PREVALENSI KELAINAN MUKOSA ORAL DAN
PENGETAHUAN RISIKO MENYIRIH PADA
PENDUDUK KECAMATAN PANCUR BATU
DELI SERDANG
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi
syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran gigi
KIIRTANA SANTHARASAGARAN
NIM: 110600200
Dosen Pembimbing:
Dr. Wilda Hafny Lubis, drg., Msi.
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Fakultas Kedokteran Gigi
Departemen Ilmu Penyakit Mulut
Tahun 2015
Kiirtana Santharasagaran
Prevalensi Kelainan Mukosa Oral Dan Pengetahuan Risiko Menyirih Pada
Penduduk Kecamatan Pancur Batu Deli Serdang.
x + 68 halaman
Kebiasaan menyirih masih dilakukan oleh penduduk Kecamatan Pancur Batu
Deli Serdang, khususnya wanita yang telah berumah tangga. Terdapat banyak
penelitian melaporkan adanya hubungan terjadinya kelainan mukosa oral dengan
kebiasaan mengunyah sirih. Ternyata sebagian besar penyirih masih mempunyai
pengetahuan yang kurang tentang dampak negatif dari kebiasaan menyirih. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui kelainan mukosa oral apa saja yang terjadi
pada penyirih serta pengetahuan penduduk tentang risiko menyirih.
Jenis penelitian adalah survei deskriptif dengan pendekatan cross sectional
yang melibatkan 65 orang penyirih di Kecamatan Pancur Batu. Pengumpulan data
dilakukan dengan 2 cara yakni pertama melakukan pemeriksaan rongga mulut
terhadap subjek dengan menggunakan kaca mulut serta senter, kelainan yang
ditemukan dicatat pada lembar pemeriksaan yang telah disediakan. Data pengetahuan
diperoleh dengan mewawancarai subjek sesuai dengan kuesioner yang telah
disediakan. Data yang dikumpulkan kemudian ditabulasikan dan analisa data
dilakukan dengan cara menghitung persentase penyakit mulut berdasarkan kebiasaan
menyirih dan pengetahuan risiko menyirih.
Hasil penelitian menunjukkan dari 65 subjek sebanyak 34 subjek (52,3%)
tidak mempunyai kelainan mukosa oral dan 31 subjek (47,7%) ditemukan
mempunyai kelainan mukosa oral. Dari 31 subjek ditemukan sebanyak 18 kasus
(58,1%) lesi mukosa penyirih, 5 kasus (16,1%) preleukoplakia dan 11 kasus (35,5%)
Selain itu, ditemukan juga dari 65 penyirih sebanyak 86,2% mempunyai pengetahuan
yang kurang tentang risiko menyirih. Sebanyak 7,7% mempunyai pengetahuan yang
cukup dan 6,1% mempunyai pengetahuan yang baik.
Dari hasil penelitian ini prevalensi terjadinya kelainan rongga mulut akibat
menyirih cukup tinggi dan apabila tidak mendapatkan perawatan kelainan ini dapat
berkembang dan membahayakan kesehatan masyarakat. Penyuluhan harus
berkesinambungan untuk meningkatkan pengetahuan penduduk tentang dampak
negatif dari kebiasaan menyirih terhadap kesehatan rongga mulut.
PREVALENSI KELAINAN MUKOSA ORAL DAN
PENGETAHUAN RISIKO MENYIRIH PADA
PENDUDUK KECAMATAN PANCUR BATU
DELI SERDANG
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi
syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran gigi
KIIRTANA SANTHARASAGARAN
NIM: 110600200
Dosen Pembimbing:
Dr. Wilda Hafny Lubis, drg., Msi.
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PERNYATAAN PERSETUJUAN
Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan tim penguji skripsi
Medan, 27 Maret 2015
Pembimbing Tanda tangan
Dr. Wilda Hafny Lubis, drg., M.Si
TIM PENGUJI SKRIPSI
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan tim penguji pada tanggal 27 Maret 2015
TIM PENGUJI
KETUA : Dr. Wilda Hafny Lubis, drg., M.Si
ANGGOTA : 1. Sayuti Hasibuan, drg., Sp.PM
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu
syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Gigi di Fakultas Kedokteran
Gigi Sumatera Utara.
Rasa hormat dan terima kasih yang tidak terhingga penulis sampaikan kepada
kedua orang tua yaitu buat ayahanda Santharasagaran Karuppiah dan ibunda
Mohanambal Sundaresan atas doa, perhatian dan dukungan moril dan materil sebagai
bentuk kasih sayang kepada penulis.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bimbangan, bantuan
dan doa dari berbagai pihak untuk menyelesaikan skripsi. Untuk itu dengan segala
kerendahan hati serta penghargaan yang tulus penulis menyampaikan rasa terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen pembimbing Dr.Wilda Hafny Lubis,
drg.,M.Si yang telah dengan sabar, tekun, tulus dan ikhlas meluangkan waktu, tenaga
dan pikiran memberikan bimbingan, motivasi, arahan dan saran-saran yang sangat
berharga kepada penulis selama menyusun skripsi. Selanjutnya penulis mengucapkan
terima kasih kepada yang terhormat:
1. Sayuti Hasibuan selaku Ketua Departemen Ilmu Penyakit Mulut Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara, koordinator skripsi dan tim penguji
skripsi yang telah meluangkan waktu dan memberikan saran yang bermanfaat kepada
penulis.
2. Indri Lubis, drg selaku tim penguji skripsi atas waktu yang telah diberikan
dan saran yang bermanfaat buat penulis untuk menyelesaikan skripsi dengan baik.
3. Seluruh staf pengajar Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera
Utara yang telah mendidik dan membimbing penulis selama masa pendidikan, dan
staf pengajar dan pegawai Departemen Ilmu Penyakit Mulut yang telah membimbing
dan memberi arahan selama masa penyusunan skripsi.
4. Siti Salmiah, drg., Sp.KGA, penasehat akademik yang telah banyak
5. Sahabat-sahabat penulis yaitu Dytha Debrina, Neggy, Angeline, Ashvinaa,
Pennie, Elsi, Tiurma, Maya, Yuki, Patria Fajar Wibowo, Roni serta teman-teman
seangkatan 2011 yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu dan
memotivasi penulis sepanjang skripsi.
Akhir kata, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk
kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangan pikiran
yang berguna bagi fakultas, pengembangan ilmu yang bermanfaat bagi masyarakat.
