LEKSIKON NOMINA BAHASA GAYO DALAM LINGKUNGAN
KEDANAUAN LUT TAWAR: KAJIAN EKOLINGUISTIK
TESIS
Oleh
DEWI SUKHRANI
087009024/LNG
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
LEKSIKON NOMINA BAHASA GAYO DALAM LINGKUNGAN
KEDANAUAN LUT TAWAR: KAJIAN EKOLINGUISTIK
TESIS
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar
Magister Humaniora dalam Program Studi Linguistik pada Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
DEWI SUKHRANI
087009024/LNG
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : LEKSIKON NOMINA BAHASA GAYO DALAM LINGKUNGAN KEDANAUAN LUT TAWAR: KAJIAN EKOLINGUISTIK
Nama Mahasiswa : Dewi Sukhrani
Nomor Pokok : 087009024
Program Studi : Linguistik
Menyetujui Komisi Pembimbing,
(Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D.) (Dr. Dwi Widayati, M.Hum.)
Ketua Anggota
Ketua Program Studi, Direktur,
(Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D.) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc.)
Telah diuji pada
Tanggal 30 Juli 2010
_____________________________________________________________________
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D.
Anggota : 1. Dr. Dwi Widayati, M.Hum.
2. Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D.
ABSTRACT
This thesis investigates the nominal lexicon of the Gayo language concerning Lake Lut Tawar and the ecology of the lake through the ecolinguistic point of view. Specifically, it attempts to describe the level of comprehension of the native speakers of Gayo on the lake-related nominal lexicon and language defense (which includes language shift) of Gayo language. Data of nominal lexicon collected by ways of written documents, nonparticipant observation, and indepth interview guide. Thereafter, the data is reduced and classified based on its ecosystem and kind. Then, the test is conducted upon 72 informants resident around the lake, aging between 15 to 46 and above. The test result demonstrated (1) in each subdistrict and age group there is a different level of comprehension concerning nominal lexicon mastery, which correlates with (a) the difference of the lake-nature contour, (b) the development of communal area, (c) the pragmatic way of live, and (d) biota introduction; (2) 80.6 % of Gayonese speech community still know and vocalize nominal lexicon orienting the lake; (3) the high rate of lexical defense is caused by (a) biodiversity of the lake ecology, (b) the intense community interaction with the entity that characterized the lake ecology, and (c) the speaker’s highest awareness of using Gayo language in daily occasion.
Key words: ecolinguistics, nominal lexicon, lake ecology, level of comprehension
ABSTRAK
Penelitian ini mengungkap keberadaan leksikon nomina bahasa Gayo dan lingkungan ragawi Lut Tawar melalui perspektif ekolinguistik, Beberapa hal yang menjadi tujuan dalam penelitian ini, yaitu mendeskripsikan tingkat pemahaman leksikon nomina guyub tutur bahasa Gayo yang berhubungan dengan lingkungan ragawi Lut Tawar saat ini dan menjelaskan dinamika lingkungan ragawi Lut Tawar, kebertahanan, dan pergeseran leksikon nomina bahasa Gayo di lingkungan Lut Tawar. Pengumpulan data leksikon nomina bahasa Gayo dilakukan melalui dokumen tertulis, observasi nonpartisipan, dan wawancara mendalam. Data yang sudah terkumpul kemudian direduksi dan dikategorikan berdasarkan tempat hidup dan jenisnya. Pengumpulan data leksikon kemudian dilanjutkan dengan pengujian data kepada 72 informan Gayo yang tinggal di empat kecamatan sekeliling Lut Tawar dengan rentang usia 15-46 ke atas. Dari hasil pengujian terungkap gambaran (1) pada tiap kecamatan dan kelompok usia terjadi perbedaan tingkat pemahaman nomina kedanauan yang berkaitan dengan (a) perbedaan kontur alam danau, (b) perluasan kota, (c) pola hidup praktis dan instan dengan munculnya alat-alat modern, (d) introdusi biota dari luar, (2) 80,6% penutur Gayo masih mengenal dan menggunakan leksikon nomina bahasa Gayo dalam lingkungan kedanauan Lut Tawar dalam berkomunikasi, (3) faktor-faktor penyebab kebertahanan leksikon nomina tersebut adalah (a) biodiversitas lingkungan sekitar danau; (b) penutur dari masing-masing kelompok usia masih berinteraksi dengan lingkungan ragawi yang beragam; dan (c) penutur dari masing-masing kelompok usia masih sering berbahasa Gayo dalam keseharian.
Kata kunci: ekolinguistik, leksikon nomina, ekologi danau, tingkat pemahaman
ABSTRAK
Perubahan lingkungan ragawi Lut Tawar, Takengon, diduga memengaruhi khazanah nomina kedanauan bahasa Gayo penutur pria dan wanita yang tinggal di empat kecamatan sekitar danau, di masing-masing kecamatan sekitar danau, dan pada tiga kelompok usia, yaitu di atas 46 tahun, 21-45 tahun, dan 15-20 tahun. Pengaruh ini dapat diungkap melalui perspektif ekolinguistik menggunakan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data dilakukan melalui dokumen tertulis, observasi nonpartisipan, dan wawancara mendalam. Data kemudian dikelompokkan, digambarkan secara holistik, dianalisis secara kualitatif, dan dinterpretasikan sesuai pandangan informan. Dari hasil pengujian terungkap gambaran terjadi perbedaan tingkat pemahaman nomina kedanauan pada tiap kecamatan dan kelompok usia. Pada kelompok usia di atas 46 tahun pemahamannya masih tinggi, lalu menurun pada kelompok usia 21-45 tahun, hingga tergolong rendah pada kelompok usia 15-20 tahun. Perbedaan pemahaman tersebut berkaitan dengan (1) perbedaan kontur alam danau, (2) perluasan kota, (3) pola hidup praktis dan instan dengan munculnya alat-alat modern, (4) introdusi biota dari luar. Namun demikian, leksikon nomina bahasa Gayo dalam lingkungan kedanauan Lut Tawar masih dikenal dan digunakan oleh 80,6% penutur Gayo dalam berkomunikasi. Beberapa faktor penyebab kebertahanan leksikon nomina tersebut adalah (1) biodiversitas lingkungan sekitar danau; (2) penutur dari masing-masing kelompok usia masih berinteraksi dengan lingkungan ragawi yang beragam; dan (3) penutur dari masing-masing kelompok usia masih sering berbahasa Gayo dalam keseharian.
Kata kunci: ekolinguistik, leksikon nomina, ekologi danau, tingkat pemahaman
ABSTRACT
This thesis investigates the nominal lexicon of the Gayo language concerning Lake Lut Tawar and the ecology of the lake through the ecolinguistic point of view. Specifically, it attempts to describe the level of comprehension of the native speakers of Gayo on the lake-related nominal lexicon and language defense (which includes language shift) of Gayo language. Data of nominal lexicon collected by ways of written documents, nonparticipant observation, and indepth interview guide. Thereafter, the data is reduced and classified based on its ecosystem and kind. Then, the test is conducted upon 72 informants resident around the lake, aging between 15 to 46 and above. The test result demonstrated (1) in each subdistrict and age group there is a different level of comprehension concerning nominal lexicon mastery, which correlates with (a) the difference of the lake-nature contour, (b) the development of communal area, (c) the pragmatic way of live, and (d) biota introduction; (2) 80.6 % of Gayonese speech community still know and vocalize nominal lexicon orienting the lake; (3) the high rate of lexical defense is caused by (a) biodiversity of the lake ecology, (b) the intense community interaction with the entity that characterized the lake ecology, and (c) the speaker’s highest awareness of using Gayo language in daily occasion.
Key words: ecolinguistics, nominal lexicon, lake ecology, level of comprehension
KATA PENGANTAR
Diawali ungkapan rasa syukur ke hadirat Allah SWT, atas rahmat-Nya,
terutama dalam memberi kesempatan, kesehatan, dan keselamatan sehingga penulis
dapat menyelesaikan penelitian tentang Leksikon Nomina Bahasa Gayo dalam
Lingkungan Kedanauan Lut Tawar: Kajian Ekolinguistik. Penelitian ini dilakukan
sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan pendidikan pada
Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Dari
hasil penelitian ini diharapkan pembaca dapat memperoleh gambaran mengenai
pemahaman penutur Gayo terhadap leksikon nomina bahasa Gayo dalam lingkungan
kedanauan Lut Tawar.
Ekolinguistik sebagai salah satu cabang ilmu bahasa, merupakan naungan bagi
semua penelitian mengenai bahasa yang ditautkan dengan ekologi.
Penelitian-penelitian dalam ranah Ekolinguistik memiliki bidang cakupan yang luas dan cukup
menantang. Di samping itu, hasil kajian Ekolinguistik memberikan kontribusi yang
nyata bagi konservasi bahasa dan lingkungan.
Akhirnya, pepatah mengatakan, tak ada gading yang tak retak, tak ada manusia
yang sempurna. Tesis ini pun tidak lepas dari aneka kesalahan dan
kekurangsempurnaan. Karena itu, semua tegur sapa dan sumbang saran yang sifatnya
membangun, akan selalu penulis terima dengan hati yang terbuka.
