• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAN KEGAGALAN POLITIK SUMBERDAYA AGRARIA

7.4. Kegagalan Politik Agraria

7.4.4. Pembayaran Jasa Lingkungan Dan Kepedulian Semu

Kekhawatiran masyarakat pada berbagai dampak yang ditimbulkan oleh deforestasi melahirkan pemikiran perlunya membangun hubungan hulu hilir dalam kawasan daerah aliran sungai (DAS) melalui mekanisme pembayaran jasa lingkungan (Payment for Environment Services). Jasa lingkungan dalam kawasan DAS adalah ketersediaan air yang memadai. Kerjasama hulu hilir di DAS Cidanau diwujudkan dalam bentuk pembayaran jasa lingkungan yang dilakukan oleh pemakai jasa lingkungan di hilir ke ptani di hulu. Dewasa ini jasa lingkungan berupa carbon sequestration dan biodiversity sudah menjadi komoditas transaksi jual beli jasa lingkungan antar negara, seperti moratorium kehutanan antara Indonesia dengan Norwegia.

207 Gunawan Wiradi,2001. “Reforma Agraria Tuntutan Bagi Pemenuhan Hak Azasi Manusia”

dalam Jurnal Analisis Sosial, Vol.6 No.2 Juli 2001. Erpan Faryadi, 2002. “Tanpa Reforma Agraria, Tidak Akan Ada Hak Atas Pangan” dalam Jurnal Analisis Sosial, Vol. 7.3 Desember 2002.

208Orientasi gerakan LSM asosiatif dan paralel ditandai adanya kerjasama atau dibentuk untuk

kepentingan pelaksanaan program pemerintah, sehingga isu-isu reforma agraria tidak menjadi fokus gerakan. Lihat Onny Prijono, 1995. “Peran Organisasi Nirlaba, Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat dan Lembaga Swadaya Masyarakat serta Pola Interaksi dengan Pemerintah” dalam Bantarto Bandono, et.al. Refleksi Setengah Abad Kemerdekaan Indoensia. Jakrta: CSIS.

Jasa lingkungan di DAS Cidanau berbentuk penyediaan air baku, yang dihasilkan oleh komunitas petani hutan di hulu DAS, kemudian dimanfaatkan oleh berbagai instansi pemerintah dan perusahaan di wilayah barat Provinsi Banten. DAS Cidanau merupakan sumber air baku satu-satunya yang dapat memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat dan industri di kota Cilegon. Industri yang memanfaatkan air DAS Cidanau antara lain PT Indonesia Power (anak perusahaan PLN) yang menjadi produsen listrik untuk Jawa dan Bali dan PT Krakatau Steel (industri baja yang menjadi hulu bagi aneka industri strategis di wilayah Cilegon, Merak, Serang dan JABOTABEK).

Kesediaan pemakai jasa lingkungan di hilir membayar jasa lingkungan, merupakan apresiasi dan insentif bagi kelompok tani yang melaksanakan sistem olah tanah konservasi. Pembayaran jasa lingkungan dapat menjadi insentif (reward) bagi petani, manakala nilainya minimal sama atau lebih besar dari biaya yang dikeluarkan petani. Paling tidak, komunitas petani yang terlibat dalam sistem olah tanah konservasi, memiliki kemampuan ekonomi minimal untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan. Kecukupan kebutuhan minimal akan mengurangi tekanan dan godaan petani menebang kayu lebih awal dan mempertahankan sistem olah tanah konservasi di hulu DAS.

Dari sejumlah pemakai jasa lingkungan di hilir yang bersedia membayar jasa lingkungan ke produsen jasa lingkungan di hulu, hanya PT Krakatau Tirta Industri (PT KTI, anak perusahaan industri baja PT Krakatau Steel). Pembayaran jasa lingkungan oleh PT KTI kepada petani dikelola oleh Forum Komunikasi DAS Cidanau (FKDC), sebuah lembaga yang digagas pemerintah bersama (International Institute for Environment and Development (IIED) dan LP3ES. Pengurus FKDC terdiri dari instansi sektoral yang ditunjuk pemerintah daerah dan pengurus LSM Rekonvasi Bumi. Dalam statutanya pengurus FKDC bertugas sebagai fasilitator antara petani (penghasil jasa lingkungan) dengan PT KTI (pemakai jasa lingkungan).

