• Tidak ada hasil yang ditemukan

6.1. Pendahuluan

Kontestasi penguasaan sumberdaya agraria dan sumberdaya manusia di wilayah pedesaan berlangsung pada aras makro/nasional dan mikro di masyarakat. Pada aras makro kontestasi berlangsung antar berbagai kekuatan politik dan ekonomi melalui perumusan sejumlah peraturan perundang-undangan. Di aras mikro/masyarakat, kontestasi sektoral, muncul dalam pelaksanaan program sektoral melalui proyek yang bersifat top down yang disertai pembentukan kelembagaan yang menegasikan kelembagaan masyarakat.

Sehingga kontestasi sektoral mengakibatkan kapitalisasi sumberdaya pedesaan dan mengabikan pemberdayaan masyarakat secara partisipatif. Kontestasi sektoral juga semakin menjauhkan upaya peningkatan taraf hidup dan kemandirian masyarakat pedesaan dan mendorong meluasnya konflik agraria di wilayah pedesaan. Kontestasi sektoral dipicu oleh tumpang tindihnya regulasi dan lemahnya sinergi dan koordinasi masing-masing sektor dalam perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan monitoring. Gambaran kontestasi sektoral di lokasi penelitian dapat disimak pada uraian berikut.

6.2. Kontestasi Sektoral

Dari penggalian informasi di lapangan, diketahui bahwa kontestasi sektoral penguasaan sumberdaya agraria terkait erat dengan tumpang tindihnya peraturan penundang-undangan sektoral, menguatnya ego sektoral dan kurangnya pemahaman pemangku kepentingan atas sifat dan fungsi sumberdaya sebagai sistem daya dukung kehidupan atau modal alam. Pemangku kepentingan atau aktor yang terlibat dalam kontestasi sektoral, menempatkan sumberdaya agraria semata-mata sebagai komoditi ekonomi dan mengabaikan fungsinya sebagai daya dukung kehidupan atau modal alam. Sebab sumberdaya sebagai daya dukung kehidupan, jika dikelola dan dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi semata-

mata akan berakibat terganggunya dan rusaknya keseimbangan keseluruhan ekosistem sumberdaya hutan dan kawasan DAS.

Kurangnya pemahaman memilah dan memilih fungsi sumberdaya alam sebagai stock, barang publik dan sebagai komoditi, mengakibatkan pengelolaan dan penguasaan sumberdaya tidak memperhatikan karakteristik sifat dan fungsi sumberdaya. Pelaksanaan tata kelola sumberdaya lebih didasarkan pertimbangan teknis, kepentingan ekonomi, administrasi politik pemerintahan dan wilayah kekuasaan/administratif daripada perbaikan kesejahteraan rakyat. Padahal karakteristik sumberaya seperti bentang DAS tidak bisa dibagi-bagikan berdasarkan unit administratif pemerintahan.

Kekurang-pahaman atas karakteristik sumberdaya dan besarnya kepentingan politik dan ekonomi sektoral, menyebabkan sejumlah peraturan perundang-undangan menimbulkan konflik jurisdiksi. Beberapa peraturan perundang-undangan yang menimbulkan konflik sektoral antara lain: UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang No. 31 tentang Perikanan dan UU UU No. 22/2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi, Undang-Undang No. UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah. Konflik sektoral keempat UU tersebut disajikan dalam gambar berikut:

Gambar 3 Kontestasi Sektoral

Dari gambar 3 diketahui bahwa kontestasi sektoral antara kehutanan dengan perikanan berkaitan dengan status dan pengelolaan hutan mangrove. Hutan mangrove secara de facto berada di wilayah pesisir yang merupakan wilayah kewenangan Kementerian Kelautan dan Perikanan, tetapi de jure

pengelolaan hutan mangrove merupakan kewenangan Kementerian Kehutanan. Masalah Konservasi

Hutan mangrove

UU No. 31/2003 Tentang Perikanan

Masalah Kewenangan Wilayah Operasi Nelayan NNnelayan

Masalah Pertambangan di

Hutan Lindung Kontestasi

Sektoral dan Tumpang Tindih Kepentingan UU No 32/2004Tentang Otonomi Daerah UU No.41 Tentang Kehutanan UU No. 22/2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi

Akibat tumpang tindihnya regulasi dan kewenangan, sebagian besar hutan mangrove tidak terawat, kritis dan tidak bisa menahan enterupsi air laut.

