• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dinamika Postpurchase Dissonance Pada Wanita Dengan Tipe Kepribadian Introvert

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Dinamika Postpurchase Dissonance Pada Wanita Dengan Tipe Kepribadian Introvert"

Copied!
138
0
0

Teks penuh

(1)

DINAMIKA POSTPURCHASE DISSONANCE PADA

WANITA DENGAN TIPE KEPRIBADIAN

INTROVERT

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan

Ujian Sarjana Skripsi

Oleh :

FEBRI JAYANTI

101301106

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)
(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan dengan sesungguhnya

bahwa skripsi saya yang berjudul :

Dinamika Postpurchase Dissonance Pada Wanita Dengan Tipe Kepribadian Introvert

adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh

gelar kesajarnaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari

hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan

norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi

ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera

Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Mei 2014

Febri Jayanti

(4)

Dinamika Postpurchase Dissonance pada Wanita dengan Tipe Kepribadian Introvert

Febri Jayanti dan Eka Danta Jaya Ginting

ABSTRAK

Postpurchase dissonance (PPD) adalah suatu keraguan atau kecemasan yang dialami oleh seorang konsumen setelah melakukan suatu keputusan yang sulit dan relatif permanen (Hawkins, Mothersbaugh & Best, 2007). Berdasarkan fenomena yang ditemui di lapangan, kepribadian merupakan salah satu faktor internal yang mempengaruhi perilaku seorang konsumen dalam melakukan kegiatan pembelian sehingga merasakan postpurchase dissonance.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat dinamika terjadinya postpurchase dissonance pada konsumen wanita dengan tipe kepribadian introvert. Dinamika

postpurchase dissonance tersebut akan digambarkan melalui dimensi yang dikemukakan oleh Sweeney, Hausknecht, dan Soutar (2000). Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif dengan jumlah responden sebanyak 2 (dua) orang. Prosedur pengambilan responden dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode purposive yang terstratifikasi. Metode pengumpulan data yang dilakukan adalah metode wawancara mendalam dengan menggunakan metode umum.

Hasil penelitian menunjukkan bagaimana dinamika postpurchase dissonance yang dialami oleh kedua responden dengan tipe kepribadian introvert. Dimana ditemukannya dimensi emotional dan wisdom of purchase pada keduanya. Sementara dimensi concern over deal tidak ditemukan pada kedua responden.

Sebagai implikasinya, hendaklah konsumen wanita dengan tipe kepribadian introvert dapat lebih terbuka dalam proses pembelian untuk mengurangi kecenderungan merasakan dissonance setelah pembelian. Proses setelah pembelian dapat sangat mempengaruhi sikap konsumen terhadap produk dimasa depan. Maka bagi marketers, pentingnya untuk lebih peka terhadap ragam konsumen dengan berbagai tipe agar dapat menyesuaikan pemberian informasi mengenai produk untuk mengurangi kecenderungan evaluasi negatif konsumen terhadap pembelian yang tidak memuaskan.

(5)

Dynamics of Postpurchase Dissonance in Women with Introverted Personality

Types

Febri Jayanti and Eka Danta Jaya Ginting

ABSTRACT

Postpurchase dissonance (PPD) is a doubt or anxiety experienced by a consumer after making a hard decision and relatively permanent (Hawkins, Mothersbaugh & Best, 2007). Based on the phenomena encountered in the field, personality is one of the internal factors that influence the behavior of consumers in making purchasing activities which led them to postpurchase dissonance.

This study aims to look at the dynamics of the consumer postpurchase dissonance in women with introverted personality types. The dynamics of postpurchase dissonance will be described by the dimensions proposed by Sweeney, Hausknecht and Soutar (2000). This study used a qualitative approach with case study methods and takes 2 (two) respondents. The technique of selecting the respondents uses purposive stratified sampling. The data collection method used is depth interviews by common method.

The results shows how the dynamics of postpurchase dissonance experienced by both respondent with introverted personality types. Where the dimensions of emotional and wisdom of purchase found on both respondent. While the dimensions of concern over the deal was not found.

As the implication, female consumers with a more introverted personality type are expected to be more open up themselves in the purchasing process to reduce the tendency to feel dissonance. The process of purchase can greatly affect consumer attitudes toward the product in the future. So for marketers, the need to be more sensitive to a variety of consumers with different types in order to adjust the provision of information about the product is quiet important to be considered to reduce the tendency of consumers negative evaluation to the product of unsatisfactory purchases.

(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah selalu kita panjatkan kehadirat Allah SWT

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul penelitian adalah

“Dinamika Postpurchase Dissonance pada Wanita dengan Tipe Kepribadian Introvert“. Guna memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana

Psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Pada kesempatan ini

penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak yang turut membantu

penyelesaian penelitian ini, antara lain :

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, M.Psi., psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi

Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Eka Danta Jaya Ginting, M.A., psikolog selaku dosen pembimbing

skripsi yang telah bersedia membimbing, memberikan waktu, tenaga, dan

pemikiran, serta memberikan semangat dan saran mulai dari awal

penyusunan proposal penelitian ini hingga selesai menjadi suatu skripsi.

3. Bapak Ari Widyanta., M.Si, Psikolog dan Kak Siti Zahreni., M.Psi,

Psikolog selaku penguji sidang skripsi penulis. Terimakasih atas

masukannya hingga penelitian ini dapat menjadi lebih baik.

4. Ibu Eka Ervika, M.Si, psikolog selaku dosen pembimbing akademik.

5. Seluruh dosen-dosen pengajar dan staf pegawai Fakultas Psikologi yang

telah membagikan segala ilmu pengetahuan dan pengalaman kepada

(7)

6. Kedua orangtua yang sudah mendukung dalam bentuk moril maupun

materil. Serta untuk semua pengharapannya dan kepercayaannya. Kalian

yang terbaik.

7. Abangda Deni Syahputra dan Iqbal Saputra, kakak ku Eni Kamara juga

Desi Kamara. Each of you are my inspiration.

8. Seluruh Keluarga besar, kakak dan abang ipar serta keponakan tersayang

Alifia, Ifando, Rafa Dani, Quinsha, dan Rihoney.

9. Sahabatku Fithra Runisya Simamora, Terimakasih banyak atas

persahabatan yang istimewa. I’ve learn so much new things from you. 10.Dila, Dini, Mariyah makasih supportnya dari SMA sampe sekarang.

Semoga tak kan hambar dimakan waktu :D

11.UF (Cici, Ica, Olin, Anis, Nanda) yang selalu ada mewarnai hari-hari

selama perkuliahan, tetap unyu ya girls.

12.Seluruh teman-teman angkatan 2010, terimakasih atas semua canda tawa,

sedih, kegilaan, dan memori selama masa perkuliahan.

13.Abang dan kakak senior yang telah memberikan informasi, masukan,

dukungan selama pengerjaan skripsi.

14.Kedua responden yang sudah bersedia meluangkan waktunya dan berbagi

informasi kepada penulis. Semoga kebaikannya mendapat balasan oleh

yang Maha Kuasa.

15.Seluruh pihak yang tidak disebutkan diatas. Atas masukan dukungan,

(8)

Akhir kata penulis mohon maaf apabila terdapat kekurangan dalam

penyusunan skripsi ini. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi banyak pihak.

Medan, 08 Mei 2014

(9)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR SKEMA ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pertanyaan Penelitian ... 14

C. Tujuan Penelitian ... 14

D. Manfaat Penelitian ... 14

D.1. Manfaat Teoritis... 14

D.2. Manfaat Praktis ... 14

E. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II LANDASAN TEORI ... 16

A. Postpurchase Dissonance ... 16

A.1 Pengertian Postpurchase Dissonance ... 16

(10)

B. Kepribadian ... 19

B.1 Tipe Kepribadian ... 20

B.2 Tipe Kepribadian Introvert ... 21

C. Perilaku membeli pada konsumen wanita ... 22

D. Dinamika Postpurchase Dissonance pada konsumen Tipe Kepribadian Introvert ... 24

KERANGKA BERFIKIR ... 29

BAB III METODE PENELITIAN ... 30

A. Pendekatan Kualitatif ... 30

B. Responden Penelitian ... 31

B.1. Karakteristik Responden ... 31

B.2. Jumlah Responden ... 32

B.3. Prosedur Pengambilan Responden ... 32

C. Metode Pengambilan Data ... 33

D. Alat Bantu Pengumpulan Data ... 35

E. Kredibilitas dan Validitas Penelitian ... 36

F. Prosedur Penelitian ... 37

G. Teknik dan Prosedur Analisa ... 41

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN ... 45

A. Responden I ... 45

(11)

A.2. Data Wawancara ... 53

A.3. Rangkuman Hasil Wawancara ... 53

B. Responden II ... 74

B.1. Gambaran Pembelian Responden II ... 74

B.2. Data Wawancara ... 80

B.3. Rangkuman Hasil Wawancara ... 80

C. PEMBAHASAN ... 101

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 117

A. KESIMPULAN ... 117

B. SARAN ... 119

(12)

DAFTAR TABEL

(13)

DAFTAR SKEMA

Skema 1. Kerangka Berfikir

Skema 2. Gambaran pembelian produk sweater A Skema 3. Gambaran pembelian produk dress