Dalam Perjanjian Pembayaran Jasa Lingkungan, disebutkan PT KTI bersedia membayar jasa lingkungan kepada petani selama lima tahun, dua tahun pertama sebesar Rp. 175 juta per tahun dan tiga tahun berikutnya akan

dinegosiasikan kemudian. Kesepakatan FKDC dan KTI dituangkan dalam naskah perjanjian pembayaran jasa lingkungan, yang berisi penjelasan prinsip pembayaran jasa lingkungan:

(a) pencemar membayar (polluter’s pay); (b) tertutupnya biaya jasa lingkungan (willingness to pay/opportunity cost); (c) prinsip sukarela (voluntary). Jenis jasa lingkungan yang menjadi sumber pembayaran jasa lingkungan, adalah sumber daya air. Pemanfaat jasa lingkungan adalah masyarakat, industri, pemerintahan, lembaga lain yang menerima manfaat dari produk jasa lingkungan DAS Cidanau secara langsung maupun tidak langsung. Penghasil jasa lingkungan adalah masyarakat/lembaga yang berada di DAS Cidanau yang karena upayanya menghasilkan produk jasa lingkungan.209

Dalam perjanjian tersebut dinyatakan, anggota kelompok petani hutan di Desa Citaman dan Cibojong menerima pembayaran jasa lingkungan sebesar Rp 1,2 juta per hektar tiap tahun selama lima tahun. Selanjutnya, petani akan menerima pembayaran jasa lingkungan minimal Rp 2,5 juta per hektar per tahun dengan jumlah tanaman tidak kurang dari 200 batang pada akhir tahun kelima.

Persyaratan kondisi tanaman yang harus dipenuhi oleh petani untuk menerima pembayaran jasa lingkungan adalah:

(1) pada setiap tahapan pembayaran selama masa kontrak, jumlah tanaman yang ada dan tumbuh dengan baik per hektar tidak kurang dari 500 (lima ratus) batang; (2) batasan tanaman yang tumbuh dengan baik ditentukan oleh tinggi dan diameter yang disesuaikan dengan umur tanaman; (3) untuk tanaman yang mati akibat unsur alam, hama dan penyakit harus diganti dan dibuatkan berita acara pada kelompok tani dengan diketahui oleh Ketua Tim Ad Hoc; (4) peta situasi lahan dan tanaman kelompok tani harus menginformasikan tata letak pohon yang diberi notasi nomor dan informasi jenis tanaman; (5) tata letak tanaman yang masuk dalam mekanisme pembayaran jasa lingkungan harus tersebar secara merata; (5) Tim verifikasi akan mengamati contoh areal yang diverifikasi minimal 10% dari luas areal yang dikelola oleh petani dan dipilih secara acak. 210

Pembayaran jasa lingkungan oleh PT KTI kepada Kelompok Tani Hutan di Desa Citaman dan Desa Cibojong, merupakan fondasi untuk pengelolaan DAS secara terpadu antara hulu dan hilir di DAS Cidanau. Dari diskusi dengan sejumlah kelompok tani, ternyata mekanisme pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau kurang mengapresiasi dan melibatkan kelompok tani. Yurisdiksi atau rumusan aturan mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan, tidak memperhatikan aspek representasi. Akibat yurusdiksi tanpa representasi, maka

209Forum Komunikasi DAS Cidanau, (FKDC) 2005. 210

petani sebagai penghasil jasa lingkungan kedudukan, hak dan kewajibannya ditentukan secara sepihak oleh FKDC bersama KTI. Menurut penilaian petani terdapat sejumlah aturan dan mekanisme untuk mendapatkan pembayaran jasa lingkungan dipandang memberatkan petani dan tidak adil. Salah satu ketentuan yang memberatkan petani adalah:

”Apabila jumlah pohon yang terdapat dalam area mekanisme pembayaran jasa lingkungan yang dikelola petani dinyatakan kurang oleh Tim Verifikasi, maka secara tanggung renteng petani tidak akan menerima pembayaran jasa lingkungan untuk periode yang sudah jatuh tempo”.

