• Tidak ada hasil yang ditemukan

Regional Development Plan Based on Beekeeping Activity in Cianjur Regency

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Regional Development Plan Based on Beekeeping Activity in Cianjur Regency"

Copied!
156
0
0

Teks penuh

(1)

BERBASIS BUDIDAYA LEBAH MADU

DI KABUPATEN CIANJUR

NIA RACHMAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Arahan

Pengembangan Wilayah Berbasis Budidaya Lebah Madu di Kabupaten Cianjur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2014

(4)

NIA RACHMAWATI.

Arahan Pengembangan Wilayah Berbasis Budidaya Lebah Madu di Kabupaten Cianjur. Dibimbing oleh KHURSATUL MUNIBAH dan WIDIATMAKA.

Kebijakan pembangunan kehutanan yang berbasis sumberdaya alam memberikan manfaat pada pengembangan hasil hutan bukan kayu melalui kegiatan usaha perhutanan rakyat, diantaranya pengembangan usaha perlebahan. Usaha perlebahan mempunyai peluang yang cukup besar untuk dikembangkan di masyarakat karena permintaan produksi madu yang semakin meningkat untuk berbagai kebutuhan. Indonesia juga memiliki potensi sumber daya alam hayati yang cukup besar dalam mendukung pengembangan usaha perlebahan.

Salah satu wilayah yang berpotensi untuk pengembangan budidaya lebah madu adalah Kecamatan Sukaresmi di Kabupaten Cianjur. Di wilayah ini, budidaya lebah madu mulai diusahakan sejak tahun 2006. Jenis lebah madu yang dibudidayakan adalah Apis mellifera (Lebah Eropa) dengan rata-rata produksi sebesar 3-4 ton/tahun. Kendala utama yang dihadapi dalam budidaya tersebut adalah keterbatasan sumber pakan yang berasal dari tanaman yang menghasilkan nektar atau pollen (serbuk sari). Adanya keterbatasan pakan dan sifat migratory lebah Apis mellifera menyebabkan pada bulan-bulan tertentu lebah harus digembalakan ke luar Kabupaten Cianjur untuk meningkatkan produksi madu. Salah satu upaya untuk untuk mengatasi hal tersebut, Pemerintah Kabupaten Cianjur melalui Dinas Kehutanan dan Perkebunan menyusun Partisipatory

Business Plan (PBP) untuk membangun Taman Wisata Lebah. Konsep dasar

dalam PBP ini yaitu melaksanakan budidaya lebah madu secara terintegrasi, melalui pembangunan tanaman sumber pakan lebah, pengolahan produk lebah madu dan diversifikasi produk lebah madu dalam satu lokasi tanpa penggembalaan ke luar Kabupaten Cianjur.

Sistem informasi geografis (SIG) mempunyai kemampuan membuat kerangka model untuk evaluasi kesesuaian lahan (Elsheikh et al. 2013) dan membangun model kesesuaian habitat melalui pendekatan evaluasi multi-kriteria (Multi-Criteria Evaluation) serta mengintegrasikannya dengan pengetahuan para ahli (Store dan Jokimaki 2003). Pada penelitian ini, pendekatan SIG digunakan untuk menentukan kesesuaian lahan untuk budidaya lebah madu. Dengan adanya

penelitian tentang kesesuaian lahan budidaya lebah madu dengan

mempertimbangkan aspek fisik lahan, sosial dan finansial, diharapkan dapat memberikan arahan bagi pengembangan wilayah berbasis budidaya lebah madu yang terintegrasi di Kabupaten Cianjur.

Tujuan penelitian ini adalah: (1) menganalisis kesesuaian lahan untuk budidaya lebah madu dengan mempertimbangkan kesesuaian lahan tanaman sumber pakan lebah dan kesesuaian habitat lebah madu; (2) menganalisis finansial budidaya lebah madu; (3) menganalisis pendapat masyarakat terhadap budidaya lebah madu; dan (4) merumuskan arahan pengembangan wilayah berbasis budidaya lebah madu.

(5)

satu kelas, yaitu kelas S1 (sangat sesuai), kelas S2 (cukup sesuai), kelas S3 (sesuai marginal) dan N (tidak sesuai). Hasil analisis kesesuaian lahan untuk tanaman sumber pakan lebah menunjukkan bahwa kelas kesesuaian lahan untuk kapuk randu yaitu S3 dan N, sedangkan karet dan rambutan memiliki kelas kesesuaian S1, S2, S3 dan N. Kelas kesesuaian lahan untuk jagung terdiri atas S3 dan N, kelengkeng S2, S3 dan N serta kaliandra sebagian besar kelas kesesuaiannya S. Setiap unit lahan memiliki variasi kombinasi kelas kesesuaian, yaitu 2 - 6 jenis sumber pakan lebah yang sesuai.

Luasan wilayah Kabupaten Cianjur yang sangat sesuai untuk dijadikan habitat lebah madu sebesar 83,030 ha (22.9 %), sesuai 121,030 ha (33.4 %) dan tidak sesuai seluas 157,880 ha (43.6 %). Kecamatan yang sesuai untuk dijadikan habitat lebah madu antara lain Kecamatan Bojongpicung, Cibinong, Cikalongkulon, Haurwangi, Mande, Naringgul, Sindangbarang dan Sukaluyu. Berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan untuk budidaya lebah madu dengan mempertimbangkan aspek penggunaan lahan dan aspek regulasi (RTRWK dan HGU perkebunan), maka terpilih beberapa lokasi yang berpotensi untuk pengembangan budidaya lebah madu untuk 6 jenis sumber pakan antara lain: Kecamatan Bojongpicung, Cikalongkulon, Haurwangi, Sukaluyu, Campaka, Takokak, Cikadu dan Sindangbarang. Lokasi yang sesuai untuk 5 jenis pakan adalah Kecamatan Sukaresmi, Cibeber, Cibinong, Leles dan Tanggeung.

Berdasarkan hasil analisis finansial, usaha budidaya lebah madu lebih menguntungkan (layak) jika tetap digembalakan di Kabupaten Cianjur dengan melakukan sewa lahan, tanpa melakukan pembangunan sumber pakan lebah. Biaya investasi lahan untuk pembangunan sumber pakan lebah menjadi faktor pembatas kelayakan usaha. Hasil analisis pendapat masyarakat menunjukkan bahwa pada dasarnya beberapa kelompok tani di lokasi terpilih berkeinginan untuk melaksanakan budidaya lebah madu baik dengan adanya pembinaan dari instansi pemerintah/swasta ataupun tidak.

Arahan pengembangan wilayah berbasis budidaya lebah madu disusun dalam tujuh prioritas. Prioritas tersebut disusun dengan mempertimbangkan hasil analisis yang telah dilakukan dan potensi wilayah yang dimiliki. Wilayah yang menjadi prioritas pertama untuk pengembangan budidaya lebah madu adalah Kecamatan Sukaresmi. Kecamatan ini sesuai untuk budidaya lebah madu dengan lima jenis sumber pakan lebah yaitu karet, rambutan, kelengkeng, jagung dan kaliandra. Lokasi budidaya yang dapat dijadikan sebagai alternatif pengembangan adalah HGU terlantar dengan jenis penggunaan lahan berupa semak/belukar. Kelompok tani yang ada di kecamatan ini sudah berpengalaman dalam budidaya. Pengembangan Taman Wisata Lebah di Kecamatan Sukaresmi sangat prospektif karena berada di sekitar kawasan wisata Puncak. Prioritas wilayah pengembangan berikutnya berturut-turut adalah sebagai berikut: Kecamatan Cikalongkulon (prioritas kedua), Kecamatan Haurwangi-Bojongpicung (prioritas ketiga),

Kecamatan Campaka-Campakamulya (Prioritas keempat), Kecamatan

Sindangbarang-Cikadu-Cibinong (prioritas kelima), Kecamatan Cibeber-Gekbrong (Prioritas keenam) dan Kecamatan Mande (prioritas ketujuh).

(6)

NIA RACHMAWATI. Regional Development Plan Based on Beekeeping Activity in Cianjur Regency. Supervised by KHURSATUL MUNIBAH and WIDIATMAKA.

Forestry development policy-based natural resources provide benefits to the development of non-timber forest products through social forestry activities, including beekeeping business. Beekeeping businesses have considerable opportunities to be developed in the community. It is because of the demand of honey is increasing for variety of needs. Furthermore, Indonesia also has the potential of natural resources to support the beekeeping development business.

One of the potential areas for beekeeping development is Cianjur Regency, where it has been cultivated since 2006. The type of honey bee which cultivated is Apis mellifera, with an average production of 3-4 tons/year. However, the main problem encountered beekeeping activities in this regency is limited bee forage resources. This limitation and migratory behaviour of Apis mellifera are causing herding activity of the bees in certain months must be herded out of Cianjur to increase honey production. As an effort to overcome this problem, Cianjur Regency Government through the Forestry and Plantation Agency has been developing a Participatory Business Plan (PBP) to build a Tourism Bees Park. The basic concept of PBP is implementing an integrated beekeeping, through the development of bee forage resources, honey bee product processing and diversification of honey bee product in one location without herding activity outside Cianjur.

Geographic information systems (GIS) have the ability to create a model framework for land suitability evaluation (Elsheikh et al. 2013) and develop habitat suitability models through a multi-criteria evaluation approach and integrate it with expert knowledge (Store and Jokimaki 2003). GIS approach is applied in this research to determine the land suitability for beekeeping. Moreover, through the analysis of land suitability for beekeeping by considering physical, social and financial aspect, this research is expected to provide direction plan for integrated beekeeping development in Cianjur.

The objectives of this research are: (1) to analyze the beekeeping land suitability, considering the land suitability for bee forage plants and the habitat suitability for honey bee; (2) to analyze beekeeping financial; (3) to analyze public opinion about beekeeping, and (4) to formulate the development plan based on beekeeping activity.

(7)

resources per land unit.

