• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perjanjian Pengadaan Barang Informasi Teknologi (IT) Antara CV. Dhymas Com dengan PT. Gapura Angkasa Dalam Pelaksanaannya.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perjanjian Pengadaan Barang Informasi Teknologi (IT) Antara CV. Dhymas Com dengan PT. Gapura Angkasa Dalam Pelaksanaannya."

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

PERJANJIAN PENGADAAN BARANG INFORMASI TEKNOLOGI (IT) ANTARA CV. DHYMAS COM DENGAN PT. GAPURA ANGKASA

DALAM PELAKSANAANNYA

Diajukan untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

DIAN SASMITA HASIBUAN 090200440

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

PERJANJIAN PENGADAAN BARANG INFORMASI TEKNOLOGI (IT) ANTARA CV. DHYMAS COM DENGAN PT. GAPURA ANGKASA

DALAM PELAKSANAANNYA

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas Akhir untuk Memperoleh Gelar Kesarjanaan Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh:

DIAN SASMITA HASIBUAN 090200440

DEPARTEMEN: HUKUM KEPEDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN: PERDATA BW

Disetujui Oleh

KETUA DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

H. Dr. Hasim Purba, S.H.,M.Hum NIP. 196603031985081001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr.Tan Kamello, S.H., M.S. Zulkifli Sembiring, S.H., MH NIP. 196204211988031004 NIP.196101181988031010

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat ALLAH SWT atas segala anugerah dan rahmat-NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dan skripsi ini guna melengkapi syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Universitas Sumatera Utara. Adapun judul skripsi ini mengenai “Perjanjian Pengadaan Barang Informasi Teknologi (IT) Antara CV. Dhymas Com dengan PT. Gapura Angkasa Dalam

Pelaksanaannya.”

Penulis sadar dalam penyusunan skripsi ini banyak dibantu oleh pihak-pihak tertentu baik berupa bimbingan, kritik, saran bahkan pengarahan. Oleh karenanya pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang turut membantu menyelesaikan skripsi ini.

Terima kasih saya ucapkan kepada:

1. Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. H. Dr. Hasim Purba, SH, M.Hum selaku Ketua Departemen Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr.Tan Kamello, SH., M.S selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan, nasehat, dan saran selama proses penyusunan skripsi. 4. Zulkifli Sembiring, SH., MH selaku Dosen Pembimbing II yang telah sabar

(4)

5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bimbingan kepada penulis selama ini.

6. Keluargaku tercinta: Ayahku Hasanuddin Hasibuan, Ibuku Marsiyem, Kakakku Ayu Utami Hasibuan, SP, Abangku Jefrri Irwansyah, S.Kom., M.MSI dan si hidung mungil Yuuri yang sudah memberikan dukungan, semangat, perhatian, dan senyum untukku.

7. Andi Sanjaya yang telah memberikan motivasi, semangat, perhatian dan ide-ide untuk penulis agar skripsi ini bisa selesai.

8. Sahabat-sahabatku Rahmi Nur Hidayah, Fitri Akhirina, alm. Amalia Ulfah, Bebyta, Afiana, Beby sartika, Lily atas semuanya yang sudah kita jalani bersama.

9. Yudhistira Frandana, M. Iqbal Hrp dan Mulkan Balya untuk semua suka dukanya selama masa kuliah ini.

10.Teman-temanku stambuk 09 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu terima kasih untuk semuanya. 11.Para Pegawai di Fakultas Hukum yang telah membantu selama pengurusan

akademik penulis.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini kurang sempurna. Oleh karena itu mohon kritik dan sarannya agar skripsi ini bisa menjadi lebih sempurna. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Medan, 22 Februari 2013 Penulis,

(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ………... 1

B. Perumusan Masalah ……….. 9

C. Tujuan Penulisan ……….. 10

D. Manfaat Penulisan ………... 10

E. Metode Penelitian ………. 11

F. Keaslian Penulisan ………... 12

G. Sistematika Penulisan ………... 12

BAB II PERJANJIAN PEMBORONGAN A. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian Pemborongan ……….. 15

B. Jenis-Jenis Perjanjian Pemborongan ……… 32 C. Para Pihak dalam Perjanjian Pemborongan ………...……….. 35

D. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Pemborongan ………. 40

E. Metode Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan ……….... 45

BAB III PERJANJIAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH A. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian Pengadaan Barang/ Jasa …….. 48

(6)

C. Jaminan dalam Pengadaan Barang/ Jasa ……….. 57 D. Cara Menjadi Peserta Pengadaan Barang/ Jasa ……….... 61 E. Prakualifikasi dan Pasca Kualifikasi

dalam Pengadaan Barang/ Jasa ……….... 63 F. Metode Pengadaan Barang/ Jasa

Dilihat dari Perpres Nomor 70 Tahun 2012...……….……….. 65 BAB IV PERJANJIAN PENGADAAN BARANG INFORMASI

TEKNOLOGI (IT) ANTARA CV.DHYMAS COM DENGAN PT. GAPURA ANGKASA DALAM PELAKSANAANNYA

A. Pengaturan Pengadaan Barang/ Jasa dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ………...….. 68 B. Analisis Terhadap Keseimbangan yang Terdapat dalam Kontrak Pengadaan Barang Informasi Teknologi (IT) antara CV. Dhymas Com

dengan PT. Gapura Angkasa ……….……...……… 74

C. Tanggung jawab Para Pihak Akibat dari Terjadinya Kerugian yang Terjadi

Dikemudian Hari …...……….…...84

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN ……… 88

B. SARAN ……….... 90

(7)

ABSTRAK

Keberadaan perjanjian pengadaan barang/ jasa muncul sebagai bagian dari proses pembangunan yang merupakan program kerja pemerintah. Proses pengadaan barang/ jasa yang baik akan mendukung perkembangan sebuah negara, karena pemakaian anggaran belanja yang tepat akan menopang pembangunan yang berujung pada pertumbuhan ekonomi negara, namun dalam praktiknya kontrak pengadaan barang/ jasa sering menimbulkan masalah karena melanggar ketentuan yang berlaku. Jumlah temuan kasus pengadaan barang/ jasa tersebut cukup banyak dengan nominal penggunaan keuangan yang besar. Hal tersebut berdampak pada kerugian negara.

Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah bagaimana pengaturan pengadaan barang/ jasa dalam KUHPerdata dan KUHPidana, apakah ada keseimbangan dalam Kontrak Pengadaan Barang Informasi Teknologi (IT) antara CV. Dhymas Com dengan PT. Gapura Angkasa, dan bagaimana tanggung jawab para pihak bila terjadi kerugian di kemudian hari.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris yang dilakukan melalui pendekatan kualitatif yaitu pengumpulan data penelitian dari naskah wawancara, catatan lapangan, dan dokumen resmi. Penggunaannya menggunakan metode deskriptif yaitu mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa, kejadian yang terjadi saat sekarang dengan memusatkan perhatian kepada masalah-masalah aktual sebagaimana adanya pada saat penelitian berlangsung. Data yang digunakan adalah data primer dan skunder. Analisis data dilakukan secara induktif yaitu dengan cara terjun ke lapangan dan mempelajari fenomena yang ada di lapangan.

(8)
(9)

ABSTRAK

Keberadaan perjanjian pengadaan barang/ jasa muncul sebagai bagian dari proses pembangunan yang merupakan program kerja pemerintah. Proses pengadaan barang/ jasa yang baik akan mendukung perkembangan sebuah negara, karena pemakaian anggaran belanja yang tepat akan menopang pembangunan yang berujung pada pertumbuhan ekonomi negara, namun dalam praktiknya kontrak pengadaan barang/ jasa sering menimbulkan masalah karena melanggar ketentuan yang berlaku. Jumlah temuan kasus pengadaan barang/ jasa tersebut cukup banyak dengan nominal penggunaan keuangan yang besar. Hal tersebut berdampak pada kerugian negara.

Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah bagaimana pengaturan pengadaan barang/ jasa dalam KUHPerdata dan KUHPidana, apakah ada keseimbangan dalam Kontrak Pengadaan Barang Informasi Teknologi (IT) antara CV. Dhymas Com dengan PT. Gapura Angkasa, dan bagaimana tanggung jawab para pihak bila terjadi kerugian di kemudian hari.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris yang dilakukan melalui pendekatan kualitatif yaitu pengumpulan data penelitian dari naskah wawancara, catatan lapangan, dan dokumen resmi. Penggunaannya menggunakan metode deskriptif yaitu mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa, kejadian yang terjadi saat sekarang dengan memusatkan perhatian kepada masalah-masalah aktual sebagaimana adanya pada saat penelitian berlangsung. Data yang digunakan adalah data primer dan skunder. Analisis data dilakukan secara induktif yaitu dengan cara terjun ke lapangan dan mempelajari fenomena yang ada di lapangan.

