• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan Konsep Diversi dan Restorative Justice Sebagai Upaya Perlindungan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pada Tahap Penyidikan, Penuntutan dan Persidangan (Studi Kasus di Kota Kabanjahe)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Penerapan Konsep Diversi dan Restorative Justice Sebagai Upaya Perlindungan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pada Tahap Penyidikan, Penuntutan dan Persidangan (Studi Kasus di Kota Kabanjahe)"

Copied!
131
0
0

Teks penuh

(1)

Penerapan Konsep Diversi dan Restorative Justice Sebagai Upaya Perlindungan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pada Tahap

Penyidikan, Penuntutan dan Persidangan (Studi Kasus di Kota Kabanjahe)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dalam memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh gelar sarjana hukum

Oleh

Dian Antasari Br. Ginting Nim: 070200156

Departemen Hukum Pidana

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

Penerapan Konsep Diversi dan Restorative Justice Sebagai Upaya Perlindungan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pada Tahap

Penyidikan, Penuntutan dan Persidangan (Studi Kasus di Kota Kabanjahe)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dalam memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh gelar sarjana hukum

Oleh

Dian Antasari Br. Ginting Nim: 070200156

Departemen Hukum Pidana

Ketua departemen Hukum Pidana

(Dr. M.Hamdan, SH.M.Hum) NIP: 195703261986011001

Pembimbing I Pembimbing II

(Liza Erwina, SH.M.Hum) (Dr.Marlina, SH.,M.Hum) NIP: 196110241989032002 NIP: 197503072002122002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... i

ABSTRAKSI ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 5 C. Tujuan Penulisan ... 5

D. Manfaat Penulisan ... 6

E. Keaslian Penulisan ... 7

F. Tinjauan Pustaka ... 8

G. Metode Penelitian ... 23

H. Sistematika Penulisan ... 25 BAB II. PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA ANAK DALAM PROSES PERADILAN PIDANA ANAK (studi kasus anak pelaku tindak pidana pencabulan di Karo) ... 27

A. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pada Tahap Penyidikan, Penuntutan dan Persidangan ... 34

1. Tahap Penyidikan ... 34

2. Tahap Penuntutan ... 57

3. Tahap Persidangan ... 65

... B. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pada Tahap Penyidikan, Penuntutan dan Persidangan di Kabanjahe ... 74

(4)

2. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pada Tahap

Penuntutan di Kejaksaan Negeri Kabanjahe ... 84

3. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pada Tahap Persidangan di Pengadilan Negeri Kabanjahe ... 88

BAB III. PENERAPAN KONSEP DIVERSI DAN RESTORATIVE JUSTICE SEBAGAI UPAYA PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA ... 95

A. Penerapan Konsep Diversi dan Restorative Justice Sebagai Upaya Perlindungan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pada Tahap Penyidikan di Polres Kabanjahe ... 101

B. Penerapan Konsep Diversi dan Restorative Justice Sebagai Upaya Perlindungan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pada Tahap Penuntutan di Kejaksaan Negeri Kabanjahe ... 106

C. Penerapan Konsep Diversi dan Restorative Justice Sebagai Upaya Perlindungan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pada Tahap Persidangan di Pengadilan Negeri Kabanjahe ... 110

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 117

A. Kesimpulan ... 117

B. Saran ... 119

(5)

Penerapan Konsep Diversi dan Restorative Justice Sebagai Upaya Perlindungan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pada Tahap

Penyidikan, Penuntutan dan Persidangan (Studi Kasus di Kota Kabanjahe)

ABSTRAKSI

Oleh : Dian Antasari Ginting

Negara Republik Indonesia telah meratifikasi konvensi hak anak melalui Keppress No. 36 tahun 1990. Peratifikasian ini sebagai upaya negara untuk memberikan perlindungan terhadap anak di Indonesia. Dalam hukum nasional perlindungan khusus anak yang berhadapan dengan hukum juga diatur dalam Undang-undang Perlindungan Anak No.23 tahun 2002 dan juga Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak. Namun dalam pelaksanaannya masih banyak persoalan-persoalan yang timbul, khususnya dalam hal anak yang berkonflik dengan hukum. Oleh karena itu salah satu solusi yang dapat digunakan adalah dengan pelaksanaan diversi (pengalihan) atau dengan restorative justice.

Adapun yang menjadi permasalahan adalah Pertama Bagaimana penerapan perlindungan hukum terhadap anak pelaku tindak pidana dalam proses peradilan pidana anak di Kabanjahe?, Kedua, Bagaimana penerapan konsep diversi dan restorative justice sebagai upaya perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana pada tahap penyidikan, penuntutan dan persidangan di Kabanjahe?

Untuk menjawab permasalahan tersebut peneliti mempergunakan metode penelitian yuridis normatif dan yuridis sosiologis. Data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh dari studi lapangan dan data sekunder dari studi pustaka. Studi lapangan dilakukan dengan wawancara kepada informan. Analisa data dilakukan secara kualitatif.

Hasil penelitian, bahwa Proses Peradilan anak pelaku tindak pidana di kabanjahe masih belum sepenuhnya melaksanakan prosedur dan tata cara sebagaimana diatur dalam UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

Pelaksanaan konsep diversi dan Restorative justice pada proses peradilan anak di Kabanjahe masih belum dilaksanakan. Padahal demi kepentingan terbaik bagi anak sudah selayaknya dalam proses peradilan anak menerapkan konsep diversi dan Restorative justice karena menghormati dan tidak melanggar hak anak.

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur selalu kepada Tuhan Yang Maha Baik pemilik langit dan

bumi yang senantiasa memberikan kasih karunia dan anugerah selama penulis

hidup. Atas perkenan-Nya juga penulis dapat mengecap studi di kampus serta

menyelesaikan pembuatan skripsi ini.

Adalah sebuah sukacita besar dan kesempatan yang luar biasa manakala

penulis dapat merampungkan pembuatan skripsi ini. Seperti kita ketahui bahwa

skripsi merupakan merupakan salah satu syarat bagi Mahasiswa/i pada umumnya

dan Mahasiswa/i Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara pada khususnya

guna melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat guna mencapai gelar

Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan merupakan

kewajiban bagi setiap mahasiswa. Dimana skripsi ini diberi judul PENERAPAN

KONSEP DIVERSI DAN RESTORATIVE JUSTICE SEBAGAI UPAYA PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA PADA TAHAP PENYIDIKAN, PENUNTUTAN DAN PERSIDANGAN (STUDI KASUS DI KOTA KABANJAHE) untuk dituangkan dalam tulisan skripsi ini.

Tak ada gading yang tak retak. Kira-kira pepatah demikianlah yang sangat

cocok untuk mendeskripsikan keadaan skripsi ini yang masih sangat jauh dari kata

sempurna. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat kekurangan

disana-sini dalam isi maupun bagian skripsi ini. Namun atas dasar sifat manusiawi

yang bisa dan sering melakukan kesalahan, dengan segala hormat penulis

meminta maaf. Oleh karenanya tak pelak bahwa saran, kritik, dan ide-ide baru

(7)

karenanya akan diterima dengan senang hati serta penuh bijaksana. Di atas

semuanya, perkenankanlah dengan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih

yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof.Dr.Runtung,SH,M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof.Dr.Budiman Ginting,SH,MHum, selaku Pembantu Dekan I

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan,SH,MH,DFM selaku Pembantu Dekan II

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Muhammad Husni,SH,M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr.M.Hamdan, SH.M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum

Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Ibu Liza Erwina, SH.M.Hum, selaku dosen pembimbing I yang dengan

penuh kesabaran menghadapi penulis selama menulis skripsi.

7. Ibu Dr.Marlina, SH.,M.Hum., selaku dosen pembimbing II yang banyak

menuntun penulis dari awal sampai akhir pembuatan skripsi.

8. Seluruh staff pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang

telah banyak memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis ketika duduk

di bangku perkuliahan.

9. Seluruh Pegawai Administrasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera

(8)

Akhir kata semoga penulisan skripsi ini dapat menambah pengetahuan dan

membuka sebuah cakrawala berpikir yang baru bagi kita semua yang

membacanya.

