• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perubahan Koefisien Limpasan (Runoff Coefficient) Di Daerah Aliran Sungai Ular

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perubahan Koefisien Limpasan (Runoff Coefficient) Di Daerah Aliran Sungai Ular"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

PERUBAHAN KOEFISIEN LIMPASAN (RUNOFF

COEFFICIENT) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI ULAR

TUGAS AKHIR

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat Untuk Menempuh Ujian

Sarjana Teknik Sipil

Disusun Oleh:

050404015

SAKINAH RAMZA

SUB DEPARTEMEN TEKNIK SUMBERDAYA AIR

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK

(2)

ABSTRAK

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah daerah yang dianggap sebagai wilayah dari suatu titik tertentu pada suatu sungai dan dipisahkan dari DAS-DAS di sebelahnya oleh suatu pembagi (divide), atau punggung bukit/gunung yang dapat ditelusuri pada peta topografi. Semua air yang berasal dari daerah yang dikelilingi oleh pembagi tersebut dialirkan melalui titik terendah pembagi, yaitu tepat yang dilalui oleh sungai utama pada DAS yang bersangkutan. Dalam menghadapi ketidakseimbangan antara ketersediaan air yang cenderung menurun dan kebutuhan air yang semakin meningkat, maka sumberdaya air wajib dikelola dengan memperhatikan fungsi sosial, lingkungan hidup dan ekonomi secara selaras. Ketersediaan sumberdaya air yang cenderung menurun tersebut juga dialami beberapa sungai sepanjang Daerah Aliran Sungai di Sumatera Utara. Tuntutan kemampuannya dalam menunjang sistem kehidupan masyarakat atas memanfaatkan sumberdaya air demikian besarnya baik bagian hulu maupun hilir. Pemanfaatan lahan pada suatu DAS untuk berbagai penggunaan, akan mempengaruhi besarnya aliran yang terjadi di sungai. Hal ini disebabkan karena perbedaan besarnya bagian hujan yang meresap ke dalam tanah tergantung pada masing-masing tata guna lahan di mana hujan jatuh.

Sungai Ular bermuara di Selat Malaka pada posisi 30 km di sebelah timur kota Medan, melintasi 3 kabupaten yaitu Kabupaten Simalungun, Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Serdang bedagai. DAS Ular berada pada 2º95’’ LU - 3º30’’ LU dan 98º55’’ BT - 98º55’’ BT. Panjang Sungai Ular sekitar 115 km dengan DAS seluas 1.234,14 km2.

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini.

Adapun judul dari tugas akhir ini adalah “Perubahan Koefisien Limpasan (Runoff Coefficient) Di Daerah Aliran Sungai Ular”. Tugas Akhir ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan Strata I (S1) di Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tugas akhir ini tidak terlepas dari bimbingan, dukungan dan bantuan dari semua pihak. Penulis hanya dapat mengucapkan terima kasih atas segala jerih payah, motivasi dan doa yang diberikan hingga penulis dapat menyelesaikan studi di Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara, terutama kepada :

1. Bapak Ir. Boas Hutagalung, M.Sc., selaku Dosen Pembimbing sekaligus orang tua bagi penulis yang telah berkenan meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk membantu, membimbing dan mengarahkan penulis hingga selesainya tugas akhir ini. 2. Bapak Prof. Dr. Ing. Johannes Tarigan, selaku Ketua Departemen Teknik Sipil

Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Ir. Teruna Jaya, M.Sc, selaku Sekretaris Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Ir. Sufrizal, M.Eng, Bapak Dr. Ir. Ahmad Perwira Mulia, M.Sc, Bapak Ivan Indrawan, ST, selaku Dosen Pembanding/Penguji yang telah memberikan masukan dan kritikan yang membangun dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

(4)

6. Bapak/Ibu Staf Pengajar Departemen Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara. 7. Abang/ Kakak pegawai Jurusan kak Lince, bg Zul, bg Mail, bg Edi, bg Amin, kak

Dina, dan pegawai Fakultas Teknik USU bg Sadiman, bg Bowo, bg Daus, bg Bukit. Semoga Allah SWT membalas dan melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua, dan atas dukungan yang telah diberikan penulis ucapkan terima kasih. Akhirnya, semoga tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Juni 2010 Hormat Saya

(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI iii

BAB I PENDAHULUAN 1

1. Umum 1

2. Latar Belakang 2

3. Tujuan dan Manfaat 3

3.1 Tujuan 3

3.2 Manfaat 4

4. Ruang Lingkup Pembahasan 4

5. Pembatasan Masalah 5

6. Sistematika Penulisan 5

7. Metodologi Penelitian 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 8

2.1. Pendahuluan 8

2.2. Tanggapan Sistem 10

(6)

2.4. Infiltrasi 26

2.5. Evaporasi 29

2.6. Limpasan Permukaan Dan Hidrologi Sungai 32

2.7 Perhitungan Debit Banjir Metode Empiris 39

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 43

3.1 Lokasi Studi Kasus 44

3.2 Pengumpulan Data 50

3.3 Menganalisa Frekuensi Curah Hujan Rata-rata 51

3.4 Menganalisa Debit Banjir 51

BAB IV ANALISA DATA 53

4.1 Perhitungan Koefisien Limpasan Berdasarkan Tata Guna Lahan 53

4.2 Analisa Debit Banjir 57

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

71 5.1 Kesimpulan

71

5.2 Saran 71

(7)

ABSTRAK

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah daerah yang dianggap sebagai wilayah dari suatu titik tertentu pada suatu sungai dan dipisahkan dari DAS-DAS di sebelahnya oleh suatu pembagi (divide), atau punggung bukit/gunung yang dapat ditelusuri pada peta topografi. Semua air yang berasal dari daerah yang dikelilingi oleh pembagi tersebut dialirkan melalui titik terendah pembagi, yaitu tepat yang dilalui oleh sungai utama pada DAS yang bersangkutan. Dalam menghadapi ketidakseimbangan antara ketersediaan air yang cenderung menurun dan kebutuhan air yang semakin meningkat, maka sumberdaya air wajib dikelola dengan memperhatikan fungsi sosial, lingkungan hidup dan ekonomi secara selaras. Ketersediaan sumberdaya air yang cenderung menurun tersebut juga dialami beberapa sungai sepanjang Daerah Aliran Sungai di Sumatera Utara. Tuntutan kemampuannya dalam menunjang sistem kehidupan masyarakat atas memanfaatkan sumberdaya air demikian besarnya baik bagian hulu maupun hilir. Pemanfaatan lahan pada suatu DAS untuk berbagai penggunaan, akan mempengaruhi besarnya aliran yang terjadi di sungai. Hal ini disebabkan karena perbedaan besarnya bagian hujan yang meresap ke dalam tanah tergantung pada masing-masing tata guna lahan di mana hujan jatuh.

Sungai Ular bermuara di Selat Malaka pada posisi 30 km di sebelah timur kota Medan, melintasi 3 kabupaten yaitu Kabupaten Simalungun, Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Serdang bedagai. DAS Ular berada pada 2º95’’ LU - 3º30’’ LU dan 98º55’’ BT - 98º55’’ BT. Panjang Sungai Ular sekitar 115 km dengan DAS seluas 1.234,14 km2.

(8)

BAB I

PENDAHULUAN

I. Umum

Di bumi terdapat kira-kira sejumlah 1,3-1,4 milyard km3 : 97,5% adalah air

laut, 1,75% berbentuk es dan 0,73% berada di daratan sebagai air sungai, air danau,

air tanah dan sebagainya. Hanya 0,001% berbentuk uap di udara. Air di bumi ini

mengulangi terus menerus sirkulasi → penguapan, presipitasi dan pengaliran keluar

(outflow). Air menguap ke udara dari permukaan tanah dan laut, berubah menjadi

awan melalui beberapa proses dan kemudian jatuh sebagai hujan atau salju ke

permukaan laut atau daratan. Sebelum tiba ke permukaan bumi sebagian langsung

menguap ke udara dan sebagian tiba ke permukaan bumi. Tidak semua bagian hujan

yang jatuh ke permukaan bumi mencapai permukaan tanah.

Sebagian air hujan yang tiba ke permukaan tanah akan masuk ke dalam tanah

(infiltrasi). Bagian lain yang merupakan kelebihan akan mengisi lekuk-lekuk

permukaan tanah, kemudian mengalir ke daerah-daerah yang rendah, masuk ke

sungai-sungai dan akhirnya ke laut. Tidak semua butir air yang mengalir akan tiba ke

laut. Dalam perjalanan ke laut sebagian akan menguap dan kembali ke udara.

Sebagian air yang masuk ke dalam tanah keluar kembali ke sungai-sungai (disebut

aliran intra). Tetapi sebagian besar akan tersimpan sebagai air tanah (groundwater)

yang akan keluar sedikit demi sedikit dalam jangka waktu yang lama ke permukaan

tanah di daerah-daerah yang rendah yang disebut dengan limpasan air tanah.

(9)

ialah : uap dari laut dihembus ke daratan (kecuali bagian yang telah jatuh sebagai

presipitasi ke laut), jatuh ke daratan sebagai presipitasi (sebagian jatuh langsung ke

sungai-sungai dan mengalir langsung ke laut). Sebagian dari hujan atau salju yang

jatuh di daratan menguap dan meningkatkan kadar uap di atas daratan. Bagian yang

lain mengalir ke sungai dan akhirnya ke laut.