Medan, Juli 2010
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ………. i
ABSTRACT ………. ii
KATA PENGANTAR ………... iii
UCAPAN TERIMA KASIH ……….. iv
RIWAYAT HIDUP ………. vii
DAFTAR ISI ……….. viii
DAFTAR TABEL ……….. xi
DAFTAR BAGAN ……… xv
DAFTAR GAMBAR ………. xvi
DAFTAR LAMPIRAN ……….. xvii
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG ……….. xviii
BAB I PENDAHULUAN ……….. 1
1.1 Latar Belakang ………... 1
1.2 Rumusan Masalah ………... 7
1.3 Tujuan Penelitian ………. 7
1.4 Manfaat Penelitian ………... 8
1.4.1 Manfaat Teoretis ………... 8
1.4.2 Manfaat Praktis ……… 8
1.5 Penjelasan Istilah ………. 9
BAB II KAJIAN PUSTAKA
………..
2.1 Pendahuluan ………... 11
2.2 Landasan Teori ………... 12
2.2.1 Teori Ekolinguistik ………... 12
2.2.2 Teori Sosiolinguistik ………... 18
2.2.2.1 Pergeseran dan pemertahanan bahasa ………. 18
2.2.3 Leksikon ………... 20
2.2.4 Semantik Leksikal ………... 22
2.2.4.1 Kata benda ……….. 23
2.3 Kajian Hasil-Hasil Penelitian yang Relevan ………... 25
BAB III METODE PENELITIAN ……….. 31
3. 1 Lokasi dan Waktu Penelitian ………. 31
3.2 Pendekatan dan Metode ……….………... 31
3.3 Sumber Data ………... 32
3.4 Pengumpulan Data ………. 32
3.5 Pengujian Data ………... 34
3.6 Analisis Data ……….. 37
3.7 Pengecekan Keabsahan Penelitian ………. 38
BAB IV GAMBARAN UMUM LUT TAWAR ……… 39
BAB V TINGKAT PEMAHAMAN DAN TEMUAN ………... 46
5.1 Gambaran Tingkat Pemahaman Nomina Kedanauan Lut Tawar ……... 47
5.1.1 Pemahaman tumbuhan di dasar danau ………... 47
5.1.2 Pemahaman tumbuhan dalam danau yang akarnya terapung ... 49
5.1.3 Pemahaman tumbuhan di lingkungan danau ……… 52
5.1.4 Pemahaman ikan dan hewan di dalam danau dan alirannya … 61 5.1.5 Pemahaman burung di lingkungan danau ………... 67
5.1.6 Pemahaman hewan di lingkungan danau ……….. 71
5.1.7 Pemahaman padi di lingkungan danau ………... 75
5.1.8 Pemahaman benda mati di dalam dan lingkungan danau ... 76
5.1.9 Pemahaman alat penangkap ikan tradisional di lingkungan danau ………... 78 5.1.10 Pemahaman alat pembesaran dan penggemukan ikan danau di lingkungan danau ………. 81 5.2 Tabel Rangkuman Tingkat Pemahaman Nomina Kedanauan Lut Tawar 83
5.3 Tabel Kebertahanan Leksikon Nomin Bahasa Gayo Berdasarkan
BAB VI KEBERTAHANAN BAHASA GAYO DAN BUDAYA GAYO
SERTA KELESTARIAN LINGKUNGAN LUT TAWAR .………...
89
6.1 Perilaku Konservatif Guyub Tutur terhadap Lingkungan Ragawi …… 89
6.2 Ketahanan Penggunaan Teknologi Tradisional yang Ramah Lingkungan ……… 93 6.3 Hubungan Kosmologi Kedanauan yang Harmoni ………. 95
6.4 Beberapa Gejala Perubahan Bahasa Gayo dalam Kaitan dengan Perubahan Lingkungan ………. 99
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ……….. 107
7.1 Simpulan ……… 107
7.2 Saran ………. 108
ABSTRACT
This thesis investigates the nominal lexicon of the Gayo language concerning Lake Lut Tawar and the ecology of the lake through the ecolinguistic point of view. Specifically, it attempts to describe the level of comprehension of the native speakers of Gayo on the lake-related nominal lexicon and language defense (which includes language shift) of Gayo language. Data of nominal lexicon collected by ways of written documents, nonparticipant observation, and indepth interview guide. Thereafter, the data is reduced and classified based on its ecosystem and kind. Then, the test is conducted upon 72 informants resident around the lake, aging between 15 to 46 and above. The test result demonstrated (1) in each subdistrict and age group there is a different level of comprehension concerning nominal lexicon mastery, which correlates with (a) the difference of the lake-nature contour, (b) the development of communal area, (c) the pragmatic way of live, and (d) biota introduction; (2) 80.6 % of Gayonese speech community still know and vocalize nominal lexicon orienting the lake; (3) the high rate of lexical defense is caused by (a) biodiversity of the lake ecology, (b) the intense community interaction with the entity that characterized the lake ecology, and (c) the speaker’s highest awareness of using Gayo language in daily occasion.
Key words: ecolinguistics, nominal lexicon, lake ecology, level of comprehension
ABSTRAK
Penelitian ini mengungkap keberadaan leksikon nomina bahasa Gayo dan lingkungan ragawi Lut Tawar melalui perspektif ekolinguistik, Beberapa hal yang menjadi tujuan dalam penelitian ini, yaitu mendeskripsikan tingkat pemahaman leksikon nomina guyub tutur bahasa Gayo yang berhubungan dengan lingkungan ragawi Lut Tawar saat ini dan menjelaskan dinamika lingkungan ragawi Lut Tawar, kebertahanan, dan pergeseran leksikon nomina bahasa Gayo di lingkungan Lut Tawar. Pengumpulan data leksikon nomina bahasa Gayo dilakukan melalui dokumen tertulis, observasi nonpartisipan, dan wawancara mendalam. Data yang sudah terkumpul kemudian direduksi dan dikategorikan berdasarkan tempat hidup dan jenisnya. Pengumpulan data leksikon kemudian dilanjutkan dengan pengujian data kepada 72 informan Gayo yang tinggal di empat kecamatan sekeliling Lut Tawar dengan rentang usia 15-46 ke atas. Dari hasil pengujian terungkap gambaran (1) pada tiap kecamatan dan kelompok usia terjadi perbedaan tingkat pemahaman nomina kedanauan yang berkaitan dengan (a) perbedaan kontur alam danau, (b) perluasan kota, (c) pola hidup praktis dan instan dengan munculnya alat-alat modern, (d) introdusi biota dari luar, (2) 80,6% penutur Gayo masih mengenal dan menggunakan leksikon nomina bahasa Gayo dalam lingkungan kedanauan Lut Tawar dalam berkomunikasi, (3) faktor-faktor penyebab kebertahanan leksikon nomina tersebut adalah (a) biodiversitas lingkungan sekitar danau; (b) penutur dari masing-masing kelompok usia masih berinteraksi dengan lingkungan ragawi yang beragam; dan (c) penutur dari masing-masing kelompok usia masih sering berbahasa Gayo dalam keseharian.
Kata kunci: ekolinguistik, leksikon nomina, ekologi danau, tingkat pemahaman
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kata Gayo mengacu pada nama dataran tinggi di Provinsi Aceh, nama suku
yang bermukim di dataran tinggi tersebut, dan nama bahasa yang digunakan suku
tersebut. Jadi, dapat dikatakan Dataran Tinggi Gayo ditempati Suku Gayo yang
berkomunikasi menggunakan bahasa Gayo. Dataran tinggi Gayo merupakan bagian
Bukit Barisan yang membentang sepanjang pulau Sumatera. Menurut silsilah
kekerabatan, bahasa Gayo termasuk subkelompok Bahasa Melayu Polinesia Barat
dalam rumpun Bahasa Austronesia (Bellwood, 2000:153).
Berdasarkan pembagian wilayah kabupaten, bahasa Gayo memiliki tiga dialek
(Dardanila, 2004:2). Bahasa Gayo Dialek Gayo Lut dipakai oleh Suku Gayo yang
mendiami Kabupaten Aceh Tengah. Bahasa Gayo Dialek Gayo Lues dipergunakan di
Kabupaten Aceh Tenggara. Bahasa Gayo Dialek Serbejadi dipergunakan di
Kabupaten Aceh Timur. Bahasa Gayo Dialek Gayo Lut inilah yang dijadikan sebagai
objek kajian dalam penelitian ini, karena berada dalam lingkungan Lut Tawar.
Seperti halnya bahasa Indonesia, bahasa-bahasa daerah juga mempunyai
kedudukan dan fungsi yang tidak kalah pentingnya dengan kedudukan dan fungsi
melihat kedudukan bahasa daerah digunakan dua sudut pandang. Pertama, bahasa
daerah sebagai komunikasi bagi para penutur yang berasal dari kelompok etnik yang
sama. Kedua, bahasa daerah dalam kaitannya dengan bahasa Indonesia. Menurut
beliau dari point pertama bahasa daerah memiliki lima fungsi, yaitu
1) bahasa daerah sebagai lambang kebanggaan daerah;
2) bahasa daerah sebagai lambang identitas daerah;
3) bahasa daerah sebagai alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah;
4) bahasa daerah sebagai sarana pendukung kebudayaan daerah; dan
5) bahasa daerah sebagai pendukung bahasa dan sastra daerah.
