Penerapan Konsep Diversi dan Restorative Justice Sebagai Upaya Perlindungan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pada Tahap
Penyidikan, Penuntutan dan Persidangan (Studi Kasus di Kota Kabanjahe)
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dalam memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh gelar sarjana hukum
Oleh
Dian Antasari Br. Ginting Nim: 070200156
Departemen Hukum Pidana
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Penerapan Konsep Diversi dan Restorative Justice Sebagai Upaya Perlindungan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pada Tahap
Penyidikan, Penuntutan dan Persidangan (Studi Kasus di Kota Kabanjahe)
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dalam memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh gelar sarjana hukum
Oleh
Dian Antasari Br. Ginting Nim: 070200156
Departemen Hukum Pidana
Ketua departemen Hukum Pidana
(Dr. M.Hamdan, SH.M.Hum) NIP: 195703261986011001
Pembimbing I Pembimbing II
(Liza Erwina, SH.M.Hum) (Dr.Marlina, SH.,M.Hum) NIP: 196110241989032002 NIP: 197503072002122002
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ... i
ABSTRAKSI ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 5 C. Tujuan Penulisan ... 5
D. Manfaat Penulisan ... 6
E. Keaslian Penulisan ... 7
F. Tinjauan Pustaka ... 8
G. Metode Penelitian ... 23
H. Sistematika Penulisan ... 25 BAB II. PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA ANAK DALAM PROSES PERADILAN PIDANA ANAK (studi kasus anak pelaku tindak pidana pencabulan di Karo) ... 27
A. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pada Tahap Penyidikan, Penuntutan dan Persidangan ... 34
1. Tahap Penyidikan ... 34
2. Tahap Penuntutan ... 57
3. Tahap Persidangan ... 65
... B. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pada Tahap Penyidikan, Penuntutan dan Persidangan di Kabanjahe ... 74
2. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pada Tahap
Penuntutan di Kejaksaan Negeri Kabanjahe ... 84
3. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pada Tahap Persidangan di Pengadilan Negeri Kabanjahe ... 88
BAB III. PENERAPAN KONSEP DIVERSI DAN RESTORATIVE JUSTICE SEBAGAI UPAYA PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA ... 95
A. Penerapan Konsep Diversi dan Restorative Justice Sebagai Upaya Perlindungan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pada Tahap Penyidikan di Polres Kabanjahe ... 101
B. Penerapan Konsep Diversi dan Restorative Justice Sebagai Upaya Perlindungan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pada Tahap Penuntutan di Kejaksaan Negeri Kabanjahe ... 106
C. Penerapan Konsep Diversi dan Restorative Justice Sebagai Upaya Perlindungan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pada Tahap Persidangan di Pengadilan Negeri Kabanjahe ... 110
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 117
A. Kesimpulan ... 117
B. Saran ... 119
Penerapan Konsep Diversi dan Restorative Justice Sebagai Upaya Perlindungan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pada Tahap
Penyidikan, Penuntutan dan Persidangan (Studi Kasus di Kota Kabanjahe)
ABSTRAKSI
Oleh : Dian Antasari Ginting
Negara Republik Indonesia telah meratifikasi konvensi hak anak melalui Keppress No. 36 tahun 1990. Peratifikasian ini sebagai upaya negara untuk memberikan perlindungan terhadap anak di Indonesia. Dalam hukum nasional perlindungan khusus anak yang berhadapan dengan hukum juga diatur dalam Undang-undang Perlindungan Anak No.23 tahun 2002 dan juga Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak. Namun dalam pelaksanaannya masih banyak persoalan-persoalan yang timbul, khususnya dalam hal anak yang berkonflik dengan hukum. Oleh karena itu salah satu solusi yang dapat digunakan adalah dengan pelaksanaan diversi (pengalihan) atau dengan restorative justice.
Adapun yang menjadi permasalahan adalah Pertama Bagaimana penerapan perlindungan hukum terhadap anak pelaku tindak pidana dalam proses peradilan pidana anak di Kabanjahe?, Kedua, Bagaimana penerapan konsep diversi dan restorative justice sebagai upaya perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana pada tahap penyidikan, penuntutan dan persidangan di Kabanjahe?
Untuk menjawab permasalahan tersebut peneliti mempergunakan metode penelitian yuridis normatif dan yuridis sosiologis. Data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh dari studi lapangan dan data sekunder dari studi pustaka. Studi lapangan dilakukan dengan wawancara kepada informan. Analisa data dilakukan secara kualitatif.
Hasil penelitian, bahwa Proses Peradilan anak pelaku tindak pidana di kabanjahe masih belum sepenuhnya melaksanakan prosedur dan tata cara sebagaimana diatur dalam UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Pelaksanaan konsep diversi dan Restorative justice pada proses peradilan anak di Kabanjahe masih belum dilaksanakan. Padahal demi kepentingan terbaik bagi anak sudah selayaknya dalam proses peradilan anak menerapkan konsep diversi dan Restorative justice karena menghormati dan tidak melanggar hak anak.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur selalu kepada Tuhan Yang Maha Baik pemilik langit dan
bumi yang senantiasa memberikan kasih karunia dan anugerah selama penulis
hidup. Atas perkenan-Nya juga penulis dapat mengecap studi di kampus serta
menyelesaikan pembuatan skripsi ini.
Adalah sebuah sukacita besar dan kesempatan yang luar biasa manakala
penulis dapat merampungkan pembuatan skripsi ini. Seperti kita ketahui bahwa
skripsi merupakan merupakan salah satu syarat bagi Mahasiswa/i pada umumnya
dan Mahasiswa/i Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara pada khususnya
guna melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat guna mencapai gelar
Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan merupakan
kewajiban bagi setiap mahasiswa. Dimana skripsi ini diberi judul PENERAPAN
KONSEP DIVERSI DAN RESTORATIVE JUSTICE SEBAGAI UPAYA PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA PADA TAHAP PENYIDIKAN, PENUNTUTAN DAN PERSIDANGAN (STUDI KASUS DI KOTA KABANJAHE) untuk dituangkan dalam tulisan skripsi ini.
Tak ada gading yang tak retak. Kira-kira pepatah demikianlah yang sangat
cocok untuk mendeskripsikan keadaan skripsi ini yang masih sangat jauh dari kata
sempurna. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat kekurangan
disana-sini dalam isi maupun bagian skripsi ini. Namun atas dasar sifat manusiawi
yang bisa dan sering melakukan kesalahan, dengan segala hormat penulis
meminta maaf. Oleh karenanya tak pelak bahwa saran, kritik, dan ide-ide baru
karenanya akan diterima dengan senang hati serta penuh bijaksana. Di atas
semuanya, perkenankanlah dengan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof.Dr.Runtung,SH,M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof.Dr.Budiman Ginting,SH,MHum, selaku Pembantu Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Syafruddin Hasibuan,SH,MH,DFM selaku Pembantu Dekan II
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Muhammad Husni,SH,M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
5. Bapak Dr.M.Hamdan, SH.M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum
Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
6. Ibu Liza Erwina, SH.M.Hum, selaku dosen pembimbing I yang dengan
penuh kesabaran menghadapi penulis selama menulis skripsi.
7. Ibu Dr.Marlina, SH.,M.Hum., selaku dosen pembimbing II yang banyak
menuntun penulis dari awal sampai akhir pembuatan skripsi.
8. Seluruh staff pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang
telah banyak memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis ketika duduk
di bangku perkuliahan.
9. Seluruh Pegawai Administrasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Akhir kata semoga penulisan skripsi ini dapat menambah pengetahuan dan
membuka sebuah cakrawala berpikir yang baru bagi kita semua yang
membacanya.