Skema 4. Gambaran pembelian produk sweater B Skema 5. Gambaran pembelian produk laptop Resp I

Skema 6. Gambaran pembelian produk sepatu flat

Skema 7. Gambaran pembelian produk handphone Resp I Skema 8. Gambaran pembelian produk sepatu croccs

Skema 9. Dinamika Postpurchase Dissonance pada wanita dengan tipe Kepribadian Introvert Responden I

Skema 10. Gambaran pembelian produk lipbalm

Skema 11. Gambaran pembelian produk handphone Resp II Skema 12. Gambaran pembelian produkTas

Skema 13. Gambaran pembelian produk Laptop Resp II

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1 Pedoman Wawancara

LAMPIRAN 2 Informed Consent

LAMPIRAN 3 Verbatim Wawancara

(15)

Dinamika Postpurchase Dissonance pada Wanita dengan Tipe Kepribadian Introvert

Febri Jayanti dan Eka Danta Jaya Ginting

ABSTRAK

Postpurchase dissonance (PPD) adalah suatu keraguan atau kecemasan yang dialami oleh seorang konsumen setelah melakukan suatu keputusan yang sulit dan relatif permanen (Hawkins, Mothersbaugh & Best, 2007). Berdasarkan fenomena yang ditemui di lapangan, kepribadian merupakan salah satu faktor internal yang mempengaruhi perilaku seorang konsumen dalam melakukan kegiatan pembelian sehingga merasakan postpurchase dissonance.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat dinamika terjadinya postpurchase dissonance pada konsumen wanita dengan tipe kepribadian introvert. Dinamika

postpurchase dissonance tersebut akan digambarkan melalui dimensi yang dikemukakan oleh Sweeney, Hausknecht, dan Soutar (2000). Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif dengan jumlah responden sebanyak 2 (dua) orang. Prosedur pengambilan responden dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode purposive yang terstratifikasi. Metode pengumpulan data yang dilakukan adalah metode wawancara mendalam dengan menggunakan metode umum.

Hasil penelitian menunjukkan bagaimana dinamika postpurchase dissonance yang dialami oleh kedua responden dengan tipe kepribadian introvert. Dimana ditemukannya dimensi emotional dan wisdom of purchase pada keduanya. Sementara dimensi concern over deal tidak ditemukan pada kedua responden.

Sebagai implikasinya, hendaklah konsumen wanita dengan tipe kepribadian introvert dapat lebih terbuka dalam proses pembelian untuk mengurangi kecenderungan merasakan dissonance setelah pembelian. Proses setelah pembelian dapat sangat mempengaruhi sikap konsumen terhadap produk dimasa depan. Maka bagi marketers, pentingnya untuk lebih peka terhadap ragam konsumen dengan berbagai tipe agar dapat menyesuaikan pemberian informasi mengenai produk untuk mengurangi kecenderungan evaluasi negatif konsumen terhadap pembelian yang tidak memuaskan.

(16)

Dynamics of Postpurchase Dissonance in Women with Introverted Personality

Types

Febri Jayanti and Eka Danta Jaya Ginting

ABSTRACT

Postpurchase dissonance (PPD) is a doubt or anxiety experienced by a consumer after making a hard decision and relatively permanent (Hawkins, Mothersbaugh & Best, 2007). Based on the phenomena encountered in the field, personality is one of the internal factors that influence the behavior of consumers in making purchasing activities which led them to postpurchase dissonance.

This study aims to look at the dynamics of the consumer postpurchase dissonance in women with introverted personality types. The dynamics of postpurchase dissonance will be described by the dimensions proposed by Sweeney, Hausknecht and Soutar (2000). This study used a qualitative approach with case study methods and takes 2 (two) respondents. The technique of selecting the respondents uses purposive stratified sampling. The data collection method used is depth interviews by common method.

The results shows how the dynamics of postpurchase dissonance experienced by both respondent with introverted personality types. Where the dimensions of emotional and wisdom of purchase found on both respondent. While the dimensions of concern over the deal was not found.

As the implication, female consumers with a more introverted personality type are expected to be more open up themselves in the purchasing process to reduce the tendency to feel dissonance. The process of purchase can greatly affect consumer attitudes toward the product in the future. So for marketers, the need to be more sensitive to a variety of consumers with different types in order to adjust the provision of information about the product is quiet important to be considered to reduce the tendency of consumers negative evaluation to the product of unsatisfactory purchases.

(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perilaku konsumen merupakan proses yang berdinamika. Dari waktu ke

waktu perubahan yang luas terjadi dalam perilaku konsumen. Sebagai contohnya,

lima puluh tahun yang lalu, konsumen memiliki pilihan merek yang jauh lebih

sedikit dan pengaruh iklan yang diberikan juga lebih sedikit. Sebaliknya, saat ini

akses komunikasi yang mudah memungkinkan mereka dapat lebih terhubung dan

dengan mudah dapat mencari penawaran produk secara online, melihat promosi

produk di beberapa media, dan memeriksa apa yang orang lain pikirkan mengenai

merek tersebut dengan mencarinya dalam website atau dalam media sosial

(Hoyer, Maclnnis & Pieters, 2008)

Dalam perilaku konsumen, ditemukan beberapa tahapan proses pembelian.

Tahapan tersebut, dikonseptualisasikan dalam model lima tahap proses membeli.

Tahap pertama ialah tahap pengenalan masalah, timbulnya masalah dari dalam

diri konsumen yang berupa kebutuhan. Kedua ialah tahap pencarian informasi,

konsumen mencari informasi tentang objek yang bisa memenuhi keinginannya.

Tahap ketiga adalah penilaian alternatif, digunakan untuk memperoleh gambaran

yang lebih jelas mengenai alternatif yang dihadapi serta daya tarik masing-masing

alternatif. Tahap keempat merupakan keputusan membeli dan tahap terakhir ialah

(18)

merasakan kepuasan atau mungkin ketidakpuasan (Hawkins, Mothersbaugh, &

Best, 2007).

Penting bagi produsen untuk memperhatikan tindakan konsumen setelah

melakukan pembelian, karena evaluasi negatif konsumen dapat berakibat buruk

terhadap reputasi produk. Konsumen dalam memenuhi keinginannya mempunyai

pengharapan agar bisa terpuaskan (Sunyoto, 2012).

Dengan kata lain, tidak semua pembelian akan disusul oleh kepuasan dari

konsumen. Terdapat beberapa pembelian yang mengundang ketidakpuasan

konsumen, ketidakpuasan ini dapat diwujudkan dengan bentuk kecemasan

psikologis atau disonansi kognitif atau disebut dengan postpurchase dissonance.

Fenomena postpurchase dissonance diperlihatkan melalui potongan wawancara berikut dengan S (23 tahun) :

“Iya aku pernah abis beli itu kayak gak puas.. ada rasa cemas apa yang aku beli ini benar-benar aku perluin… kalo udah ngerasain itu aku sering nanya-nanya sendiri dalam hati kenapa aku jadi beli ini ya .. padahal aku udah punya produk yang sama tapi modelnya aja beda..” (Wawancara personal April, 2013)

Reaksi tersebut adalah reaksi konsumen setelah membuat keputusan yang

sulit, keraguan dan kecemasan ini yang disebut postpurchase dissonance. Dalam buku consumers, Arnould, Prince serta Zinkhan (dalam Bowo, 2010) berpendapat

bahwa disonansi kognitif adalah :

(19)

Ketidaknyamanan yang dirasakan konsumen terjadi ketika kepercayaan

konsumen tidak sejalan dengan perilakunya dan kemudian termotifasi untuk

mengubah suatu agar dapat sejalan dengan harapannya.

Simamora (2003) juga berpendapat bahwa atas produk yang dibelinya

konsumen memiliki semacam keraguan (postpurchase dissonance). Keragu-raguan ini rendah jika banyak informasi yang dipakai dalam mengevaluasi, baik

melalui pengalaman sendiri, pengalaman orang lain, maupun media massa.

Kecemasan atau keraguan akan produk yang telah dibeli juga disebabkan oleh

beberapa faktor. Hawkins, Mothersbaugh, & Best (2007) menyatakan bahwa salah

satu faktor yang dapat mempengaruhi postpurchase dissonance adalah the importance of the decision to the consumer yakni, semakin penting suatu keputusan dibuat oleh konsumen maka akan lebih besar kemungkinan mengalami

dissonance. Hal Ini tergantung pada prinsip kepentingan yang dimiliki konsumen. Bila kepentingannya adalah mengenai harga, semakin tinggi harga barang yang

akan dibeli maka semakin penting tingkat keputusan yang akan diambil serta

besar kemungkinan konsumen mengalami dissonance. Ini dapat diihat dari wawancara dengan N (21 tahun)

“Jelaslah kalo misalnya aku beli barang yang agak mahal terus nyesel pasti aku lebih nyesek.. contohnya aja kayak aku beli HP kmaren, tapi kalo misalnya beli makanan biasa atau barang yang gak mahal-mahal kali paling nyeselnya bentar aja ..” (Wawancara personal Maret, 2013)

Selain itu faktor pilihan akan alternatif yang banyak juga merupakan salah

(20)

alternatif lainnya dimana masing-masing alternatif memiliki kelebihan ataupun

kekurangan yang relatif sama. Begitu banyaknya pilihan alternatif yang

ditawarkan pasar. Sebagai contoh, belakangan begitu banyak merek handphone

yang ditawarkan pasar, dimana masing-masing merek sebenarnya memiliki

kelebihan dan kekurangan yang relatif sama. Sulit dibandingkan mana yang

seharusnya lebih diunggulkan dari yang lainnya. Misalnya saja pada pembelian

handphone dengan merek Blackberry atau I-phone seorang konsumen akan sangat sulit memilih dari salah satu dari kedua merek ini karena masing-masing memiliki

kekurangan dan kelebihan yang relatif sama. Semakin sulit keputusan itu dibuat,

semakin besar pula kemungkinan dissonance yang dirasakan konsumen.

