• Tidak ada hasil yang ditemukan

DINAMIKA TATA KELOLA SUMBERDAYA AGRARIA BERBASIS KELEMBAGAAN LOKAL

5.2. Kearifan Lokal Tata Kelola Sumberdaya Agraria

5.2.4. Buyut dan Pipeling: Pengawal Keserakahan

Istilah buyut dimaknai atas dua hal: pertama sebagai silsilah, garis keturunan, kedua sebagai seperangkat nilai dan kearifan lokal. Secara genealogis,

buyut merupakan cara menentukan kedudukan ego dalam silsilah kekerabatan. Dalam masyarakat Sunda silsilah kekerabatan sampai tujuh turunan/generasi (dari atas ke bawah atau dari bawah ke atas) disebutsabondoroyot .134

Seseorang yang terjalin ikatan karena perkawinan (afiniti) atau pertalian ikatan darah (konsanguiti) dalam sabondoroyot (dari ayah atau ibu) disebut dulur urang atau wargi. Kedudukan ego sebagai dulur urang dalam sabondoroyot

dibedakan atas dulur anggang dan dulur deukeut. Dari segi ini buyut dimaknai keluarga luas sampai generasi ketiga yang terbentuk atas dasar perkawinan (afiniti) atau pertalian ikatan darah (konsanguiti).

Pengertian kedua buyut adalah seperangkat nilai, norma, dan adat yang berfungsi sebagai aturan main, pedoman dan rujukan interaksi antar warga dan tata kelola sumberdaya agraria. Dalam pengertian ini buyut mengandung dua hal: (1) Buyut berarti suci, maksudnya (a) merupakan bentuk pembeda antara yang

dianggap sakral dan tidak sakral/profan; (b) merupakan bentuk pembatasan akses dalam hal-hal tertentu atas dasar gender (aturan yang mengatur pekerjaan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh laki-laki dan perempuan). (2) Buyut diartikan sebagai tabu atau terlarang. Dalam ungkapan warga, buyut

berarti teu meunang (tak boleh melakukan hal-hal yang dianggap tabu/terlarang), seperti perkawinan dengan saudara sepupu. Buyut adalah norma dan etika masyarakat tidak tertulis yang merupakan kebiasaan (folkways), cara (usage) dan adat-istiadat (customs).135

Dari dua pengertian di atas disimpulkan bahwa buyut merupakan mekanisme dan aturan warga setempat untuk menjaga kepentingan bersama, keadilan, keharmonisan dan keseimbangan hubungan antar manusia dan hubungan

134 Istilah silsilah turunan dalam masyarakat Sunda: bapak, aki/kakek, buyut, bao, janggawareng,

udeg-udeg dan gantung siwur atau anak, incu, buyut, bao, janggawareng, udeg-udeg dan gantung siwur.Diolah dari sumber primer.

135 Buyut dapat disejajarkan dengan adat dalam konsepsi Vallonhoven atau folkways menurut

Sumner yang merupakan pedoman perilaku komunitas. Lihat Surjo Wingnjodipuro, 1983.

Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. Jakarta: Gunung Agung dan Koentjaraningrat, 1986.

manusia dengan sumberdaya agraria. Dalam tata kelola sumberdaya, buyut

merupakan pranata lokal dan mekanisme pengendalian sosial, aturan main pemanfaatan sumberdaya agraria. Mekanisme tersebut ditujukan untuk mencegah seseorang mengambil hak yang bukan haknya, adanya kepastian dan kesamaan akses warga terhadap sumberdaya produktif pada suatu kawasan.136 Secara ekologis aturan buyut dimaksudkan untuk memberi waktu kepada sumberdaya untuk tumbuh dan berproduksi secara sempurna. Secara sosiologis mekanisme tersebut untuk menciptakan pemerataan dan keadilan, mencegah orang untuk bertindak serakah dan membatasi ruang bagi penunggang kepentingan.

