• Tidak ada hasil yang ditemukan

Leksikon Nomina Bahasa Gayo Dalam Lingkungan Kedanauan Lut Tawar: Kajian Ekolinguistik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Leksikon Nomina Bahasa Gayo Dalam Lingkungan Kedanauan Lut Tawar: Kajian Ekolinguistik"

Copied!
261
0
0

Teks penuh

(1)

LEKSIKON NOMINA BAHASA GAYO DALAM LINGKUNGAN

KEDANAUAN LUT TAWAR: KAJIAN EKOLINGUISTIK

  

  

  

  

TESIS

  

  

Oleh

  

DEWI SUKHRANI

087009024/LNG

  

    

  

 

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

LEKSIKON NOMINA BAHASA GAYO DALAM LINGKUNGAN

KEDANAUAN LUT TAWAR: KAJIAN EKOLINGUISTIK

TESIS

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar

Magister Humaniora dalam Program Studi Linguistik pada Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

DEWI SUKHRANI

087009024/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis : LEKSIKON NOMINA BAHASA GAYO DALAM LINGKUNGAN KEDANAUAN LUT TAWAR: KAJIAN EKOLINGUISTIK

Nama Mahasiswa : Dewi Sukhrani

Nomor Pokok : 087009024

Program Studi : Linguistik

Menyetujui Komisi Pembimbing,

(Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D.) (Dr. Dwi Widayati, M.Hum.)

Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

(Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D.) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc.)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal 30 Juli 2010

_____________________________________________________________________

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D.

Anggota : 1. Dr. Dwi Widayati, M.Hum.

2. Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D.

(5)

ABSTRACT

This thesis investigates the nominal lexicon of the Gayo language concerning Lake Lut Tawar and the ecology of the lake through the ecolinguistic point of view. Specifically, it attempts to describe the level of comprehension of the native speakers of Gayo on the lake-related nominal lexicon and language defense (which includes language shift) of Gayo language. Data of nominal lexicon collected by ways of written documents, nonparticipant observation, and indepth interview guide. Thereafter, the data is reduced and classified based on its ecosystem and kind. Then, the test is conducted upon 72 informants resident around the lake, aging between 15 to 46 and above. The test result demonstrated (1) in each subdistrict and age group there is a different level of comprehension concerning nominal lexicon mastery, which correlates with (a) the difference of the lake-nature contour, (b) the development of communal area, (c) the pragmatic way of live, and (d) biota introduction; (2) 80.6 % of Gayonese speech community still know and vocalize nominal lexicon orienting the lake; (3) the high rate of lexical defense is caused by (a) biodiversity of the lake ecology, (b) the intense community interaction with the entity that characterized the lake ecology, and (c) the speaker’s highest awareness of using Gayo language in daily occasion.

Key words: ecolinguistics, nominal lexicon, lake ecology, level of comprehension

 

(6)

ABSTRAK

Penelitian ini mengungkap keberadaan leksikon nomina bahasa Gayo dan lingkungan ragawi Lut Tawar melalui perspektif ekolinguistik, Beberapa hal yang menjadi tujuan dalam penelitian ini, yaitu mendeskripsikan tingkat pemahaman leksikon nomina guyub tutur bahasa Gayo yang berhubungan dengan lingkungan ragawi Lut Tawar saat ini dan menjelaskan dinamika lingkungan ragawi Lut Tawar, kebertahanan, dan pergeseran leksikon nomina bahasa Gayo di lingkungan Lut Tawar. Pengumpulan data leksikon nomina bahasa Gayo dilakukan melalui dokumen tertulis, observasi nonpartisipan, dan wawancara mendalam. Data yang sudah terkumpul kemudian direduksi dan dikategorikan berdasarkan tempat hidup dan jenisnya. Pengumpulan data leksikon kemudian dilanjutkan dengan pengujian data kepada 72 informan Gayo yang tinggal di empat kecamatan sekeliling Lut Tawar dengan rentang usia 15-46 ke atas. Dari hasil pengujian terungkap gambaran (1) pada tiap kecamatan dan kelompok usia terjadi perbedaan tingkat pemahaman nomina kedanauan yang berkaitan dengan (a) perbedaan kontur alam danau, (b) perluasan kota, (c) pola hidup praktis dan instan dengan munculnya alat-alat modern, (d) introdusi biota dari luar, (2) 80,6% penutur Gayo masih mengenal dan menggunakan leksikon nomina bahasa Gayo dalam lingkungan kedanauan Lut Tawar dalam berkomunikasi, (3) faktor-faktor penyebab kebertahanan leksikon nomina tersebut adalah (a) biodiversitas lingkungan sekitar danau; (b) penutur dari masing-masing kelompok usia masih berinteraksi dengan lingkungan ragawi yang beragam; dan (c) penutur dari masing-masing kelompok usia masih sering berbahasa Gayo dalam keseharian.

Kata kunci: ekolinguistik, leksikon nomina, ekologi danau, tingkat pemahaman

(7)

ABSTRAK

Perubahan lingkungan ragawi Lut Tawar, Takengon, diduga memengaruhi khazanah nomina kedanauan bahasa Gayo penutur pria dan wanita yang tinggal di empat kecamatan sekitar danau, di masing-masing kecamatan sekitar danau, dan pada tiga kelompok usia, yaitu di atas 46 tahun, 21-45 tahun, dan 15-20 tahun. Pengaruh ini dapat diungkap melalui perspektif ekolinguistik menggunakan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data dilakukan melalui dokumen tertulis, observasi nonpartisipan, dan wawancara mendalam. Data kemudian dikelompokkan, digambarkan secara holistik, dianalisis secara kualitatif, dan dinterpretasikan sesuai pandangan informan. Dari hasil pengujian terungkap gambaran terjadi perbedaan tingkat pemahaman nomina kedanauan pada tiap kecamatan dan kelompok usia. Pada kelompok usia di atas 46 tahun pemahamannya masih tinggi, lalu menurun pada kelompok usia 21-45 tahun, hingga tergolong rendah pada kelompok usia 15-20 tahun. Perbedaan pemahaman tersebut berkaitan dengan (1) perbedaan kontur alam danau, (2) perluasan kota, (3) pola hidup praktis dan instan dengan munculnya alat-alat modern, (4) introdusi biota dari luar. Namun demikian, leksikon nomina bahasa Gayo dalam lingkungan kedanauan Lut Tawar masih dikenal dan digunakan oleh 80,6% penutur Gayo dalam berkomunikasi. Beberapa faktor penyebab kebertahanan leksikon nomina tersebut adalah (1) biodiversitas lingkungan sekitar danau; (2) penutur dari masing-masing kelompok usia masih berinteraksi dengan lingkungan ragawi yang beragam; dan (3) penutur dari masing-masing kelompok usia masih sering berbahasa Gayo dalam keseharian.

Kata kunci: ekolinguistik, leksikon nomina, ekologi danau, tingkat pemahaman

(8)

ABSTRACT

This thesis investigates the nominal lexicon of the Gayo language concerning Lake Lut Tawar and the ecology of the lake through the ecolinguistic point of view. Specifically, it attempts to describe the level of comprehension of the native speakers of Gayo on the lake-related nominal lexicon and language defense (which includes language shift) of Gayo language. Data of nominal lexicon collected by ways of written documents, nonparticipant observation, and indepth interview guide. Thereafter, the data is reduced and classified based on its ecosystem and kind. Then, the test is conducted upon 72 informants resident around the lake, aging between 15 to 46 and above. The test result demonstrated (1) in each subdistrict and age group there is a different level of comprehension concerning nominal lexicon mastery, which correlates with (a) the difference of the lake-nature contour, (b) the development of communal area, (c) the pragmatic way of live, and (d) biota introduction; (2) 80.6 % of Gayonese speech community still know and vocalize nominal lexicon orienting the lake; (3) the high rate of lexical defense is caused by (a) biodiversity of the lake ecology, (b) the intense community interaction with the entity that characterized the lake ecology, and (c) the speaker’s highest awareness of using Gayo language in daily occasion.

Key words: ecolinguistics, nominal lexicon, lake ecology, level of comprehension

 

   

(9)

KATA PENGANTAR

Diawali ungkapan rasa syukur ke hadirat Allah SWT, atas rahmat-Nya,

terutama dalam memberi kesempatan, kesehatan, dan keselamatan sehingga penulis

dapat menyelesaikan penelitian tentang Leksikon Nomina Bahasa Gayo dalam

Lingkungan Kedanauan Lut Tawar: Kajian Ekolinguistik. Penelitian ini dilakukan

sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan pendidikan pada

Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Dari

hasil penelitian ini diharapkan pembaca dapat memperoleh gambaran mengenai

pemahaman penutur Gayo terhadap leksikon nomina bahasa Gayo dalam lingkungan

kedanauan Lut Tawar.

Ekolinguistik sebagai salah satu cabang ilmu bahasa, merupakan naungan bagi

semua penelitian mengenai bahasa yang ditautkan dengan ekologi.

Penelitian-penelitian dalam ranah Ekolinguistik memiliki bidang cakupan yang luas dan cukup

menantang. Di samping itu, hasil kajian Ekolinguistik memberikan kontribusi yang

nyata bagi konservasi bahasa dan lingkungan.

Akhirnya, pepatah mengatakan, tak ada gading yang tak retak, tak ada manusia

yang sempurna. Tesis ini pun tidak lepas dari aneka kesalahan dan

kekurangsempurnaan. Karena itu, semua tegur sapa dan sumbang saran yang sifatnya

membangun, akan selalu penulis terima dengan hati yang terbuka.