Menurut Festinger (dalam Sweeney, Hausknecht, & Soutar, 2000)

cognitive dissonance merupakan suatu keadaan ketidaknyamanan psikologis yang mendorong seseorang untuk mengurangi keraguan (disonansi) atas keputusan

yang telah terjadi. Disini Festinger (dalam Sweeney, Hausknecht, & Soutar, 2000)

menyebutkan postpurchase dissonance dengan istilah cognitive dissonance. Sementara Loudon & Bitta (1993) menyatakan postpurchase dissonance

merupakan hasil dari perbedaan keputusan konsumen dengan evaluasi sebelumya.

Setelah pembelian dilakukan, konsumen mungkin akan menggunakan satu

atau beberapa pendekatan untuk mengurangi dissonance yang dirasakannya (Hawkins, Mothersbaugh, & Best, 2007). Contohnya bila seseorang sudah

membeli gadget dengan merek Samsung dan mengalami dissonance maka konsumen tersebut akan mencoba meningkatkan kesukaannya pada merek

(21)

mengurangi rasa suka terhadap alternatif yang ditolak. Hal ini dapat dilihat dari

pemaparan dalam wawancara singkat dengan S (23 tahun):

“Siap dibeli enggakmau dipikirin kalila baju tadi.. walaupun itu bahannya lebih bagus, toh yang ini modelnya gak kalah cantik daripada yang tadi terus harganya juga lebih murah bisa dipake santai bisa dipake kerja kalo baju yang itukan kesannya formal kali.. ” (Wawancara personal April, 2013)

Kecemasan dan keragu-raguan yang dirasakan tidak sama tingkatannya

pada semua konsumen. Perbedaan ini dapat dihubungkan dengan kepribadian

yang dimiliki masing-masing konsumen. Kepribadian merupakan faktor internal

yang cukup berperan dalam kemunculan postpurchase dissonance yang dirasakan konsumen selain faktor eksternal (Kardes, 2002). Hawkins, Mothersbaught, dan

Best (2007) berpendapat bahwa kepribadian merupakan kecenderungan respon

karakteristik yang dimiliki individu dalam situasi serupa. Kepribadian mencakup

kebiasaan-kebiasaan, sikap, dan ciri-ciri sifat dan watak yang khusus yang

menentukan perbedaan perilaku dari tiap-tiap individu dan yang berkembang

apabila orang tadi berhubungan dengan orang lain.

Carl Jung merupakan salah satu tokoh yang menggolongkan kepribadian

menjadi beberapa dimensi. Dua dimensi utama yang dikemukakannya adalah

introvert dan ekstrovert. Menurut Jung (dalam Suryabrata, 1982) aktifitas psikis

seseorang dapat mengarah keluar atau kedalam, demikian pula arah orientasi

manusia. Apabila orientasi terhadap segala sesuatu ditentukan oleh faktor luar

yang objektif, maka orang itu dikatakan ekstrovert. Sebaliknya orang yang

mempunyai tipe orientasi ditentukan oleh faktor subjektif yakni faktor yang

(22)

ini saling bertentangan, namun, salah satu cenderung menjadi dominan dan

memerintah, sedangkan kepribadian yang lain cenderung ditekan dan tidak sadar.

Introvert biasanya dijelaskan dengan istilah "penyendiri", "pendiam,"

"mandiri", "pribadi" yakni kata-kata yang menunjukkan parsimoni emosional dan

pribadi yang sempit. Tetapi pada pria terkadang tipe kepribadian introvert

diasumsikan sebagai pria yang tangguh dan kuat. Namun pada kalangan tertentu,

terutama di Midwest, wanita tipe kepribadian introvert tampaknya kehilangan

alternatif untuk terlihat lebih baik dan sering dianggap sebagai pemalu, suka

menarik diri atau angkuh (Rauch, 2003).

Selain itu, dalam melakukan pembelian juga, wanita berbeda dengan pria.

Banyak penelitian yang telah membuktikan hal itu, contoh sederhana saja, wanita

suka berlama-lama berbelanja hanya untuk mencari satu produk, sedangkan pria

biasanya langsung pada tujuan produk yang akan dibeli dan tidak suka membuang

waktu berlama-lama dalam belanja. Bakshi (2012) dalam penelitiannya juga

mengatakan bahwa wanita dan pria berbeda dalam seluruh proses pembelian baik

dari information search hingga postpurchase process. Hasilnya didapatkan bahwa disonansi ditemukan lebih besar pada wanita dari pada pria.

Dari hasil penelitian Sitorus (2007) ditemukan bahwa tipe kepribadian

introvert cenderung akan merasakan postpurchase yang lebih besar dari pada tipe kepribadian ekstrovert. Hal ini karena tipe kepribadian introvert cenderung untuk

membuat keputusan yang voluntary (bebas), karena tipe kepribadian ini sangat berorientasi pada dirinya sendiri. Maka pengaruh kepribadian memiliki andil

(23)

Engel, Blackwell dan Miniard (2004) menyatakan bahwa dalam

pengambilan keputusan konsumen, terdapat beberapa tahapannya. Dalam tahap

pencarian informasi, apabila konsumen tidak dapat menemukan solusi dari

pencarian internal, maka ia kerap mencari sumber external. Dimana salah satunya

ialah mencari opini dan sikap dari kelompok acuan seperti keluarga, teman, atau

kenalan. Hal berbeda ditemukan dalam potongan wawancara bersama C (21

tahun) yang pernah mengikuti tes kepribadian Big five dengan hasil kepribadian

introvert.

“aku kalo beli sesuatu itu gak mikir-mikir panjang, enggak suka tanya sana-sini, jadi asal cocok dimata, keliatan lucu dan aku suka langsung beli aja gitu, waktu udah sampe rumah aku mikir sendiri kenapa aku beli ini ya” (Wawancara personal, Maret 2013)

Dapat dilihat pada potongan wawancara diatas, bahwa pencarian infromasi

yang melibatkan opini dan sikap dari sumber external tidak begitu disukai oleh

konsumen wanita dengan tipe kepribadian introvert. Hal ini terkait dengan tipe

kepribadian introvert yang mengakibatkannya cenderung berfokus pada inner-selfnya. Tipe kepribadian introvert akan mempengaruhi proses membeli, yang mengakibatkannya cenderung merasakan disonansi.

Tipe kepribadian Introvert dapat diketahui dengan menggunakan alat ukur

untuk melihat tipe orientasi seseorang. Selain Bigfive, alat ukur lain yang dapat

digunakan untuk melihat tipe kepribadian adalah MBTI. MBTI adalah psikotes

yang dirancang untuk mengukur preferensi psikologis seseorang dalam melihat

dunia dan keputusan. Psikotes ini dirancang untuk mengukur kecerdasan individu,

bakat dan tipe kepribadian seseorang (Briggs & Myers, 1976). Dalam penelitian

(24)

peneliti untuk menggunakan tes MBTI (Myerss Briggs Type Indicator). Dengan alat ukur ini dapat diketahui sampel yang memiliki tipe kpribadian introvert, agar

benar-benar diperoleh sampel yang sesuai dengan tujuan penelitian untuk melihat

postpurchase dissonance pada wanita dengan tipe kepribadian introvert.

Sweeney, Hausknecht dan Soutar (2000) menyatakan bahwa dissonance

dapat diukur dengan tiga dimensi yaitu emotional yang berupa ketidaknyamanan psikologis yang dialami seseorang terhadap keputusan membeli. Kedua adalah

wisdom of purchase, yakni ketidaknyamanan yang dialami seseorang setelah transaksi pembelian. Mereka bertanya-tanya apakah mereka sangat membutuhkan

produk tersebut atau apakah mereka telah memilih produk yang sesuai. Dan yang

terakhir concern over deal yaitu ketidaknyamanan yang dialami seseorang setelah pembelian dimana mereka bertanya – tanya apakah telah dipengaruhi oleh tenaga

penjual yang bertentangan dengan kemauan atau kepercayaan mereka. Dari ketiga

dimensi, dua dimensi ditemukan pada C, seorang konsumen wanita dengan tipe

kepribadian introvert yang menceritakan pengalamannya yang pernah membeli

produk laptop bersama dengan ibunya.