Akhirnya tiada lagi yang dapat penulis ucapkan selain syukur sedalam-dalamnya
kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Medan, 20 Maret 2015
Penulis,
(Kiirtana
Santharasagaran)
2.4.5 Kanker Rongga Mulut………
3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi... 21
DAFTAR TABEL
5 Distribusi jumlah kelainan mukosa oral terhadap penduduk yang
mempunyai kebiasaan menyirih………. 32
6 Distribusi jenis kelainan mukosa oral pada penduduk yang
mempunyai kebiasaan menyirih………. 34
7 Distribusi pengetahuan risiko menyirih pada penduduk yang
mempunyai kebiasaan menyirih……….. 35
8 Distribusi penduduk yang tidak mempunyai kelainan mukosa
oral berdasarkan tingkat pengetahuan………. 36
9 Distribusi penduduk yang mempunyai kelainan mukosa oral
berdasarkan tingkat pengetahuan……… 36
10 Distribusi penduduk yang pernah atau tidak pernah mendapat
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1 Komposisi menyirih……… 6
2 Pohon sirih dan daun sirih……….. 7
3 Pinang………. 8
4 Kapur…... 9
5 Gambir……….... 10
6 Tembakau... 11
7 Lesi mukosa penyirih………. 12
8 Oral submukus fibrosis……….. 13
9 Leukoplakia……… 14
10 Liken planus………... 15
DAFTAR LAMPIRAN
1. Lembar penjelasan kepada calon subjek penelitian
2. Lembar persetujuan subjek penelitian
3. Kuesioner
4. Lembar pemeriksaan subjek
5. Data penelitian
6. Gambar lesi mukosa penyirih, preleukoplakia dan leukoplakia
7. Surat persetujuan komisi etik
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit yang terjadi pada manusia dapat merupakan konsekuensi dari suatu
gaya hidup. Salah satu perilaku yang berkaitan dengan sosial budaya dan
berhubungan dengan kesehatan rongga mulut adalah kebiasaan menyirih. Sejak
zaman dulu, perilaku ini dijadikan suatu tradisi atau kebiasaan. Menurut Gupta dkk
cit Little, sebanyak 600 milliar orang dilaporkan melakukan aktivitas menyirih di seluruh dunia, terutamanya di Asia Selatan, Asia Tenggara dan Kepulauan Pasifik.
Komposisi sirih mengandungi substan psikoaktif dan sering dikonsumsi orang ramai
selain alkohol, nikotin dan kafein.1,2
Aktivitas menyirih digemari oleh masyarakat di Asia Selatan karena
mempunyai beberapa manfaat kesehatan, antara lain menyegarkan pernafasan, obat
pencuci perut, meningkatkan pengecapan, pengobatan ayurvedic, masalah impoten, masalah ginekologi, infeksi parasit di intestinal dan untuk mengatasi masalah
pencernaan. Selain itu, menyirih dapat meningkatkan kapasitas bekerja, menimbulkan
sensasi panas dalam tubuh, mengurangi rasa cemas dan meningkatkan kewaspadaan.
Menyirih sering digunakan oleh orang-orang kurang mampu untuk menghindari
kebosanan dan rasalapar.3,4,5 Menurut Acharya cit Flora, daun sirih diletakkan pada dahi untuk mengurangi rasa sakit kepala.3 Manfaatnya pada gigi dan mulut adalah
dapat memperkuat gigi, mencegah terjadinya karies dan mengurangi rasa sakit pada
gigi.5
Beberapa penelitian melaporkan bahwa kebiasaan menyirih terutama dengan
menggunakan tembakau dapat menyebabkan efek negatif terhadap kesehatan. Efek
yang merugikan ini terjadi disebabkan oleh faktor-faktor yang mendukung timbulnya
kelainan-kelainan pada mukosa oral antara lain komposisi menyirih, durasi dan
frekuensi menyirih, dilaporkan penyebab penyakit kanker pada saluran pernafasan
menyirih dapat menyebabkan gangguan tekanan darah dan penyakit kardiovaskuler.
Selain itu, menyirih dapat menimbulkan efek negatif terhadap jaringan mukosa,
trismus, stein dan atrisi pada bagian oklusal gigi.6,7 Berbagai penelitian melaporkan
bahwa lesi mukosa oral berhubungan dengan kebiasaan menyirih.8 Hasil yang
diperoleh berbeda pada tiap negara.9
Sebagai tanda awal dari terjadinya perubahan mukosa oral akibat menyirih
meliputi mukosa penyirih, preleukoplakia, leukoplakia, liken planus, oral submukus
fibrosis dan selanjutnya berkembang menjadi karsinoma rongga mulut.7,8,9,10 Pada
penelitian yang dilakukan oleh Hasibuan dkk (2002), dilaporkan terdapat lesi mukosa
penyirih 47,9%, preleukoplakia 14,3%, leukoplakia tipe homogen 7,1%, dan oral
submukus fibrosis 8,2% pada penyirih di Tanah Karo. Kanker rongga mulut tidak
ditemukan dalam penelitian ini.9 Menurut World Health Organization (WHO), lesi mukosa oral merupakan salah satu masalah utama kesehatan masyarakat.11
Berdasarkan laporan WHO, kampanye media massa anti tembakau di Indonesia
ternyata tidak dilaksanakan pada tahun 2011 hingga 2012. Berhubungan dengan hal
tersebut maka pengetahuan masyarakat tentang risiko penggunaan tembakau terutama
ketika menyirih sangat kurang.12 Pemeliharaan kesehatan rongga mulut masih
diabaikan sebagian orang disebabkan oleh rendahnya pengetahuan mereka tentang
risiko kelainan mukosa oral yang dapat terjadi, walaupun proses terjadinya kelainan
mukosa oral pada penyirih lambat dan kenyataannya jarang menimbulkan kematian
spontan menyebabkan penderita sering tidak memberikan perhatian khusus.
Di Kecamatan Pancur Batu, suatu daerah yang terletak di provinsi
Sumatera Utara telah lama dikenal dengan penduduk mempunyai kebiasaan menyirih.
Aktivitas menyirih telah dimulai dari remaja yang bertujuan untuk menghilangkan
kebosanan atau sebagai pergaulan sosial sehingga frekuensi kegiatan menyirih
meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan hal diatas, dan untuk menambah
informasi tentang akibat menyirih maka perlu dilakukan penelitian untuk
mengidentifikasikan prevalensi terjadinya kelainan mukosa oral pada penyirih dan
pengetahuan tentang risiko menyirih pada kalangan penduduk di Kecamatan Pancur
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian tersebut diatas timbul permasalahan sebagai berikut:
1. Apa saja kelainan mukosa oral pada penyirih di Kecamatan Pancur Batu?
2. Berapakah prevalensi kelainan mukosa oral pada penyirih di Kecamatan
Pancur Batu?
3. Bagaimana pengetahuan penduduk mengenai risiko menyirih di Kecamatan
Pancur Batu?
1.3Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
1. Untuk mengetahui kelainan mukosa oral apa saja yang terjadi pada
penyirih di Kecamatan Pancur Batu.
2. Untuk mengetahui pengetahuan penduduk tentang risiko menyirih di
Kecamatan Pancur Batu.
1.3.2 Tujuan khusus
1. Untuk mengetahui jenis dan jumlah kelainan mukosa oral pada penyirih di
Kecamatan Pancur Batu.
2. Mengetahui apakah lama frekuensi menyirih dan durasi dapat
menyebabkan kelainan mukosa oral pada penyirih di Kecamatan Pancur Batu.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1Manfaat Teoritis
1. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi bagi pengembangan
ilmu pengetahuan kedokteran gigi bahwa menyirih dapat menimbulkan kelainan
mukosa oral.
2. Sebagai data untuk penelitian-penelitian lebih lanjut tentang adanya
1.4.2 Manfaat Praktis
1. Informasi ini dapat digunakan dalam membuat rancangan dan
pengembangan program kesehatan gigi dan mulut untuk mencegah kebiasaan
menyirih sebagai penyebab kelainan yang lebih serius di rongga mulut.
