• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

2.1. Kelembagaan Lokal

Kelembagaan yang hidup dalam masyarakat bersifat dinamis dan kompleks, jenis dan ragamnya berkembang sesuai dengan dinamika kehidupan masyarakat.34 Interaksi desa dengan supra desa yang intensif mengakibatkan kelembagaan yang hidup dalam masyarakat pedesaan tidak hanya berasal dari dalam dan tumbuh dalam komunitas atau desa, tetapi juga berasal dari supra desa. Hal ini menunjukkan kelembagaan yang terdapat dalam wilayah pedesaan atau entitas bersifat dinamis dan kompleks.

Dinamika dan kompleksitas kelembagaan dalam masyarakat dapat disimak dari analisis yang dikemukakan oleh Tjondronegoro (1984). Menurutnya kelembagaan masyarakat berkembang secara kontinum, dari lembaga menjadi organisasi.35 Meskipun antara lembaga atau institusi sulit dipisahkan dan memiliki persamaan, tetapi antara keduanya terdapat perbedaan ciri-cirinya. Menurut Tjondronegoro, lembaga memiliki ciri: berorientasi pada kebutuhan, peranan yang dimainkan, upacara, pengawasan sosial, pengakuan karena membudaya, terlibatnya pendukung, tradisi turun-temurun, empiris, berpegang pada norma, prioritas usia dan gengsi dan sifat memenuhi kebutuhan tertentu. Sedangkan organisasi memiliki karakteristik: berorientasi pada tujuan, tugas yang dilaksanakan, prosedur, pengawasan peraturan, pengakuan karena didirikan resmi, kebiasaan karena rutin, digagas dan diwujudkan, kesetiaan dan ikatan pada tujuan, prioritas pada keterampilan dan kemampuan dan alat mencapai tujuan tertentu.

Kompleksitas kelembagaan dalam masyarakat juga dapat dilihat dari jangkauan dan cakupannya. Dimensi kelembagaan seperti ini dikemukakan oleh

34 Koentjaraningrat mengidentifikasi kelembagaan menurut fungsinya meliputi kelembagaan: (1)

kekerabatan/domestik, (2) ekonomi (mata pencaharian, produksi, menimbun dan distribusi kekayaan), (3) pendidikan, (4) ilmiah, (5) politik (mengatur kehidupan kelompok besar atau kehidupan negara), (5) keagamaan (untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhan), (6) estetika dan rekreasi (untuk menyatakan rasa keindahan dan rekreasi) dan (7) somatik (jasmaniah manusia). Lihat Koentjaraningrat, 1986. Pengantar Antropologi. Jakarta, Aksara Baru.

35 Sediono M.P Tjondronegoro, “Gejala Organisasi dan Pembangunan Berencana Dalam

Masyarakat Pedesaan di Jawa.” Dalam Koentjaraningrat (penyunting), 1984. Masalah-Masalah Pembangunan Bunga Rampai Antropologi Terapan. Jakarta LP3ES, p.220.

dikemukakan oleh Uphoff (1986). Ia mengidentifiksi kelembagaan secara hirakis dan vertikal: kelembagaan mikro, meso dan kelembagaan makro. Kelembagaan mikro atau kelembagaan lokal, adalah kelembagaan yang hidup dinamis dalam komunitas/masyarakat, baik publik, partisipatori maupun swasta. Dalam analisis Uphoff, kelembagaan lokal jangkauannya mencakup administrasi pemerintahan terkecil, seperti desa.36 Pada kelembagaan lokal yang bersifat publik, jangkauannya mencakup administrasi dan pemerintahan lokal dengan perangkat birokrasi yang terdapat di dalamnya. Pada kelembagaan lokal bersifat partisipatori, meliputi lembaga-lembaga yang tumbuh dalam masyarakat yang dibangun secara sukarela dan swadaya. Menurut Uphoff, kelembagaan lokal dapat berupa kelembagaan bisnis yang terdapat dalam suatu wilayah seperti kelembagaan pertanian, perdagangan, kerajinan, industri dan kelembgaan bisnis lainnya yang berorientasi profit.