”Kemaren aku beli laptop, sama mama.. mama bilang suruh beli merk lain .. aku bilang aku mau sama yang ini aja.. aku udah suka sama yang putih ini, menurutku lebih bagus lebih prestige aja.. tapi memang kayaknya kalo kualitas bagus yang dipilihkan mama.. lebih tahan lama.. kayaknya sih lebih bagusla.. tapi aku gak suka modelnya.. udah suka yang ini gimana ya.. yaudah terus aku bilang enggak.. aku mau yang ini aja ma.. (Wawancara personal, Mei 2014)

Introvert adalah tipe kepribadian yang ditandai dengan ketertutupan yang

berorientasi terhadap pengalaman subyektif, ia cenderung untuk berfokus pada

(25)

dirasakannya, introspektif, sibuk dengan sendiri, dan urusan internal mereka (Jung

dalam Hall 1985). Pada kasus C, tipe kepribadianya cenderung menuntunnya

untuk berorientasi pada pengalamannya sendiri, sehingga mengabaikan pendapat

orang lain dan memenangkan keputusannya sendiri.

”Udah pas lah ya yang kubeli ini.. ragu-ragu sih.. dipikirin lagi belinya itu memang bukan karena modelnya ajakan atau takutnya malah sebaliknya.. tapi nguatkan dirinya gitu.. ah udah pas lah ini yang kubeli gitu-gitu haha.. soalnya itu seingatnya aku gak lama-lama kali mutusin itunya.. beli apa enggaknya gitu..” (Wawancara personal, Mei 2014)

Dapat dilihat dalam potongan wawancara diatas C merasakan

keragu-raguan setelah transaksi pembelian. Sehingga muncullah pertanyaan-pertanyaan

mengenai keputusan yang telah diambilnya. Hal ini menggambarkan aspek

wisdom of purchase yang dirasakan C. Tidak berhenti sampai disitu, perasaan keragu-raguan C diiringi pula dengan kecemasan akan kualitas produk yang telah

dibelinya.

”.. Ini bener gak ya yang aku beli.. ada rasa-rasa insecure sama yang aku beli ini.. udah pas gak ya.. pas liat yang lain aku takut-takut kalo yang kubeli ini punya kualitas yang.. rendah gitu soalnya gak begitu ngerti juga” (Wawancara personal, Mei 2014)

Saat seseorang merasakan keadaan yang tidak nyaman secara psikologis

setelah membeli suatu produk yang dirasakan sebagai produk yang penting bagi

dirinya, maka dapat dikatakan orang tersebut mengalami postpurchase dissonance

(Sweeney, Hausknecht, and Soutar, 2000). Keadaan yang dipaparkan C

(26)

Kejadian yang mirip juga terjadi pada FR. FR merupakan salah seorang

konsumen wanita dengan tipe kepribadian introvert. Sebelumnya FR diberikan

alat ukur MBTI dengan hasil INFJ yang berarti ia tergolong tipe kepribadian

introvert dengan tingkat moderate. FR menceritakan mengenai pengalamannya dalam membeli produk sepatu croccs. Dalam melakukan pembelian FR mempercayai evaluasi produk yang dibuatnya sendiri dan mengabaikan saran

yang diberikan oleh teman belanjanya.

”.. kata mama udah beli yang nomer 8 aja biasanya juga beli kan nomer 8 .. kekgitu terus aku bilang tapi yang 8 kegedean aku gak suka pake sepatu yang gede-gede lebih .. terus mama bilangkan kak itu kekecilan lo.. Terus kubilang alah sepatu-sepatu kekgini paling kalo keseringan gede sendiri nanti dia.. (Wawancara personal, Maret 2014)

Dari potongan wawancara diatas dapat dilihat beberapa ciri-ciri

kepribadian introvert yang dikemukakan oleh Jung (dalam Schultz & Schultz,

1994) yakni tipe kepribadian introvert merupakan individu yang cenderung

berpusat pada diri mereka sendiri, terdapat pada FR. Hal ini membuat FR lebih

mempercayai dirinya sendiri dan cenderung membuat keputusan yang bebas

(mandiri). Namun setelah pembelian dilakukan FR merasa cemas dan ragu. Ia

mulai mengevaluasi kembali keputusan membelinya dan bertanya-tanya apakah

sudah membeli produk yang tepat.

(27)

Kecemasan dan keraguan yang dirasakan FR merupakan bentuk

postpurchase dissonance sesuai pengertian Hawkins, Mothersbaugh & Best (2007). Setelah pembelian, tipe kepribadian introvert juga berperan dalam

munculnya postpurchase dissonance. Tipe kepribadian introvert memiliki kecenderungan akan keberfokusan pada batin serta menjadi introspektif (Jung

dalam Hall, 1985). Hal ini membuat FR menyimpan sendiri dilema yang

dialaminya pasca pembelian, sehingga berkontribusi menambah kecemasan

(emotional) yang dirasakannya.

Selain FR, RP juga merupakan salah seorang responden yang

menggunakan MBTI sebagai alat ukur untuk melihat orientasi kepribadiannya.

Hasil MBTI yang didapatkan RP adalah INFJ yang berarti ia termasuk dalam tipe

kepribadian introvert. Namun tidak seperti FR, RP mendapatkan hasil introvert

dalam tingkat slight (ringan). RP merasakan postpurchase dissonance pada pembelian handphone. Sebelum memutuskan membeli, RP mencari informasi mengenai produk dari berbagai media yaitu internet, dan beberapa kali juga

bertanya pada orang lain yang sudah memiliki pengalaman terhadap produk yang

ingin dibelinya. Namun saat produk yang diinginkan RP tidak tersedia, ia

memutuskan untuk membeli produk yang lain. Hal ini mengakibatkan RP tidak

begitu mengetahui produk baru yang akan dibelinya.

(28)

Setelah membeli, RP tidak dapat berhenti memikirkan pembelian yang

baru saja dilakukannya. RP merasa ragu terhadap produk yang dipilihnya sebab ia

belum begitu mengenal produk tersebut. Akibatnya RP menghindari toko yang

menjual produk handphone untuk mengurangi pengalaman dissonance yang dirasakannya setelah membeli.

”Kupikirin aja sih kak, kayak orang… kata kakakku ”kau kok stress kali dari tadi kenapa kau salah beli ya yang tadi” terus besoknya aku ke toko-toko lagi aku jadi melewatkan toko handphone kak hhaha biar gak ngeliat lagi..” (Wawancara personal, Desember 2013)

Pada beberapa konsumen dissonance dirasakan sangat besar dan mengganggu. Namun terdapat beberapa konsumen yang tidak terlalu merasakan

dissonance. Ini terbukti dari hasil wawancara dengan F (21 tahun). Hal berbeda ditunjukkan dari wawancara ini, meski dalam tes kepribadian Big Five ia

termasuk wanita berkepribadian introvert dan mengalami postpurchase dissonance, namun ia tidak terlalu merasakan sesuatu yang mengganggu,

“Sebenarnya enggak gimana-gimana kali, tapi yah paling ada kepikiran bentar aja apa yang dibeli ini udah tepat apa gimana, apa mestinya beli yang gede aja.. abis itu udah biasa-biasa aja gakmau dipikirin kali” (Wawancara personal, Maret 2013 )

F tidak terlalu merasakan kecemasan meski ia kurang puas dengan

pembelian yang dilakukannya. Sangat menarik melihat bagaimana perilaku

konsumen dengan kepribadian introvert dapat sangat mempengaruhi proses

pembelian hingga mengakibatkan pospurchase dissonance.

Kepribadian introvert pada wanita mengakibatnya cenderung merasakan

(29)

itu faktor gender “feminism” dari wanita juga mendukung disonansi yang terjadi pada mereka (Bakshi, 2012). Hal ini sangat tidak menguntungkan bagi para

produsen karena disonansi yang terjadi akan mengakibatkan konsumen memberi

evaluasi negatif terhadap produk. Maka penting untuk marketers mengetahui bagaimana pengalaman seorang wanita introvert hingga merasakan postpurchase dissonance.

Untuk hal itu kita harus mengetahui proses pembelian yang dilakukan

wanita introvert terlebih dahulu hingga ia mengalami postpurchase dissonance. Disonansi yang dirasakan konsumen sangat beragam karena pada saat proses

pembuatan keputusan dalam membeli berbeda-beda. Oleh karena itu penelitian

yang dilakukan akan menggunakan pendekatan kualitatif agar dapat memahami

proses pembuatan keputusan oleh wanita dengan kepribadian introvert, hingga ia

mengalami postpurchase dissonance sebagaimana individu yang mengalaminya, sehingga dapat diperoleh gambaran yang sesuai dengan diri individu dan bukan

semata-mata penarikan kesimpulan sebab akibat yang dipaksakan (Bogdan &

Taylor, dalam Moloeng, 2005). Selain itu penelitian sebelumnya telah mendukung

gagasan bahwa tipe kepribadian introvert cenderung merasakan disonansi yang

lebih besar. Oleh karena itu, bagaimana dinamika postpurchase dissonance yang dialami oleh wanita dengan tipe kepribadian introvert, cukup penting untuk

ditelusuri secara kualitatif.

Berdasarkan asumsi diatas peneliti tertarik untuk melihat dinamika

(30)

B. Pertanyaan Penelitian

Bagaimana gambaran postpurchase dissonance pada konsumen wanita dengan tipe kepribadian introvert?