Medan, Juli 2010

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ………. i

ABSTRACT ………. ii

KATA PENGANTAR ………... iii

UCAPAN TERIMA KASIH ……….. iv

RIWAYAT HIDUP ………. vii

DAFTAR ISI ……….. viii

DAFTAR TABEL ……….. xi

DAFTAR BAGAN ……… xv

DAFTAR GAMBAR ………. xvi

DAFTAR LAMPIRAN ……….. xvii

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG ……….. xviii

BAB I PENDAHULUAN ……….. 1

1.1 Latar Belakang ………... 1

1.2 Rumusan Masalah ………... 7

1.3 Tujuan Penelitian ………. 7

1.4 Manfaat Penelitian ………... 8

1.4.1 Manfaat Teoretis ………... 8

1.4.2 Manfaat Praktis ……… 8

1.5 Penjelasan Istilah ………. 9

(11)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

………..

2.1 Pendahuluan ………... 11

2.2 Landasan Teori ………... 12

2.2.1 Teori Ekolinguistik ………... 12

2.2.2 Teori Sosiolinguistik ………... 18

2.2.2.1 Pergeseran dan pemertahanan bahasa ………. 18

2.2.3 Leksikon ………... 20

2.2.4 Semantik Leksikal ………... 22

2.2.4.1 Kata benda ……….. 23

2.3 Kajian Hasil-Hasil Penelitian yang Relevan ………... 25

  BAB III METODE PENELITIAN ……….. 31

3. 1 Lokasi dan Waktu Penelitian ………. 31

3.2 Pendekatan dan Metode ……….………... 31

3.3 Sumber Data ………... 32

3.4 Pengumpulan Data ………. 32

3.5 Pengujian Data ………... 34

3.6 Analisis Data ……….. 37

3.7 Pengecekan Keabsahan Penelitian ………. 38

(12)

BAB IV GAMBARAN UMUM LUT TAWAR ……… 39

BAB V TINGKAT PEMAHAMAN DAN TEMUAN ………... 46

5.1 Gambaran Tingkat Pemahaman Nomina Kedanauan Lut Tawar ……... 47

5.1.1 Pemahaman tumbuhan di dasar danau ………... 47

5.1.2 Pemahaman tumbuhan dalam danau yang akarnya terapung ... 49

5.1.3 Pemahaman tumbuhan di lingkungan danau ……… 52

5.1.4 Pemahaman ikan dan hewan di dalam danau dan alirannya … 61 5.1.5 Pemahaman burung di lingkungan danau ………... 67

5.1.6 Pemahaman hewan di lingkungan danau ……….. 71

5.1.7 Pemahaman padi di lingkungan danau ………... 75

5.1.8 Pemahaman benda mati di dalam dan lingkungan danau ... 76

5.1.9 Pemahaman alat penangkap ikan tradisional di lingkungan danau ………... 78 5.1.10 Pemahaman alat pembesaran dan penggemukan ikan danau di lingkungan danau ………. 81 5.2 Tabel Rangkuman Tingkat Pemahaman Nomina Kedanauan Lut Tawar 83

5.3 Tabel Kebertahanan Leksikon Nomin Bahasa Gayo Berdasarkan

(13)

BAB VI KEBERTAHANAN BAHASA GAYO DAN BUDAYA GAYO

SERTA KELESTARIAN LINGKUNGAN LUT TAWAR .………...

89

6.1 Perilaku Konservatif Guyub Tutur terhadap Lingkungan Ragawi …… 89

6.2 Ketahanan Penggunaan Teknologi Tradisional yang Ramah Lingkungan ……… 93 6.3 Hubungan Kosmologi Kedanauan yang Harmoni ………. 95

6.4 Beberapa Gejala Perubahan Bahasa Gayo dalam Kaitan dengan Perubahan Lingkungan ………. 99

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ……….. 107

7.1 Simpulan ……… 107

7.2 Saran ………. 108

(14)

ABSTRACT

This thesis investigates the nominal lexicon of the Gayo language concerning Lake Lut Tawar and the ecology of the lake through the ecolinguistic point of view. Specifically, it attempts to describe the level of comprehension of the native speakers of Gayo on the lake-related nominal lexicon and language defense (which includes language shift) of Gayo language. Data of nominal lexicon collected by ways of written documents, nonparticipant observation, and indepth interview guide. Thereafter, the data is reduced and classified based on its ecosystem and kind. Then, the test is conducted upon 72 informants resident around the lake, aging between 15 to 46 and above. The test result demonstrated (1) in each subdistrict and age group there is a different level of comprehension concerning nominal lexicon mastery, which correlates with (a) the difference of the lake-nature contour, (b) the development of communal area, (c) the pragmatic way of live, and (d) biota introduction; (2) 80.6 % of Gayonese speech community still know and vocalize nominal lexicon orienting the lake; (3) the high rate of lexical defense is caused by (a) biodiversity of the lake ecology, (b) the intense community interaction with the entity that characterized the lake ecology, and (c) the speaker’s highest awareness of using Gayo language in daily occasion.

Key words: ecolinguistics, nominal lexicon, lake ecology, level of comprehension

 

(15)

ABSTRAK

Penelitian ini mengungkap keberadaan leksikon nomina bahasa Gayo dan lingkungan ragawi Lut Tawar melalui perspektif ekolinguistik, Beberapa hal yang menjadi tujuan dalam penelitian ini, yaitu mendeskripsikan tingkat pemahaman leksikon nomina guyub tutur bahasa Gayo yang berhubungan dengan lingkungan ragawi Lut Tawar saat ini dan menjelaskan dinamika lingkungan ragawi Lut Tawar, kebertahanan, dan pergeseran leksikon nomina bahasa Gayo di lingkungan Lut Tawar. Pengumpulan data leksikon nomina bahasa Gayo dilakukan melalui dokumen tertulis, observasi nonpartisipan, dan wawancara mendalam. Data yang sudah terkumpul kemudian direduksi dan dikategorikan berdasarkan tempat hidup dan jenisnya. Pengumpulan data leksikon kemudian dilanjutkan dengan pengujian data kepada 72 informan Gayo yang tinggal di empat kecamatan sekeliling Lut Tawar dengan rentang usia 15-46 ke atas. Dari hasil pengujian terungkap gambaran (1) pada tiap kecamatan dan kelompok usia terjadi perbedaan tingkat pemahaman nomina kedanauan yang berkaitan dengan (a) perbedaan kontur alam danau, (b) perluasan kota, (c) pola hidup praktis dan instan dengan munculnya alat-alat modern, (d) introdusi biota dari luar, (2) 80,6% penutur Gayo masih mengenal dan menggunakan leksikon nomina bahasa Gayo dalam lingkungan kedanauan Lut Tawar dalam berkomunikasi, (3) faktor-faktor penyebab kebertahanan leksikon nomina tersebut adalah (a) biodiversitas lingkungan sekitar danau; (b) penutur dari masing-masing kelompok usia masih berinteraksi dengan lingkungan ragawi yang beragam; dan (c) penutur dari masing-masing kelompok usia masih sering berbahasa Gayo dalam keseharian.

Kata kunci: ekolinguistik, leksikon nomina, ekologi danau, tingkat pemahaman

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kata Gayo mengacu pada nama dataran tinggi di Provinsi Aceh, nama suku

yang bermukim di dataran tinggi tersebut, dan nama bahasa yang digunakan suku

tersebut. Jadi, dapat dikatakan Dataran Tinggi Gayo ditempati Suku Gayo yang

berkomunikasi menggunakan bahasa Gayo. Dataran tinggi Gayo merupakan bagian

Bukit Barisan yang membentang sepanjang pulau Sumatera. Menurut silsilah

kekerabatan, bahasa Gayo termasuk subkelompok Bahasa Melayu Polinesia Barat

dalam rumpun Bahasa Austronesia (Bellwood, 2000:153).

Berdasarkan pembagian wilayah kabupaten, bahasa Gayo memiliki tiga dialek

(Dardanila, 2004:2). Bahasa Gayo Dialek Gayo Lut dipakai oleh Suku Gayo yang

mendiami Kabupaten Aceh Tengah. Bahasa Gayo Dialek Gayo Lues dipergunakan di

Kabupaten Aceh Tenggara. Bahasa Gayo Dialek Serbejadi dipergunakan di

Kabupaten Aceh Timur. Bahasa Gayo Dialek Gayo Lut inilah yang dijadikan sebagai

objek kajian dalam penelitian ini, karena berada dalam lingkungan Lut Tawar.

Seperti halnya bahasa Indonesia, bahasa-bahasa daerah juga mempunyai

kedudukan dan fungsi yang tidak kalah pentingnya dengan kedudukan dan fungsi

(17)

melihat kedudukan bahasa daerah digunakan dua sudut pandang. Pertama, bahasa

daerah sebagai komunikasi bagi para penutur yang berasal dari kelompok etnik yang

sama. Kedua, bahasa daerah dalam kaitannya dengan bahasa Indonesia. Menurut

beliau dari point pertama bahasa daerah memiliki lima fungsi, yaitu

1) bahasa daerah sebagai lambang kebanggaan daerah;

2) bahasa daerah sebagai lambang identitas daerah;

3) bahasa daerah sebagai alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah;

4) bahasa daerah sebagai sarana pendukung kebudayaan daerah; dan

5) bahasa daerah sebagai pendukung bahasa dan sastra daerah.

Dari sudut pandang kedua, yaitu hubungan antara bahasa daerah dan bahasa Indonesia,

ada empat fungsi yang diemban oleh bahasa daerah, yaitu

1) bahasa daerah sebagai pendukung bahasa nasional;

2) bahasa daerah sebagai bahasa pengantar pada tingkat permulaan sekolah dasar;

3) bahasa daerah sebagai sumber kebahasaan untuk memperkaya bahasa Indonesia;

4) bahasa daerah sebagai pelengkap bahasa Indonesia di dalam penyelenggaraan

pemerintah daerah.

