• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAN KEGAGALAN POLITIK SUMBERDAYA AGRARIA

7.4. Kegagalan Politik Agraria

7.4.3. Pendudukan Petani dan Enclavisme

Dari sekitar 303 kawasan konservasi yang terdapat di Indonesia, salah satunya Cagar Alam Rawa Danau yang terdapat di Kabupaten Serang. Cagar Alam Rawa Danau berada dalam wilayah administrasi pemerintahan Kecamatan Padarincang, Pabuaran dan Kecamatan Mancak Kabupaten Serang. Cagar Alam Rawa Danau merupakan kawasan endemik dan sebagai situs konservasi rawa pegunungan satu-satunya yang masih tersisa di Pulau Jawa.

Namun dibalik keunikan ekologinya, Cagar Alam dalam kondisi kritis. Debit air Rawa Danau dari tahun ke tahun cenderung menurun198 dan secara de facto luas Cagar Alam Rawa Danau terus menyusut karena diduduki dan dikuasai oleh petani untuk persawahan, pemukiman dan perkebunan yang telah mencapai sepertiganya. Dewasa ini Cagar Alam Rawa Danau mengalami degradasi dan

198 Pada tahun 1922 debit airnya mencapai 45 m³/detik, tahun 1989 tercatat 25 m³/detik dan tahun

1990-2001 berkisar 10-15 m³/detik. Pada tahun 2003 debit airnya 20 m³/detik bahkan pada musim kemarau panjang tercatat hanya 12-15 m³per detik. Laporan Hasil Perjalanan Observasi Rawa Danau tahun 2003 oleh Kelompok Swadaya Masyarakat Rekonvasi Bumi, 2003.

sedimentasi yang krusial mencapai 360.000 ton per tahun, akibat kegagalan reboisasi di hulu dan aktivitas pertanian yang tidak ramah lingkungan.

Kritisnya Cagar Alam Rawa Danau disebabkan salah urus dan dibiarkan merana dalam tempo lama. Penetapan Rawa Danau sebagai Cagar Alam, berdasarkan Government Besluit (GB) nomor 60 stnl. 683 tanggal 16 Oktober 1921. Sejak ditetapkan oleh pemerintah Kolonial Belanda tahun 1921, kawasan konservasi ini tidak dikelola secara baik dan profesional. Akibat salah urus dan pembiaran merana terlalu lalu, maka pemulihan dan rehabilitasinya menjadi pelik dan kompleks. Dewasa ini permasalahan pengelolaan Cagar Alam Rawa Danau, tidak hanya berkaitan dengan masalah tata kelola dan teknik konservasi, tetapi telah menyentuh persoalan politik konservasi dan hubungan teknis dan sosial agraria penduduk di sekitar area cagar alam.

Tata kelola konservasi Rawa Danau yang tidak baik dan salah urus, menyebabkan situs konservasi rawa pegunungan itu kritis dan merana. Sementara penduduk sekitarnya sebagian besar adalah petani lapar tanah. Kondisi ini mengundang birahi petani lapar tanah, untuk melakukan pendudukan kawasan Cagar Alam Rawa Danau untuk mengais rejeki dan menyambung hidup. Selain lapar tanah, penduduk sekitar Rawa Dawa Danau juga memiliki ikatan sejarah dan hubungan teknis agraria dengan area Rawa Danau. Pertautan ikatan sejarah dan kebutuhan ekonomi (lapar tanah), merupakan faktor dominan pendudukan petani terhadap Cagar Alam Rawa Danau.