C. Tujuan Penelitian

Mengetahui bagaimana gambaran postpurchase dissonance pada seorang wanita dengan tipe kepribadian introvert.

D. Manfaat Penelitian

Ada dua manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini, yaitu :

D.1. Manfaat teoritis

Dapat memberikan masukan dan sumber informasi bagi disiplin ilmu psikologi

terutama pada bidang psikologi industri dan organisasi, tentang Dinamika

postpurhase dissonance pada konsumen dengan tipe kepribadian introvert.

D.2. Manfaat praktis

a. Menjadi sumber informasi bagi pembaca agar dapat menangani permasalahan

yang terjadi pada wilayah marketing khususnya pada perilaku konsumen

setelah pembelian

b. Sebagai sumber informasi bagi konsumen khususnya wanita dengan tipe

kepribadian introvert, agar dapat lebih memahami proses yang terjadi dalam

(31)

postpurchase dissonance.

c. Sebagai rujukan bagi marketers agar lebih memahami proses pembelian yang

dilakukan oleh wanita introvert hingga mengalami postpurchase dissonance.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah :

BAB I : Pendahuluan berisi tentang uraian singkat mengenai latar belakang

masalah, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, dan

sistematika penelitian.

BAB II : Landasan teori berisi landasan teoritis yang bersumber dari literatur

dan pendapat para ahli/pakar yang dapat digunakan sebagai

landasan berpikir dalam pembahasan penelitian ini.

BAB III : Metode penelitian menjelaskan mengenai metode penelitian

kualitatif, responden penelitian, metode pengambilan data, alat

bantu pengumpulan data, kredibilitas dan validitas penelitian, dan

prosedur penelitian.

BAB IV : Analisa Data dan Pembahasan berisi pendeskripsian data responden,

analisa dan interpretasi data yang dperoleh dari hasil wawancara yang

dilakukan dan pembahasan data-data penelitian sesuai dengan teori

yang relevan.

BAB V : Kesimpulan, dan Saran yang menjelaskan kesimpulan dari penelitian

(32)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Postpurchase Dissonance

A.1. Pengertian Postpurchase Dissonance

Setelah pembelian, terdapat konsumen yang memiliki perasaan tidak

nyaman mengenai kepercayaan mereka, perasaan yang cenderung untuk

memecahkannya dengan mengubah sikap mereka agar sesuai dengan perilaku mereka

(Schiffman dan Kanuk, 1997). Contohnya, ketika konsumen telah membuat suatu

komitmen memberi uang muka untuk memesan sebuah produk, terutama sekali

produk mahal seperti kendaraan bermotor atau gadget. Disonansi kognitif sering mulai dirasakan ketika berfikir tentang keunikan dan kualitas positif dari merek

yang tidak dipilihnya (Kartika, 2009). Menurut Festinger (dalam Sweeney,

Hausknecht, & Soutar, 2000) cognitive dissonance merupakan suatu keadaan ketidaknyamanan psikologis yang mendorong seseorang untuk mengurangi

keraguan (disonansi) atas keputusan yang telah terjadi. Disini, Festinger

menyebutkan postpurchase dissonance dengan istilah cognitive dissonance.

Dalam penelitian ini, pengertian postpurchase dissonance merujuk pada definisi yang dikembangkan oleh Hawkins, Mothersbaugh, & Best (2007) yang

menyatakan postpurchase dissonance adalah suatu keraguan atau kecemasan yang dialami oleh seorang konsumen setelah melakukan suatu keputusan yang sulit dan

(33)

Keraguan atau kecemasan ini terjadi karena konsumen tersebut berada

dalam suatu keadaan yang mengharuskannya membuat komitmen yang relatif

permanen terhadap sebuah pilihan dari alternatif lainnya yang tidak jadi dipilih

oleh konsumen tersebut. Oleh karena itu, kebanyakan pembuatan keputusan

terbatas (limited decision making) tidak akan menghasilkan postpurchase dissonance. Hal ini karena konsumen tidak mempertimbangkan tampilan- tampilan yang menarik yang ada dalam merek atau produk yang tidak dipilih yang

juga tidak ada dalam produk atau merek yang dipilih. (Hawkins, Mothersbaugh, &

Best, 2007).

Disonansi kognitif sering mulai dirasakan ketika berfikir tentang keunikan

dan kualitas positif dari merek yang tidak dipilihnya (Kartika, 2009). Menurut

Simamora (dalam Bowo, 2010) keraguan muncul kalau ada pertentangan dalam

diri seseorang tentang merek yang akan dibeli. Pertentangan ini melahirkan

disonansi yang terjadi karena sikap terhadap alternatif pilihan sama atau hampir

sama. Disonansi kognitif inilah yang disebut dengan postpurchase dissonance, yakni dimana konsumen memiliki perasaan yang tidak nyaman menegenai

kepercayaan mereka.

Berdasarkan pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa

postpurchase dissonance adalah suatu keadaan ketidaknyamanan psikologis yang dialami oleh seorang konsumen setelah melakukan suatu keputusan yang sulit dan

relatif permanen yang kemudian mendorong seseorang untuk mengurangi

disonansi tersebut dengan mengubah sikap mereka agar sesuai dengan perilaku

(34)

A.2. Dimensi Postpurchase Dissonance

Penelitian yang didisain oleh Sweeney, Hausknecht dan Soutar (2000)

menyatakan bahwa Dissonance dapat diukur dengan tiga dimensi yaitu : 1. Emotional

Ketidaknyamanan psikologis yang dalami seseorang terhadap keputusan

membeli. Saat seseorang merasakan keadaan yang tidak nyaman secara

psikologis setelah membeli suatu produk yang dirasakan sebagai produk

yang penting bagi dirinya, maka dapat dikatakan orang tersebut

mengalami postpurchase dissonance. 2. Wisdom of purchase

Ketidaknyamanan yang dialami seseorang setelah transaksi pembelian.

Mereka bertanya-tanya apakah mereka sangat membutuhkan produk

tersebut atau apakah mereka telah memilih produk yang sesuai.

3. Concern over deal

Ketidaknyamanan yang dialami seseorang setelah pembelian dimana

mereka bertanya – tanya apakah telah dipengaruhi oleh tenaga penjual

yang bertentangan dengan kemauan atau kepercayaan mereka (individu

merasa bebas dalam memutuskan pembelian terhadap suatu produk).

Konsumen akan dihadapkan pada informasi-informasi dari luar dirinya,

yang dapat membuatnya mengalami postpurchase dissonance.

Ketidaknyamanan yang berupa keraguan dan kecemasan seseorang setelah

(35)

orang dan lain orang. Perbedaan ini dapat dihubungkan dengan kepribadian yang

dimiliki masing-masing konsumen. Sebagai tambahan, kepribadian juga

merupakan faktor internal yang cukup berperan dalam kemunculan postpurchase dissonance yang dirasakan konsumen selain faktor eksternal (Kardes, 2002).

B. Kepribadian

Kepribadian adalah pola sifat individu yang dapat menentukan tanggapan

untuk bertingkah laku. Kepribadian mencakup kebiasaan-kebiasaan, sikap, dan

ciri-ciri sifat dan watak yang khusus yang menentukan perbedaan perilaku dari

tiap-tiap individu dan berkembang apabila orang tadi berhubungan dengan orang

lain (Sunyoto, 2012).

Menurut Sujanto dkk (2004), kepribadian adalah suatu totalitas psikofisis

yang kompleks dari individu, sehingga nampak dalam tingkah lakunya yang unik.

Schultz & Schultz (1994) mengatakan bahwa kepribadian adalah aspek- aspek

internal dan eksternal yang unik dan relatif menetap dari karakter seseorang yang

mempengaruhi tingkah laku dalam berbagai situasi yang berbeda.

Dalam penelitian ini defenisi kepribadian mengacu pada defenisi yang

dikemukakan oleh Carl Jung (dalam Hall dkk, 1985) yang mendefinisikan

kepribadian sebagai berikut:

(36)

“Kepribadian adalah realisasi tertinggi dari penggabungan antara

keistimewaan yang dibawa sejak lahir, keberanian dalam menghadapi kehidupan,

penguatan dari konstitusi tubuh, keberhasilan beradaptasi terhadap kondisi

ingkungan, dan tekad diri yang besar”.

Sementara Eysenck (dalam Hall dkk, 1985) mendefinisikan kepribadian

sebagai keseluruhan pola perilaku yang potensial dari suatu organisme yang

ditentukan oleh faktor bawaan (hereditas) dan lingkungan, yang berasal dan

berkembang melalui interaksi fungsional dari 4 sektor utama dimana pola-pola

tingkah laku tersebut diorganisasikan; sektor kognitif (inteligensi), konatif

(karakter), afektif (temperamen), dan somatis (konstitusi). Dari semua pengertian

diatas dapat disimpulkan bahwa kepribadian adalah semua tingkah laku ciri yang

dibawa sejak lahir serta dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang membedakan

seseorang sebagai individu dengan individu lainnya.

B.1. Tipe Kepribadian

Eysenck (dalam Hall dkk, 1985) menggolongkan kepribadian menjadi 3

tipe besar kepribadian yakni: introversion-extraversion (introvert- ekstrovert),

neuroticism (neurosis), dan psychoticism (psikosis). Eysenk menjelaskan bahwa suatu traits dapat ada pada setiap manusia. Traits ini tidak aktif setiap waktu akan tetapi selalu ada dan mempunyai ambang yang rendah sehingga dapat muncul

apabila terdapat suatu stimulus tertentu.

