• Tidak ada hasil yang ditemukan

DINAMIKA TATA KELOLA SUMBERDAYA AGRARIA BERBASIS KELEMBAGAAN LOKAL

5.3. Dinamika Kelembagaan Agroforestry 1 Kelembagaan Agroforestry

5.3.4. Liliuran : Bertahan Sebagai Sarana Pencarian Nafkah

Warga setempat memaknai liliuran sebagai kerja bersama-sama dan tolong menolong untuk menyelesaikan berbagai tahapan pekerjaan di huma/kebun. Secara harfiah liliuran berasal dari kata liur, artinya bersatu, bersama. Maksudnya mengerjakan pekerjaan secara serentak bersama-sama. Keberadaan liliuran terkait dengan proses kegiatan pertanian yang membutuhkan tenaga kerja yang banyak dan berlangsung pada periode tertentu secara serentak agar tidak terlambat masa tanam. Proses kerja demikian menempatkan liliuran

sebagai bagian penting dari kehidupan petani ladang dan tetap bertahan sebagai kegiatan komunitas di tengah proses komersialisasi pertanian.

Faktor-faktor yang mempengaruhi bertahannya kelembagaan liliuran

dalam komunitas petani diidentifikasi sebagai berikut:

(1) Liliuran memberi ruang yang cukup bagi aktivitas perempuan untuk berkontribusi dalam upaya memelihara kesinambungan hidup keluarga tani. (2) Dalam kelembagaan liliuran terdapat mekanisme aturan pertukaran timbal

balik tenaga kerja.

(3) Landasan dasar liliuran adalah tolong-menolong atas dasar resiprositas, sehingga keberlakuannya bukan hanya terbatas dalam kegiatan usaha tani, tetapi juga dalam berbagai aktivitas kehidupan sosial lainnya.

(4) Petani yang terlibat dalam kegiatan liliuran jumlahnya relatif kecil berkisar 5- 10 orang, memudahkan pengorganisasiannya, sehingga kelompok liliuran

ditemukan pada tiap kampung.

Keberadaan liliuran menguntungkan proses produksi agroforestry dan aktivitas pertanian pada umumnya, karena meringankan biaya, baik untuk saprodi maupun ongkos produksi. Kebutuhan bibit tanaman dapat dipenuhi dengan meminjam dari anggota liliuran lainnya. Anggota liliuran juga tidak selalu harus mengeluarkan upah tenaga kerja secara tunai, karena dapat meminta bantuan kelompoknya untuk mengerjakan kebun miliknya. Seorang petani menuturkan:

Untuk ngored (membersihkan kebun) seluas 2000 m pemilik kebun membutuhkan lima orang tenaga kerja perempuan selama empat hari, dengan

jumlah total biaya yang harus dikeluarkan sebesar Rp. 348.000,- . Bagi petani yang menjadi anggota liliuran, uang sebesar itu tidak perlu dikeluarkan secara tunai dan dapat digunakan untuk kebutuhan lainnya. Sebagai imbalannya yang bersangkutan diwajibkan mencurahkan waktu dan tenaga sesuai dengan jumlah hari yang dibutuhkan untuk ngored pada waktu liliuran di hari dan tempat lain. Secara sosiologis kelembagaan liliuran memperkuat kohesivitas sosial, terpeliharanya tradisi tolong-menolong dan resiprositas sosial. Faktor ini diperkuat dengan keterlibatan kaum perempuan cukup besar dalam liliuran

terutama pada beberapa tahapan kegiatan usaha tani. Keterlibatan kaum perempuan mampu memupuk kebersamaan antar warga, sekaligus berfungsi untuk menopang pemenuhan kebutuhan pangan keluarganya. Bagi petani, liliuran

dapat memberikan “jaminan keamanan subsistensi” dan menyediakan lapangan pekerjaan. Secara ekologi keberadaan kelembagaan liliuran berdampak positif pada tata kelola agraria ramah lingkungan. Peran dan kontribusi perempuan dalam

liliuran dapat disimak dari pandangan seorang petani sebagai berikut: Bumi adalah Ibu

