• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak Kebijakan Upah Minimum Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri dan Perdagangan, Hotel dan Restoran di Pulau Jawa Pada Era Otonomi Daerah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dampak Kebijakan Upah Minimum Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri dan Perdagangan, Hotel dan Restoran di Pulau Jawa Pada Era Otonomi Daerah"

Copied!
225
0
0

Teks penuh

(1)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih dikenal dengan istilah otonomi daerah sebagai salah satu wujud perubahan fundamental terhadap sistem pemerintahan. Adanya sistem pemerintahan otonomi di Indonesia diperkuat dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom. Pelaksanaan kebijakan otonomi daerah ini bertujuan untuk menciptakan pemerataan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi sehingga dapat mengatasi masalah kemiskinan dan ketenagakerjaan yang masih terus terjadi di wilayah Indonesia.

Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini yaitu ketenagakerjaan. Bidang ketenagakerjaan merupakan suatu hal yang sangat esensial dalam usaha memajukan perekonomian. Usaha yang dimaksud dalam bidang ini adalah menyediakan lapangan kerja yang cukup untuk dapat mengimbangi pertambahan angkatan kerja yang masuk ke pasar kerja, dimana pada umumnya permasalahan dalam ketenagakerjaan yang masih dihadapi pada era otonomi daerah ini adalah meningkatnya jumlah angkatan kerja yang cukup besar sementara belum diiringi dengan kesempatan kerja yang memadai sehingga menimbulkan adanya gap

dalam bentuk pengangguran.

(2)

sejumlah 98,81 juta orang menjadi 116,52 juta orang. Peningkatan tersebut memiliki laju pertumbuhan sebesar 17,92 persen. Adapun dari jumlah angkatan kerja tersebut sekitar 60 persen berada di wilayah Pulau Jawa yang tersebar di enam provinsi yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Banten. Perkembangan ekonomi dan perkotaan yang pesat serta sebagai pusat pemerintahan yang dianggap mampu memberikan segala kemudahan dalam pemenuhan kebutuhan menjadi salah faktor penyebab perpindahan penduduk yang secara tidak langsung memberikan dampak terhadap meningkatnya jumlah angkatan kerja.

Data pada tabel 1.1 menunjukkan bahwa meningkatnya jumlah penduduk di wilayah Pulau Jawa juga diikuti oleh peningkatan jumlah angkatan kerja dari sebesar 59,81 juta orang menjadi 67,74 juta orang dengan laju peningkatan sebesar 13,24 persen. Laju pertumbuhan angkatan kerja yang belum diiringi dengan meningkatnya lapangan kerja yang memadai di wilayah Pulau Jawa menyebabkan rata-rata tingkat pengangguran terbuka setiap tahunnya sebesar 10,47 persen. Tingkat pengangguran terbuka mengalami peningkatan dari tahun 2001 sebesar 9,58 persen menjadi 12,15 persen pada tahun 2005, kemudian pada tahun 2006 mulai mengalami penurunan akan tetapi penurunan tersebut belum signifikan dan masih besar jumlahnya.

(3)

Masih besarnya angka pengangguran di wilayah Pulau Jawa mengindikasikan bahwa jumlah tenaga kerja yang ditawarkan di pasar tenaga kerja belum mampu terserap dalam kegiatan-kegiatan ekonomi secara optimal.

Tabel 1.1. Jumlah Penduduk 15 Tahun Keatas Berdasarkan Kegiatan Selama Seminggu Yang Lalu

Tahun Bekerja

2001 54.591.472 5.227.293 59.818.765 9,58

2002 54.713.015 5.611.538 60.324.553 10,26

2003 53.972.413 5.888.982 59.861.395 10,91

2004 56.010.983 6.332.092 62.343.075 11,31

2005 56.484.071 6.863.512 63.347.583 12,15

2006 57.033.546 6.857.059 63.890.605 12,02

2007 59.910.151 6.414.278 66.324.429 10,71

2008 60.579.396 6.131.805 66.711.201 10,12

2009 61.760.684 5.708.454 67.469.138 9,24

2010 62.497.993 5.243.585 67.741.578 8,39

Rata-rata 57.755.372 6.027.860 63.783.232 10,47 Sumber : BPS, SAKERNAS 2001-2010 (diolah)

(4)

Berdasarkan data pada tabel 1.2 selama kurun waktu tahun 2001 hingga 2010, sektor pertanian memiliki proporsi jumlah tenaga kerja relatif lebih besar diikuti oleh sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Pada tahun 2001 sektor pertanian memiliki jumlah persentase sebesar 36,06 persen, sektor industri 17,02 persen, dan sektor perdagangan, hotel dan restoran 21,44 persen. Kemudian pada tahun 2010 sektor pertanian memiliki jumlah yang lebih rendah sebesar 30,01 persen, sedangkan sektor industri dan sektor perdagangan, hotel dan restoran mengalami peningkatan dalam menyerap tenaga kerja menjadi 17,19 persen dan 23,60 persen.

Tabel 1.2. Jumlah Tenaga Kerja Berdasarkan Lapangan Usaha di Pulau Jawa Tahun 2001-2010 (persen)

Tahun Sumber : BPS, SAKERNAS 2001-2010 (diolah)

Keterangan : 1. Sektor Pertanian

(5)

8. Sektor Keuangan, Sewa dan Jasa Perusahaan 9. Sektor Jasa-Jasa

Data dalam tabel 1.3 menunjukkan bahwa sektor industri memiliki kontribusi PDRB terbesar pertama, dan sektor perdagangan, hotel dan restoran merupakan sektor yang memiliki kontribusi PDRB terbesar kedua untuk wilayah Pulau Jawa. Pada tahun 2001 hingga 2010, kontribusi PDRB rata-rata sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 31,03 persen dan 23,25 persen terhadap total PDRB di Pulau Jawa dengan laju pertumbuhan rata-rata setiap tahunnya sebesar 4,38 persen dan 6,84 persen. Semakin berkembangnya kedua sektor tersebut secara tidak langsung diharapkan mampu memberikan efek multiplier terhadap penyerapan tenaga kerja agar mampu mengurangi tingkat pengangguran yang masih tinggi di wilayah Pulau Jawa. Terlebih lagi dengan adanya proporsi jumlah pengangguran terdidik yang relatif besar, maka sektor yang sifatnya lebih formal dan mampu menyerap tenaga cukup besar diharapkan untuk dapat menampung jumlah tenaga kerja lebih besar lagi.

(6)

menunjukkan bahwa sektor industri dan sektor perdagangan, hotel dan restoran mampu memberikan pertumbuhan yang cukup baik dari segi pendapatan, akan tetapi dalam sisi penyerapan tenaga kerja belum cukup baik .

Tabel 1.3. Kontribusi PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 di Pulau Jawa tahun 2001 - 2010 (persen)

Keterangan : 1. Sektor Pertanian

2. Sektor Pertambangan dan Galian

(7)

dengan tingkat upah yang layak. Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah adalah dengan menetapkan kebijakan tingkat upah minimum. Tingkat upah minimum ditetapkan secara sektoral dan regional. Mulai tahun 2001, tingkat upah minimum regional dikenal dengan tingkat Upah Minimum Propinsi (UMP) dan Upah Minimum Kota (UMK). Tingkat upah minimum yang ditetapkan di atas tingkat upah rata-rata yang diperoleh pekerja kemungkinan besar akan menyebabkan pengusaha mengurangi penggunaan tenaga kerja sehingga pertumbuhan penyerapan tenaga kerja akan berkurang.

Pada bagian sebelumnya dijelaskan bahwa di pasar tenaga kerja, penawaran tenaga kerja oleh masyarakat lebih besar daripada permintaan tenaga kerja oleh pengusaha sehingga terjadi pengangguran. Masih rendahnya tingkat pertumbuhan penyerapan tenaga kerja sektor industri dan sektor perdagangan, hotel dan restoran di wilayah Pulau Jawa menjadi suatu topik yang menarik untuk diteliti apakah kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah daerah di era otonomi terkait adanya upah minimum di pasar kerja dapat memengaruhi penyerapan tenaga kerja di sektor industri dan perdagangan, hotel dan restoran?. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk meneliti “Dampak Kebijakan Upah Minimum Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri dan Perdagangan, Hotel dan Restoran di Pulau Jawa Pada Era Otonomi Daerah”.

1.2. Perumusan Masalah

(8)

sebagai akibat dari pertambahan jumlah penduduk, sementara kesempatan kerja yang tersedia jumlahnya terbatas. Jumlah penduduk Pulau Jawa pada sensus tahun 2000 tercatat sebesar 121.293.200 jiwa, kemudian meningkat pada tahun 2010 menjadi 136.610.590 jiwa. Dari total jumlah penduduk tersebut, kurang lebih 60 persen merupakan angkatan kerja. Melihat keadaan tersebut, penyediaan lapangan kerja yang besar sangat diperlukan untuk mengimbangi banyaknya jumlah penduduk yang memasuki pasar kerja karena apabila tidak tertampungnya pencari kerja pada tingkat kesempatan kerja yang tersedia akan menyebabkan terjadinya pengangguran yang akan membawa masalah lebih besar dalam pembangunan.

Data (SAKERNAS, 2001-2010) menunjukkan bahwa persentase tingkat pengangguran terbuka (TPT) rata-rata di wilayah Pulau Jawa setiap tahunnya mencapai 10,47 persen lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia dengan rata-rata kurang lebih 5 persen. Lebih ironisnya lagi, dari total jumlah pengangguran tersebut sekitar 43,38 persen masuk dalam kategori pengangguran terdidik. Masih tingginya angka pengangguran tersebut mengindikasikan bahwa lapangan kerja yang sifatnya formal masih terbatas dalam menyerap angkatan kerja.