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah daerah yang dianggap sebagai wilayah

dari suatu titik tertentu pada suatu sungai dan dipisahkan dari DAS-DAS di

sebelahnya oleh suatu pembagi (divide), atau punggung bukit/gunung yang dapat

ditelusuri pada peta topografi. Semua air yang berasal dari daerah yang dikelilingi

oleh pembagi tersebut dialirkan melalui titik terendah pembagi, yaitu tepat yang

dilalui oleh sungai utama pada DAS yang bersangkutan. Pada umumnya dianggap

bahwa aliran air tanah sesuai pula dengan pembagi-pembagi di atas permukaan

tanah, tetapi anggapan ini tidaklah selalu benar, dan nyatanya banyak sekali air yang

diangkut dari DAS yang satu ke DAS lainnya sebagai air tanah.

II. Latar Belakang

Dalam menghadapi ketidakseimbangan antara ketersediaan air yang

cenderung menurun dan kebutuhan air yang semakin meningkat, maka sumberdaya

air wajib dikelola dengan memperhatikan fungsi sosial, lingkungan hidup dan

ekonomi secara selaras. Ketersediaan sumberdaya air yang cenderung menurun

tersebut juga dialami beberapa sungai sepanjang Daerah Aliran Sungai di Sumatera

Utara. Tuntutan kemampuannya dalam menunjang sistem kehidupan masyarakat atas

(10)

Hujan yang jatuh pada suatu tata guna lahan akan menguap, meresap dan

menjadi aliran/limpasan permukaan. Pemanfaatan lahan pada suatu DAS untuk

berbagai penggunaan, akan mempengaruhi besarnya aliran yang terjadi di sungai.

Hal ini disebabkan karena perbedaan besarnya bagian hujan yang meresap ke dalam

tanah tergantung pada masing-masing tata guna lahan di mana hujan jatuh. Sebagai

contoh apabila lahan hutan pada suatu DAS berubah menjadi lahan pemukiman,

tentu akan berpengaruh pada jumlah air hujan yang meresap ke dalam tanah. Air

hujan yang masuk ke sungai menjadi lebih banyak. Akibatnya kebanjiran akan sering

terjadi pada musim penghujan dan kekeringan di musim kemarau. Di samping itu,

adanya perubahan iklim juga mempengaruhi intensitas curah hujan pada suatu DAS,

yang juga akan mempengaruhi limpasan dan debit sungai.

III. Tujuan dan Manfaat

III.1. Tujuan

Tujuan dari tugas akhir ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui koefisien limpasan pada DAS Ular dengan data debit rata-rata

sungai Ular sebagai parameter utama.

2. Mengetahui koefisien limpasan pada DAS Ular dengan parameter utama

adalah data tata guna lahan pada DAS Ular. Kemudian dari hasil yang

diperoleh dilakukan prediksi tata guna lahan pada tahun yang akan datang.

3. Berdasarkan nilai koefisien limpasan pada DAS Ular dengan data tata guna

lahan sebagai parameter utama, maka dihitung debit banjir maksimum pada

(11)

III.2. Manfaat

Dengan adanya penelitian ini diharapkan memberikan masukan, menambah

pengetahuan dan wawasan akan kondisi DAS Ular bagi masyarakat dan pemerintah.

Selain itu juga diharapkan dapat meningkatkan kesadaran kita sebagai pengguna air

mengenai pentingnya mengelola sumberdaya air.

Dan semoga penelitian ini dapat menjadi pedoman atau bahan pertimbangan

dalam penerapannya di lapangan.

IV. Ruang Lingkup Pembahasan

Pada tugas akhir ini, penulis akan membahas masalah pada aliran permukaan

dengan Rumus Rasional.

Q = C *i *A = 0,00277 C *i *A

Dimana,

Q = Debit banjir maksimum (m3/detik)

C = Koefisien limpasan

i = Intensitas curah hujan rata-rata selama waktu tiba dari banjir (mm/jam)

A = Daerah pengaliran (Ha)

Nilai koefisien limpasan C menentukan bagian curah hujan yang akan

mengalir sebagai air limpasan. Besar kecilnya nilai C tergantung pada

permeabilitas dan kemampuan tanah dalam menampung air. Nilai yang kecil

menunjukkan bahwa sebagian besar air ditampung untuk waktu tertentu.

Sementara daerah dengan nilai C besar menunjukkan bahwa hampir semua air

(12)

V. Pembatasan Masalah

Pada tugas akhir ini, penulis membatasi masalah pada:

1. Air hujan yang menginfiltrasi tertahan sebagai kelembaban tanah di mana

besarnya jumlah infiltrasi tersebut tergantung pada tata guna lahan.

2. Perhitungan limpasan permukaan hanya memperhitungkan curah hujan yang

terjadi di wilayah tersebut tanpa memperhitungkan curah hujan dari tempat

lain

3. Curah hujan terjadi dengan intensitas yang tetap dalam satu jangka waktu

tertentu, setidaknya sama dengan waktu konsentrasi.

4. Koefisien run off dianggap tetap selama durasi hujan.

5. Luas DAS tidak berubah selama durasi hujan.

VI. Sistematika Penulisan

1. Pendahuluan

Merupakan bingkai studi atau rancangan yang akan dilakukan meliputi

tinjauan umum, latar belakang, tujuan dan manfaat, rung lingkup pembahasan

dan metodologi penelitian.

2. Tinjauan Pustaka

Merupakan penguraian berbagai literature yang berkaitan dengan penelitian.

Di dalamnya termasuk siklus hidrologi, hidrologi sungai dan limpasan

(runoff).

(13)

Merupakan penguraian mengenai DAS Ular, yang meliputi deskripsi wilayah,

batas administrasi, luas wilayah, kependudukan, klimatologi dan kondisi

fisik.

4. Pembahasan

Memaparkan analisa dan hasil perhitungan koefisien limpasan dan debit

banjir maksimum dari data-data yang diperoleh.

5. Kesimpulan dan Saran

VII. Metodologi Penelitian

Dalam menganalisa hasil study ini maka penulis mencari bahan-bahan dan

data-data yang diperlukan melalui:

1. Mengumpulkan literatur dari beberapa buku yang berkenaan dengan Hidrologi

Pengairan.

2. Mengumpulkan data-data yang diperlukan yaitu data sekunder, yang diperoleh

dari instansi terkait dalam pengelolaan DAS Ular.

3. Pengolahan data dilakukan melalui tahap-tahap berikut:

• Tahap I :

a. Menentukan hujan harian maksimum rerata untuk tiap-tiap tahun

data.

b. Menghitung koefisien limpasan dengan data debit sungai yang

tersedia.

c. Menghitung perkiraan koefisien limpasan tahun berikutnya dengan

(14)

• Tahap II:

a) Menghitung luasan tata guna lahan dari data tahun pertama.

b) Menghitung luasan tata guna lahan dari data tahun kedua.

c) Menghitung perkiraan tata guna lahan tahun berikutnya dengan

menggunakan Regresi Linear.

d) Menghitung nilai koefisien limpasan gabungan dari luasan tata guna

lahan pada data tahun pertama.

e) Menghitung nilai koefisien limpasan gabungan dari luasan tata guna

lahan pada data tahun kedua.

f) Menghitung nilai koefisien limpasan gabungan dari luasan tata guna

lahan pada data tahun berikutnya.

• Tahap III :

a) Menentukan hujan harian maksimum rerata untuk tiap-tiap tahun

data.

b) Menentukan parameter statistik dari data yang telah diurutkan dari

besar ke kecil, yaitu: Mean, Standard Deviation, Coeffisient of

Variation, Coeffisient of Skewness, Coeffisient of kurtosis.

c) Menentukan jenis distribusi yang sesuai berdasarkan parameter

statistik yang ada.

d) Menganalisa Frekuensi dan probabilitas dan melakukan uji

kecocokan dengan paremeter chi-kuadrat.

e) Menghitung intensitas hujan yang diturunkan dari data curah hujan

harian. intensitas hujan (mm/jam) dapat diturunkan dari data curah

(15)

f) Menghitung debit banjir maksimum dengan menggunakan data

(16)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Pendahuluan

II.1.1. Batasan

Hidrologi adalah ilmu yang berkaitan dengan air bumi, terjadinya, peredaran

dan distribusinya, sifat-sifat kimia dan fisikanya dan reaksi dengan lingkungannya,

termasuk hubungannya dengan makhluk-makhluk hidup. Karena perkembangannya

begitu cepat, hidrologi telah menjadi ilmu dasar dari pengelolaan

sumberdaya-sumberdaya air yang merupakan pengembangan, distribusi dan penggunaan

sumberdaya-sumberdaya air secara terencana. Banyak proyek di dunia (rekayasa air,

irigasi, pengendalian banjir, drainase, tenaga air dan lain-lain) dilakukan dengan

terlebih dahulu melaksanakan survei kondisi-kondisi hidrologi yang cukup.

Survei-survei tersebut meliputi prosedur-prosedur pengumpulan data di lapangan, sampai

pemprosesan data dan karena itu menghasilkan data sesuai dengan tujuan yang telah

direncanakan (Seyhan, 1990).

II.1.2. Sejarah Singkat

Manusia, dari semula, telah menyadari pentingnya air bagi dia dan

lingkungannya. Ahli filsafat terdahulu memandang air sebagai salah satu dari 4 unsur

dasar (api, bumi, udara dan air). Sampai abad ke-16 teka-teki besar adalah mengenai

asal muasal air. Konsep daur hidrologi belum disadari. Karena itulah, kondensasi,

presipitasi, evaporasi dan infiltrasi belum dapat dikaitkan satu sama lain. Namun,

(17)

paling tepat tentang daur hidrologi. Bernard Palissy mengusulkan pada abad yang

sama satu versi yang diperhalus dari gagasan-gagasan Vinci. Namun, selama 250

tahun versi tersebut adalah tidak masuk akal. Hanya pada abad ke-19 gagasan daur

hidrologi diterima dan penelitian-penelitian kuantitatif dipercepat.

