PERUBAHAN KOEFISIEN LIMPASAN (RUNOFF
COEFFICIENT) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI ULAR
TUGAS AKHIR
Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat Untuk Menempuh Ujian
Sarjana Teknik Sipil
Disusun Oleh:
050404015
SAKINAH RAMZA
SUB DEPARTEMEN TEKNIK SUMBERDAYA AIR
DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK
ABSTRAK
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah daerah yang dianggap sebagai wilayah dari suatu titik tertentu pada suatu sungai dan dipisahkan dari DAS-DAS di sebelahnya oleh suatu pembagi (divide), atau punggung bukit/gunung yang dapat ditelusuri pada peta topografi. Semua air yang berasal dari daerah yang dikelilingi oleh pembagi tersebut dialirkan melalui titik terendah pembagi, yaitu tepat yang dilalui oleh sungai utama pada DAS yang bersangkutan. Dalam menghadapi ketidakseimbangan antara ketersediaan air yang cenderung menurun dan kebutuhan air yang semakin meningkat, maka sumberdaya air wajib dikelola dengan memperhatikan fungsi sosial, lingkungan hidup dan ekonomi secara selaras. Ketersediaan sumberdaya air yang cenderung menurun tersebut juga dialami beberapa sungai sepanjang Daerah Aliran Sungai di Sumatera Utara. Tuntutan kemampuannya dalam menunjang sistem kehidupan masyarakat atas memanfaatkan sumberdaya air demikian besarnya baik bagian hulu maupun hilir. Pemanfaatan lahan pada suatu DAS untuk berbagai penggunaan, akan mempengaruhi besarnya aliran yang terjadi di sungai. Hal ini disebabkan karena perbedaan besarnya bagian hujan yang meresap ke dalam tanah tergantung pada masing-masing tata guna lahan di mana hujan jatuh.
Sungai Ular bermuara di Selat Malaka pada posisi 30 km di sebelah timur kota Medan, melintasi 3 kabupaten yaitu Kabupaten Simalungun, Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Serdang bedagai. DAS Ular berada pada 2º95’’ LU - 3º30’’ LU dan 98º55’’ BT - 98º55’’ BT. Panjang Sungai Ular sekitar 115 km dengan DAS seluas 1.234,14 km2.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini.
Adapun judul dari tugas akhir ini adalah “Perubahan Koefisien Limpasan (Runoff Coefficient) Di Daerah Aliran Sungai Ular”. Tugas Akhir ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan Strata I (S1) di Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tugas akhir ini tidak terlepas dari bimbingan, dukungan dan bantuan dari semua pihak. Penulis hanya dapat mengucapkan terima kasih atas segala jerih payah, motivasi dan doa yang diberikan hingga penulis dapat menyelesaikan studi di Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara, terutama kepada :
1. Bapak Ir. Boas Hutagalung, M.Sc., selaku Dosen Pembimbing sekaligus orang tua bagi penulis yang telah berkenan meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk membantu, membimbing dan mengarahkan penulis hingga selesainya tugas akhir ini. 2. Bapak Prof. Dr. Ing. Johannes Tarigan, selaku Ketua Departemen Teknik Sipil
Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Ir. Teruna Jaya, M.Sc, selaku Sekretaris Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Ir. Sufrizal, M.Eng, Bapak Dr. Ir. Ahmad Perwira Mulia, M.Sc, Bapak Ivan Indrawan, ST, selaku Dosen Pembanding/Penguji yang telah memberikan masukan dan kritikan yang membangun dalam menyelesaikan tugas akhir ini.
6. Bapak/Ibu Staf Pengajar Departemen Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara. 7. Abang/ Kakak pegawai Jurusan kak Lince, bg Zul, bg Mail, bg Edi, bg Amin, kak
Dina, dan pegawai Fakultas Teknik USU bg Sadiman, bg Bowo, bg Daus, bg Bukit. Semoga Allah SWT membalas dan melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua, dan atas dukungan yang telah diberikan penulis ucapkan terima kasih. Akhirnya, semoga tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Medan, Juni 2010 Hormat Saya
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 1
1. Umum 1
2. Latar Belakang 2
3. Tujuan dan Manfaat 3
3.1 Tujuan 3
3.2 Manfaat 4
4. Ruang Lingkup Pembahasan 4
5. Pembatasan Masalah 5
6. Sistematika Penulisan 5
7. Metodologi Penelitian 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 8
2.1. Pendahuluan 8
2.2. Tanggapan Sistem 10
2.4. Infiltrasi 26
2.5. Evaporasi 29
2.6. Limpasan Permukaan Dan Hidrologi Sungai 32
2.7 Perhitungan Debit Banjir Metode Empiris 39
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 43
3.1 Lokasi Studi Kasus 44
3.2 Pengumpulan Data 50
3.3 Menganalisa Frekuensi Curah Hujan Rata-rata 51
3.4 Menganalisa Debit Banjir 51
BAB IV ANALISA DATA 53
4.1 Perhitungan Koefisien Limpasan Berdasarkan Tata Guna Lahan 53
4.2 Analisa Debit Banjir 57
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
71 5.1 Kesimpulan
71
5.2 Saran 71
ABSTRAK
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah daerah yang dianggap sebagai wilayah dari suatu titik tertentu pada suatu sungai dan dipisahkan dari DAS-DAS di sebelahnya oleh suatu pembagi (divide), atau punggung bukit/gunung yang dapat ditelusuri pada peta topografi. Semua air yang berasal dari daerah yang dikelilingi oleh pembagi tersebut dialirkan melalui titik terendah pembagi, yaitu tepat yang dilalui oleh sungai utama pada DAS yang bersangkutan. Dalam menghadapi ketidakseimbangan antara ketersediaan air yang cenderung menurun dan kebutuhan air yang semakin meningkat, maka sumberdaya air wajib dikelola dengan memperhatikan fungsi sosial, lingkungan hidup dan ekonomi secara selaras. Ketersediaan sumberdaya air yang cenderung menurun tersebut juga dialami beberapa sungai sepanjang Daerah Aliran Sungai di Sumatera Utara. Tuntutan kemampuannya dalam menunjang sistem kehidupan masyarakat atas memanfaatkan sumberdaya air demikian besarnya baik bagian hulu maupun hilir. Pemanfaatan lahan pada suatu DAS untuk berbagai penggunaan, akan mempengaruhi besarnya aliran yang terjadi di sungai. Hal ini disebabkan karena perbedaan besarnya bagian hujan yang meresap ke dalam tanah tergantung pada masing-masing tata guna lahan di mana hujan jatuh.
Sungai Ular bermuara di Selat Malaka pada posisi 30 km di sebelah timur kota Medan, melintasi 3 kabupaten yaitu Kabupaten Simalungun, Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Serdang bedagai. DAS Ular berada pada 2º95’’ LU - 3º30’’ LU dan 98º55’’ BT - 98º55’’ BT. Panjang Sungai Ular sekitar 115 km dengan DAS seluas 1.234,14 km2.
BAB I
PENDAHULUAN
I. Umum
Di bumi terdapat kira-kira sejumlah 1,3-1,4 milyard km3 : 97,5% adalah air
laut, 1,75% berbentuk es dan 0,73% berada di daratan sebagai air sungai, air danau,
air tanah dan sebagainya. Hanya 0,001% berbentuk uap di udara. Air di bumi ini
mengulangi terus menerus sirkulasi → penguapan, presipitasi dan pengaliran keluar
(outflow). Air menguap ke udara dari permukaan tanah dan laut, berubah menjadi
awan melalui beberapa proses dan kemudian jatuh sebagai hujan atau salju ke
permukaan laut atau daratan. Sebelum tiba ke permukaan bumi sebagian langsung
menguap ke udara dan sebagian tiba ke permukaan bumi. Tidak semua bagian hujan
yang jatuh ke permukaan bumi mencapai permukaan tanah.
Sebagian air hujan yang tiba ke permukaan tanah akan masuk ke dalam tanah
(infiltrasi). Bagian lain yang merupakan kelebihan akan mengisi lekuk-lekuk
permukaan tanah, kemudian mengalir ke daerah-daerah yang rendah, masuk ke
sungai-sungai dan akhirnya ke laut. Tidak semua butir air yang mengalir akan tiba ke
laut. Dalam perjalanan ke laut sebagian akan menguap dan kembali ke udara.
Sebagian air yang masuk ke dalam tanah keluar kembali ke sungai-sungai (disebut
aliran intra). Tetapi sebagian besar akan tersimpan sebagai air tanah (groundwater)
yang akan keluar sedikit demi sedikit dalam jangka waktu yang lama ke permukaan
tanah di daerah-daerah yang rendah yang disebut dengan limpasan air tanah.
ialah : uap dari laut dihembus ke daratan (kecuali bagian yang telah jatuh sebagai
presipitasi ke laut), jatuh ke daratan sebagai presipitasi (sebagian jatuh langsung ke
sungai-sungai dan mengalir langsung ke laut). Sebagian dari hujan atau salju yang
jatuh di daratan menguap dan meningkatkan kadar uap di atas daratan. Bagian yang
lain mengalir ke sungai dan akhirnya ke laut.