The percentage of Cianjur Regency area that very suitable to be used as a honey bee habitat is 22.94 % (83,030 ha), 33.44 % (121,034 ha) suitable and not suitable 43.62 % (157,880 ha). The sub-districts which are suitable for honeybee habitat among others, Bojongpicung, Cibinong, Cikalongkulon, Haurwangi, Mande, Naringgul, Sindangbarang and Sukaluyu. The analysis of land suitability for beekeeping by considering land use aspects and regulatory aspects (spatial planning and cultivate plantation right) selected several potential locations for beekeeping development that suitable for 6 types of bee forages: Bojongpicung, Cikalongkulon, Haurwangi, Sukaluyu, Campaka, Takokak, Cikadu and Sindangbarang district. Potential locations for beekeeping development that suitable for 5 types of bee forages are Sukaresmi, Cibeber, Cibinong, Leles, and Tanggeung.

Based on the results of the financial analysis, beekeeping business more profitable (feasible) if honey bee still grazing in Cianjur area with land lease in bee forage plantation. The land investment cost for making bee forage plantation becomes a limiting factor for business feasibility. The results of the public opinion analysis indicate that basically some farmer groups in selected locations willing to do beekeeping with the government guidance /private sector or not.

Regional development plan based on beekeeping activity are arranged with seven priorities. The priorities are made by considering the result of this study and potential resources in Cianjur Regency. Sukaresmi is the first priority area for beekeeping development. This sub-district is suitable for five types of bee forages: rubber, rambutan, kelengkeng, corn and calliandra. Farmers groups in this area have experiences in beekeeping. Sukaresmi is a prospective area for Tourism Bees Park development, because It is near tourism areas in Puncak. The next priority areas (sub-districts) for beekeeping development are Cikalaongkulon (second priority), Haurwangi-Bojongpicing (third priority), Campaka-Campakamulya (fourth priority), Sindangbarang-Cikadu-Cibinong (fifth priority), Cibeber-Gekbrong (sixth priority) and Mande (the last priority).

(8)

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

BERBASIS BUDIDAYA LEBAH MADU

DI KABUPATEN CIANJUR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(10)
(11)

di Kabupaten Cianjur

Nama : Nia Rachmawati

NIM : A156120264

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Dra Khursatul Munibah, MSc Ketua

Dr Ir Widiatmaka, DAA Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

Prof Dr Ir Santun R.P. Sitorus

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(12)
(13)

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis yang berjudul Arahan Pengembangan Wilayah Berbasis Budidaya Lebah Madu di Kabupaten Cianjur telah berhasil diselesaikan. Dalam penyusunan karya ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Ibu Dr Dra Khursatul Munibah, MSc. dan Bapak Dr Ir Widiatmaka, DAA selaku ketua dan anggota komisi pembimbing, atas segala arahan, bimbingan dan motivasi yang diberikan mulai dari tahap awal hingga penyelesaian tesis ini;

2. Bapak Prof Dr Ir Santun R.P. Sitorus, selaku Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah, serta segenap dosen pengajar, asisten dan staf manajemen Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB;

3. Bapak Dr Ir Komarsa Gandasamita, MSc, selaku dosen penguji luar komisi yang telah memberikan banyak saran dan masukan untuk penyempurnaan tesis ini;

4. Kepala Pusbindiklatren Bappenas beserta jajarannya atas kesempatan beasiswa yang diberikan kepada penulis;

5. Pemerintah Daerah Kabupaten Cianjur yang telah memberikan izin dan bantuan dana kepada penulis untuk mengikuti program tugas belajar ini;

6. Rekan-rekan PWL kelas Bappenas maupun reguler angkatan 2012 dan semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini;

Terima kasih yang istimewa khusus disampaikan kepada suamiku Anung Kurniawan, S.Hut. dan anakku M. Hanif Pramatya, beserta seluruh keluarga, atas segala doa, dukungan, kasih sayang dan pengorbanan yang telah diberikan selama ini.

Penulis menyadari adanya keterbatasan ilmu dan kemampuan, sehingga dalam penelitian ini masih terdapat banyak kekurangan. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, Maret 2014

(14)

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN x

1 PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Perumusan Masalah 3

1.3 Tujuan Penelitian 4

1.4 Manfaat Penelitian 5

1.5 Kerangka Pemikiran 5

2 TINJAUAN PUSTAKA 7

2.1 Budidaya Lebah Madu 7

2.2 Syarat Lokasi Perlebahan 9

2.3 Tanaman Pakan Lebah 10

2.4 Perencanaan Pengembangan Wilayah 13

2.5 Evaluasi Lahan 13

2.6 Sistem Informasi Geografis 15

2.7 Analisis Multikriteria Spasial 15

3 METODOLOGI PENELITIAN 18

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 18

3.2 Jenis Data dan Alat 18

3.3 Metode Pengumpulan dan Teknik Analisis Data 18

4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN CIANJUR 33

4.1 Kondisi Geografis dan Administratif 33

4.2 Kondisi Demografi 35

4.3 Kondisi Perekonomian Daerah 36

4.4 Sektor-Sektor Penting 37

4.5 Kondisi Fisik Lokasi Penelitian 41

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 44

5.1 Kesesuaian Lahan Jenis Pakan Lebah Madu 44

5.2 Kesesuaian Habitat Lebah Madu 52

5.3 Kesesuaian Lahan untuk Budidaya Lebah madu 68

5.4 Kesesuaian Lahan untuk Budidaya Lebah Madu dengan Pertimbangan

Penggunaan Lahan dan Aspek Legal 71

5.5 Finansial Budidaya Lebah Madu 78

5.6 Pendapat Masyarakat terhadap Budidaya Lebah Madu 81

(15)

6.1 Simpulan 99

6.2 Saran 100

DAFTAR PUSTAKA 101

LAMPIRAN 101

(16)

1 Jenis dan sumber data, teknik analisis dan keluaran pada berbagai

tahapan penelitian 20

2 Jadwal masa pembungaan jenis pakan lebah 21

3 Karekterisik dan penyebaran jenis pakan lebah madu 22

4 Kriteria kesesuaian lahan untuk habitat/tempat hidup lebah madu 24

5 Penilaian kriteria berdasarkan skala perbandingan Saaty 25

6 Prioritas arahan pengembangan kegiatan budidaya lebah madu di

Kabupaten Cianjur 32

7 Jumlah desa/kelurahan dan luas tiap kecamatan di Kabupaten Cianjur 34

8 Jumlah dan kepadatan penduduk Kabupaten Cianjur tahun 2011 35

9 Laju pertumbuhan produk domestik regional bruto Kabupaten Cianjur atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun 2007-2011 37 10 Luas kawasan hutan berdasarkan fungsi/statusnya tahun 2012 38

11 Produksi hasil hutan bukan kayu tahun 2012 38

12 Produksi madu tahun 2007-2012 39

13 Kelompok tani lebah madu di Kecamatan Sukaresmi 39

14 Luas perkebunan berdasarkan jenis dan karakteristiknya di Kabupaten

Cianjur 40

15 Persentase luas kesesuaian lahan aktual jenis tanaman pakan lebah 51 16 Persentase luas jenis penggunaan lahan di Kabupaten Cianjur 63

17 Kelas kesesuaian habitat lebah madu 67

18 Penyederhanaan kelas kesesuaian lahan gabungan untuk tanaman pakan

lebah 69

19 Matrik penentuan kelas kesesuaian untuk budidaya lebah madu 69

20 Simbol kelas kesesuaian lahan untuk budidaya lebah madu 73

21 Luas kelas kesesuaian budidaya lebah madu 76

22 Jenis tanaman pakan lebah yang mungkin ditanam berdasarkan kelas

kesesuaian budidaya lebah madu 76

23 Skenario untuk perhitungan NPV dan BCR budidaya lebah madu 79

24 Luas minimal sumber pakan lebah untuk 50 stup 79

25 Perbandingan nilai NPV dan BCR pada berbagai skenario 80

26 Bobot hasil analisis AHP setiap kriteria dan faktor 81

27 Bobot akhir setiap faktor hasil analisis AHP 82

28 Matrik arahan pengembangan wilayah bernasis budidaya lebah madu di

(17)

1 Kerangka pemikiran penelitian 6

2 Bagan alir tahapan penelitian 19

3 Kerangka AHP untuk analisis MCE 26

4 Bagan alir proses pembuatan peta suhu 28

5 Bagan alir tahapan proses pembuatan peta kesesuaian habitat lebah

madu 29

6 Kriteria analisis pendapat masyarakat terhadap budidaya lebah madu 31

7 Peta batas administrasi Kabupaten Cianjur 33

8 Persentase penduduk 15 tahun ke atas yang bekerja menurut lapangan

usaha 36

9 Lokasi budidaya lebah madu di Kabupaten Cianjur 40

10 Penyebaran jenis tanah di Kabupaten Cianjur 42

11 Kesesuaian lahan aktual tanaman kapuk randu 44

12 Kesesuaian lahan aktual tanaman karet 46

13 Kesesuaian lahan aktual tanaman rambutan 47

14 Kesesuaian lahan aktual tanaman jagung 48

15 Kesesuaian lahan aktual tanaman kelengkeng 49

16 Kesesuaian lahan aktual tanaman kaliandra 50

17 Kesesuaian lahan aktual tanaman pakan lebah untuk Kapuk Randu (Kp), Karet (Kr). Rambutan (Ra), Jagung (Ja), Kelengkeng (Kl), dan Karet

(Kr) 51

18 Bobot kriteria fisik lahan dan infrastruktur serta penggunaan lahan 52

19 Bobot faktor dan subfaktor dari kriteria fisik lahan 53

20 Sebaran kelas ketinggian hasil reklasifikasi 54

21 Sebaran kelas lereng 55

22 Sebaran kelas ketinggian hasil reklasifikasi 56

23 Buffersungai 57

24 Sebaran kelas curah hujan rata-rata tahunan 58

25 Hasil kesesuaian atas dasar aspek fisik lahan 59

26 Bobot faktor dari kriteria infrastruktur dan penggunaan lahan 60

27 Sebaran kawasan pemukiman di Kabupaten Cianjur 61

28 Bufferkawasan pemukiman 62

29 Bufferjalan 62

30 Jenis penggunaan lahan di Kabupaten Cianjur 63

31 Hasil kesesuaian atas dasar aspek infrastruktur dan penggunaan lahan 64 32 Hasil kesesuaian berdasarkan aspek fisik lahan-infrastruktur dan

penggunaan lahan 65

33 Kesesuaian habitat lebah madu 66

34 Statistik penyebaran nilai hasil perhitungan dengan field calculator untuk penentuan kisaran nilai kesesuaian habitat lebah madu 66