Siti Hajar adalah sosok perempuan biasa yang setiap hari berkebun dan melakukan pekerjaan domestik di desa kelahirannya Citaman. Namun, ada yang tidak biasa dalam sosok dirinya dari perempuan lainnya. Dibalik kesahajaannya, tersimpan kecerdasan luar biasa dan nilai hidup yang begitu mulia dalam memaknai ruang hidupnya. Itulah kesan yang diperoleh selama berminggu- minggu di Desa Citaman. Ibu beranak empat itu memiliki pemahaman yang kental bahwa tanah kelahiran adalah entitas ruang hidup, bukan komoditas yang bisa dijual-beli, apalagi dipertukarkan.

Pemikiran Siti Hajar tentang dampak pembangunan berdasarkan kesaksiannya melihat proses pembangunan di pedesaan. Dari informasi yang dimilikinya, Siti Hajar sampai pada kesimpulan bahwa pembangunan melahirkan marginalisasi perempuan, melanggengkan ketidakadilan, kekerasan psikis, fisik dan ekonomi. Bumi yang digambarkannya sebagai ibu telah dieksploitasi, dirusak dan dijarah karena didorong oleh keserakahan (“kapitalisme”) dengan menempatkan posisi laki-laki secara dominan.

Ia berpandangan bahwa bumi adalah ibu yang harus diselamatkan dari ancaman kerusakan yang dilakukan orang besar (“pengusaha dan penguasa”). Mengingat perempuan merupakan tangan pertama yang bersentuhan dengan sumber daya alam, maka akibat kerusakannya perempuanlah yang paling rentan menerima resiko dan dampaknya. Dengan bahasa sederhana dan tidak terdengar heroik, cara pandangnya tampak lugas menganalisis persoalan lingkungan hidup dan praktik ketidakadilan yang dipertontonkan merusak bumi.

Menurutnya langkah strategis yang dapat dilakukan perempuan untuk menyelamatkan bumi adalah mengembalikan peran perempuan ke kodratnya kepada alam dengan memelihara kualitas kefeminimannya sebagai pemelihara dan perawat alam. Bekerja dan bertindak seperti laki-laki (maskulinisasi perempuan) tidak saja merugikan perempuan melainkan juga akan berdampak

kepada lingkungan sosial dan alam. Maskulinisasi menyebabkan merebaknya eksploitasi dan rusaknya alam, menurunnya solidaritas sosial dan meningkatnya kejahatan. Dia tidak setuju dengan anggapan bahwa perempuan yang berperan sebagai ibu adalah "dewi tolol" di sangkar emas. Karena menurutnya maskulinisasi menjadi salah satu faktor langgengnya budaya kemiskinan dan feminisasi kemiskinan.

Narasi di atas menggambarkan pemahaman dan praktik ekofeminis148 dalam merawat alam untuk keberlanjutan sumber kehidupan. Penghayatan itu bersumber dari keterlibatannya dalam kegiatan liliuran dalam waktu panjang pada jaringan sosial komunitas. Merujuk pendapat Polanyi, kelembagaan komunitas sebagai embedded institute, yakni institusi sosial yang berperan dan memberi ruang ekonomi untuk mobilisasi tenaga kerja dan modal secara terintegrasi.149

Kelembagaan liliuran merupakan bentuk mekanisme yang mengatur hubungan kerja antara pesertanya, baik sebagai pemilik tanah maupun sebagai pekerja secara imbal balik. Status sebagai pemilik tanah dan pekerja silih berganti sesuai dengan kesepakatan. Partisipan liliuran tidak selamanya menjadi pemilik tanah dan menjadi pekerja, pada waktu tertentu seorang peserta menjadi tuan, pada waktu lain berperan sebagai pekerja dan seterusnya. Ini berbeda dengan hubungan kerja antara petani dengan tuan, hubungan patron client, hubungan antar keduanya tidak setara dan cenderung eksploitatif.