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah daerah yang dianggap sebagai wilayah
dari suatu titik tertentu pada suatu sungai dan dipisahkan dari DAS-DAS di
sebelahnya oleh suatu pembagi (divide), atau punggung bukit/gunung yang dapat
ditelusuri pada peta topografi. Semua air yang berasal dari daerah yang dikelilingi
oleh pembagi tersebut dialirkan melalui titik terendah pembagi, yaitu tepat yang
dilalui oleh sungai utama pada DAS yang bersangkutan. Pada umumnya dianggap
bahwa aliran air tanah sesuai pula dengan pembagi-pembagi di atas permukaan
tanah, tetapi anggapan ini tidaklah selalu benar, dan nyatanya banyak sekali air yang
diangkut dari DAS yang satu ke DAS lainnya sebagai air tanah.
II. Latar Belakang
Dalam menghadapi ketidakseimbangan antara ketersediaan air yang
cenderung menurun dan kebutuhan air yang semakin meningkat, maka sumberdaya
air wajib dikelola dengan memperhatikan fungsi sosial, lingkungan hidup dan
ekonomi secara selaras. Ketersediaan sumberdaya air yang cenderung menurun
tersebut juga dialami beberapa sungai sepanjang Daerah Aliran Sungai di Sumatera
Utara. Tuntutan kemampuannya dalam menunjang sistem kehidupan masyarakat atas
Hujan yang jatuh pada suatu tata guna lahan akan menguap, meresap dan
menjadi aliran/limpasan permukaan. Pemanfaatan lahan pada suatu DAS untuk
berbagai penggunaan, akan mempengaruhi besarnya aliran yang terjadi di sungai.
Hal ini disebabkan karena perbedaan besarnya bagian hujan yang meresap ke dalam
tanah tergantung pada masing-masing tata guna lahan di mana hujan jatuh. Sebagai
contoh apabila lahan hutan pada suatu DAS berubah menjadi lahan pemukiman,
tentu akan berpengaruh pada jumlah air hujan yang meresap ke dalam tanah. Air
hujan yang masuk ke sungai menjadi lebih banyak. Akibatnya kebanjiran akan sering
terjadi pada musim penghujan dan kekeringan di musim kemarau. Di samping itu,
adanya perubahan iklim juga mempengaruhi intensitas curah hujan pada suatu DAS,
yang juga akan mempengaruhi limpasan dan debit sungai.
III. Tujuan dan Manfaat
III.1. Tujuan
Tujuan dari tugas akhir ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui koefisien limpasan pada DAS Ular dengan data debit rata-rata
sungai Ular sebagai parameter utama.
2. Mengetahui koefisien limpasan pada DAS Ular dengan parameter utama
adalah data tata guna lahan pada DAS Ular. Kemudian dari hasil yang
diperoleh dilakukan prediksi tata guna lahan pada tahun yang akan datang.
3. Berdasarkan nilai koefisien limpasan pada DAS Ular dengan data tata guna
lahan sebagai parameter utama, maka dihitung debit banjir maksimum pada
III.2. Manfaat
Dengan adanya penelitian ini diharapkan memberikan masukan, menambah
pengetahuan dan wawasan akan kondisi DAS Ular bagi masyarakat dan pemerintah.
Selain itu juga diharapkan dapat meningkatkan kesadaran kita sebagai pengguna air
mengenai pentingnya mengelola sumberdaya air.
Dan semoga penelitian ini dapat menjadi pedoman atau bahan pertimbangan
dalam penerapannya di lapangan.
IV. Ruang Lingkup Pembahasan
Pada tugas akhir ini, penulis akan membahas masalah pada aliran permukaan
dengan Rumus Rasional.
Q = C *i *A = 0,00277 C *i *A
Dimana,
Q = Debit banjir maksimum (m3/detik)
C = Koefisien limpasan
i = Intensitas curah hujan rata-rata selama waktu tiba dari banjir (mm/jam)
A = Daerah pengaliran (Ha)
Nilai koefisien limpasan C menentukan bagian curah hujan yang akan
mengalir sebagai air limpasan. Besar kecilnya nilai C tergantung pada
permeabilitas dan kemampuan tanah dalam menampung air. Nilai yang kecil
menunjukkan bahwa sebagian besar air ditampung untuk waktu tertentu.
Sementara daerah dengan nilai C besar menunjukkan bahwa hampir semua air
V. Pembatasan Masalah
Pada tugas akhir ini, penulis membatasi masalah pada:
1. Air hujan yang menginfiltrasi tertahan sebagai kelembaban tanah di mana
besarnya jumlah infiltrasi tersebut tergantung pada tata guna lahan.
2. Perhitungan limpasan permukaan hanya memperhitungkan curah hujan yang
terjadi di wilayah tersebut tanpa memperhitungkan curah hujan dari tempat
lain
3. Curah hujan terjadi dengan intensitas yang tetap dalam satu jangka waktu
tertentu, setidaknya sama dengan waktu konsentrasi.
4. Koefisien run off dianggap tetap selama durasi hujan.
5. Luas DAS tidak berubah selama durasi hujan.
VI. Sistematika Penulisan
1. Pendahuluan
Merupakan bingkai studi atau rancangan yang akan dilakukan meliputi
tinjauan umum, latar belakang, tujuan dan manfaat, rung lingkup pembahasan
dan metodologi penelitian.
2. Tinjauan Pustaka
Merupakan penguraian berbagai literature yang berkaitan dengan penelitian.
Di dalamnya termasuk siklus hidrologi, hidrologi sungai dan limpasan
(runoff).
Merupakan penguraian mengenai DAS Ular, yang meliputi deskripsi wilayah,
batas administrasi, luas wilayah, kependudukan, klimatologi dan kondisi
fisik.
4. Pembahasan
Memaparkan analisa dan hasil perhitungan koefisien limpasan dan debit
banjir maksimum dari data-data yang diperoleh.
5. Kesimpulan dan Saran
VII. Metodologi Penelitian
Dalam menganalisa hasil study ini maka penulis mencari bahan-bahan dan
data-data yang diperlukan melalui:
1. Mengumpulkan literatur dari beberapa buku yang berkenaan dengan Hidrologi
Pengairan.
2. Mengumpulkan data-data yang diperlukan yaitu data sekunder, yang diperoleh
dari instansi terkait dalam pengelolaan DAS Ular.
3. Pengolahan data dilakukan melalui tahap-tahap berikut:
• Tahap I :
a. Menentukan hujan harian maksimum rerata untuk tiap-tiap tahun
data.
b. Menghitung koefisien limpasan dengan data debit sungai yang
tersedia.
c. Menghitung perkiraan koefisien limpasan tahun berikutnya dengan
• Tahap II:
a) Menghitung luasan tata guna lahan dari data tahun pertama.
b) Menghitung luasan tata guna lahan dari data tahun kedua.
c) Menghitung perkiraan tata guna lahan tahun berikutnya dengan
menggunakan Regresi Linear.
d) Menghitung nilai koefisien limpasan gabungan dari luasan tata guna
lahan pada data tahun pertama.
e) Menghitung nilai koefisien limpasan gabungan dari luasan tata guna
lahan pada data tahun kedua.
f) Menghitung nilai koefisien limpasan gabungan dari luasan tata guna
lahan pada data tahun berikutnya.
• Tahap III :
a) Menentukan hujan harian maksimum rerata untuk tiap-tiap tahun
data.
b) Menentukan parameter statistik dari data yang telah diurutkan dari
besar ke kecil, yaitu: Mean, Standard Deviation, Coeffisient of
Variation, Coeffisient of Skewness, Coeffisient of kurtosis.
c) Menentukan jenis distribusi yang sesuai berdasarkan parameter
statistik yang ada.
d) Menganalisa Frekuensi dan probabilitas dan melakukan uji
kecocokan dengan paremeter chi-kuadrat.
e) Menghitung intensitas hujan yang diturunkan dari data curah hujan
harian. intensitas hujan (mm/jam) dapat diturunkan dari data curah
f) Menghitung debit banjir maksimum dengan menggunakan data
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Pendahuluan
II.1.1. Batasan
Hidrologi adalah ilmu yang berkaitan dengan air bumi, terjadinya, peredaran
dan distribusinya, sifat-sifat kimia dan fisikanya dan reaksi dengan lingkungannya,
termasuk hubungannya dengan makhluk-makhluk hidup. Karena perkembangannya
begitu cepat, hidrologi telah menjadi ilmu dasar dari pengelolaan
sumberdaya-sumberdaya air yang merupakan pengembangan, distribusi dan penggunaan
sumberdaya-sumberdaya air secara terencana. Banyak proyek di dunia (rekayasa air,
irigasi, pengendalian banjir, drainase, tenaga air dan lain-lain) dilakukan dengan
terlebih dahulu melaksanakan survei kondisi-kondisi hidrologi yang cukup.
Survei-survei tersebut meliputi prosedur-prosedur pengumpulan data di lapangan, sampai
pemprosesan data dan karena itu menghasilkan data sesuai dengan tujuan yang telah
direncanakan (Seyhan, 1990).
II.1.2. Sejarah Singkat
Manusia, dari semula, telah menyadari pentingnya air bagi dia dan
lingkungannya. Ahli filsafat terdahulu memandang air sebagai salah satu dari 4 unsur
dasar (api, bumi, udara dan air). Sampai abad ke-16 teka-teki besar adalah mengenai
asal muasal air. Konsep daur hidrologi belum disadari. Karena itulah, kondensasi,
presipitasi, evaporasi dan infiltrasi belum dapat dikaitkan satu sama lain. Namun,
paling tepat tentang daur hidrologi. Bernard Palissy mengusulkan pada abad yang
sama satu versi yang diperhalus dari gagasan-gagasan Vinci. Namun, selama 250
tahun versi tersebut adalah tidak masuk akal. Hanya pada abad ke-19 gagasan daur
hidrologi diterima dan penelitian-penelitian kuantitatif dipercepat.