Medan, Juni 2011
Penulis
Penerapan Konsep Diversi dan Restorative Justice Sebagai Upaya Perlindungan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pada Tahap
Penyidikan, Penuntutan dan Persidangan (Studi Kasus di Kota Kabanjahe)
ABSTRAKSI
Oleh : Dian Antasari Ginting
Negara Republik Indonesia telah meratifikasi konvensi hak anak melalui Keppress No. 36 tahun 1990. Peratifikasian ini sebagai upaya negara untuk memberikan perlindungan terhadap anak di Indonesia. Dalam hukum nasional perlindungan khusus anak yang berhadapan dengan hukum juga diatur dalam Undang-undang Perlindungan Anak No.23 tahun 2002 dan juga Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak. Namun dalam pelaksanaannya masih banyak persoalan-persoalan yang timbul, khususnya dalam hal anak yang berkonflik dengan hukum. Oleh karena itu salah satu solusi yang dapat digunakan adalah dengan pelaksanaan diversi (pengalihan) atau dengan restorative justice.
Adapun yang menjadi permasalahan adalah Pertama Bagaimana penerapan perlindungan hukum terhadap anak pelaku tindak pidana dalam proses peradilan pidana anak di Kabanjahe?, Kedua, Bagaimana penerapan konsep diversi dan restorative justice sebagai upaya perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana pada tahap penyidikan, penuntutan dan persidangan di Kabanjahe?
Untuk menjawab permasalahan tersebut peneliti mempergunakan metode penelitian yuridis normatif dan yuridis sosiologis. Data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh dari studi lapangan dan data sekunder dari studi pustaka. Studi lapangan dilakukan dengan wawancara kepada informan. Analisa data dilakukan secara kualitatif.
Hasil penelitian, bahwa Proses Peradilan anak pelaku tindak pidana di kabanjahe masih belum sepenuhnya melaksanakan prosedur dan tata cara sebagaimana diatur dalam UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Pelaksanaan konsep diversi dan Restorative justice pada proses peradilan anak di Kabanjahe masih belum dilaksanakan. Padahal demi kepentingan terbaik bagi anak sudah selayaknya dalam proses peradilan anak menerapkan konsep diversi dan Restorative justice karena menghormati dan tidak melanggar hak anak.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak merupakan aset bangsa, sebagai bagian dari generasi muda anak
berperan sangat strategis sebagai successor suatu bangsa. Dalam konteks
Indonesia, anak adalah penerus cita-cita perjuangan suatu bangsa. Selain itu, anak
merupakan harapan orang tua, harapan bangsa dan negara yang akan melanjutkan
tongkat estafet pembangunan serta memiliki peran strategis, mempunyai ciri atau
sifat khusus yang akan menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada
masa depan. Oleh karena itu, setiap anak harus mendapatkan pembinaan sejak
dini, anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk dapat tumbuh
dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial. Terlebih lagi
bahwa masa kanak-kanak merupakan periode pembentukan watak, kepribadian
dan karakter diri seorang manusia, agar kehidupan mereka memiliki kekuatan dan
kemampuan serta berdiri tegar dalam meniti kehidupan. 1
Namun, anak gampang terpengaruh oleh berbagai macam tindakan yang
menimbulkan kerugian mental, fisik, sosial dalam berbagai bidang kehidupan dan
penghidupan, dan dari berbagai pengaruh sistem yang ada. Pada hakikatnya anak
tidak dapat melindungi diri sendiri dari berbagai macam tindakan tersebut, oleh
karena itu anak harus dibantu oleh orang lain dalam melindungi dirinya,
1
mengingat situasi dan kondisinya.2
Anak yang melakukan pelanggaran hukum atau melakukan tindakan
kriminal sangat dipengaruhi beberapa faktor lain di luar diri anak seperti
pergaulan, pendidikan, teman bermain dan sebagainya, karena tindak pidana yang
dilakukan oleh anak pada umumnya adalah merupakan proses meniru ataupun
terpengaruh tindakan negatif dari orang dewasa atau orang disekitarnya. Ketika
anak tersebut diduga melakukan tindak pidana, sistem peradilan formal yang ada
pada akhirnya menempatkan anak dalam status narapidana tentunya membawa
konsekuensi yang cukup besar dalam hal tumbuh kembang anak. Proses
penghukuman yang diberikan kepada anak lewat sistem peradilan pidana formal
dengan memasukkan anak ke dalam penjara ternyata tidak berhasil menjadikan
anak jera dan menjadi pribadi yang lebih baik untuk menunjang proses tumbuh
kembangnya. Penjara justru seringkali membuat anak semakin profesional dalam
melakukan tindak kejahatan.
Oleh karenanya, negara harus memberikan
perlindungan terhadap anak apabila anak tersebut menjadi pelaku tindak pidana.
Perlindungan anak ini dapat dilakukan dari segala aspek, mulai pada pembinaan
pada keluarga, kontrol sosial terhadap pergaulan anak, dan penanganan yang tepat
melalui peraturan-peraturan yang baik yang dibuat oleh sebuah negara.
3
2
Mukaddimah Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
3
M. Joni dan Zulchaina Z. Tanamas, Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1999, hal. 1, dikutip dari UNICEF, Situasi Anak di Dunia 1995, Jakarta 1995, hlm. 1.
Untuk melakukan perlindungan terhadap anak dari
pengaruh proses formal sistem peradilan pidana, maka timbul pemikiran manusia
atau para ahli hukum dan kemanusiaan untuk membuat aturan formal tindakan
melakukan tindak pidana dari proses peradilan pidana dengan memberikan
alternatif lain yang dianggap lebih baik untuk anak.
Negara Republik Indonesia telah meratifikasi konvensi hak anak melalui
Keppres No.36 Tahun 1990 tentang pengesahan Convention on The Right of Child
(Konvensi tentang hak-hak anak). Peratifikasian ini sebagai upaya negara untuk
memberikan perlindungan terhadap anak. Dari berbagai isu yang ada dalam
konvensi hak anak salah satunya yang sangat membutuhkan perhatian khusus
adalah anak, diantaranya anak yang berkonflik dengan hukum. Secara hukum
Negara Indonesia telah memberikan perlindungan kepada anak melalui berbagai
peraturan perundang-undangan di antaranya Undang-Undang No.3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang No.39 tentang Hak Asasi Manusia dan
Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Salah satu solusi
yang dapat ditempuh dalam penanganan perkara tindak pidana anak adalah
pendekatan restorative juctice, yang dilaksanakan dengan cara pengalihkan
(diversi). Restorative justice merupakan proses penyelesaian yang dilakukan di
luar sistem peradilan pidana (Criminal Justice System) dengan melibatkan korban,
pelaku, keluarga korban dan pelaku, masyarakat serta pihak-pihak yang
berkepentingan dengan suatu tindak pidana yang terjadi untuk mencapai
kesepakatan dan penyelesaian. Restorative justice dianggap cara
berfikir/paradigma baru dalam memandang sebuah tindak kejahatan yang
dilakukan oleh seseorang.
Akan tetapi dalam pelaksanaannya sistem peradilan pidana anak di
Indonesia masih menghadapi berbagai persoalan. Persoalan yang ada diantaranya
peradilan yang panjang mulai dari penyidikan, penuntutan, pengadilan, yang pada
akhirnya menempatkan terpidana anak berada dalam lembaga pemasyarakatan
ataupun yang dikembalikan ke masyarakat dengan putusan bebas tetap akan
meninggalkan trauma dan implikasi negatif terhadap anak.
Kondisi ini menarik penulis untuk melakukan penelitian proses peradilan
tindak pidana anak mulai dari tahap penahanan hingga pada akhirnya persidangan
di Kabupaten Karo. Berdasarkan data yang diperoleh dari Polres Kabupaten Karo,
diketahui bahwa unit pelayanan anak baru dibentuk dua tahun terakhir dan pada
tahun-tahun sebelumnya sesudah UU Perlindungan anak dikeluarkan, penanganan
tindak pidana anak ada di unit pelayanan umum. Berdasarkan data yang diperoleh,
tindak pidana anak di Polres Kabupaten Karo untuk tahun 2010 berjumlah 37
kasus dan untuk tahun 2011 hingga pertengahan April ada sebanyak 26 kasus.