Selama tahun 1500-1800 filsafat hidrologi didasarkan atas percobaan dan

pengembangan teknik-teknik pengukuran. Pada periode ini, pengukuran curah hujan

diperkenalkan di Eropa, mekanisme pita berlobang dikembangkan, table logaritmik

dihasilkan, rumus aliran saluran (dari Chezy) disusun, hubungan kecepatan-tekanan

(dari Bernoulli) dikembangkan, curah hujan dihubungkan dengan ketinggian tempat,

dan lain-lain.

Selama tahun-tahun 1800-1900, penelitian sampai pada era yang lain dan

perkembangan yang penting dalam alat-alat penghitung dan model telah dilakukan.

Pada tahun-tahun 1900-1930 (periode empirisme), sebagian besar pekerjaan

berdasarkan rumus-rumus empiris. Tetapi pada tahun-tahun selanjutnya (1930-1950:

periode rasionalisasi), dimulailah tahun-tahun keemasan hidrologi yang pertama.

Pada tahun 1939, Aitken menghasilkan bentuk komputer digital yang pertama. Pada

tahun 1943 Eckert dan Mauchley menghasilkan komputer listrik pertama yang

disebut ENIAC. Metode semi-empiris dan hidrolika air tanah diperkenalkan.

II.2. Tanggapan Sistem

(18)

Suatu sistem diberi batasan sebagai kumpulan objek dan subsistem yang

disatukan dengan beberapa bentuk interaksi (saling-tindak) yang beraturan.

Sebaliknya, subsistem-subsistem terdiri atas komponen-komponen dan/atau

peubah-peubah yang semuanya bersama-sama membentuk subsistem yang khusus tersebut,

yang berhubungan dengan subsistem lainnya. Bila kita memandang suatu sistem

yang mengalir yang dapat diterapkan pada suatu daerah aliran sungai, maka akan

tampak bahwa struktur sistem dari sistem ini adalah

MASUKAN → STUKTUR → SISTEM KELUARAN

Daerah aliran sungai yang merupakan lahan total dan permukaan air yang dibatasi

oleh suatu batas-air topografi dan dengan salah satu cara memberikan sumbangan

terhadap debit suatu sungai pada suatu irisan melintang tertentu. Faktor-faktor

berikut adalah

1. Faktor iklim

2. Faktor tanah

a) Topografi

b) Tanah

c) Geologi

d) Geomorfologi

3. Tata guna lahan

Faktor-faktor tersebut membentuk subsistem dan bertindak sebagai operator

di dalam mengubah urutan terjadinya presipitasi secara alami, P(t), menjadi urutan

waktu limpasan, Q(t) yang dihasilkan. Keragaman dalam keluaran, dalam hal ini

(19)

sutu system secara kuatitatif diberi batasan dengan komponen-komponen atau

peubah-peubah. Misalnya, tata guna lahan pada suatu daerah aliran sungai dapat

digambarkan dengan peubah-peubah seperti persentase lahan hutan, persentase lahan

rumput, persentase lahan yang diusahakan dan lain-lain. Kelompok semua peubah

tersebut yang bertindak saling berhubungan satu sama lain mengendalikan kerja

subsistem tersebut dan akhirnya juga kenampakan akhir dari presipitasi (masukan)

sebagai limpasan (keluaran) setelah melewati beberapa tahapan.

Tanggapan daerah aliran sungai tidak hanya merupakan limpasan saja,

melainkan juga erosi dan pengangkutan bahan-bahan kimia. Tiga tanggapan ini juga

bersaling tindak antara mereka sendiri di dalam mengendalikan

perubahan-perubahan dalam daerah aliran sungai. Dalam suatu analisis sistem (yang

mempelajari sifat kesaling-hubungan antar subsistem) di mana limpasan dilihat

sebagai suatu keluaran, erosi dan pengangkutan bahan-bahan kimia dapat

dihilangkan karena proses-prosesnya sangat lambat.

II.2.2. Tanggapan Daerah Aliran Sungai-Daur Hidrologi

Daur hidrologi diberi batasan sebagai suksesi tahapan-tahapan yang dilalui air

dari atmosfer ke bumi dan kembali lagi ke atmosfer. Daur ini dimulai dengan

penguapan air dari laut. Uap yang dihasilkan dibawa oleh udara yang bergerak.

Dalam kondisi yang memungkinkan, uap tersebut terkondensasi membentuk awan,

yang pada akhirnya dapat menghasilkan presipitasi. Presipitasi yang jatuh ke bumi

menyebar dengan arah yang berbeda-beda dalam beberapa cara. Sebagian besar dari

presipitasi tersebut untuk sementara tertahan pada tanah di dekat tempat ia jatuh dan

(20)

pemeluhan (transpirasi) oleh tanaman. Sebagian air mencari jalannya sendiri melalui

permukaan dan bagian atas tanah menuju sungai, sementara lainnya menembus

masuk lebih jauh ke dalam tanah (groundwater). Di bawah pengaruh gaya gravitasi,

baik aliran air permukaan (surface streamflow) maupun air dalam tanah bergerak

menuju tempat yang lebih rendah dan akhirnya mengalir ke laut. Namun sejumlah

besar air permukaan dan air bawah tanah dikembalikan ke atmosfer oleh penguapan

dan pemeluhan sebelum sampai ke laut.

Uraian mengenai daur hidrologi ini merupakan uraian yang benar-benar

disederhanakan. Sebagai contoh, air dari sebagian aliran permukaan mungkin

berperkolasi menjadi air tanah sedangkan pada kejadian lain, air tanah merupakan

sumber aliran sungai (stream flow). Daur hidrologi merupakan peraga yang baik

untuk menggambarkan lingkup hidrologi, yang memisahkan antara presipitasi pada

daratan dan kembalinya air ke atmosfer atau laut. Daur tersebut juga memperlihatkan

empat fase yaitu presipitasi, evaporasi, aliran permukaan dan air tanah.

Pembahasan mengenai daur hidrologi tidak perlu memberikan kesan tentang

adanya mekanisme yang kontinu, dimana dari awal sampai akhir air bergerak secara

tunak dengan kecepatan konstan. Pergerakan air melalui daur tersebut tidak menentu,

baik mengenai waktu maupun daerahnya. Kadang-kadang alam memberikan hujan

yang amat deras, yang menyebabkan kapasitas saluran di permukaan tanah menjadi

penuh. Pada kesempatan lain mungkin terkihat bahwa mekanisme daur itu berhenti

sama sekali, dengan demikian presipitasi dan aliran sungai pun ikut terhenti.

Sebagaimana dapat dilihat dari penjelasan singkat tentang daur hidrologi,

tanggapan daerah aliran sungai terhadap presipitasi merupakan keluaran dari saling

(21)

kompleks setelah perlintasan presipitasi melalui beberapa langkah penyimpanan dan

transfer. Kompleksitas ini meningkat dengan keragaman areal vegetasi,

formasi-formasi geologi, kondisi tanah dan di samping ini juga keragaman-keragaman areal

dan waktu dari faktor-faktor iklim.

Sumber:

Gambar 2.1. Daur Hidologi

II.2.3. Ekosistem Daerah Aliran Sungai

Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terdiri atas komponen-komponen

yang saling berinteraksi sehingga membentuk suatu kesatuan. Sistem tersebut

mempunyai sifat tertentu, tergantung pada jumlah dan jenis komponen yang

menyusunnya. Besar-kecilnya ukuran ekosistem tergantung pada pandangan dan

batas yang diberikan pada ekosistem tersebut. Daerah aliran sungai dapatlah

dianggap sebagai suatu ekosistem.

Ekositem terdiri atas komponen biotis dan abiots yang saling berinteraksi

(22)

tidak ada satu komponen pun yang berdiri sendiri, melainkan mempunyai keterkaitan

dengan komponen lain, langsung atau tidak langsung, besar atau kecil. Aktivitas

suatu komponen sistem selalu member pengaruh pada komponen ekosistem yang

lain. Manusia adalah salah satu komponen ekosistem yang penting. Sebagai

komponen yang dinamis, manusia dalam menjalankan aktivitasnya seringkali

mengakibatkan dampak pada salah satu komponen lingkungan, dan dengan

demikian, mempengaruhi ekosistem secara keseluruhan. Selama hubungan

timbal-balik antar komponen ekosistem dalam keadaan seimbang, selama itu pula ekosistem

berada dalam kondisi stabil. Sebaliknya bila hubungan timbal-balik antar

komponen-komponen lingkungan mengalami gangguan, maka terjadilah gangguan ekologis.

Uraian di atas mengisyaratkan bahwa ekosistem harus dilihat secara holistik,

yaitu dengan cara mengidentifikasi komponen-komponen kunci penyusun ekosistem

serta menelaah interaksi antar komponen-komponen tersebut. Pendekatan holistic

dilakukan agar pemanfaatan dan konservasi sumberdaya alam dapat dilakukan secara

efisien dan efektif, syarat yang diperlukan bagi terwujudnya pemanfaatan

sumberdaya alam untuk pembangunan yang berkelanjutan.

Dalam mempelajari ekosistem DAS, daerah aliran sungai biasanya dibagi

menjadi daerah hulu, tengah dan hilir. Secara biogeofisik, daerah hulu DAS dicirikan

oleh hal-hal sebagai berikut: merupakan daerah konservasi, mempunyai kerapatan

drainase lebih tinggi, merupakan daerah dengan kemiringan lereng besar (lebih besar

dari 15%), bukan merupakan daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan

oleh pola drainase, dan jenis vegetasi umumnya merupakan tegakan hutan.

Sementara daerah hilir DAS dicirikan oleh hal-hal sebagai berikut: merupkan daerah

(23)

lereng kecil sampai dengan sangat kecil (kurang dari 8%), pada beberapa tempat

merupakan daerah banjir (genangan), pengaturan pemakaian air ditentukan oleh

bangunan irigasi, dan jenis vegetasi didominasi tanaman pertanian kecuali daerah

estuaria yang didominasi hutan bakau. Daerah aliran sungai bagian tengah

merupakan daerah transisi dari kedua karakteristik biogeofisik DAS yang berbeda

tersebut di atas.