Kelembagaan lokal baik partisipatori, publik maupun bisnis, dinamika dan kompleksitasnya dipengaruhi oleh kemampuan dan fungsinya dalam pemenuhan kebutuhan sosial dan ekonomi komunitas. Sepanjang kelembagaan lokal tersebut memiliki kapasitas dan adaptabilitas untuk memenuhi kebutuhan sosial dan ekonomi komunitas, eksistensinya akan terjaga dan terpelihara dengan baik. Tetapi bila kapasitas dan adaptabilitas melemah dan disfungsional, kelembagaan lokal tersebut hanya akan menjadi artefak sejarah. Salah salah kelembagaan lokal yang bersifat parsipatori dan persisten dalam kehidupan komunitas pedesaan adalah kelembagaan tata kelola sumberdaya agraria. Kelembagaan jenis ini ditemukan pada berbagai komunitas dan entitas di Indonesia.

Merujuk pada Schmidt, (1987)37, persistensi kelembagaan parsipatori ini disebabkan memiliki yurisdiksi, representasi dan mengatur hak kepemilikan

36 Lihat Uphoff, Norman, 1986.

Local Institutional Development: An Analytical Sourcebook With Cases. Conecticut, Kumarian Press. p.130

37 Yurisdiksi merujukpada adanya batas wilayah kekuasaan atau batas otoritas yang dimiliki oleh

suatu kelembagaan, mengatur siapa dan apa saja yang boleh dilakukan oleh anggota dalam suatu komunitas. Hak kepemilikan merupakan bagian integral dari kelembagaan, bentuknya dapat berupa hukum formal atau yang diatur dalam tradisi atau adat kebiasaan dalam suatu masyarakat. Aturan representasi mengatur siapa yang berhak berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Keputusan apa yang diambil dan apa akibatnya terhadap performa akan ditentukan oleh kaidah representasi yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan. Partisipasi warga ditentukan oleh hasil kesepakatan karena partisipasi sering berimplikasi pengorbanan atau adanya

sumberdaya. Perangkat aturannya mengatur hak, kewajiban dan tanggung jawab bagi anggotanya dan menyediakan jaminan sosial, kepercayaan dan perlindungan ekonomi (aturan main dan ”kepastian” tentang siapa memperoleh apa dan berapa banyak). Kelembagaan jenis ini secara sosiologis berpotensi menurunkan derajat ketidakpastian dalam kehidupan masyarakat. Dalam analisis Berkes (1989)38 hal ini disebabkan pada kelembagaan kategori ini bersifat praktis, menghargai kolektivitas dan resiprositas sesuai ruang spasial dan kulturalnya. Kelembagaan lokal ketegori ini tercakup dalam kelembagaan buyut, pipeling dan liliuran

sebelum meluasnya kapitalisasi sumberdaya pada komunitas petani di hulu DAS Cidanau.

Dalam perspektif sosiologi, kelembagaan yang hidup dalam suatu komunitas dapat dianalisis dalam dua perspektif. Perspektif pertama kelembagaan sebagai nilai, norma, aturan perilaku dan aturan main, dan perspektif kedua kelembagaan sebagai institusi/organisasi atau struktur. Pandangan yang menempatkan kelembagaan sebagai nilai, norma, aturan perilaku dan aturan main terangkum dalam fakta sosial yang dikemukakan oleh Emile Durkheim39 atau tindakan subjektif penuh arti (verstehen) yang dikemukakan oleh Max Weber.40

Kelembagaan sebagai nilai, norma, aturan perilaku dan aturan main, menurut Giddens (Scot, 2008) memberikan kedamaian bagi kehidupan sosial dan dukungan pada sistem sosial.41 Dalam analisis Scott (1989) keberadaan

ongkos yang dikeluarkan. Lihat Schmidt, A. 1987. Property, Power, and an Inquiry Into Law and Economic. New York Praeger.

38 Fikret Berkes, C. Folke and J. Colding, eds, 1998. Linking Social and Ecological Systems:

Management Practices and Social Mechanisms for Building Resilience. Cambridge: Cambridge University Press.

39 Durkheim membedakan fakta sosial atas material (dapat disimak, ditangkap dan diobservasi)

dan non material (fenomena inter subjektif dari kesadaran manusia). Fakta sosial material dan non material bersifat nyata dan eksternal. Fakta sosial antara lain kesadaran, sistem sosial, kesatuan masyarakat, nilai, keluarga, dan perusahaan dan pemerintahan. Emile, Durkheim, 1964. The Rule of Sociological Method. New York: The Free Press.