Penelitian ini merujuk pada tipe kepribadian yang dikemukakan oleh Carl

(37)

mengarah keluar atau kedalam, demikian pula arah orientasi manusia. Apabila

orientasi terhadap segala sesuatu ditentukan oleh faktor-faktor luar yang objektif,

maka orang itu dikatakan ekstrovert. Sebaliknya orang-orang yang mempunyai

tipe orientasi ditentukan oleh faktor-faktor subjektif yakni faktor yang berasal dari

batin sendiri, dikatakan dengan tipe orientasi introvert.

Individu yang tergolong introvert akan lebih berorientasi pada stimulus

internal dibandingkan dengan individu yang ekstrovert. Hal ini membuat individu

yang tergolong introvert cenderung lebih pemalu, memiliki kontrol diri yang kuat,

dan memiliki keterpakuan terhadap hal-hal yang terjadi dalam diri mereka. Selain

itu individu introvert ini selalu berusaha untuk mawas diri, tampak pendiam, tidak

ramah, lebih suka menyendiri, dan mengalami hambatan pada kualitas tingkah

laku yang ditampilkan. Individu yang tergolong introvert akan cenderung untuk

menghindar dari sumber stimulus eksternal, yang selalu dicari oleh individu yang

tergolong ekstrovert.

B.2. Tipe Kepribadian Introvert

Introvert adalah tipe kepribadian yang ditandai dengan ketertutupan yang

berorientasi terhadap pengalaman subyektif, ia cenderung untuk berfokus pada

batin, dunia pribadi di mana realitas direpresentasikan sebagaimana hal itu

dirasakannya, introspektif, sibuk dengan sendiri, dan urusan internal mereka,

(38)

Jung (dalam Schultz & Schultz, 1994) menambahkan ciri-ciri orang

dengan tipe kepribadian introvert adalah memiliki sifat pemalu, tidak banyak

bicara dan cenderung berpusat pada diri mereka sendiri.

Setiap individu tidak ada yang murni memiliki tipe kepribadian ekstrovert

atau murni dengan tipe kepribadian introvert, bisa saja individu lebih cenderung

pada kutub ekstrovert tetapi memilki ciri introvert atau lebih cenderung berada di

kutub Introvert tetapi memiliki ciri ekstrovert. Individu yang dipilih dalam

penelitian ini adalah yang dikelompokkan dalam tipe kepribadian Introvert.

C. Perilaku membeli pada Konsumen Wanita

Menurut Hawkins, Mothersbaugh, & Best (2007) perilaku konsumen

adalah studi yang mempelajari tentang individu, kelompok atau organisasi dan

proses yang digunakan untuk menyeleksi, menjamin, menggunakan, dan

mengkonsumsi produk, jasa, pengalaman atau ide untuk memuaskan kebutuhan

dan dampak proses tersebut pada konsumen dan masyarakat. Perilaku konsumen

didefinisikan sebagai proses pengambilan keputusan dan aktifitas fisik individu

yang terlibat saat mengevaluasi, memperoleh, menggunakan dan mendapatkan

barang dan jasa (Loudon & Bitta, 1993).

Telah banyak penelitian membuktikan bahwa perilaku membeli pada

wanita berbeda dengan perilaku membeli pada pria. Contohnya perbedaan

ditemukan pada penelitian (Fischer & Arnold, 1990) pada penelitian ini wanita

dilaporkan lebih menikmati berbelanja daripada pria, serta wanita lebih terlibat

(39)

dari survei tentang belanja pada saat natal adalah wanita (Laroche, Saad, Browne,

Cleveland, & Kim, 2000) dan 73% responden dari survei mengenai berbelanja

makanan juga wanita (International Mass Retail Association, dalam Kruger &

Byker, 2009). Ketika berbelanja, pria akan lebih cenderung ingin mendapatkan

apa yang dibutuhkannya dan kembali secepat mungkin, karena bagi pria tidak

penting berlama-lama menghabiskan waktu setelah mendapatkan apa yang ingin

dibelinya (Kruger & Byker, 2009). Brennan (2009) menguatkan hasil penelitian

dengan meneliti beberapa perbedaan cara pandang wanita dan pria dalam perilaku

membeli. Wanita cenderung berfokus pada produk apa yang paling

menyenangkannya, sedangkan pada pria produk yang paling membuat dia senang

adalah bagaimana cara produk bekerja. Selain itu wanita juga lebih memfokuskan

pada hal-hal detail, sedangkan pria lebih memfokuskan pada hal-hal yang teknis

dan bersifat sportif.

Hal ini akan mempengaruhi seluruh proses keputusan membeli. Bakshi

(2012) dalam penelitiannya juga mengatakan bahwa wanita dan pria berbeda

dalam seluruh proses pembelian baik dari information search hingga postpurchase process. Hasilnya didapatkan bahwa disonansi pada pria cenderung moderate

namun pada wanita disonansi berada pada level high.

Pengaruh perbedaan perilaku konsumen atau keputusan membeli tidak

hanya dapat dipandang dari segi gender, menurut Kotler (1997) faktor lain yang mempengaruhi adalah budaya, sosal, psikologis dan juga pribadi (perbedaan

(40)

D. Dinamika Postpurchase dissonance pada konsumen wanita dengan tipe kepribadian introvert

Dalam melakukan pembelian, konsumen dapat dibedakan dari beberapa

aspek. Salah satu aspek yang membedakan konsumen dalam pembelian yaitu

gender. Telah banyak penelitian membuktikan bahwa perilaku membeli pada pria berbeda dengan wanita. Dalam membeli, wanita dilaporkan lebih menikmati

berbelanja daripada pria, serta wanita lebih terlibat dalam kegiatan belanja

(Fischer & Arnold, 1990). Salah satu contoh penelitian lain adalah penelitian

Bakshi (2012) yang meneliti perbedaan proses pembelian konsumen berdasarkan

gender, dari awal mula proses problem recognition hingga proses setelah pembelian. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa disonansi setelah pembelian

lebih tinggi dirasakan oleh konsumen wanita. Hal ini disebabkan oleh banyak hal,

yakni wanita lebih menggunakan internally focused dimana mereka cenderung berbicara untuk berhubungan dengan orang lain, mempercayai kedalaman

pencarian informasi, lebih subjektif dan mempercaya diri saat mengambil

keputusan, lebih menilai hubungan emosionalnya dengan pembelian, dan juga

cenderung melihat pembelian sebagai keputusan jangka panjang atau long term decision.

Dalam melakukan pembelian wanita juga dipengaruhi beberapa faktor

salah satunya adalah faktor kepribadian. Menurut Kardes (2002) kepribadian

(41)

Kepribadian merupakan suatu karakteristik yang dapat mempengaruhi

seseorang untuk bertingkah laku. Menurut Carl Jung (dalam Hall, 1985)

kepribadian adalah realisasi tertinggi dari penggabungan antara keistimewaan

yang dibawa sejak lahir, keberanian dalam menghadapi kehidupan, penguatan dari

konstitusi tubuh, keberhasilan beradaptasi terhadap kondisi ingkungan, dan tekad

diri yang besar. Jung merupakan salah satu ahli yang menggolongkan tipe

kepribadian dalam ekstrovert dan introvert.

Tipe kepribadian introvert cenderung untuk membuat keputusan yang

voluntary (bebas), karena tipe kepribadian ini sangat berorientasi pada dirinya

sendiri. Hal ini dikuatkan dalam potongan wawancara bersama C (21 tahun) yang

pernah mengikuti tes kepribadian Big five dengan hasil kepribadian introvert.

Sehingga setelah membeli, kosumen dengan tipe kepribadian introvert lebih

cenderung merasakan postpurchase dissonance.

“aku kalo beli sesuatu itu gak mikir-mikir panjang, enggak suka tanya sana-sini, jadi asal cocok dimata, keliatan lucu dan aku suka langsung beli aja gitu, waktu udah sampe rumah aku mikir sendiri kenapa aku beli ini ya” ( Wawancara personal, Maret 2013 )

Postpurchase dissonance adalah suatu keraguan atau kecemasan yang dialami oleh seorang konsumen setelah melakukan suatu keputusan yang sulit dan

relatif permanen (Hawkins, Mothersbaugh, & Best, 2007). Dalam mengetahui

dissonansi seseorang dapat dilihat dari tiga dimensi postpurchase dissonance yang dikemukakan oleh Sweeney, Hausknecht dan Soutar (2000). Dimensi pertama

merupakan emotional. Emotional merupakan ketidaknyamanan psikologis yang dialami seseorang terhadap keputusan membeli. Saat konsumen merasa keputusan

(42)

ia akan merasakan postpurchase dissonance. Salah satu ciri dari wanita dengan tipe kepribadian introvert adalah sibuk dengan diri sendiri dan urusan internalnya

(Jung dalam Hall, 1985). Hal ini membuat kerap kali wanita dengan tipe

kepribadian introvert melakukan keputusan belanja dengan mandiri (Sitorus,

2007). Ciri lain seperti introspektif (Jung dalam Hall, 1985), membuat konsumen

cenderung memikirkan kembali tindakannya setelah mengambil suatu keputusan.