Kontestasi sektoral juga terjadi antara UU No. 41/1999 tentang Kehutanan dengan UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah, berkaitan dengan ijin pengelolaan dan pengusahaan hutan yang mengakibatkan tarik menarik kepentingan antara Kementerian Kehutanan dengan Pemerintah Daerah. Tarik menarik kepentingan antara Pemerintah Daerah dengan Kementerian Kehutanan menyebabkan deforestasi dan illegal logging sulit dikendalikan dan rusaknya kawasan hulu DAS. Lemahnya penegakkan hukum terhadap pelaku illegal logging merupakan sisi lain dampak dari kontestasi sektoral.

Lemahnya sinergi dan koordinasi dalam penegakkan hukum terhadap pelaku illegal logging, berbanding terbalik dengan semangat memberikan konsesi penguasaan/ pengusahaan hutan dan pertambangan pada pemilik modal. Kondisi kontradisi ini menggambarkan kuatnya pertimbangan trasaksional dalam politik tata kelola sumberdaya agraria. Konsesi penguasaan dan pengusahaan hutan dan pertambangan oleh pemilik modal berlangsung secara masif dan kolosal di berbagai wilayah di Indonesia.

Penguasaan sumberdaya hutan oleh pemilik modal melalui konsesi transaksional secara kolosal berdampak luas terhadap kelanjutan sumberdaya dan nasib komunitas sekitar hutan. Pada banyak kasus, pengusahaan hutan tidak berkoeksistensi dengan kelembagaan lokal, berakibat penegasian hak, akses dan ruang hidupnya. Keragaman budaya dan tradisi tata kelola sumberdaya berbagai komunitas di Indonesia, ruang spasialnya terbagi habis dan tertutup oleh berbagai hak konsesi yang dimiliki oleh pemilik modal, seperti terlihat pada Gambar 4.

Konsesi lahan di Indonesia

Tambang Lain-lain 35% lahan 73,1 juta ha 15,0 jutaha 8,8 juta ha 35,1 juta ha

6.2.1. Aktor Kontestasi Sektoral

Kontestasi sektoral pengelolaan dan penguasaan sumberdaya hutan dan DAS melibatkan para pemangku kepentingan atau aktor pada berbagi tingkat: internasional, nasional, regional dan lokal. Aktor yang terlibat dalam pengelolaan dan penguasaan sumberdaya hutan dan kawasan DAS di Cidanau disajikan pada gambar 5.

Gambar 5. Aktor Kontestasi Pengelolaan Hutan DAS Cidanau

Dari gambar 5 diketahui bahwa pada tingkat internasional kontestasi sektoral melibatkan perusahaan Multinasional dan NGO internasional yakni IIED

(International Institute for Environment Development). Pada tingkat nasional aktor yang terlibat dalam pengelolaan dan penguasaan sumberdaya hutan adalah Kementerian Kehutanan, Kementerian Eenergi dan Sumberdaya Mineral, DPR dan NGO. Pada tingkat regional aktor yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya hutan dan kawasan DAS, melibatkan BKSD, UPT DAS Cidanau, FKDC (Forum Komunikasi DAS Cidanau), Pemda Provinsi Banten dan LSM (Rekonvasi Bumi). Pada tingkat lokal aktor yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya hutan dan DAS adalah UPT Pertanian dan Kehutanan, aparat Kecamatan Padarincang dan Ciomas, Aparat Desa Cibojong dan Desa Citaman serta Kelompok Tani Hutan Karya Muda dan Kelompok Tani Maju Bersama.

Kontestasi sektoral antar aktor pada tingkat nasional dalam pengelolaan dan penguasaan sumberdaya hutan, berlangsung sejak perumusan draf naskah perundangan, pengajuan ke Presiden dan perumusan di badan legislatif sampai dengan alokasi anggaran dari APBN. Sengitnya kontestasi sektoral antar aktor tercermin dalam pembahasan, perumusan dan pengesahan Perpu No. 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang No. 41/1999 tentang Kehutanan oleh

Internasional Lokal Nasional Regional NGO (IIED) DPR NGO UPT DAS Kemenhut Pemda Rekonvasi Aparat Desa UPT Sektoral Pem.Kecamatan

MNC

FKDC

KTH Kement.ESD

DPR. Pembahasan, perumusan dan pengesahan Perpu tersebut di DPR melibatkan berbagai pemangku kepentingan (aktor) yang memiliki kekuatan politik dan ekonomi, baik di lingkungan internal DPR maupun kekuatan di luar DPR (eksekutif dan pelaku usaha (domestik dan asing) bahkan badan internasional.

