• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAN KEGAGALAN POLITIK SUMBERDAYA AGRARIA

7.4. Kegagalan Politik Agraria

7.4.2. Predator Agraria

Pada uraian sebelumnya diuraikan bahwa penguasaan faktor produksi lahan dan non lahan (bahan, alat, modal dan keterampilan) oleh bukan petani menjadi faktor pengungkit penggusuran dan alienasi petani (depeasanitation process). Di antara kelompok elit desa yang diuntungkan oleh proses pembangunan adalah Kepala Desa dan aparatnya. Tampilnya Kepala Desa sebagai elit ekonomi dan politik, karena posisinya menjadi pemegang kekuasaan tertinggi dan pengendali pelaksanaan pembangunan di desa. Dengan posisi tersebut, Kepala Desa memungkinkan untuk meraih keuntungan politik dan ekonomi secara langsung maupun tidak langsung dari proses pembangunan ekonomi pedesaan.

Implikasi dari posisinya sebagai pemegang otoritas kekuasaan pemerintahan desa, maka Kepala Desa memiliki tugas dan tanggung jawab melindungi kekayaan dan kelembagaan sosial ekonomi di wilayahnya. Dalam konteks lokasi penelitian, tugas dan tanggung jawab pemegang otoritas kekuasaan pemerintahan desa antara lain adalah melindungi kelembagaan sosial seperti tanah kaguronan dan tanah kajaroan. Kedua bentuk penguasaan tanah itu merupakan keunikan kelembagaan penguasaan tanah di Desa Citaman.

Tanah kaguronan yang terdapat di Desa Citaman berasal dari hibah dan

wakaf masyarakat untuk mendukung kemajuan pendidikan keagamaan dan pondok pesantren, luasnya sekitar 6 hektar. Hibah dan wakaf tanah yang dilakukan masyarakat dilakukan secara lisan dan pengelolaannya diserahkan kepada kepala pengurus Pesantren,Pengurus Madrasah dan Masjid. Masyarakat

meng-hibah-kan dan me-wakaf-kan tanahnya didorong oleh niat mulia dan ikhlas karena Allah, sehingga jarang dilakukan secara tertulis.

Dewasa ini sebagian area tanah kaguronan yang terdapat di desa Citaman sampai sekarang merupakan lokasi Pondok Pesantren Subulus Salam dan tempat tinggal pengasuhnya. Sebagian lagi digarap oleh warga setempat yang memiliki hubungan kerabat dengan Kepala Desa Citaman dengan sistem bagi hasil. Pondok Pesantren Subulus Salam pada masa puncak kebesarannya merupakan Pondok Pesantren yang berpengaruh di Kecamatan Ciomas. Santri yang mondok di pesantren ini berasal dari berbagai daerah sekitar Kabupaten Serang. Pengaruh kebesaran Pesantren itu terlihat pada acara peringatan maulid Nabi pada tanggal 12 Maulid dan acara ritual pencucian golok raksasa (tercatat di Musium Record Indoensia (MURI).

Di tengah komersialsiasi sumberdaya agraria dan meluasnya penguasaan dan pemilikan tanah oleh orang kota, pelaksanaan hibah dan wakaf tanah secara lisan yang didorong oleh niat mulia dan ikhlas dapat disalahkan gunakan oleh “penguasa yang tidak amanah”. Ikrar hibah dan wakaf tanah yang tidak didukung bukti dan dokumen tertulis di tengah maraknya pragmatisme ekonomi ternyata menjadi peluang terjadinya penyalahgunaan, manipulasi dan rekayasa kepemilikan tanah untuk merauf kepentingan ekonomi pribadi. Kondisi inilah yang terjadi dalam kasus alih tangan dan penyalah-gunaan penguasaan tanah kaguronan yang terjadi di Desa Citaman.

Posisinya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di desa dan pelindung

tanah kaguronan, disalah-gunakan untuk kepentingan pribadi dengan bertindak sebagai predator tanah kaguronan. Tindakan yang dilakukan oleh Kepala Desa seperti pepatah, pagar makan tanaman. Kepala Desa yang seharusnya bertindak sebagai protektor tanah kaguronan, malah bertindak sebagai predator. Tindakannya sebagai predator tanah, dilakukan dengan menyalahgunakan otoritasnya dan merekayasa status hukum tanah kaguronan. Tanah kaguronan

yang sebelumnya merupakan aset publik/masyarakat di bidang pendidikan, kemudian direkayasa menjadi milik pribadi dengan cara mengagunkan tanah kaguronan ke bank untuk mendapat dana segar bagi pribadinya.