2. Sebagai informasi bagi masyarakat tentang risiko terjadinya kelainan
mukosa oral akibat menyirih.
3. Diharapkan dapat menyumbangkan informasi penting untuk memahami
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sejarah Menyirih
Kebiasaan menyirih sudah dikenal sekitar 2000 tahun yang lalu, sedangkan
tembakau dikenal sekitar 16 Masehi.13 Menyirih merupakan kebiasaan tradisional
yang dihubungkan dengan kegiatan sosial, budaya serta upacara-upacara sehingga
dapat diterima di seluruh lapisan masyarakat termasuk wanita dan anak-anak.
Kebiasaan menyirih telah dilaporkan di beberapa negara seperti Pakistan, Sri Lanka,
Bangladesh, Thailand, Kamboja, Malaysia, Indonesia, China, Papua Nugini, beberapa
pulau di Pasifik dan populasi migran dari Afrika Selatan, Afrika Timur, Inggris,
Amerika Utara dan Australia. Kebiasaan menyirih hampir merata dilakukan oleh
masyarakat suku-suku bangsa di Indonesia, mulai dari suku-suku bangsa yang
bermukim di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Papua.
Setiap suku bangsa mengolah sirih sesuai kebutuhan budaya mereka.14 Di Sumatera
Utara, kebiasaan menyirih masih dilakukan terutama pada kalangan suku Karo.
Secara umum dilihat dari tinjauan geografis dan budaya, suku Karo adalah salah satu
etnis suku-suku bangsa Indonesia yang mendiami daerah Dataran Tinggi Karo. Suku
Karo menganut sistem kekerabatan yang disebut disebut dengan “marga” yang terdiri dari lima cabang yaitu Perangin-angin, Ginting, Sembiring, Tarigan, dan Karo-karo.15
Kelima marga ini mempunyai kebiasaan menyirih terutama pada acara adat istiadat.
Dalam perkembangannya budaya, menyirih digunakan untuk tujuan kesehatan atau
sebagai camilan untuk mengisi masa luang.14
Menyirih merupakan kegiatan mencampur unsur-unsur yang diletakkan dalam
mulut kemudian dihisap atau dikunyah sehingga berkontak dengan mukosa dalam
waktu tertentu.16 Pada umumnya bahan yang digunakan ketika menyirih adalah daun
sirih (Piper betle), kapur (kalsium hidroksida) dan pinang (Areca catechu) dan pada masa selanjutnya dipadukan dengan gambir (Uncaria Gambir), tembakau (Nicotina tobaccum), cengkeh, kayu manis dan lain-lain.2,16
Gambar 1. Komposisi menyirih17
2.2.1 Sirih (Piper betle)
Nama Latin daun sirih adalah Piper betle L, yang berasal dari keluarga
Piperaceae.Sirih merupakan tanaman menjalar dan merambat pada batang pohon di sekelilingnya.18 Secara makroskopik tanaman ini berwarna hijau kekuningan atau
hijau gelap dengan permukaan yang licin. Panjang daun adalah 7-15 cm dan lebarnya
adalah 5-14 cm. Daunnya berbentuk jantung, berujung runcing, tumbuh
bersilang-seling, bertangkai dan mengeluarkan bau yang menyenangkan bila diremas.
Batangnya berwarna cokelat kehijauan, berbentuk bulat dan berkerut. Daun sirih
mempunyai aroma disertai dengan berbagai rasa, dari rasa manis hingga berbau tajam
karena mengandung minyak atsiri.19
Komponen utama daun sirih adalah pati, diastases, gula dan minyak atsiri.
sebagai antiseptik.2,19 Menurut Wang dkk cit International Agency For Research On Cancer, daun sirih mengandungi vitamin C dan carotene.2 Daun sirih memiliki
manfaat yang sangat luas sebagai bahan obat. Manfaat dari daun sirih antara lain
sebagai antiseptik, stimulan, menghilangkan bau mulut, abses, gatal-gatal,
pembengkakan gusi, rematik dan mencegah abrasi. Bahkan, jus daun sirih digunakan
untuk mengurangi demam, batuk, kelelahan dan asma.18,19,20
Gambar 2. Pohon sirih dan daun sirih21
2.2.2 Pinang (Areca catechu)
Pinang yang dikenali sebagai Areca catechu merupakan suatu jenis tanaman yang berasal dari keluarga Arecaceae yang tumbuh di Afrika Timur, Asia Selatan dan Pulau Pasifik. Di India pinang dikenali sebagai pan dan di Bali sebagai boa.21 Pinang dapat tumbuh 10-30 meter dan meruncing di bagian pucuk sekitar 3-5 cm. Buah
pinang mempunyai bentuk bulat dan berwarna hijau ketika masih muda dan berubah
menjadi kuning dan jingga apabila masak. Kandungan dari pinang adalah catechu-tannic acid (25-35%), acacatechin (2-10%), quercetin, catechu red, alkaloid
(arecoline, arecaidine, guvacine dan guvacoline).2,23,24
Pinang adalah suatu jenis unsur yang mempunyai warna merah-cokelat yang
sering dioleskan pada sirih dan dibungkus bersamaan dengan unsur lain.2 Kulit buah
dipotong kecil sebelum dikunyah. Kulit biji pinang dapat digunakan untuk
membersihkan gigi. Menurut Wilson dkk cit World health organization Western Pacific Region, dilaporkan bahwa pinang dapat menghasilkan rasa manis dan efek
stimulan. Ketika pinang, kapur dan daun sirih dikunyah pada masa bersamaan akan
menyebabkan hasil pengunyahan menjadi warna merah.23
Menurut Surendiran dkk cit Cyriac, dilaporkan bahwa pinang dapat menghambat pertumbuhan dan propagasi S.mutans. Selain itu, beberapa laporan menyatakan bahwa tumbuhan ini mempunyai sifat antioksidan.25 Menurut Murti dkk
cit Adhikari pinang merupakan salah satu faktor etiologi utama terjadinya oral submukus fibrosis. Hal ini terbukti mukosa oral menjadi kaku dan terdapat
pembentukan fibrous bands, disertakan dengan kehilangan elastisitas mukosa sehingga sulit membuka mulut.24
Gambar 3. Pinang21
2.2.3 Kapur (kalsium hidroksida)
Kapur adalah senyawa atau bahan oksida, hidroksida, dan karbonat dari
kalsium (Ca). Kapur atau cunam (kapur mati) berwarna putih likat seperti krim yang dihasilkan dari cangkang siput laut yang telah dibakar. Hasil dari debu cangkang
perlu dicampur dengan air untuk mempermudah pengolesan ke atas daun sirih.21
Kapur boleh didapati dengan membakar batu kapur (kalsium karbonat
CaCO3). Apabila dibakar dengan suhu tertentu, kalsium karbonat mengeluarkan gas
dengan air sehingga mengembang dan menghasilkan haba serta mejadi bubuk kapur
yang dikenal sebagai kalsium hidroksida (Ca(OH)2).21
Proses ini disebut dengan tindakan air (slaking) dan bubuk kapur adalah kapur terhidrat. Bubuk kapur akan menjadi cair jika campuran air berlebihan. Bubuk kapur
yang didiamkan lama akan menyebabkan kandungan airnya hilang dan bereaksi
dengan karbon dioksida di udara sehingga kembali menjadi kalsium karbonat.21
Kapur dan komposisi lain pada sirih dipadukan sebelum dikunyah. Kapur melepaskan
alkaloid dari pinang sehingga menghasilkan perasaan euforia.16 Kapur boleh menyebabkan inflamasi pada daerah submukosa.26 Selain itu, kapur juga merupakan
faktor pemicu pembentukan Reactive Oxygen Species (ROS) sehingga menyebabkan kerusakan oksidatif pada Deoxyribonucleic Acid (DNA) sel mukosa bukal pada penyirih.24
Gambar 4. Kapur21
2.2.4 Gambir (Uncaria Gambir)
Gambir merupakan suatu jenis tumbuhan yang terdapat di Asia Tenggara,
biasanya sering dijumpai di Malaysia dan Indonesia. Gambir termasuk dalam
keluarga Rubiaceae. Tinggi tumbuhan ini adalah sekitar 2.4 meter dan panjang daunnya adalah 8-14 cm. Daunnya berbentuk lonjong dan permukaannya licin.