Dalam praktik tata kelola sumberdaya agraria, buyut diwujudkan dengan memadukan produksi dan konservasi. Praktik sistem olah tanah konservasi dilakukan dengan menerapkan teknologi gilir balik, ngaseuk dan pemulian bibit unggul, larangan menangkap ikan di sungai dengan tuba, berburu selain babi dan menjual hasil buruan untuk tujuan komersial dan menebang pohon yang rimbun di

hutan tutupan. Warga juga menganggap buyut (tabu) mengambil pucuk kelapa,

cengkir dan kelapa muda, agar panen kelapa berlangsung secara periodik dan serentak dalam jumlah besar dengan harga optimal. 137

Dalam tata kelola sumberdaya agraria, keberadaan buyut ditopang oleh kelembagaan pipeling yang merupakan unsur penting budaya dan pandangan hidup orang Sunda. 138 Orang Sunda memiliki keyakinan yang kuat pada kekuasaan Tuhan, pada nasib, dan kesadaran dirinya merupakan bagian kecil dari alam semesta. Dalam pemahaman orang Sunda, di luar diri manusia terdapat alam semesta, masyarakat dan super natural, ketiganya memiliki kekuatan untuk mempengaruhi tingkah laku manusia. Alam memiliki hukum alam, masyarakat

136 Kelembagan

buyut dapat disejajarkan dengan pikukuh pada komunitas Baduy Luar atau di luar

kampung tangtu. Lihat Judistira K Garna, “Masyarakat Baduy di Banten” dalam Koentjaraningrat, dkk, 1993. Masyarakat Terasing di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Pratama.

137 Dampak dari desakralisasi

buyut mengakibatkan, hancurnya desa Citaman sebagai sentra kelapa di Kecamatan Ciomas. Pudarnya Desa Citaman sebagai sentra kelapa disebabkan meningkatnya kebutuhan kelapa muda sejalan dengan perkembangan kota Serang menjadi Ibu Kota Provinsi Banten.

138 Pandangan hidup orang sunda dapat dibedakan atas komponen potensi (pandangan hidup yang

mencerminkan sifat-sifat khas personal), komponen tingkah laku dan komponen aspirasi (yang dikejar dan dihindari dalam hidup). Lihat Suwarsih Warnen 1985 Pandangan Hidup Orang Sunda. Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

memiliki nilai dan norma, super natural memiliki kekuasaan untuk mengadakan dan meniadakan. Untuk keharmonisan dan tercapainya kehidupan yang dicita- citakan diperlukan guru (pengajar atau ajaran) yang disebut pipeling untuk menuntun manusia agar mendapat keterangan yang benar.

Kelembagaan pipeling yang hidup dalam komunitas berisi seratus tuntunan dan seratus larangan. Seratus tuntunan hidup tersebut disarikan atas silih asih,

silih asuh, silih asah, lihat lampiran 1.d) dan seratus larangan disarikan atas silih benci, silih fitnah dan silih curiga, lihat lampiran 1.e). Seratus tuntunan dan seratus larangan terus menerus dinternalisasi agar lingkungan masyarakat dan lingkungan alam dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada manusia.

Sosialisasi dan internalisasi kelembagaan pipeling didorong untuk saling mengingatkan, karena tingkah laku manusia bergayut di antara dua kecenderungan, yaitu patuh pada tuntunan atau melanggar larangan. Dalam bahasa seorang informan: “Tingkah laku manusia tidak mungkin selamanya baik karena tidak selamanya menjadi bayang-bayang Gusti Nu Suci, tetapi juga tidak selamanya berbuat jahat karena tidak selamanya menjadi bayang-bayang setan.”

Pernyataan ini menegaskan bahwa manusia yang baik dan bijak adalah manusia yang dapat menjaga dan mempertahankan keseimbangan dalam hidup. Pentingnya keseimbangan hidup pada komunitas desa ditunjukan oleh penghargaan posisi tengah: “Hidup tidak berkekurangan dan juga tidak berlebihan, makan sekedar tidak lapar dan minum sekedar tidak haus.” 139

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa buyut dan pepeling dalam komunitas petani merupakan norma, aturan main dan mekanisme supaya manusia senantiasa dalam keseimbangan. Buyut dan pipeling merupakan aturan main untuk memelihara keharmonisan hubungan sosial dan hubungan manusia dengan alam. Sumberdaya agraria akan memberikan manfaat yang optimal kepada manusia, bila dirawat dan dipelihara sesuai dengan tuntutnan, dan hanya dipergunakan seperlunya. Sebab bila sumberdaya dipergunakan berlebihan, tanpa perawatan, alam akan berbalik menimbulkan malapetaka dan kesengsaraan pada manusia.

