• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

2.3. Politik Agraria dan Peluruhan Kelembagaan Lokal

Soetiknyo (1990) merumuskan politik agraria sebagai bidang kebijakan yang berfokus pada tiga hal: (1) hubungan antara manusia dengan tanah, (2) manusia dari sudut politik, sosial, ekonomis, kulural dan mental, (3) alam dan khususnya tanah. 68 Rumusan politik agraria yang dikemukakan Soektinyo oleh Wiradi disebut sebagai strategi agraria, yakni suatu pendekatan dan pemahaman berkaitan dengan penguasaan tanah, tenaga kerja, dan pengambilan keputusan mengenai produksi, akumulasi dan investasi.69

Arah dan pelaksanaan politik agraria di Indonesia dapat dianalisis dari pandangan Habermas tentang dua dimensi tindakan manusia, yaitu tindakan teknis/kerja (terhadap obyek) dan tindakan komunikasi (tindakan sosial terhadap subyek berdasarkan norma sosial).70 Tindakan teknis atau hubungan subyek agraria dengan agraria cenderung searah, karena tindakan di dunia kerja merupakan tindakan instrumental dan produktif, sedangkan tindakan komunikasi untuk mencapai pemahaman dan saling memahami. Tindakan teknis untuk memecahkan masalah ekonomi sedangkan tindakan komunikasi menjaga pranata ssial.71

Perkiraan lain menyebutkan US$ 4 milyar/tahun. Dari 129 perusahaan kehutanan dengan total hutang mencapai Rp 21,9 trilyun, 12 trilyun milik perusahaan pengolahan kayu tanpa HPH. Nilai ekspor kehutanan tahun 2007 sekitar 1,25 juta dolar pertahun lebih rendah dari pemasukan negara dari TKI yang mencapai 12 juta dollar/tahun. Luas kawasan yang masih tertutup pepohonan di Jawa hanya 4 persen berfungsi sebagai wilayah tangkapan air pada daerah aliran sungai (DAS). Sekitar 65 % (125 juta jiwa) penduduk Indonesia menetap di Pulau Jawa yang potensi airnya 4,5% dari total potensi air di Indonesia. Lihat Chalid Muhammad, “Indonesia Sebentar Lagi” Makalah Seminar, diselenggarakan oleh Forum Wacana Pascasarjana, IPB, 8 September 2007.

68 Ilmu politik agraria adalah bidang ilmu yang mengkaji tentang hubungan dengan tanah beserta

segala persoalan dan lembaga-lembaga masyarakat yang timbul karenanya yang bersifat politis, ekonomi, sosial dan budaya. Iman Soetiknyo, 1990. Politik Agraria Nasional: Hubungan Manusia Dengan Tanah yang Berdasarkan Pancasila. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

69 Gunawan Wiradi, 1991. “Reforma Agraria: Masalah dan Relevansinya dengan Pembangunan

Jangka Panjang: Suatu Pandangan ke Depan.” Sekretariat Bina Desa, 1991.

70 Konsep kerja (

arbeit) Habermas merupakan kritik terhadap Karl Marx, karena merombak struktur dengan revolusi/jalan sosialis terbukti gagal dan tidak relevan dengan late capitalis.

Habermas memandang perlu merubah paradigma emansipasi revolusioner berdasar paradigma kerja dengan paradigma komunikasi untuk mencapai konsensus. Habermas, J. 1990. Ilmu dan Teknologi Sebagai Ideologi. Jakarta: LP3ES, Hardiman F.B. 1990. Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan. Yogyakarta: Kanisius.

71 Dalam karyanya yang berjudul

“The Communicative Action”, Habermas menyebut adanya empat tuntutan (klaim) yang harus dipenuhi dalam komunikasi, yaitu: (1) Klaim kebenaran (truth),

Merujuk pada pendapat Habermas, maka tindakan manusia dalam keagrariaan juga mengandung dimensi kerja dan interaksi/komunikasi. Dengan berfikir deduktif dirumuskan semacam proposisi.

(1) Setiap subyek agraria (masyarakat, pemerintah dan swasta) saling berinteraksi dalam rangka penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria.