Bunganya berwarna kelabu.21,28 Kandungan utama gambir adalah asam katechu
Dahlimi menyatakan bahwa kandungan kimia gambir yang paling banyak
dimanfaatkan adalah katechin dan tanin.28
Pada masyarakat tradisional, gambir merupakan satu bahan yang cukup
banyak dibutuhkan. Kegunaan gambir secara tradisional adalah sebagai bahan
pelengkap makan sirih dan obat-obatan, seperti di Malaysia gambir digunakan
sebagai obat luka bakar, di samping rebusan daun muda dan tunasnya sebagai obat
diare dan disentri serta obat kumur-kumur pada sakit tenggorokkan, sedangkan di
Singapura gambir digunakan sebagai bahan baku obat sakit perut dan sakit gigi.28
Gambar 5. Gambir 21
2.2.5 Tembakau (Nicotiana tabacum)
Tembakau berasal dari famili Solanaceae. Daun-daunnya digunakan untuk membuat rokok. Tembakau dapat tumbuh dalam keadaan iklim yang berlainan.
Ketika musim kemarau tembakau dipanen untuk mendapatkan daun-daun yang
bermutu. Daun-daun tembakau yang bermutu hanya boleh dihasilkan di
kawasan-kawasan tertentu. Jenis tembakau yang sama jika ditanam di kawasan-kawasan yang
mempunyai tanah yang berlainan dapat menghasilkan kualitas daun yang rendah. 21
Pohon tembakau subur dapat tumbuh sehingga 2 meter. Daun tembakau
digunakan sebagai pelengkap dalam menyirih. Unsur bioaktif yang terdapat pada
tembakau adalah nikotin, sifatnya menimbulkan ketagihan sehingga mendorong otak
Gambar 6. Tembakau 21
2.3 Cara Persiapan Sirih
Pengolahan menyirih adalah berbeda pada beberapa negara tergantung kepada
kebiasaan dan sumber bahan yang boleh didapati. Komposisi utama terdiri dari daun
sirih, biji buah pinang dan kapur. Terdapat sebagian penyirih menambahkan kelapa
parut, tembakau, kunyit, cengkeh dan kayu manis.2,16
Di India, kegiatan menyirih berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya.
Secara umum, menyirih dilakukan dengan biji buah pinang dihancurkan, dipotong
kecil atau diparut terlebih dahulu, kemudian dicampurkan dengan kapur dan rempah
lalu dibungkus dengan daun sirih.30 Di Lao People’s Democratic Republic, daun sirih
dioleskan dengan kapur, biji pinang dan tembakau yang dipotong kecil, kemudian
camphor digunakan untuk menghilangkan stein merah pada gigi setelah mengunyah.2
Sementara di Thailand, menurut Mougne dkk cit International Agency For Research On Cancer, komposisi utama menyirih adalah daun sirih, pinang dan kapur,
kemudian ditambahkan dengan bahan adiktif seperti tembakau, sandalwood atau
moonflower bark. Di Myanmar, aktivitas menyirih dikenali sebagai kun-ya atau kun. Komposisi utama adalah sama seperti di Thailand, yaitu daun sirih, pinang, kapur dan
tembakau. Menurut Chin dkk cit International Agency For Research On Cancer, di Malaysia, suku India menggunakan daun sirih muda, kapur, tembakau dan pinang
yang dikeringkan yang telah dipotong atau dalam bentuk bubuk sedangkan suku
.
Menurut Moller dkk cit International Agency For Research On Cancer
aktivitas bersirih di Indonesia mengacu pada kebiasaan mengunyah campuran daun
sirih (Piper betle Leaves), biji pinang (Areca Catechu), dan kapur (Kalsium hidroksida) yang pada masa selanjutnya dipadukan dengan gambir (Uncaria Gambir)
dan tembakau (Nicotina Tobaccum).2,15 Rempah seperti kapulanga atau cengkeh ditambah untuk menambah rasa. Kemudian campuran ini diletakkan dalam mulut dan
dihisap, dikunyah atau digosok sehingga berkontak dengan mukosa dalam waktu
tertentu.16 Di Indonesia, menyirih dilakukan dengan cara mengunyah gumpalan sirih
kemudian ditambah gumpalan tembakau yang bertujuan untuk membersihkan gigi
dan seterusnya dibiarkan di dalam mulut selama beberapa menit.31
2.4 Kelainan Mukosa Oral Akibat Menyirih
2.4.1 Lesi Mukosa Penyirih (Betel Chewer’s Mucosa)
Lesi mukosa penyirih merupakan suatu kondisi di mana mukosa oral
cenderung mengalami deskuamasi yang disebabkan komposisi bahan-bahan menyirih
atau efek traumatik pada saat mengunyah atau kedua-duanya. Dalam arti lain, iritasi
mukosa dapat disebabkan dari sumber kimia atau mekanis ketika mengunyah sirih.
