PENGARUH VARIASI VOLUME AMMONIA (NH4OH) 10%
TERHADAP WARNA PADA PRODUKSI RESIPRENE 35 DI PT.
INDUSTRI KARET NUSANTARA
KARYA ILMIAH
RICHARD SAMBERA. K
072409046
DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PENGARUH VARIASI VOLUME AMMONIA (NH4OH) 10% TERHADAP WARNA PADA PRODUKSI RESIPRENE 35 DI PT. INDUSTRI KARET
NUSANTARA
KARYA ILMIAH
Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Ahli Madya
RICHARD SAMBERA. K 072409046
DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PERSETUJUAN
Judul : PENGARUH VARIASI VOLUME AMMONIA
(NH4OH) 10% TERHADAP WARNA PADA PRODUKSI RESIPRENE 35 DI PT. INDUSTRI KARET NUSANTARA
Kategori : KARYA ILMIAH
Nama : RICHARD SAMBERA. K
Nomor Induk Mahasiswa : 072409046
Program Studi : D-3 KIMIA INDUSTRI
Departemen : KIMIA
Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN
ALAM (FMIPA) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Disetujui di
Medan, Juli 2010
Komisi Pembimbing :
Diketahui/Disetujui oleh
Departemen Kimia FMIPA USU Dosen Pembimbing Ketua,
PERNYATAAN
PENGARUH VARIASI VOLUME AMMONIA (NH4OH) 10% TERHADAP WARNA PADA PRODUKSI RESIPRENE 35 DI PT. INDUSTRI KARET
NUSANTARA
KARYA ILMIAH
Saya mengakui bahwa karya ilmiah saya ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali bebarapa kutipan dan ringkasan yang masing – masing disebutkan sumbernya.
Medan, Juli 2010
PENGHARGAAN
Segala puji dan syukur Penulis panjatkan atas kehadiran Allah SWT. Atas rahmat dan ridhonya serta karunianya sehingga penyusunan Laporan Praktek Kerja Lapangan (PKL) ini dapat berjalan dengan lancar dan diselesaikan dengan baik. Shalawat dan salam juga Penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Adapun penulisan laporan ini merupakan salah satu syarat yang harus dilaksanakan oleh mahasiswa semester VI, D-3 Kimia Industri di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara (FMIPA - USU). Karya Ilmiah ini ditulis berdasarkan pengamatan dan pengalaman Penulis selama menjalani Praktek Kerja Lapangan (PKL) di PT. Industri Karet Nusantara - Pabrik Resiprene dari tanggal 18 Januari sampai dengan 18 Februari 2010.
Untuk itu Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang telah membantu Penulis selama dalam pembuatan laporan ini. 1. Keluarga tercinta, Ayahanda Rajin Wilson Keliat dan Ibunda Syarifah Br.
Sembiring serta Kakanda Serlina Ferawati K dan Abangda Esra Yansen Keliat yang telah memberikan kasih sayang dan dukungan do’a bagi Penulis serta bantuan berupa moril dan materil.
2. Bapak Prof. Dr. Eddy Marlianto, M.Sc, selaku Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Dr. Rumondang Bulan Nasution, M.Sc, selaku Ketua Departemen Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara serta selaku dosen pembimbing yang selalu memberikan bimbingan dan arahan kepada Penulis
4. Bapak Prof. Dr. Harry Agusnar, M.Sc, M.Phill, selaku Ketua Program Studi D-3 Kimia Industri Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.
5. Seluruh Staf dan Pegawai Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara yang telah membantu Penulis dalam menyelesaikan surat-surat pelaksanaan Praktek Kerja Lapangan (PKL).
6. Bapak Drs. Suprianto M.MA selaku Manager PT. Industri Karet Nusantara - Pabrik Resiprene.
7. Bapak Zulfan Abdi Simorangkir, Ahmad K. Wardhana, selaku Pembimbing di PT. Industri Karet Nusantara – Pabrik Resiprene.
8. Seluruh Staf dan Karyawan PT. Industri Karet Nusantara - Pabrik Resiprene, yang telah membantu dan mengarahkan Penulis selama melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL).
9. Rekan-rekan mahasiswa Kimia Industri khususnya angkatan 2007, yang telah memberi dukungan dan bantuan kepada Penulis selama perkuliahan sampai laporan ini selesai, baik langsung maupun tidak langsung.
ucapkan satu persatu. Saya berterima kasih karena selalu memberikan motivasi serta semangat kepada Penulis dan yang membantu Penulis menyelesaikan laporan PKL ini.
Penulis sudah berupaya semaksimal mungkin dalam menyusun dan menyelesaikan Laporan Praktek Kerja Lapangan ini, namun Penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca.