(9)

pembangunan di semua sektor mempergunakan perluasan kesempatan kerja sebagai salah satu sasaran utamanya, khususnya melalui usaha kegiatan yang banyak menyerap tenaga kerja baik secara langsung maupun tidak langsung. Adanya pemerintahan otonomi daerah saat ini diharapkan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah melalui berbagai potensi di daerahnya masing-masing. Pertumbuhan ekonomi daerah di masing-masing provinsi Pulau Jawa secara kumulatif yang meningkat akan memicu adanya permintaan terhadap tenaga kerja baru sehingga secara tidak langsung akan menyerap jumlah angkatan kerja yang menganggur.

Data (BPS, 2001-2010) menunjukkan bahwa Pulau Jawa memiliki kontribusi PDRB yang besar khususnya pada sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel dan restoran yang rata-rata pertahunnya sebesar 31,03 persen dan 23,25 persen dengan laju pertumbuhan rata-rata pertahunnya 4,38 persen dan 6,84 persen. Secara keseluruhan, kedua sektor tersebut berkontribusi sebesar 54,28 persen pertahunnya sedangkan sisanya sebesar 45,72 persen oleh sektor lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa kedua sektor tersebut merupakan sektor basis untuk wilayah Pulau Jawa. Besarnya aktivitas kedua sektor tersebut dapat dijadikan solusi untuk mengatasi jumlah pengangguran yang masih besar di wilayah Pulau Jawa. Oleh karena itu, usaha untuk menciptakan lapangan kerja baru yang dianggap sebagai salah satu pilihan terbaik saat ini adalah dengan memanfaatkan sektor industri dan sektor perdagangan, hotel dan restoran.

(10)

persen pertahunnya. Akan tetapi besarnya kontribusi penyerapan tenaga kerja dikedua sektor tersebut belum diiringi dengan laju pertumbuhan penyerapan tenaga kerja yang tinggi jika dibandingkan dengan sektor formal lainnya seperti LGA, keuangan, persewaan dan jasa. Berdasarkan data pada tabel 1.3, sektor industri dan perdagangan, hotel dan restoran hanya mampu menyerap tenaga kerja dengan laju sebesar 1,69 persen dan 2,68 persen. Untuk itu, kedua sektor tersebut diharapkan tidak hanya tinggi dalam laju pertumbuhan ekonominya saja, akan tetapi juga diharapkan mampu meningkatkan kontribusi serta diiringi oleh laju pertumbuhan penyerapan tenaga kerjanya juga sehingga adanya permasalahan pengangguran khususnya pengangguran terdidik yang jumlahnya masih besar di wilayah Pulau Jawa akan mampu diatasi oleh kedua sektor tersebut .

Tabel 1.3. Laju Penyerapan Tenaga Kerja Berdasarkan Lapangan Usaha di Pulau Jawa Tahun 2002-2010

Tahun 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Sumber :BPS, SAKERNAS 2001-2010

(11)

Pulau Jawa selalu memiliki proporsi alokasi dana investasi langsung yang lebih besar yaitu kurang lebih diatas 50 persen setiap tahunnya yang tersebar pada enam provinsi di berbagai sektor perekonomian. Besarnya distribusi nilai investasi yang cukup besar tersebut dikarenakan kualitas sumberdaya serta infrastruktur yang lebih baik untuk wilayah Pulau Jawa.

Tabel 1.4. Proporsi Realisasi Investasi Sektor Industri dan Perdagangan, Hotel dan Restoran di Pulau Jawa Tahun 2001-2010 (persen)

Tahun

PMA PMDN Industri Perdagangan, Hotel dan

Restoran Industri

Perdagangan, Hotel dan

Restoran

2001 57,10 2,94 49,30 12,53

2002 48,81 5,57 89,80 1,05

2003 35,75 8,84 48,54 4,23

2004 71,05 8,90 63,15 6,11

2005 41,02 5,83 59,06 1,38

2006 56,92 9,36 76,95 4,24

2007 40,29 6,29 85,65 1,52

2008 26,87 4,47 67,16 3,97

2009 92,32 0,05 60,42 7,93

2010 96,18 0,21 45,47 4,46

Rata-rata 56,63 5,25 64,55 4,74

Sumber : BKPM, 2001-2010

(12)

menimbulkan minat yang besar dari para investor untuk menanamkan modalnya disektor tersebut.

Ada beberapa faktor yang memengaruhi penyerapan tenaga kerja sektor industri dan perdagangan, hotel, dan restoran pada era otonomi daerah saat ini. Kebijakan pemerintah yang bebas dalam menetapkan upah minimum provinsi sering menjadi alasan bagi pengusaha untuk lebih memilih proyek yang padat modal. Iklim investasi daerah yang baik juga akan membuat sektor tersebut berkembang dan pada akhirnya memberikan pengaruh yang baik terhadap penyerapan tenaga kerja jika penggunaannya sesuai dengan strategi yang bersifat padat tenaga kerja. Tantangan pemerintah daerah yang paling berat adalah apakah pemerintah daerah bisa selalu menjaga iklim investasi yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi di setiap sektor khususnya sektor industri dan perdagangan, hotel dan restoran. Pertumbuhan penyerapan tenaga kerja yang masih relatif lambat menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi pada sektor industri dan perdagangan, hotel dan restoran belum cukup untuk menyimpulkan bahwa sektor tersebut mampu menyerap banyak tenaga kerja.

(13)

diambil oleh pemerintah apakah melindungi kesejaheraan masyarakat ataukah keuntungan para investor.

Berdasarkan uraian diatas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut.

1. Bagaimanakah kondisi penyerapan tenaga kerja sektor industri dan perdagangan, hotel dan restoran di Pulau Jawa tahun 2001-2010?

2. Bagaimanakah pengaruh UMP, PDRB, PMA dan PMDN terhadap penyerapan tenaga kerja sektor industri dan perdagangan, hotel dan restoran di Pulau Jawa tahun 2001-2010 ?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan, penelitian ini bertujuan:

1. Menjelaskan kondisi penyerapan tenaga kerja sektor industri dan perdagangan, hotel dan restoran di Pulau Jawa tahun 2001-2010.

2. Menganalisis pengaruh UMP, PDRB, PMA dan PMDN terhadap penyerapan tenaga kerja sektor industri dan perdagangan, hotel dan restoran di Pulau Jawa tahun 2001-2010.

Manfaat dari penelitian ini adalah :

(14)

2. Bagi ekonom, penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber informasi untuk analisis kebijakan yang berhubungan dengan masalah ketenagakerjaan khususnya tenaga kerja sektor industri dan perdagangan, hotel dan restoran. 3. Bagi akademisi, dapat dijadikan sumber referensi untuk penelitian

selanjutnya.

1.4. Ruang Lingkup Penelitian

(15)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Tenagakerja

Menurut (Simanjuntak, 1998) tenagakerja ialah penduduk yang berusia 10 tahun keatas mencakup penduduk yang sudah atau sedang bekerja, yang sedang mencari kerja dan yang melakukan kegiatan lain seperti bersekolah dan mengurus rumah tangga. Di Indonesia batas umur 10 tahun tanpa batas umur maksimum. Dengan demikian tenagakerja di Indonesia yang dimaksud sebagai penduduk usia 10 tahun dan penduduk di bawah 10 tahun tidak digolongkan sebagai tenagakerja. Pemilihan usia 10 tahun sebagai batas umur minimal berdasarkan kenyataan bahwa dalam umur tersebut sudah banyak penduduk yang bekerja atau mencari pekerjaan terutama di desa dan ataupun diperkotaan karena sulitnya perekonomian.

(16)

penduduk yang bekerja dan penduduk yang mencari pekerjaan. Penduduk yang bekerja dibagi menjadi penduduk yang bekerja penuh dan setengah menganggur. Menurut BPS (2010), bekerja adalah suatu kegiatan melakukan pekerjaan dengan tujuan memperoleh nafkah atau membantu memperoleh nafkah paling sedikit satu jam secara terus menerus selama seminggu yang lalu. Sementara yang dimaksud dengan mencari pekerjaan adalah suatu upaya yang dilakukan untuk memperoleh pekerjaan. Penduduk yang mencari pekerjaan dibagi menjadi penduduk yang pernah bekerja dan penduduk yang belum pernah bekerja.

Sumber : (BPS : SAKERNAS, 2010)

Gambar 2.1. Komposisi Penduduk dan Tenagakerja

Sedangkan kelompok bukan angkatan kerja adalah kelompok penduduk berusia 15 tahun keatas selama seminggu yang lalu mempunyai kegiatan yang tidak termasuk dalam angkatan kerja misalnya hanya bersekolah, mengurus rumah tangga (mengurus rumah tangga tanpa memperoleh upah), dan sebagainya serta

Sekolah Mengurus Rumah Tangga Penduduk Usia Kerja

Lainnya  

Angkatan Kerja Bukan Angkatan Kerja

Mencari Kerja Bekerja

(17)

tidak melakukan kegiatan yang dapat dikategorikan bekerja, sementara tidak bekerja atau mencari kerja.

2.2. Penyerapan Tenagakerja Sektor Industri dan Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran

Penduduk yang terserap dalam lapangan pekerjaan biasanya tersebar di berbagai sektor perekonomian. Sektor yang mempekerjakan banyak orang umumnya menghasilkan barang dan jasa yang relatif besar. Akan tetapi setiap sektor mengalami laju pertumbuhan yang berbeda. Demikian pula dengan kemampuan setiap sektor dalam menyerap tenaga kerja. Perbedaan laju pertumbuhan tersebut mengakibatkan dua hal. Pertama, terdapat perbedaan laju peningkatan produktivitas kerja di masing-masing sektor. Kedua, secara berangsur-angsur terjadi perubahan sektoral, baik dalam penyerapan tenagakerja maupun dalam kontribusinya dalam pendapatan nasional (Simanjuntak, 1998).