35 Peta kelas kesesuaian habitat lebah madu 67

36 Sebaran lokasi budidaya lebah madu dengan 6 jenis sumber pakan 70 37 Sebaran lokasi budidaya lebah madu dengan 6 dan 5 jenis sumber

pakan 71

38 Peta rencana pola ruang 72

(18)

berdasarkan jenis penggunaan lahan, pola ruang dan status HGU

Perkebunan 74

41 Sebaran lokasi budidaya lebah madu untuk 6 dan 5 jenis pakan berdasarkan pola ruang, status HGU dan jenis penggunaan lahan 75 42 Sebaran lokasi budidaya lebah madu dengan kombinasi jenis tanaman

sumber pakan yang bisa ditanam dilahan yang sesuai 77

43 Sebaran lokasi budidaya lebah madu berdasarkan jenis tanaman

sumber pakan lebah 78

44 Peta arahan pengembangan wilayah berbasis budidaya lebah madu di

Kabupaten Cianjur 88

45 Prioritas pertama pengembangan budidaya lebah madu di Kabupaten Cianjur berdasarkan (a) sebaran kelas kesesuaian dan (b) jenis sumber

pakan 89

46 Prioritas kedua pengembangan budidaya lebah madu di Kabupaten Cianjur berdasarkan (a) sebaran kelas kesesuaian dan (b) jenis sumber

pakan 91

47 Prioritas ketiga pengembangan budidaya lebah madu di Kabupaten Cianjur berdasarkan (a) sebaran kelas kesesuaian dan (b) jenis sumber

pakan 93

48 Prioritas keempat pengembangan budidaya lebah madu di Kabupaten Cianjur berdasarkan (a) sebaran kelas kesesuaian dan (b) jenis sumber

pakan 94

49 Prioritas kelima pengembangan budidaya lebah madu di Kabupaten Cianjur berdasarkan (a) sebaran kelas kesesuaian dan (b) jenis sumber

pakan 96

50 Prioritas keenam pengembangan budidaya lebah madu di Kabupaten Cianjur berdasarkan (a) sebaran kelas kesesuaian dan (b) jenis sumber

pakan 97

51 Prioritas ketujuh pengembangan budidaya lebah madu di Kabupaten Cianjur berdasarkan (a) sebaran kelas kesesuaian dan (b) jenis sumber

(19)

1 Kriteria kesesuaian lahan untuk kapuk randu (Ceiba pentandra(L.) 105 2 Kriteria kesesuaian lahan untuk karet (Hevea brassiliensisM.A.) 106 3 Kriteria kesesuaian lahan untuk rambutan (Nephelium lappaceun

LINN) 107

4 Kriteria kesesuaian lahan untuk jagung (Zea mays) 108

5 Kriteria kesesuaian lahan untuk kelengkeng (Euphoria longanLAMK) 109 6 Kriteria kesesuaian lahan untuk kaliandra (Calliandra calothyrsus) 110

7 Kueusioner AHP untuk analisis MCE 111

8 Luas kelas kesesuaian lahan aktual jenis kapuk randu beserta faktor

pembatasnya 118

9 Luas kelas kesesuaian lahan aktual jenis karet beserta faktor

pembatasnya 119

10 Luas kelas kesesuaian lahan aktual jenis rambutan beserta faktor

pembatasnya 121

11 Luas kelas kesesuaian lahan aktual jenis jagung beserta faktor

pembatasnya 123

12 Luas kelas kesesuaian lahan aktual jenis kelengkeng beserta faktor

pembatasnya 124

13 Luas kelas kesesuaian lahan aktual jenis kaliandra beserta faktor

pembatasnya 126

14 Perhitungan NPV dan BCR budidaya lebah madu untuk penggembalaan

ke luar Kabupaten Cianjur 127

15 Perhitungan NPV dan BCR untuk pembagunan sumber pakan lebah (6

jenis) dengan investasi lahan 130

16 Perhitungan NPV dan BCR budidaya lebah madu dengan sewa lahan

(20)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Potensi sumberdaya kehutanan yang semakin menurun akibat kerusakan dan degradasi fungsi ekologis mendorong terjadinya perubahan paradigma kebijakan pembangunan kehutanan di Indonesia. Kebijakan kehutanan yang pada awalnya hanya berorientasi pada pengelolaan hasil hutan kayu (Timber Based Management), secara bertahap mengalami pergeseran menjadi pendekatan pola manajemen sumberdaya alam (Resources Based Management). Saat ini, kebijakan kehutanan tidak lagi hanya berfokus pada produksi tetapi mulai mengarah pada kebijakan yang lebih komprehensif dengan mensinergikan antara aspek ekologi, sosial dan ekonomi dengan menggunakan pendekatan pembangunan berbasis masyarakat (Community Based Development).

Kebijakan strategis pembangunan kehutanan melalui konsep Community Based Development salah satunya dilaksanakan melalui programSocial Forestry. Program ini mendapat dukungan penuh pemerintah dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Kehutanan No. P.01/Menhut-II/2004 tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat di Dalam dan atau Sekitar Hutan dalam Rangka Social

Forestry. Pendekatan pembangunan kehutanan tidak hanya berfokus pada

produksi kayu, tetapi lebih difokuskan pada pengembangan hasil hutan bukan kayu melalui kegiatan usaha perhutanan rakyat, diantaranya melalui pengembangan usaha perlebahan (Dirjen RLPS 2004).

Lebah madu merupakan sumberdaya yang sangat berharga di dunia. Lebah madu bernilai karena madu dan lilin (wax) yang dihasilkannya serta perannya dalam proses penyerbukan berbagai jenis tanaman (vanEngelsdorp dan Meixner 2009). Di Indonesia, usaha perlebahan mempunyai peluang yang cukup besar untuk dikembangkan di masyarakat. Selain permintaan produksi madu yang semakin meningkat, Indonesia juga memiliki potensi sumber daya alam hayati yang cukup besar dalam pengembangan usaha perlebahan. Keunggulan potensi sumberdaya hayati tersebut antara lain didukung oleh keberadaan berbagai jenis lebah asli Indonesia, ragam jenis tumbuhan sumber pakan lebah serta kondisi agroklimat tropis yang sangat mendukung keberlanjutan kehidupan lebah.

Jumlah penduduk Indonesia yang tinggi berpotensi mendorong peningkatan permintaan produksi madu. Berdasarkan hasil Sensus Penduduk tahun 2010, jumlah penduduk Indonesia mencapai 237,5 juta jiwa dan diperkirakan akan mencapai 252 juta jiwa pada tahun 2014 (Kementerian Kesehatan 2011). Menurut Kementerian Kehutanan, pada saat ini konsumsi madu di Indonesia diperkirakan sebesar 15 gram/orang/tahun (Refiyanti 2011). Dengan demikian pada tahun 2014 kebutuhan madu di Indonesia diperkirakan sebesar 3,780 ton pertahun dan akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk.

(21)

China, Selandia Baru dan Australia (Refiyanti 2011). Berdasarkan kondisi tersebut, dapat dikatakan bahwa usaha perlebahan saat ini cukup prospektif dari sisi pemenuhan kebutuhan dalam negeri.

Salah satu wilayah yang berpotensi untuk pengembangan budidaya lebah madu adalah Kecamatan Sukaresmi, Kabupaten Cianjur. Di wilayah ini, budidaya lebah madu mulai diusahakan sejak tahun 2006. Jenis lebah madu yang dibudidayakan adalah Apis mellifera (Lebah Eropa) dengan rata-rata produksi sebesar 3-4 ton/tahun. Saat ini, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Cianjur telah membina 4 (empat) kelompok tani lebah madu yang berlokasi di Kecamatan Sukaresmi dengan jumlah total stup yang dibudidayakan sejumlah 150 stup. Kegiatan budidaya tersebut menghasilkan beragam jenis madu, diantaranya madu kapuk randu, madu rambutan, madu karet dan madu multiflora.

Berkembangnya budidaya lebah madu mengindikasikan bahwa Kabupaten Cianjur memiliki kondisi fisik wilayah yang sesuai bagi pengembangan budidaya lebah madu. Selain itu, budidaya lebah madu merupakan kegiatan yang sangat prospektif untuk dikembangkan dari sisi ekonomi. Hal ini dapat dilihat dari permintaan produksi madu yang cukup tinggi, baik untuk pemenuhan kebutuhan lokal maupun ekspor ke luar daerah. Kondisi tersebut menjadi suatu peluang untuk pengembangan di Kabupaten Cianjur, namun kegiatan budidaya lebah madu saat ini masih banyak menghadapi kendala.

Salah satu kendala utama yang dihadapi dalam budidaya lebah madu di Kabupaten Cianjur adalah masih terbatasnya produksi. Sampai saat ini belum ada peternak/pengusaha yang membudidayakan lebah madu dalam skala besar. Produksi madu yang ada masih belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi lokal. Pemenuhan kebutuhan konsumsi madu di Kabupaten Cianjur saat ini sebagian masih dipasok dari kabupaten lain antara lain dari Pati dan Batang. Oleh sebab itu perlu upaya berbagai pihak untuk mendorong peningkatan produksi madu di Kabupaten Cianjur. Salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah melalui kegiatan penggembalaan. Kegiatan penggembalaan merupakan salah satu alternatif yang perlu dilaksanakan untuk mencapai produksi yang optimal. Sifat lebah Apis mellifera yang migratory (berpindah-pindah sesuai dengan musim pembungaan tanaman pakan lebah) menyebabkan pada bulan-bulan tertentu harus digembalakan ke luar Kabupaten Cianjur untuk memperoleh pakan agar terjadi panen raya.

(22)

strategis yang dapat mendatangkan keuntungan ekonomi wilayah (strategic land-use development planning).