ABSTRAK
Variasi jumlah ammonia (NH4OH) 10% dapat mempengaruhi salah satu parameter
EFFECT VARIATION VOLUME OF AMMONIA (NH4OH) 10% FOR COLOUR GRADE RESIPRENE 35 ON PRODUCTION AT PT. INDUSTRI
KARET NUSANTARA
ABSTRACT
The amount of variation in ammonia (NH4OH) 10% could affect one of the physical
DAFTAR ISI
1.2 Permasalahan 2
1.3 Tujuan 3
1.4 Manfaat 3
Bab 2 Tinjauan Pustaka
2.1 Sejarah Perkembangan Karet 4
2.2 Karet 6
3.3.1 Pengambilan Sampel Resiprene 35 dari Saparator 22
3.3.2 Penentuan Warna Resiprene 35 22
Bab 4 Hasil dan Pembahasan 24
4.1 Hasil 24
4.2 Pengolahan Data 24
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Tabel Komposisi lateks segar dari kebun dan karet kering 9
Tabel 2.2 Standar Spesifikasi SIR 12
Tabel 2.3 Spesifikasi karet SIR yang diubah (revised) sesuai SK Menperdeg No.
230/Kp/X/1972 13
Tabel. 4.1. Analisa Warna Resiprene 35 24
Tabel 4.2. Data Metode Least Square 24
ABSTRAK
Variasi jumlah ammonia (NH4OH) 10% dapat mempengaruhi salah satu parameter
EFFECT VARIATION VOLUME OF AMMONIA (NH4OH) 10% FOR COLOUR GRADE RESIPRENE 35 ON PRODUCTION AT PT. INDUSTRI
KARET NUSANTARA
ABSTRACT
The amount of variation in ammonia (NH4OH) 10% could affect one of the physical
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Mengingat perkembangan teknologi yang semakin pesat pada dewasa ini, maka mutu
produk yang dihasilkan tentu harus semakin baik pula. Oleh sebab itu setiap perusahaan
harus memperhatikan atau meningkatkan mutu barang yang dihasilkan, karena mutu
produk merupakan ukuran penting bagi konsumen dan dapat menentukan kemajuan
suatu perusahaan. Untuk menghasilkan mutu yang baik, maka perusahaan harus menata
diri dan memperhatikan proses pengolahan pada setiap unit operasi sehingga dapat
menghasilkan produk yang baik dan dapat juga diterima oleh pasar lokal maupun
internasional.
PT. Industri Karet Nusantara pada Unit Pabrik Resiprene merupakan salah satu
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang memproduksi resiprene 35 sejak tahun 1998,
resiprene yang dihasilkan ialah resiprene 35 dengan menggunakan bahan baku karet
SIR 10. Mutu karet SIR sangat mempengaruhi terhadap mutu produk resiprene 35. Pada
proses pembuatan resiprene 35 di PT. Industri Karet Nusantara pada Unit Pabrik
dan pemeraman dalam tangki saparator. Secara umum, kegiatan pada proses siklisasi
dapat diuraikan sebagai salah satu kegiatan dimana proses pencampuran antara bahan
baku dengan pelarut – pelarut kimia yang digunakan dalam reactor yang bertujuan
untuk melarutkan bahan baku. Sedangkan pada proses pemeraman, secara garis
besarnya adalah proses pengendapan bahan baku yang telah dilarutkan dalam tangki
saparator selama empat hari dengan penambahan ammonia (NH4OH) 10%. Tujuan
pemeraman ini ialah untuk memisahkan zat – zat pengotor yang ada dalam larutan
resiprene serta pelarut – pelarut yang digunakan.
Pada proses pemeraman yang digunakan di PT. Industri Karet Nusantara pada
Unit Resiprene yaitu dengan standar volume 50 liter per satu saparator dapat
mempengaruhi salah satu parameter uji kualitas produk resiprene 35 yang dihasilkan
yaitu pada parameter warna produk (colour grade). Berdasarkan analisis diatas maka
penulis tertarik mengambil judul “ Pengaruh Variasi Volume Ammonia (NH4OH
10%) Terhadap Colour Grade Pada Produksi Resiprene 35 Di PT. Industri Karet
Nusantara “.
1.2.Permasalahan
Adapun yang menjadi permasalahan dalam pembahasan ini adalah :
1. Bagaimanakah hubungan variasi volume ammonia terhadap warna pada
resiprene 35.
2. Berapakah volume ammonia yang sesuai agar di dapat warna pada resiprene 35
1.3.Tujuan
1. Untuk mengetahui pengaruh variasi volume ammonia (NH4OH) 10% terhadap
warna pada resiprene 35.
2. Untuk mengetahui banyaknya volume ammonia (NH4OH) 10% yang sesuai
dengan standar warna resiprene 35.
1.4.Manfaat
1. Memberikan pengetahuan pada penulis bagaimana hubungan antara variasi
volume ammonia (NH4OH) 10% dan warna pada resipene 35.
2. Memberikan pengetahuan mengenai berapa jumlah volume ammonia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sejarah Perkembangan Karet
Sejak pertama kali ditemukan sebagai tanaman yang tumbuh secara liar sampai
dijadikan tanaman perkebunan secara besar – besaran, karet memiliki sejarah yang
cukup panjang. Apalagi setelah ditemukan beberapa cara pengolahan dan pembuatan
barang dari bahan baku karet, maka ikut berkembang pula industry yang mengolah
getah karet menjadi bahan berguna untuk kehidupan manusia.