(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perjanjian (overeenkomst) merupakan suatu hubungan hukum dengan mana para pihak saling mengikatkan dirinya terhadap suatu prestasi dan dapat menimbulkan akibat hukum berupa hak dan kewajiban. Pada umumnya para pihak bebas untuk mengadakan perjanjian dengan siapapun, bebas untuk menentukan bentuknya yaitu tertulis atau tidak tertulis, bebas menentukan syarat-syaratnya, bebas menentukan pelaksanaannya dan bebas menentukan isinya asalkan tidak bertentangan dengan Undang-undang, kesusilaan, serta ketertiban umum. Sistem inilah yang dianut oleh Buku III KUHPerdata yang dinamakan sistem terbuka (open system).1 Di samping itu, diperkenankan pula untuk membuat kontrak baik kontrak bernama (nominaat contract) yaitu kontrak yang dikenal dan diatur dalam KUHPerdata maupun kontrak tidak bernama (innominaat contract) yaitu kontrak yang timbul, tumbuh, hidup dan berkembang di masyarakat. Dalam pembuatan kontrak, para pihak melalui tiga tahapan yaitu tahap sebelum pelaksanaan kontrak (pracontractual), tahap pelaksanaan kontrak (contractual), dan tahap sesudah pelaksanaan kontrak (post contractual atau pasca contract). Tahap pracontractual merupakan tahap penawaran dan penerimaan,tahap contractual merupakan tahap adanya persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak, dan tahap post contractual atau pasca contract merupakan tahap akibat yang ditimbulkan dari

1

(11)

perjanjian tersebut. Dalam membuat perjanjian harus memberikan rasa aman dan menguntungkan bagi para pihak, untuk itu diperlukan adanya pembuatan kontrak secara tertulis dalam suatu perjanjian sebab kontrak memiliki dua fungsi, yaitu fungsi yuridis dan fungsi ekonomis. Fungsi yuridis kontrak yaitu dapat memberikan kepastian hukum bagi para pihak sedangkan fungsi ekonomis kontrak yaitu menggerakkan sumber daya dari nilai penggunaan yang lebih rendah menjadi nilai yang lebih tinggi.2

Dalam perkembangannya hukum kontrak atau perjanjian telah tumbuh dan berkembang dengan pesat mengikuti perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Perjanjian-perjanjian baru tumbuh dan berkembang dalam lalu lintas hukum. Perjanjian-perjanjian itu dikenal dengan perjanjian tidak bernama (innominaat contract). Perjanjian inilah yang sering muncul dalam hubungan-hubungan hukum dewasa ini, salah satunya adalah perjanjian pengadaan barang/ jasa. Keberadaan perjanjian pengadaan barang/ jasa muncul sebagai bagian dari proses pembangunan yang merupakan program kerja pemerintah yang sangat signifikan untuk memacu pertumbuhan dan perkembangan potensi nasional. Pembangunan identik dengan pembangunan sarana dan prasarana umum oleh pemerintah yang diperuntukkan bagi kepentingan publik maupun penyelenggaran pemerintahan. Pada dasarnya pembangunan fasilitas publik untuk kepentingan umum merupakan bagian dari proses upaya penyediaan infrastruktur yang sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan memperbaiki daya saing ekonomi nasional yang sudah lama terabaikan akibat krisis moneter yang

2

(12)

terjadi beberapa tahun lalu, yang mana pembangunan ini berlangsung secara berkesinambungan sehingga menyebabkan perubahan bertahap seluruh aspek kehidupan menuju peningkatan taraf hidup masyarakat. Proses pengadaan barang/ jasa yang baik akan mendukung perkembangan sebuah negara, karena pemakaian anggaran belanja yang tepat akan menopang pembangunan yang berujung pada pertumbuhan ekonomi negara. Sebagai contoh sebuah wilayah yang memiliki infrastruktur yang baik, cenderung menarik investor untuk membangun bisnisnya di wilayah tersebut dibanding wilayah yang infrastrukturnya buruk. Kehadiran investor ini dapat mendukung perekonomian wilayah tersebut. Kebutuhan inilah yang menjadi dasar utama kenapa Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah (LKPP) didirikan pada tahun 2008 lalu. Di pundak lembaga inilah tugas membangun kebijakan dan sistem pengadaan publik diberikan, dengan harapan dapat menciptakan pengadaan yang dapat mensejahterakan.

(13)
(14)
(15)
(16)
(17)

Korupsi jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 mengenai perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara, Andi Zulkarnain Mallarangeng alias Choel yang merupakan adik kandung dari Andi Alfian Malarangeng, dan Muhammad Arief Taufiqurrahman yang menjabat kepala divisi konstruksi I PT. Adhi Karya diharapkan menjadi titik terang dari tuntasnya kasus ini. Sampai saat ini pun kasus ini terus bergulir untuk menangkap dalang utama yang diduga petinggi Partai Demokrat yaitu Anas Urbaningrum.3Kasus ini melanggar asas yuridis mengenai kontrak pemborongan yang terdapat dalam KUHPerdata, yaitu asas itikat baik dimana para pihak tidak menjalankann perjanjian yang ada sesuai kontrak. Kontrak itu berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya. Dengan terlanggarnya asas ini berarti para pihak melanggar Undang-Undang. Tidak hanya itu, para pihak dalam kasus ini juga melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik (General Principle of Good Government) menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yaitu asas kepastian hukum, asas keterbukaan, dan asas akuntabilitas. Asas kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara pemerintah. Asas keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang

3

(18)

penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara. Asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan uraian-uraian di atas maka Penulis tertarik menulis skripsi dengan judul Perjanjian Pengadaan Barang Informasi Teknologi (IT) antara CV. Dhymas Com dengan PT. Gapura Angkasa dalam Pelaksanaannya. Alasan pemilihan judul ini dikarenakan Penulis ingin mengetahui lebih dalam tentang pengadaan barang/ jasa dari segi pidana dan keperdataannya, penerapan asas keseimbangan (proporsional) dalam kontrak Pengadaan Barang Informasi Teknologi (IT) antara CV. Dhymas Com dengan PT. Gapura Angkasa, dan tanggung jawab para pihak dalam kontrak ini bila terjadi masalah di kemudian hari.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas ada beberapa permasalahan yang dapat dibahas dalam skripsi ini, yaitu :

(19)

2. Apakah ada keseimbangan dalam Kontrak Pengadaan Barang Informasi Teknologi (IT) antara CV. Dhymas Com dengan PT. Gapura Angkasa? 3. Bagaimana tanggung jawab para pihak bila terjadi kerugian di kemudian

hari?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan skripsi ini antara lain sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui aturan-aturan hukum yang menaungi kegiatan pengadaan barang/ jasa baik dari segi pidana maupun perdata.

2. Untuk mengetahui ada tidaknya keseimbangan para pihak dalam perjanjian pengadaan barang informasi teknologi (IT) dalam pelaksanaanya antara CV. Dhymas Com dengan PT. Gapura Angkasa baik di dalam kontrak maupun dalam pelaksanaannya.

3. Untuk mengetahui tanggung jawab para pihak dalam perjanjian pengadaan barang/ jasa bila terjadi kerugian di kemudian hari.

D. Manfaat Penulisan

Penulisan ini diharapkan dapat memberikan kegunaan dari sisi : 1. Manfaat praktis

a. Diharapkan dapat memberikan sumbangan atau masukan bagi para pihak yang terkait dalam perjanjian pengadaan barang/ jasa.

(20)

Penelitian ini diharapkan memberi manfaat teoritis berupa sumbangan bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya yang berkaitan dengan aspek hukum perjanjian.

E. Metode Penelitian

(21)

kepustakaan dengan cara meneliti data sekunder yang diperoleh melalui tinjauan kepustakaan (Library Research).

