• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berdasarkan pembahasan yang dijelaskan pada bab sebelumnya, maka pada bagian ini dirumuskan kesimpulan dan implikasinya terhadap politik tata kelola sumberdaya hutan dan kawasan DAS.

9.1. Kesimpulan

Pertama, tata kelola sumberdaya agraria berbasis kelembagaan lokal mengandung visi dan orientasi mengenai produksi dan konservasi secara terintegrasi. Visi dan orientasinya terkandung dalam konsepsi buyut dan pipeling

yang berfungsi sebagai mekanisme, rangkaian hak (bundle of rights) dan aturan main yang mengedepankan keselarasan kebutuhan manusia dan keberlanjutan sumberdaya (wide ecological sustainability). Pemanfaatan sumberdaya yang melebihi daya dukung (carrying capacity) dan daya lenting (resilience), sama dengan menghancurkan diri sendiri karena manusia merupakan bagian dari ekosistem. Dalam kegiatan berladang dan berkebun, praktik dan tata kelola sumberdaya berbasis kelembagan dan kearifan lokal, diwujudkan melalui system olah tanah gilir balik, ngaseuk, coo benih, pemberantasan hama ramah lingkungan, masa tanam mengikuti daur musim dan pergiliran tanaman.

Kelembagaan buyut, pipeling dan liliuran di hulu DAS Cidanau sejalan dengan ciri kelembagaan parsipatori yang dikemukakan Up Hoff, yakni tumbuh dari akar rumput, terintegrasi dengan kehidupan sosial, ekonomi, tradisi dan berkembang sesuai kondisi ruang spasial dan ekologi lokal. Praktik dan tradisi tata kelola sumberdaya komunitas petani di hulu DAS Cidanau mengukuhkan pendapat Redfield, yakni merupakan komunitas dinamis dan adaptif dengan dinamika sosial ekonomi di luar komunitas. Mereka bukan hanya aktif dalam aktivitas agroforestry dan menjadi produsen komoditas perkebunan, tetapi juga terlibat dalam proses politik dan menjadi bagian dari partai politik tertentu dan memiliki ikatan emosional dengan penguasa dan elit pada aras lokal, regional dan nasional.

Persistensi dan adaptabilitas kelembagaan buyut, pipeling dan liliuran di hulu DAS Cidanau sebelum berlangsungnya kapitalisasi negara dan sumberdaya

hutan, menggambarkan kelembagaan komunitas yang dikemukakan Scott (1989), yakni berperan sebagai “asuransi terselubung” dan menjadi “energi sosial” dalam mengatasi masalah-masalah kehidupan.

Kedua kontestasi kelembagaan lokal dengan supra lokal memiliki latar belakang historis dan berkaitan dengan dinamika politik nasional dan global, karena kebijakan dan dinamika politik pada pentas nasional berimplikasi luas pada aspek sosial ekonomi dan politik aras lokal. Kontestasi sektoral dan kontestasi lokal-supralokal menegasikan kelembagaan komunitas, karena pembangunan sektoral diikuti kapitalisasi negara dan pembentukan kelembagaan baru yang menjadi substitusi kelembagaan komunitas.

Kelembagaan ”baru” bentukan supra lokal merupakan hasil konspirasi aparat di atas desa dengan elit desa, tujuannya untuk menangkap peluang ekonomi dari pembangunan pedesaan dan strukturnya seragam. Ini berbeda dengan kelembagaan komunitas yang tumbuh dari akar rumput, bersifat unik dan beragam sesuai dengan kondisi sosial, ruang spasial dan ekologi lokal. Penetrasi kelembagaan pemerintah yang bersifat substitusi berimplikasi negatif terhadap keberadaan kelembagaan komunitas, karena mendorong proses komersialsiasi dan kapitalisasi sumberdaya pedesaan.