Pada tahun 1493 Michele de Cuneo melakukan pelayaran ekspedisi ke Benua
Amerika yang dahulu dikenal sebagai “Benua Baru”. Dalam perjalanan ini ditemukan
sejenis pohon yang mengandung getah. Pohon – pohon itu hidup secara liar di hutan –
hutan pedalaman Amerika yang lebat. Orang – orang Amerika asli mengambil getah
dari tanaman tersebut dengan cara menebangnya. Getah yang didapat kemudian
dijadikan bola yang dapat dipantul – pantulkan. Bola ini disukai penduduk asli sebagai
alat permainan. Penduduk Indian Amerika juga juga membuat alas kaki dan tempat air
Tanaman yang dilukai batangnya ini diperkenalkan sebagai tanaman Hevea.
Hasil laporan Ekspedisi Peru ditulis dalam buku oleh Frenhneau tahun 1749 dengan
menyebut nama tersebut. Freshneau juga menyertakan gambar dari tanamana tersebut.
Dua tahun kemudian, tepatnya tahun 1751, De La Condomine membuat usulan untuk
mengadakan penelitian lebih lanjut mengenai tanamana Hevea ini.
Pengenalan pohon Hevea membuka langkah awal yang sangat pesat kearah
zaman penggunaan karet untuk berbagai keperluan. Cara pelukaan untuk memperoleh
getah karet memang jauh. Cara perlukaan untuk memperoleh getah karet memang jauh
lebih efisien daripada cara tebang langsung. Lagipula dengan cara ini tanaman karet
bisa diambil getahnya berkali – kali.
Pengetahuan di bidang botani tanaman karet juga berkembang. Pada tahun 1825
diterbitkan sebuah buku mengenai botani tanaman karet atau Hevea Brasiliensis Muell
Erg. Nama ini diperkenalkan karena tanaman Hevea yang didapat barasal dari Brazil,
tepatnya di daearah Amazon.
Setelah tahun 1839 dicapailah babak baru yang membuat karet sempat menjadi
primadona daerah – daerah perkebunan di beberapa Negara tropis. Pada tuhun itu
Charles Goodyear menemukan cara vulkanisir karet. Goodyear mencampur karet
dengan belerang dan kemudian dipanaskan pada suhu 120 – 130oC. Dengan cara
vulkanisir ini semakin banyak sifat karet yang diketahui dapat dimanfaatkan.
Berawal dari penemuan Charles Goodyear, karet mulai banyak dicari orang
mengolah karet menjadi ban. Menurut beberapa literature, Alexander Parkes ikut pula
mengembangkan cara vulkanisasi. Sedangkan yang memiliki ide atau pencetus gagasan
dibuatnya ban adalah Dunlop pada tahun 1888 dan kemudian dikembangkan oleh
Goldrich.. (Tim Penulis PS, 1999)
2.2 Karet
Karet alam larut sedikit demi sedikit dalam benzene. Akan tetapai bilamana karet alam
divulkanisasi, yakni dipanasi bersama sedikit belerang (sekitar 20%) ia menjadi
bersambung silang dan terjadi perubahan yang luar biasa pada sifatnya. Karet yang
divulkanisasi bersifat “regas” ketika diregang yakni makin melunak karena rantainya
pecah – pecah dan kusut. Namun, karet yang tervulkanisasi jauh lebih tahan renggang.
Kelarutannya berkurang dengan semakin banyaknya sambung silang dan bahan regang.
Kelarutannya berkurang dengan semakin banyaknya sambung silang dan bahan
tervulkanisasi hanya menggembung sedikit jika disimpan dalam pelarut.
Karet alam adalah polimer dari suatu isoprene (2 metil 1.3 butadiena) :
CH2 = CH – CH = CH2 (CH2 – CH = CH – CH2)n
CH3 CH3
( 2 metil 1.3 butadiena ) ( Karet alam )
Berat molekul karet alam rata – rata 10.000 – 40.000. Molekul – molekul
polimer karet alam tidak lurus tetapi melingkar seperti spiral dan ikatan –C-C di dalam
rantai berputar pada sumbunya sehingga memberikan sifat karet yang fleksibel yaitu
mempunyai susunan kimia yang berbeda dan memungkinkan untuk diubah menjadi
bahan – bahan yang bersifat elastis.
Komposisi kimia lateks sangat cocok dan baik sebagai media tumbuh berbagai
mikiroorganisme sehingga setelah penyadapan dan kontak langsung dengan udara
terbuka lateks akan segara dicemari oleh berbagai mikroba dan kotoran lain yang
berasal dari udara, peralatan, air hujan dan lain – lain. Mikroba akan menguraikan
kandungan protein dan karbohidrat lateks akan menjadi asam – asam yang berantai
molekul pendek sehingga dapat terjadi penurunan pH. Bila penurunan pH mencapai 4,5
– 5,5 maka akan terjadi proses koagulasi.
Sifat – sifat mekanis karet alam yang baik dapat digunakan untuk berbagai
keperluan umum, seperti sol sepatu atau bahan kendaraan. Ciri khusus yang
membedakan karet alam dengan benda lain adalah kelembutan, fleksibel dan elastisitas.
Komposisi lateks dipengaruhi oleh jenis tanaman, umur tanaman, sistem deres, musim
dan keadaan lingkungan kebun. ( M.A. Cowd., 1991 )
2.2.1. Karet Alam
Karet alam atau karet mentah memiliki sifat fleksibel harganya relative ringan tapi daya
sambung atau daya rekatnya jauh lebih rendah dibanding dengan karet sintetis bila
dibuat perekat. Karet alam tidak bisa dipakai untuk menyambung plastic. Perekat yang
dibuat dari karet ala mini tidak tahan terhadap bahan pelarut, minyak, bahan oksidasi,
suhu 35 – 40 oC sebelum divulkanisir. Jika divulkanisir akan tahan terhadap panas
70oC.