Tabel 1 Tindak pidana anak di Kabupaten Karo
No. Tindak Pidana
Tahun
2010 2011
1 Penganiayaan 5 Kasus 2 Kasus
2 Pencabulan 31 Kasus 22 Kasus
3 Pencurian 1 Kasus 2 Kasus
Jumlah 37 Kasus 26 Kasus
Sumber : Unit Pelayanan Anak Polres Kabupaten Karo 2011
Berdasarkan data yang ditampilkan diatas diketahui bahwa tindak pidana
untuk meneliti bagaimana “Penerapan Konsep Diversi dan Restorative Justice
Sebagai Upaya Perlindungan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pada Tahap Penyidikan, Penuntutan dan Persidangan ( Studi Kasus di Kota Kabanjahe )”
B. Permasalahan
Permasalahan merupakan acuan untuk melakukan penelitian dan juga
menentukan bahasan selanjutnya sehingga sasaran dapat tercapai. Dapat juga
dikatakan secara singkat bahwa “tiada suatu penelitian tanpa adanya masalah.”
Selain itu, pokok materi pembahasan dan tujuan dari penelitian ini tergambar dari
permasalahan yang dikemukakan oleh penulis.
Untuk mendapatkan dan mendekati nilai objektif dalam penelitian, maka
penulis membatasi masalah yang menyangkut penulisan skripsi ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana penerapan perlindungan hukum terhadap anak pelaku tindak
pidana dalam proses peradilan pidana anak di Kabanjahe?
2. Bagaimana penerapan konsep diversi dan restorative justice sebagai upaya
perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana pada tahap penyidikan,
penuntutan dan persidangan di Kabanjahe?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui Bagaimana penerapan perlindungan hukum terhadap anak
pelaku tindak pidana dalam proses peradilan pidana anak pada tahap
penyidikan di Polres Karo, penuntutan di Kejaksaan Negeri Kabanjahe dan
persidangan di Pengadilan Negeri Kabanjahe.
2. Untuk mengetahui Bagaimana penerapan konsep diversi dan restorative
justice sebagai upaya perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana pada
tahap penyidikan di Polres Karo, penuntutan di Kejaksaan Negeri Kabanjahe
dan persidangan di Pengadilan Negeri Kabanjahe.
D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang diperoleh dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai
berikut :
Manfaat Secara Teoritis
Pembahasan terhadap masalah-masalah dalam skripsi ini tentu akan
menambah pemahaman dan pandangan baru kepada semua pihak baik
masyarakat pada umumnya maupun para pihak yang berhubungan dengan
dunia hukum pada khususnya. Skripsi ini juga diharapkan dapat
memberikan masukan bagi penyempurnaan perangkat peraturan
perundang-undangan dan kebijakan terhadap penegakan hukum
perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum.
Manfaat Secara Praktis
Penelitian skripsi ini diharapkan dapat menjadi pedoman dan bahan
aparat penegak hukum/pemerintah tentang penegakan hukum dalam hal
anak yang berhadapan dengan hukum.
E. Keaslian Penulisan
Dalam hal penulisan skripsi ini, penulis mencoba menyajikan sesuai dengan
fakta-fakta yang akurat dan sumber yang terpercaya sehingga skripsi ini tidak jauh
dari kebenarannya. Dalam menyusun skripsi ini pada prinsipnya penulis
membuatnya dengan melihat dasar-dasar yang telah ada baik melalui literature
yang penulis peroleh dari perpustakaan dan dari media massa baik cetak maupun
elektronik yang akhirnya penulis tuangkan dalam skripsi ini serta ditambah lagi
dengan riset yang dilakukan penulis langsung ke lapangan dan wawancara penulis
dengan pihak yang berkompeten.
Kemudian setelah penulis memeriksa judul-judul skripsi yang ada di
Fakultas Hukum USU, maka judul mengenai Penerapan Konsep Diversi dan
Restorative Justice Sebagai Upaya Perlindungan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pada Tahap Penyidikan, Penuntutan dan Persidangan belum ada yang
mengangkatnya, atas dasar itu penulis dapat mempertanggungjawabkan keaslian
skripsi ini secara ilmiah.
Untuk menghasilkan tulisan yang maksimal, penulis menggunakan tata
bahasa sesuai dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar serta bahasa inggris
yakni dengan menggunakan kamus bahasa Indonesia dan kamus bahasa Inggris
F. Tinjauan Pustaka
1. Konsep Diversi dan Restorative Justice a. Konsep Diversi
Konsep adalah Rancangan ; ide atau pengertian yang diabstraksikan dari
peristiwa konkret; gambaran mental dari objek, proses, ataupun yang ada di luar
bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain.4
Pengertian diversi terdapat banyak perbedaan sesuai dengan praktek
pelaksanaannya. Menurut sejarah perkembangan hukum pidana, kata “diversion”
pertama kali dikemukakan sebagai kosa kata pada laporan pelaksanaan peradilan
anak yang disampaikan Presiden Komisi Pidana (President’s Crime Commision)
Australia di Amerika Serikat pada tahun 1960.5 Sebelum dikemukakannya istilah
diversi praktek pelaksanaan yang terbentuk seperti diversi telah ada sebelum
tahun 1960 ditandai dengan berdirinya peradilan anak (children’s courts) sebelum
abad ke-19 yaitu diversi dari sistem peradilan pidana formal dan formalisasi
polisi untuk melakukan peringatan (police cautioning). Prakteknya telah berjalan
di negara bagian Victoria, Australia pada tahun 1959 diikuti oleh negara bagian
Queensland pada tahun 1963.6
4
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007) hlm.588
5
Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice Dalam Hukum Pidana, USU Press, Medan, 2010, hlm.10 (selanjutnya disebut Marlina I)
6
Ibid.
Saat itu ketentuan diversi dimaksudkan
mengurangi jumlah anak yang masuk ke peradilan formal.
Menurut Jack E. Bynum dalam bukunya Juvenile Delinquency a
Diversion is “an attempt to divert, or channel out, youthful offenders from
the juvenile justice system”(diversi adalah sebuah tindakan atau perlakuan untuk mengalihkan atau menempatkan pelaku tindak pidana anak keluar dari
sistem peradilan pidana).7
Pengertian diversi juga dimuat dalam United Nation Standart Minimum
Rules for the Administration of Juvenile Justice (The Beijing Rules)8
Pertimbangan dilakukan diversi oleh pengadilan yaitu filosofi sistem
peradilan pidana anak untuk melindungi dan merehabilitasi (protection and
rehabilitation) anak pelaku tindak pidana.
butir 6 dan
butir 11 terkandung pernyataan mengenai diversi yakni sebagai proses pelimpahan
anak yang berkonflik dengan hukum dari sistem peradilan pidana ke proses
informal seperti mengembalikan kepada lembaga sosial masyarakat baik
pemerintah atau non pemerintah.
9
Menurut sejarah hukum di Amerika Serikat pengertian diversi adalah
memberikan jalan alternatif kepada anak yang diproses pada peradilan orang
dewasa atau yang akan ditempatkan di lembaga pemasyarakatan. Diversi di
Amerika Serikat dikemukakan juga dengan istilah neighborhood program.
