• Tidak ada hasil yang ditemukan

TUMPANG TINDIH PERTAMBANGAN DAN KEHUTANAN

6.2.2. Kontestasi Sektoral: Kapitalisasi Sumberdaya

Proses kontestasi sektoral yang syarat muatan politik dan ekonomi di tingkat nasional, merembes dalam program pembangunan ekonomi dan pedesaan di tingkat kecamatan dan desa. Dalam pembangunan pertanian, kehutanan, infrastruktur, pemberdayaan masyarakat, keluarga berencana, kesehatan, koperasi dan UKM dan industri/kerajinan, terlihat antar pelaksana teknis tidak terkoordinasi dan tidak bersinergi. Program kerja yang disusun oleh masing- masing instansi sektoral tidak dikomunikasikan dan dikoordinasikan satu sama lainnya.

Program peningkatan produktivitas tanaman pangan dan hortikultura dari UPT Pertaniaan Padarincang dan Ciomas tidak bersinergi dengan program konservasi dari intansi Kehutanan dan Pekerjaan Umum. Program/ kegiatan mengatasi degradasi dan sedimentasi Cagar Alam Rawa Danau yang dilakukan oleh Balai Konservasi tanpa koordinasi dengan instansi sektoral lainnya seperti lingkungan hidup dan pertanian. Menguatnya ego sektoral mengakibatkan pembangunan infrastruktur irigasi yang dilakukan oleh Pekerjaan Umum, tidak terkoordinasi dengan instansi teknis (sektor pertanian) yang menangani pengelolaan lahar dan air. Pembangunan masyarakat sekitar hutan dan desa hutan, seakan hanya menjadi tugas dan tanggungjawab sektor kehutanan, termasuk dalam peningkatan produktivitas agroforestry. Kontestasi sektoral antar pertanian dan kehutanan berakibat rendahnya produktivitas komoditas agroforestry pada desa-desa sekitar hutan.

Kontestasi sektoral juga terlihat dari tidak koordinasinya pengelolaan hulu, tengah dan hilir DAS Cidanau. Kawasan DAS Cidanau tidak dikelola secara terpadu sebagai satu ekosistem, tapi terpisah-pisah sesuai dengan kewenangan dan kepentingan masing-masing sektor.

Kondisi ini merupakan implikasi dari pembangunan berbasis sektoral, di mana keberhasilan program/proyek diukur berdasarkan masukan dana, tahapan, prosedur dan target sektoral secara kuantitatif. Berdasarkan penuturan pelaksana teknis UPT Ciomas dan Padarincang, “program pembangunan (kehutanan dan pertanian) yang berjalan sesuai dengan tahapan, prosedur dan target dianggap

tujuannya tercapai, bahkan penyerapan anggaran proyek sesuai dengan tahapan dan prosedur, menjadi tolok ukur keberhasilan kinerja UPT dan aparatnya.”

Pernyataan itu menunjukkan bahwa dalam pembangunan berbasis sektoral, masukan dana dan aturan–aturan teknis lebih diutamakan daripada pencapaian

output, perbaikan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat sasaran.151 Dampak lebih lanjutnya adalah pencapaian target secara kuantitatif dan penyerapan anggaran, lebih diutamakan daripada pencapaian keberhasilan secara kualitatif, seperti perbaikan sosial ekonomi masyarakat. Kondisi ini secara jelas tergambar dari dokumen perencanaan pembangunan pertanian dan kehutanan yang disusun oleh UPT Pertanian dan Kehutanan Kecamatan Ciomas dan Padarincang.

Pengukuran kinerja instansi sektoral berdasarkan capaian dan target kuantitatif, mengakibatkan program kerja pelaksana teknis di tingkat kecamatan cenderung seragam, kurang memperhatikan karakteristik dan potensi ekonomi wilayah kerja UPT serta peran partisipasi masyarakat. Akibatnya sebagian besar program pembangunan pertanian dan kehutanan di wilayah ini dapat dikatakan “tidak meninggalkan bekas”. Indikasinya adalah masyarakat sasarannya tidak mengalami perbaikan sosial dan ekonominya. Keberhasilan kinerja dari pendekatan sektoral dalam pembangunan dapat diilustrasikan: Bila kesejahteraan masyarakat, dapat diwujudkan melalui tata kelola sumberdaya agraria berbasis masyarakat sebagai suatu ruang terisi penuh, maka pendekatan sektoral tidak pernah dapat mengisi ruang secara penuh. Ruang kosong yang belum terisi itulah kesejahteraan rakyat yang tidak menjadi target pembangunan sektoral.

Dalam diskusi terfokus bersama instansi terkait dan tokoh masyarakat, permasalahan yang ditimbulkan dari kontestasi sektoral dalam pembangunan di wilayah DAS Cidanau diidentifikasi sebagai berikut:

Pertama pengukuran kinerja sektoral secara kuantitatif (seperti persentase penyerapan anggaran, volume kegiatan dan jumlah sasaran suatu program), mengakibatkan banyaknya program dan anggaran yang dikeluarkan tidak berkorelasi dengan besaran manfaat dan kegunaannya bagi masyarakat. Sejauh mana program masing-masing sektor meningkatkan taraf hidup masyarakat

151 Uraian tentang pendekatan sektoral lihat Sayuti Hasibuan, 1997.

Pendekatan Pelaksanaan Dalam Pembangunan. Jakarta: Lembaga Pengkajian Pembangunan Nasional.

kurang diperhitungkan. Sehingga keberhasilan pembangunan sektoral tidak bersentuhan dengan kepentingan masyarakat. Masyarakat hanya sebagai obyek dan dipandang tidak memiliki pengetahuan dan kepentingan terhadap pembangunan.