Atas dasar hal tersebut maka diperlukan penelitian secara spasial untuk menentukan lokasi-lokasi mana saja yang potensial untuk dijadikan sebagai tempat budidaya lebah madu di Kabupaten Cianjur agar lebah tidak perlu digembalakan keluar daerah. Penentuan lokasi tersebut harus didasarkan pada berbagai pertimbangan baik dari aspek kesesuaian fisik lahan untuk keberlanjutan budidaya lebah madu, maupun aspek finansial dan aspek sosial. Salah satu pendekatan spasial yang bisa digunakan dalam penentukan lokasi budidaya lebah madu adalah menggunakan perangkat Sistem Informasi Geografis (SIG).

Menurut vanEngelsdorp (2009), selain aspek fisik lahan, faktor sosial-ekonomi merupakan faktor yang memberikan pengaruh terhadap profitabilitas budidaya lebah madu. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk melihat potensi pengembangan wilayah berbasis budidaya lebah madu dengan mempertimbangkan kesesuaian lahan, aspek ekonomi dan sosial. Penelitian terkait penentuan lokasi pengembangan kegiatan budidaya lebah madu diharapkan dapat menjadi arahan bagi pengembangan wilayah berbasis kegiatan budidaya lebah madu di Kabupaten Cianjur. Penetapan lokasi budidaya yang tepat, baik dari aspek fisik lahan, ekonomi maupun sosial, diperlukan agar budidaya lebah madu dapat berkembang secara optimal, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mendukung pengembangan wilayah di Kabupaten Cianjur.

1.2 Perumusan Masalah

Pengembangan budidaya lebah madu selain berdampak positif bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat juga diharapkan dapat memberikan kontribusi yang cukup besar dalam mendorong peningkatan ekonomi wilayah di

Kabupaten Cianjur. Salah satu kendala utama yang dihadapi dalam

pengembangan budidaya lebah madu di Kabupaten Cianjur adalah masalah produksi yaitu adanya keterbatasan sumber pakan lebah. Pada masa pembungaan sumber pakan lebah, lebah harus digembalakan ke wilayah-wilayah yang memiliki sumber pakan lebah melimpah seperti kapuk randu, kelengkeng, rambutan atau sumber pakan lebah lainnya agar produksi madu meningkat secara optimal. Keterbatasan sumber pakan lebah yang ada di Kabupaten Cianjur menyebabkan lebah harus digembalakan hingga ke luar daerah. Hal ini disebabkan jenis dan luasan sumber pakan lebah yang ada di Cianjur masih terbatas dan belum mampu mencukupi jumlah populasi lebah yang ada saat ini. Kegiatan penggembalaan tersebut menyebabkan biaya produksi yang harus dikeluarkan oleh peternak menjadi lebih tinggi.

(23)

budidaya lebah madu. Beberapa jenis pakan lebah yang dapat dikembangkan menjadi sumber pakan antara lain kapuk randu, kaliandra, jagung, rambutan, karet, kopi, kelengkeng dan nira (Sihombing 2005). Dengan memperhatikan karakteristik setiap sumber pakan lebah tersebut, jenis tanaman yang potensial untuk dikembangkan di Kabupaten Cianjur adalah kapuk randu, karet, rambutan, kelengkeng, jagung dan kaliandra.

Produktivitas lebah madu juga sangat dipengaruhi oleh keadaan fisik lingkungan. Keadaan fisik lingkungan seperti suhu, ketinggian tempat, curah hujan, jarak dari sumber air bersih, sangat menentukan keberlanjutan hidup lebah madu. Tidak semua lokasi bisa dijadikan tempat hidup/habitat lebah madu. Terdapat beberapa kriteria yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan kesesuaian habitatnya. Oleh sebab itu perlu dilakukan analisis untuk mengetahui lokasi yang paling sesuai dan optimal untuk dijadikan sebagai lokasi budidaya yang memenuhi semua kriteria baik dari sisi kesesuaian sumber pakan maupun kesesuaian bagi bagi perkembangan lebah madu itu sendiri.

Keberhasilan pengembangan budidaya lebah madu tidak hanya didasarkan pada aspek fisik lahan tetapi perlu mempertimbangkan aspek ekonomi dan sosial. Dari sisi ekonomi, perlu dipertimbangkan kelayakan finansial. Aspek kelayakan finansial menjadi bahan pertimbangan dalam pengembangan kegiatan budidaya lebah madu untuk melihat sejauhmana usaha budidaya dapat memberikan keuntungan secara signifikan pada peternak. Selanjutnya, perlu dipertimbangkan aspek sosial dengan melihat pendapat masyarakat terhadap budidaya lebah madu. Untuk memadukan semua aspek tersebut, diperlukan suatu rumusan arahan pengembangan budidaya lebah madu dalam rangka meningkatkan produktifitas dan keberlanjutan produksinya untuk mendukung pengembangan ekonomi wilayah.

Beberapa pertanyaan penelitian yang perlu dikaji dalam penentuan lokasi pengembangan budidaya lebah madu yaitu:

1 Dimana lokasi yang sesuai dan optimal untuk budidaya lebah madu Apis melliferaditinjau dari aspek kesesuaian jenis pakan dan habitat lebah madu? 2 Bagaimana kelayakan finansial usaha budidaya lebah madu yang dilakukan

secara terintegrasi?

3 Bagaiman pendapat masyarakat tentang budidaya lebah madu?

4 Bagaimana arahan pengembangan wilayah berbasis budidaya lebah madu untuk mendukung peningkatan ekonomi masyarakat?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Menganalisis kesesuaian lahan untuk budidaya lebah madu dengan mempertimbangkan kesesuaian lahan untuk tanaman sumber pakan lebah dan kesesuaian habitat untuk lebah madu

2. Menganalisis kelayakan finansial budidaya lebah madu.

3. Menganalisis pendapat masyarakat terhadap budidaya lebah madu

(24)

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk :

1. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengambil kebijakan terkait pengembangan kegiatan budidaya lebah madu di Kabupaten Cianjur.

2. Menambah khazanah keilmuan bagi para peneliti yang berminat untuk melakukan kajian lebih mendalam.

1.5 Kerangka Pemikiran

Kabupaten Cianjur merupakan salah satu wilayah yang cukup potensial bagi pengembangan budidaya lebah madu. Potensi tersebut antara lain berupa kelompok tani yang telah melakukan budidaya lebah madu dan produksi madu yang terus meningkat dengan pasar penjualan madu yang cukup menjanjikan. Salah satu kendala yang dihadapi dalam pengembangan budidaya lebah madu di Kabupaten Cianjur adalah tingkat produksinya yang masih terbatas. Produksi madu di Kabupaten Cianjur sampai saat ini masih belum mampu memenuhi permintaan baik untuk pemenuhan konsumsi masyarakat Cianjur sendiri maupun untuk ekspor ke luar daerah. Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan upaya dalam rangka pengembangan kegiatan budidaya lebah madu melalui penentuan lokasi-lokasi yang sesuai untuk pengembangan. Penentuan lokasi untuk kegiatan ini dapat ditinjau dari aspek fisik lahan yaitu dengan memperhatikan kesesuaian lahan bagi jenis-jenis pakan lebah dan kesesuaian habitat lebah madu dengan menggunakan perangkat Sistem Informasi Geografis (SIG).

Menurut Elsheikh et al. (2013) Sistem Informasi Geografis (SIG) mempunyai kemampuan untuk membuat kerangka model dengan beberapa modifikasi penting untuk melakukan evaluasi kesesuaian lahan. Selain itu, menurut Store dan Jokimaki (2003) SIG dapat digunakan untuk membangun model kesesuaian habitat dengan pendekatan evaluasi multi-kriteria ( Multi-Criteria Evaluation) dan mengintegrasikannya dengan pengetahuan para ahli. Pada penelitian ini, pendekatan SIG digunakan untuk menentukan kesesuaian lahan sumber pakan lebah. Teknik yang digunakan untuk menentukan kesesuaian tersebut adalah matching (pencocokan) dengan kriteria kesesuaian lahan dari Puslittanak (Djaenudinet al.2000). Penentuan lokasi yang sesuai untuk dijadikan tempat hidup/habitat lebah madu dilakukan melalui pemodelan SIG dengan pendekatan Multi-Criteria Evaluation (MCE) dan Analytical Hierarchy Process (AHP).

Selain aspek fisik lahan dan aspek finansial, aspek sosial serta potensi wilayah perlu dijadikan sebagai pertimbangan dalam penentuan lokasi yang sesuai untuk budidaya lebah madu agar tercapai produksi yang optimal dengan

keuntungan yang maksimal. Analisis tersebut dilakukan dengan

(25)

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian

Aspek Formal Teoritis RTRW Kab.

Cianjur

-Aspek sosial Aspek Finansial

Potensi Lebah Madu di Kab. Cianjur

Penyerapan Informasi

dari

Stakeholder

Arahan Pengembangan Wilayah Berbasis Budidaya Lebah Madu Penentuan Lokasi Pengembangan Budidaya

Lebah Madu Permasalahan Utama : Keterbatasan sumber pakan lebah Kegiatan budidaya belum terintegrasi

Aspek fisik lingkungan Pemilihan lokasi budidaya yang sesuai

Upaya Pemerintah Daerah :

Partisipatory Business PlanTaman Wisata Lebah

-Kajian Pengembangan Budidaya Lebah Madu

Analisis Kesesuaian Lahan untuk Jenis Pakan Lebah Madu

Analisis Kesesuaian Habitat Lebah Madu

Analisis Finansial Budidaya Lebah Madu

Analisis Pendapat Masyarakat terhadap Budidaya

(26)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Budidaya Lebah Madu

Lebah termasuk hewan jenis serangga atau insekta. Jenis lebah yang banyak ditemukan di Indonesia adalah jenisApis cerana, Apis dorsatadanApis mellifera. A. cerana dan A. dorsata (madu hutan) adalah lebah asli Asia, sedangkan

A. mellifera berasal dari Eropa. Secara umum A. cerana mirip dengan

A. mellifera, hanya saja ukuran tubuhnya lebih kecil, agak lebih suka berpindah tempat, namun lebih tahan terhadap serangan predator (pemangsa). Penggolongan zoologisApis mellifera adalah sebagai berikut :

Kelas : Insecta

Ordo : Hymenopthera

Family : Apidae

Genus : Apis

Species : Apis meliifera

Apis mellifera termasuk jenis yang banyak dibudidayakan di Indonesia karena produksi dan daya adaptasinya tinggi. Galur baru dari spesies lebah ini dapat terbentuk di daerah dengan lingkungan dan iklim yang berbeda dari tempat aslinya. Lebah ini tidak agresif dan kurang suka bermigrasi di daerah beriklim dingin atau berelevasi tinggi serta peka terhadap penyakit, terutama terhadap tungau (Varroa).