Program ini dirancang untuk mempertimbangkan anak yang beresiko tinggi
berada dalam sistem peradilan pidana daripada anak lain (anak tertentu) untuk
memberikan tindakan alternatif diversi dari peradilan. Kedua kebijakan baik
diversi atau neighborhood dibangun dari tradisi pelayanan masyarakat. Program Tindakan diversi juga dilakukan
sebagai upaya pencegahan seorang pelaku anak menjadi pelaku kriminal dewasa.
ini dilakukan dengan tujuan mengurangi delikuensi dengan menyediakan kegiatan
konseling/bimbingan mental, tindakan kesehatan, kesempatan untuk bekerja,
rekreasi dan aktivitas akademik dan sosial dalam beberapa model dan cara tertentu
yang dinggap baik bagi anak. Program pelayanan masyarakat diberikan dengan
memperhatikan prinsip perilaku yang sesuai bagi anak berdasarkan penelitian dan
metode ilmiah. Penelitian tersebut bertujuan untuk mendapatkan jenis program
yang tepat sesuai kondisi masing-masing anak.10
Menurut pendapat Peter C. Kratcoski, ada tiga jenis pelaksanaan program
diversi yang dapat dilaksanakan yaitu:11
a. Pelaksanaan kontrol secara sosial (social control orientation), yaitu aparat
penegak hukum menyerahkan pelaku dalam tanggung jawab pengawasan
atau pengamatan masyarakat, dengan ketaatan pada persetujuan atau
peringatan yang diberikan. Pelaku menerima tanggung jawab atas
perbuatannya dan tidak diharapkan adanya kesempatan kedua kali bagi
pelaku oleh masyarakat.
b. Pelayanan sosial oleh masyarakat terhadap pelaku (social service
orientation), yaitu melaksanakan fungsi untuk mengawasi, mencampuri, memperbaiki dan menyediakan pelayanan pada pelaku dan keluarganya.
Masyarakat dapat mencampuri keluarga pelaku untuk memberikan
perbaikan atau pelayanan.
c. Menuju proses restorative justice atau perundingan (balanced or
restorative justice orientation), yaitu melindungi masyarakat, memberi kesempatan pelaku bertanggung jawab langsung pada korban dan
10
Ibid. hlm.12-13
11
masyarakat dan membuat kesepakatan bersama antara korban pelaku dan
masyarakat. Pelaksanaannya semua pihak yang terkait dipertemukan untuk
bersama-sama mencapai kesepakatan tindakan pada pelaku.
Pada TR Kabareskrim Polri No. Pol.: TR/1124/XI/2006 terdapat pengertian
tentang diversi yakni suatu pengalihan bentuk penyelesaian dari penyelesaian
yang bersifat proses pidana formal ke alternatif penyelesaian dalam bentuk lain
yang di nilai terbaik menurut kepentingan anak.12
b. Restorative Justice
Dengan kata lain dapat
diartikan bahwa diversi artinya pengalihan kasus-kasus yang berkaitan dengan
anak yang disangka telah melakukan pelanggaran diluar prosedur peradilan formal
dengan atau tanpa syarat-syarat tertentu.
Konsep restorative justice, proses penyelesaian tindakan pelanggaran hukum
yang terjadi dilakukan dengan membawa korban dan pelaku (tersangka)
bersama-sama duduk dalam satu pertemuan untuk berbersama-sama-bersama-sama berbicara. Dalam
pertemuan tersebut mediator memberikan kesempatan kepada pihak pelaku untuk
memberikan gambaran yang sejelas-jelasnya mengenai tindakan yang telah
dilakukannya.13
Pihak pelaku yang melakukan pemaparan sangat mengharapkan pihak
korban untuk dapat menerima dan memahami kondisi dan penyebab mengapa
pihak pelaku melakukan tindak pidana yang menyebabkan kerugian pada korban.
12
TR Kabareskrim No. Pol.: TR/1124/XI/2006, Butir DDD, 2.
13
Selanjutnya dalam penjelasan pelaku juga memaparkan tentang bagaimana dirinya
bertanggung jawab terhadap korban dan masyarakat atas perbuatan yang telah
dilakukannya. Selama pihak pelaku memaparkan tentang tindakan yang telah
dilakukannya dan sebab-sebab mengapa sampai tindakan tersebut dilakukan
pelaku, korban wajib mendengarkan dengan teliti penjelasan pelaku. Untuk
selanjutnya pihak korban dapat memberikan tanggapan atas penjelasan pelaku. Di
samping itu, juga hadir pihak masyarakat yang mewakili kepentingan masyarakat.
Wakil masyarakat tersebut memberikan gambaran tentang kerugian yang
diakibatkan oleh terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Dalam
paparannya tersebut masyarakat mengharapkan agar pelaku melakukan suatu
perbuatan atau memulihkan kembali keguncangan/kerusakan yang telah terjadi
karena perbuatannya.14
Seorang ahli krimonologi berkebangsaan Inggris Tony F. Marshall dalam
tulisannya ”Restorative Justice an Overview” mengatakan:
Restorative Justice adalah bentuk yang paling disarankan dalam melakukan
diversi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Hal ini dikarenakan
konsep restorative justice melibatkan berbagai pihak untuk menyelesaikan suatu
permasalahan yang terkait dengan tindak pidana yang dilakukan oleh anak.
15
“Restorative Justice is a process whereby all the parties with a stake in a
particular offence come together to resolve collectively how to deal with the aftermath of the offence and its implication for the future” (restorative justice
adalah sebuah proses dimana para pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran
tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan persoalan secara bersama-sama
14
Ibid,hlm. 181
15
bagaimana menyelesaikan akibat dari pelanggaran tersebut demi kepentingan
masa depan).
Penjelasan terhadap definisi restorative justice yang dikemukakan oleh Toni
Marshal dalam tulisannya “Restorative Justice an Overview”, dikembangkan oleh
Susan Sharpe dalam bukunya “Restorative Justice a Vision For Hearing and
Change” yang mengungkapkan 5 prinsip kunci dari restorative justice yaitu:
1) Restorative Justice mengandung partisipasi penuh dan konsensus;
2) Restorative Justice berusaha menyembuhkan kerusakan atau kerugian
yang ada akibat terjadinya tindak kejahatan;
3) Restorative Justice memberikan pertanggung-jawaban langsung dari
pelaku secara utuh;
4) Restorative Justice mencarikan penyatuan kembali kepada warga
masyarakat yang terpecah atau terpisah karena tindakan criminal;
5) Restorative Justice memberikan ketahanan kepada masyarakat agar dapat
mencegah terjadinya tindakan kriminal berikutnya. 16
Restorative justice bersifat merekatkan peradilan pidana dengan konteks sosialnya yang menekankan daripada mengisolasinya secara tertutup. Defenisi
yang dikemukakan oleh Tony Marshall tersebut sangat membantu dalam
membahas restorative justice meskipun defenisi tersebut masih menimbulkan
16
sejumlah pertanyaan seperti : siapa saja para pihak yang berkepentingan dan
terlibat dengan pelanggaran (parties with a stake in the offence)? Apakah maksud
dari menghadapi akibat buruk dari pelanggaran (deal with the aftermath of the
offence)? Apakah yang menjadi implikasi di masa yang akan datang yang perlu dipertimbangkan (implication for the future)? Maka jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan tersebut harus dijelaskan dengan kalimat-kalimat secara spesifik.17
2. Anak
Defenisi anak secara nasional didasarkan pada batasan usia anak menurut
hukum pidana maupun hukum perdata. Secara internasional definisi anak tertuang
dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hak Anak atau United
Nation Convention on The Right of The Child Tahun 1989. Aturan Standar Minimum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Pelaksanaan Peradilan Anak
atau United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile
Justice ("The Beijing Rules”) Tahun 1985 dan Deklarasi Hak Asasi Manusia atau Universal Declaration of Human Rights Tahun 1948.