Dari sudut pandang kedua, yaitu hubungan antara bahasa daerah dan bahasa Indonesia,
ada empat fungsi yang diemban oleh bahasa daerah, yaitu
1) bahasa daerah sebagai pendukung bahasa nasional;
2) bahasa daerah sebagai bahasa pengantar pada tingkat permulaan sekolah dasar;
3) bahasa daerah sebagai sumber kebahasaan untuk memperkaya bahasa Indonesia;
4) bahasa daerah sebagai pelengkap bahasa Indonesia di dalam penyelenggaraan
pemerintah daerah.
Berdasarkan kedua perspektif itu bahasa Gayo berfungsi sebagai: (1) lambang
identitas masyarakat Gayo, (2) lambang kebanggaan masyarakat Gayo, (3) alat
komunikasi dalam keluarga dan masyarakat lokal Gayo, (4) pengungkap pikiran, dan
kehendak para warga Gayo, (5) pendukung kebudayaan Gayo yang meliputi bidang
kesenian, adat-istiadat, agama, dan lain sebagainya, dan (6) pilar penyangga
bahasa Gayo sesuai dengan fungsi dan kedudukannya selaku bahasa daerah yang dapat
memperkaya khazanah bahasa Nasional.
Sebagian besar penutur bahasa Gayo bermukim di Kabupaten Aceh Tengah,
selebihnya di Kabupaten Bener Meriah, dan di Kabupaten Gayo Lues. Banyaknya
jumlah penutur bahasa Gayo tidak menjamin bahasa ini dapat bertahan dari ancaman
kepunahan. Alasannya, untuk tetap bertahan hidup, sebagaimana dinyatakan oleh
Saussure dan Barker dalam Mbete (2009:4,6), bahasa itu harus kokoh berada dalam
kognisi penuturnya dan harus digunakan secara lebih sering dan mendalam dalam
kehidupan sosial budaya masyarakatnya.
Sebagaimana layaknya sesuatu yang hidup di bumi ini, sosok bahasa terbukti
juga dapat berkembang, terus berubah, dan bergeser tanpa henti dari waktu ke waktu
(Rahardi, 2006:69). Bukti dari perubahan dan pergeseran bahasa yang paling
gampang dilihat dan dicermati oleh siapapun adalah pada aspek leksikon bahasa yang
bersangkutan. Perubahan dan pergeseran di dalam jumlah leksikon sebuah bahasa
dapat terjadi karena ada penambahan, pengurangan, atau mungkin malah
penghilangan. Kenyataan yang terjadi pada bahasa Gayo, terungkap fakta belakangan
ini ada kekhawatiran terjadi erosi atau berkurangnya penggunaan bahasa Gayo oleh
generasi muda, yang ditandai dengan semakin banyaknya leksikon Gayo yang tidak
lagi diucapkan (Saleh dalam Mustafa, 2009:1). Walaupun bahasa Gayo digunakan,
terbatas hanya untuk berkomunikasi dalam komunitas tersebut dan tidak digunakan
Bahasa memang selalu berubah, mengarah ke arah yang tidak bisa ditentukan.
Ia dipengaruhi ide-ide dan tantangan lingkungan. Dalam lingkup kajian ekolinguistik
dinyatakan bahwa bahasa merekam kondisi lingkungan ragawi dan sosial; perangkat
leksikon menunjukkan adanya hubungan simbolik verbal antara guyub tutur dengan
lingkungannya, dengan flora dan fauna, termasuk anasir-anasir alamiah lainnya (Sapir
dalam Fill dan Muhlhauster, 2001:14). Keberagaman leksikon kekhasan daerah
menandakan lingkungan ragawi yang terjaga kelestariannya. Lingkungan ragawi
Dataran Tinggi Gayo yang meliputi gunung, bukit, hutan pinus, danau dan sungai
dengan keanekaragaman hayatinya menyumbang kekayaan leksikon pada bahasa
Gayo. Kekayaan sumber daya hayati ini mempengaruhi mata pencaharian sebagian
besar masyarakat Gayo. Data pokok Kabupaten Aceh Tengah mengungkap sekitar
80% masyarakat Gayo yang tinggal di sekitar Lut Tawar hidup dari menangkap ikan,
bertani, berkebun, dan beternak. Profesi masyarakat sekitar danau turut
menginventarisasikan leksikon kedanauan yang mereka miliki dan akrabi ke dalam
bahasa Gayo.
Istilah kedanauan dalam penelitian ini berkaitan dengan danau (Lut Tawar),
baik isinya dengan biodiversitasnya, keadaannya, maupun persepsi tentang danau di
kalangan masyarakat di lingkungan danau itu. Disebabkan hampir semua informan
yang diwawancarai menyatakan bahwa bahasa Gayo tidak memiliki istilah untuk kata
kedanauan, istilah ini diadaptasi dari bahasa Indonesia.
Secara umum, kondisi lingkungan ragawi Lut Tawar cenderung dipengaruhi
pertambahan penduduk. Ciri khas lingkungan ragawi Lut Tawar yang semula hijau
dan asri kini mulai luntur, digantikan dengan pemandangan sebagian lereng bukit dan
tepian danau yang terlihat agak gersang akibat perambahan. Di bibir danau, terlihat
banyak berdiri bangunan-bangunan semen, dan keramba. Perubahan lingkungan itu
berdampak pada penurunan permukaan air danau dan kenaikan temperatur air danau
(dinginnya suhu udara sekitar danau dirasakan masyarakat sekitar danau berkurang
belakangan ini). Selain itu, di beberapa tempat, dasar danau sekitar pemukiman
penduduk dipenuhi ghost net ‘jaring-jaring untuk menangkap ikan biasanya berada di
kedalaman 5-12 meter lebih’, sisa bahan organik (pelet), pestisida, dan sampah rumah
tangga. Degradasi lingkungan sekitar danau dapat memusnahkan kehidupan biota di
sekitar dan di dalam danau, yang pada akhirnya berdampak pada kehidupan
masyarakatnya. Padahal keberadaan biota tertentu bisa menjadi indikator kondisi
suatu lingkungan dan bahasa. Dari segi lingkungan, dalam sebuah artikel di harian
Kompas (2010:13) dinyatakan bahwa keberadaan capung dan lebah sekarang hampir
punah, “padahal capung menjadi salah satu indikator adanya kualitas air bersih, dan
lebah bisa meningkatkan penyerbukan hingga bisa panen tiga kali lipat.” Selain itu,
ditemukannya ikan sapu-sapu di danau merupakan indikasi air danau tercemar
(Munawardi, 2010). Terkait dengan degradasi lingkungan danau, masyarakat sekitar
Lut Tawar pada akhirnya nanti tidak akan lagi menemukan jenis-jenis flora dan fauna
yang bermanfaat bagi kelangsungan hidup mereka. Satu demi satu leksikon flora dan
fauna tersebut akan hilang dengan sendirinya dari bahasa mereka (bahasa Gayo),
keadaan itulah terjadi gangguan pada proses transmisi bahasa Gayo antar generasi.
Akibatnya generasi berikutnya tidak lagi menggunakan leksikon-leksikon kedaerahan
yang bertautan dengan lingkungan ragawi mereka karena referennya sudah tidak dapat
lagi ditemukan. Melihat kenyataan yang ada di lingkungan danau tersebut, tidaklah
salah “kalau kita dituding tidak pintar menjaga keanekaragaman hayati,” (Tunggal,
2010:14).
Sebagaimana telah diungkap sebelumnya (lihat hal. 5), masalah degradasi
lingkungan Lut Tawar lambat laun akan mengikis kelangsungan hidup bahasa Gayo
khususnya pada tataran leksikon, misalnya, leksikon mengenai pengetahuan
lingkungan lokal sekitar Lut Tawar yang beragam. Dilatarbelakangi gejala perubahan
lingkungan ragawi Lut Tawar yang mulai memprihatinkan, dalam penelitian ini
peneliti mengungkap keberadaan leksikon bahasa Gayo dalam lingkungan kedanauan
Lut Tawar melalui perspektif ekolinguistik, yaitu mengkaji hubungan timbal balik
bahasa dan ekologi (lingkungan ragawi dan sosial budaya). Meskipun demikian,
penelitian ini dibatasi hanya pada perangkat leksikon nomina bahasa Gayo dan
lingkungan ragawi Lut Tawar.
Terlepas dari pengaruh lingkungan lokal bahasa Gayo, asumsi dasar dalam
penelitian ini adalah erosi pada bahasa tersebut disebabkan semakin kuatnya dominasi
bahasa Indonesia pada pemakaian bahasa daerah dalam sejumlah ranah; bahkan
sebagai tuntutan hidup yang mengglobal, generasi muda dituntut untuk menguasai
bahasa-bahasa asing. Dominasi kedua bahasa itu menyudutkan dan meminggirkan
Mustafa (2009), bahwa “Tahun 1951 ke bawah, rumah tangga di Gayo masih
menggunakan bahasa Gayo. Tapi sekarang sudah digantikan bahasa Indonesia.”
1.2 Rumusan Masalah
Masalah pokok yang akan dijawab dalam penelitian yang berkaitan dengan
leksikon bahasa Gayo dalam lingkungan kedanauan Lut Tawar, mencakup:
1. Bagaimanakah gambaran tentang pemahaman leksikon nomina guyub tutur
bahasa Gayo yang berhubungan dengan lingkungan ragawi Lut Tawar saat ini?
2. Bagaimanakah kebertahanan bahasa Gayo dan budaya Gayo serta kelestarian
lingkungan Lut Tawar?