(2) Subjek agraria (masyarakat, pemerintah dan swasta) memiliki hubungan teknis dengan objek agraria dalam bentuk pemanfaatan dan penguasaan objek agraria untuk memenuhi kepentingan ekonomi dan sosial.

Berbeda dengan tindakan teknis yang dilakukan subyek agraria bersifat searah, maka tindakan komunikasi bersifat dua arah, saling mempengaruhi. Landasan terjadinya interaksi antar subyek agraria, karena masing-masing subyek mempunyai hak keagrariaan. Hak penguasaan dan pemilikan agraria oleh subyek agraria, lazimnya beragam sesuai dengan ruang spasial dan budayanya. 72 Hubungan sosial antar subyek agraria menghasilkan suatu tatanan sosial yang disebut struktur sosial agraria. Proses interaksi antar subyek agraria yang memiliki kesamaan cara kerja dalam satu kawasan mendorong terbentuknya komunitas. Sebaliknya proses interaksi antar subyek agraria yang berbeda cara kerjanya berpotensi menimbulkan konflik.

Konflik terjadi jika cara kerja suatu subyek agraria berakibat buruk terhadap sumberdaya dan ekologi subyek agraria lain tanpa ada suatu konpensasi. Seperti masuknya pemilik modal yang difasilitasi pemerintah melalui HPH dan HTI yang mengeksploitasi sumberdaya hutan yang berakibat rusaknya ekosistem hutan dan merugikan komunitas sekitar hutan/komunitas adat. Ekploitasi hutan oleh pemegang HPH dan HTI bukan hanya mengakibatkan rusaknya sumberdaya

(2) Klaim ketepatan (rightness), (3) Klaim kejujuran (sincerity), (4) Klaim komprehensibilitas. Lihat Habermas, J. 1990. Ilmu dan Teknologi Sebagai Ideologi. Jakarta: LP3ES.

72 Sistem pemilikan tanah dalam masyarakat pedesaan/sekitar hutan didasarkan atas okupasi

(natural acquisition) yang disebut John Locke, teori kerja. Hubungan agraria berawal dan diperoleh dengan cara membuka hutan. Makin intens hubungannya dengan tanah makin kukuh penguasaan dan pemilikan atas tanah. Penguasaan tanah de facto kemudian melahirkan hak tenurial dan hak teritorialitas karena pemiliknya melakukan perubahan jenis tutupan vegetasi, investasi tenaga, modal dan kontrol terhadap tanah. Locke John, 1988. Two Treatises of Government. Cambridge: Cambridge University Press.

hutan dan ekosistem hulu DAS, tetapi juga menimbulkan konflik agraria dan peluruhan komunitas lokal/sekitar hutan.73

Hubungan teknis antar subjek agraria (masyarakat, pemerintah dan swasta) dapat bervariasi, apakah ekstraktif, konservatif atau eksploitatif, tergantung pada ideologi, teknologi dan rezim hak.74 Basis ideologi kapitalis, sosialis dan populis,75 menentukan bentuk tata kelola sumberdaya agraria. Menurut ideologi kapitalis, sarana produksi utama (tanah) dikuasai oleh individu-individu non penggarap. Penggarap yang mengolah tanah adalah pekerja upahan atau “bebas”, diupah oleh pemilik tanah. Hubungan antara penguasaan/pemilikan tanah dan pekerjaan terpisah. Penggarap menjual tenaga yang dibeli dengan upah oleh pemilik tanah. Kedudukan tenaga kerja dalam sistem kapitalis sebagai komoditi dan tanggungjawab produksi, akumulasi dan investasi sepenuhnya di tangan pemilik tanah.

Dalam sistem politik agraria sosialis, tanah dan sarana produksi dikuasi oleh negara (melalui serikat pekerja). Tenaga kerja memperoleh imbalan dari hasil kerjanya. Tanggung jawab produksi, akumulasi dan investasi berada di tangan organisasi pekerja yang dikuasai negara. Dalam politik agraria neo/populis, satuan usaha adalah usaha keluarga. Penguasaan tanah dan sarana produksi tersebar pada mayoritas keluarga tani. Tenaga kerjanya adalah tenaga kerja keluarga dan produksi secara keseluruhan merupakan pekerjaan keluarga tani walaupun tanggungjawab atas akumulasi diatur oleh negara.

