• Tidak ada hasil yang ditemukan

DINAMIKA TATA KELOLA SUMBERDAYA AGRARIA BERBASIS KELEMBAGAAN LOKAL

5.2. Kearifan Lokal Tata Kelola Sumberdaya Agraria

5.2.3. Domestikasi Tanaman Pangan dan Obat

Tanaman pangan dan obat yang dibudidayakan komunitas petani sesuai dengan kondisi ekologi wilayah Serang Selatan yang sebagian besar berupa perbukitan. Dari penggalian informasi pada sejumlah narasumber, pengetahuan warga setempat tentang tanaman pangan terutama varietas padi lokal bervariasi. Pengetahuan warga tentang varietas padi lokal terdiri atas lima jenis, seperti diuraikan berikut.

1. Klasifikasi padi berdasarkan warna berasnya, yakni pare hideung (padi/ketan hitam), pare bodas (padi putih) dan parebeureum (padi merah). Dari tiga jenis padi itu terdapat variannya yang ditanam tergantung pada lahan huma. Varietas padi merah yang biasa ditanam adalah Ramanteun.

132 Bagi masyarakat setempat hutan merupakan mata rantai dari sistem sosio-religius dan ekologis,

seperti tempat penyelenggaraan acara ritual, pelepasan nazar, doa, kegiatan liliuran dan macak

2. Klasifikasi atas padi biasa dan padi ketan (pare ketan). Padi biasa dibedakan oleh petani atas varietas Melati, Ramanteun dan Mayang. Padi ketan diidentifikasi berdasarkan karakteristik utamanya, yakni rasanya enak, gurih,

pulen dan likat (sticky) yang dikonsumsi hanya waktu-waktu tertentu, seperti upacara selamatanatau kue tradisional seperti kue oli dan tape (peyem).

3. Klasifikasi berdasarkan ada tidaknya bulu sekam: pare bulu dan pare tidak berbulu. Padi berbulu dapat terhindar dari hama pemakan padi misalnya burung pemakan padi seperti burung pipit, tikus dan babi hutan.

4. Petani membedakan padi berdasarkan bentuk, ukuran dan warna bulu butir padi, seperti pare sabeulah (padi sebelah) karena bentuk butirnya tipis dan

pare kasumba, (pare warna violet) karena bulu biji padinya berwarna kasumba.

Varietas padi ini diidentifikasi berdasarkan morfologi dan warna biji padi. 5. Klasifikasi padi menurut umurnya sampai panen, padi di bawah enam bulan

yang disebut pare hawara dan padi berumur normal (enam bulan) yang disebut pare hawara bunar. Klasifikasi umur padi membantu petani untuk merencanakan penanaman padi.

Merujuk pada pemilahan varietas padi atas kelompok javanica, sinica/indica dan javanica, maka varietas padi lokal yang ditanam oleh komunitas petani di DAS hulu Cidanau termasuk padi kelompok javanica. Karakteristik varietas kelompok javanica, umur tanaman padi relatif panjang, berdaun lebar, jerami tinggi dan biji padi tidak mudah rontok, sehingga dapat mengurangi gangguan dari burung pemakan padi seperti burung pipit, tikus dan babi hutan.

Selain menanam padi lokal kelompok javanica, komunitas petani juga menanam beberapa jenis tanaman tambahan di huma, seperti cengek/cabe rawit (Capsium frutesces), kacang panjang (Vigna sinensis), dangdeur/pisang (Manihot utilisama), bonteng/ketimun (Cucuxumis sativus), terong (Sanumum melongena). Penanaman tanaman itu umumnya untuk keperluan sendiri, kadangkala dijual sebagai tambahan penghasilan.

Selain menanam berbagai jenis tanaman pangan, komunitas petani memiliki pengetahuan lokal tentang tanaman obat, jenis-jenis penyakit yang dapat diobati dengan tanaman obat. Dari hasil wawancara mendalam dan diskusi terfokus, warga mengetahui sekitar 55 (lima puluh lima) jenis tumbuhan yang

dapat dimanfaatkan sebagai obat tradisional. Dari lima puluh lima jenis tumbuhan tersebut dikelompokkan ke dalam tujuh macam habitus (kelompok), yaitu pohon, herba, semak, tumbuhan memanjat, semak, rumput dan lainnya. Dari lima puluh jenis tumbuhan obat yang diketahui dan dimanfaatkan oleh warga sebagian besar terdiri dari pepohonan yang mencapai 25 jenis tumbuhan, (lihat lampiran 1.a).

Sebagian warga mengetahui cara pengolahan, kegunaan dan pemanfaatan ke dua puluh lima jenis tumbuhan tersebut. Dari kelompok habitus herba yang biasa dimanfaatkan warga untuk obat-obatan adalah getah batang, satu jenis yaitu Parahulu (Amomum Oculeatum); bagian daun tiga jenis: Kumis Kucing, Ciriwuh dan Jonge; bagian batang dua jenis: Sariawan dan Ilat; bagian kulit batang satu jenis yaitu Kanyere; rimpang dua jenis yaitu Loa Gajah dan Koneng Beurang; bagian Kulit Umbi satu jenis yaitu Taleus; dan akar satu jenis yaitu Cau Galek, (lihat lampiran 1.b).

