• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAN KEGAGALAN POLITIK SUMBERDAYA AGRARIA

7.2.1. Latar Belakang Sejarah Peluruhan Kelembagaan Lokal

Perjalanan sejarah petani di Indonesia diwarnai oleh dominasi kekuasaan supra lokal yang bentuknya berbeda-beda dari waktu ke waktu, tergantung kepentingan politik dan ekonomi rezim yang berkuasa. Pada zaman kerajaan, komunitas petani di DAS Cidanau bekerja, berproduksi dan mengabdi kepada kesultanan Banten. Dalam menjalankan pemerintahannya dan untuk mengontrol wilayah pedesaan. Kesultanan Banten memberlakukan sistem appanage dengan cara memberi kekuasaan kepada priyayi/abdi dalam untuk mengabdi dan memanfaatkan tenaga kerja penduduk/cacah yang dikuasainya. Sistem appanage

yang dilakukan kesultanan Banten terlihat dari adanya berbagai kelembagaan penguasaan tanah, seperti sawah negara, sawah ganjaran atau pusaka laden, tanah kawargaan, tanah kanayakan dan tanah pangawulaan. Berbagai bentuk penguasaan tanah itu merupakan sumber finansial dan stabilitas politik kerajaan sekaligus sarana pengawasan kerajaan terhadap wilayah pedesaan. Melalui sistem

appanage Sultan Banten dapat mengganti pemegang appanage, bila abdi dalem

yang diberi hak kuasa dan ditunjuk Sultan, dipandang menimbulkan ketegangan sosial atau mengkonsolidasikan diri menentang kekuasaan Kesultanan Banten.

Selain sistem appanage, di pedesaan wilayah Kesultanan Banten, terdapat kelembagaan kejaroan. Pada masa kerajaan kelembagaan lokal ini berperan sebagai sarana mobilisasi sumberdaya manusia dan sumber ekonomi serta tulang punggung stabilitas politik kesultanan di wilayah pedesaan. Di wilayah kekuasaannya, kajaroan bertugas menentukan tata cara dan haluan pemerintahan menurut norma keguyuban dalam upaya memelihara keharmonisan, menyelenggarakan musyawarah bersama kokolot untuk menentukan langkah- langkah pelaksanaan kegiatan pertanian dan mengedukasi masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Di wilayah kesultanan Banten kajaroan

berfungsi sebagai “kelembagaan lokal/adat” yang berperan sebagai perekat dan pengikat tata hubungan antar anggota masyarakat dan pemerintahan.

Dalam tata kelola sumberdaya, kajaroan memiliki kewenangan administratif dan bertanggungjawab menyelesaikan persoalan tanah. Pemimpin

dalam diangkat dan diberi tugas oleh Sultan untuk memungut upeti, pajak dan cukai dari petani dan pedagang. Sebagai imbalannya, Sultan memberikan tanah pangawulaan, yakni tanah kerajaan yang diberikan kepada warga berstatus “penggarap”, berhak atas bujang dan berkewajiban menanggung beban atas tanah (membayar upeti secara berkelanjutan). 171

Setelah kesultanan Banten runtuh digantikan oleh Pemerintah Kolonial Belanda, sistem appanage digantikan Sistem Tanam Paksa yang mengharuskan petani menanam tanaman komersial dan mengikuti kerja wajib. Dalam melaksanakan Sistem Tanam Paksa, Pemerintah Kolonial Belanda menggunakan sistem pemerintahan indirect rule (pemerintahan tidak langsung). Dalam arti Pemerintah tidak menghapus pemerintahan tradisional atau membentuk kelembagaan baru, melainkan memanfaatkan struktur kekuasaan tradisional. Aparat Kolonial Belanda tidak langsung berhubungan dan berurusan dengan rakyat, melainkan melalui aparat pemerintahan tradisional. Dengan pemberlakukan sistem pemerintahan indirect rule, pemerintah kolonial Belanda dapat mendayagunakan penguasa lokal, tanpa terlibat dan berhadapan secara langsung dengan rakyat jajahan.

