• Tidak ada hasil yang ditemukan

TUMPANG TINDIH PERTAMBANGAN DAN KEHUTANAN

6.4. Kontestasi Internal Komunitas

6.4.2. Afiliasi Politik dan Konflik Elit

Afiliasi warga terhadap partai politik tercermin dalam pemilihan umum tahun 2009 terutama untuk pemilihan anggota legislatif Kabupaten Serang. Dalam masa kampanye afiliasi politik ditunjukkan dari pemasangan dan pemakaian atribut partai politik yang menjadi afiliasinya seperti kaos dan bendera partai politik. Menurut penuturan informan, afiliasi politik warga dalam pemilihan umum tidak berkaitan dengan paham keagamaan yang dianutnya, pilihan politik seseorang tidak dipengaruhi oleh paham keagamaannya. Sehingga afiliasi warga dengan partai politik, tidak menyebabkan pengelompokan sosial.

Dari penggalian informasi di lapangan, diketahui bahwa pilihan dan afiliasi warga pada partai politik dalam pemilihan umum bulan April 2009, didasarkan atas pertimbangan: (1) mengikuti pilihan partai politik orang yang ditokohkan/dihormati, (2) tokoh/pemimpin partai politiknya populer, (3) partai politik yang memiliki kepedulian sosial, (4) partai politik yang menjadi simbol perlawanan dan pembelaan wong cilik, (5) partai politik yang mengusung nilai agama (Islam), (6) partai politik yang memperjuangkan kesejahteraan petani.

Fenomena ini menunjukkan dua hal: pertama terjadi pergeseran sumber opini yang mempengaruhi masyarakat pedesaan atas afiliasi politik dalam pemilihan umum. Bila sebelumnya afiliasi politik dipengaruhi dan ditentukan tokoh masyarakat sebagai pembentuk opini, dewasa ini afiliasi politik penduduk

pedesaan dalam pemilihan umum dipengaruhi oleh terpaan informasi media audo visual. Informasi partai politik yang disiarkan oleh media televisi, cukup efektif membentuk opini masyarakat pedesaan untuk menentukan afiliasi politiknya secara bebas.

Kedua perubahan orientasi dan afiliasi politik masyarakat pedesaan dalam pemilihan umum, tidak lagi terpolarisasi atas ideologi tertentu163 (nasionalis dan religius), tetapi cenderung lebih pragmatis. Kondisi ini menyebabkan perbedaan afiliasi politik dalam pemilihan umum, tidak menimbulkan ketegangan- ketegangan sosial dalam masyarakat. Sejumlah warga menyatakan, afiliasinya dengan partai politik tertentu tidak didasarkan ikatan ideologis tetapi atas dasar pertimbangan sosiologis, seperti terungkap dari pernyataan seorang warga sebagai berikut: “afiliasi politik warga dalam pemilihan umum mengikuti pandangan orang yang dihormatinya seperti tokoh masyarakat, orang tua, majikan dan orang- orang yang berbuat baik serta informasi dan obrolan yang berkembang dalam ajang-ajang sosial yang berlangsung secara informal”.

Pergeseran afiliasi politik masyarakat pedesaan tak terlepas dari penghapusan kebijakan massa mengambang (floating mass), yang memungkinkan partai politik memiliki kepengurusan pada tingkat desa. Meskipun demikian tidak berarti partai politik berbasiskan ideologi kehilangan pengaruhnya di pedesaan. Partai politik yang berbasiskan ideologi agama, masih mendapat ruang di tengah masyarakat, terutama partai politik berbasis agama yang memiliki perpanjangan tangan sampai ke wilayah pedesaan dan partai politik yang mampu mengemas isu yang relevan dan menarik masyarakat164

.

Afiliasi politik yang menimbulkan ketegangan terjadi dalam pemilihan Kepala Desa, seperti pemilihan Kepala Desa Citaman. Antara pro dan kontra terhadap calon Kepala Desa pada waktu dan hal tertentu terjadi ketegangan dalam intensitas yang relatif tinggi. Dari penggalian informasi dengan narasumber, ketegangan sosial tersebut disebabkan faktor sebagai berikut:

163Dari penelitian di Mojokuto Geertz, menyimpulkan bahwa terdapat hubungan antara paham

keagamaan dengan afiliasi partai politik. Penganut modernism (Muhammadiyah) berafiliasi dengan partai Masyumi dan penganut konservatif (NU) untuk memilih PNI. Lihat Clifford Geertz, 1983, Abangan, Santri Priyayi Dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya.