Proses pembangunan yang diwarnai komersialsiasi dan kapitalisasi sumberdaya tidak memberdayakan masyarakat pedesaan, sebaliknya cenderung memperdaya dan meningkatkan ketergantungan masyarakat ke luar dan di atas desa yang disebut Sajogjo modernization without development. Dampak negatif lain dari kapitalisasi sumberdaya adalah mereduksi ruang otonom di wilayah pedesaan yang disebut Tjondronegoro sodality dan pembangunan menjadi proses penetrasi dan ekspansi kekuatan modal yang membonceng masuk melalui program pembangunan ekonomi dan industrialisasi pedesaan. Kapitalisasi dan komersialsiasi sumberdaya juga mengakibatkan dinamika dan panggung politik wilayah pedesaan ditentukan oleh bentuk konspirasi pemilik modal dan aparat Pemerintah di aras supra desa. Kondisi ini mengakibatkan proses pemilihan kepala desa diwarnai penggunaan politik uang dan otonomi desa tak terlepas dari kepentingan politik dan ekonomi pemilik modal dan aparat pemerintah di atas desa. Dampak lebih lanjut kapitalisasi dan komersialsiasi tersebut adalah

demokratisasi dan desentralisasi politik wilayah pedesaan berlangsung secara prosedural, transaksional dan tidak mampu mereposisi pemerintahan desa dan mingkatkan perbaikan kehidupan ekonomi masyarakat pedesaan.

Ketiga arus utama politik agraria utilitarian dan betting on the strong

berdampak pada komoditifikasi sumberdaya agraria, peluruhan kelembagaan komunitas secara sistemik (terjadi pada aras sistem, organisasi dan individual), dan mendeligitimasi kepemimpinan komunitas/informal, tetapi mengkonstruksi posisi pemerintah desa menjadi semakin dependen. Demokratisasi dan desentralisasi kekuasaan di wilayah pedesaan, di satu sisi mengarah pada resentralisasi kekuasaan seperti tampilnya pamong desa sebagai “raja-raja lokal” atau bahkan menjadi predator. Di sisi lain, semakin tergantungnya pemerintah desa pada kekuatan supra dan di atas desa.

Pendekatan konservasi secara ekofasis (menempatkan area konservasi sebagai enclave dan relokasi ex-situ) di tengah ketimpangan struktur agraria,tidak menyelesaikan masalah konservasi dan masalah agraria di Rawa Danau, sebaliknya menimbulkan pendudukan petani dan konflik berkepanjangan. Pendekatan konservasi secara ekofasis mengakibatkan terputusnya petani dengan basis ekonominya dan mengalienasi ikatan emosi, sosial dan sejarahnya. Pendekatan ex-situ sebagai bentuk land reform yang didasarkan pendekatan dan pertimbangan teknik semata-mata, dalam kenyataan menjadi “pemindahan kemiskinan” ke luar Jawa. Kondisi ini mencerminkan kegagalan pemangku otoritas mewujdukan tujuan politik agraria untuk kesejahteraan rakyat. Indikasinya adalah depeasanisasi, tampilnya predator agraria dan penggusuran petani dan kepedulian semu terhadap komunitas petani dan jasa lingkungan.

Dalam tata kelola DAS, ditunjukkan oleh ketidakmampuan pemangku otoritas membangun ”rumah bersama” dan jejaring hulu hilir DAS secara terpadu dan subordinasi kelembagaan komunitas. FKDC yang seharusnya menjadi ”rumah bersama”, mediator dan fasilitator antara komunitas petani dengan perusahaan dan pemerintah, dalam kenyataan dikooptasi birokrasi dan koorporasi. Rapuhnya bangunan ”rumah bersama” mengakibatkan pembayaran jasa lingkungan kepada petani hutan tidak menghilangkan ketidakadilan ekologi dan ekonomi di hulu DAS Cidanau. Dominasi birokrasi dalam FKDC sebagai ”rumah bersama”,

mengakibatkan keputusannya tidak aspiratif, tidak partisipatif dan tidak independen. Dalam kaitananya dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan dapat dikatakan yurisdiksi dirumuskan tanpa representasi dan demokrasi.