Secara nasional definisi anak menurut perundang-undangan, diantaranya
menjelaskan anak adalah seorang yang belum mencapai usia 21 (dua puluh satu)
tahun atau belum menikah. Ada juga yang mengatakan anak adalah seseorang
yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak Pasal 1 angka 1 menjelaskan bahwa anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang
masih di dalam kandungan, sedangkan Undang-Undang No. 3 Tahun 1997
17
tentang Pengadilan Anak Pasal 1 butir 1 menjelaskan bahwa anak adalah orang
yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi
belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
Untuk menetapkan ketentuan hukum yang lebih berprospek dalam
meletakkan batas usia maksimum dari seorang anak, terdapat pendapat yang
sangat beraneka ragam. Batas usia anak yang layak dalam pengertian hukum
nasional dan hukum internasional (Konvensi Hak Anak/ CRC), telah dirumuskan
ke dalam bangunan-bangunan pengertian yang diletakkan oleh spesifikasi hukum,
seperti berikut ini:18
1) Batas usia seseorang menurut ketentuan Hukum Perdata
Hukum Perdata meletakkan batas usia anak berdasarkan Pasal 330 ayat (1)
KUHPerdata sebagai berikut:
a) Batas antara usia belum dewasa (minderjarighead) dengan telah dewasa
(meerderjarighead), yaitu 21 (dua puluh satu) tahun;
b) Dan seorang anak yang berada dalam usia dibawah 21 (dua puluh satu)
tahun yang telah menikah dianggap telah dewasa.
2) Batas usia anak menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, Pasal 7 ayat (1), Pasal 47 ayat (1), dan Pasal 50 ayat (1), sebagai
berikut:
a) Pasal 7 ayat (1), menyebutkan batas usia minimum untuk dapat kawin bagi
seorang pria, yaitu 19 (sembilan belas) tahun dan bagi seorang wanita,
yaitu 16 (enam belas) tahun.
18
b) Pasal 47 ayat (1), menyebutkan batas usia minimum 18 (delapan belas)
tahun berada dalam kekuasaan orang tua selama kekuasaan itu tidak
dicabut.
c) Pasal 50 ayat (1), menyebutkan batas usia anak yang belum mencapai usia
18 (delapan belas) tahun atau belum pernah kawin berada pada status
perwalian.
3) Batas usia anak menurut Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak Pasal 1 angka 2, disebutkan bahwa anak adalah seseorang
yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.
4) Batas usia anak menurut ketentuan Hukum Pidana
Sebagaimana diatur dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
mengatur tentang pengertian anak yang sangat bervariatif tergantung jenis
tindak pidana yang dilakukan. Ketentuan Pasal 45, 46, 47 KUHPidana ini
telah dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi. Batas usia anak dalam
pengertian Hukum Pidana dirumuskan dengan jelas dalam ketentuan hukum
yang terdapat pada Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak, sebagai berikut: “Anak adalah orang dalam perkara
anak nakal telah mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun
dan belum pernah kawin”. Menurut Pasal 1 butir 8 Undang-Undang No. 12
Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, mengklasifikasikan anak ke dalam
pengertian sebagai berikut :
a) Anak Pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani
pidana di Lapas Anak yang paling lama sampai berumur 18 (delapan
b) Anak Negara yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan
pada negara untuk dididik dan ditempatkan di Lapas Anak paling lama
sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;
c) Anak Sipil yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya
memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di Lapas Anak paling
lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.
5) Batas usia anak menurut Konvensi Hak Anak (Converention on the Rights of
the Child), pada Pasal 1 bagian 1 Konvensi Hak Anak menyebutkan bahwa sebagai berikut:
“Seorang anak adalah bagian setiap manusia yang berusia di bawah 18
(delapan belas) tahun kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi
anak-anak kedewasaan dicapai lebih cepat.” Pengertian batas usia anak pada
hakekatnya mempunyai keanekaragaman bentuk dan spesifikasi tertentu.
Maksud pengelompokan batas usia maksimum anak (batas usia atas) sangat
bergantung dari kepentingan hukum anak yang bersangkutan. Pengelompokan
ini dimaksudkan untuk mengenal secara pasti faktor-faktor yang menjadi
sebab-sebab terjadinya tanggung jawab terhadap anak dalam hal-hal berikut
ini:
1) Kewenangan bertanggung jawab terhadap anak.
2) Kemampuan untuk melakukan peristiwa hukum.
3) Pelayanan hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana.
5) Pembinaan efektif.
Yang terpenting seseorang tergolong dalam usia anak dalam batas bawah usia,
yaitu nol (0) tahun, batas penuntutan 8 (delapan) tahun sampai dengan batas 18
(delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Dengan demikian batasan
mengenai usia anak di dalam berbagai ketentuan hukum tersebut di atas telah
sangat jelas diatur kapan seseorang itu dikategorikan sebagai anak, dari ketentuan
batasan usia yang sangat bervariatif tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang dapat
dikategorikan sebagai anak apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: 19
1) Seseorang yang belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun dan belum
pernah kawin;
2) Masih berada di bawah kekuasaan orang tuanya atau walinya selama
kekuasaan itu tidak dicabut;
3) Belum cakap dan belum dapat bertanggung jawab di dalam masyarakat.
3. Perlindungan Hukum Anak
Perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan
kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi
perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental, dan
sosial.20
Berdasarkan hasil seminar perlindungan anak/remaja oleh Prayuana Pusat
tanggal 30 Mei 1977, terdapat dua perumusan tentang perlindungan anak yaitu:21
19
Ibid, hlm.26
20
Maidin Gultom, Op.Cit., hlm.33
21
a. Segala daya upaya yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun
lembaga pemerintah dan swasta yang bertujuan mengusahakan pengamanan,
penguasaan, pemenuhan kesejahteraan fisik, mental, dan sosial anak dan
remaja yang sesuai dengankepentingan dan hak asasinya.
b. Segala daya upaya bersama yang dilakukan secara sadar oleh perorangan,
keluarga, masyarakat, badan-badan pemerintah dan swasta untuk
pengamanan, pengadaan, dan pemenuhan kesejahteraan rohaniah dan
jasmaniah anak berusia 0-21 Tahun, tidak dan belum pernah nikah, sesuai
dengan hak asasi dan kepentingannya agar dapat mengembangkan dirinya
seoptimal mungkin.
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No.23 Tahun 2002 menentukan bahwa
perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak
dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara
optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Dasar pelaksanaan perlindungan anak adalah :22
1) Dasar Filosofis, Pancasila dasar kegiatan dalam berbagai bidang
kehidupan keluarga, bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa, serta dasar
filosofis pelaksanaan perlindungan anak
2) Dasar Etis, pelaksanaan perlindungan anak harus sesuai dengan etika
profesi yang berkaitan, untuk mencegah perilaku menyimpang dalam
pelaksanaan kewenangan, kekuasaan, dan kekuatan dalam pelaksanaan
perlindungan anak.
22
3) Dasar Yuridis, pelaksanaan perlindungan anak harus didasarkan pada
UUD 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya yang
berlaku. Penerapan dasar yuridis ini harus secara integrative, yaitu
penerapan terpadu menyangkut peraturan perundang-undangan dari
berbagai bidang hukum yang berkaitan.
4. Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana
Menurut KBBI, yang dimaksud dengan pelaku adalah :
1) Orang yang melakukan suatu perbuatan;
2) Pemeran ; pemain;
3) Yang melakukan suatu perbuatan, subjek (dalam suatu kalimat, dsb);
yang merupakan pelaku utama di perubahan situasi tertentu.23
Menurut Pasal 1 butir 2 Undang-Undang No.3 Tahun 1997 pengertian anak
nakal adalah :
a. Anak yang melakukan tindak pidana; atau
b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi
anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut
peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat
yang bersangkutan.
Anak sebagai pelaku tindak pidana sering juga disebut anak yang berkonflik
dengan hukum, atau anak yang berhadapan dengan hukum.
Dari berbagai isu yang ada dalam konvensi hak anak salah satunya yang
sangat memprihatinkan adalah Anak yang memerlukan perlindungan khusus
23
(Child in Need Special Protection=CNSP) secara spesifik lagi adalah bagi anak
yang berhadapan dengan hukum.