(18)

Sedangkan sektor perdagangan, hotel dan restoran biasanya lebih identik dengan output berbentuk jasa yang dihasilkan oleh para tenagakerja. Jadi nilai tambah yang dihasilkan oleh tenagakerja sektor perdagangan, hotel dan restoran adalah murni jasa sesuai dengan karakteristiknya.

Penyerapan tenagakerja dapat diturunkan dari fungsi produksi dalam suatu aktivitas ekonomi. Produksi merupakan suatu transformasi dari input (faktor produksi) menjadi output atau keluaran. Jika diasumsikan bahwa suatu proses produksi pada sektor industri ataupun sektor perdagangan, hotel dan restoran hanya menggunakan dua jenis faktor produksi yaitu tenagakerja (L) dan modal (K) maka fungsi produksinya adalah (Nicholson, 2002):

Q = f (L, K) ………... (1)

Sedangkan persamaan keuntungan yang diperoleh suatu perusahaan berdasarkan model neoklasik adalah:

π = TR – TC ……… (2)

dimana :

TR = P . Q ………(3)

Dalam menganalisis penentuan penyerapan tenagakerja, diasumsikan bahwa hanya ada dua input yang digunakan, yaitu kapital (K) dan tenaga kerja (L). Tenaga kerja (L) dalam hal ini diukur dengan tingkat upah yang diberikan kepada para pekerja (W), sedangkan untuk kapital (K) diukur dengan tingkat suku bunga (r). Jadi, biaya total dalam proses produksi adalah :

(19)

Dengan mensubtitusikan persamaan (1), (3), (4) ke persamaan (2) maka diperoleh:

W L = [P. f(L,K)] – r K- π ……….. (5)

L

d

=

. ……….(6)

dimana :

Ld = Permintaan / penyerapan tenagakerja W = Upah tenaga kerja

P = Harga Jual barang per unit K = Kapital (investasi)

r = Tingkat suku bunga Q = Output (PDRB)

Berdasarkan persamaan diatas, dapat diketahui bahwa permintaan tenagakerja (L) merupakan fungsi dari output (produktivitas tenaga kerja), tingkat suku bunga (r), kapital (investasi), dan tingkat upah (Nicholson, 2002).

1. Tingkat Upah

(20)

alternatif yaitu mengurangi permintaan tenagakerja sehingga penyerapan tenagakerja akan menurun atau dapat juga mencari tenaga kerja lain yang upahnya lebih rendah dari yang pertama. Hal ini karena dipengaruhi oleh beberapa faktor, yang diantaranya adalah besarnya jumlah angkatan kerja yang masuk ke dalam pasar tenagakerja, upah, dan kemampuan (skill) yang dimiliki oleh tenagakerja tersebut (Belante dan Jackson, 1990).

2. Produktivitas Tenagakerja (PDRB)

Produktivitas Tenaga Kerja merupakan gambaran tingkat kemampuan tenaga kerja dalam menghasilkan barang dan jasa. Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. Nomor: PER.16MEN/XI/2010 Tentang Perencanaan Tenaga Kerja Makro, produktivitas tenaga kerja merupakan rasio antara nilai Produk Domestik Bruto (PDB) dengan jumlah penduduk yang bekerja yang digunakan baik individu maupun kelompok, dalam satuan waktu tertentu yang merupakan besaran kontribusi penduduk yang bekerja dalam pembentukan nilai tambah suatu produk dari proses kegiatan ekonomi pada suatu lapangan usaha secara nasional dan regional. Jumlah tenagakerja yang diminta dapat ditentukan oleh seberapa tingkat produktivitas dari tenagakerja itu sendiri

(21)

memberikan kesempatan kerja baru. Oleh karena itu, kenaikkan permintaan pengusaha terhadap tenaga kerja tergantung dari kenaikkan permintaan masyarakat akan barang yang di produksi. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut secara langsung juga akan mendorong tumbuhnya kesempatan kerja secara luas. Tumbuhnya kesempatan kerja secara luas dan dalam jumlah yang banyak merupakan salah satu tujuan utama pembangunan nasional.

3. Kapital (Investasi)

Investasi merupakan salah satu faktor penting sebagai modal dasar untuk aktivitas pembangunan. Menurut (DEPNAKERTRANS, 2010) Penyebab terjadinya masalah pengangguran di Indonesia antara lain adalah masih rendahnya investasi akibat keterbatasan fasilitas antara lain seperti pengurusan perijinan, jaminan kepastian hukum, dan keamanan. Dalam hal ini Investasi merupakan salah satu faktor penting guna mempengaruhi permintaan tenagakerja dan menyerap tenagakerja baru. Selain itu, invetasi memiliki peran yang sangat penting dalam pembangunan nasional khususnya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Investasi merupakan salah satu komponen dari pembentukan pendapatan nasional atau PDB (Y= C + I + G + NX), sehingga pertumbuhan investasi akan berdampak pada pertumbuhan pendapatan nasional dan peningkatan kesempatan kerja.

(22)

a. Investasi Asing (PMA)

Investasi asing atau biasa disebut Penanaman Modal Asing (PMA) adalah salah suatu bentuk penghimpunan modal guna menunjang proses pembangunan ekonomi yang bersumber dari luar negeri. Biasanya, PMA terdiri atas:

1) Investasi portofolio (portofolio investment), yakni investasi yang melibatkan hanya aset-aset finansial saja, seperti obligasi dan saham, yang didenominasikan atau ternilai dalam mata uang nasional. Kegiatan-kegiatan investasi portofolio atau finansial ini biasanya berlangsung melalui lembaga-lembaga keuangan seperti bank, perusahaan dana investasi, yayasan pensiun, dan sebagainya

2) Investasi asing langsung (Foreign Direct Investment), merupakan PMA yang meliputi investasi ke dalam aset-aset secara nyata berupa pembangunan pabrik-pabrik, pengadaan berbagai macam barang modal, pembelian tanah untuk keperluan produksi, dan sebagainya.

b. Investasi Dalam Negeri (PMDN)

(23)

Dalam Negeri. Baik PMA maupun PMDN keduanya merupakan faktor penting dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menyerap tenaga kerja.

2.3. Teori Permintaan Tenagakerja

Permintaan adalah suatu hubungan antara harga dan kuantitas. Sehubungan dengan tenaga kerja, permintaan adalah hubungan antara tingkat upah (harga tenaga kerja) dan kuantitas (jumlah) tenagakerja yang dikehendaki oleh produsen yang menggunakan tenagakerja tersebut untuk dipekerjakan dalam jangka waktu tertentu (Bellante dan Jackson, 1990). Hal ini berbeda dengan permintaan konsumen terhadap barang dan jasa. Orang membeli barang karena barang itu memberikan nikmat (utility) kepada si pembeli. Sementara pengusaha mempekerjakan seseorang karena memproduksikan barang untuk dijual kepada masyarakat konsumen. Oleh karena itu, kenaikan permintaan pengusaha terhadap tenagakerja, tergantung dari kenaikan permintaan masyarakat akan barang yang diproduksinya. Permintaan tenagakerja seperti itu disebut “derived demand“ (Simanjuntak, 1998).

(24)

disebut Marginal Revenue (MR). Penerimaan marjinal disini merupakan besarnya tambahan hasil marjinal dikalikan dengan harga per unit, sehingga MR= VMPPL = MPPL . P, dan (3) biaya marjinal, yaitu jumlah biaya yang dikeluarkan pengusaha dengan mempekerjakan tambahan seorang pekerja, dengan kata lain upah karyawan tersebut. Apabila tambahan penerimaan marjinal lebih besar dari biaya marjinal, maka mempekerjakan orang tersebut akan menambah keuntungan pemberi kerja, sehingga ia akan terus menambah jumlah pekerja selama Marginal Revenue (MR) lebih besar dari tingkat upah.

Sumber : Bellante dan Jackson (1990)

Gambar 2.2 Permintaan Tenagakerja dengan Tingkat Upah Tetap

(25)

Peningkatan jumlah tenagakerja dalam suatu lapangan usaha tidak dilakukan untuk jangka pendek, walaupun permintaan masyarakat terhadap produk yang dihasilkan tinggi. Dalam jangka pendek, pengusaha lebih mengoptimalkan jumlah tenaga kerja yang ada dengan penambahan jam kerja atau penggunaan mekanisme, sedangkan dalam jangka panjang kenaikan jumlah permintaan masyarakat akan direspon dengan menambah jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan. Hal ini berarti terjadi peningkatan penyerapan tenaga kerja baru.

Penurunan tingkat upah dapat dilihat pada Gambar 2.3. Kurva DL melukiskan besarnya nilai hasil marjinal tenaga kerja (VMPPL) untuk setiap penggunaan tenaga kerja. Dengan kata lain, menggambarkan hubungan antara tingkat upah (W) dan penggunaan tenaga kerja yang ditunjukkan oleh titik L0 dan L1. Pada gambar 2.3 terlihat bahwa pada kondisi awal, tingkat upah berada pada W1 dan jumlah tenaga kerja yang digunakan L1. Jika tingkat upah diturunkan menjadi W0 , maka tenaga kerja yang diminta meningkat menjadi L0.