Pasien yang menderita lesi mukosa penyirih sering mempunyai atrisi gigi yang
berat.32 Lesi ini merupakan predisposisi oral submukus fibrosis dan kanker.33,34
Secara klinis, lesi ini kelihatan cokelat-kemerahan pada sisi yang berkontak
dengan mukosa bukal. Diskolorasi disebabkan komposisi sirih yang mengandungi
kapur dan polyphenol. Tingkat diskolorasi juga dipengaruhi oleh komposisi sirih dan frekuensi menyirih. Lesi ini mempunyai karakteristik antara lain permukaan yang
Gambar 7. Lesi mukosa penyirih35
2.4.2 Oral Submukus Fibrosis
Oral submukus fibrosis merupakan lesi prekanker yang dijumpai pada mukosa
mulut, orofaring, nasofaring dan esofagus, sering disebabkan penggunaan pinang
ketika menyirih.36,37 Kelainan ini merupakan lesi yang kronik, ireversibel yang sering
dijumpai pada mukosa bukal. Simptom awal submukus fibrosis adalah sensasi bakar,
mulut kering, mukosa menjadi pucat dan ulserasi. Sensasi bakar terjadi ketika
berkontak dengan makanan pedas. Pada tahap yang lebih lanjut mukosa bersangkutan
menjadi tebal, keras dan dengan terbentuknya fibrous bands akan menyebabkan kesulitan untuk membuka mulut, bicara, menelan dan membatasi penggerakan
lidah.37,38,39 Mukosa menjadi pucat karena terjadinya kerusakan pada vaskular akibat
dari peningkatan fibrosis sehingga kelihatan seperti marble.39
Komposisi menyirih yang terdiri dari pinang dapat melepaskan unsur aktif
arecoline yang akan menstimulasi fibroblas untuk meningkatkan produksi kolagen sehingga terjadi fibrosis.36,37 Frekuensi dan durasi mempengaruhi pengembangan dari
lesi ini.39 Oral submukus fibrosis dapat didefinisikan bila terdapat satu atau lebih
karakteristik, yaitu dapat fibrous bands yang dapat dipalpasi, tekstur dari lesi terasa kasar dan keras dan mukosa oral memucat.37
Gambar 8. Oral submukus fibrosis36,40
Preleukoplakia dan leukoplakia adalah lesi yang dapat dijumpai pada
masyarakat yang mempunyai kebiasaan menyirih dengan penggunaan tembakau. Lesi
ini sering dijumpai pada mukosa bukal dan komisura. Tahap awal dari leukoplakia
homogen juga dikenali sebagai preleukoplakia.38 Preleukoplakia merupakan derajat
rendah atau reaksi ringan dari mukosa. Gambaran klinis menunjukkan mukosa
kelihatan putih keabu-abuan, disertai sedikit pola lobular dan tidak mempunyai batas
yang nyata dan bercampuran dengan mukosa berhampiran.41 Lesi ini bersifat
reversibel tetapi dapat menjadi tebal sehingga kelihatan warna putih yang nyata
akibat dari keratin yang menebal.38
Menurut International Conference, leukoplakia didefinisikan sebagai plak atau bercak putih pada mukosa mulut yang tidak dapat dihapus dan tidak dapat
diklasifikasikan secara klinis atau patologis sebagai penyakit lain dan tidak
dihubungkan dengan berbagai agen kimia atau fisik kecuali tembakau. Salah satu
faktor predisposisi terjadinya leukoplakia akibat penggunaan tembakau. Hal ini dapat
dibuktikan apabila kebiasaan menggunakan tembakau dihentikan lesi ini tidak
kelihatan. Pada pengguna tembakau yang berat, lesi ini mempunyai warna
cokelat-kekuningan. Selain itu, penggunaan kapur dan pinang yang berlebihan dapat
menyebabkan trauma lokal pada mukosa, apabila kegiatan menyirih dilakukan secara
terus menerus Reactive Oxygen Species (ROS) menyebabkan kerusakan pada DNA sehingga sel mengalami proliferasi dan pada masa yang lanjut hiperkeratinasasi epitel
terbentuk.42 Pada umumnya, lesi ini tidak mempunyai gejala namun terdapat kasus
yang menyatakan bahwa lesi ini dapat menimbulkan sakit, mukosa menjadi tebal dan
Gambar 9. Leukoplakia37
2.4.4 Liken Planus
Liken planus sering ditemukan pada penyirih terutama pada bagian mulut
yang sering terpapar dengan sirih. Lesi ini dapat hilang apabila frekuensi dan durasi
mengunyah sirih dikurangi.8 Lesi ini terdiri atas enam tipe yaitu retikular, papula,
plak, erosif, atrofi dan bulla. Tipe atrofi dan erosif sering menunjukkan gambaran
eritematus sedangkan tipe plak, papula dan retikular terjadi akibat hipertrofi sel. Tipe
retikular sering ditemukan di dalam rongga mulut, tipe ini menunjukkan gambaran
garis putih halus dan bergelombang, memiliki Wickham striae yang dikelilingi dengan batas eritematus yang tidak jelas. Di rongga mulut lesi ini sering ditemukan
pada posterior mukosa bukal, lidah dan gingiva. Tipe plak mempunyai gambaran
seperti leukoplakia dan sering terjadi dalam bentuk bercak putih yang homogen.43
Gambar 10. Liken planus43
2.4.5 Kanker Rongga Mulut
Kanker adalah pertumbuhan sel yang abnormal yang disebabkan oleh
perubahan yang multipel pada gen dan menyebabkan hilang keseimbangan antara
proliferasi sel dan apoptosis sel. Pada akhirnya berubah menjadi populasi sel yang
dapat menginvasi jaringan dan bermetastase ke bagian tubuh yang lain. Kanker dapat
Mengunyah tembakau dengan berbagai komposisi sirih seperti daun sirih,
pinang, dan kapur merupakan faktor risiko terjadinya Oral Squamous Cell Carcinoma (OSCC).34 Tembakau yang ditambahkan pada komposisi sirih dapat
bertanggung jawab terhadap pembentukan kanker karena tembakau mempunyai sifat
karsinogenik. Kanker dapat dilihat pada bagian mulut di mana sirih sering diletakkan,
yaitu pada daerah mukosa bukal atau pada bagian lateral lidah.30 Pada squamous cell carcinoma terdapat kadar metastasis yang tinggi.45 OSCC dapat terjadi tanpa atau dengan bergabung dengan oral submukus fibrosis.30
Gambar 11. Kanker rongga mulut43
2.5 Pengetahuan
Pengetahuan (knowledge) adalah hasil dari “tahu”, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi
melalui panca indra manusia yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa
dan raba. Dengan sendirinya pada waktu pengindraan sehingga menghasilkan
pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi
terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan
telinga. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya
tindakan seseorang (overt behavior). Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak
Menurut Notoatmodjo (2010), pengetahuan yang dicakup didalam domain
kognitif mempunyai beberapa tingkatan yaitu;46
a. Tahu (know), diartikan sebagai mengingat sesuatu materi yang telah ada sebelumnya. Termasuk dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali
(recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima, oleh sebab itu tahu merupakan tingkatan
pengetahuan paling rendah.
b. Memahami (Comprehension), diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat
menginterprestasikan materi tersebut secara benar.
c. Analisis (Analysis), adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek komponen-komponen, tetapi masih didalam suatu struktur organisasi
yang saling terkait.
d. Sintetis (Syntetis), adalah suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
2.7 Kerangka Konsep
Tingkat pengetahuan
Tahu
Memahami
Analisis
Sintesis
Evaluasi
Kelainan mukosa oral akibat menyirih
Lesi mukosa penyirih
Oral submukus fibrosis
Kebiasaan menyirih
Komposisi menyirih
Frekuensi
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian dilakukan secara survei deskriptif dengan pendekatan potong silang
(cross sectional), yaitu mengetahui prevalensi kelainan mukosa oral disebabkan kebiasaan menyirih dan pengetahuan penduduk tentang risiko menyirih. Setiap subjek
hanya diperiksa satu kali saja.47
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Pancur Batu, Deli Serdang pada
bulan Januari 2015. Di Kecamatan ini terdapat beberapa etnis suku dan salah satu dari
etnis suku tersebut adalah suku Karo, di mana suku Karo di Kecamatan Pancur Batu
masih mempunyai kebiasaan tradisional yaitu kebiasaan menyirih. Kebiasaan
menyirih di Kecamatan Pancur Batu lebih banyak dilakukan oleh wanita.