2. Saran dan Implikasi Kebijakan

Dari temuan empirik di lapangan dapat dikemukakan beberapa saran kebijakan untuk mengatasi persoalan yang dihadapi petani sekaligus untuk pembangunan komunitas sekitar hutan. Adapun beberapa saran kebijakan dimaksud sebagai berikut:

Pertama tata kelola agraria berbasis kelembagaan lokal yang mengintegrasikan produksi dan konservasi hendaknya dipertimbangkan menjadi pilihan kebijakan dan mendapat ruang dalam politik tata kelola sumberdaya agraria. Praktik tata kelola sumberdaya agraria berbasis kelembagaan komunitas yang perlu diperhatikan adalah tradisi pemuliaan dan pergiliran tanaman, kearifan lokal tentang tanaman pangan dan obat-obatan, zonasi hutan, teknologi gilir balik, sistem tebang pilih dan sistem olah tanah konservasi. Praktik tata kelola sumberdaya tersebut kondusif untuk menjaga keamanan subsistensi petani dan mendukung pembangunan pertanian dan kehutanan berkelanjutan.

Kedua penguatan kelembagaan komunitas mensyaratkan perubahan struktur signifikansi (sistem ilmu pengetahuan/ideologi), struktur otoritatif, alokatif dan legitimasi (norma dan hukum). Peningkatan kapasitas kelembagaan komunitas dapat dilakukan melalui revitalisasi dan pengakuan keabsahan secara yuridis. Pemetaan wilayah hutan secara partisipatif dan pelibatan komunitas dalam pemanfaatan sumberdaya hutan mulai perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan monitoring merupakan langkah strategis untuk membangun kemandirian masyarakat sekitar hutan dan mengurangi konflik agraria di sekitar hutan dan kawasan DAS.

Ketiga untuk meminimalkan peluruhan kelembagaan komunitas, perlu terobosan politik untuk merasionalisasi kawasan hutan. Wilayah yang diklaim kawasan hutan tetapi sesungguhnya “bukan hutan”, diidentifikasi, diregistrasi dan dipetakan sebagai obyek reforma agraria. Kebijakan kehutanan pro populis seperti pengakuan hak sosial ekonomi masyarakat, perluasan akses dan kesempatan

petani pemilik lahan sempit dan tak bertanah terhadap sumberdaya agraria dan

land reform adalah kebijakan strategis yang dapat memperbaiki kehidupan masyarakat sekitar hutan. Adanya ”rumah bersama” dalam tata kelola DAS, yang memungkin partisipasi masyarakat adalah langkah strategis untuk membangun kelembagaan DAS hulu hilir secara terpadu. Demikian pula perluasan area hutan rakyat yang obyek insentif jasa lingkungan dan alokasi anggaran hijau yang memadai adalah kondusif untuk perbaikan petani dan tata DAS berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA

Agrawal, A. ‘Indigenous and Scientific Knowledge: Some Critical Comments’, Indigenous Knowledge and Development Monitor 3(3), 1995

Agger, Ben, 2003. Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Anderson, Benecdict, 2001. Imagined Communities. Yogyakarta: INSIST. Arifin, Susilo. 2005. Harmonisasi Pembangunan Pertanian Berbasis DAS Pada

Lanskap Desa Kota Kawasan Bogor Puncak Cianjur. Bogor: Fakultas Pertanian IPB.

Awang, San Afitri, 2003. Politik Kehutanan Masyarakat. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Bank Dunia, 2006. Laporan Bank Dunia: Kesetaraan dan Pembangunan. Jakarta: The World Bank-Salemba Empat.

Bappeda Kabupaten Serang, 1999.Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah DAS Cidanau. Serang: Bappeda Kabupaten Serang – Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (BRLKT), DAS Citarum- Ciliwung.

BAPPENAS, 2003. Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia 2003-2020. Jakarta, BAPPENAS.

Beck, Ulrich, 2000. “Risk Society Revisited: Theory, Politics and Research Programmes” in J. Van Loon (ed). The Risk Society and Beyond Critical Issues for Social Theory. London: Sage.