Ketentuan ini dinilai petani tidak adil dan cenderung sewenang-wenang. Kekhilafan salah satu anggota kelompok mengakibatkan semua petani batal menerima pembayaran jasa lingkungan. Ketentuan FKDC dan PT KTI dinilai Kelompok Tani Hutan, tidak menghargai jerih payah dan biaya yang telah dikeluarkan petani. Pemberlakuan tanggung renteng dalam pembayaran jasa lingkungan dinilai Kelompok Tani Hutan sebagai gebyah uyah (penyamarataan yang tidak proporsional dan tidak adil). Aturan lainnya yang dinilai petani menunjukkan arogansi “pembeli” (KTI), adalah nilai insentif jasa lingkungan kepada petani sangat kecil. Dalam ungkapan seorang petani: ”jumlah uang yang diterima hanya cukup untuk upah ngored lima hari.”211 Nilai jasa lingkungan yang diterima petani dari PT KTI tiap bulannya, lebih kecil dari biaya perjalanan dinas pengurus FKDC sehari.212

Ketentuan lain yang dinilai kelompok petani sebagai cermin ketidakpedulian pemerintah terhadap jasa lingkungan adalah pembayaran jasa lingkungan secara “proyek” dan birokratis. Sistem pembayaran jasa lingkungan kepada Kelompok Tani Hutan, mengikuti pencairan dana proyek dan dibayar

211 Bandingkan dengan skema pembayaran jasa lingkungan di Kosta Rika: konservasi hutan

produksi koridor biodiversity dibayar 212 dollar/ha AS dengan kontrak lima tahun. Pengelolaan hutan lestari dibayar 327 dollar/ha AS dengan kontrak 15 tahun, dan penghutanan kembali 527 dollar/ha AS, dengan kontrak 15 tahun. Masyarakat yang mengembangkan agroforestry dibayar 1 dollar AS per batang pohon yang ditanam dengan jumlah maksimal 3.500 batang. Dengan nilai insentif jasa lingkungan tersebut maka sumberdaya hutan menjadi sumber mata pencaharian dan sumber ekonomi bagi komunitas sekitar hutan. Sunderlin. 2003. Forests and Poverty Alleviation. In: FAO. State of the World‘s Forests 2003. Rome, Italy, FAO. 61-73. http://www.fao.org.

212 Pengurus FKDC selain mendapat honorarium setiap bulan Rp. 150.000 ,- (seratus lima puluh

ribu) juga mendapat lumpsum sebesar Rp 150.000, per hari dalam melakukan perjalanan dinas dan biaya operasional: biaya evaluasi, dokumentasi dan rapat. Sumber FKDC,2005.

dalam tiga tahap dalam setahun. Tahap pertama dan kedua 30 persen dan tahap ketiga 40 persen dari nilai total yang diterima petani. Masing-masing tahapan itu harus dihadapi petani dan untuk mencairkannya harus melalui prosedur birokrasi yang berlit-belit. Sementara untuk mendapatkan hasil dari kerja kerasnya menanam tanaman kehutanan, petani harus “berpuasa” (menahan menjual kayu) selama lima tahun.