164

Menurut informan partai politik dalam kategori ini antara lain Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Golkar.

Pertama hiruk pikuk politik dalam pemilihan Kepala Desa melibatkan kepentingan sosial ekonomi warga secara langsung dan kongkrit, seperti pengurusan KTP dan PBB, bantuan Raskin, kompor GAS, Askeskin, pelayanan kesehatan dan bantuan sarana produksi pertanian. Pihak yang mendapat kemudahan dan bantuan dari Kepala Desa cenderung membela Caleg Kepala Desa incumbent (petahana), sebaliknya mereka yang pernah dipersulit atau tidak mendapatkan bantuan, bersikap kontra terhadap Kepala Desa incumbent.Berbeda dengan pemilihan anggota legislatif dan Presiden, hanya melibatkan kepentingan semu warga. Hasil akhir pertarungan dalam pemilihan badan legislatif dan Presiden, tidak bersentuhan langsung dengan kepentingan dan perbaikan kesejahteraan masyarakat. Informan mengumpamakan pihak-pihak yang bersitegang dalam pemilihan badan legislatif dan Presiden sebagai “perebutan pepesan kosong.”

Kedua afiliasi politik warga dalam pemilihan kepala desa melibatkan elit desa termasuk tokoh agama. Keterlibatan pemimpin informal dan kharismatik seperti kiai, menyebabkan pemilihan kepala desa melibatkan dimensi psikologis dan emosial warga. Dalam pemilihan Kepala Desa Citaman keterlibatan kiai sebagai pembentuk opini, cukup efektif mendongkrak perolehan suara Kepala Desa yang dijagokannya.

Ketiga sejalan dengan semakin banyaknya program pembangunan pedesaan dan otonomi daerah, kedudukan Kepala Desa semakin penting secara politik dan ekonomi. Makna strategis kedudukan Kepala Desa, terlihat dari upaya yang dilakukan oleh incumbent dan pesaingnya untuk mengerahkan segenap sumberdaya ekonomi dan politik, termasuk penggunaan politik uang untuk memenangkan pemilihan Kepala Desa, seperti dituturkan informan sebagai berikut:

“Permainan politik uang” dalam pemilihan Kepala Desa dilakukan secara tertutup atau terbuka yang dikoordinir tim sukses masing-masing. Nilai “transaksi suara” bervariasi, berkisar Rp 10.000,- s/d Rp. 50.000,-. Calon Kepala Desa yang mampu “membeli suara pemilih” yang lebih besar berpeluang menang lebih besar.” Maraknya politik uang dalam pemilihan Kepala Desa karena berkembangnya fenomena, dimana warga sebagai pemilih merasa dirinya berhak “menjual suara” sementara calon kades merasa berhak “membeli suara pemilih” sesuai dengan kemampuannya.”

Pernyataan tersebut memberikan gambaran bahwa ”permainan politik uang” yang mengemuka pada pentas politik nasional, dewasa ini telah menembus wilayah pedesaan. Mistifikasi pembangunan ekonomi yang berlangsung pada aras nasional, berimbas pada proses moneterisasi di masyarakat pedesaan. Indikasinya adalah meluasnya pemburuan rente ekonomi dan munculnya perilaku masyarakat yang lebih mengedepankan preferensi ekonomi dari pada nilai agama, sosial budaya dan keluhuran politik. Maraknya politik uang dalam pemilihan kepala desa, menunjukkan bahwa warga dalam memberikan hak suara cenderung pragmatis dan kurang mempertimbangkan kualifikasi status, kompetensi dan kapasitas calon Kepala Desa yang dipilihnya. Permainan politik uang dalam pemilihan Kepala Desa yang terjadi di desa Citaman, melainkan juga terjadi di sejumlah pemilihan kepala desa di wilayah Jawa Tengah seperti dikemukakan Smith: (1982) 165

“Beberapa tokoh masyarakat memberitahukan bahwa di sejumlah desa, pemilihan kepala desa seringkali diwarnai oleh cara-cara untuk memperoleh dukungan melalui pembagian uang kepada calon pemilihnya. Dalam hal ini mereka yang memberi hadiah paling besar seringkali memiliki peluang pertama untuk memenangkan pemilihan sebagai calon kepala desa. Calon kepala desa yang menguasai sumber ekonomi berlebih atau menguasai tanah luas mempunyai kesempatan yang lebih terbuka untuk dipilih menjadi kepala desa.”