Karet alam larut dengan baik pada pelarut hidrokarbon. Perekat ini berguna
untuk benda yang ringan seperti kain, karet busa. Mengelupas pada beban 3 kg/cm2
pada suhu kamar.
Bila karet alam ini divulkanisir ia akan menjadi tahan panas dan kekuatan
mengelupas sempai 6 kg/m2. salah satu keunggulan dari solusi karet alam tidak
beracun, pelarut yang dipakai tidak menyengat tajam dihidung dan tidak mudah
terbakar, viskositas dari solusi ini kira – kira 25%.
Kelemahan karet alam terletak pada keterbatasannya dalam memenuhi
kebutuhan pasar. Saat pasar membutuhkan pasokan tinggi para produsen karet tidak
bisa menggenjot produksinya dalam waktu singkat sehingga harganya cenderung lebih
tinggi. (Didit Heru Setiawan dan Agus Andoko, 2008)
2.2.1.1. Sifat – Sifat Karet Alam
1. Daya elastisitas atau daya lentingnya sempurna
2. Sangat plastis, sehingga mudah diolah
3. Tidak mudah panas
Tabel 2.1. Komposisi lateks segar dari kebun dan karet kering
Komponen Komponen dalam lateks
segar (%)
Sumber : Dipetik dan dikompilasi dari Morton, M. Rubber Technology. Edisi ke-3.
New York : Van Nostrand Reinhold, 1987.
Pada saat penyimpangan, kekerasan karet alam
bertambah. Penambahan kekerasan diindikasikan oleh nilai viskositas Mooney-nya.
Viskositas Mooney merupakan suatu pengujian terhadap viskositas dari karet. Semakin
tinggi nilai viskositas Mooney maka semakin tahan karet terhadap regangan (strain).
Pengerasan pada saat penyimpanan disebabkan rekasi sambung silang dari jumlah kecil
gugus aldehid yang terdapat dalam molekul karet.. (Indra Surya., 2006)
2.2.3. Lateks
Lateks ialah cairan berwarna putih yang keluar dari pembuluh pohon karet bila dilukai.
lateks ini juga disebut protoplasma. Lateks juga didefenisikan sebagai system
fosfolipida yang terdispersi dalam serum.
Lateks merupakan salah satu bahan baku yang digunakan untuk pembuatan
karet remah. Bahan baku lateks (Havea Brasiliensis) adalah sistem koloid yang
kompleks, terdiri dari partikel karet dan zat lain yang terdipersi dalam cairan.
2.3. Karet Remah
Karet remah atau crumb rubber adalah produk karet alam yang relative baru. Dalam
perdagangan dikenal dengen sebutan “karet sperelatif baru”, karena penentuan kualitas
atua penjenisannya dilaksanakan secara teknis dengan analisa yang teliti di
laboratorium dan dengan menggunakan perlengkapan analisis yang mutakhir.
Dengan pengolahan karet remah diperoleh beberapa keuntungan yaitu proses
pengolahannya lebih cepat, produk lebih bersih dan lebih seragam dan penyajiannya
lebih menarik.
Karet spesifikasi teknis adalah jenis produk karet :
a. Yang diperdagangkan dengan spesifikasi mutu teknis dengan bermacam –
macam karakteristik anatara lain : SIR 5 CV, SIR 5 LV, SIR 5 L, SIR 5, SIR 10,
SIR 20 dan SIR 50.
b. Yang diperdagangkan dengan bentuk bongkah berukuran 28 x 14 x 6,5 inci3
atau 70 cm x 35 x 16,25 cm dengan bobot 33,3 kg, 34 kg, dan 35 kg per
pelunakan 108oC, berat jenis (specific gravity) 0,92 dan bebas dari macam –
macam pelapis (coating).
Berbagai bahan olah karet dapat diolah menjadi karet remah. Dalam pengolahan
karet remah digolongkan dua macam bahan baku, yaitu lateks kebun dan lump
serta gumpalan mutu rendah. Proses pengolahan karet remah dapat dilaksanakan
dengan bermacam – macam prosesing.
a. Penentuan Kualitas Karet Remah
Tiap jenis kualitas karet remah mempunyai standar tertentu. Klasifikasi kualitas
dilaksanakan menurut cara – cara baru dengan penggolongan berdasarkan ciri –
ciri teknis. Yang menjadi dasar spesifikasi teknis adalah kadar beberapa zat dan
unsur – unsur tertentu yang terdapat dalam karet yang berpengaruh terhadap
sifat akhir produk yang dibuat dari karet.
Unsur – unsur dalam penetapan kualitas secara spesifikasi teknis adalah :
1. Kadar kotoran (dirt content)
Kadar kotoran menjadi dasar pokok dan kriterium terpenting dalam
spesifikasi, karena kadar kotoran sangat besar pengaruhnya terhadap
ketahanan retak dan kelenturan barang – barang dari karet.