Akibat pembiaran yang berlangsung lebih dari setengah abad dan salah urus, maka upaya rehabilitasi kawasan konservasi yang terlanjur terdegradasi, menjadi pelik dan kompleks. Upaya pemerintah baik secara persuasi maupun represi, sejauh ini belum dapat menyelesaikan masalah konservasi kawasan Rawa Danau secara menyeluruh. Pemerintah baru tersentak setelah kawasan Rawa Danau sepertiganya diduduki petani, yang sudah berlangsung lebih dari setengah abad. Meluasnya pendudukan petani atas Rawa Danau, mendorong pemerintah bertindak represif dengan merelokasi 274 kepala keluarga secara paksa ke berbagai wilayah transmigrasi di Aceh dan Riau.199 Sedangkan upaya rehabilitasi

199 Tindakan relokasi petani dari kawasan Cagar Alam Danau didasarkan atas Surat Keputusan

Rawa Danau baru dilakukan dalam sepuluh tahun terakhir, tahun 2002 melakukan penanaman 5000 pohon pohon gempol (Anthocephalus cadamba) pada wilayah catchment area dan tahun berikutnya penanaman 6000 pohon di Blok Cimanuk.

Perlindungan Cagar Alam Rawa Danau yang terlanjur salah urus dan terlantar, sejauh ini belum dapat menyelesaikan masalah konservasi dan pendudukan petani atas Rawa Danau. Hal ini disebabkan langkah yang dilakukan pemerintah, meneruskan politik konservasi kolonial Belanda yang bersifat konvesional. Dalam penanganan konservasi Rawa Danau, pemerintah seperti ”mengadopsi pengembangan konservasi Taman Nasional Yellowstone” (di Amerika tahun 1872), yang memisahkan kawasan yang berfungsi sebagai sumber keindahan dengan penduduk sekitarnya. Kawasan konservasi diisolasi, sebagai ”barang antik” tidak boleh disentuh dan diganggu oleh aktivitas manusia.

Penanganan Cagar Alam Rawa Danau, dilakukan dengan cara konservatif, represif bahkan eko-totalitarianism, seperti menempatkan area Rawa Danau sebagai ”enclave” dan relokasi ex situ penduduk sekitar Rawa Danau. Langkah ini menjadi pilihan pemerintah untuk memutus rantai interaksi masyarakat dengan Cagar Alam Rawa Danau. Kawasan konservasi dijadikan sebagai enclave yang tidak boleh disentuh dan dijauhkan dari interaksi manusia. Penduduk sekitar Rawa Danau diposisikan sebagai makhluk biologis semata-mata tanpa ada ikatan dan kaitan sosial dan budaya dengan tanah, air dan tempat kelahirannya. Seperti terungkap dalam pernyataan informan berikut:

Peran serta masyarakat dalam konservasi Cagar Alam Rawa Danau tidak penting,

karena tidak mengerti tentang konservasi. Sosialisasi dan edukasi konservasi tidak bermanfaat, penduduk di sekitar CA Rawa Danau adalah perambah dan menjadi kendala upaya konservasi. Konservasi Rawa Danau hanya bisa dilakukan dengan menindak secara tegas dan menjauhkannya dari para perambah.

Parnyataan itu menunjukkan bahwa aparat memaknai dan menempatkan Cagar Alam Rawa Danau sebagai enclave dan mengalienasi penduduk dari ikatan sosial ekonomi dengan tanah dan air yang berlangsung puluhan tahun. Dalam analisis Dietz (1998), kebijakan konservasi yang dilakukan oleh pemerintah

terhadap Rawa Danau, dikategorikan sebagai eko-fasisme atau ekototaliter.200 Konservasi cagar alam dipandang jauh lebih penting daripada kehidupan masyarakat dan penyelamatan Rawa Danau dianggap lebih mendesak dan lebih penting daripada upaya pemberian akses masyarakat untuk mengais rejeki.