1.3 Tujuan Penelitian
Menurut rumusan masalah di atas, berikut beberapa hal yang menjadi tujuan
dalam penelitian ini, yaitu
1. mendeskripsikan tingkat pemahaman leksikon nomina guyub tutur bahasa
Gayo yang berhubungan dengan lingkungan ragawi Lut Tawar saat ini;
2. menjelaskan kebertahanan bahasa Gayo dan budaya Gayo serta kelestarian
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoretis
Temuan penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan bagi khazanah ilmu
bahasa, linguistik, khususnya ekolinguistik. Temuan-temuan dalam penelitian ini
selanjutnya diharapkan menimbulkan inspirasi bagi peminat bahasa untuk meneliti
lebih lanjut mengenai kondisi bahasa Gayo dalam lingkungan kedanauan Lut Tawar.
1.4.2 Manfaat Praktis
Pengetahuan mengenai kondisi dan peranan bahasa Gayo dikaitkan dengan
kondisi alam sekitar Lut Tawar dapat membendung desakan kepunahan bahasa Gayo
dan kerusakan lingkungan kedanauan. Berdasarkan informasi tersebut ancaman
kepunahan bahasa dan kerusakan ekosistem kedanauan dapat dicegah lebih dini.
Perangkat leksikon ‘kedanauan’ Lut Tawar memberikan informasi tentang
kehidupan dan penghidupan guyub tutur bahasa Gayo khususnya yang mendiami
lingkungan danau tersebut. Pengetahuan atau tingkat pengetahuan tentang kondisi,
keberadaan, dan sumber daya danau dalam arti luas antara generasi muda dan generasi
tua bermanfaat dalam usaha memelihara lingkungan kedanauan Lut Tawar. Hasil
penelitian ini diupayakan agar ada manfaat praktis, yaitu
1) adanya pemahaman masyarakat bahasa Gayo di sekitar danau tentang kondisi
2) diterbitkannya khazanah leksikon khususnya nomina kedanauan Lut Tawar
sebagai ‘Kamus Kecil’ yang dapat dipakai oleh generasi muda. Dengan
demikian, generasi muda dapat memanfaatkannya dalam kerangka pendidikan
lingkungan sehingga tumbuh rasa cinta pada lingkungan kedanauan.
1.5 Penjelasan Istilah
Istilah-istilah yang muncul pada tulisan ini ada kalanya mempunyai makna
yang berbeda dengan bidang ilmu di luar linguistik. Oleh karena itu, penjelasan istilah
pada penelitian ini dimaksudkan agar terciptanya persamaan persepsi mengenai istilah
yang digunakan. Istilah-istilah dalam penelitian ini ditinjau berdasarkan konsep
ekolinguistik. Berikut beberapa istilah itu:
1) Bahasa Gayo merupakan bahasa yang digunakan oleh suku Gayo yang mayoritas
bermukim di dataran tinggi Gayo, Provinsi Aceh. Kendatipun demikian, penutur
dari suku lain yang ada di tanah Gayo juga menggunakan bahasa Gayo dalam
berkomunikasi.
2) Ekolinguistik adalah ilmu bahasa yang interdisipliner, yang menyandingkan
ekologi dan linguistik. Melalui bidang ilmu ini, pengaruh kerusakan dan
kemerosotan lingkungan atau juga kebertahanan dan kelestarian leksikon dan alam
(ragawi dan sosio-kultural) terhadap lumpuhnya infrastruktur komunikatif (bahasa)
diteliti. Dari segi bahasa, hal-hal yang dapat diteliti meliputi tataran fonologi,
3) Ekologi adalah ilmu tentang hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan
(kondisi) alam sekitarnya (lingkungannya) atau kajian saling ketergantungan
dalam suatu sistem. Ekologi manusia berbeda dengan ekologi makhluk hidup
lainnya, karena manusia memiliki budaya dalam suatu ekosistem.
4) Kedanauan adalah alam danau, juga semua hal, khususnya pemahaman secara
kognisi tentang biota dan atau unsur-unsur alami secara leksikal dengan makna
dasarnya.
5) Leksikon adalah kosakata atau kekayaan kata yang dimiliki oleh suatu bahasa.
6) Lingkungan kedanauan mengimplikasikan kondisi alam dan biota di dalam dan
sekitar danau. Tiap kecamatan berbeda kontur alamnya, ada yang landai, curam,
berawa, dan berpasir. Agak ke atas, Lut Tawar dikelilingi perbukitan yang
ditumbuhi hutan pinus. Batas lingkungan kedanauan dalam penelitian ini berkisar
satu km dari tepi danau.
7) Tepi danau merupakan batas pasang tertinggi pinggir air danau sewaktu musim
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pendahuluan
Penelitian ini bertitik tolak dari perspektif ekolinguistik. Menurut Mbete
(2009:2), “dalam perspektif ekolinguistik, bahasa dan komunitas penuturnya
dipandang sebagai organisme yang hidup secara bersistem dalam suatu kehidupan,
bersama organisme-organisme lainnya.” Teori-teori yang digunakan dalam penelitian
ini merupakan paduan teori linguistik dan ekologi, sebagaimana dinyatakan oleh Fill
(1993:126) dalam Lindø dan Simonsen (2000:40) bahwa ekolinguistik merupakan
sebuah payung bagi semua penelitian mengenai bahasa yang ditautkan dengan ekologi
”ecolinguistics is an umbrella term for ... all approaches in which the study of
language (and language) is in any way combined with ecology.” Sejumlah teori
linguistik yang digunakan dalam penelitian ini mencakup teori semantik,
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Teori Ekolinguistik
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, ekolinguistik mengkaji interaksi bahasa
dengan ekologinya. Dalam the Ecology of Language Shift, Mackey dalam Fill dan
Muhlhausler (2001:67) menjelaskan bahwa pada dasarnya ekologi merupakan kajian
saling ketergantungan dalam suatu sistem. Dalam ekologi bahasa, konsep ekologi
memadukan lingkungan, konservasi, interaksi, dan sistem dalam bahasa
(Fill,2001:43).
Lingkungan bahasa dalam ekolinguistik meliputi lingkungan ragawi dan sosial
(Sapir dalam Fill dan Muhlhausler, 2001:14). Lingkungan ragawi menyangkut
geografi yang terdiri atas fisik: topografi suatu negara (pesisir, lembah, daratan,
dataran tinggi, gunung), iklim, dan intensitas curah hujan, dasar ekonomis kehidupan
manusia yang terdiri dari fauna, flora, dan sumber-sumber mineral; sedangkan
lingkungan sosial terdiri atas berbagai kekuatan masyarakat yang membentuk pikiran
dan kehidupan setiap individu di antaranya: agama, etika, bentuk organisasi politik,
dan seni. Konservasi bahasa dalam lingkup ekolinguistik terinspirasi dari pemikiran
Haugenian bahwa upaya penyelamatan bahasa amat diperlukan karena kepunahan
bahasa begitu cepat dalam satu dasawarsa (Fill, 2001:44). Alasan perlunya upaya
penyelamatan bahasa juga dinyatakan oleh Sinar (2010:70) bahwa “banyak bahasa
daerah di Indonesia berada di ambang kritis, semakin sulit untuk “hidup,” bertahan,
lagi, dengan ancaman hegemoni dan dominasi beberapa bahasa internasional, regional
dan nasional, semakin mendesak bahasa-bahasa minoritas.”
Bertolak dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa kajian ekolinguistik
memiliki parameter yaitu interrelationships (interelasi bahasa dan lingkungan),
environment (lingkungan ragawi dan sosial budaya) and diversity (keberagaman
bahasa dan lingkungan) (Haugen dalam Fill dan Muhlhausler, 2001:1).
Haugen (1970), lihat Mbete (2009:11-12), menyatakan bahwa ekolinguistik
memiliki kaitan dengan sepuluh ruang kaji, yaitu
(1) linguistik historis komparatif;
(2) linguistik demografi;
(3) sosiolinguistik;
(4) dialinguistik;
(5) dialektologi;
(6) filologi;
(7) linguistik preskriptif;
(8) glotopolitik;
(9) etnolinguistik, linguistik antropologi ataupun linguistik kultural (cultural
linguistics); dan
(10) tipologi bahasa-bahasa di suatu lingkungan.
Berdasarkan pembagian Haugen tersebut, penelitian ini ada terkait dengan ruang kaji
Dalam lingkup kajian ekolinguistik, bahasa yang hidup dan digunakan
menggambarkan, mewakili, melukiskan (merepresentasikan secara simbolik-verbal)
realitas di lingkungan, baik lingkungan ragawi maupun lingkungan buatan manusia
(lingkungan sosial-budaya). Hal tersebut mengimplikasikan bahasa mengalami
perubahan seiring dengan perubahan lingkungan ragawi dan sosialnya, sebagaimana
dinyatakan Liebert (2001) dalam Mbete (2009:7) bahwa “… perubahan bahasa …
merepresentaikan perubahan ekologi.” Proses perubahan pada bahasa tersebut
berjalan secara bertahap dalam kurun waktu yang lama, tanpa disadari oleh
penuturnya, dan tidak dapat dihindari.
Perubahan pada bahasa itu tampak jelas teramati pada tataran leksikon.
Alasannya, kelengkapan leksikon dari suatu bahasa mencerminkan sebagian besar
karakter lingkungan ragawi dan karakteristik sosial serta budaya masyarakat
penuturnya. Sapir dalam Fill dan Muhlhausler (2001:14) menarik kesimpulan sebagai
berikut.