Anak-anak yang menghadapi kelaparan dan kemiskinan, menjadi korban
kekerasan dalam keluarga atau penyalahgunaan, penelantaran atau eksploitasi
serta mereka yang dihadapkan pada kekerasan, alkohol, mejadi korban
penyalahgunaan obat, dan lain-lain pada umumnya terpaksa berhadapan dengan
hukum. Anak-anak ini mungkin tidak cukup mengembangkan kemampuan dan
keterampilan untuk dapat memecahkan permasalahan dengan positif. Mereka pada
umumnya berhubungan dengan teman-teman atau orang-orang yang memiliki
tingkah laku yang mengarah pada kenakalan atau lebih jauh kepada kejahatan atau
tindak pidana. Banyak anak-anak tersebut putus sekolah dan sering sekali mereka
tidak mendapat pengaruh positif lain yang dapat mengembalikan mereka ke jalan
positif pula.24
Pembicaraan anak yang berhadapan dengan hukum mengacu terhadap anak
yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana.25
1) Yang diduga, disangka, didakwa, atau dijatuhi pidana karena melakukan
tindak pidana;
Anak yang
berhadapan dengan hukum adalah anak yang telah mencapai usia 12 (dua belas)
tahun tetapi belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah:
24
Jhonathan dan Agam, Perlindungan Anak yang Berhadapan dengan Hukum dalam Perspektif Nasional, dalam Mahmul Siregar dkk., Pedoman Praktis Melindungi Anak dengan Hukum Pada Situasi Emergensi dan Bencana Alam, Pusat kajian dan Perlindungan Anak (PKPA), Medan, 2007, hlm. 71.
25
2) Yang menjadi korban tindak pidana atau yang melihat dan/atau mendengar
sendiri terjadinya suatu tindak pidana.26
Anak yang berhadapan dengan hukum dapat juga dikatakan sebagai anak
yang terpaksa berkontak dengan sistem pengadilan pidana karena:27
1) Disangka, didakwa, atau dinyatakan terbukti bersalah melanggar hukum;
atau
2) Telah menjadi korban akibat perbuatan pelanggaran hukum tang dilakukan
orang/kelompok orang/lembaga/negara terhadapnya; atau
3) Telah melihat, mendengar, merasakan, atau mengetahui suatu peristiwa
pelanggaran hukum.
Oleh karena itu jika dilihat ruang lingkupnya maka anak yang berhadapan
dengan hukum dapat dibagi menjadi:28
1) Pelaku atau tersangka tindak pidana;
2) Korban tindak pidana;
3) Saksi suatu tindak pidana.
Anak sebagai pelaku atau anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak
yang disangka, didakwa, atau dinyatakan terbukti bersalah melanggar hukum, dan
memerlukan perlindungan.29
26
Ketentuan dalam Kesepakatan Bersama antara Departemen Sosial Republik Indonesia, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Departemen Agama Republik Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia tentang Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Anak yang Berhadapan dengan Hukum Tanggal 15 Desember 2009. Pasal 1 Butir 3
27
Apong Herlina, dkk, Perlindungan terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum, Buku Saku untuk Polisi, Unicef, Jakarta, 2004, hlm. 17
28
Op. Cit., Pasal 3 ayat (2).
29
Op. Cit
Dapat juga dikatakan anak yang harus harus
mengikuti prosedur hukum akibat kenakalan yang telah dilakukannya. Jadi dapat
melakukan kenakalan, yang kemudian akan disebut sebagai kenakalan anak, yaitu
kejahatan pada umumnya dan prilaku anak yang berkonflik dengan hukum atau
anak yang melakukan kejahatan pada khusunya.
G. Metode Penelitian
Metode penelitian ini didasarkan pada hal-hal berikut :
1. Jenis Penelitian
Penelitian dalam skripsi ini menggunakan metode penelitian yuridis
normatif dan yuridis sosiologis dengan pendekatan kualitatif. Yang dimaksud
pendekatan penelitian secara kualitatif adalah prosedur penelitian yang
menggunakan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang
dan perilaku objek penelitian.
2. Sumber dan tehnik pengumpulan data
Sumber data penelitian adalah sumber dari mana data diperoleh. Adapun
yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah : data primer dan data
sekunder.
a. Data primer
Data primer adalah data yang bersumber dari tangan pertama/langsung
diperoleh dari objek penelitian atau instansi yang berkepentingan. Data primer
dapat diperoleh dengan cara :
1. Dokumen
Dokumen adalah setiap bahan tertulis maupun film. Dokumen dapat
diperoleh, bahkan untuk meramal. Dokumen tersebut berupa arsip atau naskah
lainnya yang diperoleh dari instansi yang berhubungan dengan penelitian.
Dokumen yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah adalah dokumen resmi.
2. Wawancara (Interview)
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu, percakapan itu
dilakukan dua pihak atau lebih, pewawancara memberikan pertanyaan dan yang
diwawancarai memberikan jawaban atas pertanyaan yang dimaksud. Dalam hal
ini langsung dengan pihak yang erat hubungannya dengan penelitian agar data
yang diperoleh lebih jelas dan akurat.
b. Data sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh di luar responden bisa didapat
dalam bentuk : Library, Literature, questioner, Undang-Undang, maupun Arsip.
3. Analisis data
Analisis data yang digunakan untuk menarik kesimpulan dari peristiwa atau
masalah yang didukung oleh teori-teori yang berkaitan dengan objek
permasalahan. Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang
tersedia dari berbagai sumber baik data primer (hasil wawancara, pengamatan,
dokumen), maupun data sekunder (Library, Literature, Undang-Undang dan
Arsip).
a. Reduksi data
Reduksi data adalah proses pemilihan, perumusan dan penyederhanaan,
pengabstakan, dan transformasi bahasan yang muncul dari catatan dalam
b. Penyajian data
Penyajian data adalah sekumpulan informasi yang tersusun yang memberi
kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan, setelah
data terasa terpenuhi maka akan dijadikan dalam bentuk uraian yang sistematis.
c. Menarik kesimpulan
Menarik kesimpulan adalah sebagian dari kegiatan konfigurasi utuh.
Kesimpulan juga diversivikasi selama penelitian berlangsung untuk
mempermudah pemahaman tentang metode analisis data.
H. Sistematika Penulisan
Sistematika adalah gambaran singkat secara menyeluruh dari suatu karya
ilmiah, dalam hal ini adalah penulisan skripsi. Adapun sistematika ini bertujuan
untuk membantu para pembaca dengan mudah membaca skripsi ini. Penulisan
skripsi ini terbagi atas tiga bagian yaitu : Bagian pendahuluan skripsi, bagian isi
skripsi, dan bagian akhir skripsi. Bagian Pendahuluan skripsi berisi tentang
halaman judul, halaman pengesahan, motto dan persembahan, abstrak dan daftar
isi.
Bagian isi skripsi ini terdiri dari empat bab, yaitu :
Bab pertama, merupakan Pendahuluan yang berisikan suatu rincian yang mengemukakan apa yang menjadi dorongan penulis untuk mengambil dan
merumuskan permasalahan, yang secara umum berisi latar belakang
permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian
Bab kedua, merupakan bab yang berisikan tentang perlindungan terhadap
anak pelaku tindak pidana, serta menguraikan tentang perlindungan hukum
terhadap anak dari tahap penyidikan sampai dengan tahap persidangan yang
didapat melalui studi literature di perpustakaan dan hasil penelitian dan
wawancara yang dilakukan di lapangan.
Bab ketiga, merupakan bab yang berisikan tentang penerapan konsep diversi
dan restorative justice sebagai upaya perlindungan hukum terhadap anak pelaku
tindak pidana. Dalam bab ini diuraikan tentang penerapan konsep diversi dan
restorative justice sebagai upaya perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana sesuai dengan pelaksanaan di lapangan.