Di tengah ketimpangan struktur agraria dan keterbatasan pemerintah menyediakan lapangan kerja, kebijakan ekototaliter tak menyelesaikan masalah konservasi Rawa Danau maupun masalah sosial ekonomi komunitas petani di sekitarnya. Misalnya Relokasi 274 kepala keluarga di sekitar CA Rawa Danau secara ex-situ tahun 1985 ke lokasi transmigrasi di di P. Sumatera, lebih tepat disebut “cerita gagal” daripada “cerita sukses” land refom. Dari penulusuran, penyebabnya “cerita gagal” itu adalah penempatan transmigran di daerah berekologi marginal (lahan kering/kritis, pasang surut) dan “penyimpangan dalam pelaksanaan”. “Cerita gagal” land refom, ditunjukkan dengan kembalinya sejumlah petani yang direlokasi setelah jatuhnya rezim Orde Baru ke habitat ekologi sosialnya, Cagar Alam Rawa Danau yang telah didomestikasi sebelumnya.

Cerita gagal “enclavisme” kawasan konservasi dan alienasi petani dari Rawa Danau, ditunjukkan dengan semakin meningkatnya kualitas dan kuantitas perlawanan dan pendudukan petani. Tahun 1985 warga yang harus direlokasi dari Cagar Alam hanya 300 kepala keluarga, tahun 2006 meningkat menjadi 3000 petani. Tahun 2000 pendudukan petani sebatas menggarap Rawa Danau untuk memenuhi kebutuhan pangannya, tahun 2006 petani telah membangun “tempat tinggal”. Area konservasi yang diduduki petani telah mencapai 845,13 hektar atau sepertiga dari luas Cagar Alam Rawa Danau sekitar 2.500 hektar.201 Sebelumnya petani yang menduduki Cagar Alam Rawa Danau hanya berhadapan dengan petugas jagawana (yang dapat diselesaikan dengan memberi upeti pada saat panen), dewasa ini petani demonstrasi ke DPRD Kabupaten Serang, menuntut pendudukannya atas sebagian Cagar Alam Rawa Danau dilegalkan dengan pola pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) atau perhutanan sosial.

200 Diez, Ton, 1998.

Pengakuan Hak Atas Sumberdaya Alam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar-Insist Remedec.

201

BKSDA, Ekspose Penanganan Perambahan dan Pemukiman Liar Cagar Alam Rawa Danau, 2005.Tidak dipublikasikan.

Sejauh ini pemangku otoritas belum mengakomodasi tuntutan petani dan belum melihat hal positif pelibatan dan kemitraan dengan masyarakat dalam pengelolaan Rawa Danau. Pemahaman kawasan konservasi sebagai enclave dan eksklusif, masih menjadi arus utama, dibandingkan dengan pengelolaan kawasan konservasi secara komprehensif dalam konteks pengembangan wilayah dan pemberdayaan masyarakat, yang mengintegrasikan aspek ekologi, ekonomi dan sosial. Pemangku otoritas tetap pada pendiriannya, area konservasi harus dibebaskan dari aktivitas petani. Peraturan perundangan dijadikan rasionalitas aparat pada umumnya. Atas dasar rasionalitas hukum pula petugas meniadakan pembelaan terhadap petani dan menempatkannya sebagai obyek polisionil daripada sebagai kelompok sosial yang perlu diberdayakan oleh pemerintah.

Upaya petani mengais rejeki di kawasan konservasi, dilihat dalam perspektif aturan hukum tentang konservasi secara formal dengan mengabaikan aspek substansi dan keadilan. Penegakkan hukum oleh pemangku otoritas hanya memperhatikan pasal-pasal konservasi sebagai harga mati, yang tidak berkaitan dengan kebenaran hukum secara substansial. Bahkan aturan hukum yang ditegakkan sering tidak sejalan dengan masalah sosial ekonomi petani, yakni alienasi, pengusiran dan pembatasan akses terhadap sumberdaya untuk menopang kelangsungan hidup. Pasal-pasal konservasi ditegakkan untuk membela rasionalitas yang dianut dan tidak ada kaitan dan tidak sejalan dengan masalah yang seharusnya dipecahkan. Dalam menegakkan pasal-pasal konservasi dan membela rasionalitasnya dari pendudukan petani, tidak jarang agensi konservasi memandang kekerasan sebagai solusi, karena terbukti efektif untuk mencapai tujuan, meskipun untuk sementara waktu. Sejauh ini pendekatan represif dan kriminalisasi petani, tidak menyelesaikan masalah sosiologis area konservasi, yakni hubungan sosial dan hubungan teknis manusia dengan area konservasi.