40 Inti pemikiran Weber adalah tindakan sosial penuh arti, hanya individu yang riil secara objektif

yang berarti, masyarakat hanyalah satu nama menunjuk pada sekumpulan individu. Menurut Weber tindakan sosial adalah tindakan individu sepanjang tindakannya mempunyai arti subjektif bagi dirinya dan diarahkan pada orang lain dan untuk memahaminya perlu empati dan pemahaman (verstehen). Lihat Max Weber, 1964. The Theory of Social and Economic Organization. New York: The Free Press.p.88

41Lihat Richard, W. Scot, 2008,

Institutions and Organizations, Idea and Interest. Los Angeles: Sage Publications. p.48-587.

kelembagaan komunitas di pedesaan pra kapitalis berfungsi sebagai “asuransi terselubung” dan “energi sosial” dalam mengatasi masalah-masalah kehidupan. Sehingga ketika kedua fungsi itu memudar akibat penetrasi kekuatan ekonomi kapitalis menimbulkan ketegangan sosial dan pemberontakan di pedesaan.42

Kelembagaan sebagai institusi/organisasi telah mendapat perhatian dari Durkheim dan Weber. Analis Durkheim tentang organisasi dijelaskan dalam pembagian kerja, solidaritas organis dan solidaritas mekanis.43 Analisis Weber tentang organisasi diuraikan dalam birokrasi modern berciri otoritas legal/rasional, regulatif, memiliki struktur formal dan aturan main yang diatur secara legal. 44

Peran kelembagaan lokal baik sebagai nilai, norma, aturan perilaku dan aturan main atau sebagai institusi, eksistensinya dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman dan budaya komunitas, fungsionalitas dan intensitas interaksinya dengan supralokal. Kelembagaan komunitas kehadirannya didorong oleh adanya kebutuhan bersama dari anggota untuk menciptakan ketertiban, keamanan dan keberlanjutan sumberdaya ataupun kesejahteraan. Dalam hal ini kelembagaan lokal merupakan upaya pemenuhan kebutuhan bersama yang dilembagakan. Karena keberadaannya didasarkan pada kebutuhan bersama, maka kelembagaan komunitas muncul dan tenggelam seiring dengan kebutuhan dan dinamika masyarakatnya.45 Kelembagaan komunitas akan tetap eksis jika dirasakan fungsional oleh masyarakatnya, dan akan ditinggalkan jika dirasakan sudah

disfunction.46

Kelembagaan lokal yang hidup dalam komunitas dapat berupa kelembagaan tradisional/adat dan kelembagaan bukan tradisional. Kelembagaan

42Scott, James, 1989.

Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. Jakarta, LP3ES.

43 Lihat Emile, Durkheim,1967.

The Division of Labor in Society. The Free Press, p.79,172.

44

Lihat Max Weber, 1964. The Theory of Social and Economic Organization. New York: The Free Press Press, p,328,358.

45Berkaitan dengan fungsi kelembagaan, Soekanto mengidentifikasinya atas empat hal, yaitu (1)

memenuhi kebutuhan pokok manusia, (2) memberi pedoman pada anggota masyarakat bagaimana mereka bersikap dan bertingkah laku dalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat, terutama yang menyangkut pemenuhan kebutuhan-kebutuhan manusia, (3) menjaga keutuhan masyarakat, dan (4) memberi pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan kontrol sosial. Soerjono, Soekanto. 1990. Sosiologi, Suatu Pengantar. Jakarta, Rajawali.

46 Lihat Masyhuri Imron, Peran Pemerintah Dalam Pengembangan Kelembagaan Masyarakat

Nelayan” Makalah disampaikan Dalam Seminar Peningkatan Kapasitas Kelembagaan MasyarakatNelayan”, Bappenas, 21 April 2009.

tradisional dibentuk dan dipraktikkan secara turun-temurun oleh masyarakat yang bersangkutan. Sedangkan kelembagaan bukan tradisional bentuknya mungkin tradisional (belum memiliki struktur kepengurusan seperti kelembagaan modern), tetapi merupakan bentukan generasi baru (bukan turun-temurun) atau hasil bentukan (intervensi) dari luar komunitas, seperti KUB (Kelompok Usaha Bersama), Kelompok Tani Hutan, Lembaga Masyarakat Desa Hutan dan sejenisnya.