Sehingga saat merasakan kesalahan setelah melakukan pembelian maka

konsumen wanita dengan tipe kepribadian introvert melakukan introspeksi pada

dirinya sendiri dan tidak menyalahkan orang lain. Berikut potongan wawancara

bersama RP :

”aku sendiri sih.. kan aku yang mutusin akhirnya.. ya cemana-cemanannya itu konsekuensi aku.. itupun karena aku uda bingung kali miliih dua itu.. kalo barang yang awalnya aku pengen itu ada kurasa aku gak bakal nelpon dia hahaha karena belinya udah lama kali kan..” (Wawancara personal, Maret 2014)

Berikutnya wisdom of purchase, yaitu ketidaknyamanan yang dialami seseorang setelah transaksi pembelian. Konsumen dengan tipe kepribadian

introvert juga memiliki ciri pendiam Jung (dalam Schultz & Schultz, 1994) dan

lebih suka menghabiskan waktunya sendiri (Briggs & Myers, 1976). Hal ini

menyebabkan konsumen wanita dengan tipe kepribadian intorvert jarang sekali

memiliki teman belanja dan pendapat kedua dalam membeli sesuatu. Sehingga ia

cenderung untuk lebih mengikuti keinginannya sendiri.

(43)

Hal lain adalah terdapat kecenderungan untuk tidak begitu mudahnya

percaya dengan saran yang diberikan orang lain dan lebih berorientasi pada

pengalaman subyektif yang dimiliki oleh diri sendiri (Jung dalam Hall, 1985).

Ketidakpercayaan pada orang lain, menyebabkan konsumen dengan tipe

kepribadian introvert harus memilih sendiri produk yang sesuai dengan apa yang

diinginkannya.

”Nanti kalo nanya lagi aku bingung.. aku kan gak gampang percaya juga kak jadi nanti takut tambah bingung.. gak jadi jadi beli ujungnya.. terus kan aku” (Wawancara personal, Maret 2014)

”... aku nanyanya kayak yang ngegeneral gitu kak.. tapi kalo misalnya orang yang aku tanyain itu uda sampe bilang kayak udah beli yang ini aja bagusan yang ini.. ah udalah.. berarti emang dia lebih suka sama produknya yang itu makanya dibagus-bagusin kelebihannya kekgitu.. aku mikirnya kekgitu.. aku uda gak percaya.. haha” (Wawancara personal, Maret 2014)

Hal ini membuat konsumen introvert lebih berkemungkinan untuk

mengalami kesulitan dalam memilih suatu produk. Sebab ia harus memilih sendiri

produk yang diinginkannya. Akibatnya setelah belanja kerap timbul

pertanyaan-pertanyaan mengenai kebijakan keputusan yang telah dibuat.

Terakhir adalah concern over deal, ketidaknyamanan yang dialami seseorang setelah pembelian dimana mereka bertanya-tanya apakah telah

dipengaruhi oleh tenaga penjual yang bertentangan dengan kemauan atau

kepercayaan mereka. Mengingat berbagai ciri yang dimiliki konsumen wanita

dengan tipe kepribadian introvert (Jung dalam Hall, 1985), dimensi concern over deal berpeluang untuk tidak begitu memiliki pengaruh dalam kegiatan belanja wanita introvert. Salah satu ciri tipe kepribadian introvert yang pemalu dan tidak

(44)

kepribadian introvert lebih menyempitkan wilayah pencarian informasi pada

orang-orang tertentu saja. Hal ini membuat informasi yang didapatkan mengenai

suatu produk lebih tidak beragam. Selain itu, kecenderungan untuk berfokus pada

dirinya sendiri dan introspektif (Jung dalam Hall, 1985) memungkinkan

konsumen dengan tipe kepribadian introvert melakukan penyaringan informasi

yang didapatkan dari luar untuk dicocokkan kembali dengan value yang dimilikinya. Namun hal tidak menutup kemungkinan bila konsumen dengan tipe

kepribadian intorvert dapat pula merasakan concern over deal.

Tiga dimensi disonansi tersebut dapat menggambarkan bagaimana bentuk

disonansi yang dirasakan wanita dengan tipe kepribadian introvert. Sangat

menarik melihat bagaimana perilaku konsumen pada wanita dengan kepribadian

introvert dapat sangat mempengaruhi proses pembelian hingga mengakibatkan

(45)

KERANGKA BERFIKIR

(46)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan

tujuan dan kegunaan tertentu (Sugiyono, 2004). Metode penelitian merupakan

unsur yang penting dalam suatu penelitian ilmiah, karena metode yang digunakan

dalam penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan (Hadi, 2003).

A. Pendekatan Kualitatif

Metode kualitatif berusaha memahami suatu gejala sebagaimana

pemahaman responden yang diteliti, dengan penekanan pada aspek subjektif dari

perilaku seseorang (Poerwandari, 2007). Pada penelitian ini, peneliti

menggunakan metode penelitian kualitatif-studi kasus. Diharapkan dengan

menggunakan metode ini akan tampak dinamika postpurchase dissonance dari hasil temuan di lapangan dalam konteks yang sesungguhnya serta dapat

mempelajari dengan lebih mendalam mengenai pembelian pada wanita dengan

tipe kepribadian introvert.

Penelitian kualitatif dianggap lebih sesuai untuk mengetahui dinamika

postpurchase dissonance pada tipe kepribadian introvert. Sebab setiap individu merasakan pengalaman yang beragam mengenai tipe dissonance serta lamanya

dissonance yang dirasakan. Selain itu kadar introvert yang dimiliki setiap orang juga berbeda-beda pula sehingga menjadi alasan peneliti memilih metode

(47)

bahwa pendekatan yang sesuai untuk penelitian yang tertarik dalam memahami

manusia dengan segala kekompleksitasannya sebagai makhluk subjektif adalah

penelitian kualitatif.

B. Responden Penelitian B.1. Karakteristik responden

Pemilihan responden penelitian didasarkan pada karakteristik tertentu.

Adapun karakteristik responden dalam penelitian ini adalah :

a. Wanita.

Alasan diambil responden wanita pada penelitian ini karena wanita

merupakan konsumen yang memiliki kecenderungan merasakan dissonance

lebih besar dari pada konsumen pria.

b. Memiliki tipe kepribadian introvert (pernah mengikuti tes standard

mengukur tipe kepribadian ekstrovert – introvert MBTI).

Peneliti lebih tertarik melihat dissonance yang dirasakan responden dari tipe kepribadian introvert karena kecenderungan untuk mengalami

dissonance lebih besar daripada tipe kepribadian lain.

c. Pernah mengalami dissonance setelah melakukan pembelian.

Alasan diambil responden ini dilakukan karena peneliti ingin

(48)

B.2 Jumlah responden

Dalam penelitian kualitatif, untuk tujuan generalisasi jumlah sampel dan

cara pengambilannya mendapat perhatian serius. Metode sampling dan

karakteristik sampel berperan terhadap sejauh mana penelitian dapat

digeneralisasikan pada populasi. Menurut Banister dkk (dalam Poerwandari,

2007), dengan fokusnya pada kedalaman dan proses, penelitian kualitatif

cenderung dilakukan dengan jumlah kasus sedikit. Satu kasus tunggalpun dapat

dipakai bila secara potensial memang sangat sulit bagi peneliti memperoleh kasus

lebih banyak. Menurut Poerwandari (2007), penelitian kualitatif bersifat relatif

luwes. Oleh sebab itu, tidak ada aturan yang pasti dalam jumlah sampel yang

harus diambil untuk penelitian kualitatif. Jumlah sampel pada penelitian kualitatif

diarahkan pada kecocokan konteks (Sarantakos, dalam Poerwandari 2007).

Berdasarkan pertimbangan tersebut, peneliti memutuskan untuk menggunakan 2

orang sampel.

B.3 Prosedur pengambilan responden

Patton menguraikan pedoman pengambilan sampel pada penelitian

kualitatif, yang harus disesuaikan dengan masalah dan tujuan penelitian

(Poerwandari, 2007). Maka dalam penelitian ini peneliti ingin memakai prosedur

pengambilan responden dengan purposive yangterstratifikasi. Melalui pendekatan ini, peneliti mengambil kasus-kasus yang menjelaskan kondisi rata-rata (serupa

dengan pendekatan pengambilan kasus tipikal), tetapi juga kasus-kasus yang

(49)

Dengan strategi ini peneliti tidak berfokus pada upaya mengidentifikasi

masalah-masalah mendasar, melainkan pada upaya menangkap variasi-variasi besar dari

responden (Patton dalam Poerwandari, 1998).

Dalam memilih sampel digunakan dasar teori yang dikemukakan oleh

Jung mengenai tipe kepribadian ekstrovert dan introvert dengan cara memberikan

tes MBTI (Myers-Briggs Type Indicator) yang berasal dari pendekatan Jung. Sehingga didapatkan dinamika yang tepat mengenai postpurchase dissonance

yang benar-benar dirasakan oleh wanita dengan kepribadian introvert. Namun

karena keterbatasan peneliti, dalam penelitian ini hanya mendapatkan dua variasi

sampel yakni kepribadian introvert yang tergolong light (rendah) dan middle

(sedang) sementara variasi tipe kepribadian introvert yang tergolong high (tinggi) tidak didapatkan.

