• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAN KEGAGALAN POLITIK SUMBERDAYA AGRARIA

7.3. Proses dan Bentuk Peluruhan Kelembagaan Lokal

7.3.2. Penghancuran Modal Sosial

Modal sosial yang mengalami peluruhan yang berdampak luas terhadap kehidupan petani adalah liliuran. Bagi petani, liliuran merupakan institusi sosial yang berperan menjaga kohesivitas dan solidaritas, distribusi tenaga kerja dan “katup pengaman” ketahanan pangan komunitas petani. Untuk wilayah hulu DAS Cidanau, merujuk pada Polanyi, kelembagaan liliuran memiliki karakteristik sebagai embedded economy.180 Dari penggalian informasi di lapangan, peran strategis kelembagaan lokal itu kurang mendapat perhatian dari aparat sektoral.

179Lihat Laksono, “Tanpa Tanah, Budaya Nir Papan: Antropologi Antah Berantah” dalam Anu

Lounela dan R Yando Zakaria, 2002, Berebut Tanah: Beberapa Kajian Berperspektif Kampus dan Kampung. Yogyakarta: Insist-KARSA.

180 Lihat Karl Polanyi, “Perkembangan Ekonomi Pasar” dalam Hans Dieter Evers, 1998,

Teori Masyarakat: Proses Peradaban Dalam Sistem Dunia Moderen. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Aparat sektoral di tingkat lokal lebih tertarik mensosialisasikan kelembagaan bentukan pemerintah, seperti KUBE, Kelompok Tani, LUEP, LMDH dan Gapoktan untuk meningkatkan pemenuhan pangan dan kesejahteraan keluarga petani. Sementara warga yang sehari-harinya bergelut dengan aktivitas produksi pertanian yang bergabung dalam liliuran yang secara nyata memiliki kontribusi terhadap ketahanan pangan keluarga tidak diberdayakan.

Rendahnya kemauan politik agensi pembangunan meningkatkan kapasitas kelembagaan liliuran, berlangsung ketika wilayah Banten menjadi bagian dari provinsi Jawa Barat dan setelah Banten menjadi provinsi sendiri yang otonom. Hal ini menunjukkan otonomi daerah belum menghilangkan prejudis negatif dan subyektivitas aparat di tingkat lokal terhadap kelembagaan liliuran. Indikasinya adalah pembentukan kelembagaan baru yang menjadi substitusi dan menapikan kelembagaan komunitas. Dalam pelaksanaan pembangunan pedesaan, aparat lebih menaruh perhatian pada “kelembgaan konspirasi” daripada yang tumbuh kembang dari akar rumput.

Kondisi ini terjadi karena pelaksanaan otonomi daerah pada aras lokal, merupakan duplikasi sentralisasi dengan mengedepankan efisiensi dan peningkatan pendapatan asli daerah daripada demokratisasi dan memberdayakan kelembagaan komunitas. UU No. 22 tahun 1999 yang direvisi menjadi UU No. 32 tahun 2004, diakui menyediakan peluang dan ruang kepada masyarakat dan komunitas adat untuk membentuk pemerintahan desa sesuai dengan struktur sosial adatnya. Tetapi sejauh ini khususnya di tiga desa penelitian, otonomi daerah belum sepenuhnya mampu mereposisi kelembagaan lokal. Kultur dan perilaku politik masyarakat desa yang telah lama terkooptasi oleh birokrasi dan sistem politik elitis dan monolitik, perlu waktu untuk memberdayakan kelembagaan komunitas. Sementara UU No. 41 tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kehutanan cenderung ambigu, tidak memberikan rasa aman atas hak keperibumian dan hak atas daerah leluhurnya. UU No. 41/1999 tidak secara jelas mengakui kelembagaan komunitas adat/komunitas sekitar hutan, karena hutan adat diposisikan sebagai hutan negara yang berada di wilayah masyarakat adat.