Medan, Juni 2011

Penulis

(9)

Penerapan Konsep Diversi dan Restorative Justice Sebagai Upaya Perlindungan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pada Tahap

Penyidikan, Penuntutan dan Persidangan (Studi Kasus di Kota Kabanjahe)

ABSTRAKSI

Oleh : Dian Antasari Ginting

Negara Republik Indonesia telah meratifikasi konvensi hak anak melalui Keppress No. 36 tahun 1990. Peratifikasian ini sebagai upaya negara untuk memberikan perlindungan terhadap anak di Indonesia. Dalam hukum nasional perlindungan khusus anak yang berhadapan dengan hukum juga diatur dalam Undang-undang Perlindungan Anak No.23 tahun 2002 dan juga Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak. Namun dalam pelaksanaannya masih banyak persoalan-persoalan yang timbul, khususnya dalam hal anak yang berkonflik dengan hukum. Oleh karena itu salah satu solusi yang dapat digunakan adalah dengan pelaksanaan diversi (pengalihan) atau dengan restorative justice.

Adapun yang menjadi permasalahan adalah Pertama Bagaimana penerapan perlindungan hukum terhadap anak pelaku tindak pidana dalam proses peradilan pidana anak di Kabanjahe?, Kedua, Bagaimana penerapan konsep diversi dan restorative justice sebagai upaya perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana pada tahap penyidikan, penuntutan dan persidangan di Kabanjahe?

Untuk menjawab permasalahan tersebut peneliti mempergunakan metode penelitian yuridis normatif dan yuridis sosiologis. Data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh dari studi lapangan dan data sekunder dari studi pustaka. Studi lapangan dilakukan dengan wawancara kepada informan. Analisa data dilakukan secara kualitatif.

Hasil penelitian, bahwa Proses Peradilan anak pelaku tindak pidana di kabanjahe masih belum sepenuhnya melaksanakan prosedur dan tata cara sebagaimana diatur dalam UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

Pelaksanaan konsep diversi dan Restorative justice pada proses peradilan anak di Kabanjahe masih belum dilaksanakan. Padahal demi kepentingan terbaik bagi anak sudah selayaknya dalam proses peradilan anak menerapkan konsep diversi dan Restorative justice karena menghormati dan tidak melanggar hak anak.

(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak merupakan aset bangsa, sebagai bagian dari generasi muda anak

berperan sangat strategis sebagai successor suatu bangsa. Dalam konteks

Indonesia, anak adalah penerus cita-cita perjuangan suatu bangsa. Selain itu, anak

merupakan harapan orang tua, harapan bangsa dan negara yang akan melanjutkan

tongkat estafet pembangunan serta memiliki peran strategis, mempunyai ciri atau

sifat khusus yang akan menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada

masa depan. Oleh karena itu, setiap anak harus mendapatkan pembinaan sejak

dini, anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk dapat tumbuh

dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial. Terlebih lagi

bahwa masa kanak-kanak merupakan periode pembentukan watak, kepribadian

dan karakter diri seorang manusia, agar kehidupan mereka memiliki kekuatan dan

kemampuan serta berdiri tegar dalam meniti kehidupan. 1

Namun, anak gampang terpengaruh oleh berbagai macam tindakan yang

menimbulkan kerugian mental, fisik, sosial dalam berbagai bidang kehidupan dan

penghidupan, dan dari berbagai pengaruh sistem yang ada. Pada hakikatnya anak

tidak dapat melindungi diri sendiri dari berbagai macam tindakan tersebut, oleh

karena itu anak harus dibantu oleh orang lain dalam melindungi dirinya,

1

(11)

mengingat situasi dan kondisinya.2

Anak yang melakukan pelanggaran hukum atau melakukan tindakan

kriminal sangat dipengaruhi beberapa faktor lain di luar diri anak seperti

pergaulan, pendidikan, teman bermain dan sebagainya, karena tindak pidana yang

dilakukan oleh anak pada umumnya adalah merupakan proses meniru ataupun

terpengaruh tindakan negatif dari orang dewasa atau orang disekitarnya. Ketika

anak tersebut diduga melakukan tindak pidana, sistem peradilan formal yang ada

pada akhirnya menempatkan anak dalam status narapidana tentunya membawa

konsekuensi yang cukup besar dalam hal tumbuh kembang anak. Proses

penghukuman yang diberikan kepada anak lewat sistem peradilan pidana formal

dengan memasukkan anak ke dalam penjara ternyata tidak berhasil menjadikan

anak jera dan menjadi pribadi yang lebih baik untuk menunjang proses tumbuh

kembangnya. Penjara justru seringkali membuat anak semakin profesional dalam

melakukan tindak kejahatan.

Oleh karenanya, negara harus memberikan

perlindungan terhadap anak apabila anak tersebut menjadi pelaku tindak pidana.

Perlindungan anak ini dapat dilakukan dari segala aspek, mulai pada pembinaan

pada keluarga, kontrol sosial terhadap pergaulan anak, dan penanganan yang tepat

melalui peraturan-peraturan yang baik yang dibuat oleh sebuah negara.

3

2

Mukaddimah Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

3

M. Joni dan Zulchaina Z. Tanamas, Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1999, hal. 1, dikutip dari UNICEF, Situasi Anak di Dunia 1995, Jakarta 1995, hlm. 1.

Untuk melakukan perlindungan terhadap anak dari

pengaruh proses formal sistem peradilan pidana, maka timbul pemikiran manusia

atau para ahli hukum dan kemanusiaan untuk membuat aturan formal tindakan

(12)

melakukan tindak pidana dari proses peradilan pidana dengan memberikan

alternatif lain yang dianggap lebih baik untuk anak.

Negara Republik Indonesia telah meratifikasi konvensi hak anak melalui

Keppres No.36 Tahun 1990 tentang pengesahan Convention on The Right of Child

(Konvensi tentang hak-hak anak). Peratifikasian ini sebagai upaya negara untuk

memberikan perlindungan terhadap anak. Dari berbagai isu yang ada dalam

konvensi hak anak salah satunya yang sangat membutuhkan perhatian khusus

adalah anak, diantaranya anak yang berkonflik dengan hukum. Secara hukum

Negara Indonesia telah memberikan perlindungan kepada anak melalui berbagai

peraturan perundang-undangan di antaranya Undang-Undang No.3 Tahun 1997

tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang No.39 tentang Hak Asasi Manusia dan

Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Salah satu solusi

yang dapat ditempuh dalam penanganan perkara tindak pidana anak adalah

pendekatan restorative juctice, yang dilaksanakan dengan cara pengalihkan

(diversi). Restorative justice merupakan proses penyelesaian yang dilakukan di

luar sistem peradilan pidana (Criminal Justice System) dengan melibatkan korban,

pelaku, keluarga korban dan pelaku, masyarakat serta pihak-pihak yang

berkepentingan dengan suatu tindak pidana yang terjadi untuk mencapai

kesepakatan dan penyelesaian. Restorative justice dianggap cara

berfikir/paradigma baru dalam memandang sebuah tindak kejahatan yang

dilakukan oleh seseorang.

Akan tetapi dalam pelaksanaannya sistem peradilan pidana anak di

Indonesia masih menghadapi berbagai persoalan. Persoalan yang ada diantaranya

(13)

peradilan yang panjang mulai dari penyidikan, penuntutan, pengadilan, yang pada

akhirnya menempatkan terpidana anak berada dalam lembaga pemasyarakatan

ataupun yang dikembalikan ke masyarakat dengan putusan bebas tetap akan

meninggalkan trauma dan implikasi negatif terhadap anak.

Kondisi ini menarik penulis untuk melakukan penelitian proses peradilan

tindak pidana anak mulai dari tahap penahanan hingga pada akhirnya persidangan

di Kabupaten Karo. Berdasarkan data yang diperoleh dari Polres Kabupaten Karo,

diketahui bahwa unit pelayanan anak baru dibentuk dua tahun terakhir dan pada

tahun-tahun sebelumnya sesudah UU Perlindungan anak dikeluarkan, penanganan

tindak pidana anak ada di unit pelayanan umum. Berdasarkan data yang diperoleh,

tindak pidana anak di Polres Kabupaten Karo untuk tahun 2010 berjumlah 37

kasus dan untuk tahun 2011 hingga pertengahan April ada sebanyak 26 kasus.