F. Keaslian Penulisan

Berdasarkan hasil pencarian judul skripsi di Perpustakaan Universitas cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara/ Pusat Dokumentasi dan Informasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dinyatakan bahwa skripsi-skripsi yang telah ada sebelumnya mengenai Pengadaan Barang/ jasa terdiri dari tiga judul skripsi, namun ketiga judul skripsi sebelumnya memiliki perbedaan dengan judul skripsi yang dipilih yaitu dari segi subjek dan objek penelitiannya. Judul skripsi yang dipilh yaitu Perjanjian Pengadaan Barang Informasi Teknologi (IT) Antara CV. Dhymas Com Dengan PT. Gapura Angkasa Dalam Pelaksanaannya, namun jika ada kesamaan dengan tiga judul skripsi sebelumnya maka penulis akan bertanggung jawab atas segala risikonya. Penyusunan skripsi ini dilakukan melalui referensi buku-buku, media elektronik (internet), studi kasus pada data skunder yaitu menelaah surat kontrak Pengadaan Barang Informasi Teknologi (IT) Antara CV. Dhymas Com Dengan PT. Gapura Angkasa, dan bantuan dari berbagai pihak.

G. Sistematika Penulisan

BAB I : Pendahuluan

(22)

BAB II : Tinjauan terhadap perjanjian pemborongan

Pada bab ini menguraikan tentang pengertian perjanjian pemborongan disertai pula dengan uraian mengenai perjanjian secara umum, dasar hukum perjanjian pemborongan, jenis-jenis perjanjian pemborongan, para pihak dalam perjanjian pemborongan, hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian pemborongan, dan metode pelaksanaan perjanjian pemborongan.

BAB III : Tinjauan terhadap perjanjian pengadaan barang/ jasa

Pada bab ini menguraikan tentang pengertian pengadaan barang/ jasa, dasar hukum perjanjian pengadaan barang/ jasa, prinsip pengadaan barang/ jasa, jaminan dalam pengadaan barang/ jasa, Cara menjadi peserta pengadaan barang/ jasa, prakualifikasi dan pasca kualifikasi dalam perjanjian pengadaan barang/ jasa, serta metode pengadaan barang/ jasa dilihat dari Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012.

BAB IV : Analisis hukum terhadap kontrak pengadaan barang antara CV. Dhymas Com Dengan PT. Gapura Angkasa

(23)

Gapura Angkasa, tanggung jawab para pihak akibat dari terjadinya kerugian yang terjadi dikemudian hari.

BAB V : Kesimpulan dan Saran

(24)

BAB II

PERJANJIAN PEMBORONGAN

A. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian Pemborongan

Kata perjanjian berasal dari terjemahan overeenkomst yang diterjemahkan dengan menggunakan istilah perjanjian maupun persetujuan. Di dalam Black’s Law Dictionary, yang diartikan sebagai kontrak adalah sebagai berikut:

An agreement between two or more person which creates an obligation to do or

not to do to particular thing”

Artinya kontrak adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih, di mana menimbulkan sebuah kewajiban untuk melakukan atau tidak meelakukan sesuatu secara sebagian.4

Berdasarkan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.

Para sarjana menyatakan bahwa rumusan Pasal 1313 KUHPerdata di atas memiliki banyak kelemahan, salah satunya adalah Abdul Kadir Muhammad. Abdul Kadir Muhammad menyatakan kelemahan-kelemahan Pasal 1313 KUHPerdata adalah sebagai berikut :5

1. Hanya menyangkut sepihak saja

Hal tersebut dapat diketahui dari perumusan satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Kata mengikatkan sifatnya hanya datang dari satu pihak saja tidak dari dua pihak. Seharusnya

4

Salim H. S, Hukum Kontrak : Teori …. , Op.Cit., hal. 26. 5

(25)

dirumuskan saling mengikatkan diri jadi ada consensus antara pihak-pihak.

2. Kata perbuatan mencakup juga tanpa consensus

Pengertian perbuatan termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa, tindakan melawan hukum yang tidak mengandung consensus. Seharusnya dipakai kata persetujuan.

3. Pengertian perjanjian terlalu luas

Pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata terlalu luas karena mencakup juga pelangsungan perkawinan dan janji perkawinan yang diatur dalam lapangan hukum keluarga.

4. Tanpa menyebut tujuan

Dalam Pasal 1313 KUHPerdata tersebut tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga para pihak yang mengikatkan diri tidak memiliki tujuan yang jelas untuk apa perjanjian tersebut dibuat.

Ada pula R. Setiawan yang berpendapat bahwa definisi perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata tersebut selain belum lengkap juga terlalu luas. Belum lengkapnya definisi tersebut karena hanya menyebutkan perjanjian sepihak saja, terlalu luas karena dipergunakan kata perbuatan yang juga mencakup perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum. Sehubungan dengan hal tersebut, maka definisi perjanjian perlu diperbaiki menjadi:6

1. Perbuatan tersebut harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum.

6

(26)

2. Menambahkan perkataan atau saling mengikatkan dirinya dalam Pasal 1313KUH Perdata.

Menurut R. Setiawan perjanjian adalah sebagai berikut:

“Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.”7

Pengertian perjanjian akan lebih baik apabila sebagai suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.8 Pengertian yang lengkap dan sempurna mengenai pengertian atau definisi dari perjanjian sangatlah sulit untuk kita dapatkan karena masing-masing sarjana mempunyai pendapat yang berbeda-beda. Untuk mempermudah pengertian perjanjian dari para sarjana, maka ada beberapa pendapat yang dikemukakan sebagai berikut:

1. Menurut R. Subekti :

“Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lainnya atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk

melaksanakan sesuatu hal.”9 2. Menurut Sudikno Mertokusumo:

“Perjanjian adalah sebagai hubungan hukum antara dua pihak atau lebih

berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.”10 3. Menurut Prof. Dr. Tan Kamello, S.H., M.S

“Perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau lebih

yang didasarkan pada kata sepakat dengan tujuan untuk menimbulkan

akibat hukum.”

7

Ibid., hal. 16.

8

Ibid

9

Ibid 10

(27)

Dari pengertian di atas terlihat bahwa dalam suatu perjanjian itu akan menimbulkan suatu hubungan hukum dari para pihak yang membuat perjanjian. Masing-masing pihak terikat satu sama lain dan menimbulkan hak dan kewajiban diantara para pihak yang membuat perjanjian. Dalam praktiknya bukan hanya orang perorangan yang membuat perjanjian, namun termasuk juga badan hukum yang merupakan subjek hukum.

Perjanjian banyak jenisnya, tergantung dari para pihak yang ingin mengikatkan diri satu sama lain mengenai hal apa, antara lain perjanjian pemborongan. Istilah konstruksi dan pemborongan apabila dikaji terdapat perbedaan di antara kedua istilah tersebut, tetapi dalam teori dan praktek hukum kedua istilah tersebut dianggap sama terutama jika dikaitkan dengan istilah hukum atau kontrak konstruksi dan/atau hukum atau kontrak pemborongan. Walaupun begitu sebenarnya istilah pemborongan mempunyai cakupan yang lebih luas daripada istilah konstruksi. Sebab dengan istilah pemborongan dapat saja berarti bahwa yang diborong tersebut bukan hanya konstruksinya (pembangunannya), melainkan dapat juga berupa pengadaan barang saja (procurement).11 Berdasarkan Pasal 1601 huruf b KUHPerdata yang dimaksud dengan perjanjian pemborongan adalah perjanjian dengan mana pihak satu yaitu si pemborong mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain yaitu pihak yang memborongkan dengan menerima suatu harga yang ditentukan.12

11

Munir Fuady, Kontrak Pemborongan Mega Proyek, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hal. 12.

12

(28)

Dari definisi yang diberikan oleh KUHPerdata terlihat bahwa Undang-Undang secara keliru memandang kepada kontrak pemborongan sebagai suatu jenis kontrak unilateral, dimana seolah-olah hanya pihak kontraktor yang mengikatkan diri dan harus berprestasi, padahal dalam perkembangannya baik pihak kontraktor maupun pihak bouwheer saling mengikatkan diri dengan masing-masing mempunyai hak dan kewajiban masing-masing.13 Di sini tidaklah penting bagi pihak yang memborongkan pekerjaan bagaimana pihak yang memborong pekerjaan mengerjakannya, karena yang dikehendaki adalah hasil dari pekerjaan tersebut yang akan diserahkan kepadanya dalam keadaan baik (mutu dan kualitas/ kuantitas) dalam jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian.