Ekosistem DAS hulu merupakan bagian yang penting karena mempunyai

fungsi perlindungan terhadap seluruh bagian DAS. Perlindungan ini antara lain, dari

segi fungsi tata air. Oleh karena itu, DAS hulu seringkali menjadi fokus perencanaan

pengelolaan DAS mengingat bhwa dalam suatu DAS, daerah hulu dan hilir

mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi.

II.3. Hujan

II.3.1. Pengertian Umum

Hujan merupakan komponen masukan yang paling penting dalam proses

hidrologi, karena jumlah kedalaman hujan (rainfall depth) ini yang dialihragamkan

menjadi aliran di sungai, baik melalui limpasan permukaan (surface runoff), aliran

antara (interflow, sub surface flow) maupun sebagai aliran air tanah (groundwater

flow).

Agar terjadi proses pembentukan hujan, maka ada 2 syarat yang harus

dipenuhi:

(24)

2. Tersedia sarana, keadaan yang mengangkat udara tersebut ke atas sehingga

terjadi kondensasi.

Udara lembab biasanya terjadi karena adanya gerakan udara mendatar,

terutama yang berasal dari atas lautan, yang dapat mencapai ribuan kilometer.

Terangkatnya udara ke atas dapat terjadi dengan tiga cara:

1. Konvektif, bila terjadinya ketidakseimbangan udara karena panas setempat,

dan udara bergerak ke atas dan berlaku proses adiabatik. Hujan yang terjadi

disebut hujan konvektif, dan biasanya merupakan hujan dengan intensitas

tinggi, dan terjadi dalam waktu yang relatif singkat, di daerah yang relatif

sempit.

2. Hujan siklon, bila gerakan udara ke atas terjadi akibat adanya udara panas

yang bergerak di atas lapisan udara yang lebih padat dan lebih dingin. Hujan

ini biasanya terjadi dengan intensitasnsedang, mencakup daerah yang luas

dan berlangsung lama.

3. Hujan orografik, terjadi karena udara bergerak ke atas akibat adanya

pegunungan. Akibatnya, terjadi dua daerah yang disebut daerah hujan dan

daerah bayangan hujan. Sifat hujan ini dipengaruhi oleh sifat dan ukuran

pegunungan.

Terjadinya pembentukan awan, tidak selalu memungkinkan terjadinya hujan.

Setidaknya diperlukan waktu, agar awan tersebut tumbuh menjadi awan hujan.

Pertumbuhan partikel-partikel awan dari ukuran 1-100 mikron (1 mikron = 10-3mm)

menjadi partikel hujan, dengan ukuran lebih dari 1000 mikron (1 mm) memerlukan

waktu paling tidak 30 menit sejak pembentukan awan. Akan tetapi proses itu tidak

(25)

dapat teruapkan kembali. Stabilitas udara sangat berpengaruh terhadap pembentukan

awan tersebut.

II.3.2. Hujan DAS

Pengukuran yang dilakukan adalah untuk memperoleh data hujan yang terjadi

pada satu tempat saja. Akan tetapi dalam analisis umumnya yang diinginkan adalah

data hujan rata-rata DAS (catchment rainfall). Untuk menghitung besaran ini dapat

ditempuh beberapa cara yang sampai saat ini lazim digunakan, yaitu dengan:

1. Rata-rata Aljabar

Cara hitungan dengan rata-rata aljabar (mean arithmetic method) ini

merupakan cara yang paling sederhana, akan tetapi memberikan hasil yang

tidak teliti. Hal tersebut diantaranya karena setiap stasiun dianggap

mempunyai bobot yang sama. Hal ini hanya dapat digunakan kalau hujan

yang terjadi di dalam DAS homogen dan variasi tahunannya tidak terlalu

besar. Keadaan hujan di Indonesia (daerah tropik pada umumnya) sangat

bersifat ‘setempat’, dengan variasi ruang (spatial variation) yang sangat

besar.

P = (P1 + P2 + … + Pn)

(2.1)

2. Poligon Thiessen

Cara ini memberikan bobot tertentu untuk setiap stasiun hujan dengan

pengertian bahwa setiap stasiun hujan dianggap mewakili hujan dalam suatu

daerah dengan luas tertentu dan luas tersebut merupakan faktor koreksi bagi

hujan di stasiun yang bersangkutan. Luas masing-masing daerah tersebut

(26)

• Semua stasiun yang di dalam (atau di luar) DAS dihubungkan dengan

garis, sehingga terbentuk jaringan segitiga-segitiga. Hendaknya

dihindari terbentuknya segitiga dengan sudut sangat tumpul.

• Pada masing-masing segitiga ditarik garis sumbunya, dan semua garis

sumbu tersebut membentuk poligon.

• Luas daerah yang hujannya dianggap diwakili oleh salah satu stasiun

yang bersangkutan adalah daerah yang dibatasi oleh garis-garis

poligon tersebut (atau dengan batas DAS).

• Luas relatif daerah ini dengan luas DAS merupakan faktor

koreksinya.

• Selanjutnya hitungan dilakukan sebagai berikut:

Sta Pi Luas FK P =

I P1 A1 α1 α1 P1

II P2 A2 α2 α2 P2

… … … … …

N Pn An αn αn Pn

Dengan: Pi = kedalaman hujan di stasiun i

Ai = luas daerah yang diwakili stasiun i

A = luas DAS total

FK = faktor koreksi, αi =

(27)

P = Pi x FK

(2.2)

Gambar 2.2. Cara Poligon Thiessen

Cara di atas dipandang cukup baik karena memberikan koreksi terhadap

kedalaman hujan sebagai fungsi luas daerah yang (dianggap) diwakili. Akan

tetapi cara ini dipandang belum memuaskan karena pengaruh topografi tidak

tampak. Demikian pula apabila salah satu stasiun tidak berfungsi, misalnya

rusak atau data tidak benar, masa poligon harus diubah.

3. Isohyet

Cara lain yang diharapkan lebih baik (dengan mencoba memasukkan

pengaruh topografi) adalah dengan cara isohyets. Isohyets ini adalah garis

yang menghubungkan tempat-tempat yang mempunyai kedalaman hujan

sama pada saat yang bersamaan. Pada dasarnya cara hitungan sama dengan

yang digunakan dalam cara poligon Thiessen, kecuali dalam penetapan

(28)

dua buah isohyets (atau dengan batas DAS) terhadap luas DAS. Kesulitan

yang dijumpai adalah kesulitan dalam setiap kali harus menggambar garis

isohyet, dan juga masuknya unsur subjektivitas dalam penggambaran isohyet.

=

(2.3)

Dengan, A1, A2, …, An = luas bagian-bagian antara garis-garis Isohyet

R1, R2, …, Rn= curah hujan rata-rata pada bagian-bagian A1,

A2, …, An

Gambar 2.32. Cara Garis Isohyet

Dalam prakteknya, cara kedua (poligon Thiessen) adalah cara ‘terbaik’ yang

paling banyak digunakan dalam anlisis. Selain hitungan-hitungan yang dijelaskan

terdahulu, beberapa sifat hujan lain perlu diketahui, seperti,

1. Frekuensi hujan, hubungan antara kedalaman hujan dengan kala-ulang

(29)

2. Hubungan antara kedalaman hujan, luas DAS dan lama-hujan (depth area

duration).

3. Hubungan antara intensitas hujan, lama hujan dan kala-ulang.

II.3.3. Analisis Frekuensi

Dalam statistik dikenal beberapa jenis distribusi frekuensi dan yang banyak

digunakan dalam hidrologi yaitu:

1. Distribusi normal

2. Distribusi log-normal

3. Distribusi log-Pearson tipe III

4. Distribusi Gumbel

Dalam analisis frekuensi data hidrologi baik data hujan maupun data data

debit sungai terbukti bahwa sangat jarang dijumpai seri data yang sesuai dengan

distribusi normal. Sebaliknya, sebagian besar data hidrologi sesuai dengan tiga

distribusi yang lainnya.

Masing-masing distribusi memiliki sifat-sifat khas sehingga setiap data

hidrologi harus diuji kesesuaiannya dengan sifat statistik masing-masing distribusi

tersebut. Pemilihan distribusi yang tidak benar dapat mengundang kesalahan

perkiraan yang (dapat) cukup besar, baik ‘overestimated’ maupun ‘underestimated’,

keduanya tidak diinginkan. Dengan demikian jelas bahwa pengambilan salah satu

distribusi secara sembarang untuk analisis tanpa pengujian data hidrologi sangat

tidak dianjurkan, meskipun dalam praktek harus diakui bahwa besar kemungkinan

distribusi tersebut sesuai dengan jenis distribusi tertentu. (Catatan: di Indonesia

banyak dilakukan analisis frekuensi dengan menggunakan distribusi Gumbel tanpa

(30)

cara ini akan dianggap sebagai cara ‘rutin’, karena jekas mengandung resiko

penyimpangan yang tidak dikehendaki. Dengan pengujian atas data hujan dan debit

di Pulau Jawa ditemukan distribusi Gumbel hanya sesuai dengan 75% kasus.

Demikian pula distribusi normal. 90% lainnya ternyata mengikuti distribusi

log-normal dan log-Pearson tipe III.