W

W

W0

Sumber : Bellante dan Jackson (1990)

Gambar 2.3 Permintaan Tenagakerja dengan Tingkat Upah Menurun

(Ehrenberg dan Smith, 2009 : 36 – 40) dalam teorinya juga manyatakan bahwa bila upah atau harga barang modal diasumsikan turun, maka biaya

L0 L1

(26)

produksi juga akan mengalami penurunan. Tentunya mengakibatkan pula harga

jual per unit barang akan turun. Pada keadaan seperti ini produsen cenderung

untuk meningkatkan produksi barangnya karena permintaan akan barang-barang

oleh para konsumen akan meningkat. Disamping itu permintaan akan tenaga kerja

dapat bertambah besar karena peningkatan kegiatan produksi perusahaan dalam

menghasilkan output. Permintaan tenaga kerja seperti itu disebut “derived

demand“. Peningkatan dalam permintaan tenaga kerja seperti ini diakibatkan karena efek skala (scale effect). Apabila upah atau harga barang modal naik maka pengusaha ada yang lebih suka menggunakan teknologi padat modal untuk proses produksinya dan menggantikan kebutuhan akan tenaga kerja dengan kebutuhan akan barang modal seperti mesin dan lain-lain sehingga terjadi capital intensif dalam proses produksi. Penurunan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan karena

adanya pergantian atau penambahan penggunaan alat-alat atau mesin-mesin untuk proses produksi disebut efek subtitusi tenaga kerja (subtitution effect). Jadi secara relatif penggunaan tenaga kerja adalah berkurang.

2.4 Kesempatan Kerja dan Pertumbuhan Ekonomi

Menurut Mankiw (2007), hukum Okun menyatakan bahwa terdapat kaitan yang erat antara tingkat pengangguran dengan GDP (Gross Domestic Product) riil, di mana terdapat hubungan yang negatif antara tingkat pengangguran dengan GDP riil. Pernyataan ini dapat diartikan bahwa terdapat hubungan positif antara kesempatan dengan GDP riil. Okun menggunakan data tahunan dari Amerika Serikat untuk menunjukkan hukum Okun ini seperti terlihat pada Gambar 2.4.

(27)

pada sumbu vertikal. Gambar ini menunjukan dengan jelas bahwa perubahan dalam tingkat pengangguran dari tahun ke tahun sangat erat kaitannya dengan perubahan dalam GDP riil dari tahun ke tahun, seperti terlihat pada garis titik sebar pengamatan yang berslope negatif.

Sumber : Mankiw , 2007

Gambar 2.4. Kurva Hukum Okun

  Harrod-Domar (Todaro, 2006) dalam teori pertumbuhannya menyatakan

bahwa secara definitif tingkat pertumbuhan output (Y) dikurangi dengan tingkat pertumbuhan produktivitas tenaga kerja (Y/L) sama dengan pertumbuhan kesempatan kerja (L). Secara matematis hubungan-hubungan tersebut dapat disajikan sebagai berikut :

/ ∆

……… (1)

  Sementara itu menurut (Todaro, 2006), faktor-faktor atau komponen pertumbuhan ekonomi yang penting dalam masyarakat adalah sebagai berikut : 1. Akumulasi modal, termasuk semua investasi baru dalam bentuk tanah,

peralatan fisik, dan sumberdaya manusia.

2. Perkembangan populasi, yang akan mengakibatkan terjadinya pertumbuhan angkatan kerja.

3. Kemajuan teknologi, terutama sektor industri. Perubahan Persentase

GDP riil

(28)

Teori Harod-Domar menekankan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat menciptakan lapangan kerja yang seluas-luasnya dengan lebih mengutamakan perkembangan sektor-sektor ekonomi yang padat karya. Apabila pertumbuhan ekonomi dilihat dari pertambahan output dalam bentuk GDP konstan, maka akan menghilangkan unsur inflasi didalamnya. Sementara itu di sisi lain inflasi sebenarnya dapat memicu pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya akan dapat menciptakan kesempatan kerja. Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa tolak ukur dari keberhasilan pembangunan ekonomi suatu daerah diantaranya adalah PDRB daerah tersebut dan pertumbuhan penduduk yang bermuara pada tingkat kesempatan kerja. PDRB menggambarkan kemampuan suatu daerah dalam mengelola sumberdaya alam dan faktor-faktor produksi.

2.5. Penelitian Terdahulu

(29)

ekonomi yaitu sektor industri dan sektor perdagangan, hotel dan restoran di Pulau Jawa periode 2001-2010.

Noer (2007) meneliti hubungan kausalitas antara tingkat output dan

pengangguran di Malaysia. Menggunakan data time series tahun 1970-2004. Hasil analisis menunjukkan bahwa terjadi hubungan yang negatif antara

perubahan presentase GDP riil dengan tingkat pengangguran di Malaysia.

Zamrowi (2007). Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kecil (Studi di Industri Kecil Mebel di Kota Semarang). Metode Analisis menggunakan regresi linier berganda. Hasil analisis menunjukkan bahwa variabel upah berhubungan negatif dan signifikan, variabel produktivitas barhubungan negatif dan signifikan, variabel modal berpengaruh positif dan signifikan, variabel pengeluaran non upah berhubungan positif dan signifikan.

(30)

Tindaon (2010). “Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Sektoral di Jawa Tengah (Pendekatan Demometrik)” dengan menggunakan data 21 tahun dari tahun 1988-2008. Tujuan dari penelitian tersebut adalah meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi penyerapan tenaga kerja sektoral. Metode analisis data yang digunakan yaitu metode Ordinary Least Square (OLS). Penelitian tersebut memberikan hasil bahwa Variabel populasi atau Pertumbuhan jumlah penduduk Jawa Tengah berpengaruh secara signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja sektor pertanian dan sektor Listrik, Gas, dan Air (LGA). Sementara pertumbuhan jumlah penduduk tidak berpengaruh secara signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja sektoral untuk sektor-sektor perekonomian lainnya. Jumlah PDRB sektoral berpengaruh secara signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja masing-masing sektor perekonomian di Jawa Tengah.

Koefisien elastisitas kesempatan kerja terbesar adalah pada sektor bangunan diikuti oleh sektor transportasi dan yang terkecil adalah sektor keuangan dan sektor listrik, gas dan air. Perbedaan penelitian Tindaon (2010) dengan penelitian ini yaitu hanya membahas dua sektor ekonomi yaitu sektor industri dan sektor perdagangan, hotel dan restoran di Pulau Jawa periode 2001-2010.

(31)

kerja, Variabel investasi berpengaruh signifikan dan berhubungan positif, variabel UMP secara signifikan berpengaruh positif. Perbedaan penelitian Akmal (2010) dengan penelitian ini yaitu membahas penyerapan tenaga kerja di dua sektor ekonomi yaitu sektor industri dan sektor perdagangan, hotel dan restoran di Pulau Jawa periode 2001-2010.

Rakhman (2011). “Analisis Perekonomian dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesempatan Kerja di DKI Jakarta. Tujuan dari penelitian tersebut yaitu untuk mengetahui struktur perekonomian dan faktor-faktor yang mempengaruhi kesempatan kerja di DKI Jakarta. Metode analisis yang digunakan yaitu analisis Shift-Share, Loqation Quotient, dan Multiple Regression yang ditaksir dengan metode kuadrat terkecil (OLS) dalam bentuk semi – Log. Hasil analisis data variabel dengan Multiple Regression menunjukkan bahwa Variabel Otonomi Daerah, PMA, PMDN, PDRB, dan suku bunga kredit investasi secara simultan berpengaruh terhadap kesempatan kerja. Perbedaan penelitian Rakhman (2011) dengan penelitian ini yaitu hanya fokus membahas dua sektor ekonomi yaitu sektor industri dan sektor perdagangan, hotel dan restoran di Pulau Jawa periode 2001-2010.

(32)

2.6. Kerangka Pemikiran

Pembangunan ekonomi di wilayah Pulau Jawa yang notabene memiliki penduduk terbesar kurang lebih sebesar 60 persen dari jumlah total penduduk nasional pada era otonomi daerah seharusnya tidak hanya memfokuskan pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi saja, akan tetapi harus memperhatikan pula adanya pemerataan dari hasil pertumbuhan ekonomi tersebut agar kesejahteraan masyarakat semakin meningkat. Pemerataan pendapatan tersebut salah satunya dapat dilihat dari adanya peningkatan penyerapan tenaga kerja dan adanya kesempatan kerja baru untuk menanggulangi peningkatan penduduk usia kerja yang setiap tahunnya relatif selalu meningkat. Meningkatnya penduduk usia kerja yang tidak diiringi dengan meningkatnya kesempatan kerja baru akan menyebabkan adanya gap dalam bentuk pengangguran. Tingkat pengangguran terbuka rata-rata di wilayah Pulau Jawa setiap tahunnya sebesar 10,47 persen. Adapun komposisi dari jumlah pengangguran tersebut rata-rata setiap tahunnya sebesar 43,38 persen merupakan pengangguran terdidik dan sisanya sebesar 56,62 persen pengangguran tidak terdidik.

(33)

tenaga kerjanya. Berdasarkan data (SAKERNAS, 2001-2010) laju rata-rata pertumbuhan penyerapan tenaga kerja di sektor industri dan perdagangan, hotel dan restoran setiap tahunnya masing-masing hanya sebesar 1,69 persen dan 2,68 persen. Laju pertumbuhan tenaga kerja dikedua sektor formal tersebut relatif lebih rendah dibandingkan dengan sektor formal lainnya.

Salah satu sasaran utama pembangunan adalah selain meningkatkan pertumbuhan ekonomi disisi lain juga harus mampu menciptakan lapangan kerja baru dalam jumlah dan kualitas yang memadai. Oleh karena itulah, pemerintah senantiasa membuat kebijakan yang dapat meningkatkan taraf hidup pekerja dengan tingkat upah yang layak. Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah adalah dengan menetapkan kebijakan tingkat upah minimum. Tingkat upah minimum ditetapkan secara sektoral dan regional pada tahun 2001. Tingkat upah minimum yang ditetapkan di atas tingkat upah rata-rata yang diperoleh pekerja kemungkinan besar akan menyebabkan pengusaha mengurangi penggunaan tenaga kerja sehingga pertumbuhan penyerapan tenaga kerja akan berkurang.

(34)

kebijakan terkait dengan meningkatnya pertumbuhan penyerapan tenaga kerja sektor industri dan perdagangan, hotel dan restoran di Pulau Jawa.