Lebah madu adalah insekta sosial yang selalu hidup dalam suatu keluarga besar yang disebut koloni lebah. Setiap sarang dihuni oleh satu koloni. Keunikan koloni lebah ini adalah mempunyai sifat polimorfisme, yaitu anggotanya mempunyai keunikan anatomis, fisiologis dan fungsi biologis yang berbeda satu golongan dari golongan atau strata yang lain. Di dalam satu koloni terdapat hanya satu ratu (queen), beberapa ratus lebah jantan (droves), beberapa puluh ribu lebah pekerja (worker-bees), ditambah dengan penghuni dalam bentuk telur, larva dan pupa. Jumlah anggota masing-masing strata, kecuali ratu yang hanya satu ekor, tergantung dari spesies lebah dan kondisi lingkungan, terutama ketersediaan bahan makanan dan temperatur lingkungan. Ketiga strata lebah dewasa dapat dibedakan dengan jelas dari ukuran tubuh, atau bagian-bagian tubuh; yang paling besar adalah ratu, diikuti oleh jantan dan yang paling kecil adalah lebah pekerja.

(27)

Lebah pekerja mengenali ratu mereka tidak dari struktur fisiknya tetapi dari aroma tubuhnya, yaitu feromon. Feromon terdiri atas sekitar 30 senyawa organik, yang memiliki efek langsung dan tidak langsung pada perilaku sosial koloni. Dalam keadaan tertentu, kehadiran feromon dalam sarang akan membantu pembuatan ratu dari pekerja dan membantu menjaga kestabilan koloni. Komunikasi feromon dalam koloni merupakan salah satu komponen yang paling penting dari kehidupan sosial dari semua spesies lebah madu. Seekor ratu dapat hidup untuk beberapa tahun sebelum digantikan oleh ratu yang muda. Peternak lebah madu profesional membuat ratu (requeen) dalam koloni setiap 1-2 tahun untuk menjaga agar ratu berada pada efisiensi biologis maksimum (FAO 1990).

Koloni A. mellifera biasanya dihuni 60,000-80,000 lebah pekerja pada musim bunga berlimpah, sedangkan pada musim paceklik (death period) hanya terdapat sekitar 10,000 lebah pekerja, atau kurang dari jumlah tersebut. Jumlah lebah jantan jauh lebih kecil, hanya beberapa ratus hingga 2-3 ribu ekor. Demikian juga halnya dengan tetasan (brood), jumlahnya bervariasi tergantung dari musim dan kondisi lingkungan. Dalam koloni yang normal biasanya terdapat sekitar 5.000 telur , 10.000 larva dan 20.000 pupa (Sihombing 2005).

A. mellifera di Amerika mampu menghasilkan 25–30 kg madu per koloni lebah. Koloni lebah akan menghasilkan madu lebih banyak apabila dimusim semi nektar tersedia dalam jumlah yang memadai, dikelola dengan baik dan dioperasikan secara komersial. Keberhasilan budidaya lebah di beberapa negara Asia didukung oleh daya adaptasiA. mellifera, teknologi budidaya yang tepat dan pemahaman yang lebih baik tentang ekologi pakan lebah, serta kesesuaian sosial ekonomi (FAO 1990).

Budidaya lebah biasa disebut perlebahan. Perlebahan adalah suatu rangkaian kegiatan budidaya lebah dan produk-produknya beserta vegetasi penunjang untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya bagi kepentingan masyarakat dengan memperhatikan aspek kelestarian (Dirjen RLPS 2004).

Perlebahan merupakan kegiatan agribisnis akrab lingkungan yang dikenal sangat bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di pedesaan. Manfaat yang dapat diperoleh dari pengembangan usaha perlebahan antara lain adalah meningkatnya pendapatan dan multi gizi masyarakat dari hasil-hasil usaha perlebahan yang berupa madu, tepung sari, royal jeli, lilin lebah, propolis, koloni lebah dan ratu lebah. Dalam hal pelestarian sumber daya alam, lebah madu berperan penting dalam membantu proses penyerbukan tanaman. Usaha perlebahan juga dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dalam berpartisipasi terhadap upaya-upaya pelestarian alam (Dirjen RLPS 2004).

Pengelolaan populasi lebah madu dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk penyakit, parasit, pestisida, lingkungan, dan faktor sosial-ekonomi. Faktor-faktor ini dapat bertindak sendiri atau dalam kombinasi dengan yang lain. (vanEngelsdorp dan Meixner 2009). Menurut Gordo et al. (2008) faktor lingkungan yang paling mempengaruhi variabilitas spasial dari tampilan fenologis lebah madu Apis mellifera adalah perubahan suhu dan ketinggian, sedangkan produktivitas vegetasi dan tutupan lahan memberikan pengaruh yang relevansinya rendah. Data fenologi ini berhubungan dengan aspek spasial, topografi, iklim, penggunaan lahan dan produktivitas vegetasi.

(28)

Informasi Geografis di Kabupaten Karo Sumatera Utara. Faktor yang dipertimbangkan dalam penentuan lokasi tersebut adalah penutupan lahan, kemiringan lereng, ketinggian tempat, jarak dari pemukiman dan jarak dari sungai. Metode yang digunakan adalah weighted overlay. Penelitiannya hanya sebatas penentuan lokasi yang berpotensi untuk budidaya lebah madu tanpa memperhatikan kesesuaian jenis sumber pakan lebah yang akan dikembangkan untuk menunjang budidaya.

2.2 Syarat Lokasi Perlebahan

Menurut Latifah (2011), syarat lokasi perlebahahan terdiri atas : a) Tutupan Lahan

Sumber pakan lebah adalah bunga-bungaan dari tanaman pertanian, perkebunan ataupun tanaman kehutanan. Dengan demikian, sebaiknya kegiatan budidaya lebah madu dilakukan di sekitar lahan pertanian, perkebunan atau tanaman kehutanan. Lebah bisa juga diternakkan di lahan agroforestri.

b) Ketinggian Tempat

Wilayah subtropis Indonesia sangat ideal untuk mengembangbiakkan dan membudidayakan lebah, karena rata-rata suhu udaranya 26 oC-35 oC. Dataran yang ketinggiannya di atas 1000 meter dari permukaan laut kurang cocok untuk budidaya lebah, karena suhu udaranya dibawah 15 oC. Hal ini akan menyebabkan lebah malas keluar sarang dan memilih bermain-main di dalam sarang, yang akan mengakibatkan kekurangan bahan makanan karena lebah pekerja enggan mencari nektar dan tepung sari. Lokasi yang cocok untuk beternak lebah madu ini adalah di lereng pegunungan atau dataran tinggi yang bersuhu normal (diatas 25 oC). Tidak semua jenis lebah bisa hidup pada berbagai ketinggian, hal ini erat kaitannya dengan suhu dan sumber pakannya.

c) Kemiringan lereng

Kemiringan lereng suatu tempat mempengaruhi keberadaaan lebah. Semakin tinggi kemiringan lereng, maka kelembaban juga semakin tinggi, tetapi lebah menghendaki tempat yang tidak terlalu lembab dan tidak terlalu kering. Lebah mampu menciptakan kondisi lembab di sekitarnya apabila air di daerah tersebut tersedia dan cuaca mendukung. Kondisi yang terlalu lembab bisa mengakibatkan timbulnya bakteri maupun jamur di sekitar sarang yang dapat berakibat terhadap pembusukan telur dan berkurangnya kesehatan lebah. (Bina Apiari 2010 dalamLatifah 2011). Kemiringan lereng tempat yang cocok untuk ternak lebah madu adalah kemiringan lereng pada kelas yang sedang, yaitu 15 % - 25 %.

d) Jarak dari Sungai

(29)

e) Jarak dari Pemukiman

Kegiatan manusia yang tak lepas dari polusi dan pencemaran sebaiknya dijauhkan dari stup-stup tempat lebah berada. Lebah yang berada di tempat yang banyak terjadi polusi, akan menyebabkan lebah kesulitan untuk menjangkau sumber-sumber makanan yang jaraknya jauh karena kurang peka penciumannya. Tempat budidaya lebah madu sebaiknya berada di daerah yang jauh dari pemukiman dan aktivitas manusia, tetapi stup-stup lebah harus dipantau setiap harinya layaknya hewan ternak lainnya.

2.3 Tanaman Pakan Lebah

Seperti halnya dengan ternak yang lain, lebah juga membutuhkan pakan yang cukup untuk kebutuhan hidup pokok, pertumbuhan koloni, produksi madu dan aktivitas reproduksi lebah. Pakan lebah yang penting adalah nektar danpollen yang dihasilkan tanaman. Hampir semua tanaman berbunga adalah penghasil nektar. Selain nektar, lebah juga memerlukan pollen dan air untuk kelangsungan hidup anggota koloni (Rusfidra 2006).

Tanaman pakan lebah adalah vegetasi baik yang tumbuh secara alami maupun dibudidayakan manusia yang menghasilkan nektar dan atau pollen (tepung sari) yang diambil oleh lebah madu sebagai pakannya. Nektar adalah cairan yang umumnya berasa manis yang disekresikan oleh bagian tumbuhan.

Pollen dalah organ bunga jantan tumbuhan kaya akan kandungan protein

(Dirjen RLPS 2004).

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, baik berupa tumbuhan alam maupun tanaman hasil budidaya. Berbagai jenis vegetasi yang ada merupakan tumbuhan penghasilpollen dan nektar sebagai sumber pakan lebah. Beberapa tumbuhan yang potensial dan telah dikenal sebagai sumber pakan lebah antara lain tanaman kehutanan (kaliandra, aren, petai, eukaliptus dll), tanaman buah-buahan (rambutan, kelengkeng, durian, mangga, dll), tanaman perkebunan/industri (kapuk randu, kelapa, karet, dll) (Latifah 2011).