Analisis frekuensi atas data hidrologi menurut syarat tertentu untuk data yang

bersangkutan, yaitu harus seragam (homogeneous), ‘independent’ dan mewakili

(representative). Data yang seragam berarti bahwa data tersebut harus berasal dari

populasi yang sama. Dalam arti lain, stasiun pengumpul data yang bersangkutan,

baik stasiun hujan maupun hidrometri harus tidak dipindah, DAS tidak berbah

menjadi DAS perkotaan (urban cacthment), maupun tidak ada gangguan-gangguan

lain yang menyebabkan data yang terkumpul menjadi lain sifatnya. Batasan ‘

independent’ di sini berarti bahwa besaran data ekstrem tidak terjadi lebih dari sekali.

1. Distribusi Normal

Distribusi ini mempunyai ‘ probability density function’ sebagai berikut:

P’(X) = e

(2.4)

Dengan, σ = varian

µ = rata-rata

2. Distribusi Log-Normal

‘Probability density function’ distribusi ini adalah:

P’ x = eksp 2), (µ > 0)

(31)

Dengan = ln ( )

3. Distribusi Log-Pearson III

Log Xr =

n = banyaknya data pengamatan

(32)

Sx = standard deviasi

Nilai XT bagi setiap probabilitas dihitung dari persamaan yang telah

dimodifikasikan :

Log XT = log Xr + K. log Sx

(2.13)

dengan :

XT = besarnya curah hujan rancangan untuk periode ulang pada T tahun

K = faktor freluensi yang merupakan fungsi dari periode ulang dan tipe

distribusi frekuensi.

4. Distribusi Gumbel

K X =µ+σ.

(2.14)

Dengan µ = Nilai tengah (mean) populasi

σ = Standard deviasi populasi

K = Factor frekwensi

Rumus (2.14) dapat diketahui dengan

sK X

X = +

(2.15)

Dengan,

X = nilai tengah sampel

(33)

Faktor frekwensi K untuk nilai-nilai ekstrim Gumbel ditulis dengan humus

Yn = Reduced mean yang tergantung dari besarnya sampel n

Sn = Reduced Standard deviation yang tergantung dari besarnya sampel n

II.3.4. Intensitas Hujan

Intensitas curah hujan adalah ketinggian curah hujan yang terjadi pada suatu

kurun waktu di mana air tersebut terkonsentrasi. Intensitas curah hujan dinotasikan

dengan huruf I dengan satuan mm/jam. Durasi adalah lamanya suatu kejadian hujan.

Intensitas hujan yang tinggi pada umumnya berlangsung dengan durasi pendek dan

meliputi daerah yang tidak sangat luas. Hujan yang meliputi daerah luas, jarang

sekali dengan intensitas tinggi, tetapi dapat berlangsung dengan durasi cukup

panjang. Kombinasi dari intensitas hujan yang tinggi dengan durasi panjang jarang

terjadi, tetapi apabila terjadi berarti sejumlah besar volume air bagaikan ditumpahkan

dari langit. analisis IDF memerlukan analisis frekuensi dengan menggunakan seri

data yang diperoleh dari rekaman data hujan. Jika tidak tersedia waktu untuk

(34)

dapat ditempuh cara-cara empiris dengan mempergunakan rumus-rumus

eksperimental seperti rumus Talbot, Mononobe, Sherman dan Ishigura.

II.4. Infiltrasi

II.4.1. Pengertian Umum

Air cair yang diterima pada permukaan bumi akhirnya, jika permukaannya

tidak kedap air, dapat bergerak ke dalam tanah dengan gaya gerak gravitasi dan

kapiler dalam suatu aliran yang disebut infiltrasi. Ini merupakan bagian yang sangat

penting dalam daur hidrologi maupun dalam proses pengalihragaman hujan menjadi

aliran sungai. Pengertian infiltrasi (infiltration) sering dicampurkan-adukkan untuk

kepentingan praktis dengan pengertian perkolasi (percolation). Yang terakhir ini

merupakan proses aliran air dalam tanah secara vertical akibat gaya berat. Memang

keduanya saling berpengaruh akan tetapi hendaknya secara teoretik pengertian

keduanya dibedakan.

Dalam kaitan ini terdapat dua pengertian tentang kuantitas infiltrasi, yaitu

kapasitas infiltrasi, dan laju infiltrasi. Kapasitas infiltrasi adalah laju infiltrasi

maksimum untuk suatu jenis tanah tertentu, sedangkan laju infiltrasi adalah laju

infiltrasi nyata suatu jenis tanah tertentu. Secara fisik terdapat faktor yang

berpengaruh, yaitu :

1. Jenis tanah

2. Kepadatan tanh

3. Kelembaban tanah

4. Tutup tumbuhan ( vegetation cover )

(35)

7. Menutup areal permukaan tanah ( top soil )

Setiap jenis tanah mempunyai laju infiltrasi karakteristik yang berbeda, yang

bervariasi dari yang sangat tinggi sampai yang sangat rendah. Jenis tanah berpasir

umumnya cenderung mempunyai laju infiltrasi yang tinggi, akan tetapi tanah liat

sebaliknya, cenderung mempunyai laju infiltrasi yang rendah. Untuk satu jenis tanah

yang sama dengan kepadatan yang berbeda mempunyai laju infiltrasi yang berbeda

pula. Makin padat suatu kondisi tanah, maka makin kecil pula laju infiltrasinya,

begitu juga sebaliknya, makin renggang suatu kondisi butir-butir tanah, maka laju

infiltrasinya akan semakin besar pula. Kelembaban tanah yang selalu berubah-ubah

setiap saat juga berpengaruh terhadap laju infiltrasi. Makin tinggi kadar air dalam

tanah, maka laju infiltrasi tanah tersebut makin kecil. Pengaruh tanaman diatas

permukaan tanah terdapat dua pengaruh, yaitu berfungsi sebagai penghambat aliran

di permukaan tanah sehingga kesempatan untuk berinfiltrasi akan semakin besar,

sedangkan yang kedua adalah, sistem akar-akaran yang dapat lebih menggemburkan

struktur tanahnya sehingga laju infiltrasi dapat menjadi cepat. Maka makin baik tutup

tanaman yang ada, laju infiltrasi cenderung lebih tinggi. Kemiringan lahan

memberikan pengaruh yang kecil terhadap infiltrasi, walaupun begitu, terdapat

perbedaan infiltrasi antara lahan datar dengan lahan miring. Infiltrasi pada lahan

datar akan lebih besar daripada lahan miring. Penambahan bahan kimia dalam tanah

ada dua jenis. Yang pertama dimaksudkan untuk memperkuat formasi agregat tanah,

sehingga struktur tanah menjadi diperbaiki. Akibatnya bukan saja infiltrasi yang

meningkat, tetapi juga pergerakan air di dalam tanah (perkolasi). Yang kedua

dimaksud untuk melapisi permukaan tanah agar air yang mengalir di atasnya lancar,

(36)

dikatakan tidak terjadi sama sekali. Apabila permukaan tanah tertutup oleh suatu

bahan seperti beton, batako, dan sebagainya, maka areal tanah tersebut tidak bisa

berinfiltrasi sama sekali.

II.4.2. Kepentingan Praktis Infiltrasi

1. Berkurangnya banjir

2. Berkurangnya erosi tanah

3. Memberikan air bagi vegetasi dan tanaman

4. Mengisi kembali reservoir air tanah

5. Menyediakan aliran pada sungai pada musim kemarau

II.4.3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Infiltrasi

1. Karakteristik hujan

2. Kondisi permukaan tanah

3. Kondisi penutup permukaan

4. Transmisibilitas tanah

5. Karakteristik air yang berinfiltrasi

II.5. Evaporasi

II.5.1. Pengertian Umum

Evaporasi adalah penguapan air dari permukaan air, tanah dan bentuk

permukaan vegetasi lainnya oleh proses fisika. Dua unsure utama untuk

berlangsungnya evaporasi adalah energi (radiasi) matahari dan ketersediaan air

II.5.2. Unsur Utama Evaporasi

1. Radiasi matahari

Sebagian radiasi gelombang pendek (shortwave radiation) matahari akan

(37)

tersebut akan menghangatkan udara di sekitarnya. Panas yang dipakai untuk

menghangatkan partikel-partikel berbagai material udara tanpa mengubah

bentuk partikel tersebut dinamakan panas tampak (sensible heat). Sebagian

dari energi matahari akan diubah menjadi energi mekanik. Energi mekanik ini

akan menyebabkan perputaran udara dan uap air di atas permukaan tanah.

Keadaan ini akan menyebabkan udara di atas permukaan tanah jenuh, dan

dengan demikian, mempertahankan tekanan uap air yang tingi pada

permukaan bidang evaporasi.

2. Ketersediaan air

Melibatkan tidak saja jumlah air yang ada, tetapi juga persedian air yang siap

untuk terjadinya evaporasi. Permukaan bidang evaporasi yang kasar akan

memberikan lajuevaporasi yang lebih tinggi daripada bidang rata karena pada

bidang permukaan yang lebih kasar besarnya turbulent meningkat.

II.5.3. Faktor-faktor Penentu Evaporasi

Proses-proses fisika yang menyertai berlangsungnya perubahan dari zat cair

menjadi gas berlaku pada kedua proses evaporasi. Oleh karenanya, kondisi fisika

yang mempengaruhi laju evaporasi umum terjadi pada kedua proses alamiah

tersebut. Faktor-faktor yang berpengaruh antara lain:

1. Panas diperlukan untuk berlangsungnya perubahan bentuk dari zat cair ke gas

dan secara alamiah matahari menjadi sumber energy panas. Energi panas tak

tampak (latent heat) pada proses evaporasi dating sebagai energy panas

gelombang pendek (shortwave radiation) dan energy panas gelombang

(38)

sumber energy panas terbesar dan akan mempengaruhi besarnya air yang

dapat diuapkan dari permukaan bumi sesuai dengan ketinggian tempat dan

musim yang berlangsung. Sedangkan energi panas gelombang panjang adalah

panas yang dilepaskan oleh permukaan bumi ke udara dan bersifat menambah

yang telah dihasilkan oleh energi panas gelombang pendek.