Berdasarkan kedua perspektif itu bahasa Gayo berfungsi sebagai: (1) lambang

identitas masyarakat Gayo, (2) lambang kebanggaan masyarakat Gayo, (3) alat

komunikasi dalam keluarga dan masyarakat lokal Gayo, (4) pengungkap pikiran, dan

kehendak para warga Gayo, (5) pendukung kebudayaan Gayo yang meliputi bidang

kesenian, adat-istiadat, agama, dan lain sebagainya, dan (6) pilar penyangga

(18)

bahasa Gayo sesuai dengan fungsi dan kedudukannya selaku bahasa daerah yang dapat

memperkaya khazanah bahasa Nasional.

Sebagian besar penutur bahasa Gayo bermukim di Kabupaten Aceh Tengah,

selebihnya di Kabupaten Bener Meriah, dan di Kabupaten Gayo Lues. Banyaknya

jumlah penutur bahasa Gayo tidak menjamin bahasa ini dapat bertahan dari ancaman

kepunahan. Alasannya, untuk tetap bertahan hidup, sebagaimana dinyatakan oleh

Saussure dan Barker dalam Mbete (2009:4,6), bahasa itu harus kokoh berada dalam

kognisi penuturnya dan harus digunakan secara lebih sering dan mendalam dalam

kehidupan sosial budaya masyarakatnya.

Sebagaimana layaknya sesuatu yang hidup di bumi ini, sosok bahasa terbukti

juga dapat berkembang, terus berubah, dan bergeser tanpa henti dari waktu ke waktu

(Rahardi, 2006:69). Bukti dari perubahan dan pergeseran bahasa yang paling

gampang dilihat dan dicermati oleh siapapun adalah pada aspek leksikon bahasa yang

bersangkutan. Perubahan dan pergeseran di dalam jumlah leksikon sebuah bahasa

dapat terjadi karena ada penambahan, pengurangan, atau mungkin malah

penghilangan. Kenyataan yang terjadi pada bahasa Gayo, terungkap fakta belakangan

ini ada kekhawatiran terjadi erosi atau berkurangnya penggunaan bahasa Gayo oleh

generasi muda, yang ditandai dengan semakin banyaknya leksikon Gayo yang tidak

lagi diucapkan (Saleh dalam Mustafa, 2009:1). Walaupun bahasa Gayo digunakan,

terbatas hanya untuk berkomunikasi dalam komunitas tersebut dan tidak digunakan

(19)

Bahasa memang selalu berubah, mengarah ke arah yang tidak bisa ditentukan.

Ia dipengaruhi ide-ide dan tantangan lingkungan. Dalam lingkup kajian ekolinguistik

dinyatakan bahwa bahasa merekam kondisi lingkungan ragawi dan sosial; perangkat

leksikon menunjukkan adanya hubungan simbolik verbal antara guyub tutur dengan

lingkungannya, dengan flora dan fauna, termasuk anasir-anasir alamiah lainnya (Sapir

dalam Fill dan Muhlhauster, 2001:14). Keberagaman leksikon kekhasan daerah

menandakan lingkungan ragawi yang terjaga kelestariannya. Lingkungan ragawi

Dataran Tinggi Gayo yang meliputi gunung, bukit, hutan pinus, danau dan sungai

dengan keanekaragaman hayatinya menyumbang kekayaan leksikon pada bahasa

Gayo. Kekayaan sumber daya hayati ini mempengaruhi mata pencaharian sebagian

besar masyarakat Gayo. Data pokok Kabupaten Aceh Tengah mengungkap sekitar

80% masyarakat Gayo yang tinggal di sekitar Lut Tawar hidup dari menangkap ikan,

bertani, berkebun, dan beternak. Profesi masyarakat sekitar danau turut

menginventarisasikan leksikon kedanauan yang mereka miliki dan akrabi ke dalam

bahasa Gayo.

Istilah kedanauan dalam penelitian ini berkaitan dengan danau (Lut Tawar),

baik isinya dengan biodiversitasnya, keadaannya, maupun persepsi tentang danau di

kalangan masyarakat di lingkungan danau itu. Disebabkan hampir semua informan

yang diwawancarai menyatakan bahwa bahasa Gayo tidak memiliki istilah untuk kata

kedanauan, istilah ini diadaptasi dari bahasa Indonesia.

Secara umum, kondisi lingkungan ragawi Lut Tawar cenderung dipengaruhi

(20)

pertambahan penduduk. Ciri khas lingkungan ragawi Lut Tawar yang semula hijau

dan asri kini mulai luntur, digantikan dengan pemandangan sebagian lereng bukit dan

tepian danau yang terlihat agak gersang akibat perambahan. Di bibir danau, terlihat

banyak berdiri bangunan-bangunan semen, dan keramba. Perubahan lingkungan itu

berdampak pada penurunan permukaan air danau dan kenaikan temperatur air danau

(dinginnya suhu udara sekitar danau dirasakan masyarakat sekitar danau berkurang

belakangan ini). Selain itu, di beberapa tempat, dasar danau sekitar pemukiman

penduduk dipenuhi ghost net ‘jaring-jaring untuk menangkap ikan biasanya berada di

kedalaman 5-12 meter lebih’, sisa bahan organik (pelet), pestisida, dan sampah rumah

tangga. Degradasi lingkungan sekitar danau dapat memusnahkan kehidupan biota di

sekitar dan di dalam danau, yang pada akhirnya berdampak pada kehidupan

masyarakatnya. Padahal keberadaan biota tertentu bisa menjadi indikator kondisi

suatu lingkungan dan bahasa. Dari segi lingkungan, dalam sebuah artikel di harian

Kompas (2010:13) dinyatakan bahwa keberadaan capung dan lebah sekarang hampir

punah, “padahal capung menjadi salah satu indikator adanya kualitas air bersih, dan

lebah bisa meningkatkan penyerbukan hingga bisa panen tiga kali lipat.” Selain itu,

ditemukannya ikan sapu-sapu di danau merupakan indikasi air danau tercemar

(Munawardi, 2010). Terkait dengan degradasi lingkungan danau, masyarakat sekitar

Lut Tawar pada akhirnya nanti tidak akan lagi menemukan jenis-jenis flora dan fauna

yang bermanfaat bagi kelangsungan hidup mereka. Satu demi satu leksikon flora dan

fauna tersebut akan hilang dengan sendirinya dari bahasa mereka (bahasa Gayo),

(21)

keadaan itulah terjadi gangguan pada proses transmisi bahasa Gayo antar generasi.

Akibatnya generasi berikutnya tidak lagi menggunakan leksikon-leksikon kedaerahan

yang bertautan dengan lingkungan ragawi mereka karena referennya sudah tidak dapat

lagi ditemukan. Melihat kenyataan yang ada di lingkungan danau tersebut, tidaklah

salah “kalau kita dituding tidak pintar menjaga keanekaragaman hayati,” (Tunggal,

2010:14).

Sebagaimana telah diungkap sebelumnya (lihat hal. 5), masalah degradasi

lingkungan Lut Tawar lambat laun akan mengikis kelangsungan hidup bahasa Gayo

khususnya pada tataran leksikon, misalnya, leksikon mengenai pengetahuan

lingkungan lokal sekitar Lut Tawar yang beragam. Dilatarbelakangi gejala perubahan

lingkungan ragawi Lut Tawar yang mulai memprihatinkan, dalam penelitian ini

peneliti mengungkap keberadaan leksikon bahasa Gayo dalam lingkungan kedanauan

Lut Tawar melalui perspektif ekolinguistik, yaitu mengkaji hubungan timbal balik

bahasa dan ekologi (lingkungan ragawi dan sosial budaya). Meskipun demikian,

penelitian ini dibatasi hanya pada perangkat leksikon nomina bahasa Gayo dan

lingkungan ragawi Lut Tawar.

Terlepas dari pengaruh lingkungan lokal bahasa Gayo, asumsi dasar dalam

penelitian ini adalah erosi pada bahasa tersebut disebabkan semakin kuatnya dominasi

bahasa Indonesia pada pemakaian bahasa daerah dalam sejumlah ranah; bahkan

sebagai tuntutan hidup yang mengglobal, generasi muda dituntut untuk menguasai

bahasa-bahasa asing. Dominasi kedua bahasa itu menyudutkan dan meminggirkan

(22)

Mustafa (2009), bahwa “Tahun 1951 ke bawah, rumah tangga di Gayo masih

menggunakan bahasa Gayo. Tapi sekarang sudah digantikan bahasa Indonesia.”

1.2 Rumusan Masalah

Masalah pokok yang akan dijawab dalam penelitian yang berkaitan dengan

leksikon bahasa Gayo dalam lingkungan kedanauan Lut Tawar, mencakup:

1. Bagaimanakah gambaran tentang pemahaman leksikon nomina guyub tutur

bahasa Gayo yang berhubungan dengan lingkungan ragawi Lut Tawar saat ini?

2. Bagaimanakah kebertahanan bahasa Gayo dan budaya Gayo serta kelestarian

lingkungan Lut Tawar?

1.3 Tujuan Penelitian

Menurut rumusan masalah di atas, berikut beberapa hal yang menjadi tujuan

dalam penelitian ini, yaitu

1. mendeskripsikan tingkat pemahaman leksikon nomina guyub tutur bahasa

Gayo yang berhubungan dengan lingkungan ragawi Lut Tawar saat ini;

2. menjelaskan kebertahanan bahasa Gayo dan budaya Gayo serta kelestarian

(23)

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoretis

Temuan penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan bagi khazanah ilmu

bahasa, linguistik, khususnya ekolinguistik. Temuan-temuan dalam penelitian ini

selanjutnya diharapkan menimbulkan inspirasi bagi peminat bahasa untuk meneliti

lebih lanjut mengenai kondisi bahasa Gayo dalam lingkungan kedanauan Lut Tawar.