Ketentuan ini merupakan mainstream yang diturunkan dari asas dan dasar negara kesatuan, negara sebagai organisasi yang berkuasa atas rakyatnya.181 Meskipun Undang-Undang No. 41 tahun 1999 lahir di era reformasi, tetapi dominasi negara atas kehutanan sangat kuat, negara sebagai pemegang kendali dapat mencabut status ”hukum adat”. Hak negara atas hutan adalah syah, sebaliknya klaim sejarah masyarakat adat terhadap hutan tidak syah. Negara mengakui hukum adat tetapi kedudukan hukumnya lemah dan tidak memberikan rasa aman (unscure tenure) bagi komunitas sekitar hutan, hak atas daerah leluhur dan kepribumiannya tidak diakui.182

Ini berbeda dengan pemangku otoritas hutan di Filipina dan Meksiko. Pemangku otoritas Filipina mengakui secara sah kedudukan, hak adat dan klaim atas kawasan nenek moyang (Ancestral Domain Claims). Hal serupa berlaku di Meksiko yang mengakui klaim atas masyarakat pribumi (Communidandes). Di Indonesia pengakuan terhadap kelembagaan hutan adat sekedar jargon politik, karena penyerobotan tanah/hutan rakyat terus berlangsung dengan tingkat eskalasi yang semakin luas. Sejauh ini pemberian izin HPH dan HTI tidak mempertimbangkan/menyertakan rekomendasi dari pemangku hutan adat dan komunitas sekitar hutan, meskipun mereka merupakan tangan pertama yang menerima dampak langsung kerusakan akibat beroperasi HPH dan HTI.

Pemerintah alih-alih mengakui dan memperkuat kelembagaan komunitas, yang terjadi sebaliknya, melakukan pembusukan secara sistematis.Merujuk pada analisis Peluso, produk hukum dan kebijakan kehutanan yang dikeluarkan pemerintah cenderung memperparah kemerosotan hutan dan semakin merunyamkan kemiskinan penduduk yang tinggal di pinggiran hutan.183 Kondisi inilah yang terjadi dan dialami kelembagaan buyut, pipeling dan liliuran di lokasi penelitian. Kebijakan tata kelola hutan dan program pembangunan kehutanan

181 Lihat Undang-Undang Kehutanan No.41 tahun 1999.

182 Lihat Kartodihardjo, “Devolusi dan Undang-Undang Kehutanan Baru Indonesia” dalam Ida Aju

Prandja Resosudarmo dan Carol J.P. Colfer, 2003, Kemana Harus Melangkah. Jakarta Yayasan Obor Indonesia.

183Lihat Nancy Lee Peluso, 2006.

Hutan Kaya, Rakyat Melarat: Penguasaan Sumber Daya dan Perlawanan Rakyat. Yogyakarta: Insist Press.

belum sepenuhnya berorientasi pada pemberdayaan komunitas, peningkatan kesejahteraan komunitas sekitar hutan.

Dampak dari kebijakan kehutanan demikian adalah semakin terbatasnya kesempatan kaum perempuan untuk mengais rejeki untuk mempertahankan ketahanan pangan rumah tangganya. Penetrasi ekonomi kapital terhadap masyarakat sekitar hutan, menimbulkan perubahan hubungan kerja agraria dari

patron-client ke tenaga kerja upahan, dari bapak angkat - anak angkat ke pemilik - buruh harian. Perubahan hubungan kerja agraria patron-client, mengakibatkan hilangnya perlindungan petani miskin dan buruh tani di sekitar hutan. Kebutuhan tenaga kerja, biaya produksi dan sarana produksi usaha tani (bibit) yang sebelumnya dapat dipenuhi secara resiprositas melalui liliuran, dewasa ini harus dibeli secara tunai dari luar desa. Dalam ungkapan seorang informan, kehancuran modal sosial ditandai dengan “tumbuhnya kecerdasan petani dari kepandaian berbagi, beralih ke kepandaian berkali” dari resiprositas dan rasionalitas sosial ke rasionalitas ekonomi dan utilitarian.