2. Kadar abu (ash content)
Penentuan kadar abu dimaksudkan untuk melindungi konsumen
.terhadap penambahan bahan – bahan pengisi ke dalam karet pada waktu
3. Kadar zat menguap (volatile content)
Penentuan kadar zat menguap ini dimaksudkan untuk menjamin bahwa
karet yang disajikan cukup kering.
Selain penentuan ketiga bahan tersebut di atas, masih
dianalisis juga kadar tembaga, mangan, dan nitrogen. Pada akhirnya hasil spesifikasi
teknis disimpulkan dalam suatu standar yaitu Standar Indonesia Rubber (SIR).
b. Standar Indonesia Rubber
Standar Indonesia Rubber (SIR) adalah produk karet alam yang baik prosesing ataupun
penentuan kualitasnya, dilakukan secara spesifikasi teknis. Ketentuan – ketentuan
tentang SIR mulanya didasarkan pada Surat Keputusan Menteri Perdagangan No.
147/Kep/V/1969 yang isinya berupa ketentuan – ketentuan yang menyangkut SIR yang
kriterianya tercantum pada tabel.
Tabel 2.2. Standar Spesifikasi SIR
Spesifikasi SIR 5 SIR 20 SIR 35 SIR 50
Kadar Kotoran 0,05 0,20 0,35 0,50
Kadar Abu 0,50 0,75 1,00 1,25
Kadar Zat Menguap 1,00 1,00 1.00 1,00
Untuk tiap golongan SIR tersebut harus ditentukan nilai Plastisity Retention
Index (PRI)−nya dan digolongkan dengan menggunakan symbol huruf H, M, dan S. H
untuk nilai PRI−nya antara 30 – 59. Karet remah dengan nilai PRI kurang dari 30 tidak
boleh dimasukkan kedalam anggota golongan SIR.
PRI adalah ukuran terhdadap tahan usangnya karet dan juga sebagai penunjuk
mudah tidaknya karet tersebut dilunakkan dalam gilingan pelunak. Makin tinggi nilai
PRI makin tinggi pula kualitas karet tersebut. Untuk menentukan nilai PRI digunakan
alat yang disebut Wallace Plasatemeter.
Dengan berkembangnya penelitian dewasa ini sebagai dasar penentuan SIR
dipakai Surat Keputusan Menteri Perdagangan tahun 1972.
Tabel 2.3. Spesifikasi karet SIR yang diubah (revised) sesuai SK Menperdeg No.
230/Kp/X/1972
Spesifikasi Standard Indonesia Rubber (SIR)
Dengan demikian hingga saat ini, semua karet remah SIR yang diekspor harus
memiliki persyaratan mutu seperti yang ditetapkan dalam surat keputusan Menpardag
tersebut.
Untuk mengamankan kualitas SIR, suatu produk SIR harus mendapat
pengawasan 4 macam laboratorium, yaitu laboratorium standard, laboratorium control,
laboratorium komersial, dan laboratorium pabrik.
Semua sarana penentu kualitas ini dimaksudkan agar SIR dapat bersaing dengan
produk karet bongkah yang berasal dari Negara produsen karet bongkah selain
Indonesia yang memiliki standar sendriri – sendiri, seperti Standard Malaysian Rubber
(SMR) dari Malaysia, Standard Singapore Rubber (SSR) dari Singapura, dan
sebagainya. (Djoehana Setyamidjaja., 1993 )
2.5. Resin
Sejak zaman dahulu, getah, dan resin telah dihasilkan oleh batang dari pertumbuhan
pepohonan. Beberapa dari bahan - bahan ini ditunjukkan kombinasi yang tidak umum
dari bagian – bagian dimana kita mencampurnya dengan plastic modern. Jika mereka
dipanaskan, resin itu akan menjadi lembut atau halus dan berubah menjadi plastic.
Mereka akan mengubah bentuk jika ditempatkan pada suatu tekanan, dan dalam
biasanya karakteristik mereka seperti liquid, dimana perubahan bentuk mereka dibawah
tekanan gravitasi. Sebelum resin ini dicukupkan pada bentuk padatan yang kokoh untuk
Sifat senyawa resin ini adalah salah satu contoh dari plastic alam, mereka dapat
dibuat untuk mengikuti bentuk seperti sebuah cairan dan sebelum terbentuk dari bentuk
mereka sendiri, seperti suatu padatan. Hal ini seperti gabungan yang aneh dari sifat -
sifat yang dapat kita temukan pada karakteristik sifat dasar dari bahan - bahan plastik.
Sifat itu sendiri disebut dengan plasticity. (Cook, J.C., 1965)
Resin adalah hidrokarbon sekresi tanaman, terutama pohon-pohon jenis
konifera. Hal ini dinilai untuk kandungan kimia dan menggunakan, seperti pernis dan
perekat, sebagai sumber bahan baku yang penting untuk sintesis organik, atau untuk
dupa dan parfum.
Istilah ini juga digunakan untuk bahan sintetik sifat yang sama. Resin memiliki
sejarah yang sangat panjang dan disebutkan oleh kedua Theophrastus Yunani kuno dan
Romawi kuno Pliny yang Tua, terutama sebagai bentuk-bentuk yang dikenal sebagai
kemenyan dan mur. Mereka sangat berharga zat yang digunakan untuk banyak tujuan,
terutama wewangian dan dupa dalam ritual keagamaan.