Tabel 1 Tindak pidana anak di Kabupaten Karo

No. Tindak Pidana

Tahun

2010 2011

1 Penganiayaan 5 Kasus 2 Kasus

2 Pencabulan 31 Kasus 22 Kasus

3 Pencurian 1 Kasus 2 Kasus

Jumlah 37 Kasus 26 Kasus

Sumber : Unit Pelayanan Anak Polres Kabupaten Karo 2011

Berdasarkan data yang ditampilkan diatas diketahui bahwa tindak pidana

(14)

untuk meneliti bagaimana “Penerapan Konsep Diversi dan Restorative Justice

Sebagai Upaya Perlindungan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pada Tahap Penyidikan, Penuntutan dan Persidangan ( Studi Kasus di Kota Kabanjahe )”

B. Permasalahan

Permasalahan merupakan acuan untuk melakukan penelitian dan juga

menentukan bahasan selanjutnya sehingga sasaran dapat tercapai. Dapat juga

dikatakan secara singkat bahwa “tiada suatu penelitian tanpa adanya masalah.”

Selain itu, pokok materi pembahasan dan tujuan dari penelitian ini tergambar dari

permasalahan yang dikemukakan oleh penulis.

Untuk mendapatkan dan mendekati nilai objektif dalam penelitian, maka

penulis membatasi masalah yang menyangkut penulisan skripsi ini adalah sebagai

berikut:

1. Bagaimana penerapan perlindungan hukum terhadap anak pelaku tindak

pidana dalam proses peradilan pidana anak di Kabanjahe?

2. Bagaimana penerapan konsep diversi dan restorative justice sebagai upaya

perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana pada tahap penyidikan,

penuntutan dan persidangan di Kabanjahe?

C. Tujuan Penulisan

(15)

1. Untuk mengetahui Bagaimana penerapan perlindungan hukum terhadap anak

pelaku tindak pidana dalam proses peradilan pidana anak pada tahap

penyidikan di Polres Karo, penuntutan di Kejaksaan Negeri Kabanjahe dan

persidangan di Pengadilan Negeri Kabanjahe.

2. Untuk mengetahui Bagaimana penerapan konsep diversi dan restorative

justice sebagai upaya perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana pada

tahap penyidikan di Polres Karo, penuntutan di Kejaksaan Negeri Kabanjahe

dan persidangan di Pengadilan Negeri Kabanjahe.

D. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat yang diperoleh dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai

berikut :

Manfaat Secara Teoritis

Pembahasan terhadap masalah-masalah dalam skripsi ini tentu akan

menambah pemahaman dan pandangan baru kepada semua pihak baik

masyarakat pada umumnya maupun para pihak yang berhubungan dengan

dunia hukum pada khususnya. Skripsi ini juga diharapkan dapat

memberikan masukan bagi penyempurnaan perangkat peraturan

perundang-undangan dan kebijakan terhadap penegakan hukum

perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum.

Manfaat Secara Praktis

Penelitian skripsi ini diharapkan dapat menjadi pedoman dan bahan

(16)

aparat penegak hukum/pemerintah tentang penegakan hukum dalam hal

anak yang berhadapan dengan hukum.

E. Keaslian Penulisan

Dalam hal penulisan skripsi ini, penulis mencoba menyajikan sesuai dengan

fakta-fakta yang akurat dan sumber yang terpercaya sehingga skripsi ini tidak jauh

dari kebenarannya. Dalam menyusun skripsi ini pada prinsipnya penulis

membuatnya dengan melihat dasar-dasar yang telah ada baik melalui literature

yang penulis peroleh dari perpustakaan dan dari media massa baik cetak maupun

elektronik yang akhirnya penulis tuangkan dalam skripsi ini serta ditambah lagi

dengan riset yang dilakukan penulis langsung ke lapangan dan wawancara penulis

dengan pihak yang berkompeten.

Kemudian setelah penulis memeriksa judul-judul skripsi yang ada di

Fakultas Hukum USU, maka judul mengenai Penerapan Konsep Diversi dan

Restorative Justice Sebagai Upaya Perlindungan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pada Tahap Penyidikan, Penuntutan dan Persidangan belum ada yang

mengangkatnya, atas dasar itu penulis dapat mempertanggungjawabkan keaslian

skripsi ini secara ilmiah.

Untuk menghasilkan tulisan yang maksimal, penulis menggunakan tata

bahasa sesuai dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar serta bahasa inggris

yakni dengan menggunakan kamus bahasa Indonesia dan kamus bahasa Inggris

(17)

F. Tinjauan Pustaka

1. Konsep Diversi dan Restorative Justice a. Konsep Diversi

Konsep adalah Rancangan ; ide atau pengertian yang diabstraksikan dari

peristiwa konkret; gambaran mental dari objek, proses, ataupun yang ada di luar

bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain.4

Pengertian diversi terdapat banyak perbedaan sesuai dengan praktek

pelaksanaannya. Menurut sejarah perkembangan hukum pidana, kata “diversion”

pertama kali dikemukakan sebagai kosa kata pada laporan pelaksanaan peradilan

anak yang disampaikan Presiden Komisi Pidana (President’s Crime Commision)

Australia di Amerika Serikat pada tahun 1960.5 Sebelum dikemukakannya istilah

diversi praktek pelaksanaan yang terbentuk seperti diversi telah ada sebelum

tahun 1960 ditandai dengan berdirinya peradilan anak (children’s courts) sebelum

abad ke-19 yaitu diversi dari sistem peradilan pidana formal dan formalisasi

polisi untuk melakukan peringatan (police cautioning). Prakteknya telah berjalan

di negara bagian Victoria, Australia pada tahun 1959 diikuti oleh negara bagian

Queensland pada tahun 1963.6

4

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007) hlm.588

5

Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice Dalam Hukum Pidana, USU Press, Medan, 2010, hlm.10 (selanjutnya disebut Marlina I)

6

Ibid.

Saat itu ketentuan diversi dimaksudkan

mengurangi jumlah anak yang masuk ke peradilan formal.

Menurut Jack E. Bynum dalam bukunya Juvenile Delinquency a

(18)

Diversion is “an attempt to divert, or channel out, youthful offenders from

the juvenile justice system”(diversi adalah sebuah tindakan atau perlakuan untuk mengalihkan atau menempatkan pelaku tindak pidana anak keluar dari

sistem peradilan pidana).7

Pengertian diversi juga dimuat dalam United Nation Standart Minimum

Rules for the Administration of Juvenile Justice (The Beijing Rules)8

Pertimbangan dilakukan diversi oleh pengadilan yaitu filosofi sistem

peradilan pidana anak untuk melindungi dan merehabilitasi (protection and

rehabilitation) anak pelaku tindak pidana.

butir 6 dan

butir 11 terkandung pernyataan mengenai diversi yakni sebagai proses pelimpahan

anak yang berkonflik dengan hukum dari sistem peradilan pidana ke proses

informal seperti mengembalikan kepada lembaga sosial masyarakat baik

pemerintah atau non pemerintah.

9

Menurut sejarah hukum di Amerika Serikat pengertian diversi adalah

memberikan jalan alternatif kepada anak yang diproses pada peradilan orang

dewasa atau yang akan ditempatkan di lembaga pemasyarakatan. Diversi di

Amerika Serikat dikemukakan juga dengan istilah neighborhood program.

Program ini dirancang untuk mempertimbangkan anak yang beresiko tinggi

berada dalam sistem peradilan pidana daripada anak lain (anak tertentu) untuk

memberikan tindakan alternatif diversi dari peradilan. Kedua kebijakan baik

diversi atau neighborhood dibangun dari tradisi pelayanan masyarakat. Program Tindakan diversi juga dilakukan

sebagai upaya pencegahan seorang pelaku anak menjadi pelaku kriminal dewasa.