Pemberlakuan pemerintahan indirect rule di wilayah kesultanan Banten, di satu sisi meringankan beban Pemerintah Kolonial Belanda, tetapi lain halnya bagi masyarakat pedesaan, memberatkan dan menimbulkan penderitaan, karena rakyat harus membayar upeti yang lebih besar. Besarnya tekanan Pemerintah Kolonial Belanda terhadap masyarakat pedesaan ditunjukkan oleh tiga hal: (1) adanya kebijakan diskriminatif yang dikeluarkan oleh Residen Banten tahun 1896 yang berisi larangan kegiatan huma di wilayah Serang Selatan; (2) tindakan sewenang- wenang dan kekerasan yang dilakukan oleh para demang seperti pencurian dan pemerasan terhadap hak milik rakyat; (3)banyaknya para bujang yang melarikan diri sikep.

Beban penderitaan rakyat yang diakibatkan eksploitasi sumberdaya manusia dan sumberdaya alam di wilayah kesultanan Banten dikemukakan secara menarik oleh Douwes Dekker, penulis kebangsaan Belanda yang pernah bertugas di wilayah Lebak dalam bukunya yang terkenal Max Havelar. Douwes Dekker

171 Lihat Sartono Kartodirdjo, 1984.

menyatakan tiga puluh juta rakyat disiksa, diisap dan dirampas harta kekayaan dan ternaknya seperti perampasan kerbau milik ayah Saijah yang dilakukan oleh Demang Parangkujang (kerabat bupati Lebak Raden Adipati Kartanegara).172 Akibat kesewenang-wenangannya, Demang Parangkujang dipecat, tetapi penderitaan petani yang disebabkan eksploitasi “penguasa lokal” tidak surut. Sebaliknya mengakibatkan bertambah luasnya keresahan sosial dan meletusnya pemberontakan petani tahun 1888 di wilayah Banten. Penghisapan rakyat oleh kolonial juga menimbulkan keresahan dan meluasnya pemberontakan di penghujung abad ke XIX di pelbagai wilayah di Jawa dan luar Jawa 173

Meluasnya keresahan sosial di wilayah pedesaan disebabkan politik kolonial Belanda yang eksploitatif dan liberal, dengan memberi kesempatan yang terbuka kepada pemilik modal asing untuk menguasai sumberdaya agraria di Hindia Belanda. Untuk mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia, pemerintah kolonial mengeluarkan sejumlah reglemen kolonial yang merugikan hak dan akses masyarakat pedesaan dan sekitar hutan antara lain: Reglemen 1865 (tentang Pemangkuan Hutan dan Eksploitasi Hutan, Agrarische Wet 1870, Reglemen 1874

dan Reglemen 1879. Agrarische Wet tahun 1870 merupakan landasan peraturan agraria kolonial untuk melakukan komersialisasi dan eksploitasi sumberdaya agraria di Hindia Belanda. Agrarische Wet tahun 1870 bersifat dualistis dan diskriminatif, karena merubah dan menggusur kepemilikan dan penguasaan tanah masyarakat dan hukum adat serta hak adat atas tanah. Tanah yang sebelumnya bernilai sosial dan kepemilikannya secara komunal, dirubah secara radikal menjadi komoditi dan hak milik individual. Bahkan tanah yang diberakan dengan maksud untuk memulihkan kesuburan tanah lebih dari tiga tahun, dapat beralih status menjadi hak Pemerintah Kolonial Belanda.

Dalam bidang kehutanan, untuk memperkuat landasan hukum eksploitasi sumberdaya hutan, Pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan sejumlah

reglemen, antara lain: (1) Reglemen 1874, mengatur penguasaan tanah kesultanan

172 Lihat H.B. Jassin/G Termorshuizen, 1985.

Max Havelaar atau Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda.