Bab keempat, merupakan bab Penutup yang berisikan kesimpulan dari hasil
pembahasan dan saran yang dijadikan bahan masukan dalam hal perlindungan
terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dan juga masukan dalam hal
BAB II
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DALAM PROSES PERADILAN PIDANA ANAK (studi kasus anak pelaku tindak pidana pencabulan di Karo)
Dalam upaya memberikan perlindungan terhadap kepentingan dan hak-hak
anak yang berhadapan dengan hukum, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan
beberapa peraturan perundang-undangan terkait, antara lain UU No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak dan UU
No. 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak.
Masalah perlindungan hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum, yang
terdapat dalam Pasal 66 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999, menentukan bahwa:
a. Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan
atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi;
b. Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan untuk
pelaku tindak pidana yang masih anak;
c. Setiap anak berhak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan
hukum;
d. Penangkapan, penahanan atau pidana penjara anak hanya boleh dilakukan
sesuai dengan hukum yang belaku dan hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya
terakhir;
e. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak mendapatkan perlakuan
secara manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan
pribadi sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan dari orang dewasa, kecuali
f. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak memperoleh bantuan hukum
atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang
berlaku;
g. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk membela diri dan
memperoleh keadilan di depan Pengadilan Anak yang objektif dan tidak
memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum.
Terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, UU No. 3 Tahun 1997
menggunakan istilah “anak nakal”. Sehubungan dengan perlindungan terhadap
anak nakal, maka menurut undang-undang ini tidak selalu anak pelaku tindak
pidana harus mendapatkan hukuman penjara. Sebagaimana ditegaskan pada Pasal
24 UU No. 3 Tahun 1997, bahwa tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak
nakal, berupa pengembalian kepada orang tua, wali/orang tua asuh atau
menyerahkannya kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan
latihan kerja atau menyerahkannya kepada departemen sosial atau organisasi
sosial kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan dan
latihan kerja. Selanjutnya berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam UU No. 23
Tahun 2002, ada beberapa pasal berhubungan dengan masalah perlindungan anak
yang berhadapan dengan hukum, yaitu:
a. Pasal 1 angka 2, yang menentukan bahwa perlindungan anak adalah segala
kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat
hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi.
b. Pasal 1 angka 15, menentukan bahwa perlindungan khusus adalah
berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi,
anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang
diper-dagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol,
psikotropika dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan,
pen-jualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental,
anak yang menyandang cacat dan anak korban perlakuan salah dan
pene-lantaran.
c. Pasal 2, menentukan bahwa penyelenggaraan perlindungan anak
berasaskan Pancasila dan berlandaskan UUD 1945 serta prinsip-prinsip
dasar Konvensi Hak-hak Anak meliputi:
1. non diskriminasi;
2. kepentingan yang terbaik bagi anak;
3. hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan;
4. penghargaan terhadap pendapat anak.
d. Pasal 3, menentukan bahwa perlindungan anak bertujuan untuk menjamin
terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan
berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanu-siaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi
terwujudnya anak Indonesia berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.
e. Pasal 16, menentukan bahwa:
1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran
penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak
2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan
hukum.
3) Penangkapan, penahanan atau tindak pidana penjara anak hanya
dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat
dilakukan sebagai upaya terakhir.
f. Pasal 17, menentukan bahwa:
(4) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk:
1) mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya
dipisahkan dari orang dewasa;
2) memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam
setiap tahapan upaya hukum yang berlaku;
3) membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak
yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum;
(5) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau
yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.
g. Pasal 17, menentukan bahwa: Pasal 18, menentukan bahwa setiap anak yang
menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan
hukum dan bantuan lainnya.
h. Pasal 59, menentukan bahwa pemerintah dan lembaga negara lainnya
ber-kewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus
kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum,
anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara
ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi
korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif
korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat
dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
i. Pasal 64, menentukan bahwa:
(6) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi anak yang berhadapan
dengan hukum dan anak korban tindak pidana, merupakan kewajiban dan
tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.
(7) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum
dilaksanakan melalui:
a. perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan
hak-hak anak.
b. penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini.
c. penyediaan sarana dan prasarana khusus.
d. penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan terbaik bagi anak.
e. pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan
anak yang berhadapan dengan hukum.
f. pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang
tua atau keluarga.
g. perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan
untuk menghindari labelisasi.
Dalam Pasal 59 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, dinyatakan bahwa: “Pemerintah dan Lembaga negara lainnya wajib
memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang
berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang
menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif
lainnya, anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan
baik fisik dan atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan
salah dan penelantaran.”
Dalam salah satu poin pasal tersebut menyebut tentang anak yang berhadapan
dengan hukum. Asumsi setiap orang jika mendengar kata anak yang berhadapan
dengan hukum seolah terkooptasi pada pemahaman anak yang menjadi pelaku tindak
pidana. Padahal telah dinyatakan secara tegas dalam Pasal 64 Undang-Undang No. 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tersebut bahwa: “Perlindungan khusus bagi
anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 meliputi
anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana. Perlindungan
khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dilaksanakan melalui:
1) Perlakuan atas anak secara menusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak
anak.
2) Penyediaan Petugas Pendamping sejak dini.
3) Penyediaan sarana dan prasarana khusus.
4) Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak.
5) Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang
berhadapan dengan hukum.
6) Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orangtua atau
keluarga.
7) Perlindungan dari pemberian identitas melalui media masa untuk menghindari
labelisasi.
Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) adalah segala
kenakalan anak. Pertama, polisi sebagai institusi formal ketika anak nakal
pertama kali bersentuhan dengan sistem peradilan, yang juga akan menentukan
apakah anak akan dibebaskan atau diproses lebih lanjut. Kedua, jaksa dan
lembaga pembebasan bersyarat yang juga akan menentukan apakah anak akan
dibebaskan atau diproses ke pengadilan anak. Ketiga, Pengadilan Anak, tahapan
ketika anak akan ditempatkan dalam pilihan-pilihan, mulai dari dibebaskan
sampai dimasukkan dalam institusi penghukuman. Yang terakhir, institusi
penghukuman.30
a. Status Offender adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan
oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan, seperti tidak
menurut, membolos sekolah atau kabur dari rumah;
Ada 2 (dua) kategori perilaku anak yang membuat ia berhadapan dengan
hukum, yaitu:
b. Juvenile Delinquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila
dilakukan oleh orang dewasa dianggap kejahatan atau pelanggaran hukum
Pelaksanaan Sitem Peradilan Pidana Anak ditegakkannya demi mencapai
kesejahteraan anak dengan berdasar prinsip kepentingan terbaik bagi anak. Dengan kata
lain, Sitem Peradilan Pidana Anak berdasarkan pada perlindungan anak dan pemenuhan
hak-hak anak (protection child and fullfilment child rights based approuch). Selanjutnya
akan dibahas sistem peradilan anak di Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan.