C. Metode Pengambilan Data

Pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini direncanakan

menggunakan metode wawancara. Wawancara adalah percakapan dan tanya

jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan terentu (Poerwandari, 2007).

Wawancara kualitatif dilakukan untuk memperoleh pengetahuan tentang

makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti dan

bermaksud mengadakan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak

dapat dilakukan oleh pendekatan lain (Banister dkk., dalam Poerwandari, 2007).

Responden diwawancarai untuk memperoleh gambaran tentang

(50)

setiap responden. Pendekatan dasar wawancara yang digunakan untuk

memperoleh data kualitatif adalah wawancara dengan pedoman umum. Dalam

proses wawancara ini, peneliti dilengkapi pedoman wawancara yang sangat

umum, yang mencantumkan isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan

pertanyaan, bahkan mungkin tanpa bentuk pertanyaan eksplisit. Wawancara

dengan pedoman sangat umum ini dapat berbentuk wawancara terfokus, yakni

wawancara yang mengarahkan pembicaraan pada hal-hal atau aspek-aspek

tertentu dari kehidupan atau pengalaman partisipan. Tetapi wawancara juga dapat

berbentuk wawancara mendalam, dimana peneliti mengajukan pertanyaan

mengenai berbagai segi kehidupan subjek secara utuh dan mendalam

(Poerwandari, 2007).

Dalam penelitian ini, peneliti dilengkapi dengan pedoman wawancara

yang mencantumkan isu-isu yang harus diliput tanpa harus menentukan urutan

pertanyaan eskplisit. Wawancara juga berbentuk open-ended question yakni mencoba mendorong subjek untuk berbicara lebih lanjut tentang topik yang

dibahas tanpa membuat responden merasa diarahkan.

Selain itu observasi juga akan digunakan dalam penelitian ini yang berguna

sebagai data pelengkap dari hasil wawancara. Tujuan observasi adalah

mendeskripsikan setting yang dipelajari, aktivitas-aktivitas yang berlangsung, orang-orang yang terlibat dalam aktivitas, dan makna kejadian dilihat dari

perspektif mereka yang terlibat dalam kejadian yang diamati (Poerwandari, 2007).

(51)

selama wawancara dilakukan, hal-hal yang mengganggu selama wawancara dan

hal-hal yang sering dilakukan responden selama wawancara.

D. Alat bantu pengumpulan data

Alat bantu yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Pedoman wawancara

Menurut Poerwandari (2007) penggunaan pedoman wawancara berfungsi

untuk memuat pokok-pokok pertanyaan yang diajukan yang bertujuan menjaga

agar arah wawancara tetap sesuai dengan tujuan penelitian. Penelitian ini

menggunakan pedoman umum wawancara yang digunakan untuk mengingatkan

peneliti mengenai aspek dari topik yang harus dibahas, serta menjadi alat

pengecek apakah semua pertanyaan yang berkenaan dengan topik sudah

ditanyakan atau dibahas.

b. Alat perekam

Dalam penelitian ini peneliti merasa perlu menggunakan alat perekam agar

peneliti dapat mengulang kembali hasil rekaman wawancara. Tujuannya agar

peneliti dapat melakukan cross-check ulang mengenai pertanyaan yang belum lengkap ataupun belum jelas. Poerwandari (2007) menyatakan sedapat mungkin

wawancara perlu direkam dan dibuat transkripnya secara verbatim (kata demi kata).

Penggunaan alat rekam ini digunakan dengan meminta izin atau persetujuan dari

(52)

c. Alat Tulis

Alat tulis digunakan untuk mencatat hal-hal penting terkait dengan

wawancara serta sebagai data kontrol jalannya wawancara dan observasi. Hal ini

dilakukan sebagai pedukung data yang terekam dalam alat perekam.

E. Kredibititas dan validitas penelitian

Dalam pendekatan kualitatif, konsep validitas digantikan dengan istilah

kredibilitas. Menurut Poerwandari (2007) kredibilitas penelitian kualitatif terletak

pada keberhasilannya mencapai maksud mengeksplorasi masalah atau

mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi yang kompleks. Kredibilitas penelitian ini nantinya terletak pada keberhasilan

penelitian dalam mengungkapkan bagaimana dinamika postpurchase dissonance

pada wanita dengan tipe kepribadian introvert.

Adapun upaya peneliti dalam menjaga kredibilitas dan objektifitas

penelitian ini, yaitu dengan:

1. Melakukan pemilihan responden yang sesuai dengan karakteristik penelitian,

dalam hal ini adalah konsumen wanita dengan tipe kepribadian introvert yang

mengalami postpurchase dissonance.

2.Membuat pedoman wawancara berdasarkan teori postpurchase dissonance dari Hawkins, Best & Motherbaugh (2007) dan Sweeney, Hausknecht & Soutar (2000)

tentang faktor-faktor dan dimensi yang mengarah kepada munculnya

(53)

3. Melibatkan teman sejawat, dosen pembimbing, dan dosen yang ahli dalam

bidang kualitatif untuk berdiskusi, memberikan kritik dan masukan mulai awal

kegiatan proses penelitian sampai tersusunnya hasil penelitian. Hal ini dilakukan

mengingat keterbatasan peneliti pada kompleksitas fenomena yang diteliti.

4. Mendokumentasikan secara lengkap dan rapi data yang terkumpul, proses

pengumpulan data maupun strategi analisisnya.

5. Melacak kesesuaian dan kelengkapan hasil analisis data dengan melihat hasil

wawancara yang dilakukan pertama kali dengan hasil wawancara yang dilakukan

setelahnya.

F. Prosedur Penelitian

Rencana prosedur penelitian yang akan dilakukan adalah sebagai berikut :

F.1. Tahap persiapan penelitian a. Mengumpulkan data

Peneliti mengumpulkan data yang berhubungan dengan teori

postpurchase dissonance, pembelian pada wanita, dan tipe kepribadian introvert.

b. Menyusun pedoman wawancara

Peneliti menyusun pedoman wawancara berdasarkan kerangka

teori. Kemudian disusun butir-butir pertanyaan untuk menjadi pedoman

dalam proses wawancara. Setelah disusun, peneliti melakukan professional

(54)

dengan proses wawancara untuk menilai efektifitas pedoman wawancara

serta mengecek kembali apakah tujuan yang ingin dicapai telah terpenuhi.

c. Membuat informed consent

Informed consent adalah pernyataan pemberian izin oleh subjek. Dalam pemberian informed consent peneliti juga menjelaskan mengenai

penelitian serta tujuan dan manfaat penelitian. Pernyataan ini dibuat

sebagai bukti bahwa subjek telah menyepakati bahwa dirinya akan

berpartisipasi sebagai responden dalam penelitian ini tanpa ada paksaan

dari siapapun.

d. Mempersiapkan alat-alat penelitian

Alat – alat yang dipersiapkan adalah alat perekam, pedoman

wawancara serta alat tulis yang berguna sebagai pendukung proses

pengumpulan data.

e. Persiapan pengumpulan data

Peneliti mencari beberapa orang subjek yang sesuai dengan kriteria

sampel yang telah ditentukan, kemudian peneliti menghubungi calon

responden untuk menjelaskan tentang penelitian yang dilakukan dan

meminta kesediaannya untuk menjadi responden.

f. Membangun rapport dan menentukan jadwal wawancara

Setelah memperoleh kesediaan dari responden penelitian, peneliti

meminta kesediaan untuk bertemu dan mulai membangun rapport

Gambar

Tabel 1. Jadwal Wawancara Responden I
Tabel 4. Jadwal Wawancara Responden II

Referensi

Dokumen terkait

Dengan membawa semua dokumen asli yang di Upload pada tahap pemasukan dokumen penawaran, serta dokumen-dokumen lain yang dipersyaratkan dalam Dokumen Pengadaan,

1 Perancangan Basis Data (Oracle 1) 3 Nana Suarna, M.Kom R... Mata Kuliah SKS Dosen Ruang Hari Waktu

penilaian dan evaluasi dari Semua Data dalam surat penawaran harga.. perusahaan ternyata rekanan / perusahaan tersebut telah

1 Keterampilan Komputer dan Pengolahan Informasi 3 Nana Suarna, M.Kom/Assiten APP1-APP2 Senin 17.00-19.15 3 Sore. 2 Pancasila 2 Ahmad Saptono,

Sehubungan dengan pelaksanaan Evaluasi Penawaran dari perusahaan yang saudara pimpin,. maka dengan ini kami mengundang saudara dalam kegiatan klarifikasi berkas

JADWAL PERKULIAHAN SEMESTER GANJIL TAHUN AJARAN 2016/2017 PROGRAM STUDI MANAJEMEN INFORMATIKA. ANGKATAN

results-oriented accountability, drawing on lessons learned while teaching a seminar on accountability and highlighting the development of accountability policy in North Carolina..

Pada tahun 2017, Pusat Krisis Kesehatan telah melakukan assesment di 34 Kabupaten/Kota rawan bencana yang menjadi target