• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4.5. Transisi Elit

Struktur sosial desa penelitian dibangun atas tiga pilar: yakni kiai, jawara, dan Pamong Desa. Dari tiga pilar tersebut, kedudukan kiai dan jawara cenderung semakin melemah, sebaliknya peran pamong desa dan kelompok pegawai negeri semakin kuat. Di wilayah pedesaan, kedudukan kiai sebagai elit lokal, berperan sebagai pemimpin ritual keagamaan, pendidik santri dan pembimbing moral umat. Di

114Scott memandang resiprositas sebagai bagian dari “etika subsistensi”, karena adanya kekhawatiran

kekurangan pangan dan sebagai konsekuensi dari kehidupan yang berada atau dekat dengan garis batas kemiskinan. Resiprositas berperan untuk mengatasi kesulitan ekonomi yang tak terelakkan yang diderita oleh warga petani. Lihat James, Scott, 1989. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. Jakarta, LP3ES.

115Modal sosial pada komunitas di lokasi penelitian tidak terbatas pada modal sosial yang bersifat

integrasi atau bonding tetapi juga modal sosial yang dikategorikan bridging social capital. Lihat Woolcock, M and Narayan, D. (2000). Social Capital: Implications for Developments Theory, Research, and Policy. The World Bank Research Observer, vol. 15, no. 2 (August, 2000). Beugelsdijk S, Smulders, S, 2003. Bridging and Bonding Social Capital: Which Type is Good for Economic Growth?. Faculty of Economics. Tilburg University. s.beugelsdijk@uvt.nl and j.a.smulders@uvt.nl.

luar peran tradisionalnya sejumlah kiai, tertarik dengan dinamika politik lokal dan lingkungan, seperti Ustaz Bachrani dalam pengorganisasian petani hutan.116

Keterlibatan kiai dalam dinamika politik lokal dilakukan melalui pemanfaatan forum keagamaan (pengajian rutin, manakiban dan ajang sosial) dengan menyampaikan ”wejangan agama” yang disisipi muatan politik. Pentingnya menjaga kekompakkan dan keutuhan kerabat, disisipi pesan memilih partai dan orang tertentu sebagai kemaslahatan; dan kemudaratan (keburukan) tidak memilih orang/partai tertentu. Dalam kapasitasnya sebagai publik figur dan pemuka pendapat, penyampaian pesan agama yang diberi makna tertentu (muatan politik) terlihat berdampak positif terhadap perolehan suara calon kepala desa yang dijagokannya dan terbukti efektif membentuk dan menggiring opini masyarakat sesuai dengan kepentingan politiknya.117

Keterlibatan Kiai Muhaimin Saleh dalam politik praktis bukan hanya dalam panggung politik lokal (pemilihan Kepala Desa Citaman), tetapi juga berkiprah dalam partai Golkar sejak tahun 1996 (masa Partai Golkar dipimpin oleh Harmoko), yakni sebagai pengurus Satkar Ulama Golkar Kecamatan Ciomas, Kabupaten Serang. Tak berlebihan bila sebagian masyarakat menyebutnya sebagai kiai Golkar.

Pilar kedua dalam struktur sosial masyarakat di lokasi penelitian adalah

jawara.118 Dalam wilayah Ciomas dan Padarincang, jawara memiliki tempat dan peran dalam masyarakat dan merupakan ciri khas dari struktur sosial di Kabupaten Serang dan wilayah Banten pada umumnya. Peran sosial yang menonjol dari jawara

khususnya dalam keterampilan bela diri dan penguasaan ilmu kekebalan. Dalam masyarakat, khususnya di wilayah Kecamatan Ciomas dan Padarincang, jawara

dibedakan atas dibedakan atas jawara ngora dan jawara kolot. Jawara ngora

mengandalkan kemampuan otot, tindakan dan keputusannya sering tidak

116Kepedulian terhadap lingkungan terlihat dari sikapnya yang kritis dalam menyikapi penyusutan

debit air Rawa Danau. Tokoh masyarakat meyakini penebangan kayu di kawasan hutan Pangarang tidak dilakukan oleh penduduk setempat, kalaupun ada yang terlibat, mereka hanya diperalat oleh ”orang luar” yang tidak bertanggung jawab. Diolah dari sumber primer.