Proses rekayasa status hukum tanah kaguronan hanya mungkin dilakukan oleh orang yang memiliki akses dan kekuasan serta pemberi hibah tanah telah meninggal dunia. Setelah pemberi hibah meninggal dunia, maka subyek hukum

tanah kaguronan menurut hukum positif menjadi “mengambang”, meskipun secara substansial tidak berubah. Dalam kondisi ini, Kepala Desa sebagai pemegang otoritas tunggal dalam administrasi pertanahan, memiliki wewenang menentukan administrasi pertanahan, termasuk tanah yang ”statusnya mengambang”. Kewenangan dan peluang inilah yang dilakukan oleh Kepala Desa melalui rekayasa administrasi tanah wakaf, ketika pemberi wakafnya telah meninggal dunia. Tampilnya Aparat Desa sebagai predator agraria membenarkan

adigium bahwa kekuasaan cenderung korupsi.

Mencuatnya aparat desa sebagai predator agraria menunjukkan bahwa upaya mewujudkan politik agraria untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, terkendala oleh praktik dan perilaku aparat pemerintahan (tingkat desa dan di atasnya) yang memiliki semangat untuk memburu rente ekonomi. Aparat desa sebagai ujung tombak kelembagaan pemerintah paling bawah tidak lagi berfungsi sebagai pemecah masalah agraria di tingkat komunitas, tetapi menjadi bagian dari masalah keagrariaan. Perilaku aparat (pusat, daerah dan desa) yang tidak bersih akan mengalami kesulitan untuk mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih.197

Dalam konteks wilayah Desa Citaman, kesulitan untuk menyelenggarakan pemerintahan yang baik dan bersih, tercermin dari ketidakmampuan pemeritah desa melindungi tanah kaguronan. Tampilnya aparat desa sebagai predator agraria dan ketidakmampuan pemerintah tingkatan paling bawah menyelenggarakan pemerintahan yang baik dan bersih, menjauhkan upaya pembangunan ekonomi pedesaan dan komunitas sekitar hutan melalui reforma agraria yang dicanangkan pemerintah. Tampilnya aparat desa sebagai predator agraria, menunjukkan bahwa

197 Tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih adalah penyelenggaraan negara yang responsif

dan bertanggung jawab dan bersinergi dengan masyarakat sipil. Lihat Robert Archer, “Pasar dan Penyelenggaraan Negara yang Baik”, dalam Didik J. Rachbini (ed.), Negara dan Kemiskinan di Daerah (Jakarta: Sinar Harapan, 1995). UNDP mengidentifikasi 6 karakteristik good governance: (1) partisipatif; (2) transparan dan bertanggungjawab; (3) efektif dan berkeadilan; (4) supremasi hukum; (5) prioritas sosial, ekonomi, dan politik didasarkan konsensus dalam masyarakat; (6) proses pembuatan keputusan mendengarkan suara penduduk miskin dan rentan. UNDP,1997.

komoditifikasi sumberdaya agraria menjadi kendala mewujudkan reforma agraria dan penyelenggaraan politik sumberdaya agraria berkeadilan dan produktif, baik di aras lokal maupun supralokal.

Pada tingkatan di atas desa pecanangan reforma agraria terkendala oleh arus politik agraria yang berorientasi produksi dan transaksional semata-mata. Rembesan dari pengarus-utamaan politik agraria tersebut pada aras lokal adalah rendahnya produktivitas komoditas agroforestry, meluasnya komersialisasi tanah, tergerusnya kemandirian dan keswadayaan masyarakat desa. Aset dan faktor produksi pertanian (tanah) tidak terdistribusi secara adil dan semakin terhempas dari tangan petani wong cilik kemudian beralih tangan dan dinikmati oleh kelompok the strong baik di desa maupun di atas desa. Terhempasnya penguasaan faktor produksi, tanah dari tangan petani wong cilik, mengakibatkan program sektoral dan upaya peningkatan produktivitas pertanian bukan memberdayakan petani, tetapi memperdayanya. Kesadaran inilah yang mendorong petani untuk melakukan pendudukan tanah area Cagar Alam Rawa Danau.