Tidak ada konsep tentang mengapa tanaman mengeluarkan resin. Namun, resin
terutama terdiri dari metabolit sekunder atau senyawa yang tampaknya tidak
memainkan peran utama dalam fisiologi tanaman. Sementara beberapa ilmuwan
melihat resin hanya sebagai produk limbah, manfaat protektif mereka untuk menanam
secara luas didokumentasikan. Senyawa resin beracun dapat mengacaukan berbagai
dermawan seperti parasitoid atau predator dari herbivora yang menyerang tanaman.
(wikipedia.org/wiki/Resin)
2.5.1. Jenis – Jenis Perekat
Pengetahuan mengenai perekat dan tipe perekat perlu diketahui sebab pemahaman yang
lebih baik tentang perekat dapat membantu kualitas produk yang sekaligus
mengidentifikasi bahan yang nyata dan potensial untuk menentukan perumusan dari
produk – produk yang berbeda dan merupakan pemahaman konsep – konsep tentang
struktur kimia materi perekat.
Ada tiga kategori perekat yang berbeda :
a. Plastik, yang disebut flexible polymer
b. Elastomer, yang disebut synshetic rubber
c. Karet alam yang disebut natural rubber
Perekat dapat dikelompokkan dalam :
1. Perekat yang berasal dari tulang hewan serta tumbuh – tumbuhan disebut
perekat Thermosetting seperti : protein hewani, protein nabati, kasein, dan
perekat sintetik. Yang dapat digolongkan ke dalam Thermosetting yaitu :
polyester, epoksi, fenolat, polivinil asetat dan polimer lainnya. Bentuk protein
ini bisa cairan, pasta, padat atau dalam bentuk lembaran film.
2. Perekat yang dibuat secara sintetik seperti : polimer vinil, akrilik, poliamida,
sellulosa, polistiren, polikarbonat-sellulosa, resin, lilin, mineral, dan sirlak.
Mereka disebut Thermoplastik. Dari perekat ini dapat berbentuk emulsi padat,
3. Karet alam dan sintetik disebut karet Thermoplastik, seperti karet nitril, karet
butyl, karet khlofoprena. Kombinasi antara resin thermoplastic dan resin
thermoseting berguna untuk menyambung logam dan benda keras lainnya,
dimana perekat dari resin ini menjadi pilihan utama untuk menunjang keperluan
tersebut.
Resin epoksi merupakan perekat sintetik yang banyak dipaka untuk berbagai
keperluan termasuk buat konstruksi bangunan. Keyakinan akan pentingnya peran
epoksi buat keperluan bangunan dalam proses modernisasi menghasilkan suatu
pendekatan khusus yakni pendekatan aplikasi terhadap pemakain perekat epoksi tidak
sampai di situ saja penggunaanya bahkan sampai pada industry otomotif.
Didalam membuat perekat epoksi diperlukan modifikasi terhadap reaksi dengan
polisulfida yang akan menghasilkan fleksibelitas dan memiliki daya rekat yang kuat
tanpa bantuan bahan lain sebagai pelengkap. Perekat epoksi ini baik sekali untuk
alumunium, marmer, beton, baja, kayu, keramik dan industry konstruksi pesawat
terbang.
Perekat epoksi dapat menahan beban (strength bond) sampai 9000 kg/m2,
dengan demikian perekat epoksi termasuk perekat superior. Dari paparan diatas dapat
dilihat bahwa pemakaian epoksi merupakan peranan di dalam tingkat pembangunan
karena pemakaiannya yang begitu luas dan kualitas yang dapat dipercaya. (Eddy Tano.,
2.6. Ammonia
Amonia adalah senyawa kimia dengan rumus NH3. Biasanya senyawa ini didapati
berupa gas dengan bau tajam yang khas (disebut bau amonia). Walaupun amonia
memiliki sumbangan penting bagi keberadaan nutrisi di bumi, amonia sendiri adalah
senyawa kaustik dan dapat merusak kesehatan. Administrasi Keselamatan dan
Kesehatan Pekerjaan Amerika Serikat memberikan batas 15 menit bagi kontak dengan
amonia dalam gas berkonsentrasi 35 ppm volum, atau 8 jam untuk 25 ppm volum.
Kontak dengan gas amonia berkonsentrasi tinggi dapat menyebabkan kerusakan
paru-paru dan bahkan kematian. Sekalipun amonia di AS diatur sebagai gas tak mudah
terbakar, amonia masih digolongkan sebagai bahan beracun jika terhirup, dan
pengangkutan amonia berjumlah lebih besar dari 3.500 galon (13,248 L) harus disertai
surat izin.
Amonia yang digunakan secara komersial dinamakan amonia anhidrat. Istilah
ini menunjukkan tidak adanya air pada bahan tersebut. Karena amonia mendidih di
suhu -33 °C, cairan amonia harus disimpan dalam tekanan tinggi atau temperatur amat
rendah. Walaupun begitu, kalor penguapannya amat tinggi sehingga dapat ditangani
dengan tabung reaksi biasa di dalam sungkup asap. "Amonia rumah" atau amonium
hidroksida adalah larutan NH3 dalam air. Konsentrasi larutan tersebut diukur dalam
satuan baumé. Produk larutan komersial amonia berkonsentrasi tinggi biasanya
memiliki konsentrasi 26 derajat baumé (sekitar 30 persen berat amonia pada 15.5 °C).