Selama tahun 1500-1800 filsafat hidrologi didasarkan atas percobaan dan
pengembangan teknik-teknik pengukuran. Pada periode ini, pengukuran curah hujan
diperkenalkan di Eropa, mekanisme pita berlobang dikembangkan, table logaritmik
dihasilkan, rumus aliran saluran (dari Chezy) disusun, hubungan kecepatan-tekanan
(dari Bernoulli) dikembangkan, curah hujan dihubungkan dengan ketinggian tempat,
dan lain-lain.
Selama tahun-tahun 1800-1900, penelitian sampai pada era yang lain dan
perkembangan yang penting dalam alat-alat penghitung dan model telah dilakukan.
Pada tahun-tahun 1900-1930 (periode empirisme), sebagian besar pekerjaan
berdasarkan rumus-rumus empiris. Tetapi pada tahun-tahun selanjutnya (1930-1950:
periode rasionalisasi), dimulailah tahun-tahun keemasan hidrologi yang pertama.
Pada tahun 1939, Aitken menghasilkan bentuk komputer digital yang pertama. Pada
tahun 1943 Eckert dan Mauchley menghasilkan komputer listrik pertama yang
disebut ENIAC. Metode semi-empiris dan hidrolika air tanah diperkenalkan.
II.2. Tanggapan Sistem
Suatu sistem diberi batasan sebagai kumpulan objek dan subsistem yang
disatukan dengan beberapa bentuk interaksi (saling-tindak) yang beraturan.
Sebaliknya, subsistem-subsistem terdiri atas komponen-komponen dan/atau
peubah-peubah yang semuanya bersama-sama membentuk subsistem yang khusus tersebut,
yang berhubungan dengan subsistem lainnya. Bila kita memandang suatu sistem
yang mengalir yang dapat diterapkan pada suatu daerah aliran sungai, maka akan
tampak bahwa struktur sistem dari sistem ini adalah
MASUKAN → STUKTUR → SISTEM KELUARAN
Daerah aliran sungai yang merupakan lahan total dan permukaan air yang dibatasi
oleh suatu batas-air topografi dan dengan salah satu cara memberikan sumbangan
terhadap debit suatu sungai pada suatu irisan melintang tertentu. Faktor-faktor
berikut adalah
1. Faktor iklim
2. Faktor tanah
a) Topografi
b) Tanah
c) Geologi
d) Geomorfologi
3. Tata guna lahan
Faktor-faktor tersebut membentuk subsistem dan bertindak sebagai operator
di dalam mengubah urutan terjadinya presipitasi secara alami, P(t), menjadi urutan
waktu limpasan, Q(t) yang dihasilkan. Keragaman dalam keluaran, dalam hal ini
sutu system secara kuatitatif diberi batasan dengan komponen-komponen atau
peubah-peubah. Misalnya, tata guna lahan pada suatu daerah aliran sungai dapat
digambarkan dengan peubah-peubah seperti persentase lahan hutan, persentase lahan
rumput, persentase lahan yang diusahakan dan lain-lain. Kelompok semua peubah
tersebut yang bertindak saling berhubungan satu sama lain mengendalikan kerja
subsistem tersebut dan akhirnya juga kenampakan akhir dari presipitasi (masukan)
sebagai limpasan (keluaran) setelah melewati beberapa tahapan.
Tanggapan daerah aliran sungai tidak hanya merupakan limpasan saja,
melainkan juga erosi dan pengangkutan bahan-bahan kimia. Tiga tanggapan ini juga
bersaling tindak antara mereka sendiri di dalam mengendalikan
perubahan-perubahan dalam daerah aliran sungai. Dalam suatu analisis sistem (yang
mempelajari sifat kesaling-hubungan antar subsistem) di mana limpasan dilihat
sebagai suatu keluaran, erosi dan pengangkutan bahan-bahan kimia dapat
dihilangkan karena proses-prosesnya sangat lambat.
II.2.2. Tanggapan Daerah Aliran Sungai-Daur Hidrologi
Daur hidrologi diberi batasan sebagai suksesi tahapan-tahapan yang dilalui air
dari atmosfer ke bumi dan kembali lagi ke atmosfer. Daur ini dimulai dengan
penguapan air dari laut. Uap yang dihasilkan dibawa oleh udara yang bergerak.
Dalam kondisi yang memungkinkan, uap tersebut terkondensasi membentuk awan,
yang pada akhirnya dapat menghasilkan presipitasi. Presipitasi yang jatuh ke bumi
menyebar dengan arah yang berbeda-beda dalam beberapa cara. Sebagian besar dari
presipitasi tersebut untuk sementara tertahan pada tanah di dekat tempat ia jatuh dan
pemeluhan (transpirasi) oleh tanaman. Sebagian air mencari jalannya sendiri melalui
permukaan dan bagian atas tanah menuju sungai, sementara lainnya menembus
masuk lebih jauh ke dalam tanah (groundwater). Di bawah pengaruh gaya gravitasi,
baik aliran air permukaan (surface streamflow) maupun air dalam tanah bergerak
menuju tempat yang lebih rendah dan akhirnya mengalir ke laut. Namun sejumlah
besar air permukaan dan air bawah tanah dikembalikan ke atmosfer oleh penguapan
dan pemeluhan sebelum sampai ke laut.
Uraian mengenai daur hidrologi ini merupakan uraian yang benar-benar
disederhanakan. Sebagai contoh, air dari sebagian aliran permukaan mungkin
berperkolasi menjadi air tanah sedangkan pada kejadian lain, air tanah merupakan
sumber aliran sungai (stream flow). Daur hidrologi merupakan peraga yang baik
untuk menggambarkan lingkup hidrologi, yang memisahkan antara presipitasi pada
daratan dan kembalinya air ke atmosfer atau laut. Daur tersebut juga memperlihatkan
empat fase yaitu presipitasi, evaporasi, aliran permukaan dan air tanah.
Pembahasan mengenai daur hidrologi tidak perlu memberikan kesan tentang
adanya mekanisme yang kontinu, dimana dari awal sampai akhir air bergerak secara
tunak dengan kecepatan konstan. Pergerakan air melalui daur tersebut tidak menentu,
baik mengenai waktu maupun daerahnya. Kadang-kadang alam memberikan hujan
yang amat deras, yang menyebabkan kapasitas saluran di permukaan tanah menjadi
penuh. Pada kesempatan lain mungkin terkihat bahwa mekanisme daur itu berhenti
sama sekali, dengan demikian presipitasi dan aliran sungai pun ikut terhenti.
Sebagaimana dapat dilihat dari penjelasan singkat tentang daur hidrologi,
tanggapan daerah aliran sungai terhadap presipitasi merupakan keluaran dari saling
kompleks setelah perlintasan presipitasi melalui beberapa langkah penyimpanan dan
transfer. Kompleksitas ini meningkat dengan keragaman areal vegetasi,
formasi-formasi geologi, kondisi tanah dan di samping ini juga keragaman-keragaman areal
dan waktu dari faktor-faktor iklim.
Sumber:
Gambar 2.1. Daur Hidologi
II.2.3. Ekosistem Daerah Aliran Sungai
Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terdiri atas komponen-komponen
yang saling berinteraksi sehingga membentuk suatu kesatuan. Sistem tersebut
mempunyai sifat tertentu, tergantung pada jumlah dan jenis komponen yang
menyusunnya. Besar-kecilnya ukuran ekosistem tergantung pada pandangan dan
batas yang diberikan pada ekosistem tersebut. Daerah aliran sungai dapatlah
dianggap sebagai suatu ekosistem.
Ekositem terdiri atas komponen biotis dan abiots yang saling berinteraksi
tidak ada satu komponen pun yang berdiri sendiri, melainkan mempunyai keterkaitan
dengan komponen lain, langsung atau tidak langsung, besar atau kecil. Aktivitas
suatu komponen sistem selalu member pengaruh pada komponen ekosistem yang
lain. Manusia adalah salah satu komponen ekosistem yang penting. Sebagai
komponen yang dinamis, manusia dalam menjalankan aktivitasnya seringkali
mengakibatkan dampak pada salah satu komponen lingkungan, dan dengan
demikian, mempengaruhi ekosistem secara keseluruhan. Selama hubungan
timbal-balik antar komponen ekosistem dalam keadaan seimbang, selama itu pula ekosistem
berada dalam kondisi stabil. Sebaliknya bila hubungan timbal-balik antar
komponen-komponen lingkungan mengalami gangguan, maka terjadilah gangguan ekologis.
Uraian di atas mengisyaratkan bahwa ekosistem harus dilihat secara holistik,
yaitu dengan cara mengidentifikasi komponen-komponen kunci penyusun ekosistem
serta menelaah interaksi antar komponen-komponen tersebut. Pendekatan holistic
dilakukan agar pemanfaatan dan konservasi sumberdaya alam dapat dilakukan secara
efisien dan efektif, syarat yang diperlukan bagi terwujudnya pemanfaatan
sumberdaya alam untuk pembangunan yang berkelanjutan.