Dalam menyikapi ketentuan tersebut, ternyata tidak semua Kelompok Petani Hutan sanggup “berpuasa” lima tahun, sehingga melakukan perlawanan, seperti yang dilakukan oleh petani hutan Desa Cibojong. Bentuk perlawanan yang dilakukan petani hutan Desa Cibojong adalah menebang kayu durian yang berdiameter sekitar 100 cm. Penebangan kayu durian yang termasuk area Pembayaran Jasa Lingkungan, merupakan puncak kekecewaan petani terhadap mekanisme pembayaran jasa lingkungan yang dinilai tidak adil. Menurut petani, penebangan kayu tersebut didorong kebutuhan darurat dan tidak menemukan solusi untuk menutup biaya pendidikan anaknya dan modal usaha (membeli motor untuk mengojek). Dalam diskusi dengan pengurus kelompok, berkembang penilaian:

“FKDC sebagai fasilititator pembayaran jasa lingkungan tidak berperan sebagai fasilitator independen dan adil, karena lebih berpihak dan menyuarakan kepentingan pemakai jasa lingkungan (KTI) daripada memediasi kepentingan petani. Pembayaran jasa lingkungan oleh KTI bukan didorong oleh tanggung-jawab/moral membantu petani, melainkan untuk memudahkan intervensi dan kontrol terhadap petani di Desa Citaman dan Cibojong.

Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa pembayaran jasa lingkungan oleh pemakainya merupakan kepedulian semu (shallow environmental), dalam istilah Sylvan dan Bennet (1994) disebut prudential argument213. Pemberian insentif jasa lingkungan oleh PT KTI, bukan dimaksudkan untuk meningkatkan tarap hidup petani yang terlibat dalam sistem olah tanah konservasi, tetapi dimaksudkan untuk meraup keuntungan berdalih lingkungan. Aspek lingkungan (konservasi hulu DAS) pertimbangan kebijakan bisnis PT KTI, bukan karena kepedulian pada petani yang memiliki tradisi agroforestry untuk konservasi hutan, tanah dan air, melainkan karena kelangsungan bisnisnya, tergantung konservasi

213 Lihat Sylvian Richard dan David Bennet, 1994,

The Greening of Ethics, Cambridge: The White House Press

sumberdaya air kawasan hulu DAS Cidanau. Hal inilah mendorong KTI memberikan insentif lingkungan kepada petani di Desa Citaman dan Desa Cibojong.

Dari diskusi bersama tokoh masyarakat berkembang asumsi, bahwa pembayaran jasa lingkungan oleh pemakai jasa kepada petani, menjadi instrumen politik dan ekonomi dalam upaya memonopoli penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya air di kawasan DAS Cidanau. Asumsi itu didasarkan atas indikasi antara lain: (1) PT KTI memonopoli pemasokan kebutuhan air industri yang bernaung dibawah PT Kratau Steel dan PDAM Serang dan Cilegon. (2) Hengkangnya PT. Tirta Investama yang membangun pabrik air minum dalam kemasan (AMDK) di Desa Curug Goong Kecamatan Padarincang dan batalnya Danone mengeksploitasi Cekungan Air Bawah Tanah (CABT) Rawa Danau. Hengkangnya Tirta Investama disebabkan pembatalan izin operasional yang telah diberikan Pemda. Kuat dugaan pembatalan izin tersebut, karena pemerintah mendapat tekanan dari pihak tertentu yang berkepentingan terhadap monopoli penguasaan sumberdaya air.

Di tengah upaya mendatangkan investasi, pemerintah terpaksa bersikap tidak konsisten dan membatalkan izin beroperasinya Tirta Investama, pabrik air minum dalam kemasan (AMDK) di Desa Curug Goong Kecamatan Padarincang. Mengingat pemberian izin usaha Tirta Investama disertai dengan beredarnya informasi kesediaan Tirta Investama untuk memberi kompensasi yang wajar kepada warga, maka pembatalan izin itu bukan hanya menunjukkan ketidak- kosistenan pemerintah dalam mendatangkan investasi, juga menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Di satu sisi mengizinkan penyedotan air tanah oleh perusahaan AMDK, di sisi lain AMDK Tirta Investama dilarang beroperasi.