Sapir dalam Fill dan Muhlhausler (2001:2) juga menambahkan bahwa dalam lingkup
ekolinguistik, hubungan bahasa dan lingkungannya ada pada tataran leksikon saja,
bukan, misalnya, pada tataran fonologi atau morfologi ‘this interrelation exists merely
on the level of the vocabulary and not, for example, on that of phonology or
morphology.’
Pada tataran leksikon, dinamika dan perubahan bahasa dipengaruhi oleh tiga
dimensi (Lindø dan Bundegaard, 2000: 10-11), yakni
(a) dimensi ideologis, yaitu adanya ideologi atau adicita masyarakat misalnya
ideologi kapitalisme yang disangga pula dengan ideologi pasar sehingga perlu
dilakukan aktivitas terhadap sumber daya lingkungan, seperti muncul istilah dan
wacana eksploitasi, pertumbuhan, keuntungan secara ekonomis. Jadi ada upaya untuk
tetap mempertahankan, mengembangkan, dan membudidayakan jenis ikan atau
tumbuhan produktif tertentu yang bernilai ekonomi tinggi dan kuat,
(b) dimensi sosiologis, yakni adanya aktivitas wacana, dialog, dan diskursus
sosial untuk mewujudkan ideologi tersebut. Dalam dimensi ini bahasa merupakan
wujud praktis sosial yang bermakna, dan
(c) dimensi biologis, berkaitan dengan adanya diversifitas (keanekaragaman)
biota danau (atau laut, ataupun darat) secara berimbang dalam ekosistem, serta dengan
tingkat vitalitas spesies dan daya hidup yang berbeda antara satu dengan yang lain; ada
yang besar dan kuat sehingga mendominasi dan “menyantap” yang lemah dan kecil,
secara verbal terekam secara leksikon dalam khazanah kata setiap bahasa sehingga
entitas-entitas itu tertandakan, dan dipahami.
Sehubungan dengan dasar konsep dan teori di atas maka sejumlah segi yang
dapat dibedah dan dikaji di dalamnya mencakupi.
1. Leksikon-leksikon bermakna dan berfungsi referensial, yakni khazanah
leksikon yang referensi nyatanya dapat dilacak, dijejaki, dibuktikan secara
empirik atau kasat mata, karena dapat ditemukan di lapangan, atau juga kendati
masih diingat (dalam kognisi warga masyarakat di sekitarnya) oleh
penuturnya, baik tua maupun muda, namun sesungguhnya biota atau makhluk
hidup yang diwadahi dalam bahasa lokal itu, sudah terancam keberadaannya,
populasinya kian mengecil, bahkan ada yang sudah punah.
2. Secara kategori kelinguistikan, perangkat leksikon yang berkaitan dengan
lingkungan itu, khususnya lingkungan alam-danau atau kedanauan itu, (seperti
juga lingkungan kesultanan, kepurian, atau juga kepresidenan) sifat dan
karakternya jelas harus dipilah-pilah atau dikategorikan. Dengan demikian,
klasifikasi atau kategorisasi menjadi nomina (tatanama), verba, ajektiva, dapat
menjadi fokus kajian pula. Pasti ada nomina yang secara semantis tergolong
benda-benda mati tak bergerak (bebatuan, pasir, tanah liat), makhluk hidup
(non-insani), seperti nama-nama fauna, hewan/binatang dan tumbuhan (flora)
apa saja yang hidup di air danau a.l. ikan air tawar dalam bahasa lokal (Gayo)
dengan spesiesnya. Dikaji pula atau ditemukan pula, jika ada, nama-nama
hanya di danau atau yang khas danau tertentu. Demikian juga pasti cukup
banyak tanaman air tawar danau, juga dalam bahasa lokal yang harus
ditemukan, meskipun sebagiannya “tinggal ingatan” orang tua-tua, namun
sudah tidak ada lagi di danau itu.
3. Pertanyaan lebih kritis lagi dapat diajukan pula sebagai fokus kajian lebih
dalam yakni, mengapa sejumlah hewan air, tumbuhan air, yang menurut cerita
atau tuturan orang tua-tua itu, sudah tidak ada lagi dalam realita di lingkungan
danau itu? Selain penghilangan karena perburuan atau penangkapan,
pencemaran karena menggunakan racun atau bom misalnya, semuanya itu
dapat disingkap dalam kajian ini. Sebaliknya juga, apa saja yang tetap
terpelihara, sehingga populasi hewan air danau misalnya, atau juga tumbuhan
khas danau dan tepi danau tetap terjamin, perlu diungkapkan juga (nama-nama
latinnya juga perlu disertakan karena identifikasi dan klasifikasi biologis
universal sudah berlaku, (lihat Verheijen, 1991)).
4. Ungkapan-ungkapan, juga peribahasa, metafora-metafora, dan cerita-cerita
rakyat, dongeng, bahkan fabel (cerita binatang) tentang lingkungan tertentu,
adalah tanda adanya relasi mental manusia dengani lingkungan hidupnya yang
sudah hidup turun-temurun. Di baliknya atau di dalamnya kaya dengan
butir-butir makna tentang khazanah lingkungan.
5. Selain simbol-simbol verbal yang menggambarkan realitas kehidupan danau
dengan segala isinya yang tersingkap dalam bahasa setempat (semisal bahasa
mulut (tuturan) dan tangan (tulisan), khususnya dari bahasa Indonesia, atau
juga bahasa lainnya, perlu digali pula sebagai tanda hadirnya lingkungan
kebahasaan yang memang sudah beragam. Kata dan istilah dalam bahasa
Indonesia itu berkaitan dengan misalnya benih ikan atau tanaman air yang
dikembangkan dari luar dan tentunya memakai bahasa Indonesia atau bahasa
lain.
Dalam penelitian ekolinguistik yang pernah dilakukan oleh Mbete dan
Abdurahman (2009) terungkap dua hal. Pertama, sejumlah leksikon yang terekam
melalui proses konseptualisasi dalam pikiran penutur menjadi leksikon yang
fungsional untuk digunakan. Dengan kata lain, penutur bahasa, tidak akan
menggunakan leksikon yang tidak ada dalam konseptual mereka. Kedua, konsepsi
leksikal dalam alam pikiran penutur ini akan berubah sesuai dengan perubahan
lingkungan ragawi mereka. Perubahan itu terjadi dalam waktu yang cukup lama,
sehingga mengakibatkan menghilang atau menyusutnya sejumlah leksikon. Bahkan,
pada komunitas yang dwibahasawan, tidak hanya terjadinya perubahan, tetapi
pergeseran ke konsepsi leksikal bahasa yang lain.
2.2.2 Teori Sosiolinguistik
Pergeseran dan pemertahanan bahasa sebenarnya seperti dua sisi mata uang,
Crystal (2003:17) memaparkan pergeseran bahasa (language shif) sebagai ‘the
conventional term for the gradual or sudden move from the use of one language to
another (either by an individual or by a group)’ perubahan secara bertahap atau
tiba-tiba dari satu bahasa ke bahasa lain (baik secara perorangan atau kelompok).
Pergeseran bahasa disebabkan oleh sejumlah faktor, yaitu faktor sosiolinguistis,
psikologis, demografis, dan ekonomik (Gunarwan, 2006:102).
1. Yang termasuk faktor sosiolinguistis adalah adanya bilingualisme (atau
multilingualisme jika lebih dari dua bahasa terlibat).
2. Faktor psikologis dipengaruhi pandangan para anggota masyarakat bahasa
yang bersangkutan mengenai bahasa mereka di dalam konstelasi
bahasa-bahasa yang ada di dalam masyarakat (kebanggaan dan kesetiaan yang tinggi
terhadap bahasa).
3. Faktor demografis berhubungan dengan jumlah penutur yang kecil.
4. Faktor ekonomik dikaitkan dengan pemilihan bahasa menuju pekerjaan yang
lebih menguntungkan.
Menurut Rahardi (2006:68-70), pergeseran bahasa dapat dengan mudah
dicermati oleh siapapun pada aspek leksikon, yaitu adanya penambahan, pengurangan,
dan penghilangan makna kata. Misalnya, kata ‘papan’ semula hanya bermakna
‘belahan pipih dari sebatang kayu’, sekarang bertambah maknanya menjadi
‘perumahan’; dulu kata ‘sarjana’ bermakna ‘orang yang benar-benar pandai dan
sudah lulus dari jenjang pendidikan tinggi tertentu dan tidak pasti orang yang pandai
dan cerdas; kata ‘ceramah’ pada awal mulanya berarti ‘banyak bicara, cerewet’, kini
makna-makna tersebut telah hilang dan berganti makna baru menjadi ‘paparan atau
uraian dalam bidang ilmu tertentu’.
Berbeda dengan pergeseran bahasa, pemertahan bahasa terjadi jika dan bila
penuturnya secara kolektif tetap menggunakan bahasa tradisionalnya walaupun ada
desakan untuk beralih menggunakan bahasa yang lain. Membahas pemertahanan erat
kaitannya dengan kepunahan bahasa, artinya jika upaya pemertahanan tersebut gagal,
maka bahasa itu akan perlahan-lahan menjadi punah (Sumarsono dalam Damanik,
2009:9). Kemampuan bahasa untuk bertahan hidup menurut Holmes (2001:65) dalam
Gunarwan (2006:101-102) dipengaruhi oleh tiga komponen, yaitu
1) status bahasa yang bersangkutan seperti yang tercermin pada sikap masyarakat
bahasa itu terhadapnya;
2) besarnya kelompok penutur bahasa itu serta persebarannya; dan
3) seberapa jauh bahasa itu mendapat dukungan institusional.