2. Suhu udara, permukaan bidang penguapan (air, vegetasi dan tanah) dan

energy panas yang berasal dari matahari adalah factor-faktor penting yang

perlu dipertimbangkan dalam menghitung besarnya evaporasi. Makin tinggi

suhu udara di atas permukaan bidang penguapan, makin mudah terjadi

perubahan bentuk dari zat cair menjadi gas. Dengan demikian, laju evaporasi

menjadi lebih besar di daerah tropic daripada daerah beriklim sedang.

Perbedaan laju evaporasi yang sama juga dijumpai di daerah tropic pada

musim kering dan musim basah.

3. Kapasitas kadar air dalam udara juga dipengaruhi secara langsung oleh tinggi

rendahnya suhu di tempat tersebut. Besarnya kadar air dalam udara di suatu

tempat ditentukan oleh tekanan uap air, ea, (vapour pressure) yang ada di

tempat tersebut. Proses evaporasi tergantung dari deficit tekanan uap air

jenuh, Dvp, (saturated vapour pressure deficit) di udara atau jumlah uap air

yang dapat diserap oleh udara sebelum udara tersebut menjadi jenuh. Deficit

tekanan uap air jenuh adalah beda keadaan antara tekanan uap air jenuh pada

permukaan bidang penguapan dan tekanan uap air nyata di udara. Dengan

demikian evaporasi lebih banyak terjadi di daerah pedalaman dimana kondisi

udara cenderung lebih kering daripada daerah pantai yang lebih lembab

(39)

4. Ketika proses penguapan berlangsung, udara di atas permukaan bidang

penguapan secara bertahap menjadi lebih lembab, sampai pada tahap ketika

udara menjadi jenuh dan tidak mapu menampung uap air lagi. Pada tahap ini,

udara jenuh di atas bidang penguapan tersebut akan berpindah ke tempat lain

akibat beda tekanan dan kerapatan udara, dan dengan demikian, proses

penguapan air dari bidang penguapan tersebut akan berlangsung secara

terus-menerus. Hal ini terjadi karena adanya pergantian udara lembab oleh udara

yang lebih kering atau gerakan massa udara dari tempat dengan tekanan udara

lebih tinggi ke tempat dengan tekanan udara lebih rendah. Proses perpindahan

massa udara seperti itu disebut proses adveksi. Dalam hal ini, peranan

kecepatan angin di atas permukaan bidang penguapan merupakan factor

penting intuk terjadinya evaporasi. Penguapan air di daerah lapang

seharusnya lebih besar dibandingkan daerah dengan banyak naungan karena

pada keadaan yang pertama perpindahan udara menjadi lebih bebas.

5. Sifat alamiah bidang permukaan penguapan akan mempengaruhi proses

evaporasi melalui perubahan pola perilaku angin. Pada bidang permukaan

yang kasar atau tidak beraturan, kecepatan angin akan berkurang oleh adanya

proses gesekan. Tetapi, pada tingkat tertentu, permukaan bidang yang kasar

juga dapat menimbulkan gerakan angin berputar (turbulent) yang dapat

memperbesar evaporasi. Pada bidang permukaan air yang luas, angin kencang

juga dapat menimbulkan gelombang air besar dan dapat mempercepat

terjadinya evaporasi.

II.6. Limpasan Permukaan Dan Hidrologi Sungai

(40)

Jika intensitas curah hujan melebihi laju infiltrasi, maka kelebihan air mulai

berakumulasi sebagai cadangan permukaan. Bila kapasitas cadangan permukaan

dilampaui (merupakan fungsi depresi permukaan dan gaya tegangan muka), limpasan

permukaan mulai sebagai suatu aliran lapisan yang tipis. Pada akhirnya, lapisan

aliran air ini berkumpul ke dalam aliran air sungai yang diskrit. Dalam artian yang

umum, ait yang mengalir pada saluran-saluran yang kecil ini, parit-parit,

sungai-sungai dan aliran-aliran merupakan kelebihan curah hujan terhadap evapottanspirasi,

cadangan permukaan dan air bawah tanah.

Dalam kepustakaan kata-kata yang berlainan seperti limpasan, aliran sungai,

debit sungai digunakan untuk mengartikan sesuatu yang sama. Untuk mengatasi

sebagian kesulitan tersebut terminologi berikut digunakan di sini.

1. Limpasan: bagian presipitasi (juga kontribusi permukaan dan bawah

permukaan) yang terdiri atas gerakan gravitasi air dan tampak pada saluran

permukaan dari bentuk permanen maupun terputus-putus.

Kata-kata yang sinonim adalah aliran sungai, debit sungai dan produksi

tangkapan.

2. Aliran murni: limpasan yang tidak dipengaruhi oleh pengaliran buatan,

simpanan maupun tindakan manusia lainnya pada atau di atas saluran

maupun pada daerah aliran sungai.

3. Limpasan permukaan: bagian limpasan yang melintas di atas permukaan

tanah menuju saluran sungai.

Kata-kata sinonim adalah limpasan di atas lahan.

4. Limpasan bawah permukaan: limpasan ini merupakan sebagian dari limpasan

(41)

tanah permukaan dan bergerak secara lateral melalui horizon-horizon tanah

bagian atas menuju sungai.

Kata-kata sinonim adalah aliran hujan bawah permukaan, aliran bawah

permukaan, aliran antara dan perembesan.

5. Limpasan permukaan langsung: bagian limpasan permukaan memasuki

sungai secara langsung setelah curah hujan. Limpasan ini sama dengan:

kehilangan presipitasi (= intersepsi + infiltrasi + evaporasi + cadangan

permukaan).

Kata-kata sinonim adalah limpasan langsung dan limpasan hujan.

Limpasan permukaan langsung adalah sama dengan hujan efektif jika hanya

hujan yang terlibat dalam membentuk limpasan permukaan. Kelebihan

presipitasi (atau kelebihan curah hujan) adalah sama dengan kontribusi

presipitasi terhadap limpasan permukaan.

II.6.2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Limpasan

Aliran sungai itu tergantung dari berbagai faktor secara bersamaan.

Faktor-faktor tersebut dibagi dalam 2 kelompok, yakni elemen meteorologi yang diwakili

oleh curah hujan dan elemen daerah pengaliran yang menyatakan sifat-sifat fisik

daerah pengaliran.

1. Elemen meteorologi

Faktor-faktor yang terhisab kelompok elemen-elemen meteorologi adalah

sebagai berikut:

a) Jenis presipitasi

Pengaruhnya terhadap limpasan sangat berbeda, yang tergantung pada

(42)

langsung dan hidrograf itu hanya dipengaruhi intensitas curah hujan dan

besarnya curah hujan.

b) Intensitas curah hujan

Pengaruh intensitas curah hujan pada limpasan permukaan tergantung

dari kapasitas infiltrasi. Jika intensitas curah hujan melampaui kapasitas

infiltrasi, maka besarnya limpasan permukaan akan segera meningkat

sesuai dengan peningkatan intensitas curah hujan. Akan tetapi, besarnya

peningkatan limpasan itu tidak sebanding dengan peningkatan curah

hujan lebih, yang disebabkan oleh efek penggenangan di permukaan

tanah.

c) Lamanya curah hujan

Di setiap daerah aliran terdapat suatu lamanya curah hujan yang kritis.

Jika lamanya curah hujan itu kurang dari lamanya yang kritis, maka

lamanya limpasan itu praktis akan sama dan tidak tergantung dari

intensitas curah hujan. Jika lamanya curah hujan itu lebih panjang, maka

lamanya limpasan permukaan itu juga menjadi lebih panjang. Lamanya

curah hujan juga mengakibatkan penurunan kapasitas infiltrasi. Untuk

curah hujan yang jangka waktunya panjang, limpasan permukaannya akan

menjadi lebih besar meskipun intensitasnya adalah relatif sedang.

d) Distribusi curah hujan dalam daerah pengaliran

Jika kondisi-kondisi seperti topografi, tanah dan lain-lain diseluruh daerah

pengaliran itu sama dan umpamanya jumlah curah hujan itu sama, maka

curah hujan yang distribusinya merata yang mengakibatkan debit puncak

(43)

terjadi oleh curah hujan lebat yang distribusinya merata, dan sering kali

terjadi oleh curah hujan biasa yang mencakup daerah yang luas meskipun

intensitasnya kecil. Sebaliknya, di daerah pengaliran yang kecil, debit

puncak maksimum dapat terjadi oleh curah hujan lebat dengan daerah

hujan yang sempit.

Mengingat limpasan yang diakibatkan oleh curah hujan itu sangat

dipengaruhi oleh distribusi curah hujan, maka untuk skala penunjuk

faktor ini digunakan koefisien distribusinya. Distribusi koefisien adalah

harga curah hujan maksimum dibagi harga curah hujan rata-rata di daerah

pengaliran itu. Jadi curah hujan yang jumlahnya tetap mempunyai debit

puncak yang lebih besar yang sesuai dengan koefisien distribusinya yang

bertambah besar.

e) Arah pergerakan curah hujan

Umumnya pusat curah ujan itu bergerak. Jadi suatu curah hujan lebat

bergerak sepanjang system aliran sungai akan sangat mempengaruhi debit

puncak dan lamanya limpasan permukaan.

f) Curah hujan terdahulu dan kelembaban tanah

Jika kadar kelembaban lapisan teratas tanah itu tinggi, maka akan mudah

terjadi banjir karena kapasitas infiltrasi yang kecil. Demikian pula jika

kelembaban tanah itu meningkat dan mencapai kapasitas lapangan, maka

air infiltrasi akan mencapai permukaan air tanah dan memperbesar aliran

air tanah. Selama periode pengurangan kelembaban tanah oleh

evapotranspirasi dan lain-lain, suatu curah hujan yang lebat tidak akan

(44)

menginfiltrasi itu tertahan sebagai kelembaban tanah. Sebaliknya, jika

kelembaban tanah itu sudah meningkat karena curah hujan terdahulu yang

cukup besar, maka kadang-kadang curah hujan dengan intensitas yang

kecil dapat mengakibatkan kenaikan pemukaan air yang besar dan

kadang-kadang dapat mengakibatkan banjir.

g) Kondisi-kondisi meteorologi yang lain

Seperti telah dikemukakan di atas, dari elemen-elemen meteorologi, curah

hujan mempunyai pengaruh yang terbesar pada limpasan. Secara tidak

langsung, suhu, kecepatan angin, kelembaban relatif, tekanan udara

rata-rata, curah hujan tahunan dan seterusnya yang berhubungan satu dengan

yang lain juga mengontrol iklim di daerah itu dan mempengaruhi

limpasan.