3.3 Populasi dan Sampel
3.3.1 Populasi
Populasi penelitian ini adalah penduduk yang bermukim di Kecamatan Pancur
3.3.2 Sampel Penelitian
Teknik pemilihan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik consecutive sampling yaitu semua subjek yang datang secara berurutan dan memenuhi kriteria
pemilihan dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah subjek yang diperlukan
terpenuhi.47
3.3.3 Besar Sampel
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan persentase kebiasaan mengunyah
sirih pada masyarakat Batak Karo di Kecamatan Pancur Batu dari hasil penelitian
Emerson Lim (2007) yaitu 32%,48 diperoleh sampel dengan menggunakan rumus
besar sampel untuk data nominal terhadap sampel tunggal untuk estimasi proporsi
suatu populasi yaitu sebagai berikut:47
n=
Keterangan :
n : Jumlah sampel
Zα : Tingkat Kemaknaan (nilai Zα yang dipakai adalah 10%, maka Zα = 1,64)
P : Proporsi mengunyah sirih penelitian Emerson Lim (2007), 32%)
Q : 1 – P ( Q = 0,68)
d : presisi (nilai presisi yang ditentukan peneliti adalah 10 %)
n=
= 58,5
Jumlah sampel minimal yang didapat adalah 58,5. Maka jumlah sampel yang
akan diambil pada penelitian ini adalah 65 orang.
3.4Kriteria Inklusi dan Eksklusi
1. Subjek mempunyai kebiasaan menyirih setiap hari sampai pada saat
penelitian dilakukan.
2. Subjek yang bersedia untuk menjadi sampel penelitian.
3.4.2 Kriteria Eksklusi:
Subjek yang mempunyai kebiasaan menyirih serta merokok dan mengonsumsi
alkohol.
c. Variabel terkendali : Umur penduduk (12-80 tahun)
3.6 Definisi Operasional
1. Kebiasaan menyirih
Definisi : Kebiasaan yang dilakukan dengan memadukan bahan-bahan
campuran sirih menjadi satu sehingga dapat dikunyah, bahan terdiri dari daun sirih,
pinang dan kapur dengan atau tanpa beberapa macam rempah lainnya seperti gambir,
tembakau, cengkeh, kayu manis dan lain-lain.2,14,16
Cara ukur : Wawancara
Alat ukur : Kuesioner
Skala ukur : Kategorik
2. Umur
Cara ukur : Wawancara
Alat ukur : Kuesioner
Skala ukur : Kategorik
3. Komposisi menyirih
Definisi : Bahan-bahan yang digunakan ketika menyirih, komposisi
utama terdiri dari daun sirih, pinang dan kapur sedangkan komposisi tambahan terdiri
atas komposisi utama ditambah dengan tembakau dan gambir.2,14,16
Cara ukur : Wawancara
Alat ukur : Kuesioner
Skala ukur : Kategorik
4. Frekuensi menyirih
Definisi : Berapa kali seseorang menyirih dalam satu hari.
Cara ukur : Wawancara
Alat ukur : Kuesioner
Skala ukur : Kategorik
5. Durasi menyirih
Definisi : Lamanya seseorang melakukan kebiasaan menyirih mulai
dari waktu pertama kali sampai saat penelitian dilakukan (tahun).
Cara ukur : Wawancara
Alat ukur : Kuesioner
Skala ukur : Kategorik
6. Pengetahuan penduduk tentang risiko menyirih
Definisi : Pengetahuan responden tentang risiko menyirih dan efek
buruk yang dapat ditimbulkan pada rongga mulut. Pengetahuan responden merupakan
hasil dari tahu dan ini terjadi setelah responden melakukan pengindraan terhadap
kebiasaan menyirih.50
Cara ukur : Wawancara
Alat ukur : Kuesioner
Hasil ukur : Gambaran tingkat pengetahuan responden terhadap risiko
menyirih diukur melalui 10 pertanyaan. Jawaban yang benar diberi nilai 1, jawaban
yang salah diberi nilai 0. Total nilai semua pertanyaan dijumlahkan dan
dikategorikan. Maka jumlah skor benar untuk seluruh pertanyaan yang diberikan
adalah 10. Kemudian jumlah skor setiap responden dihitung dengan rumus:
P = F / N * 100%
P = Persentase
F = Jumlah jawaban yang benar
N = Jumlah soal
Skala pengukuran yang digunakan adalah skala kategorik, maka hasil
persentase skor setiap responden dikategorikan sebagai berikut:50
Tabel 1. Kategori Nilai Pengetahuan Menurut Arikunto (2006)
Tingkat Pengetahuan
Penjelasan
Baik Responden mampu menjawab dengan benar 75-100% dari seluruh pertanyaan.
Cukup Responden mampu menjawab dengan benar 56-74% dari seluruh pertanyaan.
Kurang Responden mampu menjawab dengan benar 0-55% dari seluruh pertanyaan.
7. Lesi mukosa penyirih (Betel Chewer’s Mucosa)
Definisi : Lesi yang mempunyai permukaan yang keriput, irregular,
kasar, hiperemi dan permukaan epitel yang sukar dihapus. Cenderung terjadi
deskuamasi disebabkan komposisi bahan menyirih atau efek traumatik. Lesi kelihatan
merah-kecoklatan pada mukosa bersangkutan.32
Alat ukur : Kaca mulut
Skala ukur : Kategorik
8. Oral submukus fibrosis
Definisi : Lesi yang menyebabkan mukosa menjadi pucat, tebal, keras
dan dengan adanya fibrous band dapat menghambat pergerakan mulut.37 Simtom awal adalah rasa terbakar ketika makan makanan pedas. Mukosa memperlihatkan
fibrous band putih yang vertikal sehingga memberikan tekstur yang kasar dan keras ketika dipalpasi dan rasa sakit serta ketidakmampuan membuka mulut. Bila penyakit
berkembang trimus akan terjadi akibat kehilangan regangan dan mukosa menjadi
lebih pucat dan kaku.36
Cara ukur : Pemeriksaan objektif pada mukosa oral
Alat ukur : Kaca mulut
Skala ukur : Kategorik
9. Preleukoplakia
Definisi : Suatu reaksi rendah dari mukosa mulut. Lesi kelihatan putih
keabu-abuan, sedikit pola lobular, dan tidak mempunyai batas nyata dengan jaringan
dekatnya.9,41
Cara ukur : Pemeriksaan objektif pada mukosa oral
Alat ukur : Kaca mulut
Skala ukur : Kategorik
10. Leukoplakia
Definisi : Plak atau bercak putih pada mukosa oral yang tidak dapat
dihapus dan tidak dapat diklasifikasikan secara klinis atau patologis sebagai penyakit
lain dan tidak dihubungkan dengan berbagai agen kimia atau fisik kecuali tembakau.