Keempat pertarungan dalam pemilihan Kepala Desa dipicu oleh perebutan penguasaan tanah kajaroan. Hal ini menunjukkan bahwa dalam pemilihan kepala desa pertimbangan motif ekonomi (penguasaan tanah) lebih menonjol daripada kehendak mengabdi membangun membangun desa. Sengitnya perebutan untuk menguasai tanah kajaroan dan sumber-sumber ekonomi lain, ditunjukkan oleh dengan “pecahnya kongsi” atau “koalisi” antara Kepala Desa dan Sekretaris Desa, untuk selanjutnya bertarung dalam pemilihan kepala desa pada periode berikutnya.

Kelima ketegangan politik akibat pertarungan pemilihan kepala desa meluas pada hubungan antar kelompok sosial. Ketegangan dipicu oleh pergantian Sekretaris Desa yang dilakukan oleh kepala desa yang tidak melibatkan Badan Perwakilan Desa (BPD) dan tokoh masyarakat yang bermukim di bagian atas desa

165 Lihat Theodor Smith (1982) “Kepala Desa: Pelopor Pembaharuan?” dalam Koentjaraningrat

(kampung Cibarugbug, Sibopong Landeuh, Sibopong Tengah, Sibopong Girang dan Pematang). Sebagian besar anggota BPD dan tokoh masyarakat bagian atas, mengharapkan agar Sekretaris Desa yang mendampingi Kepala Desa adalah M Bachraini. Beliau dipandang sebagai representasi aspirasi penduduk desa bagian atas, sehingga struktur politik desa berada dalam keseimbangan.

Sayangnya aspirasi BPD dan masyarakat Desa Citaman bagian atas, tidak ditanggapi positif dari Kepala Desa terpilih, karena yang diangkat sebagai Sekretaris Desa adalah keponakan Kepala Desa. Kepala Desa berdalih pengangkatan keponakannya sebagai Sekretaris Desa, telah memenuhi kualifikasi persyaratan minimal untuk menjadi perangkat desa, yakni sekurang-kurangnya berpendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan/atau berpengetahuan yang sederajat. Argumen Kepala Desa tidak dapat dipahami oleh BPD dan tokoh masyarakat, karena Kepala Desa mengabaikan persyaratan lain untuk menjabat perangkat desa seperti pengalaman dan umur.166

Pengangkatan Sekretaris Desa memang merupakan kewenangan Kepala Desa, tetapi pengangkatan yang hanya memperhatikan syarat administrasi (tingkat pendidikan) dengan mengabaikan kompetensi, pengalaman dan aspirasi BPD merupakan tindakan sewenang-wenang. Kondisi ini mengakibatkan ketegangan sosial setelah pemilihan Kepala Desa berlanjut dan Kepala Desa dituduh bersikap nepotis dalam pengangkatan perangkat desa. Berhembusnya isu nepotisme, menggambarkan semakin pentingnya peran politik dan ekonomi pemerintahan desa dalam masyarakat pedesaan. Terdapat gejala, di mana ajang perebutan kekuasaan di wilayah pedesaan, bukan hanya pada kedudukan Kepala Desa, tetapi meluas dalam jabatan-jabatan birokrasi desa termasuk Sekretaris Desa. Adanya rencana pemerintah yang akan mengangkat Sekretaris Desa sebagai pegawai negeri sipil, dapat dipastikan akan menambah sengitnya pertarungan untuk menduduki jabatan Sekretaris Desa.

166 Dalam UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah pasal 97 disebutkan untuk menjadi

Kepala Desa/perangkat desa adalah penduduk desa warga negara Republik Indonesia yang memenuhi syarat antara lain: (a) bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; (b) setia dan taat kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; (c) berpendidikan sekurang-kurangnya Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan/atau berpengetahuan yang sederajat; (d) berumur sekurang- kurangnya 25 tahun; (e) mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di desa setempat.