2. Elemen daerah pengaliran

a) Kondisi penggunaan tanah (Landuse)

Hidrograf sebuah sungai adalah sangat dipengaruhi oleh kondisi

penggunaan tanah dalam daerah pengaliran itu. Daerah hutan yang

ditutupi tumbuh-tumbuhan yang lebat adalah sulit mengadakan limpasan

permukaan karena kapasitas infiltrasinya yang besar. Jika daerah hutan ini

dijadikan daerah pembangunan dan dikosongkan (hutannya ditebang),

maka kapasitas infiltrasi akan turun karena pemampatan permukaan

tanah. Air hujan akan mudah berkumpul ke sungai-sungai dengan

kecepatan yang tinggi yang akhirnya dapat mengakibatkan banjir yang

belum pernah dialami terdahulu.

(45)

Jika semua faktor-faktor termasuk besarnya curah hujan, intensitas curah

hujan dan lain-lain itu tetap, maka limpasan itu (yang dinyatakan dengan

dalamnya air rata-rata) selalu sama, dan tidak tergantung dari luas daerah

pengaliran. Berdasarkan asumsi ini, mengingat aliran per satuan luas itu

tetap, maka hidrograf itu adalah sebanding dengan luas daerah pengaliran.

Akan tetapi sebenarnya, makin besar daerah pengaliran, makin lama

limpasan mencapai tempat titik pengukuran. Jadi, panjang dasar hidrograf

debit banjir menjadi lebih besar dan debit puncaknya berkurang. Salah

satu sebab dari pengurangan debit puncak ialah hubungan antara

intensitas curah hujan maksimum yang berbanding terbalik dengan luas

daerah hujan. Berdasarkan asumsi tersebut, curah hujan dianggap merata.

Akan tetapi mengingat intensitas curah hujan maksimum yang

kejadiannya diperkirakan terjadi dalam frekuensi yang tetap menjadi lebih

kecil sebanding dengan daerah pengaliran yang lebih besar, maka ada

pemikiran bahwa puncak banjir akan menjadi lebih kecil. Seperti telah

dikemukakan di atas, debit banjir yang diharapkan per satuan daerah

pengaliran itu adalah berbanding terbalik dengan daerah pengaliran, jika

karakteristik-karakteristik yang lain itu sama. Tetapi kali ini berbeda

karena luas daerah tidak menghasilkan peristiwa yang disebut di atas.

Tetapi jika faktor-faktor lain yang berbeda maka akan terjadi perbedaan

besar dalam debit banjir.

c) Kondisi topografi dalam daerah pengaliran

Corak, elevasi, gradient, arah, dan lain-lain dari daerah pengaliran

(46)

itu. Corak daerah pengaliran adalah faktor bentuk, yakni perbandingan

panjang sungai utama terhadap lebar rata-rata daerah pengaliran. Jika

factor bentuk menjadi lebih kecil dengan kondisi skla daerah pengaliran

yang sama, maka hujan lebat yang merata akan berkurang dengan

perbandingan yang sama sehingga sulit akan terjadi banjir. Elevasi daerah

pengaliran dan elevasi rata-rata mempunyai hubungan yang penting

terhadap suhu dan curah hujan. Demikian pula gradiennya mempunyai

hubungan dengan infiltrasi, limpasan permukaan, kelembaban, dan

pengisian air tanah. Gradien daerah pengaliran adalah salah satu faktor

penting yang mempengaruhi waktu mengalirnya air permukaan, waktu

konsentrasi ke sungai dari curah hujan dan mempunyai hubungan

langsung terhadap debit banjir. Arah daerah pengaliran itu mempunyai

pengaruh terhadap kehilangan evaporasi dan transpirasi karena

mempengaruhi kapasitas panas yang diterima dari matahari.

d) Jenis tanah

Mengingat bentuk-bentuk butir tanah, coraknya dan cara mengendapnya

adalah faktor-faktor yang menentukan kapasitas infiltrasi, maka

karakteristik limpasan itu sangat dipengaruhi oleh jenis tanah daerah

pengaliran tersebut. Juga bahan-bahan kolodial merupakan faktor-faktor

yang mempengaruhi kapasitas infiltrasi karena bahan-bahan ini

mengembang dan menyusut sesuai dengan variasi kadar kelembaban

tanah.

(47)

Di samping hal-hal yang dikemukakan di atas, maka faktor-faktor penting

lain yang mempengaruhi limpasan adalah karakteristik jaringan sungai,

adanya daerah pengaliran yang tidak langsung, drainase buatan dan

lain-lain.

II.7 Perhitungan Debit Banjir Metode Empiris

Digunakan bila terdapat data hidrologi yang cukup banyak variabel yang

mempengaruhi debit, sedang rumus-rumus empiris umumnya merupakan korelasi

beberapa variabel, maka dengan sendirinya tidak mungkin diperoleh hasil yang dapat

dipercaya. Tapi ini dapat memperkirakan harga yang kasar secara cepat.

Adapun rumus empiris yang dikemukakan disini antara lain : Metode

Haspers, Melchior, dan Metode Rasional.

a. Metode Haspers

Rumus umum dari debit banjir rancangan adalah

QT= α . β . qT . A

(2.19)

Di mana :

QT = Debit banjir maksimum (m3/dt),

α = Koefisien pengaliran,

Β = Koefisien reduksi,

qT = Intensitas hujan untuk periode ulang tertentu (mm)

A = Luas DAS (km2)

b. Metode Melchior

Besarnya debit banjir maksimum dinyatakan dengan persamaan sebagai

(48)

Qmax = αT . β . rT . A

(2.20)

Di mana :

Qmax = Debit banjir maksimum (m3/dt)

αT = Koefisien pengaliran untuk masing-masing periode ulang tertentu

rT = Intensitas hujan rancangan (mm)

A = Luas DPS/ Catchment area (km2)

c. Metode Rasional

Rumus ini adalah rumus yang tertua dan terkenal diantara rumus-rumus

empiris. Rumus ini banyak digunakan untuk sungai-sungai biasa dengan daerah

pengaliran yang luas. Bentuk umum rumus rasional ini adalah sebagai berikut :

Q = C *i *A = 0,00277 C *i *A

(2.21)

Di mana :

Q = Debit banjir maksimum (m3/detik)

C = Koefisien limpasan

i = Intensitas curah hujan rata-rata selama waktu tiba dari banjir (mm/jam)

A = Daerah pengaliran (Ha)

Intensitas hujan rancangan menurut Mononobe dinyatakan dengan

I =

(2.22)

(49)

Rt = Hujan rancangan untuk periode ulang tertentu (mm).

Waktu konsentrasi dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut :

t = 0,0195 * L0,77 * S-0.385 *

(2.23)

dimana :

L = panjang sungai (m)

S = kemiringan sungai

Adapun mengenai koefisien limpasan (C) dapat ditentukan harganya berdasarkan

tabel berikut ini.

Tabel 2.1 Nilai Koefisien Limpasan untuk Persamaan Rasional

Tata Guna Lahan C Tata Guna Lahan C

Perkantoran Tanah Pertanian

Daerah pusat kota 0,70-0,95 Ladang Garapan

Daerah sekitar kota 0,50-0,70 Tanah berat tanpa vegetasi 0,30-0,60

Perumahan

Tanah berat dengan

vegetasi 0,20-0,50

Rumah tunggal 0,30-0,50 Berpasir tanpa vegetasi 0,20-0,50 Rumah susun, terpisah 0,40-0,60 Berpasir dengan vegetasi 0,1-0,25

Rumah susun, bersambung 0,60-0,75

Pinggiran kota 0,25-0,40 Padang Rumput

Daerah Industri Tanah berat 0,15-0,45

Kurang padat industri 0,50-0,80 Berpasir 0,05-0,25

Padat industri 0,60-0,90

Hutan 0,05-0,25

(50)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

III.1 Lokasi Studi Kasus

III.1.1 Deskripsi Wilayah Sungai Belawan-Ular-Padang

Secara kewilayahan, Wilayah Sungai Belawan-Ular-Padang (WS BUP) berada di kawasan pantai timur Provinsi Sumatera Utara dan sebagian kecil berada di bagian tengah Provinsi tersebut. wilayah sungai ini mencakup 6 (enam) Daerah Aliran Sungai (DAS) dengan luas seluruhnya 6.215,66 km2 (seperti terlihat pada Gambar 3.1). Curah hujan rata-rata mencapai 1.873 mm per tahun. Rata-rata-rata kecepatan udara berkisar 1,10 m/detik dengan tingkat penguapan sebesar 3,47 mm/hari. Suhu udara rerata per bulan berkisar antara 23,7°C sampai 32,2°C. Jumlah penduduk WS BUP pada tahun 2007 sekitar 7,13 juta dengan kepadatan penduduk sebesar 1.147 jiwa/km2. Rincian dari luas DAS di WS BUP dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3.1 Daerah Aliran Sungai WS BUP

(51)

Sub Total 1936,18

Total Luas WS BUP 6215,66

Sumber: BWS Sumatera II

Kemiringan lereng di WS BUP dapat diklasifikasikan ke dalam kelas kemiringan sebagai berikut : < 8%, 8-15%, 15-25%, 25-45% dan > 45%. Adapun luasan masing-masing kelas kemiringan lereng pada setiap Sub DAS adalah seperti pada Tabel 3-2.