Beberapa tanaman sumber pakan lebah yang akan dianalisis dalam penelitian ini yaitu :

a) Kapuk Randu

Kapuk randu merupakan tanaman tropis berukuran besar dan termasuk kedalam keluarga Malvaceae. Kapuk randu berasal dari daerah tropis Amerika. Pohon ini penyebaran benihnya dibantu oleh angin dan air, memiliki serbuk sari dan nektar serta menggugurkan daunnya ketika musim kering (Woodward 2010).

(30)

Adanya potensi pohon kapuk randu di Kabupaten Pati sebagai sumber pakan telah mendukung budidaya lebah A. mellifera sehingga dapat berkembang dengan baik. Kabupaten Pati sejak jaman Kolonial Belanda dikenal sebagai penghasil kapuk terbesar di Jawa Tengah (Mulyadi 2011). Tanaman kapuk randu merupakan salah satu tanaman sumber pakan lebah yang penting karena bunganya menghasilkan nektar dan pollen(Widiarti dan Kuntadi 2012).

b) Karet

Karet merupakan tanaman cepat tumbuh dan termasuk famili Euphorbiaceae. Pembungaannya khas yaitu pada ketiak daun dan memiliki bunga jantan dan betina. Karet berasal dari lembah sungai Amazon dan menyebar ke seluruh dunia termasuk Asia Tenggara. Karet tumbuh pada ketinggian 300-500 m dengan temperatur rata-rata tahunan 23-35 °C dan

curah hujan rata-rata tahunan 1500-3000 (maksimal 4000) mm

(ICRAF c2004). Karet dikenal di Indonesia sejak masa kolonial Belanda. Ada lebih dari 3.4 juta hektar perkebunan karet di Indonesia, 85 % diantaranya (2.9 juta hektar) merupakan perkebunan karet yang dikelola oleh rakyat atau petani skala kecil, dan sisanya dikelola oleh perkebunan besar milik negara atau swasta (Janudiantoet al. 2013).

c) Rambutan

Rambutan merupakan tanaman buah tropis dengan dan termasuk famili Sapindacaeae. Pohon ini berasal dari Malaysia yang dibudidayakan di daerah dataran rendah. Tumbuh dengan subur pada kelembaban tropis. Intensitas curah hujan yang dikehendaki oleh pohon rambutan berkisar antara 2000-3000 mm/tahun dengan suhu rata-rata tahunan sekitar 25-35 °C. Rambutan dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, bahkan pada tanah yang drainasenya buruk, tetapi tidak mampu bertahan pada tanah dengan air berlebih. Tumbuh baik di ketinggian 0-600 (maksimal 1950) m dpl (ICRAF c2004).

Menurut BPPT (2005) pada ketinggian dibawah 30 m dpl rambutan dapat tumbuh, namun hasilnya tidak begitu baik. Kelembaban udara yang dikehendaki cenderung rendah karena kebanyakan tumbuh di dataran rendah dan sedang. Sentra penanaman rambutan di Indonesia adalah Pulau Jawa, khususnya yang sangat besar produksi buah rambutan antara lain Bekasi, Kuningan, Malang, Probolinggo, Lumajang dan Garut.

d) Jagung

(31)

merupakan salah satu sumber pollen yang utama bagi lebah madu yang ditemukan hampir sepanjang tahun.

e) Kelengkeng

Kelengkeng adalah tanaman keras yang termasuk dalam famili Sapindaceae (Verheij dan Coronel 1992). Tanaman kelengkeng produktif banyak dijumpai di daerah Pingit-Temanggung (720 m dpl), Bandungan (690 m dpl), dan Banyubiru (300 m dpl) di Kabupaten Ambarawa dan Semarang, Jawa Tengah (Prawitasari 2001). Kelengkeng adalah tanaman asli daerah subtropik dimana terdapat perubahan musim dingin yang kering dan musim semi yang hangat, basah dan lembab. Kondisi demikian selain terdapat di daerah subtropik, sering juga dijumpai pada daerah dataran tinggi dan pegunungan tropik (Nakasone dan Paull 1999).

Tanaman kelengkeng menghendaki tanah yang subur, aerasi dan drainase yang baik dengan permukaan air tanah yang tidak terlalu dalam, bertekstur halus dan tidak berpasir (Verheij dan Coronel 1992). Lengkeng menghendaki curah hujan yang tinggi yaitu 1500-3000 mm per tahun. Induksi bunga kelengkeng memerlukan suhu rendah 15-22 °C dengan kelembaban udara relatif rata-rata 60-80 % (Nakasone dan Paull 1999).

f) Kaliandra

Kaliandra merupakan tanaman leguminosa, berupa pohon kecil atau perdu dan termasuk kedalam keluarga Leguminosae (Macqueen 1996). Tanaman kaliandra secara alami berbunga sepanjang tahun. Di Indonesia, musim berbunga sangat bervariasi tergantung jumlah curah hujan serta penyebarannya, dan puncaknya berlangsung bulan Januari-April. Tanaman kaliandra yang masuk ke pulau Jawa berasal dari Guatemala Selatan yaitu spesies Calliandra calothyrsus berbunga merah dan Calliandra tetragona berbunga putih, sebagai pohon pelindung perkebunan kopi. Pada tahun 1974 Perum Perhutani melakukan penanaman kaliandra di seluruh areal kawasan hutan serta daerah aliran sungai di pulau Jawa. Tujuan program tersebut adalah mereklamasi lahan kritis dan melindungi komoditas hasil utama kehutanan (Herdiawanet al.2005).

Spesies Calliandra calothyrsus merupakan salah satu spesies kaliandra yang sangat populer di Indonesia, sebagai tanaman multiguna untuk konservasi lahan, reklamasi lahan marginal, hijauan pakan ternak, pakan lebah, penyedia pupuk hijau dan bubur kayu (Tangendjaja et al. 1992). Kaliandra dimanfaatkan sebagai sumber pakan penting untuk lebah madu yaitu berupa residu nektar yang dihasilkan dari bungannya (Macqueen 1992).

(32)

2.4 Perencanaan Pengembangan Wilayah

Menurut Rustiadi et al. (2011) perencanaan pengembangan wilayah diartikan sebagai suatu bidang kajian yang bersifat multidisiplin meliputi aspek fisik, sosial, ekonomi, hingga manajemen. Kajian perencanaan pengembangan wilayah memiliki sifat-sifat yang berorientasi pada kewilayahan, futuristik dan berorientasi publik. Selain mengkaji seluruh aspek-aspek kewilayahan baik interaksi maupun interelasinya, dengan sifat futuristiknya membuat prediksi dan peramalan yang dilakukan dengan tujuan untuk kepentingan publik. Pilar-pilar yang menunjang perencanaan pengembangan wilayah meliputi: (1) inventarisasi, klasifikasi dan evaluasi sumberdaya, (2) aspek ekonomi, (3) aspek kelembagaan (institusional), (4) aspek lokasi/spasial.

Sumberdaya adalah segala bentuk input yang dapat menghasilkan utilitas (kemanfaatan) proses produksi, atau penyediaan barang dan jasa. Sumberdaya memiliki sifat langka dan terbatas sehingga dalam pemanfaatannya memerlukan sistem alokasi tertentu. Selain itu secara spasial sumberdaya tersebar secara tidak merata baik kualitas maupun kuantitasnya. Sementara itu pada dasarnya manusia memiliki keinginan yang tak terbatas sehingga sebelum sumberdaya dapat dimanfaatkan perlu dilakukan inventarisasi, klasifikasi dan evaluasi sumberdaya sampai dapat diketahui persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi sehingga manusia dapat memanfaatkannya. Hasil dari suatu evaluasi sumberdaya menjadi dasar bagi tahap-tahap selanjutnya dalam perencanaan dan pengembangan wilayah.

Pengembangan wilayah pada dasarnya mempunyai tujuan agar wilayah itu berkembang menuju tingkat perkembangan yang diinginkan. Pengembangan wilayah dilaksanakan melalui optimasi pemanfaatan sumberdaya yang dimilikinya secara harmonis, serasi dan terpadu melalui pendekatan yang bersifat komprehensif mencakup aspek fisik, ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan hidup untuk pembangunan berkelanjutan. Dalam pengembangan wilayah, perlu terlebih dahulu dilakukan perencanaan penggunaan lahan yang strategis yang dapat mendatangkan keuntungan ekonomi wilayah (strategic land-use development planning) (Djakapermana 2010).

2.5 Evaluasi Lahan

Menurut Sitorus (2004), Hardjowigeno dan Widiatmaka (2011), evaluasi lahan merupakan proses penilaian potensi suatu lahan untuk penggunaan-penggunaan tertentu. Hasil evaluasi lahan digambarkan dalam bentuk peta sebagai dasar untuk perencanaan tataguna lahan yang rasional, sehingga tanah dapat digunakan secara optimal dan lestari. Kebijakan penggunaan lahan didasarkan pada berbagai aspek, yaitu :

1. Aspek teknis, yang menyangkut potensi sumberdaya lahan yang dapat diperoleh denga cara mengevaluasi kesesuaian lahan;

2. Aspek lingkungan, yaitu dampaknya terhadap lingkungan;

3. Aspek hukum, yaitu harus sesuai dengan peraturan dan undang-undang yang berlaku;

(33)

5. Aspek ekonomi, yaitu penggunaan lahan yang optimal yang memberi keuntungan setinggi-tingginya tanpa merusak lahannya sendiri serta lingkungannya;

6. Aspek politik dan kebijakan pemerintah. Logika dilakukannya evaluasi lahan adalah :

1. Sifat lahan beragam, sehingga perlu dikelompokkan ke dalam satuan-satuan yang lebih seragam, yang memiliki potensi yang sama.