117Keterlibatan kiai dalam politik praktis mampu mendongkrak perolehan suara calon kades dan

menang mutlak dalam pemilihan Kades Citaman tahun 2007. Diolah dari sumber primer.

118Istilah Jawara memiliki dua pengertian: (1) Akronim dari jago,wani dan rahul. Jago menunjuk

pada seorang yang bertubuh kekar dan kuat, wani berartiberani bertarung dan rahul berarti banyak omong kosong/berbohong. (2)Akronim dari jujur dan wara. Jujur berarti mengatakan apa adanya, yang benar dikatakan benar dan yang salah dikatakan salah dan wara berarti hati-hati memilih pendapatan untuk menafkahi keluarga. Diolah dari sumber primer

mempertimbangkan akal sehat. Jawara ngora sering diidentikkan dengan akronim

jago, wani dan rahul. Jawara kolot diakronimkan dengan jujur dan wara. Jawara kolot merujuk pada sikap, tindakan dan pertimbangan matang dan pengalaman. 119

Secara sosiologis, jawara tidak bersifat homogen, melainkan bersifat hirarkis dan heterogen, ada pemilahan atas senioritas dan junioritas. Kategori ini didasarkan atas penguasaan ilmu kanuragan (ilmu yang berkaitan dengan teknik-teknik menjaga kekebalan tubuh) dan jangkauan pengaruh kekuasaannya. Merujuk pada pendapat Hobsbawm (dalam Kartodirdjo, 1984) secara sosiologis jawara hampir menyerupai bandit sosial, yakni seseorang yang terpaksa melakukan tindakan kriminal tetapi hasilnya tidak dinikmati sendiri melainkan sebagian dibagikan kepada orang-orang miskin. Karenanya jawara seperti bandit sosial, disanjung dan dipuja sebagai “pahlawan sosial”, sekaligus dibenci/dicaci maki di luar komunitasnya, karena sering melakukan tindakan kriminalnya yang merugikan.

Lapis ketiga yang menonjol dalam bangunan struktur masyarakat di lokasi penelitian adalah pamong desa dan pegawai negeri. Dalam struktur sosial pedesaan, pamong desa berada di puncak piramida, karena posisinya sebagai pengendali, pelaksana dan pemegang kekuasaan tertinggi di wilayahnya.120 Meskipun nominal gaji Kepala Desa lebih kecil dari gaji pegawai negeri, tetapi dengan terlibat dalam berbagai proyek pembangunan pedesaan mendapatkan keuntungan ekonomi secara langsung maupun tidak langsung. Keuntungan langsung yang diterima Kepala Desa adalah ”uang kadeudeuh”, komisi sekitar 5% dari nilai transaksi jual beli tanah dan biaya administrasi pemungutan PBB (Pajak Bumi dan Bangunan).

Keuntungan yang tidak langsung berasal dari proses administrasi pendataan warga yang berhak menerima BLT, Jamkesmas, SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu), kompor gas, raskin dan “proyek” pembangunan ekonomi pedesaan. Dari keuntungan langsung dan tidak langsung (pendapatan resmi dan tidak resmi), bila

119 Sebutan itu menggambarkan proses evolusi linier kehidupan seorang

jawara. Perilaku baragajul,

kumaha kula merupakan titik awal dan puncak dari perjalanan hidup jawara ngora. Sejalan dengan bertambahnya usia, pahit manisnya kehidupan kemudian berangsur mengalami transformasi menjadi

handap asor (rendah hati). Diolah dari sumber primer.

120 Kedudukan Kepala Desa sebagai kepala pemerintahan tertinggi di desa memungkinkannya untuk

mendapat peluang ekonomi langsung maupun tidak langsung, dengan terlibat dalam berbagai proyek pembangunan ekonomi dan infrastruktur pedesaan. Mantan Kepala Desa menuturkan, dari pengalaman sebagai Kepala Desa ia dapat mengembalikan jumlah dana yang dikeluarkan dalam pemilihan Kepala Desa, berinvestasi di sektor pertanian termasuk membeli sebidang tanah. Diolah dari sumber primer.

diakumulasi nilainya cukup besar hampir setara dengan sekitar 1 ha tanah sawah (Citasuk) dan tanah kebun di Cibojong dan Citaman.