 

Gambar 2.5. Kerangka Pemikiran

PMDN PMA

PDRB UMP

Pembangunan Ekonomi di Pulau Jawa Era Otonomi Daerah :

- Pro Growth

- Pro Job

- Pro Poor

Rendahnya Laju Penyerapan tenaga kerja sektor industri dan perdagangan, hotel dan restoran

di Era Otonomi Daerah

Deskriptif : Perkembangan kondisi penyerapan tenaga kerja sektor industri dan perdagangan, hotel dn restoran pada tahun

2001-2010

penyerapan tenaga kerja di sektor industri dan sektor perdagangan, hotel

dan restoran: 

(35)

2.7. Hipotesis

Berdasarkan kerangka penelitian diatas, dapat disimpulkan beberapa hipotesis antara lain :

1. UMP riil berpengaruh negatif terhadap tingkat penyerapan tenaga kerja sektor industri dan sektor perdagangan, hotel dan restoran dalam artian menurunnya tingkat UMP akan mengakibatkan meningkatnya jumlah permintaan tenaga kerja di sektor industri dan sektor perdagangan, hotel dan restoran sehingga penyerapan tenaga kerja meningkat.

2. PDRB riil berpengaruh positif terhadap tingkat penyerapan tenaga kerja sektor industri dan sektor perdagangan, hotel dan restoran dalam artian meningkatnya PDRB akan mengakibatkan meningkatnya jumlah permintaan tenaga kerja di sektor industri dan sektor perdagangan, hotel dan restoran sehingga penyerapan tenaga kerja meningkat.

3. PMA berpengaruh positif terhadap tingkat penyerapan tenaga kerja sektor industri dan sektor perdagangan, hotel dan restoran dalam artian meningkatnya PMA akan mengakibatkan meningkatnya jumlah permintaan tenaga kerja di sektor industri dan sektor perdagangan, hotel dan restoran sehingga penyerapan tenaga kerja meningkat.

(36)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berupa data panel terdiri dari dua bagian yaitu : (1) time series dan (2) cross section. Data time series yang digunakan dalam penelitian ini adalah data tahunan selama sepuluh tahun dari tahun 2001 – 2010, data cross section sebanyak enam provinsi di Pulau Jawa yang menjadi objek penelitian. Adapun enam provinsi tersebut yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, dan Banten. Variabel yang digunakan adalah jumlah tenaga kerja sektor industri dan jumlah tenaga kerja sektor perdagangan, hotel dan restoran. Upah Minimum Provinsi (UMP) riil, PDRB riil, PMA (Penanaman Modal Asing) dan PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri) di sektor industri dan sektor perdagangan, hotel dan restoran.

Sumber data variabel dan pendukung dalam penelitian ini diperoleh dari berbagai instansi dan media terkait. Adapun instansi dan media terkait yang dimaksud adalah Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (DEPNAKERTRANS), perpustakaan, artikel, jurnal, dan internet.

3.2. Metode Analisis Data

(37)

masing-masing sektor. Selain itu, metode ini juga digunakan pada hasil yang diperoleh dari analisis data kuantitatif, sehingga diharapkan dapat menggambarkan faktor yang paling memengaruhi dalam memberikan peningkatan menyerap tenaga kerja di sektor industri dan sektor perdagangan, hotel dan restoran di Pulau Jawa Tahun 2001-2010.

Metode kuantitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode regresi panel data. Metode ini digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi tingkat penyerapan tenaga kerja pada sektor industri dan sektor perdagangan, hotel dan restoran di Pulau Jawa Tahun 2001-2010. Data sekunder diolah dengan menggunakan program komputer Microsoft Excel 2007 dan Eviews

6.0 yang kemudian hasil outputnya akan diinterpretasikan.

3.2.1 Analisis Regresi Panel Data

Model penelitian ini membutuhkan data antarsektor dan antarprovinsi (cross section), serta data antartahun (time series) sekaligus. Data cross section

adalah data yang dikumpulkan dalam satu waktu terhadap banyak individu, sedangkan data time series adalah data yang dikumpulkan dari waktu ke waktu terhadap suatu individu (Gujarati, 2003). Penggabungan data antar individu (cross-section) dan antar waktu (time-series) disebut dengan data panel (Baltagi, 2005). Bentuk umum dari model regresi panel data adalah :

Yit = α + βXit + εit i = 1,2,3,…., N t = 1,2,3,…., T ...(3.1)

dimana:

(38)

Secara teoritis, ada beberapa keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan data panel dibandingkan dengan data time series atau cross section, diantaranya menurut (Baltagi, 2005) adalah :

1. Dapat mengontrol heterogenitas individu. Bila data panel berhubungan dengan individu, perusahaan, negara, daerah, dan lain–lain pada waktu tertentu. Teknik estimasi data panel yang heterogen secara eksplisit dapat dipertimbangkan dalam perhitungan.

2. Kombinasi data time series dan cros section memberikan informasi yang lebih lengkap, beragam, menurunkan kemungkinan kolinearitas antar variabel bebas, dan meningkatkan derajat kebebasan (degree of freedom) dan lebih efisien.

3. Studi data panel memberikan hasil yang lebih baik untuk menentukan perubahan dinamis (study of dynamics adjustment) dibandingkan studi berulang–ulang dari cross section.

4. Data panel lebih baik untuk mendeteksi dan mengukur efek yang secara sederahana tidak dapat diukur oleh data time series murni maupun cross section murni.

5. Data panel dapat membantu dalam menganalisis perilaku yang lebih kompleks.

6. Data panel dapat meminimalkan bias yang dihasilkan oleh agregasi individu karena unit data yang digunakan lebih banyak.

Untuk mengestimasi parameter data panel dalam penelitian ini, digunakan dua metode pendekatan yaitu:

(39)

3.2.1.1. Metode Fixed Effect

Masalah terbesar yang terjadi dalam pendekatan model kuadrat terkecil adalah asumsi intersep dan slope dari persamaan regresi yang dianggap konstan baik antar individu maupun antar waktu yang mungkin kurang beralasan. Untuk mengatasi masalah tersebut peneliti dapat menggunakan Model Fixed Effect. Fixed Effect Model yaitu model yang didapatkan dengan mempertimbangkan bahwa peubah-peubah yang dihilangkan dapat mengakibatkan perubahan dalam intersep-intersep cross section dan time series. Peubah dummy dapat ditambahkan ke dalam model untuk memungkinkan perubahan-perubahan intersep ini lalu model diduga menggunakan OLS, yaitu :

Yi = ∑αiDi + β Xit + εit ...(3.3)

Dimana :

Yi = Variabel endogen Xi = Variabel eksogen

αi = Intersep model yang berubah-ubah antar cross section unit

D = Variabel dummy β = parameter

i = Individu ke - i, t = Periode waktu ke-t

ε

= error/simpangan

3.2.1.2. Metode Random Effect

(40)

menggunakan model Random Effect. Dalam model random effect parameter yang berbeda antar individu maupun antar waktu dimasukan ke dalam error. Karena hal inilah model random effect sering disebut juga model komponen error (errror component model). Bentuk model random effect bisa dijelaskan pada persamaan berikut :

Yit = α0 + β Xit +

ε

it ...(3.4)

ε

it = Uit + Vit + Wit

Dim na : a

Uit N (0, u²) = ~ komponen cross section error. Vit~N (0, v²) = komponen time series error. Wit~ N (0, w²) = komponen combinations error.

Kita juga mengasumsikan bahwa error secara individual tidak saling berkorelasi begitu juga dengan error kombinasinya. Penggunaan model random effect dapat menghemat pemakaian derajat kebebasan dan tidak mengurangi jumlahnya seperti yang dilakukan pada fixed effect model. Hal ini berimplikasi pada parameter yang merupakan hasil estimasi akan menjadi semakin efisien.

3.2.2. Uji Kesesuaian Model

(41)

3.2.2.1. Uji Chow (The Chow Test)

Dalam menguji kesesuian model penelitian ini, kedua metode baik pooled least square maupun fixed effect model dapat dilakukan dengan menggunakan Uji Chow (Chow Test). Chow test (uji F-statistik) adalah pengujian yang dilakukan untuk memilih apakah model yang digunakan pooled least square atau fixed effect. Sebagaimana diketahui terkadang asumsi bahwa setiap unit cross section

memiliki perilaku yang sama cenderung tidak realistis mengingat dimungkinkan setiap unit cross section memiliki prilaku berbeda. Hipotesis dalam pengujian ini dapat dilakukan sebagai berikut :

H0 : Model Pooled Least Square H1 : Model Fixed Effect

Dasar penolakan terhadap hipotesis nol (H0) adalah dengan menggunakan F-statistik seperti yang dirumuskan oleh Chow :

Chow =

………...(3.5)

dimana :

ESS1 = Residual Sum Square hasil pendugaan model pooled least square ESS2 = Residual Sum Square hasil pendugaan model fixed effect

N = Jumlah data cross section

T = Jumlah data time series

K = Jumlah variabel penjelas

(42)

terhadap hipotesa nol (H0) sehingga model yang digunakan adalah model fixed effect, begitu pula sebaliknya.