Dalam Black’s Law Dictionary yang dimaksud kontrak konstruksi adalah

Type of contract which plans and specification for construction for made a part of the contract itself and commonly it secured by performance and payment bonds to protect both subcontractor and party for whom building is beaing constructed” Artinya kontrak konstruksi adalah suatu tipe perjanjian atau kontrak yang merencanakan dan khusus untuk konstruksi yang dibuat menjadi bagian dari perjanjian itu sendiri.14

A.1 Syarat Sah Perjanjian

Subekti membagi syarat sahnya suatu perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata ke dalam 2 kelompok, yaitu:

13

Munir Fuady, Op. Cit., hal. 13. 14

(29)

1. Syarat subyektif merupakan syarat yang menyangkutkan subyek yang mengadakan perjanjian, yaitu pihak yang mengadakan perjanjian yang terdiri dari:

a. Kesepakatan Kedua Belah Pihak

Kesepakatan adalah penyesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya.15 Persetujuan kehendak di sini harus benar-benar atas kemauan sendiri tidak ada paksaan dari pihak manapun dalam persetujuan dan tidak ada kekhilafan dan penipuan. Ada lima cara terjadinya persesuaian pernyataan kehendak, yaitu dengan:16

1) Bahasa yang sempurna dan tertulis; 2) Bahasa yang sempurna secara lisan;

3) Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan;

4) Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya; 5) Diam atau membisu asal dipahami pihak lawan.

Berdasarkan pasal 1321 KUH Perdata, kata sepakat harus diberikan secara bebas tidak boleh terdapat unsur cacat kehendak antara lain:

1) Kekhilafan, yaitu sesat dianggap ada apabila pernyatan sesuai dengan kemauan tapi kemauan itu didasarkan pada gambaran yang keliru baik mengenai orangnya (eror in persona) maupun objeknya (eror in substansia).

15

Salim H.S, Hukum Kontrak : Teori …. , Op.Cit., hal. 33.

(30)

2) Paksaan (dwang), yaitu kekerasan jasmani atau ancaman dengan sesuatu yang diperbolehkan hukum yang menimbulkan ketakutan kepada seseorang sehingga ia membuat perjanjian. Paksaan ini bukan karena kehendaknya sendiri namun adanya paksaan dari pihak lain.

3) Penipuan (bedrag), yaitu pihak yang menipu dengan daya akalnya menanamkan suatu gambaran yang keliru tentang orangnya atau objeknya sehingga pihak lain bergerak untuk menyepakati.

b. Kecakapan Bertindak

Kecakapan bertindak adalah kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum yaitu timbulnya hak dan kewajiaban. Mereka yang cakap dan berwenang untuk melakukan perbuatan hukum adalah mereka yang sudah berumur 21 tahun dan atau sudah kawin. Mengenai orang yang dianggap tidak cakap untuk membuat suatu perbuatan hukum diatur dalam Pasal 1330 KUHPerdata, yaitu:

(31)
(32)

2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampunan (curatele) yaitu mereka yang mengalami ganguan jiwa, sakit ingatannya, suka berjudi, suka mabuk-mabukan, dan pemboros.

(33)

Dalam Pasal 110 KUHPerdata disebutkan bahwa seorang istri biar ia kawin diluar persatuan harta kekayaan, atau telah berpisahan dalam hal itu, biar ia melakukan sesuatu mata pencaharian atas usaha sendiri sekalipun, namun tak bolehlah ia menghadap di muka Hakim tanpa bantuan suaminya.

Selain SEMA, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tepatnya Pasal 31 ikut memperkuat hapusnya Pasal 108 dan Pasal 110 KUHPerdata. Dengan begitu maka istri termasuk dalam subjek hukum yang cakap dalam melakukan perbuatan hukum.

2. Syarat obyektif yaitu syarat yang meliputi objek perjanjian yang terdiri dari:

a. Suatu hal tertentu

Suatu hal tertentu dalam suatu perjanjian adalah objek perjanjian. Dalam suatu kontrak objek perjanjian yang disepakati oleh para pihak harus jelas. Objek perjanjian tersebut dapat berupa barang atau jasa.17 b. Suatu sebab yang halal

Perjanjian tanpa sebab yang halal akan berakibat bahwa perjanjian tersebut akan batal demi hukum. Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan, dan ketertiban umum, sedangkan pengertian sebab (causa) disini adalah tujuan

17

(34)

daripada perjanjian, apa yang menjadi isi, kehendak dibuatnya suatu perjanjian.

Bila syarat subyektif tidak dipenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan. Artinya salah satu pihak dapat mengajukan kepada Pengadilan untuk membatalkan perjanjian yang disepakatinya. Selama tidak dibatalkan perjanjian tersebut tetap mengikat. Bila syarat obyektif tidak dipenuhi maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Artinya dari semula perjanjian itu dianggap tidak ada sehingga tidak ada dasar untuk saling menuntut di pengadilan.

A.2 Asas-Asas Perjanjian

Sebagaimana yang telah dirumuskan dalam Lokakarya Hukum Perikatan yang di selenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dari tanggal 17 sampai dengan tanggal 19 Desember 1985 dihasilkan 8 asas-asas perjanjian. Kedelapan asas tersebut antara lain:18

1. Asas kepercayaan

Setiap orang yang akan mengadakan perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang diadakan di antara mereka di belakang hari.

2. Asas persamaan hukum

Subjek hukum yang mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama dalam hukum.

18

(35)

3. Asas keseimbangan

Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik.

4. Asas kepastian hukum

Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikatnya perjanjian, yaitu sebagai Undang-Undang bagi yang membuatnya.

5. Asas moral

Asas ini di dasarkan pada kesusilaan sebagai panggilan hati nurani. 6. Asas kepatutan

Asas ini tertuang dalam Pasal 1339 KUHPerdata yang menyatakan bahwa suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau Undang-Undang. 7. Asas kebiasaan

Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur akan tetapi juga hal-hal yang menurut kebiasaan lazim diikuti.

8. Asas perlindungan (protection)

Para pihak baik kreditur maupun debitur harus dilindungi oleh hukum, namun yang perlu mendapat perlindungan itu adalah pihak debitur karena berada pada pihak yang lemah.

(36)

1. Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of making contract)

Asas ini mempunyai arti bahwa setiap orang boleh mengadakan perjanjian dengan siapa saja, dengan syarat apa saja, dalam bentuk apa saja, dan tentang apa saja walaupun belum atau tidak diatur dalam Undang-Undang. Walaupun berlaku asas ini, kebebasan berkontrak tersebut dibatasi oleh tiga hal, yaitu tidak bertentangan dengan Undang-Undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan, dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum (beginselen der contrachtsvrjheid atau party autonomy).

2. Asas Konsensualisme

Perjanjian sudah dapat dikatakan ada atau lahir pada saat adanya kata sepakat dari pihak yang membuat perjanjian walaupun belum terjadi penyerahan barang yang diperjanjikan (levering). Kesepakatan merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.19 Asas ini terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata.

3. Asas Kepastian Hukum (Pacta sunt servanda)

Setiap perjanjian yang dibuat adalah mengikat para pihak yang membuat dan berlaku seperti undang-undang bagi para pihak. Asas ini berarti bahwa perjanjian hanya belaku bagi para pihak yang membuatnya. Hal ini terdapat dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuat. Hal ini juga dimaksudkan untuk menyatakan kekuatan tentang perjanjian, yaitu kekuatan yang sama dengan suatu

19

(37)

Undang-Undang, kekuatan seperti itu diberikan kepada semua perjanjian yang dibuat secara sah. Karena itu, Hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah Undang-Undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.20

4. Asas Itikad Baik (Goede Trouw)

Asas itikat baik merupakan asas bahwa para pihak yaitu pihak kreditur dan debitur harus melakukan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan yang baik dari para pihak. Asas itikad baik dibagi menjadi dua macam, yaitu itikad baik nisbi dan itikad baik mutlak. Itikad baik nisbi dapat dilihat dengan memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Sedangkan itikad baik mutlak penilaiannya terletak pada akal sehat dan keadilan dimana di dalamnya dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan menurut norma-norma yang objektif.21 Asas ini terdapat dalam Pasal 1338 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.

5. Asas Kepribadian (Personalitas)

Pada prinsipnya asas ini menentukan bahwa suatu perjanjian berlaku bagi para pihak yang membuatnya saja. Ketentuan mengenai asas ini tercantum dalam Pasal 1315 KUHPerdata yang menyatakan bahwa pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk

20

Ibid.

21

(38)

dirinya sendiri. Dalam Pasal 1340 KUH Perdata yang menyatakan bahwa perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.