Berdasarkan karakteristik politik agraria di atas, maka semangat yang terkandung dalam UU No. 5 tentang Pokok Agraria 1960 bersifat populis dan

73 Wiradi, menyatakan konflik agraria disebabkan (1) terjadinya imcompatibility (ketidakserasian

atau ketimpangan) dalam alokasi pengadaan tanah. Tanah-tanah pertanian tergusur sementara areal perkebunan besar justru bertambah. (2) ketimpangan yang parah dalam hal sebaran penguasaan tanah di sektor pangan. Lihat Gunawan Wiradi, 2001. ”Reforma Agraria Tuntutan Bagi Pemenuhan Hak-Hak Azasi Manusia”,dalam Jurnal Analisis Sosial, Vol. 6. No. 2 Juli 2001.

74 Rezim hak berdasarkan komunitas cenderung keberlanjutan dan rezim hak liberal/kapitalis

berorientasi profit maximize, akumulasi kapital dan eksploitatif. Rezim hak merupakan modeof production yang dikemukakan oleh Karl Marx, yang menentukan cara masyarakat secara aktual berproduksi dan terlibat ke dalam hubungan kerja dan sosial satu sama lainnya. Karena modeof production merupakan unsur utama produksi/ekonomi dan menentukan sistem hubungan sosial dalam masyarakat. John,Taylor G, 1989. From Modernization to Modes of Production. London: The Macmillan Pres LTD.

75 Wiradi, Gunawan, 2000.

Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir. Yogyakarta: Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar.

menentang politik agraria kapitalis dan sosialis. Politik agraria UU PA merupakan jalan tengah, yang mengakui hak individu atas tanah tetapi hak atas tanah tersebut memiliki fungsi sosial.76 Penentangan UU PA atas politik agraria kapitalis, didasarkan penilaian penyusun undang-undang atas watak/hukum dari ekspansi modal yang cenderung negatif terhadap kehidupan masyarakat. Watak dari modal adalah menuntut digandakan terus menerus yang disebut hukum akumulasi modal.

Dalam sirkuit produksi kapitalis, pemilik modal berusaha merubah uang menjadi modal untuk memperoleh surplus dalam bentuk uang kembali yang lebih besar. Dari hasil akumulasi uang, sebagian kecil digunakan pemiliknya untuk memenuhi kebutuhan konsumif dan sebagian besar “dibunga-uangkan.” 77

Pemahaman yang mendalam atas sejarah penguasaan sumberdaya agraria oleh pemilik kapital dan perkembangan kapitalisme di Eropa pada abad ke delapan belas serta didorong semangat menjadi Bangsa Merdeka, menyebabkan spirit politik agraria Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960 berorientasi populis. Spirit populis dari Presiden Soekarno juga ditunjukkan dalam UU 21 tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil, UU No. 21 1964 tentang Pengadilan Land Reform dan pembentukan organisasi Panitia Pelaksana Land Reform.78 Penyusunan undang-undang tersebut berkeyakinan bahwa introdusir politik agraria kapitalis dalam tatanan ekonomi bukan kapitalis mengakibatkan dekonstruksi sosial, alienasi petani dan mengakibatkan petani menjadi buruh upahan.

Pergantian Orde Lama ke Orde Baru menyebabkan perubahan radikal dalam pentas politik agraria Indonesia, karena politik agraria Orde Baru merupakan anti tesa terhadap politik agraria Orde Lama. Bila politik agraria Orde

76 Prinsip yang terkandung dalam UUPA 1960 adalah nasionalitas, tanah mempunyai fungsi

sosial, hak menguasai dari Negara, land reform dan perencanaan agraria. Uraian tentang UUPA 1960 lihat, A.P. Parlindungan, 1991. Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria. Bandung: Alumni.

77 Perputaran modal dapat digambarkan dalam skema:

M (money) – C (Capital) – M (Money) atau C (Capital) – M (Money) C (Capital). Uraian mengenai watak kapital dan ekonomi klasik, lihat Sumitro Djojohadikusumo, 1991. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Yayasan Obor Indonesia.