173 Kasus keresahan Sosial yang disebabkan penetrasi kolonial di luar Jawa antara lain ditulis oleh

B.J.O. Schrieke, 1973. Pergolakan Agama di Sumatera Barat, Sebuah Sumbangan Bibliografi. Jakarta: Bhratara.

(vorstenlanden), (2) Reglemen 1879, mengatur kepemilikan negara atas hutan dan penggolongan hutan atas hutan tetap dan tidak tetap, (3) Reglemen 1913,

mengatur pengamanan hutan dan ancaman sanksi pidana bagi yang melanggar, (4)

Ordonansi 1927, mengatur pemberian sanksi pidana bagi pelanggar dan perusak hutan. 174

Berbagai reglemen tersebut berdampak luas terhadap kehidupan masyarakat sekitar hutan, sumberdaya hutan dieksploitasi sementara akses masyarakat sekitarnya dibatasi dan dimarginalkan. Penggerusan kelembagaan komunitas oleh pihak kolonial semakin parah dengan keluarnya Kebijakan Tata Guna Hutan Kesepakatan pada tahun 1935, yang secara nyata dan efektif memarginalkan komunitas di pinggiran hutan. Bagi masyarakat, kebijakan ini telah merubah kedudukan tanah dari “ibu pertiwi” menjadi komoditi dan tergerusnya sumberdaya ekonomi komunitas sekitar hutan.

Marginalisasi kelembagaan masyarakat terus berlanjut setelah runtuhnya pemerintahan kolonial Belanda digantikan oleh Bala Tentara Dai Nippon.Politik kolonial Bala Tentara Jepang, diarahkan untuk mobilisasi penduduk Indonesia melawan sekutu dan meneruskan eksploitasi sumberdaya agraria yang telah dilakukan oleh Belanda. Eksploitasi sumberdaya agraria yang dilakukan Bala Tentara Jepang, ditunjukkan dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 1 tahun 1942 yang berisi penegasan berlakunya peraturan-peraturan dari Pemerintah Kolonial Belanda dan Ordonansi Hutan 1927.175

Pada permulaan kemerdekaan di bawah pemerintahan Presiden Soekarno, kontrol negara terhadap masyarakat petani relatif lemah. Konflik politik antar elit di tingkat nasional dan pergantian kabinet “seumur jagung” menyebabkan pemerintah kurang memiliki kesempatan untuk menata perekonomian di wilayah pedesaan. Menjelang pemilu 1955 partai politik besar PNI, Masyumi dan PKI menerobos masuk mencari pengaruh dan dukungan politik ke wilayah pedesaan. Pemilu 1955 menghasilkan empat partai politik: PNI, Masyumi, NU dan PKI yang menggambarkan polarisasi politik masyarakat desa. Di tengah terjadinya polarisasi politik tahun 1960, pemerintahan Soekarno mencanangkan reformasi

174 Lihat Salim, 2004, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan. Jakarta: Sinar Grafika. 175 Lihat Salim, 2004,

agraria dengan memberlakukan UU Pokok Agraria No. 5 tahun 1960. Sengitnya pertarungan antar partai politik menyebabkan reforma agraria yang dikelola oleh aparat di tingkat lokal menjadi ajang konflik, sehingga reforma agraria tidak berjalan lancar. Kendalanya berasal dari pemilik lahan luas dan minimnya dukungan kelompok berkuasa dalam tubuh PNI yang merupakan lawan politik dari partai pro reforma agraria yaitu PKI. Pada tingkat lokal hambatan reforma agraria, diselesaikan dengan aksi sepihak dan mobilisasi massa yang berujung pada pemberontakan PKI September 1965. Jatuhnya pemerintahan Soekarno menunjukkan bahwa reforma agraria sebagai “gerakan revolusi yang belum selesai” itu gagal mengakhiri dominasi kapitalisme.