A.3 Subjek dan Objek Perjanjian

Subjek perjanjian adalah para pihak yang terdiri dari kreditur yaitu pihak yang berhak atas prestasi dan debitur yaitu pihak yang berkewajiban memenuhi prestasi yang terdiri dari manusia (natuurlijk persoon) dan badan hukum (recht persoon). Objek Perjanjian adalah segala sesuatu yang diperjanjikan oleh para pihak yang membuat perjanjian. Objek perjanjian dapat berupa benda atau jasa. Berdasarkan Pasal 503, 504, 505 KUHPerdata benda (zaak) dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:22

1. Benda bertubuh atau benda berwujud (lichamelijke zaken)

Benda ini sifatnya dapat dilihat, diraba dan dirasakan dengan panca indera. Benda bertubuh dapat dibagi lagi, yaitu:

a. Benda bergerak atau benda tidak tetap (roerende zaken) yang dapat digolongkan menjadi:

1) Benda yang dapat dihabiskan, misalnya minyak, bensin dan lain-lain.

2) Benda yang tidak dapat dihabiskan misalnya mobil, perhiasan dan lain-lain.

b. Benda tidak bergerak atau benda tetap (onroerende zaken)

Misalnya tanah, pabrik, rumah, kapal yang berukuran 20 m3 ke atas, toko, gedung, sawah, kayu di hutan dan barang-barang lain yang

22

(39)

sifatnya secara prinsip terpaku atau tertancap di tanah. Termasuk juga hak-hak seperti hak pakai hasil, hak usaha, hak bunga tanah, hak pengabdian tanah, hak pasar yang diakui pemerintah.

2. Benda tak bertubuh atau benda tak berwujud (onlichamelijke zaken)

Benda ini hanya bisa dirasakan oleh panca indera saja dan tidak dapat direalisasikan menjadi suatu kenyataan, seperti hak cipta, merek, dan lain-lain.

Perjanjian pemborongan diatur dalam beberapa aturan hukum yang berlaku sebagai payung yang melindungi para pihak yang ada di dalamnya demi terciptanya asas kepastian hukum. Dasar hukum perjanjian pemborongan, yaitu:

1. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi.

2. Pasal 1604 s/d 1617 KUHPerdata dan peraturan-peraturan khusus yang dibuat Pemerintah seperti AV 1941 (Algemene Voorwarden Voor de uitvoering bij aaneming van openbare werken in Indonesia) yang artinya syarat-syarat umum untuk pelaksanaan pemborongan pekerjaan umum di Indonesia.23 Tidak adanya ketegasan dalam pasal-pasal KUHPerdata mengenai kontrak pemborongan ini apakah bersifat hukum memaksa (mandatory law) atau hanya hukum mengatur. Sebagaiman umumnya pasal-pasal dalam buku ketiga KUHPerdata, maka kebanyakan ketentuan tentang hukum pemborongan tersebut bersifat hukum mengatur. Jadi umumnya dapat dikesampingkan oleh para pihak.24

23

F. X. Djumialdji, Op.Cit., hal. 3-4.

24

(40)

3. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa konstruksi.

Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi.

Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2010 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi.

4. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi.

Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi.

5. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan dan Pembinaan Jasa Konstruksi

6. Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/ Jasa Instansi Pemerintah.

Dibentuknya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi memiliki beberapa tujuan, yaitu:

(41)

2. Mewujudkan peningkatan peran masyarakat di bidang jasa konstruksi.

Syarat sah perjanjian pemborongan bagi pihak swasta tunduk pada Pasal 1320 KUHPerdata sedangkan bagi pihak pemerintah tunduk pada Pasal 1320 KUHPerdata dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi. Pasal 1319 KUHPerdata mengatur bahwa semua perjanjian baik yang mempunyai suatu nama khusus maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu tunduk pada peraturan-peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang lalu, karena itu para pihak yang melakukan perjanjian tidak bernama tidak hanya tunduk pada peraturan yang mengaturnya, tapi harus tunduk pula pada ketentuan dalam KUHPerdata. Dalam hal ini berlaku asas lex specialis derogat legi generalis. Jika pengaturan khusus tersebut tidak mengatur secara rinci maka dapat dipergunakan peraturan yang bersifat umum.

Pemborong bertanggung jawab dalam jangka waktu tertentu. Pada masa ini pemborong wajib melakukan perbaikan jika terbukti adanya cacat ataupun kegagalan. Menurut Pasal 25 ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, kegagalan bangunan yang menjadi tanggung jawab penyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan terhitung sejak penyerahan akhir pekerjaan konstruksi dan paling lama 10 tahun.

B. Jenis-Jenis Perjanjian Pemborongan

Berdasarkan cara terjadinya perjanjian pemborongan pekerjaan dapat dibedakan menjadi 3 bentuk yaitu:25

25

(42)

1. Perjanjian pemborongan pekerjaan yang diperoleh sebagai hasil pelelangan atas dasar penawaran yang diajukan.

2. Perjanjian pemborongan pekerjaan atas dasar penunjukkan.

3. Perjanjian pemborongan pekerjaan yang diperoleh sebagai hasil perundingan antara pemberi tugas dengan pemborong.

Berdasarkan cara penentuan harganya perjanjian pemborongan dapat dibedakan atas 3 bentuk utama sebagai berikut:26

1. Perjanjian pelaksanaan pemborongan dengan harga pasti (fixed price). Di sini harga pemborongan telah ditetapkan secara pasti, baik mengenai harga kontrak maupun harga satuan.

2. Perjanjian pelaksanaan pemborongan dengan harga lumpsum. Di sini harga borongan diperhitungkan secara keseluruhan.

3. Perjanjian pelaksanaan pemborongan atas dasar satuan (unit price).

Di sini harga yang diperhitungkan untuk setiap unit. Luas pekerjaan ditentukan menurut jumlah perkiraan atau jumlah unit.

4. Perjanjian pelaksanaan pemborongan atas dasar jumlah biaya dan upah (costplus fee).

Di sini pihak pemberi tugas akan membayar pemborongan dengan jumlah biaya yang sesungguhnya yang telah dikeluarkan ditambah dengan upahnya.

Berdasarkan usahanya perjanjian pemborongan dapat dibedakan menjadi 3 kelompok, yaitu:27

26

(43)

1. Kontrak perencanaan konstruksi, yaitu kontrak yang dibuat oleh masing-masing pihak. Salah satu pihak yaitu pihak perencana memberikan layanan jasa perencanaan dalam pekerjaan konstruksi. Layanan jasa perencanaan ini meliputi rangkaian kegiatan atau bagian dari kegiatan mulai dari studi pengembangan sampai dengan penyusunan dokumen kontrak kerja konstruksi.

2. Kontrak pelaksanaan konstruksi, yaitu kontrak antara orang perorangan atau badan usaha dengan pihak lainnya dalam pelaksanaan konstruksi. 3. Kontrak pengawasan, yaitu kontrak antara orang perorangan atau badan

usaha dengan pihak lainnya dalam pengawasan konstruksi.

Berdasarkan jangka waktunya perjanjian pemborongan dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu:28

1. Tahun tunggal, yaitu pekerjaan yang pendanaan dan pelaksanaannya direncanakan selesai selama satu tahun.

2. Tahun jamak, yaitu pekerjaan yang pendanaan dan pelaksanaannya direncanakan selesai lebih dari satu tahun.

Berdasarkan cara pembayaran hasil pekerjaan perjanjian pemborongan dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu:29

1. Sesuai kemajuan pekerjaan, yaitu kontrak yang pembayaran hasil pekerjaannya dilakukan dalam beberapa tahapan dan bisa juga pembayaran dilakukan sekaligus pada saat pekerjaan fisik selesai seluruhnya.

27

Ibid., hal. 43. 28

Ibid., hal. 45 29

(44)

2. Pembayaran secara berkala, yaitu kontrak yang pembayaran hasil pekerjaannya dilakukan secara bulanan pada setiap akhir bulan.

Berdasarkan obyeknya perjanjian pemborongan dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu:30

1. Kontrak pengadaan barang, yaitu kontrak yang dibuat oleh para pihak yang objeknya berupa barang dan dipergunakan untuk kepentingan pemerintah.

2. Kontrak konsultasi, yaitu kontrak yang dibuat oleh para pihak dimana pihak penyedia jasa memberika jasa professional dalam berbagai bidang untuk mencapai sasaran tertentu yang hasilnya berupa piranti lunak. Kontrak jenis ini disusun berdasarkan kepada kerangka acuan kerja yang sistematis yang ditetapkan pengguna jasa.