78 Orientasi politik agraria populis Orde Lama ditunjukkan dengan pembentukan

Organisasi/Panitia Pelaksana Land Reform dan Pengadilan Land Reform, yang strukturnya terbentuk dari tingkat Pusat sampai tingkat Kecamatan/Desa.

Lama bersifat populis maka politik agraria Orde Baru berorientasi kapitalis/liberal dan menganut kebijakan “rumah terbuka”.79

Anti tesa politik agraria Orde Baru antara lain:

(1) Land reform yang sebelumnya merupakan strategi pembangunan80 dan bagian penting dari “Revolusi Indonesia” dijadikan rutinitas dan kegiatan teknis birokrasi. Rezim Orde Baru mengambangkan UU Pokok Agraria dan tidak menjadikannya sebagai induk peraturan keagrariaan, bahkan sejumlah undang-undang sektoral cenderung menegasikan semangat UU Pokok Agraria.

(2) Penghapusan Pengadilan Land Reform dan organisasi Panitia Pelaksana Land Reform. Pengahapusan dua institusi itu melenyapkan legitimasi partisipasi petani dalam agraria, karena Organisasi dan Tata Kerja Penyelenggaraan

Land Reform berdasarkan Kepres No. 55 tahun 1980 didominasi oleh birokrasi.81 Kepres ini merupakan bagian dari kebijakan sistemik pemerintah Orde Baru untuk memperkuat kontrol dan cengkraman birokrasi terhadap petani. Berbagai organisasi sosial dan ekonomi yang hidup di pedesaan sebelum Orde Baru yang merupakan underbouw dari partai politik dilarang beroperasi.82

79 Perubahan politik agraria itu digambarkan Wiradi: “dari berdaulat dalam politik, berdikari dalam

ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan dan meletakkan masalah pembaruan agraria sebagai basis pembangunan” diubah total menjadi “bertumpu pada yang kuat (betting on the strong), mengandalkan bantuan, utang dari luar negeri dan mengundang modal asing”. Lihat Gunawan Wiradi, 2001. “Kedudukan UUPA 1960 dan Pengelolaan Sumberdaya Agraria di Tengah Kapitalisasi Negara (Politik Kebijakan Hukum Agraria Melanggengkan Ketidakadilan) dalam Jurnal Analisis Sosial Vo. 6. No.2 Juli 2001.

80Lihat Gunawan Wiradi, “Kebijakan Agraria, Modal Besar dan Kasus-Kasus Sengketa Tanah.”

Makalah pada Lokakarya Antar Wilayah Advokasi Kasus-Kasus Tanah, 1993.

81 Dalam organisasi Panitia Pelaksana Land Reform terdapat perwakilan organisasi petani,

sedangkan dalam Tata Kerja Penyelenggaraan Land Reform didominasi birokrasi. Pemerintah hanya melibatkan organisai petani “boneka” pemerintah, yakni HKTI, karena sebagian besar pengurusnya berasal dari mantan atau pejabat yang tidak pernah hidup sebagai petani. Lihat Loekman Soetrisno, 1995. Menuju Masyarakat Partisipatif. Yogyakarta: Kanisius.

82Kebijakan sistemik dilakukan dengan penyederhanaan partai politik, pemberlakuan

floating mass

dan peleburan berbagai organisasi sosial dan ekonomi dalam satu wadah tunggal dibawah kontrol pemerintah. Beragam koperasi di desa sebagai underbouw partai politik dihapus, kemudian disatukan dalam wadah tunggal Koperasi Unit Desa (KUD). Lihat Frans Husken dan Benjamin White, “Ekonomi Politik Pembangunan Pedesaan dan Struktur Agraria di Jawa” dalam Prisma

Kedua langkah itu dimaksudkan untuk menciptakan situasi yang kondusif bagi iklim investasi dan kenyamanan pemilik modal. Kebijakan bertumpu pada yang kuat (betting on the strong), merupakan ciri politik agraria kapitalis Orde Baru. Politik agraria kapitalis Orde Baru dapat diidentifikasi sebagai berikut: (1) tanah dijadikan sebagai kekayaan/milik individual (private), (2) tanah dijadikan sebagai komoditas atau perdagangan, (3) tanah ditujukan untuk kepentingan perusahaan nasional dan transnasional,83 (4) pelaku utama pengusahaan sumberdaya agraria adalah perusahaan skala besar (nasional dan transnasional), (5) peran, insiatif partisipasi dan akses masyarakat terhadap sumberdaya agraria dieliminasi dan dimarginalkan, 84 (6) kriminalisasi terhadap hak penguasaan dan pemilikan tanah berbasis komunitas dan kelembagaan lokal/adat.