Dominasi Birokrasi dan Kooptasi Civil Society Associations (CSA)

Pencabutan izin operasional Tirta Investama bukan hanya menunjukkan bahwa pemangku otoritas gagal mewujudkan politik tata kelola sumberdaya agraria yang berkeadilan. Karena pemangku otoritas di tingkat lokal dan regional, tidak memberikan kesempatan yang setara dan demokratis terhadap tiap pelaku usaha untuk memanfaatkan sumberdaya air di kawasan DAS Cidanau. Perlakuan

yang tidak adil, tidak hanya dialami oleh pelaku usaha tetapi perlakuan tidak setara, juga dialami kelompok tani hutan dalam mekanisme pembayaran jasa lingkungan. Petani yang terlibat dalam aktivitas agroforestry sebagai penghasil jasa lingkungan diposisikan inferior, sebaliknya pemangku otoritas menempatkan PT KTI sebagai superior.

Perlakukan tidak setara dan tidak domokratis tercermin dari peran kelembagaan dan proses pengambilan keputusan FKDC. Pada awalnya FKDC dibentuk sebagai fasilitator independen untuk mewadahi berbagai kepentingan dalam rangka pengelolaan DAS terpadu. Tetapi karena pengurusnya didominasi oleh pejabat dan mantan pejabat, serta operasionalnya bersumber dari anggaran Pemda, mengakibatkan keberadaan FKDC dan keputusannya tidak aspiratif dan tidak representatif. FKDC lebih berperan menjadi penyalur kepentingan pemerintah dan PT KTI daripada fasilitator independen yang menyuarakan kepentingan petani. Untuk memperjuangkan kepentingannya, seperti pengambilan keputusan tentang mekanisme pembayaran jasa lingkungan dan nilai pembayaran yang wajar, petani merasaa harus berjuang “berjuang sendirian.” Sebagian aparat bersikap negatif terhadap pembayaran jasa lingkungan kepada petani, bahkan ada yang menilai sebagai “kemewahan” yang tidak pantas.

Penilain tersebut menunjukkan bahwa, kepedulian aparat untuk melayani petani dan menjadi ”penyambung lidah rakyat,” masih rendah. Rendahnya apresiasi dan pelayanan instansi sektoral dan aparatnya terhadap komunitas petani, menjadi kendala tumbuhnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Pelayanan dan partisipasi merupakan dua aspek yang saling berkaitan, pelayanan yang baik akan menimbulkan partisipasi, sebaliknya partisipasi masyarakat akan tinggi bila pelayanan yang diberikan aparat pemerintah baik dan memuaskan. Dapat dikatakan pelayanan pemerintah yang baik dan partisipasi masyarakat yang tinggi, menggambarkan sistem tata kelola sumberdaya yang baik (good governance resources management). Sebaliknya pelayanan yang buruk dan partisipasi masyarakat yang rendah, menggambarkan sistem tata kelola sumberdaya yang buruk (bad governance resources management). Secara umum sistem tata kelola sumberdaya yang baik cenderung berkelanjutan dan sebaliknya sistem tata kelola sumberdaya yang buruk cenderung tidak berkelanjutan.

Berdasarkan pemikiran tersebut sistem tata kelola jasa lingkungan dan DAS Cidanau dapat digambarkan dalam bentuk kuadran, seperti pada gambar 9.

Tata Kelola DAS yang Baik

Setengah

Berkelanjutan Berkelanjutan II I

Terkendala Pelayanan Tata Kelola DAS yang Baik Pelayanan Rendah Pelayanan Tinggi

III IV

Tidak Berkelanjutan Setengah Berkelanjutan

Terkendala Tata kelola baik

Tata Kelola DAS Yang Buruk

Gambar 9 Bentuk Kelembagaan Tata Kelola DAS

Garis vertikal menunjukkan dari tidak berfungsi sampai berfungsinya tata kelola DAS yang baik. Garis ordinat menggambarkan tingkat keberhasilan pengelolaan pelayanan dari rendah sampai tinggi. Perpotongan garis vertikal dan ordinat membentuk suatu kuadran/tipologi tata kelola jasa lingkungan dan DAS.