3.2.2.2. Uji Hausman (The Hausman Test)

Uji Hausman adalah suatu pengujian statistik sebagai dasar pertimbangan kita dalam memilih apakah menggunakan fixed effect model atau

random effect model. Seperti yang diketahui bahwa penggunaan fixed effect model

mengandung unsur trade off yaitu hilangnya derajat kebebasan (degree of freedom) karena memasukkan variabel dummy. Akan tetapi penggunaan random effect model juga harus memperhatikan kebebasan dari pelanggaran asumsi dari setiap komponen galat. Pengujian dalam penelitian ini dilakukan dengan hipotesis sebagai berikut :

H0 : Model Random Effect H1 : Model Fixed Effect

Dasar dari penolakan hipotesis nol tersebut diperoleh dengan menggunakan pertimbangan statistik Chi-Square. Statistik Hausman dirumuskan dengan persamaan:

m = (β – b) (M0 - M1)-1 (β – b) ~ χ2 (K)……...(3.6)

dimana :

β = vektor statistik variabel fixed effect

b = vektor statistik variabel random effect

(M0) = matriks kovarian untuk dugaan model fixed effect (M1) = matriks kovarian untuk dugaan model random effect

(43)

sehingga model yang lebih baik untuk digunakan adalah model fixed effect, begitu pula sebaliknya jika nilai m lebih kecil dari Chi-Square maka tolak hipotesis satu maka yang digunakan adalah model random effect.

3.2.3. Pengujian Parameter Persamaan Regresi

Untuk mendapatkan model terbaik, perlu dilakukan pengujian-pengujian sebagai berikut :

3.2.3.1. Uji Statistik F

Uji statistik ini dilakukan untuk mengetahui apakah semua variabel bebas dalam model secara bersamaan berpengaruh terhadap variabel terikat. Pengujian ini dilakukan dengan membandingkan nilai kritis F dengan hasil nilai F-hitung. Pengujian pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat dilakukan melalui pengujian besar perubahan variabel terikat yang dapat dijelaskan oleh perubahan nilai semua variabel bebas. Analisis dari pengujian tersebut adalah sebagai berikut:

a. Merumuskan hipotesis

Ho : β1 = β2 = ... = βn = 0 ,variabel independen secara simultan tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen.

Ho : β1 ≠ β2 ≠ ... ≠ βn ≠ 0 ,variabel independen secara simultan berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen.

b. Mencari Nilai F Hitung

F(n-1,nT-n-k) = ²/

/ ...(3.7)

Dimana :

(44)

n : Jumlah Variabel k : Jumlah Sampel t : Jumlah Unit Waktu

Dalam penelitian ini tingkat signifikansi (α) yang digunakan adalah 5 % dan 1 % artinya resiko kesalahan mengambil keputusan sebesar 5 % dan 1 %.

c. Kriteria Pengujian/Pengambilan Keputusan

Jika probabilitas F-Stat < Fα (k-1) (nT-n-k) atau nilai signifikan F >

α

, maka

terima Ho yang artinya tidak ada pengaruh yang signifikan dari variabel independen terhadap variabel dependen. Sebaliknya, Jika probabilitas F-Stat

> Fα (k-1) (nT-n-k) atau nilai signifikan F <

α

, maka tolak Ho yang artinya ada

pengarauh yang signifikan dari variabel independen terhapan variabel dependen.

3.2.3.2. Uji Statistik t

Uji statistik t dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh variabel independen secara individu terhadap variabel dependen.

a. Merumuskan Hipotesis Uji t

Ho : β1 = 0 ,masing-masing variabel independen tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen.

H1 : β1 ≠ 0 ,masing-masing variabel independen berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen.

b. Mencari Nilai t Hitung

t

uji

=

^

(45)

dimana ^ adalah koefisien regresi ke-i, ^ adalah standar error dari koefisien regresi ke-i. Dalam penelitian ini tingkat signifikansi (α) yang digunakan adalah 5 % dan 1 % artinya resiko kesalahan mengambil keputusan sebesar 5 % dan 1 %.

c. Kriteria Pengujian/Pengambilan Keputusan

Jika probabilitas (sig t) > α (0,1) atau t-stat < t α/2(nT-n-k) maka terima (Ho), artinya tidak ada pengaruh yang signifikan dari variabel independen terhadap variabel dependen. Sebaliknya, Jika probabilitas (sig t) < α (0,1) atau t-stat > t

α/2(nT-n-k) maka tolak (Ho), artinya ada pengaruh yang signifikan dari variabel independen terhadap variabel dependen.

3.2.3.3. Koefisien Determinasi (R²)

(46)

3.2.4. Uji Pelanggaran Asumsi

Uji pelanggaran asumsi dalam model dilakukan dalam rangka menghasilkan model efisien, visibel, dan konsisten. Uji pelanggaran asumsi dilakukan dengan mendeteksi gangguan waktu (time related disturbance), gangguan antar individu atau antar sektor ekonomi, maupun gangguan yang diakibatkan oleh keduanya. Adapun uji pelanggaran asumsi yang sering dilakukan yaitu :

3.2.4.1. Multikolinearitas

Multikolinearitas adalah suatu masalah yang muncul karena adanya dua atau lebih peubah bebas berkorelasi tinggi antara peubah yang satu dengan yang lainnya. Pelanggaran asumsi ini akan menyebabkan kesulitan untuk menduga model yang diinginkan. Untuk mendeteksi ada tidaknya multikolinearitas bisa dilakukan dengan cara melihat hasil uji t dan F statistik. Jika terdapat banyak koefisien parameter t statistik menunjukan hasil yang tidak signifikan, sementara hasil F statistiknya signifikan, maka hal ini mengindikasikan adanya multikolinearitas. Masalah-masalah dari adanya multikolinearitas dapat diatasi dengan berbagai cara yaitu menurut (Gujarati, 2006) mengeluarkan variabel dari model, memperoleh data tambahan atau sampel baru, mengkaji ulang modelnya.

3.2.4.2. Autokolerasi

(47)

Tabel 3.1. Selang Nilai Statistik Durbin-Watson Dan Keputusannya

Nilai DW Hasil

4 < DW < 4 Tolak , korelasi serial negatif

4 < DW < 4 Hasil tidak dapat ditentukan DW < 4

2 < Terima , tidak ada korelasi serial

2 Terima , tidak ada korelasi serial < DW <

< DW < Hasil tidak dapat ditentukan 0 < DW < Tolak , korelasi serial positif Sumber : (Juanda, 2009)

Korelasi serial yang terjadi jika error dari periode waktu yang berbeda saling berkolerasi, yang menyebabkan model menjadi tidak efisien meskipun tidak bias dan konsisten. Untuk mengatasi pelanggaran ini bisa dilakukan dengan cara menambahkan AR(1) atau AR(2) dan seterusnya tergantung berapa banyak autokolerasi yang terdapat di dalam model tersebut.

3.2.4.3. Heteroskedastisitas

Heteroskedastisitas terjadi jika ragam sisaan tidak sama untuk tiap pengamatan ke-i dari peubah-peubah bebas dalam model. Masalah heteroskedastisitas umumnya terdapat pada data cross section. Pelanggaran asumsi ini akan menyebabkan model menjadi tidak efisien meskipun tidak bias dan konsisten. Untuk mendeteksi pelanggaran asumsi tersebut bisa dilakukan dengan uji-White Heteroscedasticity yang diperoleh dalam program Eviews

(48)

pelanggaran heteroskedastisitas, makan nilai Sum Squred Resid Weighted Statistic

akan lebih kecil dibandingkan dengan nilai Sum Squred Resid Unweighted Statistic. Jika model mengalami masalah tersebut, maka dengan menggunakan metode GLS ( Cross-Section Weight) masalah tersebut sudah dapat teratasi.

3.3. Perumusan Model Penelitian

Model umum yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan tinjauan teori terhadap fungsi ekonomi dari model penelitian Ignatia Rohana dan Nachrowi Djalal (2004) yang dipublikasikan dalam jurnal dengan judul Pengaruh Struktur Ekonomi pada Penyerapan Tenaga Kerja Sektoral: Analisis Model Demometrik

di 30 Propinsi pada 9 sektor di Indonesia. Adapun tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk mengetahui pola struktur ekonomi serta faktor-faktor yang memengaruhi penyerapan tenaga kerja sektoral di Indonesia dari tahun 1980 sampai dengan tahun 2000.

Penulis berusaha menerapkan model yang serupa untuk wilayah Pulau Jawa dengan tahun yang berbeda yaitu 2001–2010. Model yang digunakan dalam penelitian ini tidak membahas pengaruh dari penyerapan tenaga kerja di seluruh sektor perekonomian, tetapi hanya menggunakan dua model penelitian yaitu penyerapan tenaga kerja pada sektor industri dan penyerapan tenaga kerja pada sektor perdagangan, hotel dan restoran. Penyerapan tenaga kerja dalam penelitian ini dibahas secara terpisah berdasarkan sektor untuk mengetahui pengaruh variabel bebas di masing-masing sektor yang pada dasarnya memiliki karakteristik berbeda. Bentuk persamaan umum yang digunakan dalam penelitian ini adalah: LnTK_Xit = α0 + β1 lnUMP_Xit + β2 lnPDRB_Xit + β3 lnPMA_Xit + β4

(49)

dimana :

TK_Xit = Jumlah jenaga kerja sektor X provinsi i tahun ke-t α0 = Konstanta

UMP_Xit = UMP riil sektor X provinsi i tahun ke-t PDRB_Xit = PDRBriil sektor X provinsi i tahun ke t PMA_Xit = PMA sektor X provinsi i tahun ke-t

PMDN_Xit = PMDN sektor X provinsi i tahun ke-t

Tanda koefisien yang diharapkan adalah :

β1 < 0 ; β2 > 0 ; β3 > 0 ; dan β4 > 0

3.3.1. Definisi Operasional Variabel

Definisi operasional diperlukan untuk memudahkan dan memahami secara jelas variabel-variabel yang ada dalam persamaan (3.9). Definisi operasionalnya adalah sebagai berikut :

1. Jumlah tenaga kerja sektor X adalah jumlah penduduk berumur 15 (lima belas) tahun ke atas yang bekerja selama seminggu yang lalu (laki-laki dan perempuan, kota dan desa) untuk sektor X, provinsi i tahun ke t. Dinyatakan dalam satuan orang.