Dalam mempelajari ekosistem DAS, daerah aliran sungai biasanya dibagi
menjadi daerah hulu, tengah dan hilir. Secara biogeofisik, daerah hulu DAS dicirikan
oleh hal-hal sebagai berikut: merupakan daerah konservasi, mempunyai kerapatan
drainase lebih tinggi, merupakan daerah dengan kemiringan lereng besar (lebih besar
dari 15%), bukan merupakan daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan
oleh pola drainase, dan jenis vegetasi umumnya merupakan tegakan hutan.
Sementara daerah hilir DAS dicirikan oleh hal-hal sebagai berikut: merupkan daerah
lereng kecil sampai dengan sangat kecil (kurang dari 8%), pada beberapa tempat
merupakan daerah banjir (genangan), pengaturan pemakaian air ditentukan oleh
bangunan irigasi, dan jenis vegetasi didominasi tanaman pertanian kecuali daerah
estuaria yang didominasi hutan bakau. Daerah aliran sungai bagian tengah
merupakan daerah transisi dari kedua karakteristik biogeofisik DAS yang berbeda
tersebut di atas.
Ekosistem DAS hulu merupakan bagian yang penting karena mempunyai
fungsi perlindungan terhadap seluruh bagian DAS. Perlindungan ini antara lain, dari
segi fungsi tata air. Oleh karena itu, DAS hulu seringkali menjadi fokus perencanaan
pengelolaan DAS mengingat bhwa dalam suatu DAS, daerah hulu dan hilir
mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi.
II.3. Hujan
II.3.1. Pengertian Umum
Hujan merupakan komponen masukan yang paling penting dalam proses
hidrologi, karena jumlah kedalaman hujan (rainfall depth) ini yang dialihragamkan
menjadi aliran di sungai, baik melalui limpasan permukaan (surface runoff), aliran
antara (interflow, sub surface flow) maupun sebagai aliran air tanah (groundwater
flow).
Agar terjadi proses pembentukan hujan, maka ada 2 syarat yang harus
dipenuhi:
2. Tersedia sarana, keadaan yang mengangkat udara tersebut ke atas sehingga
terjadi kondensasi.
Udara lembab biasanya terjadi karena adanya gerakan udara mendatar,
terutama yang berasal dari atas lautan, yang dapat mencapai ribuan kilometer.
Terangkatnya udara ke atas dapat terjadi dengan tiga cara:
1. Konvektif, bila terjadinya ketidakseimbangan udara karena panas setempat,
dan udara bergerak ke atas dan berlaku proses adiabatik. Hujan yang terjadi
disebut hujan konvektif, dan biasanya merupakan hujan dengan intensitas
tinggi, dan terjadi dalam waktu yang relatif singkat, di daerah yang relatif
sempit.
2. Hujan siklon, bila gerakan udara ke atas terjadi akibat adanya udara panas
yang bergerak di atas lapisan udara yang lebih padat dan lebih dingin. Hujan
ini biasanya terjadi dengan intensitasnsedang, mencakup daerah yang luas
dan berlangsung lama.
3. Hujan orografik, terjadi karena udara bergerak ke atas akibat adanya
pegunungan. Akibatnya, terjadi dua daerah yang disebut daerah hujan dan
daerah bayangan hujan. Sifat hujan ini dipengaruhi oleh sifat dan ukuran
pegunungan.
Terjadinya pembentukan awan, tidak selalu memungkinkan terjadinya hujan.
Setidaknya diperlukan waktu, agar awan tersebut tumbuh menjadi awan hujan.
Pertumbuhan partikel-partikel awan dari ukuran 1-100 mikron (1 mikron = 10-3mm)
menjadi partikel hujan, dengan ukuran lebih dari 1000 mikron (1 mm) memerlukan
waktu paling tidak 30 menit sejak pembentukan awan. Akan tetapi proses itu tidak
dapat teruapkan kembali. Stabilitas udara sangat berpengaruh terhadap pembentukan
awan tersebut.
II.3.2. Hujan DAS
Pengukuran yang dilakukan adalah untuk memperoleh data hujan yang terjadi
pada satu tempat saja. Akan tetapi dalam analisis umumnya yang diinginkan adalah
data hujan rata-rata DAS (catchment rainfall). Untuk menghitung besaran ini dapat
ditempuh beberapa cara yang sampai saat ini lazim digunakan, yaitu dengan:
1. Rata-rata Aljabar
Cara hitungan dengan rata-rata aljabar (mean arithmetic method) ini
merupakan cara yang paling sederhana, akan tetapi memberikan hasil yang
tidak teliti. Hal tersebut diantaranya karena setiap stasiun dianggap
mempunyai bobot yang sama. Hal ini hanya dapat digunakan kalau hujan
yang terjadi di dalam DAS homogen dan variasi tahunannya tidak terlalu
besar. Keadaan hujan di Indonesia (daerah tropik pada umumnya) sangat
bersifat ‘setempat’, dengan variasi ruang (spatial variation) yang sangat
besar.
P = (P1 + P2 + … + Pn)
(2.1)
2. Poligon Thiessen
Cara ini memberikan bobot tertentu untuk setiap stasiun hujan dengan
pengertian bahwa setiap stasiun hujan dianggap mewakili hujan dalam suatu
daerah dengan luas tertentu dan luas tersebut merupakan faktor koreksi bagi
hujan di stasiun yang bersangkutan. Luas masing-masing daerah tersebut
• Semua stasiun yang di dalam (atau di luar) DAS dihubungkan dengan
garis, sehingga terbentuk jaringan segitiga-segitiga. Hendaknya
dihindari terbentuknya segitiga dengan sudut sangat tumpul.
• Pada masing-masing segitiga ditarik garis sumbunya, dan semua garis
sumbu tersebut membentuk poligon.
• Luas daerah yang hujannya dianggap diwakili oleh salah satu stasiun
yang bersangkutan adalah daerah yang dibatasi oleh garis-garis
poligon tersebut (atau dengan batas DAS).
• Luas relatif daerah ini dengan luas DAS merupakan faktor
koreksinya.
• Selanjutnya hitungan dilakukan sebagai berikut:
Sta Pi Luas FK P =
I P1 A1 α1 α1 P1
II P2 A2 α2 α2 P2
… … … … …
N Pn An αn αn Pn
Dengan: Pi = kedalaman hujan di stasiun i
Ai = luas daerah yang diwakili stasiun i
A = luas DAS total
FK = faktor koreksi, αi =
P = Pi x FK
(2.2)
Gambar 2.2. Cara Poligon Thiessen
Cara di atas dipandang cukup baik karena memberikan koreksi terhadap
kedalaman hujan sebagai fungsi luas daerah yang (dianggap) diwakili. Akan
tetapi cara ini dipandang belum memuaskan karena pengaruh topografi tidak
tampak. Demikian pula apabila salah satu stasiun tidak berfungsi, misalnya
rusak atau data tidak benar, masa poligon harus diubah.
3. Isohyet
Cara lain yang diharapkan lebih baik (dengan mencoba memasukkan
pengaruh topografi) adalah dengan cara isohyets. Isohyets ini adalah garis
yang menghubungkan tempat-tempat yang mempunyai kedalaman hujan
sama pada saat yang bersamaan. Pada dasarnya cara hitungan sama dengan
yang digunakan dalam cara poligon Thiessen, kecuali dalam penetapan
dua buah isohyets (atau dengan batas DAS) terhadap luas DAS. Kesulitan
yang dijumpai adalah kesulitan dalam setiap kali harus menggambar garis
isohyet, dan juga masuknya unsur subjektivitas dalam penggambaran isohyet.
=
(2.3)
Dengan, A1, A2, …, An = luas bagian-bagian antara garis-garis Isohyet
R1, R2, …, Rn= curah hujan rata-rata pada bagian-bagian A1,
A2, …, An
Gambar 2.32. Cara Garis Isohyet
Dalam prakteknya, cara kedua (poligon Thiessen) adalah cara ‘terbaik’ yang
paling banyak digunakan dalam anlisis. Selain hitungan-hitungan yang dijelaskan
terdahulu, beberapa sifat hujan lain perlu diketahui, seperti,
1. Frekuensi hujan, hubungan antara kedalaman hujan dengan kala-ulang
2. Hubungan antara kedalaman hujan, luas DAS dan lama-hujan (depth area
duration).
3. Hubungan antara intensitas hujan, lama hujan dan kala-ulang.
II.3.3. Analisis Frekuensi
Dalam statistik dikenal beberapa jenis distribusi frekuensi dan yang banyak
digunakan dalam hidrologi yaitu:
1. Distribusi normal
2. Distribusi log-normal
3. Distribusi log-Pearson tipe III
4. Distribusi Gumbel
Dalam analisis frekuensi data hidrologi baik data hujan maupun data data
debit sungai terbukti bahwa sangat jarang dijumpai seri data yang sesuai dengan
distribusi normal. Sebaliknya, sebagian besar data hidrologi sesuai dengan tiga
distribusi yang lainnya.
Masing-masing distribusi memiliki sifat-sifat khas sehingga setiap data
hidrologi harus diuji kesesuaiannya dengan sifat statistik masing-masing distribusi
tersebut. Pemilihan distribusi yang tidak benar dapat mengundang kesalahan
perkiraan yang (dapat) cukup besar, baik ‘overestimated’ maupun ‘underestimated’,
keduanya tidak diinginkan. Dengan demikian jelas bahwa pengambilan salah satu
distribusi secara sembarang untuk analisis tanpa pengujian data hidrologi sangat
tidak dianjurkan, meskipun dalam praktek harus diakui bahwa besar kemungkinan
distribusi tersebut sesuai dengan jenis distribusi tertentu. (Catatan: di Indonesia
banyak dilakukan analisis frekuensi dengan menggunakan distribusi Gumbel tanpa
cara ini akan dianggap sebagai cara ‘rutin’, karena jekas mengandung resiko
penyimpangan yang tidak dikehendaki. Dengan pengujian atas data hujan dan debit
di Pulau Jawa ditemukan distribusi Gumbel hanya sesuai dengan 75% kasus.