30 Steven Allen, Kata Pengantar, dalam Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini
A. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pada Tahap Penyidikan, Penuntutan dan Persidangan
1. Tahap Penyidikan
Pada hakikatnya ketentuan KUHAP tentang penyidikan didefenisikan
sebagai berikut. Penyidikan adalah serangakaian tindakan penyidik dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini (KUHAP) untuk mencari
serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak
pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.31 Tindakan itu dapat
meliputi pemanggilan dan pemeriksaan saksi-saksi, penyitaan alat-alat bukti,
pengeledahan, pemanggilan dan pemeriksaan tersangka, melakukan penangkapan,
melakukan penahanan, dan lain sebagainya. Sementara penyidik sesuai Pasal 1
angka 1 KUHAP, adalah Pejabat Polisi Negara RI atau Pejabat Pegawai Negeri
Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk
melakukan penyidikan. Penyidikan yang dilakukan oleh pejabat kepolisian negara
RI bertujuan untuk mengumpulkan bukti guna menemukan apakah suatu peristiwa
yang terjadi merupakan peristiwa pidana, dengan penyidikan juga ditujukan untuk
menemukan pelakunya. Setelah adanya penyidikan tahapan selanjutnya dilakukan
penyelidikan. Penyelidikan kasus pidana dilakukan oleh kepolisian sesuai dengan
KUHAP dan Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Polisi
dalam melakukan penyelidikan terhadap anak pelaku tindak pidana harus
memperhatikan berbagai ketentuan mengenai upaya penangan anak mulai dari
penangkapan sampai proses penempatan.32
31
Pasal 1 butir 2 KUHAP
32
Secara umum berdasarkan ketentuan Undang-Undang nomor 3 tahun 1997
bahwa penyidikan terhadap pelaku tindak pidana anak hanya dapat dilakukan
apabila pelaku tindak pidana telah berusia 8 (delapan) tahun tetapi belum
mencapai umur 18 (delapan belas) tahun, tarhadap anak dibawah umur delapan
tahun yang melakukan tindak pidana akan mendapat pembinaan dan
dikembalikan pada orang tua/wali.
Penyidikan terhadap anak dalam hal anak nakal dilakukan oleh Penyidik
Anak, yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian RI atau
Pejabat yang ditunjuk olehnya. Dengan demikian Penyidik Umum tidak dapat
melakukan penyidikan atas Perkara Anak Nakal, kecuali dalam hal tertentu,
seperti belum ada Penyidik Anak di tempat tersebut.
Penyidikan terhadap anak nakal berlangsung dalam suasana kekeluargaan,
dan untuk itu penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari Pembimbing
Kemasyarakatan sesuai Undang-Undang No. 3 Tahun 1997. Diperiksa dalam
suasana kekeluargaan, berarti pada waktu memeriksa tersangka anak, penyidik
tidak memakai pakaian seragam/dinas, dan melakukan pendekatan secara efektif,
aktif, dan simpatik.
Suasana kekeluargaan itu juga berarti tidak ada pemaksaan, intimidasi atau
sejenisnya selama dalam penyidikan. Salah satu jaminan terlaksananya suasana
kekeluargaan ketika penyidikan dilakukan, adalah hadirnya Penasehat Hukum,
disamping itu, karena yang disidik adalah anak, maka juga sebenarnya sangat
penting kehadiran orang tua/wali/orang tua asuhnya, agar tidak timbul ketakutan
Apabila dipandang perlu, penyidik juga dapat meminta pertimbangan atau
saran dari ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli agama, atau petugas
kemasyarakatan lainnya. Sementara untuk kepentingan si anak sendiri, maka
proses penyidikan wajib dirahasiakan
Tindakan yang dapat dilakukan penyidik oleh seorang penyidik adalah
penangkapan, penahanan, mengadakan pemeriksaan ditempat kejadian,
melaksanakan penggeledahan, pemeriksaan tersangka dan interogasi, membuat
Berita Acara Pemeriksaan (BAP), penyitaan, penyimpanan perkara dan
melimpahkan perkara.33
a. Penangkapan
Berikut penjelasan prosedur yang dilakukan untuk anak pelaku tindak
pidana :
Penangkapan adalah suatu tindakan Penyidik berupa pengekangan
sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti
guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta
menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang.34
Mengenai tindakan penangkapan tidak diatur secara rinci dalam
Undang pengadilan anak, sehingga berlaku ketentuan-ketentuan dalam
Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang-Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP). Undang-Undang ini mengatur wewenang polisi dalam melakukan
penyidikan dan penyelidikan yang selanjutnya diatur dalam petunjuk pelaksanaan
(juklak) dan petunjuk teknis (juknis) kepolisian. Aturan tersebut menjadi pedoman
bagi setiap anggota kepolisian RI dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
33
Paramita dan tamba BIT, perlindungan hak anak dalam proses peradilan pidana pada tahap penyidikan, Jurnal Hukum no 1 Januari 2003, hlm. 29
34
Upaya memberikan perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan
hukum, disamping juklak dan juknis yang dimiliki, ada beberapa cara penanganan
terhadap anak, seperti :35
a. Tindakan penangkapan diatur dalam Pasal 16 sampai Pasal 19
KUHAP. Berdasarkan Pasal 16 KUHAP dapat diketahui bahwa
tujuan penangkapan tersangka ialah untuk kepentingan penyelidikan
dan untuk kepentingan penyidikan. Perintah penangkapan dilakukan
terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana
berdasarkan bukti yang cukup36. Pelaksanaan tugas penangkapan
dilakukan oleh petugas kepolisian negara RI, dengan
memperlihatkan surat tugas dan memberikan kepada tersangka
surat-surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka.
Menyatakan alasan penangkapan, dan uraian singkat perkara
kejahatan yang dipersangkakan, serta mengemukakan tempat
tersangka diperiksa37. Adapun waktu penangkapan paling lama satu
hari.38
b. Khusus tindakan penangkapan terhadap anak yang berhadapan
dengan hukum, polisi memperhatikan hak-hak anak dengan
melakukan tindakan perlindungan terhadap anak, seperti :
1. Perlakukan anak dengan asas praduga tak bersalah.
2. Perlakukan anak dengan arif, santun dan bijaksana, dan tidak
seperti terhadap pelaku tindak pidana dewasa.
35
Marlina II, Op.cit, hlm.86
3. Saat melakukan penangkapan segera memberitahukan orang tua
dan walinya.
4. Anak tertangkap tangan segera memberitahukan orang tua atau
walinya.
5. Wewenang mengadakan tindakan lain menurut hukum yang
bertanggung jawab, polisi atau masyarakat berdasar pada asas
kewajiban.
6. Penangkapan terhadap anak yang diduga sebagai tersangka
bukan karena tertangkap tangan, merupakan kontak atau tahap
pertama pertemuan antara anak dengan polisi. Tahap ini penting
bagi seorang polisi menghindarkan anak dari
pengalaman-pengalaman traumatic yang akan dibawanya seumur hidup.
Untuk itu polisi memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1) Menunjukkan surat perintah penangkapan legal kepada
anakyang diduga sebagai tersangka dengan ramah dan
bertanggung jawab. Cara yang ramah memberi rasa nyaman
terhadap anak daripada rasa takut.
2) Menggunakan pakaian yang sederhana dan hindari
penggunaan kendaraan yang bertanda/berciri khas polisi
untuk menghindari tekanan mental anak akibat simbol-simbol
polisiyang terkesan membahayakan dan mengancam diri
anak.
3) Petugas yang melakukan penangkapan tidak boleh
menarik perhatian orang-orang yang berada di sekeliling
anak. Penggunaan kata-kata yang bersahabat akan
mempermudah anak menjalani setiap prosesnya dengan
tenang dan tanpa rasa takut dan tertekan.
4) Membawa anak dengan menggandeng tangannya untuk
menciptakan rasa bersahabat, hindari perlakuan kasar dan
menyakitkan seperti memegang kerah baju atau bahkan
menyeret dengan kasar.
5) Petugas tidak memerintahkan anak melakukan hal-hal yang
mempermalukannya dan merendahkan harkat dan
martabatnya sebagai manusia, seperti menyuruh membuka
pakaian. Akan tetapi memberikan perlindungan perlindungan
mental dan jiwa anak saat ditangkap.
6) Jika keadaan tidak memaksa dan membahayakan, polisi tidak
perlu melakukan penangkapan dengan menggunakan borgol
terhadap anak, karena perlakuan ini menyakitkan dan
membuat trauma serta rasa malu dilihat masyarakat atau
tetangganya.
7) Media massa tidak boleh melakukan peliputan proses
penangkapan tersangka anak demi menjaga jati diri dan
identitas anak.
8) Pemberian pelayanan kesehatan seperti pemeriksaan