1.4.2 Manfaat Praktis

Pengetahuan mengenai kondisi dan peranan bahasa Gayo dikaitkan dengan

kondisi alam sekitar Lut Tawar dapat membendung desakan kepunahan bahasa Gayo

dan kerusakan lingkungan kedanauan. Berdasarkan informasi tersebut ancaman

kepunahan bahasa dan kerusakan ekosistem kedanauan dapat dicegah lebih dini.

Perangkat leksikon ‘kedanauan’ Lut Tawar memberikan informasi tentang

kehidupan dan penghidupan guyub tutur bahasa Gayo khususnya yang mendiami

lingkungan danau tersebut. Pengetahuan atau tingkat pengetahuan tentang kondisi,

keberadaan, dan sumber daya danau dalam arti luas antara generasi muda dan generasi

tua bermanfaat dalam usaha memelihara lingkungan kedanauan Lut Tawar. Hasil

penelitian ini diupayakan agar ada manfaat praktis, yaitu

1) adanya pemahaman masyarakat bahasa Gayo di sekitar danau tentang kondisi

(24)

2) diterbitkannya khazanah leksikon khususnya nomina kedanauan Lut Tawar

sebagai ‘Kamus Kecil’ yang dapat dipakai oleh generasi muda. Dengan

demikian, generasi muda dapat memanfaatkannya dalam kerangka pendidikan

lingkungan sehingga tumbuh rasa cinta pada lingkungan kedanauan.

1.5 Penjelasan Istilah

Istilah-istilah yang muncul pada tulisan ini ada kalanya mempunyai makna

yang berbeda dengan bidang ilmu di luar linguistik. Oleh karena itu, penjelasan istilah

pada penelitian ini dimaksudkan agar terciptanya persamaan persepsi mengenai istilah

yang digunakan. Istilah-istilah dalam penelitian ini ditinjau berdasarkan konsep

ekolinguistik. Berikut beberapa istilah itu:

1) Bahasa Gayo merupakan bahasa yang digunakan oleh suku Gayo yang mayoritas

bermukim di dataran tinggi Gayo, Provinsi Aceh. Kendatipun demikian, penutur

dari suku lain yang ada di tanah Gayo juga menggunakan bahasa Gayo dalam

berkomunikasi.

2) Ekolinguistik adalah ilmu bahasa yang interdisipliner, yang menyandingkan

ekologi dan linguistik. Melalui bidang ilmu ini, pengaruh kerusakan dan

kemerosotan lingkungan atau juga kebertahanan dan kelestarian leksikon dan alam

(ragawi dan sosio-kultural) terhadap lumpuhnya infrastruktur komunikatif (bahasa)

diteliti. Dari segi bahasa, hal-hal yang dapat diteliti meliputi tataran fonologi,

(25)

3) Ekologi adalah ilmu tentang hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan

(kondisi) alam sekitarnya (lingkungannya) atau kajian saling ketergantungan

dalam suatu sistem. Ekologi manusia berbeda dengan ekologi makhluk hidup

lainnya, karena manusia memiliki budaya dalam suatu ekosistem.

4) Kedanauan adalah alam danau, juga semua hal, khususnya pemahaman secara

kognisi tentang biota dan atau unsur-unsur alami secara leksikal dengan makna

dasarnya.

5) Leksikon adalah kosakata atau kekayaan kata yang dimiliki oleh suatu bahasa.

6) Lingkungan kedanauan mengimplikasikan kondisi alam dan biota di dalam dan

sekitar danau. Tiap kecamatan berbeda kontur alamnya, ada yang landai, curam,

berawa, dan berpasir. Agak ke atas, Lut Tawar dikelilingi perbukitan yang

ditumbuhi hutan pinus. Batas lingkungan kedanauan dalam penelitian ini berkisar

satu km dari tepi danau.

7) Tepi danau merupakan batas pasang tertinggi pinggir air danau sewaktu musim

(26)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Pendahuluan

Penelitian ini bertitik tolak dari perspektif ekolinguistik. Menurut Mbete

(2009:2), “dalam perspektif ekolinguistik, bahasa dan komunitas penuturnya

dipandang sebagai organisme yang hidup secara bersistem dalam suatu kehidupan,

bersama organisme-organisme lainnya.” Teori-teori yang digunakan dalam penelitian

ini merupakan paduan teori linguistik dan ekologi, sebagaimana dinyatakan oleh Fill

(1993:126) dalam Lindø dan Simonsen (2000:40) bahwa ekolinguistik merupakan

sebuah payung bagi semua penelitian mengenai bahasa yang ditautkan dengan ekologi

ecolinguistics is an umbrella term for ... all approaches in which the study of

language (and language) is in any way combined with ecology.” Sejumlah teori

linguistik yang digunakan dalam penelitian ini mencakup teori semantik,

(27)

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Teori Ekolinguistik

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, ekolinguistik mengkaji interaksi bahasa

dengan ekologinya. Dalam the Ecology of Language Shift, Mackey dalam Fill dan

Muhlhausler (2001:67) menjelaskan bahwa pada dasarnya ekologi merupakan kajian

saling ketergantungan dalam suatu sistem. Dalam ekologi bahasa, konsep ekologi

memadukan lingkungan, konservasi, interaksi, dan sistem dalam bahasa

(Fill,2001:43).

Lingkungan bahasa dalam ekolinguistik meliputi lingkungan ragawi dan sosial

(Sapir dalam Fill dan Muhlhausler, 2001:14). Lingkungan ragawi menyangkut

geografi yang terdiri atas fisik: topografi suatu negara (pesisir, lembah, daratan,

dataran tinggi, gunung), iklim, dan intensitas curah hujan, dasar ekonomis kehidupan

manusia yang terdiri dari fauna, flora, dan sumber-sumber mineral; sedangkan

lingkungan sosial terdiri atas berbagai kekuatan masyarakat yang membentuk pikiran

dan kehidupan setiap individu di antaranya: agama, etika, bentuk organisasi politik,

dan seni. Konservasi bahasa dalam lingkup ekolinguistik terinspirasi dari pemikiran

Haugenian bahwa upaya penyelamatan bahasa amat diperlukan karena kepunahan

bahasa begitu cepat dalam satu dasawarsa (Fill, 2001:44). Alasan perlunya upaya

penyelamatan bahasa juga dinyatakan oleh Sinar (2010:70) bahwa “banyak bahasa

daerah di Indonesia berada di ambang kritis, semakin sulit untuk “hidup,” bertahan,

(28)

lagi, dengan ancaman hegemoni dan dominasi beberapa bahasa internasional, regional

dan nasional, semakin mendesak bahasa-bahasa minoritas.”

Bertolak dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa kajian ekolinguistik

memiliki parameter yaitu interrelationships (interelasi bahasa dan lingkungan),

environment (lingkungan ragawi dan sosial budaya) and diversity (keberagaman

bahasa dan lingkungan) (Haugen dalam Fill dan Muhlhausler, 2001:1).

Haugen (1970), lihat Mbete (2009:11-12), menyatakan bahwa ekolinguistik

memiliki kaitan dengan sepuluh ruang kaji, yaitu

(1) linguistik historis komparatif;

(2) linguistik demografi;

(3) sosiolinguistik;

(4) dialinguistik;

(5) dialektologi;

(6) filologi;

(7) linguistik preskriptif;

(8) glotopolitik;

(9) etnolinguistik, linguistik antropologi ataupun linguistik kultural (cultural

linguistics); dan

(10) tipologi bahasa-bahasa di suatu lingkungan.

Berdasarkan pembagian Haugen tersebut, penelitian ini ada terkait dengan ruang kaji

(29)

Dalam lingkup kajian ekolinguistik, bahasa yang hidup dan digunakan

menggambarkan, mewakili, melukiskan (merepresentasikan secara simbolik-verbal)

realitas di lingkungan, baik lingkungan ragawi maupun lingkungan buatan manusia

(lingkungan sosial-budaya). Hal tersebut mengimplikasikan bahasa mengalami

perubahan seiring dengan perubahan lingkungan ragawi dan sosialnya, sebagaimana

dinyatakan Liebert (2001) dalam Mbete (2009:7) bahwa “… perubahan bahasa …

merepresentaikan perubahan ekologi.” Proses perubahan pada bahasa tersebut

berjalan secara bertahap dalam kurun waktu yang lama, tanpa disadari oleh

penuturnya, dan tidak dapat dihindari.

Perubahan pada bahasa itu tampak jelas teramati pada tataran leksikon.

Alasannya, kelengkapan leksikon dari suatu bahasa mencerminkan sebagian besar

karakter lingkungan ragawi dan karakteristik sosial serta budaya masyarakat

penuturnya. Sapir dalam Fill dan Muhlhausler (2001:14) menarik kesimpulan sebagai

berikut.

(30)

Sapir dalam Fill dan Muhlhausler (2001:2) juga menambahkan bahwa dalam lingkup

ekolinguistik, hubungan bahasa dan lingkungannya ada pada tataran leksikon saja,

bukan, misalnya, pada tataran fonologi atau morfologi ‘this interrelation exists merely

on the level of the vocabulary and not, for example, on that of phonology or

morphology.’