C. Para pihak Dalam Perjanjian Pemborongan

1. Pemberi Tugas (bouwheer/ aanbesteder/ owner/ employer/ client/ promoter/ buyer/ kepala kantor/ satuan kerja/ pemimpin proyek/ prinsipal/ yang memborongkan)

Pemberi tugas dapat berupa perorangan, badan hukum, instansi pemerintah ataupun swasta. Adapun tugas dan wewenang dari seorang pemberi tugas, yaitu:

a. Memeriksa dan menyetujui hasil pekerjaan pemborong. b. Menerima hasil pekerjaan.

c. Membayar harga bangunan.31

30

(45)

d. Penunjukan arsitek.

e. Wewenang dalam hubungannya dengan asuransi. f. Memberikan lokasi kepada kontraktor.

g. Kewenangan dalam hubungannya dengan ganti rugi. h. Kewenangan menetapkan pekerjaan dari kontraktor. i. Kewenangan dalam hal persertifikasian.

j. Kewenangan dalam hal arbitrase bila terjadi sengketa di kemudian hari.32

Hubungan antara pemberi tugas dengan perencana jika pemberi tugas adalah pemerintah dan perencana juga dari pemerintah maka terdapat hubungan kedinasan. Jika pemberi tugas dari pemerintah dan/atau swasta dengan perencana adalah pihak swasta yang bertindak sebagai penasihat pemberi tugas, maka hubungannya dituangkan dalam perjanjian melakukan jasa-jasa tunggal (perjanjian perencana), sedangkan apabila pemberi tugas dari pemerintah atau swasta dengan perencana dari pihak swasta yang bertindak sebagai wakil pemberi tugas (sebagai direksi) maka hubungannya dituangkan dalam perjanjian pemberian kuasa (Pasal 1792-1819 KUHPerdata).

2. Pemborong (kontraktor/ rekanan/ developer/ annamar)

Pemborong bisa perseorangan, badan hukum, swasta, maupun pemerintah. Tugas pemborong adalah:

a. Melaksanakan pekerjaan sesuai dengan kontrak. b. Menyerahkan pekerjaan.

31

F. X. Djumialdji, Op.Cit., hal. 8.

32

(46)

Penunjukan sebagai pelaksana oleh pemberi tugas dapat terjadi karena pemborong menang dalam pelelangan atau memang ditetapkan sebagai pelaksana oleh pemberi tugas. Dalam perjanjian pemborongan, pemborong dimungkinkan menyerahkan sebagian pekerjaan tersebut kepada pemborong lain yang merupakan subkontraktor berdasarkan perjanjian khusus.

Subkontraktor adalah pihak ketiga yang dilibatkan oleh pihak kontraktor utama untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban tertentu yang terbit dari kontrak konstruksi antara pihak bouwheer dengan pihak kontraktor utama, pekerjaan mana dilakukan oleh subkontraktor untuk dan atas nama pihak kontraktor utama.33 Secara yuridis hubungan hukum subkontraktor hanya dengan kontraktor utamanya saja. Apabila dilakukan pengangkatan subkontraktor maka kontraktor harus meminta persetujuan dari pengguna jasa serta menyatakan secara rinci jenis pekerjaan yang diberikan kepada subkontraktor. Pihak pemborong tetap bertanggung jawab atas segala akibat yang ditimbulkan dalam mensubkontrakkan pekerjaan. Apabila terbukti bahwa pelaksanaan pekerjaan kontraktor tidak sesuai dengan perencanaan, maka kontraktor akan dikenakan sanksi-sanksi yaitu: denda, penangguhkan pembayaran, diadakan pembongkaran atau penggantian, memasukkan nama perusahaan kontraktor ke dalam daftar hitam rekanan dan pemutuskan kontrak dengan kontraktor.

Penunjukan pada pihak subkontraktor dapat dilakukan dengan cara penunjukan sendiri oleh pihak kontraktor utama atau penunjukan subkontraktor dengan partisipasi pihak bouwheer. Pihak bouwheer campur tangan dalam

33

(47)

menentukan subkontraktor dengan alasan bouwheer hanya percaya pada kemampuan pihak kontraktor semata-mata, ketersediaan keahlian yang cukup pada kontraktor tertentu, dan ketersediaan peralatan yang cukup pada kontraktor tertentu. Apabila pihak subkontraktor gagal memenuhi kewajibannya maka pihak bouwheer dapat mengajukan klaim atas kerugiannya kepada pihak kontraktor, kecuali kontrak yang bersangkutan dengan tegas menentukan sebaliknya.34 Untuk menghindari terjadinya kerugian maka kontraktor harus benar-benar memilih subkontraktor yang memilih reputasi yang baik, bertanggung jawab dan memiliki kemampuan yang dapat diandalkan.

3. Perencana (arsitek)

Arsitek adalah perseorangan atau badan hukum yang berdasarkan keahliannya memiliki tugas, yaitu:

a. Sebagai penasihat

Di sini perencana mempunyai tugas membuat rencana biaya dan gambaran proyek sesuai dengan pesanan pemberi tugas (bouwheer).

b. Sebagai wakil

Di sini perencana bertindak sebagai pengawas dengan tugas mengawasi pelaksanaan pekerjaan. Perencana juga dapat menunjuk orang lain untuk mengawasi pelaksanaan pekerjaan (ada subsitusi).35 Sebagai wakil perencana dapat diberhentikan sewaktu-waktu apabila ditariknya kembali kuasanya si kuasa, dengan

34

Ibid., hal. 186-188.

35

(48)

pemberitahuan penghentian kuasanya oleh si kuasa, dengan meninggalnya si pemberi kuasa maupun si kuasa, dengan pengampuannya si pemberi kuasa maupun si kuasa, dengan pailitnya si pemberi kuasa maupun si kuasa, dengan perkawinannya si perempuan yang memberikan atau menerima kuasa (Pasal 1813 KUHPerdata).

4. Pengawas (Direksi)

Direksi bertugas untuk mengawasi pelaksanaan pekerjaan pemborong. Di sini pengawas memberi petunjuk-petunjuk memborongkan pekerjaan, memeriksa bahan-bahan, waktu pembangunan berlangsung dan akhirnya membuat penilaian opname dari pekerjaan. Selain itu pengawas bertugas untuk mengadakan pengumuman pelelangan yang akan dilaksanakan, memberikan penjelasan mengenai Rencana Kerja dan Syarat-Syarat (RKS) untuk pemborongan-pemborongan atau pembelian dan membuat berita acara penjelasan, melaksanakan pembukuan surat penawaran, mengadakan penilaian dan menetapan calon pemenang serta membuat berita acara hasil pelelangan dan sebagainya.36 Fungsi mewakili yang terbanyak dari direksi adalah pada fase pelaksana pekerjaan dimana direksi bertindak sebagai pengawas terhadap pekerjaan pemborong, jadi kewenangan mewakili dari direksi ini ada selama tidak ditentukan sebaliknya oleh pemberi tugas secara tertulis dalam perjanjian yang bersangkutan bahwa dalam hal-hal tertentu hanya pemberi tugas yang berwenang menanganinya.

36

(49)

D. Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Pemborongan 1. Pemberi tugas (bouwheer)

Hak-hak pihak bouwheer, yaitu :

a. Hak utama yaitu menerima hasil pekerjaan secara utuh dan sesuai ketentuan yang terdapat dalam kontrak sesuai dengan keinginan pihak pemberi tugas dan diselesaikan sesuai jadwal waktunya. b. Mengetahui jalannya pekerjaan pemborongan di lapangan.

c. Mengecek jalannya pelaksanaan pekerjaan di lapangan apakah sudah sesuai dengan perjanjian atau tidak.

d. Memperoleh laporan bulanan mengenai hasil kemajuan pekerjaan. e. Berhak untuk memperlakukan subkontraktor dalam pemenuhan

kewajiban dan konsep yang sama seperti kontraktor utama, yaitu dalam hal pekerjaan yang tidak dapat dilakukan oleh kontraktor utama, subkontraktor juga dianggap tidak dapat melakukannya. Jika kontraktor mengenai sesuatu hal dianggap tidak berkepentingan untuk melakukannya maka subkontraktor juga dianggap tidak berkepentingan untuk melakukan pekerjaan tersebut.

f. berhak untuk memutuskan perjanjian dengan didahului dengan pemberitahuan secara tertulis apabila denda keterlambatan penyelesaian proyek telah mencapai batas maksimum yaitu 10% (sepuluh persen) dari nilai kontrak.