Demikian pula distribusi normal. 90% lainnya ternyata mengikuti distribusi
log-normal dan log-Pearson tipe III.
Analisis frekuensi atas data hidrologi menurut syarat tertentu untuk data yang
bersangkutan, yaitu harus seragam (homogeneous), ‘independent’ dan mewakili
(representative). Data yang seragam berarti bahwa data tersebut harus berasal dari
populasi yang sama. Dalam arti lain, stasiun pengumpul data yang bersangkutan,
baik stasiun hujan maupun hidrometri harus tidak dipindah, DAS tidak berbah
menjadi DAS perkotaan (urban cacthment), maupun tidak ada gangguan-gangguan
lain yang menyebabkan data yang terkumpul menjadi lain sifatnya. Batasan ‘
independent’ di sini berarti bahwa besaran data ekstrem tidak terjadi lebih dari sekali.
1. Distribusi Normal
Distribusi ini mempunyai ‘ probability density function’ sebagai berikut:
P’(X) = e
(2.4)
Dengan, σ = varian
µ = rata-rata
2. Distribusi Log-Normal
‘Probability density function’ distribusi ini adalah:
P’ x = eksp 2), (µ > 0)
Dengan = ln ( )
3. Distribusi Log-Pearson III
Log Xr =
n = banyaknya data pengamatan
Sx = standard deviasi
Nilai XT bagi setiap probabilitas dihitung dari persamaan yang telah
dimodifikasikan :
Log XT = log Xr + K. log Sx
(2.13)
dengan :
XT = besarnya curah hujan rancangan untuk periode ulang pada T tahun
K = faktor freluensi yang merupakan fungsi dari periode ulang dan tipe
distribusi frekuensi.
4. Distribusi Gumbel
K X =µ+σ.
(2.14)
Dengan µ = Nilai tengah (mean) populasi
σ = Standard deviasi populasi
K = Factor frekwensi
Rumus (2.14) dapat diketahui dengan
sK X
X = +
(2.15)
Dengan,
X = nilai tengah sampel
Faktor frekwensi K untuk nilai-nilai ekstrim Gumbel ditulis dengan humus
Yn = Reduced mean yang tergantung dari besarnya sampel n
Sn = Reduced Standard deviation yang tergantung dari besarnya sampel n
II.3.4. Intensitas Hujan
Intensitas curah hujan adalah ketinggian curah hujan yang terjadi pada suatu
kurun waktu di mana air tersebut terkonsentrasi. Intensitas curah hujan dinotasikan
dengan huruf I dengan satuan mm/jam. Durasi adalah lamanya suatu kejadian hujan.
Intensitas hujan yang tinggi pada umumnya berlangsung dengan durasi pendek dan
meliputi daerah yang tidak sangat luas. Hujan yang meliputi daerah luas, jarang
sekali dengan intensitas tinggi, tetapi dapat berlangsung dengan durasi cukup
panjang. Kombinasi dari intensitas hujan yang tinggi dengan durasi panjang jarang
terjadi, tetapi apabila terjadi berarti sejumlah besar volume air bagaikan ditumpahkan
dari langit. analisis IDF memerlukan analisis frekuensi dengan menggunakan seri
data yang diperoleh dari rekaman data hujan. Jika tidak tersedia waktu untuk
dapat ditempuh cara-cara empiris dengan mempergunakan rumus-rumus
eksperimental seperti rumus Talbot, Mononobe, Sherman dan Ishigura.
II.4. Infiltrasi
II.4.1. Pengertian Umum
Air cair yang diterima pada permukaan bumi akhirnya, jika permukaannya
tidak kedap air, dapat bergerak ke dalam tanah dengan gaya gerak gravitasi dan
kapiler dalam suatu aliran yang disebut infiltrasi. Ini merupakan bagian yang sangat
penting dalam daur hidrologi maupun dalam proses pengalihragaman hujan menjadi
aliran sungai. Pengertian infiltrasi (infiltration) sering dicampurkan-adukkan untuk
kepentingan praktis dengan pengertian perkolasi (percolation). Yang terakhir ini
merupakan proses aliran air dalam tanah secara vertical akibat gaya berat. Memang
keduanya saling berpengaruh akan tetapi hendaknya secara teoretik pengertian
keduanya dibedakan.
Dalam kaitan ini terdapat dua pengertian tentang kuantitas infiltrasi, yaitu
kapasitas infiltrasi, dan laju infiltrasi. Kapasitas infiltrasi adalah laju infiltrasi
maksimum untuk suatu jenis tanah tertentu, sedangkan laju infiltrasi adalah laju
infiltrasi nyata suatu jenis tanah tertentu. Secara fisik terdapat faktor yang
berpengaruh, yaitu :
1. Jenis tanah
2. Kepadatan tanh
3. Kelembaban tanah
4. Tutup tumbuhan ( vegetation cover )
7. Menutup areal permukaan tanah ( top soil )
Setiap jenis tanah mempunyai laju infiltrasi karakteristik yang berbeda, yang
bervariasi dari yang sangat tinggi sampai yang sangat rendah. Jenis tanah berpasir
umumnya cenderung mempunyai laju infiltrasi yang tinggi, akan tetapi tanah liat
sebaliknya, cenderung mempunyai laju infiltrasi yang rendah. Untuk satu jenis tanah
yang sama dengan kepadatan yang berbeda mempunyai laju infiltrasi yang berbeda
pula. Makin padat suatu kondisi tanah, maka makin kecil pula laju infiltrasinya,
begitu juga sebaliknya, makin renggang suatu kondisi butir-butir tanah, maka laju
infiltrasinya akan semakin besar pula. Kelembaban tanah yang selalu berubah-ubah
setiap saat juga berpengaruh terhadap laju infiltrasi. Makin tinggi kadar air dalam
tanah, maka laju infiltrasi tanah tersebut makin kecil. Pengaruh tanaman diatas
permukaan tanah terdapat dua pengaruh, yaitu berfungsi sebagai penghambat aliran
di permukaan tanah sehingga kesempatan untuk berinfiltrasi akan semakin besar,
sedangkan yang kedua adalah, sistem akar-akaran yang dapat lebih menggemburkan
struktur tanahnya sehingga laju infiltrasi dapat menjadi cepat. Maka makin baik tutup
tanaman yang ada, laju infiltrasi cenderung lebih tinggi. Kemiringan lahan
memberikan pengaruh yang kecil terhadap infiltrasi, walaupun begitu, terdapat
perbedaan infiltrasi antara lahan datar dengan lahan miring. Infiltrasi pada lahan
datar akan lebih besar daripada lahan miring. Penambahan bahan kimia dalam tanah
ada dua jenis. Yang pertama dimaksudkan untuk memperkuat formasi agregat tanah,
sehingga struktur tanah menjadi diperbaiki. Akibatnya bukan saja infiltrasi yang
meningkat, tetapi juga pergerakan air di dalam tanah (perkolasi). Yang kedua
dimaksud untuk melapisi permukaan tanah agar air yang mengalir di atasnya lancar,
dikatakan tidak terjadi sama sekali. Apabila permukaan tanah tertutup oleh suatu
bahan seperti beton, batako, dan sebagainya, maka areal tanah tersebut tidak bisa
berinfiltrasi sama sekali.
II.4.2. Kepentingan Praktis Infiltrasi
1. Berkurangnya banjir
2. Berkurangnya erosi tanah
3. Memberikan air bagi vegetasi dan tanaman
4. Mengisi kembali reservoir air tanah
5. Menyediakan aliran pada sungai pada musim kemarau
II.4.3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Infiltrasi
1. Karakteristik hujan
2. Kondisi permukaan tanah
3. Kondisi penutup permukaan
4. Transmisibilitas tanah
5. Karakteristik air yang berinfiltrasi
II.5. Evaporasi
II.5.1. Pengertian Umum
Evaporasi adalah penguapan air dari permukaan air, tanah dan bentuk
permukaan vegetasi lainnya oleh proses fisika. Dua unsure utama untuk
berlangsungnya evaporasi adalah energi (radiasi) matahari dan ketersediaan air
II.5.2. Unsur Utama Evaporasi
1. Radiasi matahari
Sebagian radiasi gelombang pendek (shortwave radiation) matahari akan
tersebut akan menghangatkan udara di sekitarnya. Panas yang dipakai untuk
menghangatkan partikel-partikel berbagai material udara tanpa mengubah
bentuk partikel tersebut dinamakan panas tampak (sensible heat). Sebagian
dari energi matahari akan diubah menjadi energi mekanik. Energi mekanik ini
akan menyebabkan perputaran udara dan uap air di atas permukaan tanah.
Keadaan ini akan menyebabkan udara di atas permukaan tanah jenuh, dan
dengan demikian, mempertahankan tekanan uap air yang tingi pada
permukaan bidang evaporasi.
2. Ketersediaan air
Melibatkan tidak saja jumlah air yang ada, tetapi juga persedian air yang siap
untuk terjadinya evaporasi. Permukaan bidang evaporasi yang kasar akan
memberikan lajuevaporasi yang lebih tinggi daripada bidang rata karena pada
bidang permukaan yang lebih kasar besarnya turbulent meningkat.