(19)

ini dilakukan dengan tujuan mengurangi delikuensi dengan menyediakan kegiatan

konseling/bimbingan mental, tindakan kesehatan, kesempatan untuk bekerja,

rekreasi dan aktivitas akademik dan sosial dalam beberapa model dan cara tertentu

yang dinggap baik bagi anak. Program pelayanan masyarakat diberikan dengan

memperhatikan prinsip perilaku yang sesuai bagi anak berdasarkan penelitian dan

metode ilmiah. Penelitian tersebut bertujuan untuk mendapatkan jenis program

yang tepat sesuai kondisi masing-masing anak.10

Menurut pendapat Peter C. Kratcoski, ada tiga jenis pelaksanaan program

diversi yang dapat dilaksanakan yaitu:11

a. Pelaksanaan kontrol secara sosial (social control orientation), yaitu aparat

penegak hukum menyerahkan pelaku dalam tanggung jawab pengawasan

atau pengamatan masyarakat, dengan ketaatan pada persetujuan atau

peringatan yang diberikan. Pelaku menerima tanggung jawab atas

perbuatannya dan tidak diharapkan adanya kesempatan kedua kali bagi

pelaku oleh masyarakat.

b. Pelayanan sosial oleh masyarakat terhadap pelaku (social service

orientation), yaitu melaksanakan fungsi untuk mengawasi, mencampuri, memperbaiki dan menyediakan pelayanan pada pelaku dan keluarganya.

Masyarakat dapat mencampuri keluarga pelaku untuk memberikan

perbaikan atau pelayanan.

c. Menuju proses restorative justice atau perundingan (balanced or

restorative justice orientation), yaitu melindungi masyarakat, memberi kesempatan pelaku bertanggung jawab langsung pada korban dan

10

Ibid. hlm.12-13

11

(20)

masyarakat dan membuat kesepakatan bersama antara korban pelaku dan

masyarakat. Pelaksanaannya semua pihak yang terkait dipertemukan untuk

bersama-sama mencapai kesepakatan tindakan pada pelaku.

Pada TR Kabareskrim Polri No. Pol.: TR/1124/XI/2006 terdapat pengertian

tentang diversi yakni suatu pengalihan bentuk penyelesaian dari penyelesaian

yang bersifat proses pidana formal ke alternatif penyelesaian dalam bentuk lain

yang di nilai terbaik menurut kepentingan anak.12

b. Restorative Justice

Dengan kata lain dapat

diartikan bahwa diversi artinya pengalihan kasus-kasus yang berkaitan dengan

anak yang disangka telah melakukan pelanggaran diluar prosedur peradilan formal

dengan atau tanpa syarat-syarat tertentu.

Konsep restorative justice, proses penyelesaian tindakan pelanggaran hukum

yang terjadi dilakukan dengan membawa korban dan pelaku (tersangka)

bersama-sama duduk dalam satu pertemuan untuk berbersama-sama-bersama-sama berbicara. Dalam

pertemuan tersebut mediator memberikan kesempatan kepada pihak pelaku untuk

memberikan gambaran yang sejelas-jelasnya mengenai tindakan yang telah

dilakukannya.13

Pihak pelaku yang melakukan pemaparan sangat mengharapkan pihak

korban untuk dapat menerima dan memahami kondisi dan penyebab mengapa

pihak pelaku melakukan tindak pidana yang menyebabkan kerugian pada korban.

12

TR Kabareskrim No. Pol.: TR/1124/XI/2006, Butir DDD, 2.

13

(21)

Selanjutnya dalam penjelasan pelaku juga memaparkan tentang bagaimana dirinya

bertanggung jawab terhadap korban dan masyarakat atas perbuatan yang telah

dilakukannya. Selama pihak pelaku memaparkan tentang tindakan yang telah

dilakukannya dan sebab-sebab mengapa sampai tindakan tersebut dilakukan

pelaku, korban wajib mendengarkan dengan teliti penjelasan pelaku. Untuk

selanjutnya pihak korban dapat memberikan tanggapan atas penjelasan pelaku. Di

samping itu, juga hadir pihak masyarakat yang mewakili kepentingan masyarakat.

Wakil masyarakat tersebut memberikan gambaran tentang kerugian yang

diakibatkan oleh terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Dalam

paparannya tersebut masyarakat mengharapkan agar pelaku melakukan suatu

perbuatan atau memulihkan kembali keguncangan/kerusakan yang telah terjadi

karena perbuatannya.14

Seorang ahli krimonologi berkebangsaan Inggris Tony F. Marshall dalam

tulisannya ”Restorative Justice an Overview” mengatakan:

Restorative Justice adalah bentuk yang paling disarankan dalam melakukan

diversi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Hal ini dikarenakan

konsep restorative justice melibatkan berbagai pihak untuk menyelesaikan suatu

permasalahan yang terkait dengan tindak pidana yang dilakukan oleh anak.

15

“Restorative Justice is a process whereby all the parties with a stake in a

particular offence come together to resolve collectively how to deal with the aftermath of the offence and its implication for the future” (restorative justice

adalah sebuah proses dimana para pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran

tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan persoalan secara bersama-sama

14

Ibid,hlm. 181

15

(22)

bagaimana menyelesaikan akibat dari pelanggaran tersebut demi kepentingan

masa depan).

Penjelasan terhadap definisi restorative justice yang dikemukakan oleh Toni

Marshal dalam tulisannya “Restorative Justice an Overview”, dikembangkan oleh

Susan Sharpe dalam bukunya “Restorative Justice a Vision For Hearing and

Change” yang mengungkapkan 5 prinsip kunci dari restorative justice yaitu:

1) Restorative Justice mengandung partisipasi penuh dan konsensus;

2) Restorative Justice berusaha menyembuhkan kerusakan atau kerugian

yang ada akibat terjadinya tindak kejahatan;

3) Restorative Justice memberikan pertanggung-jawaban langsung dari

pelaku secara utuh;

4) Restorative Justice mencarikan penyatuan kembali kepada warga

masyarakat yang terpecah atau terpisah karena tindakan criminal;

5) Restorative Justice memberikan ketahanan kepada masyarakat agar dapat

mencegah terjadinya tindakan kriminal berikutnya. 16

Restorative justice bersifat merekatkan peradilan pidana dengan konteks sosialnya yang menekankan daripada mengisolasinya secara tertutup. Defenisi

yang dikemukakan oleh Tony Marshall tersebut sangat membantu dalam

membahas restorative justice meskipun defenisi tersebut masih menimbulkan

16

(23)

sejumlah pertanyaan seperti : siapa saja para pihak yang berkepentingan dan

terlibat dengan pelanggaran (parties with a stake in the offence)? Apakah maksud

dari menghadapi akibat buruk dari pelanggaran (deal with the aftermath of the

offence)? Apakah yang menjadi implikasi di masa yang akan datang yang perlu dipertimbangkan (implication for the future)? Maka jawaban atas

pertanyaan-pertanyaan tersebut harus dijelaskan dengan kalimat-kalimat secara spesifik.17

2. Anak

Defenisi anak secara nasional didasarkan pada batasan usia anak menurut

hukum pidana maupun hukum perdata. Secara internasional definisi anak tertuang

dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hak Anak atau United

Nation Convention on The Right of The Child Tahun 1989. Aturan Standar Minimum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Pelaksanaan Peradilan Anak

atau United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile

Justice ("The Beijing Rules”) Tahun 1985 dan Deklarasi Hak Asasi Manusia atau Universal Declaration of Human Rights Tahun 1948.

Secara nasional definisi anak menurut perundang-undangan, diantaranya

menjelaskan anak adalah seorang yang belum mencapai usia 21 (dua puluh satu)

tahun atau belum menikah. Ada juga yang mengatakan anak adalah seseorang

yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak Pasal 1 angka 1 menjelaskan bahwa anak adalah

seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang

masih di dalam kandungan, sedangkan Undang-Undang No. 3 Tahun 1997

17

(24)

tentang Pengadilan Anak Pasal 1 butir 1 menjelaskan bahwa anak adalah orang

yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi

belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.

Untuk menetapkan ketentuan hukum yang lebih berprospek dalam

meletakkan batas usia maksimum dari seorang anak, terdapat pendapat yang

sangat beraneka ragam. Batas usia anak yang layak dalam pengertian hukum

nasional dan hukum internasional (Konvensi Hak Anak/ CRC), telah dirumuskan

ke dalam bangunan-bangunan pengertian yang diletakkan oleh spesifikasi hukum,

seperti berikut ini:18

1) Batas usia seseorang menurut ketentuan Hukum Perdata

Hukum Perdata meletakkan batas usia anak berdasarkan Pasal 330 ayat (1)

KUHPerdata sebagai berikut:

a) Batas antara usia belum dewasa (minderjarighead) dengan telah dewasa

(meerderjarighead), yaitu 21 (dua puluh satu) tahun;

b) Dan seorang anak yang berada dalam usia dibawah 21 (dua puluh satu)

tahun yang telah menikah dianggap telah dewasa.