Amonia yang berada di rumah biasanya memiliki konsentrasi 5 hingga 10 persen berat
2.7. Warna
Selain sebagai factor yang ikut menentukan mutu, warna juga dapat digunakan sebagai
indikator kesegaran atau kematangan. Baik tidaknya cara pencampuran atau cara
pengolahan dapat ditanai dengan adanya warna yang seragam dan merata.
Warna suatu bahan dapat diukur dengan menggunakan alat kolorimeter,
spektrofotometer, atau alat – alat lain yang dirancang khusus untuk mengukur warna.
Tetapi alat – alat tersebut biasanya terbatas penggunaannya untuk bahan cair yang
tembus cahaya seperti sari buah, bir, atau warna hasil ekstraksi. Untuk bahan bukan
cairan atau padatan, warna bahan dapat diukur dengan membandingkan terhadap suatu
warna standar yang dinyatakan dalam angka – angka.
Cara pengukuran warna yang lebih teliti dilakukan dengan mengukur komponen
warna dalam besaran value, hue, dan chroma. Nilai value menunjukkan gelap dominan
yang akan menentukan apakah warna tersebut merah, hijau, atau kuning, sedangkan
chroma menunjukkan intensitas warna. Ketiga komponen ini diukur dengan
menggunakan alat khusus yang mengukur nilai kromatisitas permukaan suatu bahan.
Angka – angka yang diperoleh berbeda untuk setiap warna, kemudian angka – angka
tersebut diplotkan ke dalam diagram kromatisitas.
Ada lima sebab yang dapat menyebabkan suatu bahan berwarna yaitu :
1. Pigmen yang secara alami terdapat pada tanaman dan hewan misalnya klorofil
berwarna hijau, karoten berwarna jingga, dan mioglobin menyebabkan warna
2. Reaksi karamelisasi yang timbul bila gula dipanaskan membentuk warna coklat,
misalnya warna coklat pada kembang gula caramel atua roti yang dibakar.
3. Warna gelap yang timbul karena adanya reaksi Maillard, yaitu antara gugus
amino protein dengan gugus karbonil gula pereduksi ; misalnya susu bubuk
yang disimpan lama akan berwarna gelap.
4. Reaksi antara senyawa organic dengan udara akan menghasilkan warna hitam,
atau coklat gelap ; misalnya warna gelap permukaan apel atau kentang yang
dipotong.
5. Penambahan zat warna, baik zat warna alami maupun zat warna sintetik, yang
termasuk dalam golongan bahan aditif.
BAB 3
ALAT DAN BAHAN
3.1. Alat dan Bahan
3.1.1. Alat
a. Alat – alat
1. Alu dan lumpang
2. Saringan
3. Beaker glass Phyrex 100 ml
4. Neraca analitik
5. Stirrer
6. Pipet tetes
7. Kertas
8. Stopwatch
9. Statif dan Klem
10.Kuvet
11.Blender
12.Lovibond Orbecco – Hellig
13.Gelas ukur Phyrex 50 ml
3.1.2. Bahan
1. Toluena P.a. Liquid
2. Resiprene 35
3. Ammonia 10% P.a. Liquid
3.2 Prosedur
3.2.1 Pengambilan Sampel Resiprene 35 dari Saparator
1. Larutan resiprene yang baru ditransfer dari tangki reactor menuju tangki
saparator diambil dari tangki saparator sebelum ditambahkan dengan
ammonia 10%.
2. Disiapkan lima buah saparator (corong pisah)
3. Dimasukkan 500 gram larutan resiprene ke tiap saparator
4. Ditambahkan ammonia 10% kedalam masing – masing saparator (corong
pisah) dengan variasi volume 25 ml, 50 ml, 75 ml, 100 ml, dan 125 ml.
5. Diendapkan larutan dalam saparator selama 4 hari
6. Diambil larutan yang paling atas yaitu larutan resin
3.2.2 Penentuan Warna Pada Resiprene 35
1. Dihaluskan resiprene 35.
2. Diayak resiprene 35 halus sebanyak 9 gram.
3. Ditimbang dengan beaker glass 100 ml beserta stirrer yang akan
4. Ditimbang Toluena sebanyak 6 gram.
5. Dimasukkan resiprene 35 gram kedalam beaker glass 100 ml.
6. Ditambahkan toluene sebanyak 6 gram kedalam beaker glass 100 ml yang
sudah berisi resiprene 35 yang halus.
7. Ditutup beaker glass 100 ml dengan kertas yang telah dilubangi
tengahnya.
8. Diaduk dengan stirrer selama 30 menit.
9. Dimasukkan larutan kedalam kuvet.
10.Dimasukkan kuvet yang berisi larutan kedalam alat Lovibond Orbecco –
Hellig.
11.Dihidupkan alat Lovibond Orbecco – Hellig.
12.Diputar disk Lovibond Orbecco – Hellig sampai warna disk sama pada
warna larutan.
13.Dicatat angka pada disk Lovibond Orbecco – Hellig yang telah sesuai
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
Dari pengamatan yang dilakukan pada laboratorium untuk analisa warna resiprene 35
PT. Industri Karet Nusantara didapat data sebagai berikut :
Tabel. 4.1. Analisa Warna Resiprene 35
4.2. Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan dengan metode Least Square pada hasil pengamatan analisa
warna resiprene 35.