Kuadran I merupakan ruang yang menggambarkan keseimbangan pelayanan dan partisipasi tinggi dan berjalannya prinsip tata kelola jasa lingkungan dan DAS yang baik atau merupakan gambaran bentuk tata kelola jasa lingkungan dan DAS berkelanjutan. Kuadran II merupakan ruang yang menggambarkan keseimbangan pelayanan dan partisipasi rendah, tetapi berjalannya prinsip tata kelola jasa lingkungan dan DAS yang baik. Kuadran ini merupakan gambaran bentuk tata kelola jasa lingkungan dan DAS setengah berkelanjutan karena terkendala pelayanan yang rendah. Kudran III merupakan ruang yang menggambarkan pelayanan dan partisipasi rendah dan tidak berjalannya prinsip tata kelola jasa lingkungan dan DAS yang baik. Kuadran ini merupakan gambaran bentuk tata kelola jasa lingkungan dan DAS tidak berkelanjutan. Kuadran IV merupakan ruang yang menggambarkan keseimbangan pelayanan dan partisipasi tinggi, tetapi prinsip tata kelola jasa lingkungan dan DAS tidak berjalan baik. Kuadran ini merupakan gambaran bentuk tata kelola jasa lingkungan dan DAS setengah berkelanjutan, karena terkendala prinsip tata kelola jasa lingkungan dan DAS yang baik.

Rendahnya partisipasi masyarakat dan pelayanan yang kurang baik dari FKDC, disebabkan pengambilan keputusan dan kepengurusan FKDC didominasi oleh birokrasi dan mengabaikan aspirasi dan partisipasi masyarakat. Yurisdiksinya dirumuskan tanpa partisipasi dan representasi partisipan, termasuk civil society associations (CSA). Hegemoni dan dominasi birokrasi ditunjukkan dengan pembentukan kelompok sosial berdasarkan komoditi, kelompok berbasis kepentingan (Kelompok Lebah Madu, Petani Pemakai Air dan Lembaga Masyarakat Desa Hutan, LMDH). Kelompok-kelompok sosial “bentukan dari atas” dan LSM yang terkooptasi, tidak memiliki basis ideologi dan menjadi motor penggerak untuk melakukan kerja-kerja kreatif. Pola interaksi dan gerakannya dengan pemerintah bersifat pragmatis, akomodatif atau paralelserta tidak mampu mengambil jarak dan bersikap kritis terhadap pemerintah. Dari diskusi dengan pengurus Kelompok Tani Hutan dan tokoh masyarakat, gambaran interaksi LSM lingkungan hidup dengan pemerintah di DAS disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Pola Interkasi Gerakan Lingkungan Hidup Dengan Pemerintah

No Pola Interaksi Gerakan Lingkungan Hidup dan Pemerintah

1 Orientasi Asosiatif Paralel Konfliktual

2 Lembaga Pemerintah Sangat dekat Mitra sejajar Mengambil jarak 3 Program Pembangunan - Dependen

- Integratif -Interdependen -Komplementer -Independen -Independen -Menentang 4 Kebijakan Pemerintah Melaksanakan

Mendukung -Mendukung -Mempengaruhi - Korektif - Korektif - Menentang 5 Sumberdana Pemerintah Dependen -Dependen

-Independen

Independen

Dari Tabel 10 ditunjukkan bahwa gerakan LSM Lingkungan Asosiatif dan Paralel senantiasa orientasinya melaksanakan, mendukung dan terintegrasi dengan program pemerintah. Young menyebut gerakan lingkungan yang asosiatif dan paralel sebagai suplementary atau compelementary,214 dalam istilah Korten

214

Dari studinya di empat negara: Amerika Serikat, Inggris, Israel dan Jepang, Young menyatakan relasi pemerintah dengan LSM lingkungan dibedakan atas suplementary, compelementary dan

adversarial. Young, Dennis R. 2000. “Alternative Model of Government-Nonprofit Sector Relations: Theoritical and International Perspevtives” in Nonprofit and Voluntary Sector Quarterly, vol 29, No. 1 March 2000.