Bagian-bagian dari kelompok habitus pepohonan yang dapat dipergunakan untuk pengobatan mencakup kulit batang, bagian batang, bagian daun,133 bagian getah batang (Angsana), bagian pucuk daun: Jambu Batu dan bagian buah satu jenis yaitu Gaharu. Warga menggunakan dan memanfaatkan habitus pepohonan untuk mengobati 22 jenis penyakit, dengan cara ditumbuk, dibuat tuak, diperas getah/air, dikerik batang/ranting, direbus. Setelah diolah kemudian dijadikan obat untuk mengobati berbagai jenis penyakit. Untuk obat sakit panas, menambah stamina, sakit kuning, sakit perut, mencret, demam diolah dengan cara direbus kemudian diminum. Untuk sakit gigi dan gatal dengan cara ditempel di bagian tubuh yang sakit dan untuk mengobati bisul dan borok dengan cara dibalurkan.

Habitus lainnya yang didomestikasi oleh warga adalah kelompok herba: 11 jenis, Semak: 7 jenis, Perdu: 4 jenis, Tumbuhan memanjat: 3 jenis, Lainnya: 4 jenis dan rumput 1 jenis. Dari penggalian informasi di lapangan diketahui bahwa warga setempat mengetahui berbagai jenis perdu dan tumbuhan semak yang dapat dipergunakan untuk mengobati berbagai jenis penyakit tertentu. Pengetahuan warga terhadap habitus perdu yang dapat digunakan untuk mengobati penyakit

133 Bagian kulit batang yang dapat digunakan untuk obat adalah Jeunjing, Kitoke, Lame, Teureup,

Andul, Beunying, dan Pisitan; bagian batang: Muncang, Awi Koneng, Cangkore, Bisoro, Kondang, Kimerak; bagian daun meliputi: Lampeni, Nangka, Awi Apus, Cangkudu, Tundun, Kisabrang, Kicapi dan Sangkar Badak. Diolah dari sumber primer.

mencakup empat jenis: Kiajag, Katepeng, Jeruk Nipis dan Harendong. Sedangkan habitus semak yang dapat digunakan untuk mengobati penyakit mencapai tujuh jenis yaitu Babakoan, Heuras Tulang, Keji Beling, Singgugu, Amis Mata, dan

Salak, (lihat lampiran 1.c).

Dari enam habitus tumbuhan yang diketahui oleh warga bila dibandingkan dengan jumlah jenis tumbuhan obat yang disusun menurut Buku Indeks Tumbuhan Obat Indonesia tahun 1986 dan 1995, diketahui jumlah tumbuhan obat yang dimanfaatkan masyarakat yang sudah terdaftar adalah sebanyak 47 jenis. Jumlah ini menunjukkan bahwa jenis-jenis tumbuhan tersebut juga dimanfaatkan oleh masyarakat lain di wilayah Indonesia. Penggunaan tumbuhan obat tersebut oleh warga digunakan untuk mengobati penyakit yang sama atau penyakit yang berbeda. Sedangkan 8 delapan jenis tumbuhan lainnya belum terdaftar dalam Buku Indeks Tumbuhan Obat Indonesia tahun 1986 dan 1995. Kedelapan jenis tumbuhan tersebut adalah 4 jenis dalam habitus pepohonan yaitu Kitoke (Albizia Tomenntella ), Cangkore, (Albizia Tomenntella), Garu (Gonystillus Macrophylus) dan Sangkar Badak (Voacanga Grandifolia), 2 jenis dalam habitus Herba yaitu Laja Goah (Catimbium Malaccensis) dan Ilat (Scleria Purpuscens); satu jenis dalam habitus Perdu Harendong (Melastoma Polyanthum) dan satu jenis habitus lainnya, yaitu Kihadangan (Fissitigma Latifolium).

Pengetahuan warga setempat tentang jenis-jenis tumbuhan obat ternyata berkorelasi dengan pengetahuan mereka tentang cara pengolahan, penggunaannya dan jenis-jenis penyakit yang dapat diobati oleh jenis tumbuhan tersebut. Sebagaimana diuraikan di atas dari lima puluh lima jenis tumbuhan, warga setempat menggunakannya untuk mengobati 32 jenis penyakit.

Kearifan lokal tentang tanaman obot-obatan dapat menjadi salah satu bentuk pengobatan alternatif dan berpotensi meningkatkan pendapatan masyarakat bila diberdayakan dengan melibatkan berbagai pihak yang kompeten. Sejauh ini langkah itu belum dilakukan secara optimal, rendahnya political will dan pemberdayaan masyarakat yang kurang sinergis menyebabkan kearifan lokal itu berkembang secara optimal bahkan cenderung layu.