(50)

a. Kewajiban utama adalah melakukan pembayaran sesuai dengan nilai kontrak dari pihak pemborong jika pemborong telah menyelesaikan pekerjaannya.

b. Membayar uang maka pekerjaan (down payment) kepada pihak pemborong setelah menerima jaminan pelaksanaan dari pihak pemborong.

c. Memberikan pengarahan dan bimbingan apabila dalam pelaksanaan pekerjaan lapangan terdapat hal-hal menyimpang di luar isi perjanjian.

d. Memberikan biaya tambahan atas kenaikan harga atau jasa sehubungan dengan pekerjaan tersebut.

2. Pemborong (kontraktor)

Hak-hak pihak pemborong,yaitu:

a. Hak utama adalah menerima pembayaran sebesar nilai kontrak dari pihak pemberi tugas.

b. Hak mendapatkan uang muka (down payment) dari pihak pemberi borongan pekerjaan bangunan sesuai dengan yang diperjanjikan. c. Berhak menuntut tambahan biaya atas kenaikan harga barang atau

jasa sehubungan dengan perkerjaan itu dengan syarat telah mendapat ijin dari pemberi borongan pekerjaan tentang klaim yang diajukan pihak pemborong.

(51)

e. Mencari tambahan dana dari pihak ketiga.

f. kontraktor utama berhak untuk memberlakukan syarat-syarat dari perjanjian induk kepada subkontraktor yang berarti mengalihkan beban yang diwajibkan oleh pemberi tugas yang semula berlaku bagi kontraktor utama menjadi berlaku bagi subkontraktor.

g. kontraktor dapat juga berhak atas pembayaran mengerjakan bangunan tersebut jika si pemberi tugas lalai untuk melakukan pemeriksaan dan menyetujui pekerjaan atau bendanya menjadi rusak karena cacat.

Kewajiban-kewajiban pihak pemborong, yaitu :

a. Kewajiban utama adalah menyelesaikan pekerjaan pemborongan pekerjaan bangunan yang diberikan pihak pemberi borongan pekerjaan.

b. Mentaati dan melaksanakan ketentuan umum yang berlaku di Indonesia termasuk ketentuan mengenai hubungan ketenagakerjaan dan keselamatan kerja.

c. Mengadakan tindakan preventif agar pelaksanaan pekerjaan dapat dilaksanakan dengan cara yang benar dan tidak membahayakan keselamatan, baik bagi para pekerja atau yang berdampak buruk bagi masyarakat sekitar.

(52)

e. Melakukan pekerjaan pemeliharaan pekerjaan selama 30 (tiga puluh) hari sejak penyerahan pertama dilakukan.

f. Membuat laporan setengah harian dan setengah bulan atas kemajuan fisik yang dicapai dalam pelaksanaan pekerjaan.

g. Mengadakan pemberitahuan secara tertulis apabila terjadi force majeure pada pihak pemberi tugas.

h. Jika ada kekurangan atau kekeliruan dalam gambar bestek, maka pemborong wajib memberitahukan pada pemberi tugas dan pemborong wajib bertanggung jawab atas kekurangan serta keamanan dan konstruksi hasil pekerjaan, sehingga jika pekerjaan yang tidak baik, pemborong masih berkewajiban memperbaiki atas biaya pemborong sampai baik dan diterima pihak pemberi tugas.

i. Pemborong yang melakukan pekerjaan dan menyediakan material, jika kemudian pekerjaannya musnah sebelum penyerahan pekerjaan maka risiko ada pada pemborong, ini berarti pemborong harus mengerjakan lagi dengan material yang baru kecuali jika si pemberi tugas telah lalai melakukan pemeriksaan dan menyetujui pekerjaan tersebut maka risiko beralih pada pemberi tugas (Pasal 1650 KUH Perdata).

(53)

Sebagai tambahan pula bahwa peran serta masyarakat dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan tidak dapat dihilangkan begitu saja. dalam hal ini masyarakat pun memiliki hak dan kewajibannya. Hak masyarakat berdasarkan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, yaitu:

1. Melakukan pengawasan untuk mewujudkan tertib pelaksanaan jasa konstruksi.

2. Memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang dialami secara langsung sebagai akibat penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.

Kewajiban masyarakat berdasarkan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, yaitu:

1. Menjaga ketertiban dan memenuhi ketentuan yang berlaku di bidang Pelaksanaan jasa konstruksi.

2. Turut mencegah terjadinya pekerjaan konstruksi yang membahayakan kepentingan umum.

E. Metode Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan

Dalam tahap awal pelaksanaan perjanjian pemborongan dilakukan kualifikasi perusahaan pemborongan, yaitu:37

1. Golongan C3 adalah pemborong yang mampu melaksanakan pekerjaan pemeliharaan/ perbaikan ringan dan pembangunan dengan persyaratan teknis sederhana bernilai di atas Rp 5.000.000 (lima juta rupiah) sampai dengan Rp 20.000.000 (dua puluh juta rupiah).

37

(54)

2. Golongan C2 adalah pemborong yang mampu melaksanakan pekerjaan pemeliharaan/ perbaikan ringan dan pembangunan dengan persyaratan teknis sederhana bernilai di atas Rp 20.000.000 (dua puluh juta rupiah) sampai dengan Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah).

3. Golongan C1 adalah pemborong yang mampu melaksanakan pekerjaan pemeliharaan/ perbaikan ringan dan pembangunan dengan persyaratan teknis sederhana bernilai di atas Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah).

4. Golongan B2 adalah pemborong yang mampu melaksanakan perbaikan dan pembangunan dengan persyaratan teknis madya di atas Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah) sampai dengan Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah).

5. Golongan B1 adalah pemborong yang mampu melaksanakan perbaikan dan pembangunan dengan persyaratan teknis madya di atas Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) sampai dengan Rp 1.000.000.000 (satu miliyar rupiah).

6. Golongan A adalah pemborong yang mampu melaksanakan pekerjaan perbaikan dan pembangunan dengan persyaratan teknis tinggi atau sangat tinggi bernilai di atas RP 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).

Setelah tahap pengkualifikasian perusahaan pemborongan selesai lalu lanjut ke tahap selanjutnya, yaitu:38

1. Pelelangan umum

38

(55)

Pelelangan umum adalah pelelangan yang dilakukan secara terbuka dengan pengumuman secara luas melalui media masa dan atau pada papan pengumuman resmi untuk penerangan umum, sehingga masyarakat luas atau dunia usaha yang berminat dapat mengikutinya. Pelelangan umum dilakukan denga cara sebagai berikut:

a. Diadakannya pengumuman kepada yang berminat. b. Pemberian penjelasan.

c. Pengajuan penawaran kepada panitia. d. Pembukaan surat penawaran.

e. Penetapan calon pemenang pelelangan. f. Penetapan pemenang pelelangan. g. Pengumuman pemenang pelelangan. h. Penunjukan pemenang.

2. Pelelangan terbatas

Pelelangan terbatas adalah pelelangan untuk pekerjaan tertentu yang dilakukan di antara pemborong atau rekanan yang dipilih dari pemborong atau rekanan yang terdaftar dalam Daftar Rekanan Mampu (DRM) sesuai dengan bidang usaha atau ruang lingkupnya atau klasifikasi kemampuannya.

3. Penunjukan langsung

(56)

pelelangan terbatas dan dilakukan diantara sekurang-kurangnya tiga penawar dari pemborong atau rekanan yang tercatat dalam Daftar Rekanan Mampu (DRM). Penunjukan langsung bisa terjadi karena alasan khusus berhubungan dengan telah terjadinya bencana alam berdasarkan pernyataan Kepala Daerah yang bersangkutan. Contohnya penunjukan langsung pada pihak-pihak pemborong untuk membangun kembali Nangroe Aceh Darusalam pasca tsunami yang melanda Aceh 26 Desember 2004 lalu. Penunjukan langsung ini dikarenakan pekerjaan yang tidak dapat ditunda-tunda lagi yang membutuhkan tindakan yang cepat.

4. Pengadaan langsung

(57)

BAB III

PERJANJIAN PENGADAAN BARANG/JASA

A. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian Pengadaan Barang/Jasa

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah yang dimaksud dengan pengadaan barang/ jasa adalah kegiatan untuk memperoleh barang/ jasa oleh Kementerian/ Lembaga/ Satuan Kerja Perangkat Daerah/ Institusi yang prosesnya (K/ L/D/ I) dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh Barang/ Jasa.