II.5.3. Faktor-faktor Penentu Evaporasi
Proses-proses fisika yang menyertai berlangsungnya perubahan dari zat cair
menjadi gas berlaku pada kedua proses evaporasi. Oleh karenanya, kondisi fisika
yang mempengaruhi laju evaporasi umum terjadi pada kedua proses alamiah
tersebut. Faktor-faktor yang berpengaruh antara lain:
1. Panas diperlukan untuk berlangsungnya perubahan bentuk dari zat cair ke gas
dan secara alamiah matahari menjadi sumber energy panas. Energi panas tak
tampak (latent heat) pada proses evaporasi dating sebagai energy panas
gelombang pendek (shortwave radiation) dan energy panas gelombang
sumber energy panas terbesar dan akan mempengaruhi besarnya air yang
dapat diuapkan dari permukaan bumi sesuai dengan ketinggian tempat dan
musim yang berlangsung. Sedangkan energi panas gelombang panjang adalah
panas yang dilepaskan oleh permukaan bumi ke udara dan bersifat menambah
yang telah dihasilkan oleh energi panas gelombang pendek.
2. Suhu udara, permukaan bidang penguapan (air, vegetasi dan tanah) dan
energy panas yang berasal dari matahari adalah factor-faktor penting yang
perlu dipertimbangkan dalam menghitung besarnya evaporasi. Makin tinggi
suhu udara di atas permukaan bidang penguapan, makin mudah terjadi
perubahan bentuk dari zat cair menjadi gas. Dengan demikian, laju evaporasi
menjadi lebih besar di daerah tropic daripada daerah beriklim sedang.
Perbedaan laju evaporasi yang sama juga dijumpai di daerah tropic pada
musim kering dan musim basah.
3. Kapasitas kadar air dalam udara juga dipengaruhi secara langsung oleh tinggi
rendahnya suhu di tempat tersebut. Besarnya kadar air dalam udara di suatu
tempat ditentukan oleh tekanan uap air, ea, (vapour pressure) yang ada di
tempat tersebut. Proses evaporasi tergantung dari deficit tekanan uap air
jenuh, Dvp, (saturated vapour pressure deficit) di udara atau jumlah uap air
yang dapat diserap oleh udara sebelum udara tersebut menjadi jenuh. Deficit
tekanan uap air jenuh adalah beda keadaan antara tekanan uap air jenuh pada
permukaan bidang penguapan dan tekanan uap air nyata di udara. Dengan
demikian evaporasi lebih banyak terjadi di daerah pedalaman dimana kondisi
udara cenderung lebih kering daripada daerah pantai yang lebih lembab
4. Ketika proses penguapan berlangsung, udara di atas permukaan bidang
penguapan secara bertahap menjadi lebih lembab, sampai pada tahap ketika
udara menjadi jenuh dan tidak mapu menampung uap air lagi. Pada tahap ini,
udara jenuh di atas bidang penguapan tersebut akan berpindah ke tempat lain
akibat beda tekanan dan kerapatan udara, dan dengan demikian, proses
penguapan air dari bidang penguapan tersebut akan berlangsung secara
terus-menerus. Hal ini terjadi karena adanya pergantian udara lembab oleh udara
yang lebih kering atau gerakan massa udara dari tempat dengan tekanan udara
lebih tinggi ke tempat dengan tekanan udara lebih rendah. Proses perpindahan
massa udara seperti itu disebut proses adveksi. Dalam hal ini, peranan
kecepatan angin di atas permukaan bidang penguapan merupakan factor
penting intuk terjadinya evaporasi. Penguapan air di daerah lapang
seharusnya lebih besar dibandingkan daerah dengan banyak naungan karena
pada keadaan yang pertama perpindahan udara menjadi lebih bebas.
5. Sifat alamiah bidang permukaan penguapan akan mempengaruhi proses
evaporasi melalui perubahan pola perilaku angin. Pada bidang permukaan
yang kasar atau tidak beraturan, kecepatan angin akan berkurang oleh adanya
proses gesekan. Tetapi, pada tingkat tertentu, permukaan bidang yang kasar
juga dapat menimbulkan gerakan angin berputar (turbulent) yang dapat
memperbesar evaporasi. Pada bidang permukaan air yang luas, angin kencang
juga dapat menimbulkan gelombang air besar dan dapat mempercepat
terjadinya evaporasi.
II.6. Limpasan Permukaan Dan Hidrologi Sungai
Jika intensitas curah hujan melebihi laju infiltrasi, maka kelebihan air mulai
berakumulasi sebagai cadangan permukaan. Bila kapasitas cadangan permukaan
dilampaui (merupakan fungsi depresi permukaan dan gaya tegangan muka), limpasan
permukaan mulai sebagai suatu aliran lapisan yang tipis. Pada akhirnya, lapisan
aliran air ini berkumpul ke dalam aliran air sungai yang diskrit. Dalam artian yang
umum, ait yang mengalir pada saluran-saluran yang kecil ini, parit-parit,
sungai-sungai dan aliran-aliran merupakan kelebihan curah hujan terhadap evapottanspirasi,
cadangan permukaan dan air bawah tanah.
Dalam kepustakaan kata-kata yang berlainan seperti limpasan, aliran sungai,
debit sungai digunakan untuk mengartikan sesuatu yang sama. Untuk mengatasi
sebagian kesulitan tersebut terminologi berikut digunakan di sini.
1. Limpasan: bagian presipitasi (juga kontribusi permukaan dan bawah
permukaan) yang terdiri atas gerakan gravitasi air dan tampak pada saluran
permukaan dari bentuk permanen maupun terputus-putus.
Kata-kata yang sinonim adalah aliran sungai, debit sungai dan produksi
tangkapan.
2. Aliran murni: limpasan yang tidak dipengaruhi oleh pengaliran buatan,
simpanan maupun tindakan manusia lainnya pada atau di atas saluran
maupun pada daerah aliran sungai.
3. Limpasan permukaan: bagian limpasan yang melintas di atas permukaan
tanah menuju saluran sungai.
Kata-kata sinonim adalah limpasan di atas lahan.
4. Limpasan bawah permukaan: limpasan ini merupakan sebagian dari limpasan
tanah permukaan dan bergerak secara lateral melalui horizon-horizon tanah
bagian atas menuju sungai.
Kata-kata sinonim adalah aliran hujan bawah permukaan, aliran bawah
permukaan, aliran antara dan perembesan.
5. Limpasan permukaan langsung: bagian limpasan permukaan memasuki
sungai secara langsung setelah curah hujan. Limpasan ini sama dengan:
kehilangan presipitasi (= intersepsi + infiltrasi + evaporasi + cadangan
permukaan).
Kata-kata sinonim adalah limpasan langsung dan limpasan hujan.
Limpasan permukaan langsung adalah sama dengan hujan efektif jika hanya
hujan yang terlibat dalam membentuk limpasan permukaan. Kelebihan
presipitasi (atau kelebihan curah hujan) adalah sama dengan kontribusi
presipitasi terhadap limpasan permukaan.
II.6.2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Limpasan
Aliran sungai itu tergantung dari berbagai faktor secara bersamaan.
Faktor-faktor tersebut dibagi dalam 2 kelompok, yakni elemen meteorologi yang diwakili
oleh curah hujan dan elemen daerah pengaliran yang menyatakan sifat-sifat fisik
daerah pengaliran.
1. Elemen meteorologi
Faktor-faktor yang terhisab kelompok elemen-elemen meteorologi adalah
sebagai berikut:
a) Jenis presipitasi
Pengaruhnya terhadap limpasan sangat berbeda, yang tergantung pada
langsung dan hidrograf itu hanya dipengaruhi intensitas curah hujan dan
besarnya curah hujan.
b) Intensitas curah hujan
Pengaruh intensitas curah hujan pada limpasan permukaan tergantung
dari kapasitas infiltrasi. Jika intensitas curah hujan melampaui kapasitas
infiltrasi, maka besarnya limpasan permukaan akan segera meningkat
sesuai dengan peningkatan intensitas curah hujan. Akan tetapi, besarnya
peningkatan limpasan itu tidak sebanding dengan peningkatan curah
hujan lebih, yang disebabkan oleh efek penggenangan di permukaan
tanah.
c) Lamanya curah hujan
Di setiap daerah aliran terdapat suatu lamanya curah hujan yang kritis.
Jika lamanya curah hujan itu kurang dari lamanya yang kritis, maka
lamanya limpasan itu praktis akan sama dan tidak tergantung dari
intensitas curah hujan. Jika lamanya curah hujan itu lebih panjang, maka
lamanya limpasan permukaan itu juga menjadi lebih panjang. Lamanya
curah hujan juga mengakibatkan penurunan kapasitas infiltrasi. Untuk
curah hujan yang jangka waktunya panjang, limpasan permukaannya akan
menjadi lebih besar meskipun intensitasnya adalah relatif sedang.
d) Distribusi curah hujan dalam daerah pengaliran
Jika kondisi-kondisi seperti topografi, tanah dan lain-lain diseluruh daerah
pengaliran itu sama dan umpamanya jumlah curah hujan itu sama, maka
curah hujan yang distribusinya merata yang mengakibatkan debit puncak
terjadi oleh curah hujan lebat yang distribusinya merata, dan sering kali
terjadi oleh curah hujan biasa yang mencakup daerah yang luas meskipun
intensitasnya kecil. Sebaliknya, di daerah pengaliran yang kecil, debit
puncak maksimum dapat terjadi oleh curah hujan lebat dengan daerah
hujan yang sempit.