Kelompok sosial lain yang diuntungkan oleh pembangunan adalah pegawai negeri, karena memiliki pendapatan yang relatif tetap dan terhindar dari goncangan ekonomi dan musim paceklik.121 Pendapatan yang diterimanya memungkinkan berinvestasi dalam sektor pertaniaan. Pegawai negeri, pamong desa, pekerja sektor formal dan pedagang merupakan kelompok di luar petani yang berperan sebagai elit ekonomi lokal dan pemilik tanah luas di desa.

Munculnya pemilik lahan yang bukan petani, menggambarkan terjadinya transformasi penguasaan tanah dan elit pedesaan dari elit tradisonal dan informal ke tangan elit pemerintah desa/elit formal. Di wilayah penelitian transformasi elit lokal dihela modernisasi pedesaan dan pemberlakuan UU No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Struktur kepemimpinan pedesaan yang sebelumnya berada di tangan elit keagamaan dan kokolot, bergeser ke kepemimpinan formal seperti pamong desa. Tampilnya Kepala Desa sebagai elit lokal, disebabkan perannya sebagai pengendali tunggal pembangunan pedesaan dan kebijakan floating mass

yang mengasingkan massa dari pemimpin politik yang berakibat melemahnya kepemimpinan informal dan kharismatik di wilayah pedesaan. Arah pembangunan yang lebih mengutamakan aspek material mengakibatkan pemimpin informal, kehilangan aura dan pengaruhnya di masyarakat. Sementara itu modernisasi dan pendirian SD Inpres, berdampak pada penurunan anak-anak desa menimba ilmu di pesantren yang berakibat terputusnya kaderisasi kepemimpinan informal

4.6. Kelembagaan Lokal

Sebelum terbentuknya pemerintahan desa, di Desa Citaman terdapat kelembagaan kajaroan, pimpinannya disebut jaro yang berperan sebagai pengelola pemerintahan desa dan memiliki hak penguasaan tanah kajaroan (istilah lokal untuk tanah jabatan).Kajaroan merupakan kelembagaan lokal dan berperan sebagai pemerintahan “adat”. Di wilayah kesultanan Banten juga terdapat kelembagaan hak

121Musim paceklik adalah masa sulit untuk memenuhi kebutuhan pangan karena gagal panen.

Pegawai negeri pada umumnya terhindar dari musim paceklik, bahkan sebagian pegawai negeri dari tabungannya dapat membeli tanah. Diolah dari sumber primer.

penguasaan tanah, yakni sawah negara, sawah ganjaran/ pusaka laden atau

pecaton, tanah kawargaan, tanah kanayakan, tanah pangawulaa dan tanah yasa. Pemegang tanah kawargaan dan tanah kanayakan berhak atas bagi hasil panen dan tenaga kerja (cacah) untuk membuka tanah baru atau untuk melakukan pelbagai macam kerja bakti. Sawah ganjaran/pusaka laden atau pecaton merupakan hak penguasaan tanah yang dimiliki anggota kerabat Sultan dan berasal dari pemberian Sultan. Status ganjaran/pusaka laden adalah hak milik dan dapat diwariskan secara turun temurun tetapi tidak dapat dipindah-tangankan kepada pihak lain. Di wilayah kesultanan Banten juga terdapat berbagai praktik, tradisi dan ritual berkaitan dengan proses rangkaian tata kelola sumberdaya agraria seperti mipit,

ngirab sawan, ngaseuk,nganyaran, ngalaksa (selamatan).

Lembaga kajaroan merupakan sarana mobilisasi ekonomi, tenaga kerja dan perpanjangan tangan Sultan di wilayah pedesaan dan sekaligus menjadi tulang punggung stabilitas politik. Kajaroan bertugas menentukan tata cara dan haluan pemerintahan, menyelenggarakan musyawarah bersama kokolot untuk menentukan pelaksanaan kegiatan pertanian. Dalam kehidupan sosial, kajaroan berperan sebagai “pengetua adat”, perekat dan pengikat tata hubungan antar anggota masyarakat dan kesultanan. Dalam tata kelola sumberdaya agraria, kajaroan

memiliki kewenangan administratif dan bertanggungjawab menyelesaikan persoalan tanah. Kajaroan bertindak sebagai penghubung antara kajaroan dengan “abdi dalem” (diangkat dan diberi tugas oleh Sultan untuk memungut upeti dan pajak dari petani serta cukai perdagangan dari pedagang). Sebagai imbalannya, Sultan memberikan tanah pangawulaan kepada abdi dalem.