Pada tataran leksikon, dinamika dan perubahan bahasa dipengaruhi oleh tiga

dimensi (Lindø dan Bundegaard, 2000: 10-11), yakni

(a) dimensi ideologis, yaitu adanya ideologi atau adicita masyarakat misalnya

ideologi kapitalisme yang disangga pula dengan ideologi pasar sehingga perlu

dilakukan aktivitas terhadap sumber daya lingkungan, seperti muncul istilah dan

wacana eksploitasi, pertumbuhan, keuntungan secara ekonomis. Jadi ada upaya untuk

tetap mempertahankan, mengembangkan, dan membudidayakan jenis ikan atau

tumbuhan produktif tertentu yang bernilai ekonomi tinggi dan kuat,

(b) dimensi sosiologis, yakni adanya aktivitas wacana, dialog, dan diskursus

sosial untuk mewujudkan ideologi tersebut. Dalam dimensi ini bahasa merupakan

wujud praktis sosial yang bermakna, dan

(c) dimensi biologis, berkaitan dengan adanya diversifitas (keanekaragaman)

biota danau (atau laut, ataupun darat) secara berimbang dalam ekosistem, serta dengan

tingkat vitalitas spesies dan daya hidup yang berbeda antara satu dengan yang lain; ada

yang besar dan kuat sehingga mendominasi dan “menyantap” yang lemah dan kecil,

(31)

secara verbal terekam secara leksikon dalam khazanah kata setiap bahasa sehingga

entitas-entitas itu tertandakan, dan dipahami.

Sehubungan dengan dasar konsep dan teori di atas maka sejumlah segi yang

dapat dibedah dan dikaji di dalamnya mencakupi.

1. Leksikon-leksikon bermakna dan berfungsi referensial, yakni khazanah

leksikon yang referensi nyatanya dapat dilacak, dijejaki, dibuktikan secara

empirik atau kasat mata, karena dapat ditemukan di lapangan, atau juga kendati

masih diingat (dalam kognisi warga masyarakat di sekitarnya) oleh

penuturnya, baik tua maupun muda, namun sesungguhnya biota atau makhluk

hidup yang diwadahi dalam bahasa lokal itu, sudah terancam keberadaannya,

populasinya kian mengecil, bahkan ada yang sudah punah.

2. Secara kategori kelinguistikan, perangkat leksikon yang berkaitan dengan

lingkungan itu, khususnya lingkungan alam-danau atau kedanauan itu, (seperti

juga lingkungan kesultanan, kepurian, atau juga kepresidenan) sifat dan

karakternya jelas harus dipilah-pilah atau dikategorikan. Dengan demikian,

klasifikasi atau kategorisasi menjadi nomina (tatanama), verba, ajektiva, dapat

menjadi fokus kajian pula. Pasti ada nomina yang secara semantis tergolong

benda-benda mati tak bergerak (bebatuan, pasir, tanah liat), makhluk hidup

(non-insani), seperti nama-nama fauna, hewan/binatang dan tumbuhan (flora)

apa saja yang hidup di air danau a.l. ikan air tawar dalam bahasa lokal (Gayo)

dengan spesiesnya. Dikaji pula atau ditemukan pula, jika ada, nama-nama

(32)

hanya di danau atau yang khas danau tertentu. Demikian juga pasti cukup

banyak tanaman air tawar danau, juga dalam bahasa lokal yang harus

ditemukan, meskipun sebagiannya “tinggal ingatan” orang tua-tua, namun

sudah tidak ada lagi di danau itu.

3. Pertanyaan lebih kritis lagi dapat diajukan pula sebagai fokus kajian lebih

dalam yakni, mengapa sejumlah hewan air, tumbuhan air, yang menurut cerita

atau tuturan orang tua-tua itu, sudah tidak ada lagi dalam realita di lingkungan

danau itu? Selain penghilangan karena perburuan atau penangkapan,

pencemaran karena menggunakan racun atau bom misalnya, semuanya itu

dapat disingkap dalam kajian ini. Sebaliknya juga, apa saja yang tetap

terpelihara, sehingga populasi hewan air danau misalnya, atau juga tumbuhan

khas danau dan tepi danau tetap terjamin, perlu diungkapkan juga (nama-nama

latinnya juga perlu disertakan karena identifikasi dan klasifikasi biologis

universal sudah berlaku, (lihat Verheijen, 1991)).

4. Ungkapan-ungkapan, juga peribahasa, metafora-metafora, dan cerita-cerita

rakyat, dongeng, bahkan fabel (cerita binatang) tentang lingkungan tertentu,

adalah tanda adanya relasi mental manusia dengani lingkungan hidupnya yang

sudah hidup turun-temurun. Di baliknya atau di dalamnya kaya dengan

butir-butir makna tentang khazanah lingkungan.

5. Selain simbol-simbol verbal yang menggambarkan realitas kehidupan danau

dengan segala isinya yang tersingkap dalam bahasa setempat (semisal bahasa

(33)

mulut (tuturan) dan tangan (tulisan), khususnya dari bahasa Indonesia, atau

juga bahasa lainnya, perlu digali pula sebagai tanda hadirnya lingkungan

kebahasaan yang memang sudah beragam. Kata dan istilah dalam bahasa

Indonesia itu berkaitan dengan misalnya benih ikan atau tanaman air yang

dikembangkan dari luar dan tentunya memakai bahasa Indonesia atau bahasa

lain.

Dalam penelitian ekolinguistik yang pernah dilakukan oleh Mbete dan

Abdurahman (2009) terungkap dua hal. Pertama, sejumlah leksikon yang terekam

melalui proses konseptualisasi dalam pikiran penutur menjadi leksikon yang

fungsional untuk digunakan. Dengan kata lain, penutur bahasa, tidak akan

menggunakan leksikon yang tidak ada dalam konseptual mereka. Kedua, konsepsi

leksikal dalam alam pikiran penutur ini akan berubah sesuai dengan perubahan

lingkungan ragawi mereka. Perubahan itu terjadi dalam waktu yang cukup lama,

sehingga mengakibatkan menghilang atau menyusutnya sejumlah leksikon. Bahkan,

pada komunitas yang dwibahasawan, tidak hanya terjadinya perubahan, tetapi

pergeseran ke konsepsi leksikal bahasa yang lain.

2.2.2 Teori Sosiolinguistik

(34)

Pergeseran dan pemertahanan bahasa sebenarnya seperti dua sisi mata uang,

Crystal (2003:17) memaparkan pergeseran bahasa (language shif) sebagai ‘the

conventional term for the gradual or sudden move from the use of one language to

another (either by an individual or by a group)’ perubahan secara bertahap atau

tiba-tiba dari satu bahasa ke bahasa lain (baik secara perorangan atau kelompok).

Pergeseran bahasa disebabkan oleh sejumlah faktor, yaitu faktor sosiolinguistis,

psikologis, demografis, dan ekonomik (Gunarwan, 2006:102).

1. Yang termasuk faktor sosiolinguistis adalah adanya bilingualisme (atau

multilingualisme jika lebih dari dua bahasa terlibat).

2. Faktor psikologis dipengaruhi pandangan para anggota masyarakat bahasa

yang bersangkutan mengenai bahasa mereka di dalam konstelasi

bahasa-bahasa yang ada di dalam masyarakat (kebanggaan dan kesetiaan yang tinggi

terhadap bahasa).

3. Faktor demografis berhubungan dengan jumlah penutur yang kecil.

4. Faktor ekonomik dikaitkan dengan pemilihan bahasa menuju pekerjaan yang

lebih menguntungkan.

Menurut Rahardi (2006:68-70), pergeseran bahasa dapat dengan mudah

dicermati oleh siapapun pada aspek leksikon, yaitu adanya penambahan, pengurangan,

dan penghilangan makna kata. Misalnya, kata ‘papan’ semula hanya bermakna

‘belahan pipih dari sebatang kayu’, sekarang bertambah maknanya menjadi

‘perumahan’; dulu kata ‘sarjana’ bermakna ‘orang yang benar-benar pandai dan

(35)

sudah lulus dari jenjang pendidikan tinggi tertentu dan tidak pasti orang yang pandai

dan cerdas; kata ‘ceramah’ pada awal mulanya berarti ‘banyak bicara, cerewet’, kini

makna-makna tersebut telah hilang dan berganti makna baru menjadi ‘paparan atau

uraian dalam bidang ilmu tertentu’.

Berbeda dengan pergeseran bahasa, pemertahan bahasa terjadi jika dan bila

penuturnya secara kolektif tetap menggunakan bahasa tradisionalnya walaupun ada

desakan untuk beralih menggunakan bahasa yang lain. Membahas pemertahanan erat

kaitannya dengan kepunahan bahasa, artinya jika upaya pemertahanan tersebut gagal,

maka bahasa itu akan perlahan-lahan menjadi punah (Sumarsono dalam Damanik,

2009:9). Kemampuan bahasa untuk bertahan hidup menurut Holmes (2001:65) dalam

Gunarwan (2006:101-102) dipengaruhi oleh tiga komponen, yaitu

1) status bahasa yang bersangkutan seperti yang tercermin pada sikap masyarakat

bahasa itu terhadapnya;

2) besarnya kelompok penutur bahasa itu serta persebarannya; dan

3) seberapa jauh bahasa itu mendapat dukungan institusional.

2.2.3 Leksikon

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (2008:805) mendefinisikan leksikon

sebagai “kosakata; komponen bahasa yang memuat semua informasi tentang makna

dan pemakaian kata dalam bahasa; kekayaan kata yang dimiliki suatu bahasa.”

(36)

yaitu “leksikon mencakup komponen yang mengandung segala informasi tentang kata

dalam suatu bahasa seperti perilaku semantis, sintaksis, morfologis, dan fonologisnya,

sedangkan perbendaharaan kata lebih ditekankan pada kekayaan kata yang dimiliki

seseorang atau sesuatu bahasa.” Pendapat yang sama dengan Sibarani mengenai

leksikon dikemukakan oleh Booij (2007:16), yaitu ‘the lexicon specifies the properties

of each word, its phonological form, its morphological and syntactic properties, and

its meaning.’ Ia memberikan contoh leksikon melalui swim, dan swimmer:

a. /swιm/ /swιmər/

b. [x]V [[x]V er]N

c. SWIMACTIVITY PERSON PERFORMING SWIMACTIVITY

Contoh a. merupakan bentuk fonologi leksem swim,

Contoh b. merupakan struktur morfologi internal,

Contoh c. merupakan makna yang dinyatakan dengan huruf kapital kecil.