Mengingat limpasan yang diakibatkan oleh curah hujan itu sangat
dipengaruhi oleh distribusi curah hujan, maka untuk skala penunjuk
faktor ini digunakan koefisien distribusinya. Distribusi koefisien adalah
harga curah hujan maksimum dibagi harga curah hujan rata-rata di daerah
pengaliran itu. Jadi curah hujan yang jumlahnya tetap mempunyai debit
puncak yang lebih besar yang sesuai dengan koefisien distribusinya yang
bertambah besar.
e) Arah pergerakan curah hujan
Umumnya pusat curah ujan itu bergerak. Jadi suatu curah hujan lebat
bergerak sepanjang system aliran sungai akan sangat mempengaruhi debit
puncak dan lamanya limpasan permukaan.
f) Curah hujan terdahulu dan kelembaban tanah
Jika kadar kelembaban lapisan teratas tanah itu tinggi, maka akan mudah
terjadi banjir karena kapasitas infiltrasi yang kecil. Demikian pula jika
kelembaban tanah itu meningkat dan mencapai kapasitas lapangan, maka
air infiltrasi akan mencapai permukaan air tanah dan memperbesar aliran
air tanah. Selama periode pengurangan kelembaban tanah oleh
evapotranspirasi dan lain-lain, suatu curah hujan yang lebat tidak akan
menginfiltrasi itu tertahan sebagai kelembaban tanah. Sebaliknya, jika
kelembaban tanah itu sudah meningkat karena curah hujan terdahulu yang
cukup besar, maka kadang-kadang curah hujan dengan intensitas yang
kecil dapat mengakibatkan kenaikan pemukaan air yang besar dan
kadang-kadang dapat mengakibatkan banjir.
g) Kondisi-kondisi meteorologi yang lain
Seperti telah dikemukakan di atas, dari elemen-elemen meteorologi, curah
hujan mempunyai pengaruh yang terbesar pada limpasan. Secara tidak
langsung, suhu, kecepatan angin, kelembaban relatif, tekanan udara
rata-rata, curah hujan tahunan dan seterusnya yang berhubungan satu dengan
yang lain juga mengontrol iklim di daerah itu dan mempengaruhi
limpasan.
2. Elemen daerah pengaliran
a) Kondisi penggunaan tanah (Landuse)
Hidrograf sebuah sungai adalah sangat dipengaruhi oleh kondisi
penggunaan tanah dalam daerah pengaliran itu. Daerah hutan yang
ditutupi tumbuh-tumbuhan yang lebat adalah sulit mengadakan limpasan
permukaan karena kapasitas infiltrasinya yang besar. Jika daerah hutan ini
dijadikan daerah pembangunan dan dikosongkan (hutannya ditebang),
maka kapasitas infiltrasi akan turun karena pemampatan permukaan
tanah. Air hujan akan mudah berkumpul ke sungai-sungai dengan
kecepatan yang tinggi yang akhirnya dapat mengakibatkan banjir yang
belum pernah dialami terdahulu.
Jika semua faktor-faktor termasuk besarnya curah hujan, intensitas curah
hujan dan lain-lain itu tetap, maka limpasan itu (yang dinyatakan dengan
dalamnya air rata-rata) selalu sama, dan tidak tergantung dari luas daerah
pengaliran. Berdasarkan asumsi ini, mengingat aliran per satuan luas itu
tetap, maka hidrograf itu adalah sebanding dengan luas daerah pengaliran.
Akan tetapi sebenarnya, makin besar daerah pengaliran, makin lama
limpasan mencapai tempat titik pengukuran. Jadi, panjang dasar hidrograf
debit banjir menjadi lebih besar dan debit puncaknya berkurang. Salah
satu sebab dari pengurangan debit puncak ialah hubungan antara
intensitas curah hujan maksimum yang berbanding terbalik dengan luas
daerah hujan. Berdasarkan asumsi tersebut, curah hujan dianggap merata.
Akan tetapi mengingat intensitas curah hujan maksimum yang
kejadiannya diperkirakan terjadi dalam frekuensi yang tetap menjadi lebih
kecil sebanding dengan daerah pengaliran yang lebih besar, maka ada
pemikiran bahwa puncak banjir akan menjadi lebih kecil. Seperti telah
dikemukakan di atas, debit banjir yang diharapkan per satuan daerah
pengaliran itu adalah berbanding terbalik dengan daerah pengaliran, jika
karakteristik-karakteristik yang lain itu sama. Tetapi kali ini berbeda
karena luas daerah tidak menghasilkan peristiwa yang disebut di atas.
Tetapi jika faktor-faktor lain yang berbeda maka akan terjadi perbedaan
besar dalam debit banjir.
c) Kondisi topografi dalam daerah pengaliran
Corak, elevasi, gradient, arah, dan lain-lain dari daerah pengaliran
itu. Corak daerah pengaliran adalah faktor bentuk, yakni perbandingan
panjang sungai utama terhadap lebar rata-rata daerah pengaliran. Jika
factor bentuk menjadi lebih kecil dengan kondisi skla daerah pengaliran
yang sama, maka hujan lebat yang merata akan berkurang dengan
perbandingan yang sama sehingga sulit akan terjadi banjir. Elevasi daerah
pengaliran dan elevasi rata-rata mempunyai hubungan yang penting
terhadap suhu dan curah hujan. Demikian pula gradiennya mempunyai
hubungan dengan infiltrasi, limpasan permukaan, kelembaban, dan
pengisian air tanah. Gradien daerah pengaliran adalah salah satu faktor
penting yang mempengaruhi waktu mengalirnya air permukaan, waktu
konsentrasi ke sungai dari curah hujan dan mempunyai hubungan
langsung terhadap debit banjir. Arah daerah pengaliran itu mempunyai
pengaruh terhadap kehilangan evaporasi dan transpirasi karena
mempengaruhi kapasitas panas yang diterima dari matahari.
d) Jenis tanah
Mengingat bentuk-bentuk butir tanah, coraknya dan cara mengendapnya
adalah faktor-faktor yang menentukan kapasitas infiltrasi, maka
karakteristik limpasan itu sangat dipengaruhi oleh jenis tanah daerah
pengaliran tersebut. Juga bahan-bahan kolodial merupakan faktor-faktor
yang mempengaruhi kapasitas infiltrasi karena bahan-bahan ini
mengembang dan menyusut sesuai dengan variasi kadar kelembaban
tanah.
Di samping hal-hal yang dikemukakan di atas, maka faktor-faktor penting
lain yang mempengaruhi limpasan adalah karakteristik jaringan sungai,
adanya daerah pengaliran yang tidak langsung, drainase buatan dan
lain-lain.
II.7 Perhitungan Debit Banjir Metode Empiris
Digunakan bila terdapat data hidrologi yang cukup banyak variabel yang
mempengaruhi debit, sedang rumus-rumus empiris umumnya merupakan korelasi
beberapa variabel, maka dengan sendirinya tidak mungkin diperoleh hasil yang dapat
dipercaya. Tapi ini dapat memperkirakan harga yang kasar secara cepat.
Adapun rumus empiris yang dikemukakan disini antara lain : Metode
Haspers, Melchior, dan Metode Rasional.
a. Metode Haspers
Rumus umum dari debit banjir rancangan adalah
QT= α . β . qT . A
(2.19)
Di mana :
QT = Debit banjir maksimum (m3/dt),
α = Koefisien pengaliran,
Β = Koefisien reduksi,
qT = Intensitas hujan untuk periode ulang tertentu (mm)
A = Luas DAS (km2)
b. Metode Melchior
Besarnya debit banjir maksimum dinyatakan dengan persamaan sebagai
Qmax = αT . β . rT . A
(2.20)
Di mana :
Qmax = Debit banjir maksimum (m3/dt)
αT = Koefisien pengaliran untuk masing-masing periode ulang tertentu
rT = Intensitas hujan rancangan (mm)
A = Luas DPS/ Catchment area (km2)
c. Metode Rasional
Rumus ini adalah rumus yang tertua dan terkenal diantara rumus-rumus
empiris. Rumus ini banyak digunakan untuk sungai-sungai biasa dengan daerah
pengaliran yang luas. Bentuk umum rumus rasional ini adalah sebagai berikut :
Q = C *i *A = 0,00277 C *i *A
(2.21)
Di mana :
Q = Debit banjir maksimum (m3/detik)
C = Koefisien limpasan
i = Intensitas curah hujan rata-rata selama waktu tiba dari banjir (mm/jam)
A = Daerah pengaliran (Ha)
Intensitas hujan rancangan menurut Mononobe dinyatakan dengan
I =
(2.22)
Rt = Hujan rancangan untuk periode ulang tertentu (mm).
Waktu konsentrasi dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut :
t = 0,0195 * L0,77 * S-0.385 *
(2.23)
dimana :
L = panjang sungai (m)
S = kemiringan sungai
Adapun mengenai koefisien limpasan (C) dapat ditentukan harganya berdasarkan
tabel berikut ini.