2. Upah Minimum Provinsi adalah upah minimum masing-masing provinsi yang ditetapkan oleh pemerintah dalam satu tahun. Diubah dalam bentuk riil dan dinyatakan dalam satuan rupiah (Rp).

(50)

4. PMA sektor X adalah PMA yang terealisasi di sektor X, provinsi (i) dan dalam satu tahun (t) tertentu. Dikonversi ke dalam satuan rupiah (Rp)

5. PMDN sektor X adalah PMDN yang terealisasi di sektor X, provinsi (i) dan dalam satu tahun tertentu. Dinyatakan dalam satuan rupiah (Rp)

(51)

IV. GAMBARAN UMUM

4.1. Kondisi Geografis dan Administratif

Pulau Jawa merupakan salah satu bagian dari lima pulau besar di Indonesia, yang terletak di bagian Selatan Nusantara yang dikenal sebagai negara maritim. Sebagai bagian dari negara maritim, Pulau Jawa dikelilingi oleh berbagai perairan, baik samudera, laut, maupun selat. Secara geografis, letak Pulau Jawa berbatasan langsung dengan Laut Jawa di sebelah Utara, Selat Bali di sebelah Timur, Samudera Hindia di sebelah Selatan, sedangkan disebelah Barat berbatasan dengan Selat Sunda, sebagaimana dijelaskan oleh gambar berikut

  Sumber : BPS, 2011

Gambar 4.1. Peta Indonesia

(52)

tercatat memiliki 6 provinsi, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I Yogyakarta (DIY), Jawa Timur, dan Banten yang meliputi 116 kabupaten/kota (84 kabupaten dan 32 kota). Pada awalnya provinsi Banten merupakan bagian dari Provinsi Jawa Barat, namun saat ini telah menjadi provinsi sendiri berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000. Ditinjau dari segi luas wilayahnya, provinsi Jawa Timur menempati urutan pertama (terluas) di Pulau Jawa dibandingkan kelima provinsi yang lainnya, sedangkan provinsi DKI Jakarta ada di urutan terakhir (rincian luas wilayah dan pembagian daerah administrasi masing-masing provinsi di Pulau Jawa dapat dilihat pada tabel 4.1).

Tabel 4.1. Luas Wilayah dan Pembagian Daerah Administrasi Masing-masing Provinsi di Pulau Jawa Tahun 2010

Luas 1

Sumber : Statistik Indonesia 2011

Keterangan : 1 Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 2008 pada Tanggal 31 Januari 2008

2 Berdasarkan Laporan BPS Provinsi sampai dengan 31 Desember 2007

4.2. Kondisi Kependudukan

(53)

6,77 persen dari luas total Indonesia. Jumlah penduduk Pulau Jawa terbesar ada pada provinsi Jawa Barat (31,51 persen), lalu diikuti oleh provinsi Jawa Timur (27,43 persen), provinsi Jawa Tengah (23,70 persen), provinsi Banten (7,78 persen), provinsi DKI Jakarta (7,03 persen), dan terendah provinsi DI Yogyakarta (2,53 persen). Laju rata-rata pertumbuhan jumlah penduduk selama 10 (sepuluh) tahun tertinggi ada pada provinsi Banten 3,12 persen, lalu diikuti oleh provinsi Jawa Barat 2,05 persen, Provinsi DKI Jakarta 1,45 persen, provinsi DI Yogyakarta 1,07 persen, provinsi Jawa Timur 0,77 persen, dan terendah provinsi Jawa Tengah 0,37 persen. Secara umum, laju rata-rata pertumbuhan penduduk Pulau Jawa selama sepuluh tahun hampir mendekati dengan laju rata-rata pertumbuhan penduduk Indonesia yaitu sebesar 1,25 persen.

Tabel 4.2. Jumlah Penduduk dan Laju Pertumbuhan Penduduk Pada Masing-masing Provinsi di Pulau Jawa Tahun 2000-2010

Rata-rata Laju

DKI Jakarta 8.389.443 8.892.300 9.607.787 1,45 Jawa Barat 35.729.537 39.150.600 43.053.732 2,05 Jawa Tengah 31.228.940 31.873.500 32.382.657 0,37 D.I Yogyakarta 3.122.268 3.365.500 3.457.491 1,07 Jawa Timur 34.783.640 36.481.800 37.476.757 0,77

Banten 8.098.780 9.071.100 10.632.166 3,12

Jawa 121.352.608 128.834.800 136.610.590 1,25

Indonesia 206.264.595 219.852.000 237.641.326 1,52 Sumber : Statistik Indonesia (2010)

Keterangan : 1 Hasil Sensus Penduduk (SP) 2000 dan 2010

2 Hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2005

(54)

penduduk. Data pada tahun 2010 yang menunjukkan bahwa Pulau Jawa dengan luas yang hanya mencapai 6,77 persen dari total luas daratan Nusantara, dihuni sekitar 58 persen dari total penduduk Indonesia. Dari Jumlah tersebut, 18,12 persen penduduk tinggal di Jawa Barat, 15,77 persen di Jawa Timur, 13,63 persen di Jawa Tengah, 4,47 persen di Banten, 4,04 persen di DKI Jakarta, dan 1,45 persen di DI Yogyakarta. Besarnya jumlah penduduk di Pulau Jawa menyebabkan kepadatan pulau tersebut menjadi sangat tinggi, yaitu 938 jiwa/ km2 (tahun 2000) dan menjadi 1,030 jiwa/km2 di tahun 2010 (lihat tabel 4.3 berikut).

Tabel 4.3. Distribusi Presentase Penduduk dan Kepadatan Penduduk Menurut Provinsi Tahun 2000 dan 2010

Persentase Penduduk*

Sumber : Statistik Indonesia (2011)

Keterangan : * Persentase penduduk terhadap total jumlah penduduk nasional 1 Hasil Sensus Penduduk (SP) tahun 2000 dan 2010

(55)

mengalami penurunan, sementara di provinsi Jawa Barat dan Banten secara konsisten mengalami peningkatan. Hal ini menunjukkan bahwa di Pulau Jawa dari tahun ke tahun terjadi pemusatan sebaran penduduk ke wilayah BODETABEK (Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi) sebagai wilayah penyangga Jakarta yang notabene masuk ke dalam wilayah administrasi provinsi Jawa Barat dan Banten. Sementara apabila dilihat proporsi jumlah penduduk Pulau Jawa terhadap jumlah penduduk nasional, proporsi penduduk Pulau Jawa sedikit mengalami penurunan. Kecenderungan ini tentunya cukup baik untuk mendorong keberimbangan sebaran jumlah penduduk secara nasional. Namun untuk wilayah BODETABEK justru terus terjadi pemusatan sehingga proporsi jumlah penduduk provinsi Jawa Barat dan Banten semakin meningkat.

4.3. Perkembangan Upah Minimum Provinsi di Pulau Jawa Tahun 2001-2010

Upah merupakan balas jasa tenaga kerja yang diberikan oleh produsen atau perusahaan sebagai imbalan atas hasil jasa tenaga kerja dalam memproduksi barang ataupun jasa. Upah juga merupakan salah satu indikator penting untuk melihat tingkat hidup pekerja. Upah riil pekerja merupakan suatu upah yang telah disesuaikan dengan memperhitungkan tingkat kebutuhan penduduk secara umum.

(56)

upah minimum menunjukkan peningkatan yang cukup tajam di DKI Jakarta dan Banten dari tahun 2000 sampai 2010.

0

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

DKI Jakarta

Gambar 4.2. Tingkat Upah Minimum Provinsi di Pulau Jawa Tahun 2001-2010

4.4. Perkembangan Kontribusi dan Pertumbuhan PDRB Sektor Industri dan Perdagangan, Hotel dan Restoran di Pulau Jawa Tahun 2001-2010

Produk Domestik Regional bruto (PDRB) biasanya diukur dalam bentuk nilai tambah (value added) yang diciptakan oleh sektor perekonomian wilayah tersebut secara total dalam bentuk rupiah. Kondisi pertumbuhan ekonomi yang baik, secara tidak langsung akan mempengaruhi penyerapan pada tenaga kerja. Pertumbuhan ekonomi yang baik juga dapat menjadi sebuah daya tarik bagi para investor untuk melakukan investasi sehingga akan berdampak pada peningkatan lapangan pekerjaan dan menurunkan jumlah pengangguran.

(57)

pertumbuhan yang relatif berbeda setiap tahunnya. Pada gambar 4.3 dalam kurun waktu 2002 hingga 2010 sektor industri di Pulau Jawa terlihat memiliki pertumbuhan positif cenderung menurun.

Semenjak krisis tahun 1997/1998 pertumbuhan PDRB sektor industri di Pulau Jawa terlihat lebih lambat. Pertumbuhan tertinggi sektor industri sebesar 6,03 persen tahun 2005 dan terendah sebesar 0,42 persen tahun 2009. Rata-rata pertumbuhan sektor industri setiap tahunnya sebesar 4,38 persen. Menurunnya pertumbuhan setelah tahun 2005 dikarenakan adanya ketidakstabilan dalam kondisi perekonomian indonesia seperti terjadinya kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di bulan Oktober 2005 serta adanya krisis finansial global 2008. Ketidakstabilan kondisi perekonomian tersebut membuat aktivitas produksi di sektor industri menurun sehingga menyebabkan produk industri dalam negeri tidak mampu bersaing di pasaran. Setelah tahun 2010 sektor industri terlihat relatif mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan menjadi sebesar 4,98 persen, hal ini dapat dikarenakan oleh relatif membaiknya penyerapan pasar domestik terhadap hasil produksi serta diiringi dengan tingginya permintaan domestik.

(58)

permintaan masyarakat atas barang atau jasa sektor perdagangan, hotel dan restoran yang didukung juga oleh subsektor perdagangan kecil, hotel dan restoran yang jumlahnya semakin hari kian meningkat untuk memenuhi kebutuhan para konsumen.