Dari penggalian informasi di lapangan, diperoleh keterangan hubungan teknis agraria petani dengan area konservasi memiliki ikatan sejarah. Sebagian petani yang menggarap sebagian tanah area konservasi, meneruskan warisan leluhur orang tuanya jauh sebelum lahirnya negara RI. Dari segi ini relokasi ex- situ dan alienasi petani dari area konservasi, bukan hanya memutus rantai sumber mata pencaharian, tetapi juga memutus rantai sosial dan sejarah komunitas petani.

Penegasian hubungan sosial dan teknis agraria petani untuk kepentingan konservasi secara sempit, merupakan klaim sepihak penguasa. Klaim sepihak yang menegasikan hak sosial dan sejarah itulah yang menyebabkan masalah konservasi Rawa Danau tidak kunjung terselesaikan dan terus bergejolak.

Dalam analisis Habermas klaim sepihak pemerintah terhadap hak sosial ekonomi masyarakat sebagai bentuk “kolonisasi”. Dalam konteks Rawa Danau, kolonisasi ditunjukkan oleh hegemoni pemerintah dan menolak pengelolaan kolaborasi 202 dan penataan batas dan zonasi area konservasi. Zonasi area konservasi, diperlukan agar ada kejelasan zona yang dapat diakses untuk mendapatkan manfaat ekonomi dan zona terlindungi.

Meluasnya eskalasi perlawanan dan pendudukan petani di area Cagar Alam Rawa Danau, disebabkan tersebarnya informasi di masyarakat, bahwa Pemda merencanakan pembangunan jalan yang menghubungkan Kecamatan Mancak dengan Kecamatan Cinangka yang membelah kawasan Rawa Danau dalam rangka mengembangkan kawasan wisata Curug Betung. Informasi ini dinilai oleh petani, sebagai “politik belah bambu”.203 Pemerintah menggusur dan mengkriminalisasi petani yang memanfaatkan area konservasi untuk mendapatkan sesuap nasi, pada saat yang sama memberi kesempatan pada pemilik modal memperoleh manfaat dari Rawa Danau untuk mengembangkan bisnisnya.

Petani dan aktivitas lingkungan yang memiliki kepedulian terhadap konservasi Rawa Danau, menilai bahwa rencana membelah Rawa Danau sebagai upaya memuluskan jalan bagi konspirasi pemilik modal dan aparat untuk kegiatan

illegal logging. Merujuk pada pendapat Gadgil dan Guha: di negara berkembang environmentalism menyebabkan konflik, termasuk konflik antara para petani dengan pengusaha yang didukung penguasa untuk mendapatkan sumber-sumber produktif. Sehingga konflik lingkungan tampil menjadi bentuk konflik ekonomi.

Dalam diskusi dengan pengurus kelompok tani timbul pemikiran, agar kebijakan konservasi ke depan dilakukan dengan memadukan program konservasi

202 Lihat Ricardo Ramirez, ”Memahami Pendekatan-Pendekatan Kolaborasi: Usaha

Mengakomodasi Kepentingan Multi Stakeholder” dalam Suporahardjo, (editor), 2005.

Manajemen Kolaborasi: Memahami Pluralisme Membangun Konsesus. Bogor: Pustaka Latin.