Tabel 3.2 Kelas Kemiringan Lereng Masing-masing Sub DAS

DAS Sub

DAS

Kelas Kemiringan Lereng (Km2)

Total

Sumber: BWS Sumatera II

(52)

III.1.1.1 Batas Administrasi WS BUP

Secara administratif WS BUP berbatasan dengan:

• Sebelah Utara : Selat Malaka

• Sebelah Timur : Kabupaten Asahan

• Sebelah Selatan : Kabupaten Samosir dan Dairi

• Sebelah Barat : Samudera Hindia

Dan melintasi 4 (empat) kabupaten dan 2 (dua) kota di Provinsi Sumatera Utara yaitu:

• Kabupaten Deli Serdang

• Kabupaten Serdang Bedagai

• Kabupaten Karo

• Kabupaten Simalungun

• Kota Medan

• Kota Tebing Tinggi

Secara detail luas wilayah administrasi WS BUP seperti disajikan pada Tabel 3.3 berikut:

Tabel 3.3 Luas Wilayah Administrasi WS BUP

No Kabupaten/Kota Luas (Km2) Presentase (%)

1 Kabupaten Deli Serdang 2293,42 36,90

2 Kabupaten Serdang Bedagai 1498,76 24,11

3 Kabupaten Karo 128,04 0,20

4 Kabupaten Simalungun 1721,71 27,70

5 Kota Medan 270,25 4,53

6 Kota Tebing Tinggi 303,48 4,88

Total WS BUP 6215,66 100,00

Total Propinsi Sumatera Utara 71680,68 8,84

Sumber: BWS Sumatera II

(53)

Jumlah penduduk di WS BUP pada tahun 2007 sebesar 7,13 juta jiwa yang merupakan sekitar 9,26% dari penduduk Sumatera Utara (yang diperkirakan 12,83 juta). Secara nasional, jumlah penduduk di WS BUP adalah sekitar 3% penduduk Indonesia. Dapat ditihat dari sisi kependudukan, WS BUP merupakan daerah yang memiliki konsentrasi penduduk yang tinggi, dibandingkan wilayah lain di Provinsi Sumatera Utara. Hal ini tampak pada kepadatan rata-rata di WS BUP sebesar 1.147 jiwa/km2.

Laju pertumbuhan penduduk rerata di WS BUP cenderung meningkat, yaitu 1,62% per tahun. Perkembangan jumlah penduduk selama tiga tahun (2005-2007) disajikan pada Tabel 3.4.

Tabel 3.4 Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk WS BUP

No Kabupaten/

2293,42 1804,713 1859,680 1909,705 2,87

2 Kabupaten

1721,71 1682,966 1704,209 1706,319 0,69

5 Kota Medan 270,25 2527,653 2537,995 2602,493 1,48

6215,66 6903,594 7004,249 7129,007 1,62

Total Propinsi Sumatera Utara

71680,68 12326,678 12643,494 12834,371 2,04

Sumber: BWS Sumatera II

Dari Tabel 3.4 diketahui kabupaten/kota dengan laju pertumbuhan tertinggi terjadi di Kabupaten Deli Serdang yaitu sebesar 2,87% per tahun. Proporsi penduduk dan persebaran kepadatan penduduk di kabupaten dan kota di WS BUP dapat dilihat pada Tabel 3.5.

(54)

No Kabupaten/Kota Luas (Km2)

Jumlah Penduduk (Jiwa) %/thn

2005 2006 2007

Jumlah 5641,93 2692,975 2762,046 2820,195

Persentase 90,77 42 43 44

Kota

1 Medan 270,25 2527,653 2537,995 2602,493 0,69

2 Tebing Tinggi 303,48 21,134 21,289 21,445 1,48

Jumlah 573,73 4210,619 4242,204 4308,812

Persentase 9,23 61 61 60

Total WS BUP Administratif

6215,66 6903,594 7004,249 7129,007 8,18

Total Propinsi Sumatera Utara

71680,68 12326,678 12643,494 12843,371 2,04

Sumber: BWS Sumatera II

Sedangkan kepadatan dan persebaran penduduk di WS BUP adalah seperti pada Tabel 3.6.

Tabel 3.6 Kepadatan dan Persebaran Penduduk di WS BUP Tahun 2007

No Kabupaten/Kota Luas

(Km2)

2 Kabupaten Serdang

Bedagai

Sumber: BWS Sumatera II

(55)

paling rendah adalah di Kabupaten Karo yaitu sebesar 167 jiwa/km2. Struktur usia penduduk kabupaten/kota di WS BUP tahun 2007 dapat dilihat pada Tabel 3.7.

Tabel 3.7 Struktur Usia Penduduk Kabupaten/Kota di WS BUP Tahun 2007

No Kabupaten

Kota

Jumlah Penduduk Menurut Usia (Jiwa) Rasio

Beban

Total 1.686.500 5.105.917 336.590 7.129.007 39,62

Sumber: BWS Sumatera II

III.1.1.3 Klimatologi

Data klimatologi meliputi data kelembaban udara, kecepatan angin, lama penyinaran sinar matahari, suhu, dan lain-lain.

WS BUP berada di kawasan Sumatera Utara dengan temperatur tertinggi di bulan Agustus sebesar 36°C dan terendah di bulan Februari sebesar 20.6°C, dengan kelembaban 81% - 89%. Tutupan awan akibat mendung paling banyak terjadi di bulan Januari dan bulan Nopember, yang ditandai rata-rata lama penyinaran matahari masing-masing sebesar 20% dan 38%. Kecepatan angin tertinggi di WS BUP adalah sekitar 2,2 m/detik pada bulan Maret dan terendah 0,40 m/detik pada bulan Oktober.

(56)

Nopember sampai April, dan musim kemarau terjadi antara bulan Mei sampai Oktober. Adapun curah hujan yang terjadi memiliki variasi yang cukup signifikan.

III.1.2 Kondisi DAS Ular

Sungai Ular bermuara di Selat Malaka pada posisi 30 km di sebelah timur kota Medan, melintasi 3 kabupaten yaitu Kabupaten Simalungun, Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Serdang bedagai. DAS Ular berada pada 2º95’’ LU - 3º30’’ LU dan 98º55’’ BT - 98º55’’ BT. Panjang Sungai Ular sekitar 115 km dengan DAS seluas 1.234,14 km2. Kemiringan dasar sungai berkisar antara 1/600 sampai dengan 1/1200 dengan daya tampung sebesar 200 m3/det sampai dengan 600 m3/det.

DAS Ular mempunyai 2 (dua) Sub DAS antara Lain : Ular dan Baru. DAS Ular mempunyal 16 sungai/anak sungai seperti yang terdapat pada Tabel 3.8.

Tabel 3.8 Anak-Anak Sungai DAS Ular

No Nama Sungai Panjang (km) No Nama Sungai Panjang (km)

Sumber: BWS Sumatera II

Anak-anak sungai tersebut melintasi beberapa wilayah kabupaten DAS Ular seperti Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Simalungun, dan Kabupaten Serdang Bedagai. Luas daerah tangkapan hujan DAS Ular mencapai 1.234,136 km2 atau sekitar 19,86% dari total Luas WS BUP. Pembagian wilayah administratif DAS Ular dapat dilihat pada Tabel 3.9.

Gambar

Tabel 2.1 Nilai Koefisien Limpasan untuk Persamaan Rasional Tata Guna Lahan C Tata Guna Lahan
Tabel 3.1 Daerah Aliran Sungai WS BUP
Tabel 3.2 Kelas Kemiringan Lereng Masing-masing Sub DAS
Tabel 3.3 Luas Wilayah Administrasi WS BUP
+7

Referensi

Dokumen terkait

Daerah aliran sungai (DAS) adalah daerah yang dibatasi oleh punggung- punggung gunung atau pegunungan dimana air hujan yang jatuh di daerah tersebut akan mengalir

Besarnya konsentrasi sedimen melayang di Stasiun 5 disebabkan karena hujan yang terjadi selama pengambilan data, hujan tersebut membawa angkutan sedimen dari hulu

Aktivitas manusia pada Daerah Aliran Sungai (DAS) menjadi isu penting yang berdampak langsung dan serius terhadap kualitas perairan sungai yang bermuara di perairan pesisir,

Berdasarkan hasil analisis data terhadap hujan hariam maksimum setiap Pos pengamatan Curah Hujan dengan luas pengaruh masing-masing Pos Pengamatan Hujan terhadap

Dari Tabel 4.26 dapat dilihat perbandingan data perubahan di SubDASUlar Hilir untuk tahun 2009 sampai dengan tahun 2011 dengan jumlah penutupan lahan sebanyak sepuluh kelas pada

berkontribusi dalam membentuk hidrograf aliran sungai. Oleh karena itu penelitian tentang besarnya nilai koefisien limpasan pada berbagai bentuk penggunaan lahan menjadi

Perhitungan debit bulanan ini bertujuan untuk mendapatkan taksiran besarnya debit andalan sungai, yaitu banyaknya air yang tersedia yang diperkirakan terus-menerus ada dalam

Komponen hidrometeorologi bulanan di daerah aliran sungai Citarum mengalami kecenderungan yang berbeda dan sangat berkaitan dengan adanya perubahan tata guna lahan,