berorientasi community development.215 LSM atau gerakan lingkungan asosiatif dan paralel dekat dan menjadi mitra pemerintah, bahkan program kerjanya seringkali dependen atau kompelementer dengan program pemerintah. Hal ini terkait dengan aktivitas gerakannya bersumber dari dana pemerintah. Akibatnya mereka tidak memiliki energi mengusung isu-isu lingkungan secara komprehensif dan radikal, karena terkooptasi dan terhegemoni oleh arus utama politik lingkungan negara yang semu. Gerakan lingkungan kategori ini oleh Ranjit LSM disebut gerakan lingkungan berorientasi pada mata pencaharian.216 Sepak terjang dan gerakan LSM demikian dapat menjadi mimpi buruk bagi terwujudnya politik agraria berkeadilan, tata kelola sumberdaya dan DAS yang baik, dan pengelolaan jasa lingkungan yang partisipatif dan keberlanjutan.

7.5. Ikhtisar

Politik agraria bidang kehutanan yang berorientasi betting on the strong

diakui berdampak positif terhadap perolehan devisa negara, menggelembungnya "dompet pemerintah pusat". Tetapi arah dan orientasi politik kehutanan tersebut tidak meneteskan kemakmuran, kurang mempertimbangkan manusia sebagai komponen ekosistem hutan dan peranserta masyarakat lokal dalam tata kelola sumberdaya hutan. Hal ini disebabkan peraturan perundang-undangan, kebijakan pendukung dan pelaksanaan pengelolaan hutan, menempatkan manusia dan masyarakat lokal sebagai “sumber gangguan” dan bukan kunci keberhasilan pembangunan kehutanan. Pengabaian manusia dan masyarakat, ditunjukkan dengan adanya stigmatisasi masyarakat sekitar hutan : ”the other, orang pasisian dan perambah hutan”. Rasionalitas hukum dan stigmatisasi tersebut mengakibatkan tidak tersedianya akses masyarakat, penyempitan ruang hidup dan peluruhan kelembagaan masyarakat sekitar hutan.

215Korten mengidentifikasi LSM lingkungan atas lima kategori Relief and Welfare, Community

Development, Sustainble System Devolopment,People’s Movement and Empower People. Lihat Korten, David, C. 1988. “LSM Generasi Keempat: Fasilitator Gerakan Kemasyarakatan”, Prisma XVII, No. 4.

216 Dwivedi, Ranjit, 2001.”Environmental Movements in the Global South: Issues of Livelihood

Proses peluruhan kelembagaan lokal di hulu DAS Cidanau berlangsung secara sistemik, terjadi di aras sistem (peraturan perundang-undangan), aras organisasional dan aras perilaku individual agensi. Peluruhan kelembagaan komunitas oleh kekuatan supralokal mencakup aspek kelembagaan buyut dan

liliuran, etika konservasi dan kearifan lokal. Dampak dari proses peluruhan secara sistemik adalah penggusuran petani, tampilnya agensi sebagai predator, enclavisme, relokasi petani secara exsitu dan kepedulian semu terhadap jasa lingkungan. Hal ini menggambarkan ketidakmampuan pemerintah menyelenggarakan politik tata kelola sumberdaya hutan dan DAS yang berkeadilan dan berkelanjutan dan gagal mewujudkan tujuan konstitusional politik agraria sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Kekhawatiran yang ditimbulkan oleh aktivitas deforestasi dan degradasi hutan dan kawasan hulu DAS Cidanau, melahirkan pemikiran perlunya membangun ”rumah bersama” dan jejaring hubungan hulu hilir DAS Cidanau secara terpadu melalui pembayaran jasa lingkungan. Tetapi karena ”rumah bersama” tersebut fondasinya kurang kokoh, prosedur dan mekanismenya tidak demokratis dan posisi relasi antar pemangku kepentingan tidak setara, maka pembayaran jasa lingkungan kepada petani di DAS Cidanau, masih jauh dari upaya peningkatan kesejahteraan petani hutan, pemberdayaan petani dan pengembangan agroforestry yang kondusif untuk konservasi hulu DAS.

BAB VIII

URGENSI PENGUATAN KELEMBAGAN LOKAL