Sejalan dengan arus-utama politik agraria kapitalis, maka institusi agraria diarahkan untuk melayani kepentingan pemilik modal dan memfasilitasi transasksi pasar tanah.85 Karena itu politik agraria Orde Baru diawali dengan program Catur Tertib Pertanahan86 dan penyusunan berbagai regulasi yang kondusif masuknya investasi dalam pengelolaan sumberdaya agraria.

Politik agraria pro pasar/bisnis yang berlangsung pada rezim Orde Baru, tidak banyak berubah secara berarti di bawah payung otonomi daerah. Dalam era otonomi daerah, kepala daerah berlomba dan merasa bangga bila berhasil mengundang pemilik modal untuk mengeksploitasi kakayaan alam yang berada di wilayah kekuasaannya. Dampak dari politik agraria pro bisnis dan investasi yang ditempuh oleh masing-masing Kepala Daerah menyebabkan laju kerusakan hutan

83 Faizi, mencatat politik agraria kapitalis Orde Baru berupa revolusi hijau, ekspolitasi hutan dan

agro industri. Lihat Noer Faizi, 1991. Petani dan Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia. Yogyakarta: INSIST, KPA, Pusaka Pelajar.

84 Uraian tentang politik ekonomi liberal lihat Sonny Keraf, 1996.

Pasar Bebas, Keadilan dan Peran Pemerintah. Yogyakarta: Kanisius.

85Sistem pasar identik dengan kapitalisme karena hubungannya yang integral dengan sistem hak

milik pribadi dan prioritas pengejaran akumulasi laba. Pasar adalah sarana tukar menukar barang/jasa dan mekanisme untuk mengorganisir hidup bersama atas logika untung rugi. Lihat B. Herry Proyono, 2003. “Bangsa Dalam Tegangan Lokal Global” dalam Jurnal Filsafat dan Teologi,

STF Driyarkara, Diskursus, Vol. 2 Oktober 2003.

86 Catur Tertib Pertanahan meliputi (1) tertib hukum pertanahan (2) tertib administrasi (3) tertib

administrasi pertanahan dan (4) tertib pemeliharaan tanah dan lingkungan. Peningkatan status Dirjen Agraria menjadi Badan Pertanahan Nasional tahun 1988 melalui Kepres Presiden No. 26 tahun 1988, tidak dimaksudkan untuk penataan tanah dalam konsep land reform, melainkan untuk mengontrol dan penguasaan tanah oleh pemerintah karena meningkatnya kebutuhan akan tanah.

di era otonomi daerah meningkat dengan pesat, sementara tingkat kesejahteraan masyarakatnya seperti jalan di tempat, tanpa ada perbaikan. Meskipun kebijakan pro investasi dan bisnis tersebut berdalih untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dalam analisis Tjondronegro (2001), kebijakan pro bisnis yang ditempuh oleh rezim Orde Baru dan pemangku otoritas di era reformasi didorong oleh “ambisi” yang ingin cepat merubah struktur ekonomi Indonesia dari pertanian ke perdagangan dan industri (merkantilisme ke neoklasik) dengan mengabaikan pembenahan agraria, yang dasar-dasarnya sudah dirumuskan dalam UUPA.87

Implikasinya dari politik agraria kapitalis adalah meluasnya eksploitasi sumberdaya agraria, ketimpangan struktural agraria dan merebaknya konflik agraria.88 Sekelompok kecil pengusaha memiliki akses besar terhadap sumberdaya agraria (sumberdaya hutan), sementara akses masyarakat sekitar hutan dibatasi dan dirampas haknya, kearifan rokal dan tradisi resiprositasnya diluruhkan.89