Dalam bahasa Indonesia diberikan contoh leksikon melalui ‘takut’ dan ‘penakut’

a. /takut/ /penakut/

b. [x]A [[x]A peN-]N [[x]A peN-]A

c. tidak berani orang yang takut mudah takut

Contoh a. merupakan bentuk fonologi leksem ‘takut’,

Contoh b. merupakan struktur morfologi internal,

(37)

2.2.4 Semantik Leksikal

Dari segi semantis, “setiap kata memiliki makna sesuai dengan lingkungan

budaya bahasa bersangkutan” (Sibarani, 1997:7). Pembahasan makna dalam kata

merupakan kajian semantik leksikal. Makna kata itu dianggap sebagai satuan mandiri,

bukan makna kata dalam kalimat (Pateda, 2001:74). Jadi, menurut semantik leksikal,

makna satu kata sesuai dengan referennya, sesuai dengan hasil observasi alat indera,

atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita. Contoh dalam bahasa

Gayo terdapat kata batang kayu yang referennya ‘pohon’, kayu referennya‘tumbuhan

tanpa batang’, dan iken referennya ‘ikan’.

Semantik berkaitan dengan semiotik. Dalam semantik, kata disebut lambang

(symbol) sedangkan dalam semiotik lambang itu sendiri disebut tanda (sign) (Pateda,

2001:25). Sebagai pengguna bahasa, masyarakat dikelilingi oleh tanda, diatur oleh

tanda, ditentukan oleh tanda, bahkan dipengaruhi oleh tanda. Tanda-tanda itu

mengandung makna. Dalam semiotik natural ditelaah sistem tanda yang dihasilkan

oleh alam (Pateda, 2001:31). Misalnya, air sungai keruh menandakan bahwa di hulu

telah turun hujan, tanah longsor memberikan tanda kepada manusia bahwa manusia

telah merusak alam.

Kata merupakan tumpuan dalam pembahasan semantik leksikal. Sweet dalam

(38)

(form words). Kata penuh mengandung makna tersendiri. Kata ini bebas konteks

kalimat sehingga mudah dianalisis. Misalnya, nomina, verba, ajektiva, dan adverbia.

Kata tugas merupakan bentuk bebas yang terikat konteks kalimat. Kata ini

mengandung makna apabila berada dalam kalimat. Contohnya, pronomina, numeralia,

interogativa, demonstrativa, artikula, preposisi, konjungsi, interjeksi. Partikel

merupakan bentuk terikat yang melekat pada kata dasar dan terikat pada konteks

kalimat.

Sesuai dengan rumusan masalah yang sudah ditetapkan pada bab I, subbab ini

membahas kata penuh nomina (kata benda), yang pembatasannya merujuk pada

pendapat Chaer (2006:86-88) sebagai berikut.

2.2.4.1 Kata benda

Kata-kata yang dapat diikuti dengan frase yang … atau yang sangat …disebut

kata benda. Misalnya kata-kata:

- lut tawar we jeroh

lut tawar yang indah

‘danau yang indah’

Ada tiga macam kata benda yaitu:

A. Kata benda yang jumlahnya dapat dihitung, sehingga di depan kata benda itu dapat

diletakkan kata bantu bilangan. Ke dalam kelompok kata benda ini termasuk kata-kata

(39)

(1) orang. Termasuk kata-kata:

(a) nama diri, seperti Hasan, Abas, Siti, dan Ida.

(b) nama perkerabatan, seperti ngi (adik), ine (ibu), sudere (saudara), dan

Aka (kakak).

(2) hewan, seperti lipe (ular), dan kintis (semut).

(3) tumbuhan atau pohon, lasun ilang (bawang merah), dan jamu (jambu),

(4) alat, perkakas, atau perabot, seperti dedisen, kik (alat tangkap ikan tradisional),

(5) benda alam, seperti atu (batu), dan one (pasir),

(6) hal atau proses, seperti uren (hujan),

(7) hasil, seperti belacan (terasi hasil olahan ikan depik).

B. Kata benda yang jumlahnya tak terhitung. Untuk dapat dihitung di depan kata

benda itu harus diletakkan kata keterangan ukuran satuan seperti gram, ton, cm

(sentimeter), km (kilometer), persegi, hektare, liter, kubik; termasuk juga kata-kata

yang menyatakan nama wadah yang menjadi tempat benda tersebut, seperti karung,

gelas, tem (kaleng), motor (truk), dan gerbak (gerobak); serta kata-kata seperti

saraikat ((se)ikat), (se)potong, sengkerat ((se)kerat), (se)tumpuk, sarairis ((se)iris).

Ke dalam kelompok kata benda ini termasuk kata-kata yang menyatakan:

(1) bahan, seperti one (pasir), papan (kayu), dan gule depik (ikan depik),

(40)

C. Kata benda yang menyatakan nama khas. Di muka kata benda ini tidak dapat

diletakkan kata bilangan, seperti Takengon, dan Lut Tawar.

2.3 Kajian Hasil-Hasil Penelitian yang Relevan

Berdasarkan survei pustaka dan keterangan lain-lain, ternyata penelitian

tentang ekologi bahasa Gayo (terkait dengan Lut Tawar),  khususnya mengenai

leksikon belum pernah dilakukan. Padahal unsur leksikon merupakan salah satu aspek

kebahasaan yang sangat penting untuk pembinaan dan pengembangan bahasa itu, di

samping aspek-aspek yang lain. Kendatipun demikian artikel-artikel tentang

penelitian ekolinguistik yang pernah diterbitkan berikut ini bermanfaat dalam

penelitian ini.

Linguistic Erosion on the Chesapeke: Intergenerational Diachronic Shifts in

Lexicalizations of the Bay oleh Anjali Pandey (2000). Artikel ini membahas

pergeseran penggunaan istilah across the bay (di seberang teluk) yang berorientasi

lingkungan ragawi menjadi across the bridge (di seberang jembatan) yang berorientasi

infrastruktur untuk merujuk pada west of the Chesapeake Bay oleh tiga generasi

dengan kelompok umur yang berbeda. Temuan penelitian menunjukkan bahwa

generasi muda lebih memilih istilah across the bridge. Hal ini dipengaruhi oleh

kurikulum sekolah yang kurang berorientasi pada lingkungan. Yang dijadikan acuan

(41)

proses pengujian data dengan memberikan empat pilihan jawaban, dan metode

analisis berdasarkan persentase.

Sacred Worldview in Tribal Memory: Sustaining Nature through Cultural

Actions oleh Mahendra K. Mishra dalam Anna Vibeke dan Bundsgaard (2000).

Berdasarkan hasil penelitian ini, diketahui bahwa mitos dan ritual berfungsi

menyatukan pikiran dan tindakan penduduk asli suatu distrik di India;

menghubungkan yang tidak bernyawa dengan yang bernyawa, dan masa lalu dengan

sekarang. Setiap kata memiliki tujuan dan makna yang dinikmati, didistribusikan dan

disosialisasikan. Akan tetapi, pembangunan jalan, pengenalan alat transportasi

modern, dan ekploitasi lahan dan manusia memaksa komunitas lokal menerima

budaya baru yang melupakan alam. Selain itu, masuknya bahasa asing mendesak

bahkan memusnahkan tradisi oral yang sarat dengan kearifan lokal, mengakibatkan

perubahan perilaku penduduk asli dalam memperlakukan alam dan sumber daya yang

dimilikinya. Penelitian ini bermanfaat dalam penulisan subbab Saran dalam Bab

Simpulan dan Saran, yaitu pentingnya upaya pelestarian budaya dan bahasa lokal

untuk memelihara kelestarian lingkungan.

Penyusutan Fungsi Sosioekologis Bahasa Melayu Langkat pada Komunitas

Remaja di Stabat, Langkat oleh Aron Meko Mbete dan Abdurahman Adisaputera

(2009). Dari hasil tes penguasaan leksikon responden terungkap bahwa rata-rata

pemahaman remaja tentang leksikon bahasa Melayu Langkat (BML) tergolong

rendah. Perubahan itu dipicu oleh (1) kurangnya interaksi komunitas remaja dengan

(42)

tidak terkonsep dalam alam pikiran penutur, dan (3) konsepsi leksikal penutur tentang

entitas-entitas itu bukan dalam piranti BML, tetapi dalam bahasa lain. Yang dijadikan

acuan dari penelitian ini adalah penyebab perubahan pemahaman leksikon

sebagaimana disebutkan di atas, teknik pengumpulan/pemerolehan, dan analisis data.

Dalam penelitian mereka, pemerolehan data dilakukan dengan mendokumentasi

leksikon BML terkait dengan lingkungan alamiah komunitas Melayu di Stabat. Ada

150 leksikon yang diujikan kepada responden. Tujuan pengujian adalah melihat

peringkat keterpahaman responden terhadap leksikon yang berhubungan dengan

lingkungan alamiah mereka yang sebenarnya dalam bahasa mereka. Hasil pengujian

dapat dijelaskan dengan memparafrasekan situasi penggunaan leksikon tersebut yang

dikaitkan dengan kondisi sosioekologis remaja secara nyata. Setiap leksikon

dideskripsikan sesuai dengan hasil survei lapangan tentang sosioekologis Melayu di

Stabat.