Permukaan lesi licin atau kasar ketika dipalpasi. Lesi kelihatan tebal, berfisur dan
indurasi.36
Cara ukur : Pemeriksaan objektif pada mukosa oral
Alat ukur : Kaca mulut
Skala ukur : Kategorik
Definisi : Lesi yang mengalami ulserasi dengan indurasi pada tepi
ulser, ulser meninggi atau kelihatan sebagai massa yang tumbuh eksofitik dengan
permukaan yang licin atau pebbled, dan mudah berdarah apabila ada trauma.51 Cara ukur : Pemeriksaan objektif pada mukosa oral
Alat ukur : Kaca mulut
Pengumpulan data ditujukan kepada penduduk yang mempunyai kebiasaan
menyirih di Kecamatan Pancur Batu. Penelitian dilakukan mulai pukul 09.00-17.00 di
pasar Pancur Batu. Subjek diberikan informasi tentang tujuan penelitian dan setelah
subjek setuju menjadi subjek penelitian, subjek dimohon menandatangani lembar
persetujuan (Informed consent). Subjek kemudian diwawancarai dan pemeriksaan rongga mulut dilakukan sesuai dengan lembar pemeriksaan disediakan.
Data klinik diperoleh dengan melakukan pemeriksaan menggunakan
kuesioner dan pemeriksaan jaringan rongga mulut terhadap subjek penelitian,
prosedurnya antara lain:
1. Peneliti mengajukan pertanyaan sesuai dengan kuesioner kepada subjek
penelitian untuk mengetahui pengetahuan responden tentang risiko menyirih.
2. Subjek penelitian didudukkan dalam keadaan rileks pada kursi yang
disediakan di lokasi penelitian. Posisi peneliti berdiri di depan subjek penelitian.
Pemeriksaan klinis dilakukan peneliti dengan bantuan asisten peneliti.
3. Gambaran mengenai kelainan yang terdapat pada rongga mulut diperoleh
dengan melakukan pemeriksaan langsung pada rongga mulut responden dengan
menggunakan kaca mulut untuk melihat mukosa labial, mukosa bukal, gingiva, dan
palatum serta senter sebagai alat penerangan. Dilakukan penelusuran di daerah
mukosa bukal dan gusi untuk melihat ada atau tidak kelainan mukosa oral.
4. Kelainan mukosa oral yang terjadi pada rongga mulut dicatat sesuai dengan
lokasinya pada formulir yang telah dibuat. Kriteria diagnosa disesuaikan dengan
kriteria pada definisi operasional.
3.9Pengolahan Data
Data yang dikumpulkan dari kuesioner yang telah diisi akan dikategorikan
sesuai dengan langkah-langkah berikut:52
1. Editing, yaitu melakukan pemeriksaan kelengkapan data yang dikumpulkan. Jika terjadi kesalahan atau kekurangan dalam pengumpulan data akan
diperbaiki sebelum peneliti meninggalkan lapangan penelitiannya dan melakukan
pendataan ulang.
2. Coding, yaitu proses memberikan kode pada jawaban-jawaban responden, sistem ini memudahkan pengolahan data, sehingga harus tetap terlebih dahulu diteliti
oleh peneliti.
3. Entry data, kegiatan ini memasukkan data dalam program komputer untuk dilakukan analisis dengan uji statistik deskriptif dengan menyajikan data dalam
4. Tabulating, adalah proses menghitung setiap variabel berdasarkan kategori yang telah ditetapkan sebelumnya sesuai dengan tujuan penelitian.
3.10 Analisa Data
Data univariat disajikan dalam bentuk tabel yang meliputi:
1. Distribusi usia penduduk yang mempunyai kebiasaan menyirih.
2. Distribusi durasi mengunyah sirih (tahun) pada penyirih.
3. Distribusi frekuensi mengunyah sirih dalam satu hari.
4. Distribusi komposisi menyirih yang digunakan oleh penduduk di
Kecamatan Pancur Batu.
5. Distribusi jumlah kelainan mukosa oral pada penduduk yang mempunyai
kebiasaan menyirih di Kecamatan Pancur Batu.
6. Distribusi jenis kelainan mukosa oral yang ditemukan pada penduduk
yang mempunyai kebiasaan menyirih di Kecamatan Pancur Batu.
7. Distribusi pengetahuan risiko menyirih pada penduduk yang mempunyai
kebiasaan menyirih di Kecamatan Pancur Batu.
8. Distribusi penduduk yang tidak mempunyai kelainan mukosa oral
berdasarkan tingkat pengetahuan.
9. Distribusi penduduk yang mempunyai kelainan mukosa oral berdasarkan
tingkat pengetahuan.
10.Distribusi penduduk yang pernah atau tidak pernah mendapat penyuluhan
tentang dampak penggunaan sirih.
Data yang dikumpulkan kemudian ditabulasikan dan analisa data dilakukan
dengan cara menghitung persentase penyakit mulut berdasarkan kebiasaan menyirih
dan pengetahuan risiko menyirih. Analisa data dilanjutkan dengan membahas hasil
penelitian.
3.11 Etika Penelitian
Etika penelitian dalam penelitian ini mencakup:
Peneliti menjelaskan tujuan penelitian, tindakan yang akan dilakukan serta
informasi yang akan diperoleh yang berkaitan dengan penelitian kepada subjek. Jika
subjek penelitian mengerti dan bersedia menjadi sampel, subjek penelitian dimohon
untuk menandatangani lembar persetujuan dan berpartisipasi dalam kegiatan
penelitian.
2. Ethical Clearance
Peneliti mengajukan lembar persetujuan pelaksanaan penelitian kepada
komisi etik penelitian kesehatan berdasarkan ketentuan etika yang bersifat
internasional maupun nasional.
3. Kerahasiaan ( Confidentiality)
Data yang terkumpul dalam penelitian akan dijamin kerahasiannya oleh
BAB 4
HASIL PENELITIAN
4.1 Karakteristik Responden
Pada penelitian yang dilakukan di Kecamatan Pancur Batu, Deli Serdang,
subjek penelitian yang diperiksa terdiri dari 65 orang penyirih dan semuanya wanita.
Usia subjek dibagi menjadi 4 kelompok usia yaitu usia 12-20 tahun (remaja),
kelompok usia 21-39 tahun (dewasa muda), kelompok usia 40-65 tahun (dewasa) dan
kelompok usia > 65 tahun (lanjut usia).53 Dari penelitian tersebut usia rata-rata subjek
adalah 45,7tahun di mana usia terendah adalah 20tahun dan usia tertinggi adalah 80
tahun. Kelompok umur yang mempunyai jumlah penyirih tertinggi adalah diantara
subjek yang berusia 40-65 tahun (Tabel 1).
Tabel 1. Distribusi Usia yang Mempunyai Kebiasaan Menyirih
Usia Jumlah (orang) Persentase (%)
12-20 tahun 1 1,5
21-39 tahun 19 29,2
40-65 tahun 41 63,1
>65 tahun 4 6,2
4.2 Durasi Menyirih Berdasarkan Tahun
Durasi subjek melakukan kebiasaan menyirih bervariasi, mulai dari kurang
dari 1 tahun sampai lebih dari 10 tahun. Sebagian besar subjek mempunyai kebiasaan
mengunyah sirih lebih dari 10 tahun yaitu sebanyak 50,8%, sebanyak 30,8%
mengunyah sirih selama 1-5 tahun, 12,3% mengunyah sirih selama 5-10 tahun dan
persentase terendah adalah pada kelompok yang mempunyai kebiasaan menyirih
kurang dari 1 tahun adalah sebanyak 6,1% (Tabel 2).