2) Batas usia anak menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, Pasal 7 ayat (1), Pasal 47 ayat (1), dan Pasal 50 ayat (1), sebagai

berikut:

a) Pasal 7 ayat (1), menyebutkan batas usia minimum untuk dapat kawin bagi

seorang pria, yaitu 19 (sembilan belas) tahun dan bagi seorang wanita,

yaitu 16 (enam belas) tahun.

18

(25)

b) Pasal 47 ayat (1), menyebutkan batas usia minimum 18 (delapan belas)

tahun berada dalam kekuasaan orang tua selama kekuasaan itu tidak

dicabut.

c) Pasal 50 ayat (1), menyebutkan batas usia anak yang belum mencapai usia

18 (delapan belas) tahun atau belum pernah kawin berada pada status

perwalian.

3) Batas usia anak menurut Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang

Kesejahteraan Anak Pasal 1 angka 2, disebutkan bahwa anak adalah seseorang

yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.

4) Batas usia anak menurut ketentuan Hukum Pidana

Sebagaimana diatur dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

mengatur tentang pengertian anak yang sangat bervariatif tergantung jenis

tindak pidana yang dilakukan. Ketentuan Pasal 45, 46, 47 KUHPidana ini

telah dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi. Batas usia anak dalam

pengertian Hukum Pidana dirumuskan dengan jelas dalam ketentuan hukum

yang terdapat pada Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 3 Tahun 1997

tentang Pengadilan Anak, sebagai berikut: “Anak adalah orang dalam perkara

anak nakal telah mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun

dan belum pernah kawin”. Menurut Pasal 1 butir 8 Undang-Undang No. 12

Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, mengklasifikasikan anak ke dalam

pengertian sebagai berikut :

a) Anak Pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani

pidana di Lapas Anak yang paling lama sampai berumur 18 (delapan

(26)

b) Anak Negara yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan

pada negara untuk dididik dan ditempatkan di Lapas Anak paling lama

sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;

c) Anak Sipil yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya

memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di Lapas Anak paling

lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.

5) Batas usia anak menurut Konvensi Hak Anak (Converention on the Rights of

the Child), pada Pasal 1 bagian 1 Konvensi Hak Anak menyebutkan bahwa sebagai berikut:

“Seorang anak adalah bagian setiap manusia yang berusia di bawah 18

(delapan belas) tahun kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi

anak-anak kedewasaan dicapai lebih cepat.” Pengertian batas usia anak pada

hakekatnya mempunyai keanekaragaman bentuk dan spesifikasi tertentu.

Maksud pengelompokan batas usia maksimum anak (batas usia atas) sangat

bergantung dari kepentingan hukum anak yang bersangkutan. Pengelompokan

ini dimaksudkan untuk mengenal secara pasti faktor-faktor yang menjadi

sebab-sebab terjadinya tanggung jawab terhadap anak dalam hal-hal berikut

ini:

1) Kewenangan bertanggung jawab terhadap anak.

2) Kemampuan untuk melakukan peristiwa hukum.

3) Pelayanan hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana.

(27)

5) Pembinaan efektif.

Yang terpenting seseorang tergolong dalam usia anak dalam batas bawah usia,

yaitu nol (0) tahun, batas penuntutan 8 (delapan) tahun sampai dengan batas 18

(delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Dengan demikian batasan

mengenai usia anak di dalam berbagai ketentuan hukum tersebut di atas telah

sangat jelas diatur kapan seseorang itu dikategorikan sebagai anak, dari ketentuan

batasan usia yang sangat bervariatif tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang dapat

dikategorikan sebagai anak apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: 19

1) Seseorang yang belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun dan belum

pernah kawin;

2) Masih berada di bawah kekuasaan orang tuanya atau walinya selama

kekuasaan itu tidak dicabut;

3) Belum cakap dan belum dapat bertanggung jawab di dalam masyarakat.

3. Perlindungan Hukum Anak

Perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan

kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi

perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental, dan

sosial.20

Berdasarkan hasil seminar perlindungan anak/remaja oleh Prayuana Pusat

tanggal 30 Mei 1977, terdapat dua perumusan tentang perlindungan anak yaitu:21

19

Ibid, hlm.26

20

Maidin Gultom, Op.Cit., hlm.33

21

(28)

a. Segala daya upaya yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun

lembaga pemerintah dan swasta yang bertujuan mengusahakan pengamanan,

penguasaan, pemenuhan kesejahteraan fisik, mental, dan sosial anak dan

remaja yang sesuai dengankepentingan dan hak asasinya.

b. Segala daya upaya bersama yang dilakukan secara sadar oleh perorangan,

keluarga, masyarakat, badan-badan pemerintah dan swasta untuk

pengamanan, pengadaan, dan pemenuhan kesejahteraan rohaniah dan

jasmaniah anak berusia 0-21 Tahun, tidak dan belum pernah nikah, sesuai

dengan hak asasi dan kepentingannya agar dapat mengembangkan dirinya

seoptimal mungkin.

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No.23 Tahun 2002 menentukan bahwa

perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak

dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara

optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat

perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Dasar pelaksanaan perlindungan anak adalah :22

1) Dasar Filosofis, Pancasila dasar kegiatan dalam berbagai bidang

kehidupan keluarga, bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa, serta dasar

filosofis pelaksanaan perlindungan anak

2) Dasar Etis, pelaksanaan perlindungan anak harus sesuai dengan etika

profesi yang berkaitan, untuk mencegah perilaku menyimpang dalam

pelaksanaan kewenangan, kekuasaan, dan kekuatan dalam pelaksanaan

perlindungan anak.

22

(29)

3) Dasar Yuridis, pelaksanaan perlindungan anak harus didasarkan pada

UUD 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya yang

berlaku. Penerapan dasar yuridis ini harus secara integrative, yaitu

penerapan terpadu menyangkut peraturan perundang-undangan dari

berbagai bidang hukum yang berkaitan.

4. Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana

Menurut KBBI, yang dimaksud dengan pelaku adalah :

1) Orang yang melakukan suatu perbuatan;

2) Pemeran ; pemain;

3) Yang melakukan suatu perbuatan, subjek (dalam suatu kalimat, dsb);

yang merupakan pelaku utama di perubahan situasi tertentu.23

Menurut Pasal 1 butir 2 Undang-Undang No.3 Tahun 1997 pengertian anak

nakal adalah :

a. Anak yang melakukan tindak pidana; atau

b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi

anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut

peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat

yang bersangkutan.

Anak sebagai pelaku tindak pidana sering juga disebut anak yang berkonflik

dengan hukum, atau anak yang berhadapan dengan hukum.

Dari berbagai isu yang ada dalam konvensi hak anak salah satunya yang

sangat memprihatinkan adalah Anak yang memerlukan perlindungan khusus

23

(30)

(Child in Need Special Protection=CNSP) secara spesifik lagi adalah bagi anak

yang berhadapan dengan hukum.

Anak-anak yang menghadapi kelaparan dan kemiskinan, menjadi korban

kekerasan dalam keluarga atau penyalahgunaan, penelantaran atau eksploitasi

serta mereka yang dihadapkan pada kekerasan, alkohol, mejadi korban

penyalahgunaan obat, dan lain-lain pada umumnya terpaksa berhadapan dengan

hukum. Anak-anak ini mungkin tidak cukup mengembangkan kemampuan dan

keterampilan untuk dapat memecahkan permasalahan dengan positif. Mereka pada

umumnya berhubungan dengan teman-teman atau orang-orang yang memiliki

tingkah laku yang mengarah pada kenakalan atau lebih jauh kepada kejahatan atau

tindak pidana. Banyak anak-anak tersebut putus sekolah dan sering sekali mereka

tidak mendapat pengaruh positif lain yang dapat mengembalikan mereka ke jalan

positif pula.24

Pembicaraan anak yang berhadapan dengan hukum mengacu terhadap anak

yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana.25

1) Yang diduga, disangka, didakwa, atau dijatuhi pidana karena melakukan

tindak pidana;

Anak yang

berhadapan dengan hukum adalah anak yang telah mencapai usia 12 (dua belas)

tahun tetapi belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah:

24

Jhonathan dan Agam, Perlindungan Anak yang Berhadapan dengan Hukum dalam Perspektif Nasional, dalam Mahmul Siregar dkk., Pedoman Praktis Melindungi Anak dengan Hukum Pada Situasi Emergensi dan Bencana Alam, Pusat kajian dan Perlindungan Anak (PKPA), Medan, 2007, hlm. 71.