Pada awalnya DPR secara tegas menolak perpu tersebut tetapi penolakan lantang DPR kemudian redup dan melunak yang berakhir dengan persetujuan melalui pengambilan keputusan secara voting. Perubahan sikap politik DPR dinilai janggal,150 karena berlangsung secara drastis. Ketika Perpu No.1 tahun 2004 dikeluarkan pemerintah, pihak DPR secara tegas menolaknya, dengan alasan bahwa negara tidak dalam kondisi darurat. Tetapi penolakan DPR terhadap Perpu tidak bulat, ada pro dan kontra, antara pro investasi dan pro lingkungan. Menolak Perpu, khawatir DPR dituduh tidak pro investasi karena investasi diperlukan untuk menodorong pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain DPR khawatir membebaskan hutan lindung dari aktivitas pertambangan akan menuai arbitrase, karena sebagian perusahaan pertambangan yang beroperasi di kawasan Hutan Lindung adalah perusahaan Amerika Serikat.

Ambiguitas DPR terhadap Perpu mencerminkan sengitnya kontestasi sektoral penguasaan sumberdaya hutan yang berlangsung secara transaksional. Proses transaksional itu dimungkinkan karena menguatnya kedudukan badan legislatif yang memberikan peluang proses pembuatan undang-undang menjadi lahan subur pencari rent seeker. Besarnya kepentingan ekonomi dari pemangku kepentingan (penguasa dan pengusaha) dalam penguasaan sumberdaya hutan dan pertambangan adalah aspek lain yang memicu kontestasi sektoral.

Perubahan Undang-Undang No. 41/1999 tentang Kehutanan melalui Perpu No.1 tahun 2004 berawal dari penilaian stakeholder pertambangan bahwa UU No. 41 tidak menjamin kepastian hukum bagi ijin pertambangan di kawasan hutan lindung. Besarnya pengaruh politik dan ekonomi stakeholder pertambangan mendorong pemerintah mengeluarkan Perpu No.1 tahun 2004 yang berisi revisi Undang-Undang No. 41/1999 tentang Kehutanan yang melegalkan perusahaan pertambangan beroperasi di kawasan hutan lindung. Revisi UU Kehutanan No.

150 Perubahan sikap politik DPR menurut sejumlah aktivis lingkungn dan kaukus anti korupsi

terdapat dugaan kuat disebabkan mengalirnya uang kepada sejumlah anggota DPR. Lihat Harian Kompas 13-14 Juli 2004.

41 yang melegalisasi eksplorasi pertambangan di kawasan hutan lindung, menunjukkan kekuatan politik dan ekonomi sektor pertambangan mendesakkan kepentingannya melalui Presiden.

Ambiguitas DPR terhadap Perpu diselesaikan melalui pengambilan keputusan secara voting dalam rapat paripurna, dengan keputusan menyetujui Perpu No. 1 tahun 2004. Persetujuan DPR terhadap Perpu itu menggambarkan kontestasi sektoral, Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral dengan Kementerian Kehutanan. Dalam kasus pertambangan di kawasan hutan lindung, kontestasi sektoral tidak hanya melibatkan Presiden tetapi juga pihak di luar pemerintah, yakni DPR. Persetujuan DPR terhadap Perpu itu memperkuat dugaan bahwa pelaku usaha untuk memuluskan tujuan dan ambisinya, tidak saja mempengaruhi pemerintah, Presiden sebagai pimpinan eksekutif tetapi juga mampu mendesakkan kepentingannya kepada DPR untuk membuat peraturan perundangan yang menguntungkan sektor dan perusahaan pertambangan.

Ì Ì Ì Ì Ì Ì Ì Ì Ì ÌÌ Ì Ì Ì Ì Ì Ì Ì Ì Ì Ì Ì Ì Ì ÌÌ Ì Ì Ì Ì Ì Ì Ì Ì Ì Ì Ì Ì Ì ÌÌ Ì Ì Ì Ì

Sabuk Mineral Wilayah KK

Wilayah KK yang tak dapat dieksplorasi

Papua: 68% Nusa Tenggara: 43% Maluku: 7% Kalimantan: 19% Sulawesi: 26% Java-Bali: 6% Sumatra: 44%