2. Keragaman ini mempengaruhi jenis-jenis penggunaan lahan yang sesuai untuk masing-masing satuan lahan

3. Keragaman ini bersifat sistematik sehingga dapat dipetakan

4. Kesesuaian lahan untuk penggunaan tertentu dapat dievaluasi dengan ketepatan tinggi bila data yang diperlukan untuk evaluasi cukup tersedia dan berkualitas baik

5. Pengambilan keputusan atau penggunaan lahan dapat menggunakan peta kesesuaian lahan sebagai salah satu dasar untuk mengambil keputusan dalam perencanaan tataguna lahan

Klasifikasi kesesuaian lahan adalah pengelompokan lahan berdasarkan kesesuiannya untuk tujuan tertentu. Pengelompokkan ini biasanya dilakukan oleh ilmuwan tanah dengan menggunakan satuan peta tanah (SPT) atau satuan peta lahan (SPL). Inti evaluasi kesesuaian lahan adalah membandingkan persyaratan yang diminta oleh tipe penggunaan lahan yang akan diterapkan dengan sifat-sifat atau kualitas lahan yang dimiliki oleh lahan yang akan digunakan. Dengan cara ini maka akan diketahui potensi lahan atau kelas kesesuaian/kemampuan lahan untuk tipe penggunaan lahan tersebut. Inti prosedur evaluasi lahan adalah mula-mula menentukan tipe penggunaan lahan (jenis tanaman dan tingkat pengelolaannya) yang akan diterapkan, kemudian menentukan persyaratan dan pembatas

pertumbuhannya dan membandingkan persyaratan penggunaan lahan

(pertumbuhan tanaman) tersebut dengan kualitas lahan masing-masing satuan peta lahan, sehingga didapat kelas kesesuaian lahannya secara fisik.

Struktur klasifikasi kesesuaian lahan menurut kerangka FAO (1976) dapat dibedakan menurut tingkatannya, yaitu :

1. Ordo, keadaan kesesuaian lahan secara global. Pada tingkat ordo kesesuaian lahan dibedakan antara lahan yang tergolong sesuai (S) dan lahan yang tergolong tidak sesuai (N).

2. Kelas, keadaan tingkat kesesuaian dalam tingkat ordo. Pada tingkat kelas, lahan yang tergolong ordo sesuai (S) dibedakan kedalam tiga kelas, yaitu : lahan sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2) dan sesuai marginal (S3). Lahan yang tergolong ordo tidak sesuai (N) tidak dibedakan kedalam kelas-kelas. 3. Subkelas, keadaan tingkatan dalam kelas kesesuaian lahan. Kelas kesesuaian

lahan dibedakan menjadi subkelas berdasarkan kualitas dan karekateristik lahan (sifat-sifat tanah dan lingkungan fisik lainnya) yang menjadi faktor pembatas terberat. Faktor pembatas ini sebaiknya dibatasi jumlahnya, maksimum dua pembatas.

(34)

2.6 Sistem Informasi Geografis

Pengertian sistem informasi geografis (SIG) telah diuraikan oleh banyak ahli dan memiliki arti yang realatif sama. Chang (2004), menyatakan SIG adalah

suatu sistem komputer untuk merekam, menyimpan, menghubungkan,

manganalisis dan menampilkan data bereferensi geografik. Data yang bereferensi geografik (data geospasial) adalah data yang menggambarkan lokasi dan karakteristik objek spasial seperti jalan, persil lahan, tegakan vegetasi di atas permukaan bumi. SIG dapat membantu proses pemodelan dengan cara memproses,

menampilkan, dan mengintegrasikan berbagai sumber data. Menurut

Danoedoro (2012), SIG adalah suatu sistem berbasis komputer yang digunakan untuk menyimpan, mengelola, menganalisis, dan mengaktifkan atau memanggil kembali data yang mempunyai referensi keruangan, untuk berbagai tujuan yang berkaitan dengan pemetaan dan perencanaan.

SIG tumbuh sebagai respon sebagai atas kebutuhan akan pengelolaan data keruangan yang lebih efisien dan mampu menyelesaikan masalah-masalah keruangan. Aplikasi SIG sudah banyak digunakan untuk pengelolaan penggunaan lahan dibidang pertanian, kehutanan, serta pembangunan pemukiman penduduk dan fasilitasnya. Berbagai bentuk analisis spasial dapat dilakukan dengan menggunakan SIG termasuk untuk menentukan kesesuaian habitat dan kesesuaian lahan untuk penggunaan tertentu. SIG juga memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan basis data hingga pada penyajian output dengan format yang mudah dimengerti oleh pengguna dan mudah dimutakhirkan.

Aplikasi SIG dalam mengestimasi wilayah-wilayah berpotensi perlebahan dilakukan dengan menganalisa persyaratan lokasi yang baik untuk budidaya madu (Wayan 2005). Pada aplikasi ini, kita melihat potensi wilayah untuk budidaya madu dari berbagai aspek berdasarkan data penunjang, dan pengalaman lapang peternak lebah. Suatu daerah dikategorikan berpotensi untuk produksi lebah madu potensial apabila secara fisik lahan lebah bisa memproduksi madu yang baik, dan secara infrastruktur dan legal masyarakat bisa dijangkau oleh masyarakat untuk pemanenan.

Latifah (2011) menggunakan teknologi SIG untuk mengetahui dan memetakan wilayah-wilayah berpotensi untuk dijadikan tempat budidaya lebah madu. Persyaratan lokasi yang baik untuk budidaya lebah madu adalah di sekitar tempat pemeliharaan lebah tersedia cukup tanaman pakan lebah, tempat terbuka, wilayah dengan kemiringan lereng 15-25%, jarak dengan sumber air minimal 200-300 meter, jauh dari keramaian, polusi dan pencemaran.

2.7 Analisis Multikriteria Spasial

(35)

dari sebuah spesies berhubungan dengan habitat lokal spesies atau lansekap sekeliling habitat (Store dan Jokimaki 2003).

Analisis Multikriteria/Multi-Criteria Evaluation (MCE) secara umum didefinisikan sebagai sebuah cara pengambilan keputusan dan sebuah alat matematis yang memungkinkan perbandingan dari berbagai alternatif atau skenario berdasarkan banyak kriteria, seringkali terjadi konflik, dengan tujuan memberi petunjuk pada pengambil keputusan untuk mengambil tindakan yang adil/objektif (Roy dalam Chakkar dan Mousseau 2007). Metode MCE telah digunakan sebagai teknik pemodelan kartografi yang menyediakan sebuah pilihan alternatif dasar untuk mengevaluasi sejumlah alternatif pilihan yang terdapat di suatu lapangan dengan banyak kriteria. (Nijkamp et al. 1990 dalam Store dan Jokimaki 2003) .

Setelah proses identifikasi dan persiapan terhadap kriteria yang akan digunakan, tahapan selanjutnya adalah menghitung dan mengkuantifikasi pengaruh relatif/signifikansi dari masing kriteria. Seringkali masing-masing kriteria memiliki pengaruh yang berbeda terhadap hasil yang dikeluarkan. Untuk mengetahui besaran pengaruh kuantitatif dari masing-masing kriteria, setiap kriteria harus diurutkan berdasarkan tingkat pengaruhnya dengan menggunakan prosedur pengurutan/rangking dan pembobotan/weighting. Penetapan rangking dan bobot dalam analisis multikriteria ini merupakan bagian yang paling sulit sehingga memerlukan proses diskusi, verifikasi lapang dan modifikasi yang berulang untuk mendapatkan hasil yang baik (Liu et al. 2009). Beberapa metode yang digunakan dalam analisis multikriteria (MCE) diantaranya, (1) Boolean combination, (2) Index overlay, (3) Algebraic combination, (4)Bayesian Probability, (5)Dempster-Shafer Theory, (6)Weighted linear factor atau lebih dikenal denganAnalytical Hierarchy process/AHP, (7)Fuzzy logicdan

Vectorial fuzzy modelling. Pilihan-pilihan metode ini tergantung pada

kompleksitas data yang tersedia (Liuet al. 2009).

Marchi et al. (2002) membuat desain penelitian untuk penilaian proses sosial dan lingkungan, dimana langkah-langkah dalam desain penelitiannya terdiri atas: (1) evaluasi multikriteria, digunakan sebagai sarana untuk memahami struktur utama dari masalah yang dihadapi dan untuk mengeksplorasi dimensi kualitatif, (2) analisis struktur kepentingan kekuasaan dan pemangku kepentingan (mulai dari tingkat lokal sampai ke aktor-aktor sosial di daerah dengan cara analisis kelembagaan, (3) penelitian lapangan melalui wawancara mendalam dengan aktor kunci, dan survei pendekatan residen. Pendekatan ini telah terbukti sangat efektif untuk mencari beberapa solusi dari permasalahan secara partisipatif. Store dan Jokimaki (2003) melakukan penelitian tentang penggunaan MCE untuk menghasilkan informasi ekologi bereferensi geografik. Keuntungan utama dari metode ini adalah memungkinkan adanya hubungan yang mempertimbangkan faktor habitat pada skala yang berbeda, dan menggabungkan evaluasi kesesuaian habitat beberapa spesies dengan pembobotan dan cara yang berbeda, serta mampu mengintegrasikan model empiris dan pengetahuan para ahli.

(36)

pembuatan dan manajemen database, analisis spasial dan multi-kriteria serta proses validasi. Sebagai bagian integral dari model, peta kesesuaian akhir divalidasi dengan metode analisis korelasi yang melibatkan data hasil produksi madu eksisting dan menghitung nilai kesesuaian. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa terdapat korelasi relatif antara indeks kesesuaian dengan produksi madu.

(37)

3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat, selama 7 Bulan, yaitu dari Bulan April sampai Bulan Nopember 2013.

3.2 Jenis Data dan Alat

Jenis data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer berupa hasil pengecekan lapangan (ground check) penggunaan lahan (land use) dan hasil wawancara dengan para stakeholder dan expert. Data sekunder berupa data keadaan umum lokasi penelitian yang berasal dari BPS, Bappeda dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Cianjur. Untuk analisis pemetaan, digunakan peta dasar penyusunan RTRW Kabupaten Cianjur Tahun 2011(peta administrasi, kemiringan lereng, kontur, jaringan sungai dan jalan), Satuan Peta Tanah skala 1:250000 Tahun 2011 dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian, peta tanah skala 1:250000, peta penggunaan lahan skala 1:25000 Tahun 2011, peta curah hujan, peta suhu, peta land system skala 1:250000, peta pola ruang RTRW skala 1:25000 dan peta HGU Perkebunan skala 1:250000.

Alat-alat yang digunakan antara lain: software untuk analisis data spasial, Microsoft Office, GPS, kamera digital dan alat tulis.