25

(31)

2) Yang menjadi korban tindak pidana atau yang melihat dan/atau mendengar

sendiri terjadinya suatu tindak pidana.26

Anak yang berhadapan dengan hukum dapat juga dikatakan sebagai anak

yang terpaksa berkontak dengan sistem pengadilan pidana karena:27

1) Disangka, didakwa, atau dinyatakan terbukti bersalah melanggar hukum;

atau

2) Telah menjadi korban akibat perbuatan pelanggaran hukum tang dilakukan

orang/kelompok orang/lembaga/negara terhadapnya; atau

3) Telah melihat, mendengar, merasakan, atau mengetahui suatu peristiwa

pelanggaran hukum.

Oleh karena itu jika dilihat ruang lingkupnya maka anak yang berhadapan

dengan hukum dapat dibagi menjadi:28

1) Pelaku atau tersangka tindak pidana;

2) Korban tindak pidana;

3) Saksi suatu tindak pidana.

Anak sebagai pelaku atau anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak

yang disangka, didakwa, atau dinyatakan terbukti bersalah melanggar hukum, dan

memerlukan perlindungan.29

26

Ketentuan dalam Kesepakatan Bersama antara Departemen Sosial Republik Indonesia, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Departemen Agama Republik Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia tentang Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Anak yang Berhadapan dengan Hukum Tanggal 15 Desember 2009. Pasal 1 Butir 3

27

Apong Herlina, dkk, Perlindungan terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum, Buku Saku untuk Polisi, Unicef, Jakarta, 2004, hlm. 17

28

Op. Cit., Pasal 3 ayat (2).

29

Op. Cit

Dapat juga dikatakan anak yang harus harus

mengikuti prosedur hukum akibat kenakalan yang telah dilakukannya. Jadi dapat

(32)

melakukan kenakalan, yang kemudian akan disebut sebagai kenakalan anak, yaitu

kejahatan pada umumnya dan prilaku anak yang berkonflik dengan hukum atau

anak yang melakukan kejahatan pada khusunya.

G. Metode Penelitian

Metode penelitian ini didasarkan pada hal-hal berikut :

1. Jenis Penelitian

Penelitian dalam skripsi ini menggunakan metode penelitian yuridis

normatif dan yuridis sosiologis dengan pendekatan kualitatif. Yang dimaksud

pendekatan penelitian secara kualitatif adalah prosedur penelitian yang

menggunakan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang

dan perilaku objek penelitian.

2. Sumber dan tehnik pengumpulan data

Sumber data penelitian adalah sumber dari mana data diperoleh. Adapun

yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah : data primer dan data

sekunder.

a. Data primer

Data primer adalah data yang bersumber dari tangan pertama/langsung

diperoleh dari objek penelitian atau instansi yang berkepentingan. Data primer

dapat diperoleh dengan cara :

1. Dokumen

Dokumen adalah setiap bahan tertulis maupun film. Dokumen dapat

(33)

diperoleh, bahkan untuk meramal. Dokumen tersebut berupa arsip atau naskah

lainnya yang diperoleh dari instansi yang berhubungan dengan penelitian.

Dokumen yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah adalah dokumen resmi.

2. Wawancara (Interview)

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu, percakapan itu

dilakukan dua pihak atau lebih, pewawancara memberikan pertanyaan dan yang

diwawancarai memberikan jawaban atas pertanyaan yang dimaksud. Dalam hal

ini langsung dengan pihak yang erat hubungannya dengan penelitian agar data

yang diperoleh lebih jelas dan akurat.

b. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh di luar responden bisa didapat

dalam bentuk : Library, Literature, questioner, Undang-Undang, maupun Arsip.

3. Analisis data

Analisis data yang digunakan untuk menarik kesimpulan dari peristiwa atau

masalah yang didukung oleh teori-teori yang berkaitan dengan objek

permasalahan. Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang

tersedia dari berbagai sumber baik data primer (hasil wawancara, pengamatan,

dokumen), maupun data sekunder (Library, Literature, Undang-Undang dan

Arsip).

a. Reduksi data

Reduksi data adalah proses pemilihan, perumusan dan penyederhanaan,

pengabstakan, dan transformasi bahasan yang muncul dari catatan dalam

(34)

b. Penyajian data

Penyajian data adalah sekumpulan informasi yang tersusun yang memberi

kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan, setelah

data terasa terpenuhi maka akan dijadikan dalam bentuk uraian yang sistematis.

c. Menarik kesimpulan

Menarik kesimpulan adalah sebagian dari kegiatan konfigurasi utuh.

Kesimpulan juga diversivikasi selama penelitian berlangsung untuk

mempermudah pemahaman tentang metode analisis data.

H. Sistematika Penulisan

Sistematika adalah gambaran singkat secara menyeluruh dari suatu karya

ilmiah, dalam hal ini adalah penulisan skripsi. Adapun sistematika ini bertujuan

untuk membantu para pembaca dengan mudah membaca skripsi ini. Penulisan

skripsi ini terbagi atas tiga bagian yaitu : Bagian pendahuluan skripsi, bagian isi

skripsi, dan bagian akhir skripsi. Bagian Pendahuluan skripsi berisi tentang

halaman judul, halaman pengesahan, motto dan persembahan, abstrak dan daftar

isi.

Bagian isi skripsi ini terdiri dari empat bab, yaitu :

Bab pertama, merupakan Pendahuluan yang berisikan suatu rincian yang mengemukakan apa yang menjadi dorongan penulis untuk mengambil dan

merumuskan permasalahan, yang secara umum berisi latar belakang

permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian

(35)

Bab kedua, merupakan bab yang berisikan tentang perlindungan terhadap

anak pelaku tindak pidana, serta menguraikan tentang perlindungan hukum

terhadap anak dari tahap penyidikan sampai dengan tahap persidangan yang

didapat melalui studi literature di perpustakaan dan hasil penelitian dan

wawancara yang dilakukan di lapangan.

Bab ketiga, merupakan bab yang berisikan tentang penerapan konsep diversi

dan restorative justice sebagai upaya perlindungan hukum terhadap anak pelaku

tindak pidana. Dalam bab ini diuraikan tentang penerapan konsep diversi dan

restorative justice sebagai upaya perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana sesuai dengan pelaksanaan di lapangan.

Bab keempat, merupakan bab Penutup yang berisikan kesimpulan dari hasil

pembahasan dan saran yang dijadikan bahan masukan dalam hal perlindungan

terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dan juga masukan dalam hal

(36)

BAB II

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DALAM PROSES PERADILAN PIDANA ANAK (studi kasus anak pelaku tindak pidana pencabulan di Karo)

Dalam upaya memberikan perlindungan terhadap kepentingan dan hak-hak

anak yang berhadapan dengan hukum, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan

beberapa peraturan perundang-undangan terkait, antara lain UU No. 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak dan UU

No. 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak.

Masalah perlindungan hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum, yang

terdapat dalam Pasal 66 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999, menentukan bahwa:

a. Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan

atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi;

b. Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan untuk

pelaku tindak pidana yang masih anak;

c. Setiap anak berhak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan

hukum;

d. Penangkapan, penahanan atau pidana penjara anak hanya boleh dilakukan

sesuai dengan hukum yang belaku dan hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya

terakhir;

e. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak mendapatkan perlakuan

secara manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan

pribadi sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan dari orang dewasa, kecuali

(37)

f. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak memperoleh bantuan hukum

atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang

berlaku;

g. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk membela diri dan

memperoleh keadilan di depan Pengadilan Anak yang objektif dan tidak

memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum.

Terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, UU No. 3 Tahun 1997

menggunakan istilah “anak nakal”. Sehubungan dengan perlindungan terhadap

anak nakal, maka menurut undang-undang ini tidak selalu anak pelaku tindak

pidana harus mendapatkan hukuman penjara. Sebagaimana ditegaskan pada Pasal

24 UU No. 3 Tahun 1997, bahwa tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak

nakal, berupa pengembalian kepada orang tua, wali/orang tua asuh atau

menyerahkannya kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan

latihan kerja atau menyerahkannya kepada departemen sosial atau organisasi

sosial kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan dan

latihan kerja. Selanjutnya berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam UU No. 23

Tahun 2002, ada beberapa pasal berhubungan dengan masalah perlindungan anak

yang berhadapan dengan hukum, yaitu:

a. Pasal 1 angka 2, yang menentukan bahwa perlindungan anak adalah segala

kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat

hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai

dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan

dari kekerasan dan diskriminasi.

b. Pasal 1 angka 15, menentukan bahwa perlindungan khusus adalah

(38)

berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi,

anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang

diper-dagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol,

psikotropika dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan,

pen-jualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental,

anak yang menyandang cacat dan anak korban perlakuan salah dan

pene-lantaran.

c. Pasal 2, menentukan bahwa penyelenggaraan perlindungan anak

berasaskan Pancasila dan berlandaskan UUD 1945 serta prinsip-prinsip

dasar Konvensi Hak-hak Anak meliputi:

1. non diskriminasi;

2. kepentingan yang terbaik bagi anak;

3. hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan;

4. penghargaan terhadap pendapat anak.

d. Pasal 3, menentukan bahwa perlindungan anak bertujuan untuk menjamin

terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan

berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat

kemanu-siaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi

terwujudnya anak Indonesia berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.

e. Pasal 16, menentukan bahwa:

1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran

penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak

(39)

2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan

hukum.

3) Penangkapan, penahanan atau tindak pidana penjara anak hanya

dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat

dilakukan sebagai upaya terakhir.

f. Pasal 17, menentukan bahwa:

(4) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk:

1) mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya

dipisahkan dari orang dewasa;

2) memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam

setiap tahapan upaya hukum yang berlaku;

3) membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak

yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum;

(5) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau

yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.

g. Pasal 17, menentukan bahwa: Pasal 18, menentukan bahwa setiap anak yang

menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan

hukum dan bantuan lainnya.

h. Pasal 59, menentukan bahwa pemerintah dan lembaga negara lainnya

ber-kewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus

kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum,

anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara

ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi

korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif

(40)

korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat

dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.

i. Pasal 64, menentukan bahwa:

(6) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi anak yang berhadapan

dengan hukum dan anak korban tindak pidana, merupakan kewajiban dan

tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.

(7) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum

dilaksanakan melalui:

a. perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan

hak-hak anak.

b. penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini.

c. penyediaan sarana dan prasarana khusus.

d. penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan terbaik bagi anak.

e. pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan

anak yang berhadapan dengan hukum.

f. pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang

tua atau keluarga.

g. perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan

untuk menghindari labelisasi.

Dalam Pasal 59 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak, dinyatakan bahwa: “Pemerintah dan Lembaga negara lainnya wajib

memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang

berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang

(41)

menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif

lainnya, anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan

baik fisik dan atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan

salah dan penelantaran.”

Dalam salah satu poin pasal tersebut menyebut tentang anak yang berhadapan

dengan hukum. Asumsi setiap orang jika mendengar kata anak yang berhadapan

dengan hukum seolah terkooptasi pada pemahaman anak yang menjadi pelaku tindak

pidana. Padahal telah dinyatakan secara tegas dalam Pasal 64 Undang-Undang No. 23

Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tersebut bahwa: “Perlindungan khusus bagi

anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 meliputi

anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana. Perlindungan

khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dilaksanakan melalui:

1) Perlakuan atas anak secara menusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak

anak.

2) Penyediaan Petugas Pendamping sejak dini.

3) Penyediaan sarana dan prasarana khusus.

4) Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak.

5) Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang

berhadapan dengan hukum.

6) Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orangtua atau

keluarga.

7) Perlindungan dari pemberian identitas melalui media masa untuk menghindari

labelisasi.

Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) adalah segala

(42)

kenakalan anak. Pertama, polisi sebagai institusi formal ketika anak nakal

pertama kali bersentuhan dengan sistem peradilan, yang juga akan menentukan

apakah anak akan dibebaskan atau diproses lebih lanjut. Kedua, jaksa dan

lembaga pembebasan bersyarat yang juga akan menentukan apakah anak akan

dibebaskan atau diproses ke pengadilan anak. Ketiga, Pengadilan Anak, tahapan

ketika anak akan ditempatkan dalam pilihan-pilihan, mulai dari dibebaskan

sampai dimasukkan dalam institusi penghukuman. Yang terakhir, institusi

penghukuman.30

a. Status Offender adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan

oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan, seperti tidak

menurut, membolos sekolah atau kabur dari rumah;

Ada 2 (dua) kategori perilaku anak yang membuat ia berhadapan dengan

hukum, yaitu:

b. Juvenile Delinquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila

dilakukan oleh orang dewasa dianggap kejahatan atau pelanggaran hukum

Pelaksanaan Sitem Peradilan Pidana Anak ditegakkannya demi mencapai

kesejahteraan anak dengan berdasar prinsip kepentingan terbaik bagi anak. Dengan kata

lain, Sitem Peradilan Pidana Anak berdasarkan pada perlindungan anak dan pemenuhan

hak-hak anak (protection child and fullfilment child rights based approuch). Selanjutnya

akan dibahas sistem peradilan anak di Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan.

30 Steven Allen, Kata Pengantar, dalam Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini

(43)

A. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pada Tahap Penyidikan, Penuntutan dan Persidangan

1. Tahap Penyidikan

Pada hakikatnya ketentuan KUHAP tentang penyidikan didefenisikan

sebagai berikut. Penyidikan adalah serangakaian tindakan penyidik dalam hal dan

menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini (KUHAP) untuk mencari

serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak

pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.31 Tindakan itu dapat

meliputi pemanggilan dan pemeriksaan saksi-saksi, penyitaan alat-alat bukti,

pengeledahan, pemanggilan dan pemeriksaan tersangka, melakukan penangkapan,

melakukan penahanan, dan lain sebagainya. Sementara penyidik sesuai Pasal 1

angka 1 KUHAP, adalah Pejabat Polisi Negara RI atau Pejabat Pegawai Negeri

Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk

melakukan penyidikan. Penyidikan yang dilakukan oleh pejabat kepolisian negara

RI bertujuan untuk mengumpulkan bukti guna menemukan apakah suatu peristiwa

yang terjadi merupakan peristiwa pidana, dengan penyidikan juga ditujukan untuk

menemukan pelakunya. Setelah adanya penyidikan tahapan selanjutnya dilakukan

penyelidikan. Penyelidikan kasus pidana dilakukan oleh kepolisian sesuai dengan

KUHAP dan Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Polisi

dalam melakukan penyelidikan terhadap anak pelaku tindak pidana harus

memperhatikan berbagai ketentuan mengenai upaya penangan anak mulai dari

penangkapan sampai proses penempatan.32

31

Pasal 1 butir 2 KUHAP

32

(44)

Secara umum berdasarkan ketentuan Undang-Undang nomor 3 tahun 1997

bahwa penyidikan terhadap pelaku tindak pidana anak hanya dapat dilakukan

apabila pelaku tindak pidana telah berusia 8 (delapan) tahun tetapi belum

mencapai umur 18 (delapan belas) tahun, tarhadap anak dibawah umur delapan

tahun yang melakukan tindak pidana akan mendapat pembinaan dan

dikembalikan pada orang tua/wali.

Penyidikan terhadap anak dalam hal anak nakal dilakukan oleh Penyidik

Anak, yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian RI atau

Pejabat yang ditunjuk olehnya. Dengan demikian Penyidik Umum tidak dapat

melakukan penyidikan atas Perkara Anak Nakal, kecuali dalam hal tertentu,

seperti belum ada Penyidik Anak di tempat tersebut.