7.3.3. “Pembusukan” Etika Konservasi

Komunitas petani di hulu DAS Cidanau memiliki pemahaman yang mendalam terhadap tata kelola sumberdaya hutan berkelanjutan. Etika konservasi petani terkonstruksi atas pengalaman dan praktik tata kelola sumberdaya agraria yang diwariskan buyut/luluhur. Bentuknya tampak sederhana, namun di balik kesederhanaan terkandung pemahaman “luhur” tentang ekosistem, seraya berusaha keras untuk mempraktikkan kegiatan pertanian yang ramah lingkungan. Etika konservasi petani, antara lain dalam aktivitas tatanen yang disesuaikan dengan pergeseran bulan dan bintang184 dan pergantian musim (kidang), meliputi

kidang turun kujang, kidang rumensang, kidang muuhan dan kidang turun kungkang.185

“Bila Matahari bergeser ke Utara dan posisinya di sebelah Utara equator pertanda masuk kidang turun kujang (musim ngahuru - musim kemarau). Sebaliknya bila Matahari bergeser ke Selatan dan posisinya di sebelah Selatan equator berarti akan

184 Lihat, Rek Rozari, M Balantaram, 1994, “Perkiraan Musim Tradisional”.

Buletin Meterologi Pertanian Indonesia Vol. 11 No. 1 dan 2. Bogor: PP PERHIMPI.

185 Ance Gunarsih, 1986.

Pengaruh Klimatologi Terhadap Tanah dan Tanaman. Jakarta: Bina Aksara.

terjadi kidang muuhan (musim tanam). Bila Matahari berada di sekitar equator akan terjadi masa peralihan yakni kidang rumengsang dan kidang turun kungkang (masa kungkang menyerang padi dalam keadaan hamil muda)

Petani memahami siklus kidang “ajeug” dan dapat dijadikan petunjuk perencanaan dan pengaturan aktivitas tatanen seperti nyacar (membersihkan lahan bakal ladang), ngahuru (membakar hasil pembersihan lahan bakal ladang),

ngalabuh/ngasupan (masa tanam) dan musim kungkang (pemberantasan hama penyakit). Penyesuaian aktivitas pertanian dengan siklus kidang dipahami petani sebagai upaya memelihara keserasian dan keseimbangan hubungan antara manusia (mikro kosmos) dan alam jagad raya (makro kosmos). Petani memaknai pergantian kidang merupakan waktu yang tepat untuk pergiliran tanaman dan cara untuk memutus siklus kehidupan hama tanaman. Aktivitas pertanian berdasarkan kearifan lokal merupakan cara yang efektif untuk melakukan konservasi tanah dan mempertahankan sifat-sifat fisik tanah, karena dapat terhindar dari penyerapan unsur-unsur hara oleh tanaman tertentu.186

Praktik pertanian atas siklus kidang sering bertabrakan dengan program kerja intansi sektoral. Perbedaan kalender masa tanam sering berakibat distribusi bibit padi petani oleh aparat pertanian tidak sejalan dengan musim tanam. Petani menanam padi varietas lokal Ramanteun (beras merah), Mayang dan Melati pada bulan Oktober/ November, sementara distribusi bibit mengikuti pencairan anggaran. Perbedaan kalender masa tanam sering menjadi pemicu ketegangan petani dengan UPT pertanian. Dalam kaitan ini aparat UPT menyatakan:

“Aktivitas pertanian yang mengikuti kidang, sebagai pola tanam orang pasisian, ketinggalan, tidak ilmiah dan tidak perlu dipertahankan.” Pola tanam “petani” tidak sesuai dengan standar dan program dinas pertanian, yang mengakibatkan rendahnya produktivitas pertanian dan sulitnya mencapai target produksi untuk mewujudkan swasembada pangan baik lokal maupun regional.