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Rata-rata Industri 3.07 2.76 4.72 6.03 5.69 6.03 5.76 0.42 4.98 4.38 Perdagangan, hotel dan

restoran 6.47 7.62 6.90 7.18 7.58 5.96 6.53 6.17 7.14 6.84

-Sumber : BPS, 2001-2010 (diolah)

Gambar 4.3. Pertumbuhan Ekonomi sektor industri dan Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran di Pulau Jawa Tahun 2002-2010

(59)

kawasan industri yang cukup luas serta industri yang berkembang hanya industri kecil dan menengah sehingga kontribusi terhadap PDRB paling rendah seperti terlihat pada gambar 4.4.

0.00

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Persentase

Sumber : BPS, 2001-2010 (diolah)

Gambar 4.4. Kontribusi PDRB Sektor Industri Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Provinsi di Pulau Jawa Tahun 2001-2010

Pertumbuhan ekonomi sektor industri masing-masing provinsi di Pulau Jawa ditunjukkan pada gambar 4.5. Pada tahun 2009 seluruh provinsi di Pulau Jawa terlihat mengalami penurunan dalam pertumbuhan akibat dari krisis global 2008. Provinsi yang mengalami penurunan cukup signifikan yaitu Jawa Barat sebesar –1,74 persen. Hal ini dikarenakam provinsi tersebut memiliki ketergantungan yang kuat terhadap pangsa pasar ekspor. Sehingga disaat negara tujuan ekspor tersebut terkena krisis, berdampak pada menurunnya permintaan barang-barang industri Jawa Barat.

(60)

sehingga ketika terjadi krisis global tidak berdampak signifikan terhadap pertumbuhannya. Rata-rata pertumbuhan sektor industri setiap tahunnya terbesar ada di provinsi Jawa Tengah sebesar 5,77 persen dan terendah provinsi DI Yogyakarta 2,71 persen.

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Rata-rata DKI Jakarta 4.59 5.05 5.74 5.07 4.97 4.60 3.87 0.14 3.63 4.18 Jawa Barat 4.07 -0.72 3.24 8.62 8.51 7.35 9.01 -1.74 2.90 4.58 Jawa Tengah 5.46 5.49 6.41 4.80 4.52 5.56 4.50 1.84 13.40 5.77 DI Yogyakarta 2.82 2.80 3.25 2.59 0.73 1.89 1.38 1.87 7.01 2.71 Jawa Timur -0.73 4.46 5.28 4.61 3.05 6.68 4.36 2.80 4.32 3.87 Banten 2.70 3.41 4.39 4.42 5.43 3.10 2.31 1.50 3.27 3.39

-4.00

Sumber : BPS, 2001-2010 (diolah)

Gambar 4.5. Pertumbuhan PDRB Sektor Industri Menurut Provinsi di Pulau Jawa Tahun 2002-2010

(61)

rata-rata tertinggi setiap tahunnya ada di provinsi Banten sebesar 7,87 persen, sedangkan pertumbuhan terendah di provinsi Jawa Tengah sebesar 5,02 persen.

0.00

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Persentase

Gambar 4.6. Kontribusi PDRB Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Provinsi di Pulau Jawa Tahun 20010-2010

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Rata -rata DKI Jakarta 7.26 6.62 6.95 7.89 6.47 6.88 6.66 4.01 7.29 6.67 Jawa Barat 6.16 10.64 6.48 3.80 7.32 8.03 3.92 10.12 11.77 7.58 Jawa Tengah 1.85 5.24 2.45 6.05 5.85 6.54 5.10 6.01 6.06 5.02 DI Yogyakarta 5.43 6.30 5.86 5.05 3.63 5.04 5.28 5.42 5.33 5.26 Jawa Timur 8.32 7.92 9.25 9.15 9.62 2.94 8.07 5.58 4.42 7.25 Banten 6.06 5.81 6.25 8.84 7.28 11.52 10.95 6.51 7.60 7.87

0.00

Sumber : BPS, 2001-2010 (diolah)

(62)

4.5. Perkembangan Investasi Sektor industri dan Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran di Pulau Jawa Tahun 2001-2010

Salah satu aspek yang menjadi faktor penting dalam meningkatkan penyerapan tenagakerja adalah investasi. Investasi dapat digunakan sebagai modal dalam kegiatan pembangunan. Kebijakan yang diambil pemerintah daerah seperti menciptakan iklim investasi yang aman, perbaikan kualitas dan kuantitas infrastruktur yang dilakukan secara tidak langsung akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan akan berdampak pada penyerapan investasi baik asing maupun domestik yang pada akhirnya akan meningkatkan lapangan pekerjaan dan mengurangi jumlah pengangguran.

(63)

Tabel 4.4. Nilai Realisasi investasi dan Daya Serap Tenaga Kerja Sektor Tahun Jumlah Pertumbuhan

(%)

Jumlah Pertumbuhan (%)

(Rp Milyar) (Rp Milyar)

2001 16.069.26 - 949 2.3789 - 1.574

2002 12.872,16 -19,89 7.130 9.550 301,57 10.274

2003 13.581,54 5,51 12.993 5.085 -46,76 3.454

2004 16.399,48 20,75 48.754 4.005 -21,24 27.197

2005 30.500,83 85,99 83.108 9.510 137,44 43.637

2006 24.538,28 -19,55 137.398 9.535 0,27 21.496

2007 32.267,36 31,50 115.371 14.541 52,49 33.833

2008 35.027,41 8,55 178.364 9.428 35,16 36.313

2009 34.164,59 -2,46 128.820 14.690 55,81 59.555

2010 30.496,22 -10,74 319.526 16.813 14,45 101.584

Rata-rata 24.591,61 11,07 103.244 10.351 58,8 37.483

Sumber : BKPM, 2001-2010 (diolah)

Perkembangan realisasi investasi PMA dan PMDN sektor industri di Pulau Jawa dapat diamati pada tabel 4.3. Nilai PMA pada sektor industri terlihat lebih besar dibandingkan dengan PMDN. Pertumbuhan nilai PMA dan PMDN dalam kurun waktu tahun 2001-2010 cenderung fluktuatif. Rata-rata pertumbuhan nilai realisasi PMA di sektor industri dalam kurun waktu 2001-2010 mencapai 11,07 persen per tahun, meningkat dari Rp. 16.069,26 Milyar pada tahun 2001 menjadi Rp. 30.496,22 Milyarpada tahun 2010.

(64)

wilayah luar Jawa untuk menciptakan adanya unsur pemerataan dalam rangka memperluas dan mempercepat pembangunan ekonomi nasional dalam jangka panjang. Meskipun iklim PMA terlihat cenderung fluktuatif, namun cukup memberikan kontribusi yang cukup baik dalam menyerap tenaga kerja dan relatif cenderung meningkat dari tahun 2001-2010 sebesar 949 orang menjadi 319.526 orang dengan rata-rata per tahunnya sebesar 103.244orang. Besarnya tenaga kerja yang terserap oleh adanya PMA di sektor industri dapat dikarenakan PMA tersebut memiliki nilai realisasi yang relatif lebih besar serta jumlah proyek yang dijalankannya juga besar sehingga membutuhkan banyak tenaga kerja yang dipekerjakan di sektor industri tersebut.

Perkembangan realisasi PMDN sektor industri di Pulau Jawa dalam kurun waktu 2001-2010 sama halnya dengan PMA menunjukkan nilai fluktuatif dan cenderung memberikan pertumbuhan yang positif. Pertumbuhan negatif hanya terjadi pada tahun 2003 dan 2004. Penurunan nilai investasi yang terjadi pada saat krisis global tahun 2008 tidak terlihat signifikan bila dibandingkan dengan PMA, namun investasi kembali tumbuh membaik seiring pemulihan perekonomian pasca krisis. Rata-rata pertumbuhan nilai realisasi PMDN adalah mencapai 58,80 persen per tahun, meningkat dari Rp. 2.3789miliar pada tahun 2001 menjadi Rp. 16.813 tahun 2010.

Gambar

Gambar 2.1. Komposisi Penduduk dan Tenagakerja
Gambar 2.5. Kerangka Pemikiran
Gambar 4.1. Peta Indonesia
Gambar 4.2. Tingkat Upah Minimum Provinsi di Pulau Jawa Tahun 2001-
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam hal terjadinya pemalsuan surat yang dilakukan oleh para pihak dalam pembuatan akta Notaris menurut UUJN adalah ketika Notaris

Pembentukan suatu sistem kawalan bagi menguruskan risiko yang boleh menjejaskan perancangan keberkesanan penyampaian perkhidmatan kutipan hasil, urus tadbir

Inti dari Backpropagation adalah untuk mencari error suatu node. Dari hasil forward phase akan dihasilkan suatu output , dari output tersebut, pastilah tidak sesuai

46 Table 4.10 Distribusi Responden Umur 47 Tabel 4.1 I Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan 48 Tabel 4.12 Distribusi Responden Berdasarkan Profesi 49 Tabel

5) Apabila prodi menyetujui tema dan judul tersebut maka prodi menunjuk dosen pembimbing bagi mahasiswa. 6) Setelah mendapatkan dosen pembimbing mahasiswa berhak

Hasil penelitian menyarankan: (1) perlu adanya kegiatan pelatihan motivasi untuk peternak, agar peternak memahami usahaternak yang mereka lakukan memiliki nilai ekonomi

Dalam penyusunan Renja tahun 2017 ini berpedoman pada program dan kegiatan yang tertuang pada Rencana Strategis (RENSTRA) Badan Pelayanan Perizinan dan Kantor

Menurut Ahmad Zulkifli (2012, hal 8), dalam servant leadership, kepemimpinan bukan merupakan posisi ketika seorang pemimpin duduk menikmati penghormatan, penghargaan,