Atas dasar itu tak berlebihan jika dikatakan bahwa kinerja politik agraria kapitalis, gagal menjalankan tugas konstitusional melindungi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Di bawah payung politik agraria kapitalis, penyelenggara negara tidak mampu mengayomi dan melindungi masyarakat dan sumberdayanya secara adil dan demokratis. Karena sebagian agensinya, tidak mampu berperan menjadi wasit yang adil dalam distribusi sumberdaya dan mengatasi konflik agraria. Bahkan dalam sejumlah konflik agraria, penyelenggara berperan sebagai pihak berkepentingan dan menjadi representasi kelompok kepentingan.90

87 Sediono M.P.Tjondronegoro, 2001. “Pengelolaan Sumberdaya Agraria: Kelembagaan dan

Reforma Agraria” dalam Jurnal Analisis Sosial, Vol.6 No.2 Juli 2001.

88 Kondisi ini disebabkan penguasaan sumberdaya hutan dijadikan sebagai alat kekuatan ekonomi

dan politik elit penguasa dan pemilik modal. Tampilnya pengusaha konglemerat bukan karena kepiawian dan enterprenershipnya tapi karena difasilitasi negara sehingga berkembang Ersaz Capitalism” (Kapitalisme Semu). Lihat Yoshihara Kunio, 1990, Kapitalisme Semu Asia Tenggara.

Jakarta: LP3ES,

89Awang, San Afri, (2003).

Politik Kehutanan Masyarakat. Kreasi Wacana, Yogyakarta.

90 Dalam teori negara organis (1) negara merupakan akumulasi dari kelompok eksekutif,

pengusaha, militer dan politisi (representasi partai politik), (2) masyarakat bagian dari negara dan kehendak negara sebagai manifestasi dan representasi rakyat (3) posisi negara kuat dan intervensionis dalam proses politik. Menurut pandangan Marxian, negara merupakan perpanjangan tangan dari pemilik modal/kapitalis. Lihat Bryan Tunner, 2002. Orientalisme, Posmodernisme dan

Politik agraria kapitalis yang menjadi ciri rezim Orde Baru, tidak berubah secara berarti setelah berlangsungnya era otonomi daerah.91 Di bawah payung otonomi, praktek pengelolaan sumberdaya semakin eksploitatif dan diwarnai ego kedaerahan dalam upaya meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Pada era otonomi daerah, politik sumberdaya agraria tidak didasarkan good governance, sebaliknya cenderung mengarah ke resentralisasi di tingkat lokal, yang mengakibatkan injusticethe agrarian and ecology. Pemangku otoritas di tingkat lokal, tidak hanya tidak rela berbagi otoritas dengan masyarakat, tetapi otoritasnya sedapat mungkin mendatangkan manfaat dan keuntungan ekonomi serta melestarikannya secara hegemonik. Praktik nepotis dalam rekruitmen aparat birokrasi, elitis dalam pengambilan keputusan politik dan ekonomi serta birokrasi koorporasi yang menjadi ciri rezim Orde Baru,92 pada era otonomi dewasa ini gejalanya semakin mengemuka pada sejumlah pemerintah daerah. Stabilitas politik dan rekrutmen birokrasi daerah, tidak terkonstruksi atas mekanisme demokrasi dan profesionalitas tetapi atas keseimbangan, konfigurasi, koeksistensi kekuatan partai politik. Hegemoni, penetrasi dan ekpsploitasi sumberdaya pada era sentralisasi, berulang kembali dalam era otonomi daerah. Praktik birokrasi pemerintahan pada era otonomi merujuk Evers dan Schiel (1990) merupakan perpaduan weberisasi, parkinsonisasi dan orwelisasi93.

Proses Weberisasi ditandai dengan penggunaan peraturan perundang- undangan dan ketentuan formal yang memfasilitasi dan akses kepada pemilik modal menguasai dan mengeksploitasi sumberdaya untuk meningkatkan

Globalisasi. Jakarta: Piora Cipta. Stepan mengidentifikasi kelompok kepentingan atas aliansi tripel (elit eksekutif pemerintah, elit eksekutif perusahaan, elit militer/elit politisi). Alfred Stepan, (1979). The State and Civil Society: Peru in Coorporative Perspective. Princeton: Princeton Univertrty Press.