203 Pengembangan kawasan Wisata Curug Betung yang membelah CA Rawa Danau dinilai oleh

bloger sebagai cool bangeut (tindakan keterlaluan yang tidak memiliki apresiasi terhadap nilai sejarah dan ekologi Cagar Alam rawa danau).

dan program perberdayaan sosial ekonomi penduduk sekitar kawasan konservasi yang disebut Integrated Conservation and Development Projects ICDPs, atau

Community-Based Natural Resource Management atau bahkan ekopopulis204. Melalui pendekatan ICDPs, pengelolaan konservasi disinergikan dengan pengembangan sosial ekonomi penduduk di sekitar area konservasi. Pilihan pendekatan ini didasarkan pemikiran bahwa pengelolaan konservasi secara

enclavisme cenderung menimbulkan konflik dan menegasikan peran komunitas lokal, yang telah memiliki ikatan sejarah dan ekonomi sebelumnya. Pendekatan eko-fasisme atau ekototaliter dalam pengelolaan konservasi merupakan respon dari gaya hidup negara maju, di mana biodiversity protection dan landscape beauty menjadi kebutuhan. Sedangkan di Indonesia sebagian besar penduduknya bergelut dengan kemiskinan, mengais rejeki pagi untuk sore hari.

Dalam diskusi dengan petani berkembang pemikiran, bahwa pendudukan tanah oleh petani sebagai bentuk reforma agraria dari bawah, di tengah rezim pro

the strong, ternyata menghadapi berbagai kendala. Karena belum terpenuhinya prasyarat yang mendukung keberhasilan reforma agraria. Reforma agraria baiknya dilakukan dalam waktu terbatas, persiapan yang matang, petani terorganisir, tekad politik dan pelaksanaan yang terkoordinir. Reforma agraria juga perlu dukungan aparat sipil dan militer yang bersih serta perancang ekonomi pembangunan untuk mempercepat industrialisasi negara secara lebih mandiri. 205

Tekad politik dari penguasa diperlukan, karena reforma agraria terkait erat dengan kekuasaan, siapa yang berkuasa, dialah menjadi pemenangnya. Reforma agraria membutuhkan petani yang terorganisir, karena merekalah sesungguhnya yang berkepentingan secara langsung dengan reforma agraria.206 Pelaksanaan reforma agraria tidak bisa bertumpu pada niat baik penguasa, karena sejarah

204 Borrini-Fayerabend G,Kothari, etl, 2004. Sharing Power, Learning By Doing in Co-

Management of Natural Resources Throughout in the World. IIED and IUCN/CEESP, Cenesta,Teheran.

205 Tjondronegoro mengibaratkan kebijakan reforma agraria sebagai suatu pembedahan dalam

tumbuh manusia. Tidak nyaman untuk golongan tertentu terutama tuan tanah besar, tetapi menjadi satu-satunya jalan untuk melangkah lebih cepat ke arah industrialisasi dengan cara yang adil. Lihat Sediono M.P.Tjondronegoro, 2001. “Pengelolaan Sumberdaya Agraria: Kelembagaan dan Reforma Agraria” dalam Jurnal Analisis Sosial, Vol.6 No.2 Juli 2001.

206 Noer Faizi, 2003.

Bersaksi Untuk Pembaruan Agraria: Dari Tuntutan Lokal Hingga Kecenderungan Global. Yogyakarta: KARSA, KPA dan Insist..

penguasa merupakan bagian dari kelompok kepentingan. Dalam diskusi dengan petani terdapat pemahaman syarat keberhasilan reforma agraria belum terdapat dalam struktur politik pemerintahan dan organisasi petani. Reforma agraria juga belum menjadi strategi pembangunan dan pemenuhan kebutuhan tanah belum dipandang sebagai bagian hak azasi manusia.207

Kelompok petani yang tidak terorganisir dan belum memiliki basis ideologis yang solid, sulit untuk melakukan kerja besar seperti reforma agraria. Penggiat petani dan kelompok swadaya masyarakat dengan networking yang lemah, sulit membangun aliansi kekuatan dan menjadi penyeimbang efektif pemerintah. Sebaliknya orientasi dan gerakan lembaga swadaya yang terlibat pemberdayaan petani bersifat asosiatif atau paralel208 yang mengakibatkan isu-isu utama reforma agraria terkooptasi dan terhegemoni oleh negara.