Ekologi Bahasa dan Pengaruhnya dalam Dinamika Kehidupan Bahasa

Melayu Loloan Bali oleh I Nyoman Suparwa, Fakultas Sastra Universitas Udayana.    Kehidupan dan perkembangan bahasa Melayu (BM) Loloan dipengaruhi oleh tiga hal,

yaitu hubungan penutur bahasa dengan lingkungan alamnya, hubungan sosial penutur

dengan penutur lainnya, dan hubungan penutur dengan Sang Penciptanya.

Berdasarkan faktor pertama, yaitu hubungan penutur bahasa dengan lingkungan

alamnya, diketahui bahwa lingkungan tempat tinggal dan pekerjaan penutur

memengaruhi perkembangan BM Loloan. Lingkungan alam pesisir dan pinggir

(43)

dengan kata-kata tentang laut, nelayan, dan rumah panggung. Namun pengaruh faktor

alam seperti penggundulan hutan, berkurangnya curah hujan, dan pendangkalan

sungai, memengaruhi cara hidup dan menimbulkan pola pikir ekonomis generasi

penutur bahasa Loloan berikutnya dalam menjalani kehidupan. Profesi nelayan

ditinggalkan, diganti dengan profesi pedagang, buruh, tukang, dan rumah panggung

digantikan dengan rumah biasa yang sedikit menggunakan kayu. Sejalan dengan

perubahan profesi dan bentuk rumah, istilah-istilah baru bermunculan mengakibatkan

istilah-istilah lama hampir tidak dikenal lagi. Terkait dengan penelitian leksikon

nomina bahasa Gayo di lingkungan kedanauan Lut Tawar, faktor pertama di atas

mengilhami peneliti dalam menulis subbab Saran dalam Bab Simpulan dan Saran.

Ungkapan-Ungkapan dalam bahasa Lio dan Fungsinya dalam Melestarikan

Lingkungan oleh Aron Meko Mbete (2002:174-186). Penelitian ini menguak warisan

budaya leluhur masyarakat etnik Lio, Flores, berupa ungkapan-ungkapan verbal yang

memiliki fungsi untuk melestarikan lingkungan hidup. Ungkapan-ungkapan budaya

verbal tersebut dirinci sebagai berikut. Pertama, ungkapan yang berfungsi

memelihara keserasian hubungan dengan alam semesta, terutama dengan Sang

Khalik, dan dengan leluhur pewaris lahan. Kedua, ungkapan yang berfungsi untuk

melestarikan lahan dengan menggunakan teknik tradisional yang mendukung

lingkungan. Ketiga, ungkapan yang mengamanatkan pemeliharaan hutan lindung dan

sumber air. Keempat, ungkapan yang berfungsi untuk melestarikan pantai dan laut.

Kelima, ungkapan yang berfungsi untuk melestarikan dan menjaga kebersamaan dan

(44)

kandungan makna ungkapan-ungkapan terkait dengan pelestarian lingkungan alam

kedanauan Lut Tawar yang populer di kalangan penutur Gayo. Selain itu, temuan

dalam penelitian, yaitu merosotnya pemahaman nilai dan norma pelestarian

lingkungan dikarenakan kesenjangan kebahasaan antargenerasi menjadi pembanding

bagi peneliti dalam merumuskan kesimpulan penelitian leksikon nomina bahasa Gayo

ini.

Kasus-Kasus Pergeseran Bahasa Daerah: Akibat Persaingan dengan Bahasa

Indonesia oleh Asim Gunarwan (2006:95-113). Tulisan ini menyoroti beberapa kasus

pergeseran bahasa daerah di Indonesia dan mencoba menjelaskan mengapa hal itu

terjadi. Penjelasan dicoba dengan mencari alasan-alasannya, yang mencakupi nosi

vitalitas etnolinguistis, faktor-faktor yang ikut memicu pergeseran, termasuk

kekalahan di dalam persaingan bahasa daerah dari bahasa Indonesia berdasarkan

konsep geolinguistis. Tulisan ini dijadikan acuan dalam hal penyebab pemertahanan

dan pergeseran bahasa. Tiga komponen penyebab bahasa mampu untuk bertahan

hidup menurut Holmes (2001:65), yaitu 1) status bahasa yang bersangkutan seperti

yang tercermin pada sikap masyarakat bahasa itu terhadapnya; 2) besarnya kelompok

penutur bahasa itu serta persebarannya; dan 3) seberapa jauh bahasa itu mendapat

dukungan institusional. Sedangkan pergeseran bahasa disebabkan faktor

sosiolinguistis, psikologis, demografis, dan ekonomik.

Ungkapan Verbal Etnis Melayu dalam Pemeliharaan Lingkungan oleh Tengku

Silvana Sinar (2010:70-83). Makalah ini membahas dampak degradasi lingkungan

(45)

dan Serdang Bedagai, yang ditandai dengan semakin langka dan kurang dikenalnya

sejumlah leksikon tumbuhan yang terdapat dalam sastra lisan Melayu, yaitu pantun,

pepatah, dan jargon. Selain itu, permasalahan yang mengemuka juga dikaitkan

dengan perspektif linguistik sistemik fungsional, yaitu metafungsi bahasa. Latar

belakang penulisan makalah ini, yaitu perlunya upaya penyelamatan bahasa daerah di

Indonesia dikarenakan ancaman hegemoni dan dominasi beberapa bahasa

internasional, regional dan nasional memperkuat subbab Teori Ekolinguistik dalam

Bab Kajian Pustaka tesis ini. Di samping itu, pengungkapan kearifan lokal mengenai

pelestarian lingkungan dalam sastra lisan pantun dan pepatah memengaruhi peneliti

untuk lebih kritis dalam menganalisis makna ungkapan atau peribahasa yang dimiliki

penutur Gayo terkait upaya pelestarian lingkungan alam kedanauan Lut Tawar yang

(46)

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini melalui tiga tahap, yaitu tahap pralapangan, tahap kegiatan

lapangan, dan tahap analisis.

3. 1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ekolinguistik bahasa Gayo ini dilakukan pada empat kecamatan

yang mengelilingi Lut Tawar, Kabupaten Aceh Tengah, yaitu Kecamatan Bebesen,

Kecamatan Kebayakan, Kecamatan Bintang, dan Kecamatan Lut Tawar.

Tahap pengerjaan lapangan tidak mengenal pembatasan waktu, namun

diusahakan seefisien mungkin dengan memperhitungkan keterbatasan waktu, tenaga,

dan biaya yang digunakan. Pengumpulan data leksikon dilakukan selama sepuluh hari

(14-24 Maret 2010), sedangkan pengujian keterpahaman data leksikon pada

masyarakat di empat kecamatan sekitar danau dilakukan selama tiga minggu (7-28

April 2010).

3.2 Pendekatan dan Metode

Penelitian ini menggunakan pendekatan dan metode kualitatif. Creswell dalam

(47)

penyelidikan untuk memahami masalah sosial atau masalah manusia, berdasarkan

pada penciptaan gambar holistik yang dibentuk dengan kata-kata, melaporkan

pandangan informan secara terperinci, dan disusun dalam sebuah latar ilmiah.” Salah

satu ciri utama penelitian kualitatif ialah peranan manusia sebagai instrumen

(Moleong, 1994:167). Dengan mengacu pada pemikiran tersebut, peneliti sendiri

merupakan instrumen untuk pengumpulan data.

3.3 Sumber Data

Menurut Lofland dan Lofland (1984:47) dalam Basrowi dan Suwandi

(2008:169), “sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata… dan

selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain.” Berdasarkan

pendapat itu, data penelitian ini bersumber dari data lisan dan data tertulis tentang

leksikon nomina bahasa Gayo yang berkaitan dengan lingkungan ragawi Lut Tawar,

sedangkan mengenai jumlah data merujuk pada Chaer (2007:39) yang menyatakan

bahwa dalam penelitian kualitatif, “jumlah data yang dikumpulkan tidak tergantung

pada jumlah tertentu, melainkan tergantung pada taraf di mana dirasakan telah

memadai.”

3.4 Pengumpulan Data

Data leksikon nomina bahasa Gayo terkait dengan lingkungan ragawi Lut

(48)

mendalam. Observasi nonpartisipan dilakukan terhadap situasi alam sekitar danau,

misalnya mengamati tumbuhan, hewan, benda-benda mati yang terdapat di sekitar

danau dan berbagai kegiatan, perilaku, dan tindakan penutur bahasa Gayo di kawasan

danau secara intensif, sebagaimana dijelaskan Basrowi dan Suwandi (2008:94), “…

observasi tidak terbatas pada orang tetapi juga objek-objek alam yang lain.”

Wawancara mendalam terstruktur dan terbuka dilakukan kepada beberapa

orang informan. Pemilihan informan merujuk kepada kriteria Mahsun (2005:141-142)

dan Keraf (1984:157) yang disesuaikan dengan tujuan penelitian. Di antaranya:

1) berjenis kelamin pria atau wanita;

2) berusia di atas 15 tahun;

3) orang tua, istri atau suami informan lahir dan dibesarkan di desa itu;

4) menetap di sekitar Lut Tawar minimal selama 10 tahun ;

5) menguasai pertanyaan dalam bahasa Gayo;

6) dapat berbahasa Indonesia;

7) untuk informan tua, pendengarannya baik dan tidak pikun.

Dalam penelitian ini ditentukan empat informan pendamping dan 72 informan utama.

Wawancara dilakukan berdasarkan daftar pertanyaan yang terdiri atas

1. leksikon biota Lut Tawar;

2. istilah-istilah tradisional alat penangkapan, penggemukan dan pembesaran,

pengawetan, dan pengolahan hasil danau;

3. kondisi lingkungan ekologis danau.