Tabel 2.1 Nilai Koefisien Limpasan untuk Persamaan Rasional
Tata Guna Lahan C Tata Guna Lahan C
Perkantoran Tanah Pertanian
Daerah pusat kota 0,70-0,95 Ladang Garapan
Daerah sekitar kota 0,50-0,70 Tanah berat tanpa vegetasi 0,30-0,60
Perumahan
Tanah berat dengan
vegetasi 0,20-0,50
Rumah tunggal 0,30-0,50 Berpasir tanpa vegetasi 0,20-0,50 Rumah susun, terpisah 0,40-0,60 Berpasir dengan vegetasi 0,1-0,25
Rumah susun, bersambung 0,60-0,75
Pinggiran kota 0,25-0,40 Padang Rumput
Daerah Industri Tanah berat 0,15-0,45
Kurang padat industri 0,50-0,80 Berpasir 0,05-0,25
Padat industri 0,60-0,90
Hutan 0,05-0,25
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
III.1 Lokasi Studi Kasus
III.1.1 Deskripsi Wilayah Sungai Belawan-Ular-Padang
Secara kewilayahan, Wilayah Sungai Belawan-Ular-Padang (WS BUP) berada di kawasan pantai timur Provinsi Sumatera Utara dan sebagian kecil berada di bagian tengah Provinsi tersebut. wilayah sungai ini mencakup 6 (enam) Daerah Aliran Sungai (DAS) dengan luas seluruhnya 6.215,66 km2 (seperti terlihat pada Gambar 3.1). Curah hujan rata-rata mencapai 1.873 mm per tahun. Rata-rata-rata kecepatan udara berkisar 1,10 m/detik dengan tingkat penguapan sebesar 3,47 mm/hari. Suhu udara rerata per bulan berkisar antara 23,7°C sampai 32,2°C. Jumlah penduduk WS BUP pada tahun 2007 sekitar 7,13 juta dengan kepadatan penduduk sebesar 1.147 jiwa/km2. Rincian dari luas DAS di WS BUP dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 3.1 Daerah Aliran Sungai WS BUP
Sub Total 1936,18
Total Luas WS BUP 6215,66
Sumber: BWS Sumatera II
Kemiringan lereng di WS BUP dapat diklasifikasikan ke dalam kelas kemiringan sebagai berikut : < 8%, 8-15%, 15-25%, 25-45% dan > 45%. Adapun luasan masing-masing kelas kemiringan lereng pada setiap Sub DAS adalah seperti pada Tabel 3-2.
Tabel 3.2 Kelas Kemiringan Lereng Masing-masing Sub DAS
DAS Sub
DAS
Kelas Kemiringan Lereng (Km2)
Total
Sumber: BWS Sumatera II
III.1.1.1 Batas Administrasi WS BUP
Secara administratif WS BUP berbatasan dengan:
• Sebelah Utara : Selat Malaka
• Sebelah Timur : Kabupaten Asahan
• Sebelah Selatan : Kabupaten Samosir dan Dairi
• Sebelah Barat : Samudera Hindia
Dan melintasi 4 (empat) kabupaten dan 2 (dua) kota di Provinsi Sumatera Utara yaitu:
• Kabupaten Deli Serdang
• Kabupaten Serdang Bedagai
• Kabupaten Karo
• Kabupaten Simalungun
• Kota Medan
• Kota Tebing Tinggi
Secara detail luas wilayah administrasi WS BUP seperti disajikan pada Tabel 3.3 berikut:
Tabel 3.3 Luas Wilayah Administrasi WS BUP
No Kabupaten/Kota Luas (Km2) Presentase (%)
1 Kabupaten Deli Serdang 2293,42 36,90
2 Kabupaten Serdang Bedagai 1498,76 24,11
3 Kabupaten Karo 128,04 0,20
4 Kabupaten Simalungun 1721,71 27,70
5 Kota Medan 270,25 4,53
6 Kota Tebing Tinggi 303,48 4,88
Total WS BUP 6215,66 100,00
Total Propinsi Sumatera Utara 71680,68 8,84
Sumber: BWS Sumatera II
Jumlah penduduk di WS BUP pada tahun 2007 sebesar 7,13 juta jiwa yang merupakan sekitar 9,26% dari penduduk Sumatera Utara (yang diperkirakan 12,83 juta). Secara nasional, jumlah penduduk di WS BUP adalah sekitar 3% penduduk Indonesia. Dapat ditihat dari sisi kependudukan, WS BUP merupakan daerah yang memiliki konsentrasi penduduk yang tinggi, dibandingkan wilayah lain di Provinsi Sumatera Utara. Hal ini tampak pada kepadatan rata-rata di WS BUP sebesar 1.147 jiwa/km2.
Laju pertumbuhan penduduk rerata di WS BUP cenderung meningkat, yaitu 1,62% per tahun. Perkembangan jumlah penduduk selama tiga tahun (2005-2007) disajikan pada Tabel 3.4.
Tabel 3.4 Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk WS BUP
No Kabupaten/
2293,42 1804,713 1859,680 1909,705 2,87
2 Kabupaten
1721,71 1682,966 1704,209 1706,319 0,69
5 Kota Medan 270,25 2527,653 2537,995 2602,493 1,48
6215,66 6903,594 7004,249 7129,007 1,62
Total Propinsi Sumatera Utara
71680,68 12326,678 12643,494 12834,371 2,04
Sumber: BWS Sumatera II
Dari Tabel 3.4 diketahui kabupaten/kota dengan laju pertumbuhan tertinggi terjadi di Kabupaten Deli Serdang yaitu sebesar 2,87% per tahun. Proporsi penduduk dan persebaran kepadatan penduduk di kabupaten dan kota di WS BUP dapat dilihat pada Tabel 3.5.
No Kabupaten/Kota Luas (Km2)
Jumlah Penduduk (Jiwa) %/thn
2005 2006 2007
Jumlah 5641,93 2692,975 2762,046 2820,195
Persentase 90,77 42 43 44
Kota
1 Medan 270,25 2527,653 2537,995 2602,493 0,69
2 Tebing Tinggi 303,48 21,134 21,289 21,445 1,48
Jumlah 573,73 4210,619 4242,204 4308,812
Persentase 9,23 61 61 60
Total WS BUP Administratif
6215,66 6903,594 7004,249 7129,007 8,18
Total Propinsi Sumatera Utara
71680,68 12326,678 12643,494 12843,371 2,04
Sumber: BWS Sumatera II
Sedangkan kepadatan dan persebaran penduduk di WS BUP adalah seperti pada Tabel 3.6.
Tabel 3.6 Kepadatan dan Persebaran Penduduk di WS BUP Tahun 2007
No Kabupaten/Kota Luas
(Km2)
2 Kabupaten Serdang
Bedagai
Sumber: BWS Sumatera II
paling rendah adalah di Kabupaten Karo yaitu sebesar 167 jiwa/km2. Struktur usia penduduk kabupaten/kota di WS BUP tahun 2007 dapat dilihat pada Tabel 3.7.
Tabel 3.7 Struktur Usia Penduduk Kabupaten/Kota di WS BUP Tahun 2007
No Kabupaten
Kota
Jumlah Penduduk Menurut Usia (Jiwa) Rasio
Beban
Total 1.686.500 5.105.917 336.590 7.129.007 39,62
Sumber: BWS Sumatera II
III.1.1.3 Klimatologi
Data klimatologi meliputi data kelembaban udara, kecepatan angin, lama penyinaran sinar matahari, suhu, dan lain-lain.
WS BUP berada di kawasan Sumatera Utara dengan temperatur tertinggi di bulan Agustus sebesar 36°C dan terendah di bulan Februari sebesar 20.6°C, dengan kelembaban 81% - 89%. Tutupan awan akibat mendung paling banyak terjadi di bulan Januari dan bulan Nopember, yang ditandai rata-rata lama penyinaran matahari masing-masing sebesar 20% dan 38%. Kecepatan angin tertinggi di WS BUP adalah sekitar 2,2 m/detik pada bulan Maret dan terendah 0,40 m/detik pada bulan Oktober.
Nopember sampai April, dan musim kemarau terjadi antara bulan Mei sampai Oktober. Adapun curah hujan yang terjadi memiliki variasi yang cukup signifikan.
III.1.2 Kondisi DAS Ular
Sungai Ular bermuara di Selat Malaka pada posisi 30 km di sebelah timur kota Medan, melintasi 3 kabupaten yaitu Kabupaten Simalungun, Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Serdang bedagai. DAS Ular berada pada 2º95’’ LU - 3º30’’ LU dan 98º55’’ BT - 98º55’’ BT. Panjang Sungai Ular sekitar 115 km dengan DAS seluas 1.234,14 km2. Kemiringan dasar sungai berkisar antara 1/600 sampai dengan 1/1200 dengan daya tampung sebesar 200 m3/det sampai dengan 600 m3/det.
DAS Ular mempunyai 2 (dua) Sub DAS antara Lain : Ular dan Baru. DAS Ular mempunyal 16 sungai/anak sungai seperti yang terdapat pada Tabel 3.8.
Tabel 3.8 Anak-Anak Sungai DAS Ular
No Nama Sungai Panjang (km) No Nama Sungai Panjang (km)
Sumber: BWS Sumatera II
Anak-anak sungai tersebut melintasi beberapa wilayah kabupaten DAS Ular seperti Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Simalungun, dan Kabupaten Serdang Bedagai. Luas daerah tangkapan hujan DAS Ular mencapai 1.234,136 km2 atau sekitar 19,86% dari total Luas WS BUP. Pembagian wilayah administratif DAS Ular dapat dilihat pada Tabel 3.9.