Tabel 4.2. Data Metode Least Square
No. Variasi Ammonia 10% Warna Pada Lovibond
a. Metode Least Square
b. Persamaan Garis Regresi
Y = ax + b
Y1 = 0.02(25) + 11
= 11.5
Y2 = 0.02(50) + 11
Y3 = 0.02(75) + 11
Tabel 4.3. Data Persamaan Garis Regresi
No. (X) Variasi Ammonia 10% (Y) Warna Pada Lovibond
1 25 ml 11.5
Salah satu hal yang terpenting dalam penentuan warna resiprene agar mendapati hasil
warna yang memenuhi standar mutu dari resiprene ialah terletak pada kualitas bahan
baku SIR (Standar Indonesia Rubber) dimana pada PT. Industri Karet Nusantara
menggunakan SIR 10. Maka dari itu, sebelum SIR 10 diproses kedalam tangki reactor
siklisasi terlebih dahulu dilakukan pengujian moisture content untuk mengetahui
apakah SIR 10 yang digunakan memenuhi standar yang telah ditetapkan. Dalam proses
siklisasi juga perlu diperhatikan lamanya proses pelarutan dalam tangki reactor, hal ini
juga berpengaruh terhadap warna resiprene yang dihasilkan. Semakin lama waktu
Penambahan ammonia 10% pada tangki saparator sebanyak 25 ml untuk skala
laboratorium yang berfungsi untuk menetralkan bilangan asam terhadap larutan
resiprene 35 agar memenuhi standar mutu dari produk itu sendiri serta berfungsi untuk
mengikat kotoran – kotoran dari bahan baku SIR 10 pada larutan resiprene 35 agar
kotoran tidak menempel pada larutan dan ammonia 10% itu sendiri dapat berperan
sebagai mencerahkan warna dari produk. Jika penambahan ammonia 10% melebihi dari
yang telah ditetapkan, maka kemungkinan besar warna resiprene itu sendiri akan
semakin gelap sehingga tidak memenuhi standar mutu dari produk tersebut.
Jadi standar penambahan ammonia 10% yang digunakan pada proses dekantasi
yaitu sebanyak 25 ml. Bila volume ammonia 10% lebih dari 25 ml maka akan
berpengaruh pada warna yang semakin gelap, sedangkan bila volume ammonia 10%
kurang dari 25 ml maka warna resiprene 35 akan menjadi terlalu pucat dan memiliki
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
1. Semakin banyak jumlah ammonia 10% yang ditambahkan pada tangki saparator
pada saat pengendapan maka akan semakin gelap warna resiprene 35 yang
dihasilkan, sebaliknya semakin sedikit jumlah ammonia 10% yang ditambahkan
maka warna resiprene berwarna lebih cerah sesuai dengan kualitas yang
diharapkan. Keduanya memiliki hubungan linier yang berbanding lurus.
2. Banyaknya volume ammonia 10% yang digunakan agar memenuhi standar
mutu resiprene 35 itu sendiri ialah 25 ml dalam skala laboratorium. Jika volume
ammonia 10% dibawah 25 ml maka warna dari resiprene 35 akan berwarna
pucat tidak sesuai mutu yang harapkan sedangkan jika diatas 25 ml maka warna
5.2. Saran
1. Sebaiknya pemeriksaan terhadap moisture content pada bahan baku yang
digunakan yaitu SIR 10 dilakukan sebelum diolah pada tangki reactor agar
menghasilkan warna resiprene sesuai standar mutu yang telah ditetapkan.
2. Sebaiknya pemeriksaan warna pada resiprene 35 dilakukan setiap kali produk
DAFTAR PUSTAKA
Cook, J.C. 1965. Your Guide To Plastics. United States Of America : The English Language Book Society and Merrow Publishing Co. LTD.
Cowd, M.A. 1991. Kimia Polimer. Bandung : Penerbit ITB.
Setiawan, D.H. dan Andoko, A. 2008. Budidaya Karet. Cetakan Pertama Revisi. Solo : PT. Agro Media Pustaka
Setyamidjaja, D. 1993. Seri Budaya Karet. Edisi Ke 13.Yogyakarta : Penerbit Kanisius.
Surya, I. 2006. Teknologi Karet. Medan : Departemen Teknik Kimia Universitas Sumatera Utara.
Tano, E. 1997. Pedoman Membuat Perekat Sintesis. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Tim Penulis PS. 1999. Karet Budidaya dan Pengolahan, Strategi Pemasaran. Jakarta : Penebar Swadaya.
Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan Dan Gizi. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
http://en.wikipedia.org/wiki/Resin Diakses tanggal 21 April 2010.
L
A
M
P
I
R
A
Spesifikasi Mutu Produk Resiprene 35
No Jenis Parameter Satuan Standar Uji
1 Viskositas 33,33 % B/B Pada Suhu
20oC
Detik 18 – 28
2 Penentuan Warna 60% B/B dalam
Toluena
- Maks. 13
3 Berat Jenis pada Suhu 25oC Gr/ml Mask. 0,98
4 Tampilan - Bersih
5 Titik Lebur oC 125 – 140