3.3 Metode Pengumpulan dan Teknik Analisis Data

(38)

Gambar 2 Bagan alir tahapan penelitian

Peta Kesesuaian Habitat Lebah Madu Peta Kesesuaian Lahan

Jenis Pakan Lebah Analisis Kesesuaian Lahan

Jenis Pakan Lebah Madu

Analisis Pendapat Masyarakat

(AHP) Unit Lahan

Peta administrasi, penggunaan lahan, kelerengan, ketinggian, curah hujan, kawasan pemukiman, jaringan jalan

dan sungai serta peta suhu Peta administrasi, curah hujan,

land system, satuan peta tanah, dan peta suhu

Peta Kesesuaian Lahan Budidaya Lebah Madu

Analisis Finansial

Arahan Pengembangan Wilayah Berbasis Budidaya Lebah Madu Analisis Kelayakan Pengembangan

Budidaya Lebah Madu Krteria

Kesesuaian Lahan

Aspek Legal RTRW,

HGU Perkebunan

Multi-Criteria Evaluation

(AHP danWLC)

Analisis Kesesuaian Habitat Lebah Madu

Penggunaan Lahan

(39)

Teknik analisis data dari setiap tahapan penelitian disajikan pada Tabel 1 Tabel 1 Jenis dan sumber data, teknik analisis dan keluaran pada berbagai

tahapan penelitian

No. Tujuan Jenis Data Sumber Data Teknik

Analisis Keluaran

- Peta Kesuaian Lahan Tanaman Sumber

Peta kesesuaian lahan tanaman sumber pakan lebah dan kesesuain habitat lebah madu diperoleh dari hasil analisis berikut:

a. Menganalisis

- Peta Curah Hujan

- Peta Tanah

- PetaLand System - Peta Suhu Djaenudinet al. (2000)

- Peta Jaringan Jalan dan Sungai

- Peta Curah Hujan

- Peta Ketinggian

(40)

Tabel 1 (Lanjutan)

No. Tujuan Jenis Data Sumber Data Teknik

Analisis

- Data Hasil Analisis Finansial

3.3.1 Kesesuaian Lahan Jenis Pakan Lebah Madu

Analisis kesesuaian lahan jenis pakan lebah madu ditujukan untuk menghasilkan peta kesesuaian lahan untuk jenis pakan lebah madu. Peta kesesuaian lahan jenis pakan lebah madu adalah peta yang menggambarkan lokasi-lokasi yang sesuai untuk pengembangan jenis pakan lebah. Sumber pakan lebah dapat berasal dari tanaman yang menghasilkan nektar dan/atau pollen/serbuk sari (Adeva 2012). Nektar merupakan cairan yang mengandung gula hasil sekresi kelenjar tumbuhan (Sihombing 2005)

Beberapa sumber pakan lebah yang terdapat di Kabupaten Cianjur antara lain: kaliandra, kapuk randu, karet, kopi, rambutan, jagung, nira dan kelengkeng. Pemilihan jenis pakan lebah yang akan dianalisis kesesuaiannya didasarkan pada masa pembungaan, sumber pollen atau nektar yang dihasilkan, penyebaran di Kabupaten Cianjur, keunggulan yang dimiliki (khasiat dan permintaan konsumen) serta kelemahan dalam hal budidaya. Berdasarkan hal tersebut, dalam penelitian ini dipilih enam jenis pakan yang menjadi prioritas untuk dianalisis kesesuaiannya yaitu kapuk randu, karet, rambutan, kelengkeng, jagung dan kaliandra. Keenam jenis sumber pakan tersebut memiliki masa pembungaan yang berbeda-beda, sehingga diharapkan terpilih lokasi yang sesuai untuk semua jenis sumber pakan dengan waktu pembungaan yang komplementer (Tabel 2). Adapun kriteria keseluruhan yang dijadikan pertimbangan penentuan jenis pakan lebah tersebut disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 2 Jadwal masa pembungaan jenis pakan lebah Jenis Pakan

Lebah

Periode Pembungaan (Bulan ke-)a

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

(41)

Tabel 3 Karekterisik dan penyebaran jenis pakan lebah madu

Keunggulan Kelemahan Penyebaran di Kab. Cianjur

P/N - Dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah

- Banyak dicari karena memiliki khasiat utama

P/N - Tidak banyak mendapat gangguan hama atau penyakitd

- Dapat dilakukan panen raya pada waktu

3. Karetf September s.d. Oktober

P/N - Madu dengan sumber pakan nektar karet dapat mengatasi masalah kulit seperti gatal dan alergic

Madu

N - Madu yang dihasilkan dari nektar kopi

5. Rambutanf Oktober s.d. Nopember

P/N - Dapat dihasilkan madu dalam jumlah yang

(42)

Tabel 3 (Lanjutan)

- Madu yang secara umum

Kelengkengf Juni s.d Agustus

P/N - Banyak dicari orang karena aroma

Sumber: Sihombing (2005);bSumber: Herdiawanet al.(2005);cSumber: Madu Pramuka (2012);

d

Sumber: Mulyadi (2012);eSumber: BPS (2012);f

:terpilih untuk dianalisis kesesuaian lahannya

(43)

Dalam penelitian ini kelas kesesuaian lahan menggunakan kriteria FAO (1976) dengan jumlah kelas pada ordo N hanya satu kelas. Adapun pembagian serta definisi kelas secara kualitatif adalah sebagai berikut :

1. Kelas S1 (sangat sesuai): lahan tidak mempunyai faktor pembatas yang berarti atau nyata terhadap penggunaan secara berkelanjutan, atau faktor pembatas yang bersifat minor dan tidak akan mereduksi produktivitas lahan secara nyata.

2. Kelas S2 (cukup sesuai): lahan mempunyai faktor pembatas, dan faktor pembatas ini akan berpengaruh terhadap produktivitasnya, memerlukan tambahan masukan (input). Pembatas tersebut biasanya dapat diatasi oleh petani sendiri.

3. Kelas S3 (sesuai marginal): lahan mempunyai faktor pembatas yang berat, dan faktor pembatas ini akan berpengaruh terhadap produktivitasnya, memerlukan masukan tambahan yang lebih banyak daripada lahan yang tergolong S2. Untuk mengatasi faktor pembatas pada S3 memerlukan modal tinggi, sehingga perlu adanya campur tangan (intervensi) pemerintah atau swasta. Tanpa bantuan tersebut petani tidak mampu mengatasinya.

4. N (tidak sesuai): lahan yang tidak sesuai (N) karena memiliki faktor pembatas yang sangat berat dan/atau sulit diatasi.

Keluaran dari tahap ini adalah peta kesesuaian lahan untuk kapuk randu, karet, rambutan, kelengkeng, jagung dan kaliandra.

3.3.2 Kesesuaian Habitat untuk Lebah Madu

Analisis kesesuaian habitat lebah madu digunakan untuk menentukan lokasi-lokasi yang sesuai untuk tempat hidup/habitat lebah madu dengan memanfaatkan analisis multikriteria berbasis SIG (Multi-Criteria

Evaluation/MCE). Metode MCE telah digunakan sebagai teknik pemodelan

kartografi yang menyediakan sebuah pilihan dasar untuk mengevaluasi sejumlah alternatif pilihan yang terdapat di suatu lapangan dengan banyak kriteria (Nijkampet al.1990dalamStore dan Jokimaki 2003).

Analisis kesesuaian habitat lebah madu dilakukan dengan pendekatan Weighted Linear Combination (WLC). Nilai bobot dari setiap kriteria ditentukan dengan pendekatan Analytical Hierarchy Process (AHP). Keluaran dari analisis ini adalah peta kesesuaian habitat untuk lebah madu. Adapun secara umum kriteria kesesuaian habitat lebah madu disajikan dalam Tabel 4.

Tabel 4 dijadikan sebagai acuan dalam menentukan beberapa kriteria yang akan digunakan untuk analisis kesesuaian habitat lebah madu melalui pendekatan AHP.

Tabel 4 Kriteria kesesuaian lahan untuk habitat/tempat hidup lebah madu

No. Kriteria S N

1 Tutupan lahan Pertanian lahan

kering, kebun, hutan,

Semak belukar pemukiman, tanah

terbuka, tubuh air

2 Ketinggian tempat < 1000 m >1000 m

Gambar

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitianAspek FormalTeoritisRTRW Kab.Cianjur-Aspek sosialAspek Finansial
Gambar 2 Bagan alir tahapan penelitian
Tabel 6 Prioritas arahan pengembangan kegiatan budidaya lebah madu di Kabupaten Cianjur
Gambar 11 Kesesuaian lahan aktual tanaman kapuk randu
+7

Referensi

Dokumen terkait

analisis diskriminan dalam meneliti faktor-faktor yang memengaruhi tindakan diet penurunan berat badan pada mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat

Sebuah kasus uji yang baik adalah salah satu dengan probabilitas tinggi untuk menemukan kesalahan yang belum ditemukan.. Sebuah tes yang sukses adalah salah satu yang

• Dalam Hikayat Hang Tuah pengaruh bahasa Tamil dapat dilihat pada perkataan ‘ ayuh ‘ .Umumnya perkataan ‘ ayuh ‘ berasal daripada perkataan Hindu yang berbunyi ayo ( sebutan

Apabila Laporan Skripsi/Tugas Akhir yang telah direvisi sebagaimana yang dimaksud pada point (6) butir b, tidak diserahkan kembali sesuai dengan jangka waktu yang

Hati-hati menggunakan perintah ini apabila anda login sebagai root, karena root dengan mudah dapat menghapus seluruh file pada sistem dengan perintah di atas, tidak ada

Sebagai contoh, kalau massa pelajar sebuah sekolah, misalnya sekolah X, sedang saling lempar batu dan mengayun kelewang dengan massa sekolah yang lain, misalnya sekolah Y, dan

Posisi pelik laki-laki dalam gerakan perempuan adalah karena di saat mereka mendeklarasikan diri sebagai laki-laki feminis, pro-feminis atau pro- perempuan struktur masyarakat di

Sedikit mirip dengan soal sebelumnya, dengan mengetahui ada keterangan  di dalam soal mengenai nilai dari sebuah logaritma suatu bilangan, maka yang perlu kita