2.2.3 Leksikon
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (2008:805) mendefinisikan leksikon
sebagai “kosakata; komponen bahasa yang memuat semua informasi tentang makna
dan pemakaian kata dalam bahasa; kekayaan kata yang dimiliki suatu bahasa.”
yaitu “leksikon mencakup komponen yang mengandung segala informasi tentang kata
dalam suatu bahasa seperti perilaku semantis, sintaksis, morfologis, dan fonologisnya,
sedangkan perbendaharaan kata lebih ditekankan pada kekayaan kata yang dimiliki
seseorang atau sesuatu bahasa.” Pendapat yang sama dengan Sibarani mengenai
leksikon dikemukakan oleh Booij (2007:16), yaitu ‘the lexicon specifies the properties
of each word, its phonological form, its morphological and syntactic properties, and
its meaning.’ Ia memberikan contoh leksikon melalui swim, dan swimmer:
a. /swιm/ /swιmər/
b. [x]V [[x]V er]N
c. SWIMACTIVITY PERSON PERFORMING SWIMACTIVITY
Contoh a. merupakan bentuk fonologi leksem swim,
Contoh b. merupakan struktur morfologi internal,
Contoh c. merupakan makna yang dinyatakan dengan huruf kapital kecil.
Dalam bahasa Indonesia diberikan contoh leksikon melalui ‘takut’ dan ‘penakut’
a. /takut/ /penakut/
b. [x]A [[x]A peN-]N [[x]A peN-]A
c. tidak berani orang yang takut mudah takut
Contoh a. merupakan bentuk fonologi leksem ‘takut’,
Contoh b. merupakan struktur morfologi internal,
2.2.4 Semantik Leksikal
Dari segi semantis, “setiap kata memiliki makna sesuai dengan lingkungan
budaya bahasa bersangkutan” (Sibarani, 1997:7). Pembahasan makna dalam kata
merupakan kajian semantik leksikal. Makna kata itu dianggap sebagai satuan mandiri,
bukan makna kata dalam kalimat (Pateda, 2001:74). Jadi, menurut semantik leksikal,
makna satu kata sesuai dengan referennya, sesuai dengan hasil observasi alat indera,
atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita. Contoh dalam bahasa
Gayo terdapat kata batang kayu yang referennya ‘pohon’, kayu referennya‘tumbuhan
tanpa batang’, dan iken referennya ‘ikan’.
Semantik berkaitan dengan semiotik. Dalam semantik, kata disebut lambang
(symbol) sedangkan dalam semiotik lambang itu sendiri disebut tanda (sign) (Pateda,
2001:25). Sebagai pengguna bahasa, masyarakat dikelilingi oleh tanda, diatur oleh
tanda, ditentukan oleh tanda, bahkan dipengaruhi oleh tanda. Tanda-tanda itu
mengandung makna. Dalam semiotik natural ditelaah sistem tanda yang dihasilkan
oleh alam (Pateda, 2001:31). Misalnya, air sungai keruh menandakan bahwa di hulu
telah turun hujan, tanah longsor memberikan tanda kepada manusia bahwa manusia
telah merusak alam.
Kata merupakan tumpuan dalam pembahasan semantik leksikal. Sweet dalam
(form words). Kata penuh mengandung makna tersendiri. Kata ini bebas konteks
kalimat sehingga mudah dianalisis. Misalnya, nomina, verba, ajektiva, dan adverbia.
Kata tugas merupakan bentuk bebas yang terikat konteks kalimat. Kata ini
mengandung makna apabila berada dalam kalimat. Contohnya, pronomina, numeralia,
interogativa, demonstrativa, artikula, preposisi, konjungsi, interjeksi. Partikel
merupakan bentuk terikat yang melekat pada kata dasar dan terikat pada konteks
kalimat.
Sesuai dengan rumusan masalah yang sudah ditetapkan pada bab I, subbab ini
membahas kata penuh nomina (kata benda), yang pembatasannya merujuk pada
pendapat Chaer (2006:86-88) sebagai berikut.
2.2.4.1 Kata benda
Kata-kata yang dapat diikuti dengan frase yang … atau yang sangat …disebut
kata benda. Misalnya kata-kata:
- lut tawar we jeroh
lut tawar yang indah
‘danau yang indah’
Ada tiga macam kata benda yaitu:
A. Kata benda yang jumlahnya dapat dihitung, sehingga di depan kata benda itu dapat
diletakkan kata bantu bilangan. Ke dalam kelompok kata benda ini termasuk kata-kata
(1) orang. Termasuk kata-kata:
(a) nama diri, seperti Hasan, Abas, Siti, dan Ida.
(b) nama perkerabatan, seperti ngi (adik), ine (ibu), sudere (saudara), dan
Aka (kakak).
(2) hewan, seperti lipe (ular), dan kintis (semut).
(3) tumbuhan atau pohon, lasun ilang (bawang merah), dan jamu (jambu),
(4) alat, perkakas, atau perabot, seperti dedisen, kik (alat tangkap ikan tradisional),
(5) benda alam, seperti atu (batu), dan one (pasir),
(6) hal atau proses, seperti uren (hujan),
(7) hasil, seperti belacan (terasi hasil olahan ikan depik).
B. Kata benda yang jumlahnya tak terhitung. Untuk dapat dihitung di depan kata
benda itu harus diletakkan kata keterangan ukuran satuan seperti gram, ton, cm
(sentimeter), km (kilometer), persegi, hektare, liter, kubik; termasuk juga kata-kata
yang menyatakan nama wadah yang menjadi tempat benda tersebut, seperti karung,
gelas, tem (kaleng), motor (truk), dan gerbak (gerobak); serta kata-kata seperti
saraikat ((se)ikat), (se)potong, sengkerat ((se)kerat), (se)tumpuk, sarairis ((se)iris).
Ke dalam kelompok kata benda ini termasuk kata-kata yang menyatakan:
(1) bahan, seperti one (pasir), papan (kayu), dan gule depik (ikan depik),
C. Kata benda yang menyatakan nama khas. Di muka kata benda ini tidak dapat
diletakkan kata bilangan, seperti Takengon, dan Lut Tawar.
2.3 Kajian Hasil-Hasil Penelitian yang Relevan
Berdasarkan survei pustaka dan keterangan lain-lain, ternyata penelitian
tentang ekologi bahasa Gayo (terkait dengan Lut Tawar), khususnya mengenai
leksikon belum pernah dilakukan. Padahal unsur leksikon merupakan salah satu aspek
kebahasaan yang sangat penting untuk pembinaan dan pengembangan bahasa itu, di
samping aspek-aspek yang lain. Kendatipun demikian artikel-artikel tentang
penelitian ekolinguistik yang pernah diterbitkan berikut ini bermanfaat dalam
penelitian ini.
Linguistic Erosion on the Chesapeke: Intergenerational Diachronic Shifts in
Lexicalizations of the Bay oleh Anjali Pandey (2000). Artikel ini membahas
pergeseran penggunaan istilah across the bay (di seberang teluk) yang berorientasi
lingkungan ragawi menjadi across the bridge (di seberang jembatan) yang berorientasi
infrastruktur untuk merujuk pada west of the Chesapeake Bay oleh tiga generasi
dengan kelompok umur yang berbeda. Temuan penelitian menunjukkan bahwa
generasi muda lebih memilih istilah across the bridge. Hal ini dipengaruhi oleh
kurikulum sekolah yang kurang berorientasi pada lingkungan. Yang dijadikan acuan
proses pengujian data dengan memberikan empat pilihan jawaban, dan metode
analisis berdasarkan persentase.
Sacred Worldview in Tribal Memory: Sustaining Nature through Cultural
Actions oleh Mahendra K. Mishra dalam Anna Vibeke dan Bundsgaard (2000).
Berdasarkan hasil penelitian ini, diketahui bahwa mitos dan ritual berfungsi
menyatukan pikiran dan tindakan penduduk asli suatu distrik di India;
menghubungkan yang tidak bernyawa dengan yang bernyawa, dan masa lalu dengan
sekarang. Setiap kata memiliki tujuan dan makna yang dinikmati, didistribusikan dan
disosialisasikan. Akan tetapi, pembangunan jalan, pengenalan alat transportasi
modern, dan ekploitasi lahan dan manusia memaksa komunitas lokal menerima
budaya baru yang melupakan alam. Selain itu, masuknya bahasa asing mendesak
bahkan memusnahkan tradisi oral yang sarat dengan kearifan lokal, mengakibatkan
perubahan perilaku penduduk asli dalam memperlakukan alam dan sumber daya yang
dimilikinya. Penelitian ini bermanfaat dalam penulisan subbab Saran dalam Bab
Simpulan dan Saran, yaitu pentingnya upaya pelestarian budaya dan bahasa lokal
untuk memelihara kelestarian lingkungan.
