah perkampungan. Ini terkait dengan pemahaman warga, bahwa masjid bukan hanya tempat shalat tetapi juga berfungsi sebagai sarana berjama'ah (bersosialisasi), pendidikan dan ajang sosial.129

Lokasi ideal untuk tanah kuburan letaknya lebih tinggi dari tempat tinggal dan berada di luar/sekitar kampung, bebas dari genangan air hujan dan suara bising. Warga senantiasa memilih lokasi yang ideal untuk kuburan terkait dengan tradisi menghormati buyut/leluhur dan ikatan batin anak dengan orang tua/leluhur,

tidak berakhir dengan kematian. Keberlanjutan ikatan batin dipelihara melalui

129Tempat ibadah sebagai ajang sosial terkait dengan fungsinya untuk berjamaah (berkumpul),

bertukar fikiran untuk pemandian umum (laki-laki dan perempuan), tempat mencuci pakaian dan bahkan bagi kaum perempuan kehidupan sehari-harinya berawal dan berakhir dari pemandian umum di sekitar masjid. Diolah dari sumber primer.

tradisi berziarah pada hari-hari yang dianggap penting (Hari Raya Idul Fitri, menyambut kedatangan bulan Ramadhan). Ikatan batin antara yang hidup dengan yang mati diwujudkan dengan memelihara kuburan dan menanam pepohonan yang rindang dan area kuburan tidak boleh dijadikan ladang.130

Tata guna yang cukup unik di lokasi penelitian adalah adanya tanah

kaguronan dantanah kajaroan. Tanah kaguronan merujuk pada peruntukan dan pemanfaatan tanah untuk tujuan pengembangan pendidikan. Status tanah kaguronan merupakan tanah wakaf (tanah yang diberikan oleh warga untuk kepentingan syi’ar Islam) terutama kemajuan pendidikan Islam. Tanah kajaroan

adalah tanah jabatan yang dimiliki aparat desa khususnya sekretaris desa berbentuk kebun/lahan kering. Sedangkan tanah jabatan kepala berupa sawah disebut sawah pangiwaan.

Berkaitan dengan sejarah status tanah kaguronan (di desa Citaman) terdapat dua sumber. Sumber pertama menyatakan bahwa tanah kaguronan

berasal dari wakaf warga untuk kemajuan pendidikan Islam. Pendapat ini didukung oleh fakta sampai sekarang di sekitar tanah kaguronan masih terdapat

Pondok Pesantren Subulus Salam yang diasuh oleh Kyai Mufti. Sumber kedua menyatakan bahwa tanah keguronan berasal dan merupakan hadiah dari Kesultanan Banten pada masa Sultan Agung Tirtayasa atas jasa masyarakat Ciomas dalam pengembangan pendidikan Islam. Tanah tersebut diberikan oleh Sultan Banten kepada para guru yang menyiarkan agama Islam di wilayah Ciomas. Tanah keguronan adalah pertanda kepedulian dan terima kasih Sultan kepada para guru yang telah mengembangkan pendidikan Islam. Pendapat kedua argumentasinya tidak didukung oleh fakta keterkaitan antara masyarakat Citaman dengan kesultanan Banten. Dewasa ini sebagian tanah kaguronan menjadi tempat kantor kelurahan dan lapangan sepak bola ”milik” Pemerintah Kecamatan Ciomas.

130 Kawasan kuburan berfungsi sebagai “kawasan konservasi komunitas”, keragaman hayati di