91 Ini terjadi karena jatuhnya Orde Baru merupakan keberhasilan para pendukung neoliberalisme

daripada keberhasilan massa rakyat. Kanishka Jayasuriya,”Negara, Pembangunan dan Globalisasi: Dari Kekuasan Negara ke Kekuasaan Pasar Global”, dalam Jurnal Wacana, Edisi 5, tahun II, 2000 dan James Petras dan Veltmeyer, 2002. Imperialisme Abad 21. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

92Ciri penting dari birokrasi korporasi adalah (1) legalistik dan mencitrakan diri sebagai

benevolence (pelindung, pengayom dan pemurah hati), (2) mempersepsi rakyat tidak tahu apa-apa, belum siap dan karenanya harus setia (obidience). Pola benevolence - obidience tidak hanya berlangsung dalam hubungan kerja tetapi merembes dan meluas dalam hubungan aparat dengan masyarakat. Nasikun. “Reformasi, Jalan Berliku Menuju Transisi Demokrasi” dalam Mahfud MD. Editor: Kritik Sosial Dalam Wacana Pembangunan. Yogyakarta: UII Press.

93Lihat Evers, Hans Dieter dan Schiel, 1990.

Kelompok Strategis: Perbandingan Tentang Negara Birokrasi dan Pembentukan Kelas di Dunia Ketiga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

pendapatan asli daerah (PAD). Di sisi lain, terdapat peraturan perundang- undangan yang membatasi dan mengabaikan hak-hak sosial ekonomi komunitas. Proses weberisasi politik tata kelola sumberdaya agraria pada era otonomi daerah, selain lemah dalam kordinasi dan tidak sinergi, juga tidak berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat dan tidak memihak pada wong cilik. Proses weberisasi hanya mengukuhkan arogansi agensi pemerintah sejalan dengan semakin tambunnya kelembagaan birokrasi yang disebut Evers dan Schiel, parkinsonisasi.

Pembentukan struktur baru dan peningkatan jumlah personal agensi (Kecamatan, Dinas Pertanian, Kehutanan), tidak mempermudah pelayanan dan akses komunitas pada sumberdaya agraria dan perbaikan kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya parkinsonisasi cenderung mendorong semakin intensifnya proses orwelisasi, yakni meningkatnya pengawasan dan pembatasan pemerintah daerah terhadap wong cilik untuk mengakses sumberdaya. Tetapi proses orwelisasi berlangsung secara transaksional. Proses orwelisasi dalam bentuk penegakkan hukum terhadap aktivitas illegal logging yang melibatkan oknum penguasa dan pemilik modal cenderung mandul, meskipun berakibat rusaknya ekosistem sumberdaya hutan dan mengakibatkan kritisnya kawasn hulu DAS. Lain halnya bila aktivitas illegal logging tersebut melibatkan wong cilik, aparat penegak hukum tidak segan mengkriminalkan dan melakukkan aksi polisionil.

Politik agraria berciri Weberisasi, Parkinsonisasi dan Orwelisasi, merujuk pada Beck mengantarkan Indonesia berada pada risk society, 94 yakni kondisi masyarakat yang kian dicengkram individualistik dan kekuatan pasar yang disebabkan manufactured risk (bencana akibat perbuatan dan keputusan politik yang tidak tepat). Bencana banjir, kebakaran hutan, deforestasi, ketimpangan sosial, merupakan manufactured risk yang diakibatkan keputusan politik untuk kepentingan politik berdurasi pendek dan demokrasi prosedural. Sementara substansi politik dan demokrasi untuk kesejahteraan masyarakat terabaikan. Pentas panggung politik demikian oleh Blau95 sebagai pertanda bentuk akhir dari

94 Lihat Beck, Ulrich, 2000. “Risk Society Revisited: Theory, Politics and Research Programmes”

in J. Van Loon (ed). The Risk Society and Beyond Critical Issues for Social Theory. London: Sage.

95 Lihat Turner, Jonathan, 1998.

The Structure of Sociological Theory. First Edition,Wadsworth Publishing Company.

kekuasaan, karena kekuasaan tidak menjadi solusi masalah masyarakat, tetapi menjadi sumber masalah bagi masyarakat. Kondisi inilah yang disebut oleh penulis kegagalan politik agraria sehingga politik agraria transformatif menjadi semakin penting.