Penyusutan Fungsi Sosioekologis Bahasa Melayu Langkat pada Komunitas
Remaja di Stabat, Langkat oleh Aron Meko Mbete dan Abdurahman Adisaputera
(2009). Dari hasil tes penguasaan leksikon responden terungkap bahwa rata-rata
pemahaman remaja tentang leksikon bahasa Melayu Langkat (BML) tergolong
rendah. Perubahan itu dipicu oleh (1) kurangnya interaksi komunitas remaja dengan
tidak terkonsep dalam alam pikiran penutur, dan (3) konsepsi leksikal penutur tentang
entitas-entitas itu bukan dalam piranti BML, tetapi dalam bahasa lain. Yang dijadikan
acuan dari penelitian ini adalah penyebab perubahan pemahaman leksikon
sebagaimana disebutkan di atas, teknik pengumpulan/pemerolehan, dan analisis data.
Dalam penelitian mereka, pemerolehan data dilakukan dengan mendokumentasi
leksikon BML terkait dengan lingkungan alamiah komunitas Melayu di Stabat. Ada
150 leksikon yang diujikan kepada responden. Tujuan pengujian adalah melihat
peringkat keterpahaman responden terhadap leksikon yang berhubungan dengan
lingkungan alamiah mereka yang sebenarnya dalam bahasa mereka. Hasil pengujian
dapat dijelaskan dengan memparafrasekan situasi penggunaan leksikon tersebut yang
dikaitkan dengan kondisi sosioekologis remaja secara nyata. Setiap leksikon
dideskripsikan sesuai dengan hasil survei lapangan tentang sosioekologis Melayu di
Stabat.
Ekologi Bahasa dan Pengaruhnya dalam Dinamika Kehidupan Bahasa
Melayu Loloan Bali oleh I Nyoman Suparwa, Fakultas Sastra Universitas Udayana. Kehidupan dan perkembangan bahasa Melayu (BM) Loloan dipengaruhi oleh tiga hal,
yaitu hubungan penutur bahasa dengan lingkungan alamnya, hubungan sosial penutur
dengan penutur lainnya, dan hubungan penutur dengan Sang Penciptanya.
Berdasarkan faktor pertama, yaitu hubungan penutur bahasa dengan lingkungan
alamnya, diketahui bahwa lingkungan tempat tinggal dan pekerjaan penutur
memengaruhi perkembangan BM Loloan. Lingkungan alam pesisir dan pinggir
dengan kata-kata tentang laut, nelayan, dan rumah panggung. Namun pengaruh faktor
alam seperti penggundulan hutan, berkurangnya curah hujan, dan pendangkalan
sungai, memengaruhi cara hidup dan menimbulkan pola pikir ekonomis generasi
penutur bahasa Loloan berikutnya dalam menjalani kehidupan. Profesi nelayan
ditinggalkan, diganti dengan profesi pedagang, buruh, tukang, dan rumah panggung
digantikan dengan rumah biasa yang sedikit menggunakan kayu. Sejalan dengan
perubahan profesi dan bentuk rumah, istilah-istilah baru bermunculan mengakibatkan
istilah-istilah lama hampir tidak dikenal lagi. Terkait dengan penelitian leksikon
nomina bahasa Gayo di lingkungan kedanauan Lut Tawar, faktor pertama di atas
mengilhami peneliti dalam menulis subbab Saran dalam Bab Simpulan dan Saran.
Ungkapan-Ungkapan dalam bahasa Lio dan Fungsinya dalam Melestarikan
Lingkungan oleh Aron Meko Mbete (2002:174-186). Penelitian ini menguak warisan
budaya leluhur masyarakat etnik Lio, Flores, berupa ungkapan-ungkapan verbal yang
memiliki fungsi untuk melestarikan lingkungan hidup. Ungkapan-ungkapan budaya
verbal tersebut dirinci sebagai berikut. Pertama, ungkapan yang berfungsi
memelihara keserasian hubungan dengan alam semesta, terutama dengan Sang
Khalik, dan dengan leluhur pewaris lahan. Kedua, ungkapan yang berfungsi untuk
melestarikan lahan dengan menggunakan teknik tradisional yang mendukung
lingkungan. Ketiga, ungkapan yang mengamanatkan pemeliharaan hutan lindung dan
sumber air. Keempat, ungkapan yang berfungsi untuk melestarikan pantai dan laut.
Kelima, ungkapan yang berfungsi untuk melestarikan dan menjaga kebersamaan dan
kandungan makna ungkapan-ungkapan terkait dengan pelestarian lingkungan alam
kedanauan Lut Tawar yang populer di kalangan penutur Gayo. Selain itu, temuan
dalam penelitian, yaitu merosotnya pemahaman nilai dan norma pelestarian
lingkungan dikarenakan kesenjangan kebahasaan antargenerasi menjadi pembanding
bagi peneliti dalam merumuskan kesimpulan penelitian leksikon nomina bahasa Gayo
ini.
Kasus-Kasus Pergeseran Bahasa Daerah: Akibat Persaingan dengan Bahasa
Indonesia oleh Asim Gunarwan (2006:95-113). Tulisan ini menyoroti beberapa kasus
pergeseran bahasa daerah di Indonesia dan mencoba menjelaskan mengapa hal itu
terjadi. Penjelasan dicoba dengan mencari alasan-alasannya, yang mencakupi nosi
vitalitas etnolinguistis, faktor-faktor yang ikut memicu pergeseran, termasuk
kekalahan di dalam persaingan bahasa daerah dari bahasa Indonesia berdasarkan
konsep geolinguistis. Tulisan ini dijadikan acuan dalam hal penyebab pemertahanan
dan pergeseran bahasa. Tiga komponen penyebab bahasa mampu untuk bertahan
hidup menurut Holmes (2001:65), yaitu 1) status bahasa yang bersangkutan seperti
yang tercermin pada sikap masyarakat bahasa itu terhadapnya; 2) besarnya kelompok
penutur bahasa itu serta persebarannya; dan 3) seberapa jauh bahasa itu mendapat
dukungan institusional. Sedangkan pergeseran bahasa disebabkan faktor
sosiolinguistis, psikologis, demografis, dan ekonomik.
Ungkapan Verbal Etnis Melayu dalam Pemeliharaan Lingkungan oleh Tengku
Silvana Sinar (2010:70-83). Makalah ini membahas dampak degradasi lingkungan
dan Serdang Bedagai, yang ditandai dengan semakin langka dan kurang dikenalnya
sejumlah leksikon tumbuhan yang terdapat dalam sastra lisan Melayu, yaitu pantun,
pepatah, dan jargon. Selain itu, permasalahan yang mengemuka juga dikaitkan
dengan perspektif linguistik sistemik fungsional, yaitu metafungsi bahasa. Latar
belakang penulisan makalah ini, yaitu perlunya upaya penyelamatan bahasa daerah di
Indonesia dikarenakan ancaman hegemoni dan dominasi beberapa bahasa
internasional, regional dan nasional memperkuat subbab Teori Ekolinguistik dalam
Bab Kajian Pustaka tesis ini. Di samping itu, pengungkapan kearifan lokal mengenai
pelestarian lingkungan dalam sastra lisan pantun dan pepatah memengaruhi peneliti
untuk lebih kritis dalam menganalisis makna ungkapan atau peribahasa yang dimiliki
penutur Gayo terkait upaya pelestarian lingkungan alam kedanauan Lut Tawar yang
BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian ini melalui tiga tahap, yaitu tahap pralapangan, tahap kegiatan
lapangan, dan tahap analisis.
3. 1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ekolinguistik bahasa Gayo ini dilakukan pada empat kecamatan
yang mengelilingi Lut Tawar, Kabupaten Aceh Tengah, yaitu Kecamatan Bebesen,
Kecamatan Kebayakan, Kecamatan Bintang, dan Kecamatan Lut Tawar.
Tahap pengerjaan lapangan tidak mengenal pembatasan waktu, namun
diusahakan seefisien mungkin dengan memperhitungkan keterbatasan waktu, tenaga,
dan biaya yang digunakan. Pengumpulan data leksikon dilakukan selama sepuluh hari
(14-24 Maret 2010), sedangkan pengujian keterpahaman data leksikon pada
masyarakat di empat kecamatan sekitar danau dilakukan selama tiga minggu (7-28
April 2010).
3.2 Pendekatan dan Metode
Penelitian ini menggunakan pendekatan dan metode kualitatif. Creswell dalam
penyelidikan untuk memahami masalah sosial atau masalah manusia, berdasarkan
pada penciptaan gambar holistik yang dibentuk dengan kata-kata, melaporkan
pandangan informan secara terperinci, dan disusun dalam sebuah latar ilmiah.” Salah
satu ciri utama penelitian kualitatif ialah peranan manusia sebagai instrumen
(Moleong, 1994:167). Dengan mengacu pada pemikiran tersebut, peneliti sendiri
merupakan instrumen untuk pengumpulan data.
3.3 Sumber Data
Menurut Lofland dan Lofland (1984:47) dalam Basrowi dan Suwandi
(2008:169), “sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata… dan
selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain.” Berdasarkan
pendapat itu, data penelitian ini bersumber dari data lisan dan data tertulis tentang
leksikon nomina bahasa Gayo yang berkaitan dengan lingkungan ragawi Lut Tawar,
sedangkan mengenai jumlah data merujuk pada Chaer (2007:39) yang menyatakan
bahwa dalam penelitian kualitatif, “jumlah data yang dikumpulkan tidak tergantung
pada jumlah tertentu, melainkan tergantung pada taraf di mana dirasakan telah
memadai.”