(58)
(59)

70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah mencakup berbagai perubahan kebijakan yang secara signifikan berpengaruh terhadap pengadaan barang/ jasa pemerintah (PB/JP), penyerapan anggaran negara, dan pencegahan korupsi dalam PB/JP. Dengan kata lain, perubahan ini dimaksudkan untuk melakukan perubahan yang menyeluruh terhadap sistem pengadaan barang/ jasa yaitu dengan membuat sistem pengadaan menjadi lebih sederhana dan mudah dilaksanakan.

Dasar hukum perjanjian pengadaan barang/ jasa terdapat dalam:

1. Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah.

2. Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah.

3. Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2005 tentang Perubahan Kedua atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah.

4. Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2005 tentang Perubahan Ketiga atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah.

(60)

6. Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2006 tentang Perubahan Kelima atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah.

7. Peraturan Presiden Nomor 85 Tahun 2006 tentang Perubahan Keenam atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah.

8. Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketujuh atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah.

9. Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah.

10.Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2011 tentang Perubahan Pertama atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah.

11.Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah.

(61)

Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah yang ditandatangani oleh Presiden pada tanggal 6 Agustus 2010, maka sejak 1 Januari 2011 Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Walaupun Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah secara hukum sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, tetapi oleh LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah) diberikan aturan peralihan dan pengecualian bagi kontrak-kontrak yang sedang berjalan. Perjanjian atau kontrak yang telah ditanda tangani berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah tetap berlaku sampai dengan berakhirnya perjanjian atau kontrak.

Kemudahan-kemudahan yang merupakan hal baru dalam Perpres Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah antara lain:

(62)

sebelumnya harus dilaksanakan dengan cara lelang sederhana, sekarang dibolehkan dengan cara pengadaan langsung tanpa proses lelang.

b. Percepatan waktu proses pemilihan penyedia barang/ jasa. Contohnya waktu penayangan pengumuman yang sebelumnya 7 hari kerja, sekarang untuk lelang/ seleksi sederhana dipercepat menjadi 4 hari kerja, masa sanggah yang sebelumnya 5 hari kerja, sekarang untuk lelang/ seleksi sederhana dikurangi menjadi 3 hari kerja.

c. Penyederhanaan dokumen pembayaran. Contohnya pengadaan barang/jasa dengan nilai sampai dengan Rp10.000.000 (sepuluh juta rupiah) yang sebelumnya harus menggunakan kuitansi, sekarang cukup dengan mengunakan bukti pembelian. Pengadaan barang/ jasa dengan nilai di atas Rp10.000.000 (sepuluh juta rupiah) sampai dengan Rp50.000.000 (lima puluh juta rupiah) yang sebelumnya harus menggunakan surat perintah kerja (SPK), sekarang cukup dengan mengunakan kuitansi. Pengadaan barang jasa dengan nilai di atas Rp50.000.000 (lima puluh jita rupiah) sampai dengan Rp200.000.000 (dua ratus juta rupiah) yang sebelumnya harus menggunakan surat perjanjian, sekarang cukup dengan mengunakan surat perintah kerja (SPK).

(63)

Perubahan yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah bertujuan menghilangkan penyumbatan dalam daya serap (bottlenecking) dan multi tafsir yang membuat penyerapan anggaran terlambat dan memperjelas arah reformasi kebijakan pengadaan yang meliputi:

1. Percepatan penyerapan anggaran dengan dibuatnya ketentuan baru tentang:

a. Kewajiban setiap K/L/D/I membuat rencana umum pengadaan dan rencana penarikan;

b. Kewajiban melaksanakan pengadaan di awal tahun;

c. Memperluas penggunaan e-katalog untuk barang-barang yang spesifikasi dan harganya jelas di pasaran, seperti obat, alat kesehatan, alat pertanian, alat berat, bibit padi/ jagung, dan sejenisnya;

d. Menaikkan nilai pengadaan langsung;

e. Hasil pengadaan langsung harus diumumkan di website masing-masing K/L/D/I untuk mencegah terjadinya penyimpangan;

(64)

h. Pengecualian persyaratan sertifikat keahlian untuk PPK yang dijabat Eselon II keatas atau dijabat oleh PA/KPA apabila tidak ada pejabat yang memenuhi persyaratan bersertifikat;

i. Memperpendek waktu pelelangan sederhana menjadi paling kurang 12 (dua belas) hari kerja semula 14 (empat belas) hari kerja;

j. Pendelegasian menjawab sanggah banding;

k. Menaikan jaminan sanggah banding semula dua per seribu dari nilai total harga perkiraan sendiri (HPS) atau paling tinggi sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) menjadi 1% dari nilai HPS;

l. Mengubah besaran uang muka kontrak tahun jamak maksimum; dan

m. Larangan afiliasi. Afiliasi adalah keterkaitan hubungan baik antara penyedia barang/ jasa dengan PPK dan/atau ULP/ pejabat pengadaan berdasarkan hubungan seperti hubungan keluarga karena keturunan maupun perkawinan, pejabat pengadaan baik langsung atau pun tidak langsung menjalankan perusahaan pengadaan barang/ jasa, dan hubungan antara dua perusahaan yang dikendalikan baik langsung maupun tidak langsung oleh pihak yang sama yaitu 50% pemegang aham atau pengurusnya.

2. Memperjelas dan menghilangkan ketentuan yang multi tafsir yaitu:

(65)

b. Memperjelas tugas dan kewenangan Ketua dan Pokja ULP; c. Memperjelas penyetaraan teknis untuk pelelangan;

d. Memperjelas bahwa yang berhak menyanggah adalah peserta yang memasukan penawaran; dan

e. Memperjelas arah reformasi kebijakan pengadaan.

B. Prinsip Pengadaan Barang/ Jasa

Prinsip-prinsip pengadaan barang/ jasa antara lain: 39

1. Efisien yaitu pengadaan barang/ jasa harus diusahakan dengan menggunakan dana dan daya terbatas untuk mencapai sasaran yang ditetapkan dalam waktu sesingkat-singkatnya dan dapat dipertanggung jawabkan.

2. Efektif yaitu pengadaan barang/ jasa harus didasarkan pada kebutuhan yang telah ditetapkan (sasaran yang ingin dicapai) dan dapat memberikan manfaat yang tinggi dan sebenar-benarnya sesuai dengan sasaran yang dimaksud.

3. Persaingan sehat yaitu diberinya kesempatan kepada semua penyedia barang/ jasa yang setara dan memenuhi semua persyaratan sesuai dengan ketentuan untuk menawarkan barang/ jasanya berdasarkan etika dan norma pengadaan yang berlaku dan tidak terjadi kecurangan dan praktik KKN.

39

(66)

4. Terbuka (transparansi) yaitu memberikan semua informasi dan ketentuan mengenai pengadaan barang/ jasa.

5. Tidak diskriminatif (adil) yaitu pemberian perlakuan y

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu dengan menggunakan rekomendasi pengendalian internal menurut COSO yang terdiri dari lima elemen yaitu, lingkungan pengendalian, penaksiran resiko, aktivitas

Tanggul nggul penutup penutup sementara sementara sebaiknya sebaiknya dirancang dirancang dengan dengan menggunakan geotube dengan dimensi cukup kuat menahan terjangan

Analisis respons siswa terhadap perangkat dan kegiatan pembelajaran berorientasikan model pemaknaan mata pelajaran IPA kelas IV, yakni sebagai berikut.

Dari sini muncul beberapa pertanyaan yang menjadi fokus kajian tulisan ini, yaitu: Bagaimana kehujjahan maslahat sebagai dalil hukum ketika kontradiksi dengan nash (teks)

D alam dasawarsa terakhir, perkembangan metode kajian Islam mengalami kemajuan yang signifikan, di samping karena adanya warisan klasik kesarjanaan muslim yang hingga kini

In connection to community based clean water services, respondent is asked their respond on (a) quality of services, (b) necessity of water services, (c) water quality, (d)

Jenis penelitian ini adalahkualitatifmenggunakan pendekatangrounded research dengan menggunakan suatu teknik constant comparation, yaitu sewaktu penelitian berada di

Oleh karena itu, perlindungan kebudayaan daerah selain diupayakan melalui pembuatan dan diseminasi perundang-undangan, peraturan atau perangkat hukum lainnya, juga