Hubungan kerja dalam liliuran dibangun atas dasar kesetaraan dan perpaduan aspek ekonomi, sosial dan resiprositas. Partisipan tidak hanya terpenuhi kebutuhan akan tenaga kerja atau biaya produksi pertanian, tetapi juga keterlibatan partisipan berguna untuk penguatan modal sosial melalui pertukaran tenaga kerja, pertukaran barang dan jasa dalam jaringan kekerabatan, komunitas dan tempat tinggal. Hal ini menunjukkan bahwa kelembagaan liliuran di komunitas petani berperan sebagai institusi pendistribusian tenaga kerja, berfungsi sebagai institusi budaya yang memberi makna bagi penguatan kohesivitas dan modal sosial komunitas. Hubungan kerja antar partisipan liliuran tidak terbatas pada hubungan kerja semata-mata tetapi didalamnya melekat hubungan sosial

148 Ekofeminisme merupakan perluasan diskursus dari perjuangan feminisme yang mendobrak

dominasi laki-laki terhadap perempuan sebagai mana upaya mendobrak dominasi manusia terhadap alam. Tong, Rosemarie,1998. Feminist Thought. Westview Press.

149 Karl Polanyi, “Perkembangan Ekonomi Pasar” dalam Hans Dieter Evers, 1998,

Teori Masyarakat: Proses Peradaban Dalam Sistem Dunia Moderen. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

yang luas. Liliuran sebagai embedded institute dalam tata kelola sumberdaya agraria merupakan modal dasar bagi pembangunan ekonomi berkelanjutan.

5.4. Ihtisar

Kelembagaan lokal tata kelola sumberdaya agraria di hulu DAS Cidanau dibedakan atas kelembagaan lokal berupa aturan main, nilai dan norma dan berupa institusi dan praktik tata kelolanya. Bentuk kelembagaan lokal berupa aturan main meliputi buyut, pipeling, konsepsi tanah, tata guna tanah dan zonasi hutan (leuweung), dan kearifan lokal tentang tanaman pangan dan obat. Sedangkan kelembagaan lokal berupa institusi adalah liliuran dan agroforestry.

Buyut dan pepeling merupakan mekanisme dan aturan warga setempat yang mengedepankan keselarasan kebutuhan manusia dan keberlanjutan sumberdaya. Pemanfaatan sumberdaya yang berlebihan-melampaui daya dukung alam sama dengan menghancurkan masa depan kehidupan manusia, karena manusia dan sumberdaya merupakan bagian dari ekosistem. Dalam kehidupan petani, kelembagaan buyut dan pepeling diwujudkan dengan sistem olah tanah konservasi (penerapan teknologi pertanian gilir balik, terasering, pembuatan guludan), ngaseuk, coo benih, pemberantasan hama tanaman ramah lingkungan, masa tanam mengikuti daur musim dan pergiliran tanaman.

Aspek penting yang terkandung dalam tata kelola sumberdaya agraria berbasis kearifan lokal adalah visi dan orientasinya yang memadukan produksi dan konservasi. Visi dan orientasi pengelolaan sumberdaya secara demikian diperlukan dalam tata kelola hutan berkelanjutan. Sejauh ini ilmu pengetahuan pertanian dan kehutanan modern yang mencerminkan tafsir Barat gagal memahami dan menempatkan kelembagaan sosial dan kearifan lokal dalam konservasi hutan. Kegagalan ini berujung pada meluasnya deforestasi dan peluruhan kelembagaan komunitas yang mengakibatkan komunitas sekitar hutan mengalami keterbelakangan dan menjadi kantong kemiskinan. Dalam upaya mewujudkan pembangunan hutan berbasis masyarakat, maka kelembagaan dan kearifan lokal tata kelola sumberdaya hutan komunitas selayaknya dipertimbangkan dan mendapat tempat dalam politik agraria kehutanan dan khususnya perhutanan sesuai ruang sosial, lokalitas dan spasialnya.

BAB VI

KONTESTASI SEKTORAL, LOKAL SUPRALOKAL