Struktur kelembagaan lokal tidak selalu formal, tetapi nilai dan aturan mainnya tersosialisasikan secara melembaga, sehingga kelembagaan lokal terinternalisasikan secara terus-menerus. Internalisasi kelembagaan lokal dalam suatu komunitas berkaitan dengan pengetahuan/kearifan lokalnya. Kearifan lokal merupakan totalitas pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki komunitas dalam wilayah geografis tertentu yang memungkinkan mereka menjangkau dan menata lingkungan alamiahnya. Pengetahuan dan keterampilan komunitas bersumber dari pengalaman trial and error dan berasal dari proses adaptasi dan akomodasi terhadap keadaan dan lingkungan yang senantiasa berubah.

Pengetahuan lokal yang hidup dalam suatu komunitas merupakan implikasi dari keterlibatannya dengan tradisi, praktik tata kelola sumberdaya dan lingkungan. Dalam istilah Geertz pengetahuan lokal berakar pada pengalaman dan ruang spasial.47 Meskipun demikian, pengetahuan lokal bukan merupakan suatu kategori pengetahuan yang bersifat distingtif dan terpisah, murni yang diwariskan, dipelajari dan dilestarikan secara apa adanya.48 Sebaliknya pengetahuan lokal dikonstruksi oleh para partisipan dan pelakunya melalui uji coba, praksis dan wacana secara terus menerus. Karena sifat dasar dari setiap bentuk pengetahuan manapun termasuk pengetahuan lokal selalu kontekstual dan menyerap unsur-

47 Kajian antropologis tentang proses pembentukan pengetahuan lokal diulas oleh Geertz. Lihat

Clifford Geertz. 2003. Pengetahuan Lokal: Esai-Esai Lanjutan Antropologi Interpretatif.

Yogyakarta: 253-267.

48 Pengetahuan lokal bersifat kategoris dan distingtif dikemukakan kaum positvis/modernis karena

landasan metodologis/epistemologis pengetahuan lokal dan pengetahuan modern berlainan di dalam menangkap realitas. Pengetahuan sains bersifat terbuka, sistematis, objektif, analitis dan dikembangkan melalui capaian-capaian rigorus terdahulu, sedangkan indigenous knowledge dinilai tertutup, non-sistematis, holistis ketimbang analitis dan dikembangkan atas dasar pengalaman dan bukan berdasar logika deduktif. Lihat Agrawal, A. ‘Indigenous and Scientific Knowledge: Some Critical Comments”, Indigenous Knowledge and Development Monitor 3(3), 1995

unsur yang berlainan.49 Gambaran bahwa pengetahuan lokal bersifat orisinal dan statis merupakan konstruksi “the other”. Karakteristik dari pengetahuan lokal seperti ini ditemukan dan dialami oleh berbagai entitas.

Dalam kajian Nygren terhadap komunitas lokal di Rio San Juan, salah satu “the other” yang menempatkan pengetahuan lokal bersifat distingtif adalah petugas/ agensi konservasi.50 Mereka memandang kelembagaan lokal sebagai

“ignorant” dan kendala pembangunan, dipersepsi terbelakang dan terasing. Karena itu agensi konservasi berpendapat, negara dan agensi pembangunan berkewajiban untuk menolong dan membawanya menuju kebudayaan modern dan global. Prejudice tersebut menyebabkan benturan antara otoritas konservasi dengan komunitas lokal di kawasan penyangga hutan lindung. Para petugas konservasi memandang bahwa komunitas lokal hidup dalam suatu habitat tropis yang kaya, namun mereka tidak menyadari keanekaragaman hayatinya dan tidak tahu bagaimana cara memeliharanya. Agensi konservasi memandang dirinya sebagai aktor yang memiliki kapasitas untuk melakukan konservasi atas kekayaan ekologis hutan tropis.

Perbedaan pengetahuan dan kelembagaan dalam merawat hutan tropis, selanjutnya dijadikan alasan untuk memperkuat hak-hak pemegang otoritas konservasi untuk mengontrol sumberdaya alam dan komunitas lokal. Mereka menganggap komunitas lokal memerlukan bimbingan dan pencerahan agar mencapai kesadaran lingkungan yang modern.51 Kalaupun terdapat penghargaan terhadap kelembagaan lokal terbatas pada upaya memperkaya diskursif bukan sebagai basis diskursif dan praksis tata kelola hutan tropis dan lingkungannya.52

49 Sillitoe, Paul, “The Development of Indigenous Knowledge: A New Applied Anthropology”

Current Anthropology, Vol. 39, No. 2, 1998.