Setelah kesultanan Banten jatuh ke tangan kolonial Belanda, beban kajaroan

semakin berat karena harus memobilisasi tenaga kerja dan memungut pajak hasil bumi.122 Tekanan pemerintah kolonial Belanda yang semakin berat juga mendorong para demang melakukan pemerasan dan bertindak sewenang-wenang123 yang

122 Akibat beban kerja yang berat para bujang lari dari tuannya. Ulasan penderitaan rakyat di wilayah

kesultanan Banten, lihat C. Fasseur, 1987. “Tentang Lebak” dalam Ibrahim Alfian, Koesoemanto, H.J., Hardjowidjono dan Djoko Suryo: Dari Babad dan Hikayat Sampai Sejarah Kritis. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

123 Seperti perampasan kerbau milik ayah Saijah yang dilakukan oleh demang Parangkujang (kerabat

Bupati Lebak Raden Adipati Karta Negara). Lihat H.B. Jassin/G Termorshuizen, 1985. Max Havelaar atau Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda.

memicu timbulnya keresahan sosial dan pemberontakan petani di Banten serta meluasnya keresahan sosial di pelbagai wilayah lain di Indonesia. Keresahan sosial itu dipicu oleh kebijakan pemerintah kolonial Belanda, mengeluarkan sejumlah peraturan (reglement) tentang kehutanan yang membatasi hak, akses masyarakat terhadap hutan. 124 Pembatasan akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan terus berlanjut sampai runtuhnya kolonial Belanda dan Bala Tentara Dai Nippon125.

Secara de facto sejak proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia menjadi negara merdeka. Tetapi politik agraria kolonial Belanda menjiwai politik agraria nasional, karena pemerintah melegitimasi peraturan perundangan Kolonial Belanda yang bersifat kapitalis dan eksploitatif. Legitimasi hukum kolonial dalam sistem hukum agraria nasional, memberikan ruang gerak yang bebas bagi negara dan pemilik modal untuk menguasai dan mengeksploitasi sumberdaya agraria, yang ternyata berdampak negatif terhadap dinamika kelembagaan komunitas. Gambarannya dapat disimak pada bab selanjutnya.

124 Untuk memperkuat landasan hukum eksploitasi hutan, pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan

sejumlah reglemen. Reglemen 1874, cakupannya menembus ke wilayah kesultanan (Vorstenlanden);

Reglemen 1879 mengatur kepemilikan negara atas hutan dan penggolongan hutan atas hutan tetap dan tidak tetap; Reglemen 1879 memperkuat genggaman Belanda terhadap penguasaan hutan di Hindia Belanda; Reglemen 1913 mengatur pengamanan hutan dan ancaman sanksi pidana bagi yang melanggar; Ordonansi 1927 mengatur pemberian sanksi pidana bagi pelanggar dan perusak hutan dan

Kebijakan Tata Guna Hutan Kesepakatan pada tahun 1935. Berbagai reglemen tersebut mengakibatkan semakin terbatasnya akses dan termarginalkannya kehidupan masyarakat sekitar hutan. Lihat Salim, 2004, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan. Jakarta: Sinar Grafika.

125 Bala Tentara Jepang mengeluarkan Undang-Undang No. 1 tahun 1942 yang berisi penegasan

berlakunya peraturan-peraturan dari pemerintahan masa penjajahan Belanda dan Ordonansi Hutan 1927. UU tersebut ditujukan untuk memobilisasi penduduk Indonesia melawan sekutu dan meneruskan eksploitasi sumberdaya hutan di Indonesia. Salim, 2004, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan. Jakarta: Sinar Grafika.

BAB V

DINAMIKA TATA KELOLA SUMBERDAYA AGRARIA BERBASIS