Kedua pembangunan ekonomi dan pemberdayaan masyarakat berdasarkan “pendekatan proyek,” menyebabkan keberhasilan dan keberlanjutan program ditentukan oleh ketersediaan anggaran. Meskipun anggaran diperlukan, tetapi ketergantungan program pemberdayaan masyarakat pada anggaran, mengabaikan faktor lainnya, yakni sumberdaya manusia, modal sosial dan partisipasi masyarakat.

Ketiga dengan alasan teknis administratif, pelaksanan pembangunan bersifat top down dan diikuti dengan pembentukan kelembagaan baru yang bersifat substitusi. Kelembagaan bentukan pemerintah yang terdapat di pedesaan disajikan pada tabel 7.

Tabel 7. Kelembagaan Bentukan Pemerintah di Wilayah Pedesaan

No Instansi Induk/Pusat Kelembagaan Sektoral Bentukan Pemerintah

1 BKKBN KUBER (Pra Koperasi)

2 Koperasi dan UKM KUD, Kelompok Usaha Bersama, BDS 3 Kementerial Sosial Kelompok Usaha Bersama (KUBE) 4 Kementerian PU Petani Pemakai Air

5 Kementerian Kehutanan Kelompok Tani Hutan (KTH) dan LMDH 6 Kementerian Pertanian Kelompok Tani, Gapoktan, LUEP 7 Kementerian Dalam Negeri Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) 8 Badan Ketahanan Pangan Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat

Diolah dari sumber primer.

Pembentukan kelembagaan baru di tengah masyarakat, terkait dengan pemahaman pemangku otoritas terhadap keberadaan kelembagaan lokal sebagai anak tiri dan tidak diinginkan orphan factor.152 Pembentukan kelembagaan baru di tengah masyarakat, menyebabkan ruang spasial dan sosial pedesaan disesaki oleh kelembagaan bentukan dan perpanjangan supra desa. Penetrasi kelembagaan sektoral terhadap wilayah pedesaan berdampak negatif terhadap kemandirian dan keswadayaan masyarakat pedesaan. Desa sebagai wilayah otonom kehilangan

152 Lihat Suradistra, 2006. “Revitalisasi Kelembagaan Untuk Percepatan Pembangunan Sektor

Pertanian Dalam Otonomi Daerah”. Makalah orasi ilmiah pengukuhan peneliti utama sebagai profesor riset bidang sosiologi pertanian. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.

otonomi dan kemandiriannya. Kondisi inilah yang disebut penulis sebagai kapitalisasi sumberdaya pedesaan. Desa sebagai wilayah otonom, dalam kenyataan empirik, ditempatkan sebagai struktur pemerintahan terendah dan menjadi obyek intervensi kekuatan ekonomi supra lokal yang berakibat meningkatnya ketergantungan desa pada pemerintah pusat dan lemahnya keswadayaan masyarakat. Aparat desa memaknai kehadiran kelembagaan supra lokal di wilayahnya sebagai beban rumah tangga pedesaan. Karena Pemerintah Desa dipaksa membantu program sektoral, sementara kemampuan keuangan dan sumberdayanya terbatas.

Pendekatan pembangunan sektoral, tidak hanya mengakibatkan lemahnya kordinasi dan sinergi antar sektor, tetapi juga berlangsung dalam internal sektor, misalnya pengelolaan bantuan sosial yang dikelola Kementerian Pertanian. Masing-masing direktorat di kementerian itu memiliki program dan kelembagaan sendiri di wilayah pedesaan, seperti terlihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Program & Pengelola Bantuan Sosial Kementerian Pertanian di Pedesaan

No Direktorat Nama Program Pengelola

1 Sekretarit Jenderal Pengembangan Usaha Agribisnis Pertanian Gapoktan 2 Ditjen Tanaman Pangan Penguatan Kelembagaan Ekonomi Petani LM3 3 Ditjen Hortikultura Penguatan Modal Usaha Kelompok (PMUK) LM3 4 Ditjen Peternakan Penguatan Modal Usaha Kelompok (PMUK LM3 5 Ditjen Perkebunan Penguatan Modal Usaha Kelompok (PMUK LM3 6 Ditjen Pengolahan & Pe

masaran Hasil Pertanian

Penguatan Kelembagaan Ekonomi Petani LM3 7 Badan Pengemb. SDM Bantuan Langsung Masyarakat LM3 Model

8 Bdan Ketahanan Pangan LUEP

6.3. Kontestasi Lokal Supralokal

Kontestasi lokal supralokal yang berlangsung di lokasi penelitian mencakup dimensi nilai, organisasi dan orientasi perilaku individual. Dari tiga dimensi tersebut yang menonjol dua hal yakni holistik versus reduksionis dan konflik agraria tenurial.