50Nygren, 1999. “Indigenous Knowledge in Environment Development Discourse: From

Dichotomies to Situated Knowledge” dalam Crtique of Antropology Vol. 19 No. 3 Th 1999

51 Pemahaman demikian dikemukakan oleh konservasionis. Sebaliknya eko-populis memandang

masyarakat adat/lokal memiliki kemampuan untuk melakukan konservasi lebih baik dan pengawal kelestarian sumberdaya. Lihat Wittemer, Heidi dan Regina Bitmer, 2005. Between Conservationsm, Eco-Populisme and Developmentalism: Discurse in Biodiversity Policy in Thailand and Indonesia. CAPRI Working paper No. 37. Washington DC, International Food Policy Research Institute.

52 Eko populis memandang kelembagaan lokal sebagai gudang kesadaran refleksif, mitos- pada

komunitas lokal sebagai sikap hormat terhadap alam (repect for nature), mengandung moral responsibility for nature, solidaritas kosmis, kasih sayang dan kepedulian terhadap alam, no harm,

Pandangan agensi kehutanan dan konservasi tentang kelembagaan lokal di Rio San Juan Brazil yang dikemukakan Nygren, ternyata terjadi dan dialami oleh komunitas sekitar hutan di Indonesia, seperti Komunitas Dayak Kanarakan di Kalimantan, komunitas Kulawi di Bolapapu, Sulawesi Tengah dan komunitas Naulu di Seram Tengah Maluku. Pandangan pemangku otoritas atau “the other” terhadap komunitas lokal yang cenderung bersifat prejudice merupakan ”pembungkus” dalam proses ”teritorialisasi” karena sering berujung pada penguasaan sumberdaya dan peluruhan kelembagaan komunitas.

Pada Komunitas Dayak Kanarakan di Kalimantan Tengah, penetrasi supra lokal melalui industrialisasi kehutanan menyebabkan anomali, degradasi dan bersitegangnya posisi asosiasi-asosiasi tradisional ke aras bawah komunitas, resiprositas dan kerjasama balas-membalas yang sebelumnya berskala luas bergeser ke dalam jaringan primordial.53 Pada komunitas Kulawi, penetrasi kelembagaan supra lokal telah menyebabkan terkooptasinya kelembagaan tradisional totua ngata dan mendorong terjadinya pertarungan antar kelompok sosial yakni Totua Ngata dengan Ngato Toro. 54 Pada komunitas Naulu di Seram Tengah, kehadiran perusahaan kehutanan yang mengeksploitasi hutan menimbulkan kerusakan ekosistem hutan dan ketidakpastian kehidupan. Karena pengusahaan hutan yang dilakukan oleh pemilik modal di wilayah suku Naulu mengakibatkan kerusakan eksosistem hutan, hilangnya binatang buruan dan ikan di sungai, kesulitan suku Naulu mendapatkan makanan, deforestasi dan degradasi hutan.55

Kapitalisasi sumberdaya hutan yang berujung pada marginalisasi kelembagaan lokal bukan hanya terjadi pada komunitas Dayak Kanarakan, berkeadilan, demokrasi, dan integritas moral. Bryant, Raymond L., “Power, Knowlwdge and Political Ecology in the Third World: A Review,” Progress in Geography, 22 (1),p. 998.

53

Lihat Siregar, Budi Baik, 2004. “Modal Sosial Komunitas Perladangan (Kasus Komunitas Kanarakan, Kecamatan Bukit Batum Kota Palangkaraya, Propinsi Kalimantan Tengah”. Thesis, Pascasarjana IPB

54

Lihat Hunawu, Momy, 2004. “Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berkelanjutan: Terjadinya Pertarungan Pengetahuan Antar Pemimpin Lokal (Studi Kasus Kepemimpinan Lokal Pada Komunitas Kulawi di Desa Bolapapu, Sulawe Tengah”. Thesis, IPB.

55Roy Ellen, 2002. “Pengetahuan tentang Hutan, Transformasi Hutan: Ketidakpastian Politik,

Sejarah Ekologi dan Renegosiasi Terhadap Alam di Seram Tengah,” dalam Tania Murray Li (peny.), 2002. Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

komunitas Kulawi dan komunitas Naulu, tetapi juga dialami oleh komunitas petani hutan di hulu DAS Cidanau Kabupaten Serang. Mistifikasi pembangunan ekonomi dan menguatnya kontestasi sektoral, mengakibatkan peluruhan kelembagaan buyut, pipeling, liliuran, tanah kajaroan dan tanah kaguronan

yang merupakan keunikan di kawasan hulu DAS Cidanau.