(49)

Mengenai bahasa, dalam berinteraksi dengan informan digunakan bahasa

Indonesia. Hal ini berdasarkan temuan di lapangan bahwa semua penutur bahasa Gayo

fasih berbicara dalam bahasa Indonesia.

Sumber Data

Dokumen Observasi Wawancara Foto tertulis nonpartisipan mendalam

Reduksi data

Pengkategorian data

Bagan 1 Pengumpulan Data

Proses pengumpulan data melalui dokumen tertulis, observasi nonpartisipan,

wawancara mendalam, dan foto. Data yang sudah terkumpul kemudian direduksi dan

dikategorikan berdasarkan tempat hidup dan jenisnya.

3.5 Pengujian Data

Pengumpulan data leksikon kemudian dilanjutkan dengan pengujian data untuk

(50)

lingkungan ragawi di dalam dan sekitar Lut Tawar masih dikenal dan digunakan dalam

keseharian. Pengujian dilakukan kepada 72 informan Gayo yang tinggal di empat

kecamatan sekeliling Lut Tawar. Informan yang dipilih dilahirkan dan dibesarkan di

tanah Gayo. Dari hasil survei ditemukan bahwa yang mampu menguasai pertanyaan

dalam bahasa Gayo adalah rentang usia 15-65 tahun. Namun, di lapangan ditemukan

juga informan yang berusia 80 tahun yang masih jelas pancaindra dan ingatannya,

dijadikan juga sebagai informan pendamping. Dari rentang usia 15-65 tahun, peneliti

mengelompokkan menjadi tiga kelompok usia, yaitu

1) 15-20 tahun,

2) 21-45 tahun, dan

3) di atas 46 tahun.

Adapun alasan pembagian kelompok usia tersebut adalah sebagai berikut.

1. kelompok usia remaja (15-20 tahun) mengacu pada pendapat psikolog (lihat

Santrock, 1997:19-20; Mubin dan Cahyadi, 2006:106);

2. kelompok usia dewasa, yaitu awal masa dewasa (21-45 tahun) (lihat Mubin

dan Cahyadi, 2006:115);

3. kelompok pertengahan masa dewasa dan masa dewasa lanjut/masa tua (di atas

46 tahun) (lihat Mubin dan Cahyadi, 2006:115).

Tiap kelompok usia pada tiap kecamatan terdiri atas tiga pria dan tiga wanita. Jadi,

pada satu kecamatan diperoleh 18 informan. Penentuan jumlah informan pada tiap

(51)

penelitian bahasa sampel yang besar tidak diperlukan, karena perilaku linguistik

cenderung lebih homogen dibandingkan dengan perilaku-perilaku yang lain.”

Instrumen pengujian adalah tabel pertanyaan yang memiliki 360 leksikon

nomina. Leksikon yang diuji mencakup leksikon yang terkait dengan nama fauna,

nama flora, alat-alat penangkap ikan tradisional dan alat pembesaran dan

penggemukan ikan. Leksikon-leksikon tersebut dibagi menjadi 10 kelompok

berdasarkan tempat hidup biota, jenis biota, alat tangkap ikan, dan alat pembesaran

dan penggemukan ikan. Seperti yang telah dikemukakan di atas, pengujian leksikon

dilakukan untuk mengetahui peringkat keterpahaman penutur Gayo terhadap leksikon

nomina bahasa Gayo yang berhubungan dengan lingkungan alamiah Lut Tawar dan

untuk menentukan masih adanya referen leksikon itu. Oleh karena itu, pada tiap

kelompok leksikon diajukan empat pilihan, yaitu

1. pilihan 1 bermakna penutur kenal dan referennya masih banyak,

2. pilihan 2 bermakna penutur kenal dan referennya sedikit/langka,

3. pilihan 3 bermakna kenal dan referennya sudah punah,

4. pilihan 4 bermakna penutur sama sekali tidak kenal.

Istilah kenal bermakna informan dapat mendeskripsikan ciri-ciri leksikon, pernah

melihat, mendengar, dan menggunakan leksikon tersebut.

Selama proses pengujian data, juga dilakukan proses reduksi data sehingga

dapat diperoleh gambaran yang lebih objektif mengenai kategori leksikon nomina

(52)

3.6 Analisis Data

Moleong (1994:103) mendefinisikan analisis data sebagai “proses

mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian

dasar sehingga dapat ditemukan tema ....” Analisis data sudah dimulai sejak

pengumpulan data dilakukan dan sesudah meninggalkan lapangan.

Dalam menganalisis data, jawaban dari setiap informan disimbolkan dalam

bentuk angka dalam tabel untuk seluruh kecamatan, per kecamatan, dan juga untuk

gender dan usia. Angka-angka tersebut kemudian dijumlahkan diubah ke dalam

bentuk persen lalu ditabulasikan untuk seluruh kecamatan, tiap kecamatan, dan

menurut gender dan usia, sehingga akan terlihat kecenderungan-kecenderungan

tertentu. Selain itu, analisis juga dilakukan pada hasil wawancara dengan informan

kunci, untuk memperoleh gambaran kelestarian lingkungan Lut Tawar.

Pengujian data kepada informan

Analisis data

Persentase Penafsiran wawancara

Temuan

(53)

3.7 Pengecekan Keabsahan Penelitian

Agar hasil penelitian dapat dipertanggungjawabkan kredibilitasnya, perlu

dilakukan pemeriksaan keabsahan data yang didasarkan atas kriteria Moleong

(1994:175) yang telah disesuaikan dengan tujuan penelitian ini, yaitu

1) ketekunan pengamatan,

2) triangulasi,

3) pengecekan atau diskusi sejawat, dan

4) kecukupan referensial.

Dalam penelitian ini pemeriksaan keabsahan data dilakukan dengan ketekunan

pengamatan, diskusi sejawat dan kecukupan referensial.

3.8 Penyajian Hasil Analisis Data

Penyajian hasil analisis data dilakukan dengan dua metode, yaitu metode yang

bersifat informal dan metode yang bersifat formal. Metode jenis pertama dilakukan

dengan kata-kata biasa (a natural language) walaupun dengan terminologi yang teknis

sifatnya dan metode kedua dilakukan dengan tanda dan lambang (an artificial

(54)

BAB IV

GAMBARAN UMUM LUT TAWAR

Secara administratif, Kabupaten Aceh Tengah  berada di wilayah Provinsi Aceh.  Batas‐

batas wilayah, di sebelah barat dengan Kabupaten Aceh Barat, Pidie dan Nagan Raya, di 

sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Aceh Timur, di sebelah utara dengan 

Kabupaten Bener Meriah dan Kabupaten Bireuen, sedangkan di sebelah selatan dengan 

Kabupaten Gayo Lues. Secara geografis daerah ini terletak di antara garis‐garis koordinat 

95o 15’40” – 97o 20’25” BT dan 4o 10’33” – 5o 57’50” LU, dengan luas daratan sekitar 

4.318,39 kilometer persegi (Gambar 1).  

Kota Takengon sebagai ibukota Kabupaten Aceh Tengah relatif mudah dicapai

dari kota Banda Aceh (ibukota Provinsi Aceh) dan kota Medan (ibukota Provinsi

Sumatera Utara). Dengan menggunakan transportasi darat sekitar 12 jam waktu

tempuh, sepanjang perjalanan akan melewati kampung-kampung dan kota-kota

kabupaten dengan panorama hutan, bukit, dataran, dan lembah. Dari kota Takengon

ke kota-kota kecamatan tersedia jaringan jalan beraspal dengan kondisi cukup baik,

sedangkan dari kota kecamatan ke desa-desa umumnya masih berupa jalan tanah

ataupun jalan perkerasan. Transportasi dalam kota dan menuju kota-kota kecamatan

dapat ditempuh dengan becak mesin dan labi-labi (angkutan umum kota). Tarif

Gambar

Gambar 1.  Peta Lut Tawar 
Tabel Rangkuman Tingkat Pemahaman Nomina Kedanauan Lut Tawar
Tabel tersebut menunjukkan bahwa leksikon nomina yang jarang digunakan
Tabel tersebut menggambarkan ada penurunan tingkat pemahaman pada
+7

Referensi

Dokumen terkait

Leksikon ekoagraris dalam bahasa Angkola/Mandailing di Kecamatan Sayurmatinggi terdiri atas 11 kelompok leksikon yaitu (1) leksikon bagian sawah (2) leksikon

dalam Penelitian Umiyati berupa metafora guyub tutur bahasa Bima yang dibagi menjadi 6, yaitu (1) metafora terkait hewan-hewan pertanian; (2) metafora berkaitan

leksikon bahasa Jawa dalam lingkungan kepadian di Desa Suka Makmur,. Kecamatan Binjai,

Leksikon lingkungan kelautan apa saja yang masih bertahan dalam bahasa. Pesisir Sibolga pada usia remaja,kelompok usia dewasa,

Dari sebelas kelompok leksikon tersebut diperoleh 315 leksikon nomina , leksikon verba terdiri atas 66 leksikon , dan leksikon adjektiva terdiri atas 13 leksikon, total leksikon yang

“ Leksikon Nomina Bahasa Gayo dalam Lingkungan Kedanauan Laut Tawar : Kajian Ekolinguistik” (Tesis).. Pascasarjana Universitas Sumatera

Dari hasil analisis, dapat diketahui bahwa leksikon ekoagraris dalam bahasa Angkola/Mandailing di Kecamatan Sayurmatinggi terdiri atas 11 kelompok leksikon yaitu (1)

Sebaliknya, Sibarani (1997:4) sedikit membedakan leksikon dari perbendaharaan kata, yaitu “leksikon mencakup komponen yang mengandung segala informasi tentang kata dalam