Penyidikan terhadap anak nakal berlangsung dalam suasana kekeluargaan,

dan untuk itu penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari Pembimbing

Kemasyarakatan sesuai Undang-Undang No. 3 Tahun 1997. Diperiksa dalam

suasana kekeluargaan, berarti pada waktu memeriksa tersangka anak, penyidik

tidak memakai pakaian seragam/dinas, dan melakukan pendekatan secara efektif,

aktif, dan simpatik.

Suasana kekeluargaan itu juga berarti tidak ada pemaksaan, intimidasi atau

sejenisnya selama dalam penyidikan. Salah satu jaminan terlaksananya suasana

kekeluargaan ketika penyidikan dilakukan, adalah hadirnya Penasehat Hukum,

disamping itu, karena yang disidik adalah anak, maka juga sebenarnya sangat

penting kehadiran orang tua/wali/orang tua asuhnya, agar tidak timbul ketakutan

(45)

Apabila dipandang perlu, penyidik juga dapat meminta pertimbangan atau

saran dari ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli agama, atau petugas

kemasyarakatan lainnya. Sementara untuk kepentingan si anak sendiri, maka

proses penyidikan wajib dirahasiakan

Tindakan yang dapat dilakukan penyidik oleh seorang penyidik adalah

penangkapan, penahanan, mengadakan pemeriksaan ditempat kejadian,

melaksanakan penggeledahan, pemeriksaan tersangka dan interogasi, membuat

Berita Acara Pemeriksaan (BAP), penyitaan, penyimpanan perkara dan

melimpahkan perkara.33

a. Penangkapan

Berikut penjelasan prosedur yang dilakukan untuk anak pelaku tindak

pidana :

Penangkapan adalah suatu tindakan Penyidik berupa pengekangan

sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti

guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta

menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang.34

Mengenai tindakan penangkapan tidak diatur secara rinci dalam

Undang pengadilan anak, sehingga berlaku ketentuan-ketentuan dalam

Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang-Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP). Undang-Undang ini mengatur wewenang polisi dalam melakukan

penyidikan dan penyelidikan yang selanjutnya diatur dalam petunjuk pelaksanaan

(juklak) dan petunjuk teknis (juknis) kepolisian. Aturan tersebut menjadi pedoman

bagi setiap anggota kepolisian RI dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

33

Paramita dan tamba BIT, perlindungan hak anak dalam proses peradilan pidana pada tahap penyidikan, Jurnal Hukum no 1 Januari 2003, hlm. 29

34

(46)

Upaya memberikan perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan

hukum, disamping juklak dan juknis yang dimiliki, ada beberapa cara penanganan

terhadap anak, seperti :35

a. Tindakan penangkapan diatur dalam Pasal 16 sampai Pasal 19

KUHAP. Berdasarkan Pasal 16 KUHAP dapat diketahui bahwa

tujuan penangkapan tersangka ialah untuk kepentingan penyelidikan

dan untuk kepentingan penyidikan. Perintah penangkapan dilakukan

terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana

berdasarkan bukti yang cukup36. Pelaksanaan tugas penangkapan

dilakukan oleh petugas kepolisian negara RI, dengan

memperlihatkan surat tugas dan memberikan kepada tersangka

surat-surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka.

Menyatakan alasan penangkapan, dan uraian singkat perkara

kejahatan yang dipersangkakan, serta mengemukakan tempat

tersangka diperiksa37. Adapun waktu penangkapan paling lama satu

hari.38

b. Khusus tindakan penangkapan terhadap anak yang berhadapan

dengan hukum, polisi memperhatikan hak-hak anak dengan

melakukan tindakan perlindungan terhadap anak, seperti :

1. Perlakukan anak dengan asas praduga tak bersalah.

2. Perlakukan anak dengan arif, santun dan bijaksana, dan tidak

seperti terhadap pelaku tindak pidana dewasa.

35

Marlina II, Op.cit, hlm.86

(47)

3. Saat melakukan penangkapan segera memberitahukan orang tua

dan walinya.

4. Anak tertangkap tangan segera memberitahukan orang tua atau

walinya.

5. Wewenang mengadakan tindakan lain menurut hukum yang

bertanggung jawab, polisi atau masyarakat berdasar pada asas

kewajiban.

6. Penangkapan terhadap anak yang diduga sebagai tersangka

bukan karena tertangkap tangan, merupakan kontak atau tahap

pertama pertemuan antara anak dengan polisi. Tahap ini penting

bagi seorang polisi menghindarkan anak dari

pengalaman-pengalaman traumatic yang akan dibawanya seumur hidup.

Untuk itu polisi memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1) Menunjukkan surat perintah penangkapan legal kepada

anakyang diduga sebagai tersangka dengan ramah dan

bertanggung jawab. Cara yang ramah memberi rasa nyaman

terhadap anak daripada rasa takut.

2) Menggunakan pakaian yang sederhana dan hindari

penggunaan kendaraan yang bertanda/berciri khas polisi

untuk menghindari tekanan mental anak akibat simbol-simbol

polisiyang terkesan membahayakan dan mengancam diri

anak.

3) Petugas yang melakukan penangkapan tidak boleh

(48)

menarik perhatian orang-orang yang berada di sekeliling

anak. Penggunaan kata-kata yang bersahabat akan

mempermudah anak menjalani setiap prosesnya dengan

tenang dan tanpa rasa takut dan tertekan.

4) Membawa anak dengan menggandeng tangannya untuk

menciptakan rasa bersahabat, hindari perlakuan kasar dan

menyakitkan seperti memegang kerah baju atau bahkan

menyeret dengan kasar.

5) Petugas tidak memerintahkan anak melakukan hal-hal yang

mempermalukannya dan merendahkan harkat dan

martabatnya sebagai manusia, seperti menyuruh membuka

pakaian. Akan tetapi memberikan perlindungan perlindungan

mental dan jiwa anak saat ditangkap.

6) Jika keadaan tidak memaksa dan membahayakan, polisi tidak

perlu melakukan penangkapan dengan menggunakan borgol

terhadap anak, karena perlakuan ini menyakitkan dan

membuat trauma serta rasa malu dilihat masyarakat atau

tetangganya.

7) Media massa tidak boleh melakukan peliputan proses

penangkapan tersangka anak demi menjaga jati diri dan

identitas anak.

8) Pemberian pelayanan kesehatan seperti pemeriksaan

Gambar

Tabel 1 Tindak pidana anak di Kabupaten Karo
Tabel 2 Data Tindak Pidana Anak
Tabel 3 Tindak pidana anak di Kabupaten Karo

Referensi

Dokumen terkait

8 Dari rumusan masalah yang sudah digali tersebut maka dapat ditemukan hasil penelitian ini membahas tentang proses pelaksanaan Mandi Safar, serta pemahaman

Latar Belakang : Penderita diabetes melitus tipe 2 membutuhkan makanan selingan untuk membantu mencukupi kebutuhan gizi serta mengontrol kadar glukosa darah. Ubi

Sebagaimana dikatakan bahwa masalah itu merupakan kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang tentunya dibutuhkan penyelesaian yang pasti sebagaimana yang terjadi

Jakarta, March 23, 2008 – PT Indosat Tbk (“Indosat”) announced today that Moody's Investors Service (Moody’s), Standard & Poor's Ratings Services (Standard & Poor’s)

Faktanya, banyak negara Islam (atau yang mayoritas berpenduduk muslim) di berbagai belahan dunia menganut faham kemodernan ala Barat, yang mewarnai kebijakan-kebijakan perekonomian,

Pada grafik gambar 4.10 menunjukan bahwa dengan adanya penambahan pasokan gas HHO kedalam ruang bakar dapat mengurangi kadar reaksi emisi karbon monoksida sebesar 51,97 %

(1) Kesimpulan dari pengujian-pengujian yang telah dilakukan dalam penelitian tersebut untuk pengujian pertama bahwa pada periode 2001-2003, fenomena day of the week

Direktif Sangat baik nilai oleh responden sebanyak 15 orang atau 50 % Konsulatif Sangat baik 46,47, Partisipatif Sangat baik 50, Delegatif di nilai Sangat baik