Berkes, Fikret, C, Folke and J. Colding, eds, 1998. Linking Social and Ecological Systems: Management Practices and Social Mechanisms for Building Resilience. Cambridge: Cambridge University Press.

Beugelsdijk S, Smulders, S, 2003. Bridging and Bonding Social Capital: Which Type is Good for Economic Growth?. Faculty of Economics. Tilburg University. s.beugelsdijk@uvt.nl and j.a.smulders@uvt.nl.

Billie, Dewalt, R. 1994. Using Indigenous Knowledge to Improve Agriculture and Natural Resource Management. Human Organization, Vol. 53, No. 2. Biot, Y, Blaike, M., and Palmer - Jones, 19995. Rethinking Research on Land

Degradation in Developing Countries. World Bank Discussion Paper No. 289. World Bank: Washington.

Balai Konservasi dan Sumberdaya Alam, (BKSDA) 2005. Ekspose Penanganan Perambahan dan Pemukiman Liar di Cagar Alam Rawa Danau. Serang: BKSDA

Biro Pusat Statistik. 2003. Statistik Potensi Desa, BPS, 2003.

Bradford, Delong,J.2009. “Globalization” and “Neoliberalism” downloaded from http://con161 berkleley.edu/Econ_ Articles/Rrevie. at October 24.2009.

Bremen, Jan 1997. Menjinakkan Sang Kuli: Politik Kolonial, Tuan Kebun dan Kuli di Sumatera Timur Pada Awal Abad ke 20. Jakaarta: Pustaka Utama Grafiti.

Brinkerhoff, Derick W, and Arthur A. Goldsmith, 1992. Promoting the Sustainability of Development Institutions: A Framework for Strategy”,

World Development, Vol. 20.

Bryceson, Deborah; Cristóbal Kay, and Jos Mooij, 2000, Disappearing Peasantries? Rural Labour in Africa, Asia and Latin America. London: Intermediate Technology Publications.

Bryant, Raymond L., “Power, Knowlwdge and Political Ecology in the Third World: A Review,” Progress in Geography, 22 (1).

Creswell, John W, 1994. Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches.USA: Saga Publications.

Diez, Ton, 1998. Pengakuan Hak Atas Sumberdaya Alam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar-Insist-Remedec.

Djuweng, Stepanus, “Orang Dayak, Pembangunan dan Agama Resmi” dalam Stepanus Djuweng, Yando Zakaria dkk, 1996. Kisah Dari Kampung Halaman: Masyarakat Suku, Agama Resmi dan Pembangunan”. Yogyakarta: Interfidei

Djojohadikusumo, Sumitro 1991. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Yayasan Obor Indonesia.

Dove, Michael, “Representasi Orang yang Berbudaya Lain” oleh” Orang-Orang Lain”: Tantangan Etnografis tentang Pandangan Pengusaha Perkebunan terhadap Petani Kecil di Indonesia” dalam Tania Murray Li (peny.), 2002. Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indoensia.

Dwivedi, Ranjit, 2001.”Environmental Movements in the Global South: Issues of Livelihood and Beyond”, in International Sociology, March 2001, Vol 16 (1).

Ellen, Roy, “Pengetahuan tentang Hutan, Transformasi Hutan: Ketidakpastian Politik, Sejarah Ekologi dan Renegosiasi Terhadap Alam di Seram Tengah,” dalam Tania Murray Li (peny.), 2002. Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Escobar, Arturo, 1999. “After Nature: Steps to an Antiessentialist Political Ecology” in Current Anthropology Volume 40 Number 1 Februari.

Evers, Hans Dieter dan Schiel, 1990. Kelompok Strategis: Perbandingan Tentang Negara Birokrasi dan Pembentukan Kelas di Dunia Ketiga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Durrkheim, Emile. 1967. The Division of Labor in Society. The Free Press. Durkheim, Emile, 1964. The Rule of Sociological Method. New York: The Free