139

Diolah dari sumber primer. Ungkapan ini sesuai dengan Sunnah Rasul: “Makanlah bila lapar dan berhenti sebelum kenyang”.

Pembelajaran yang diperoleh dari kelembagaan buyut dan pipeling di komunitas hulu DAS Cidanau adalah:

1. Pesan moral yang mengedepankan keselarasan kebutuhan manusia dan keberlanjutan sumberdaya. Pemanfaatan yang berlebihan dan pemerkosaan daya dukung lingkungan akan menghancurkan masa depan kehidupan manusia sendiri. Memelihara sumberdaya agraria (tanah, air dan hutan) sama pentingnya dengan menjaga eksistensi manusia, karena manusia merupakan komponen ekosistem.

2. Substansi dari kelembagaan buyut dan pipeling adalah pengaturan hak-hak tertentu seperti hak pakai, hak menguasai, hak mengalihkan, hak mendapatkan keuntungan ekonomi yang layak dan akses yang adil terhadap sumberdaya. Hak atas sumberdaya merupakan mekanisme untuk menjaga keseimbangan hubungan sosial, hubungan agraria dan hubungan manusia dengan Pencipta. 3. Penghayatan kelembagaan buyut dan pepeling dalam tata kelola sumberdaya

agraria diwujudkan dalam bentuk sistem olah tanah konservasi dengan menerapkan teknologi pertanian gilir balik (rotated farming), ngaseuk, coo benih (pemuliaan padi bibit unggul), masa tanam mengikuti daur musim140 dan pergiliran tanaman,141 pemberantasan hama tanaman ramah lingkungan, penggunaan alat berburu yang tidak merusak lingkungan (sumpit, golok), berburu hanya diizinkan untuk binatang pengganggu pertanian (babi hutan), hasil kegiatan berburu dinikmati bersama dan dilarang menggunakan tuba dalam menangkap ikan di sungai.

4. Kelembagaan buyut dan pipeling merupakan visi dan orientasi tata kelola susmberdaya agraria yang mengintegrasikan produksi dan konservasi.

140Penentuan kegiatan mulai tanam atau taram, didasarkan atas pemantauan gejala alam mata poe

geus dengdek ngaler, lantaran jagad urang nggues mimiti tiis (Matahari sudah ada di sebelah utara, bumi kita sudah mulai dingin) merupakan waktu yang tepat untuk turun kujang dan membersihkan semak ladang bakal huma. Diolah dari sumber primer.

141 Menurut petani pergiliran tanaman merupakan cara untuk menghindari penyerapan unsur-unsur

hara tanah oleh tanaman tertentu dan salah satu cara memutus siklus kehidupan hama yang menyerang tanaman. Pergiliran tanaman padi dengan kacang-kacangan dimaksudkan untuk menambah kadar unsur nitrogen di dalam tanah. Sehingga pergiliran tanaman merupakan merupakan cara yang efektif untuk melakukan konservasi tanah dan mempertahankan sifat-sifat fisik tanah. Bandingkan dengan pandangan Forth tentang masalah ini. Henry Forth, D. 1984.

Karena itu pada tempatnyalah kelembagaan lokal tata kelola sumberdaya mendapat ruang dalam politik agraria sesuai dengan lokalitas dan ruang kulturalnya. Pengintegrasian produksi dan konservasi dalam praktik tata kelola sumberdaya didasarkan pengutamaan keberlanjutan daripada “keuntungan sesaat” dan adaptabilitasnya dengan dinamika sosial ekonomi di luar komunitasnya.

5.3. Dinamika Kelembagaan Agroforestry