3.4 Pengumpulan Data
Data leksikon nomina bahasa Gayo terkait dengan lingkungan ragawi Lut
mendalam. Observasi nonpartisipan dilakukan terhadap situasi alam sekitar danau,
misalnya mengamati tumbuhan, hewan, benda-benda mati yang terdapat di sekitar
danau dan berbagai kegiatan, perilaku, dan tindakan penutur bahasa Gayo di kawasan
danau secara intensif, sebagaimana dijelaskan Basrowi dan Suwandi (2008:94), “…
observasi tidak terbatas pada orang tetapi juga objek-objek alam yang lain.”
Wawancara mendalam terstruktur dan terbuka dilakukan kepada beberapa
orang informan. Pemilihan informan merujuk kepada kriteria Mahsun (2005:141-142)
dan Keraf (1984:157) yang disesuaikan dengan tujuan penelitian. Di antaranya:
1) berjenis kelamin pria atau wanita;
2) berusia di atas 15 tahun;
3) orang tua, istri atau suami informan lahir dan dibesarkan di desa itu;
4) menetap di sekitar Lut Tawar minimal selama 10 tahun ;
5) menguasai pertanyaan dalam bahasa Gayo;
6) dapat berbahasa Indonesia;
7) untuk informan tua, pendengarannya baik dan tidak pikun.
Dalam penelitian ini ditentukan empat informan pendamping dan 72 informan utama.
Wawancara dilakukan berdasarkan daftar pertanyaan yang terdiri atas
1. leksikon biota Lut Tawar;
2. istilah-istilah tradisional alat penangkapan, penggemukan dan pembesaran,
pengawetan, dan pengolahan hasil danau;
3. kondisi lingkungan ekologis danau.
Mengenai bahasa, dalam berinteraksi dengan informan digunakan bahasa
Indonesia. Hal ini berdasarkan temuan di lapangan bahwa semua penutur bahasa Gayo
fasih berbicara dalam bahasa Indonesia.
Sumber Data
Dokumen Observasi Wawancara Foto tertulis nonpartisipan mendalam
Reduksi data
Pengkategorian data
Bagan 1 Pengumpulan Data
Proses pengumpulan data melalui dokumen tertulis, observasi nonpartisipan,
wawancara mendalam, dan foto. Data yang sudah terkumpul kemudian direduksi dan
dikategorikan berdasarkan tempat hidup dan jenisnya.
3.5 Pengujian Data
Pengumpulan data leksikon kemudian dilanjutkan dengan pengujian data untuk
lingkungan ragawi di dalam dan sekitar Lut Tawar masih dikenal dan digunakan dalam
keseharian. Pengujian dilakukan kepada 72 informan Gayo yang tinggal di empat
kecamatan sekeliling Lut Tawar. Informan yang dipilih dilahirkan dan dibesarkan di
tanah Gayo. Dari hasil survei ditemukan bahwa yang mampu menguasai pertanyaan
dalam bahasa Gayo adalah rentang usia 15-65 tahun. Namun, di lapangan ditemukan
juga informan yang berusia 80 tahun yang masih jelas pancaindra dan ingatannya,
dijadikan juga sebagai informan pendamping. Dari rentang usia 15-65 tahun, peneliti
mengelompokkan menjadi tiga kelompok usia, yaitu
1) 15-20 tahun,
2) 21-45 tahun, dan
3) di atas 46 tahun.
Adapun alasan pembagian kelompok usia tersebut adalah sebagai berikut.
1. kelompok usia remaja (15-20 tahun) mengacu pada pendapat psikolog (lihat
Santrock, 1997:19-20; Mubin dan Cahyadi, 2006:106);
2. kelompok usia dewasa, yaitu awal masa dewasa (21-45 tahun) (lihat Mubin
dan Cahyadi, 2006:115);
3. kelompok pertengahan masa dewasa dan masa dewasa lanjut/masa tua (di atas
46 tahun) (lihat Mubin dan Cahyadi, 2006:115).
Tiap kelompok usia pada tiap kecamatan terdiri atas tiga pria dan tiga wanita. Jadi,
pada satu kecamatan diperoleh 18 informan. Penentuan jumlah informan pada tiap
penelitian bahasa sampel yang besar tidak diperlukan, karena perilaku linguistik
cenderung lebih homogen dibandingkan dengan perilaku-perilaku yang lain.”
Instrumen pengujian adalah tabel pertanyaan yang memiliki 360 leksikon
nomina. Leksikon yang diuji mencakup leksikon yang terkait dengan nama fauna,
nama flora, alat-alat penangkap ikan tradisional dan alat pembesaran dan
penggemukan ikan. Leksikon-leksikon tersebut dibagi menjadi 10 kelompok
berdasarkan tempat hidup biota, jenis biota, alat tangkap ikan, dan alat pembesaran
dan penggemukan ikan. Seperti yang telah dikemukakan di atas, pengujian leksikon
dilakukan untuk mengetahui peringkat keterpahaman penutur Gayo terhadap leksikon
nomina bahasa Gayo yang berhubungan dengan lingkungan alamiah Lut Tawar dan
untuk menentukan masih adanya referen leksikon itu. Oleh karena itu, pada tiap
kelompok leksikon diajukan empat pilihan, yaitu
1. pilihan 1 bermakna penutur kenal dan referennya masih banyak,
2. pilihan 2 bermakna penutur kenal dan referennya sedikit/langka,
3. pilihan 3 bermakna kenal dan referennya sudah punah,
4. pilihan 4 bermakna penutur sama sekali tidak kenal.
Istilah kenal bermakna informan dapat mendeskripsikan ciri-ciri leksikon, pernah
melihat, mendengar, dan menggunakan leksikon tersebut.
Selama proses pengujian data, juga dilakukan proses reduksi data sehingga
dapat diperoleh gambaran yang lebih objektif mengenai kategori leksikon nomina
3.6 Analisis Data
Moleong (1994:103) mendefinisikan analisis data sebagai “proses
mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian
dasar sehingga dapat ditemukan tema ....” Analisis data sudah dimulai sejak
pengumpulan data dilakukan dan sesudah meninggalkan lapangan.
Dalam menganalisis data, jawaban dari setiap informan disimbolkan dalam
bentuk angka dalam tabel untuk seluruh kecamatan, per kecamatan, dan juga untuk
gender dan usia. Angka-angka tersebut kemudian dijumlahkan diubah ke dalam
bentuk persen lalu ditabulasikan untuk seluruh kecamatan, tiap kecamatan, dan
menurut gender dan usia, sehingga akan terlihat kecenderungan-kecenderungan
tertentu. Selain itu, analisis juga dilakukan pada hasil wawancara dengan informan
kunci, untuk memperoleh gambaran kelestarian lingkungan Lut Tawar.
Pengujian data kepada informan
Analisis data
Persentase Penafsiran wawancara
Temuan
3.7 Pengecekan Keabsahan Penelitian
Agar hasil penelitian dapat dipertanggungjawabkan kredibilitasnya, perlu
dilakukan pemeriksaan keabsahan data yang didasarkan atas kriteria Moleong
(1994:175) yang telah disesuaikan dengan tujuan penelitian ini, yaitu
1) ketekunan pengamatan,
2) triangulasi,
3) pengecekan atau diskusi sejawat, dan
4) kecukupan referensial.
Dalam penelitian ini pemeriksaan keabsahan data dilakukan dengan ketekunan
pengamatan, diskusi sejawat dan kecukupan referensial.
3.8 Penyajian Hasil Analisis Data
Penyajian hasil analisis data dilakukan dengan dua metode, yaitu metode yang
bersifat informal dan metode yang bersifat formal. Metode jenis pertama dilakukan
dengan kata-kata biasa (a natural language) walaupun dengan terminologi yang teknis
sifatnya dan metode kedua dilakukan dengan tanda dan lambang (an artificial
BAB IV
GAMBARAN UMUM LUT TAWAR
Secara administratif, Kabupaten Aceh Tengah berada di wilayah Provinsi Aceh. Batas‐
batas wilayah, di sebelah barat dengan Kabupaten Aceh Barat, Pidie dan Nagan Raya, di
sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Aceh Timur, di sebelah utara dengan
Kabupaten Bener Meriah dan Kabupaten Bireuen, sedangkan di sebelah selatan dengan
Kabupaten Gayo Lues. Secara geografis daerah ini terletak di antara garis‐garis koordinat
95o 15’40” – 97o 20’25” BT dan 4o 10’33” – 5o 57’50” LU, dengan luas daratan sekitar
4.318,39 kilometer persegi (Gambar 1).
Kota Takengon sebagai ibukota Kabupaten Aceh Tengah relatif mudah dicapai
dari kota Banda Aceh (ibukota Provinsi Aceh) dan kota Medan (ibukota Provinsi
Sumatera Utara). Dengan menggunakan transportasi darat sekitar 12 jam waktu
tempuh, sepanjang perjalanan akan melewati kampung-kampung dan kota-kota
kabupaten dengan panorama hutan, bukit, dataran, dan lembah. Dari kota Takengon
ke kota-kota kecamatan tersedia jaringan jalan beraspal dengan kondisi cukup baik,
sedangkan dari kota kecamatan ke desa-desa umumnya masih berupa jalan tanah
ataupun jalan perkerasan. Transportasi dalam kota dan menuju kota-kota kecamatan
dapat ditempuh dengan becak mesin dan labi-labi (angkutan umum kota). Tarif