Pernyataan tersebut menunjukkan ’kejengkelan” agensi pembangunan, menyaksikan pola pertanian komunitas berbasis kearifan lokal. Kejengkelan

186 Pergiliran tanaman dengan tanaman sejenis kacang-kacangan akan menambah kadar unsur

nitrogen di dalam tanah, karena tanaman kacang-kacangan mengandung rizobium pada bintil-bintil akar dapat menambah nitrogen di dalam tanah. Forth, Henry, D. 1984. Fundamental of Social Science. Michigan USA. John Willey and Son.

tersebut menimbulkan ketegangan petani dengan aparat sektoral. Ketegangan tidak perlu terjadi, bila agensi sektoral memiliki apresiasi terhadap praktik tatanen

berbasis tradisi. Bagi petani tanah tidak hanya sebatas tempat tumbuhnya tanaman tetapi juga terkandung nilai sosial budaya. Aktivitas pertanian mengikuti kidang, pergiliran tanaman dan pengolahan tanah dengan gilir balik” dimaksudkan supaya aktivitas pertanian “tidak menyakiti bumi”. Petani memaknai tujuan produksi usaha taninya “tidak dimaksudkan untuk mengejar keuntungan” melainkan untuk memenuhi konsumsi rumah tangga dan ketentraman hidup.

Pemaknaan atas cara dan pola tatanen yang berbeda dengan arus utama, bagi agensi menjadi kendala pencapaian target produksi dan swasembada pangan. Atas dasar itu pula sejak tahun 1980-an pemerintah, termasuk agensi pertanian di kawasan DAS Cidanau mensosialisasikan sistem pertanian intensif, penggunaan pupuk kimia dan masa tanam serempak. Tetapi sosialisasi pertanian intensif, bagi petani berarti meningkatnya biaya produksi tetapi tidak menjamin keamanan subsistensinya. Dalam hubungan ini informan menuturkannya sebagai berikut:

“Penyeragaman masa tanam bagi petani lahan kering tidak sejalan dengan siklus kidang. Masa tanam yang jatuh pada akhir periode Kidang Muuhan curah hujannya sedikit, akibatnya padi tidak tumbuh baik dan berdampak buruk pada hasil panen. Keharusan menanam varietas padi tertentu sering berakibat kegagalan panen dan terancamnya kehidupan subsistensi petani. Bagi petani lahan basah penyeragaman masa tanam dan keharusan menanam varietas padi tertentu menyebabkan berkurangnya waktu bera yang berimplikasi tambahan biaya produksi. Penyeragaman masa tanam sebagai bentuk pemaksaan untuk menanam tanaman sesuai kehendaknya.”

Berkaitan dengan penggunaan pupuk kimia, sejumlah petani menyatakan bahwa penggunaan pupuk kimia dan pestisida diakui dapat meningkatkan produksi pertanian dalam jangka pendek. Tetapi peningkatan produksinya tidak memberi jaminan peningkatan kesejahteraan. Dalam bahasa seorang petani:

Sanajan berakna ditambah hasilna mah teu sabaraha. Mun diberakan terus taneuh jadi cape” (Walaupun pupuknya ditambah, hasil panennya tidak banyak meningkat, penggunaan pupuk yang terus menerus menyebabkan kejenuhan pada tanah). Akibatnya “kiwari mah melak dangdeur oge kudu diberak” (akibat kejenuhan tanah menanam ubi kayu harus dipupuk).”

Pernyatan itu menunjukkan dua hal. Pertama pengetahuan petani tentang aktivitas pertanian yang “tidak menyakiti bumi” merupakan bagian praktik

berorientasi produksi secara terpusat menyebabkan terbatasnya program alternatif bagi aparat sektoral di tingkat lokal dan luruhnya pengetahuan dan praktek pertanian berbasis kearifan lokal. Kedua pencapaian target produksi melalui mekanisasi, intensifikasi pertanian dan penggunaan pupuk kimia dan pestisida secara berlebihan mengakibatkan pencemaran lingkungan. Penggunaan pupuk kimiawi telah menimbulkan pertumbuhan fitoplankton dalam jumlah berlebihan di area konservasi Cagar Alam Rawa Danau. Pembusukan etika konservasi harus dibayar dengan semakin meningkatnya tambahan biaya produksi dan sekaligus menimbulkan pencemaran lingkungan. Dalam ungkapan seorang petani: “penyemprotan hama dengan menggunakan pestisida, hama tanaman tidak berkurang, sebaliknya terjadi ledakan hama karena terjadi resistensi terhadap pestisida dan pencemaran tanah dan air.”