Tabel 2. Distribusi Durasi Mengunyah Sirih (Tahun) pada Penyirih
4.3 Frekuensi Menyirih Dalam Satu Hari
Frekuensi subjek melakukan kebiasaan menyirih bervariasi, mulai dari 1-3
kali dalam satu hari sampai lebih dari 11 kali dalam satu hari. Sebanyak 38,5% subjek
mengunyah sirih 4-6 kali sehari, 21,5% mengunyah sirih sebanyak 7-10 kali dan lebih
dari 11 kali dalam satu hari. Persentase terendah adalah sebanyak 18,5% dimana
subjek mengunyah sirih 1-3 kali sehari (Tabel 3).
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Mengunyah Sirih Dalam Satu Hari
Frekuensi menyirih
dalam satu hari
Jumlah (orang) Persentase (%)
1-3 kali 12 18,5
4-6 kali 25 38,5
Durasi Jumlah (orang) Persentase (%)
< 1 tahun 4 6,1
1-5 tahun 20 30,8
5-10 tahun 8 12,3
>10 tahun 33 50,8
7-10 kali 14 21,5
>11 kali 14 21,5
TOTAL 65 100
4.4 Komposisi Menyirih
Semua subjek pada penelitian ini mengunyah sirih dengan menggunakan
bahan-bahan yang terdiri dari daun sirih, pinang dan kapur sedangkan komposisi
tambahan adalah tembakau dan gambir. Tembakau hanya digunakan oleh subjek
ketika menyirih untuk membersihkan gigi geligi.
4.5 Jumlah Kelainan Mukosa Oral Terhadap Penduduk yang
Mempunyai Kebiasaan Menyirih
Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan pada 65 orang penyirih,
sebanyak 34 orang (52,3%) tidak ditemukan adanya kelainan pada mukosa oral, 31
orang penyirih (47,7%) menunjukkan adanya kelainan mukosa oral. Dari subjek yang
ditemukan kelainan mukosa oral, sebanyak 28 orang (43,1%) mempunyai satu jenis
kelainan mukosa oral dan 3 orang (4,6%) mempunyai dua jenis kelainan mukosa oral
(Tabel 5).
Tabel 5. Distribusi Jumlah Kelainan Mukosa Oral pada Penduduk yang Mempunyai Kebiasaan Menyirih
Kelainan mukosa oral Jumlah (orang)
Persentase (%)
4.6 Distribusi Jenis Kelainan Mukosa Oral pada Penduduk yang
Mempunyai Kebiasaan Menyirih
Dari 31 orang penyirih yang mempunyai satu jenis kelainan mukosa oral
ditemukan lesi mukosa penyirih mempunyai persentase paling tinggi yaitu sebanyak
15 kasus (23,1%) diikuti dengan leukoplakia 10 kasus (15,4%) dan preleukoplakia
sebanyak 3 kasus (4,6%). Pada penyirih yang mempunyai 2 jenis kelainan mukosa
oral, terdapat 2 kasus (3,1%) lesi mukosa penyirih dan preleukoplakia, dan 1 kasus
(1,5%) untuk lesi mukosa penyirih dan leukoplakia. Kanker mulut dan oral submukus
fibrosis tidak ditemukan dalam penelitian ini (Tabel 6).
Kelainan mukosa oral (+)
Satu jenis kelainan
mukosa oral
Dua jenis kelainan
mukosa oral
TOTAL 65 100
3
28 43,1
4,6
Tabel 6. Distribusi Jenis Kelainan Mukosa Oral pada Penduduk yang Mempunyai Kebiasaan Menyirih
Kelainan mukosa oral Jumlah
(orang)
Persentase
(%)
Lesi mukosa penyirih 15
23,1
Oral Submukus Fibrosis 0 0
Preleukoplakia 3 4,6
Leukoplakia 10 15,4
Kanker 0 0
Lesi mukosa penyirih+oral
submukus fibrosis 0 0
Lesi mukosa penyirih+
preleukoplakia 2 3,1
Lesi mukosa penyirih+
Leukoplakia 1 1,5
Preleukoplakia+ Oral submukus
fibrosis 0 0
Leukoplakia+ Oral submukus
fibrosis 0 0
Tidak ada kelainan 34 52,3
4.7 Pengetahuan Risiko Menyirih pada Penduduk yang Mempunyai
Kebiasaan Menyirih
Dari 65 penyirih sebanyak 86,2% mempunyai pengetahuan yang kurang
tentang risiko menyirih. Sebanyak 7,7% mempunyai pengetahuan yang cukup dan
6,1% mempunyai pengetahuan yang baik (Tabel 7).
Tabel 7. Distribusi Pengetahuan Risiko Menyirih pada Penduduk yang Mempunyai Kebiasaan Menyirih
Pengetahuan Jumlah
(orang)
Persentase
(%)
Kurang 56
86,2
Cukup 5 7,7
Baik 4 6,1
TOTAL 65 100
4.8 Penduduk yang Tidak Mempunyai Kelainan Mukosa Oral
berdasarkan Tingkat Pengetahuan
Dalam penelitian ini sebanyak 34 subjek tidak mempunyai kelainan mukosa
oral. Dari 34 subjek ini sebanyak 26 orang (76,4%) mempunyai pengetahuan yang
kurang tentang risiko menyirih. Sedangkan sebanyak 4 orang (11,8%) mempunyai
pengetahuan yang cukup dan 4 orang (11,8%) mempunyai pengetahuan yang baik
Tabel 8. Distribusi Penduduk yang Tidak Mempunyai Kelainan Mukosa Oral
4.9 Penduduk yang Mempunyai Kelainan Mukosa Oral Berdasarkan
Tingkat Pengetahuan
Pada 31 subjek yang mempunyai kelainan mukosa oral, didapatkan 30 orang
4.10 Penyuluhan Tentang Dampak Penggunaan sirih
Pada penelitian ini sebesar 61 orang (93,8%) telah menyatakan bahwa tidak
pernah mendapat penyuluhan dari pihak kesehatan mengenai risiko mengunyah sirih.
Sebanyak 4 orang (6,2%) pernah mendapat penyuluhan (Tabel 10).
Tabel 10. Distribusi Penduduk Pernah Atau Tidak Pernah Mendapat Penyuluhan
Penyuluhan Jumlah (orang) Persentase (%)
Ya 4 6,2
Tidak 61 93,8
BAB 5
PEMBAHASAN
Dari hasil penelitian diperoleh bahwa kebiasaan menyirih masih dilakukan
oleh sebagian besar penduduk di Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang
terutama pada kalangan wanita. Hal ini disebabkan wanita mempunyai beban
tanggung jawab atas kebutuhan rumah tangga, sehingga wanita lebih banyak mencari
sesuatu hal yang mereka anggap dapat memberikan ketenangan maupun kesenangan
salah satunya dengan menyirih, sedangkan kaum pria di Kecamatan Pancur Batu
lebih cenderung untuk melakukan kebiasaan merokok. Penelitian yang dilakukan di
Malaysia oleh Tan dkk cit Flora berbeda dengan penelitian di Kecamatan Pancur Batu dimana kegiatan menyirih dilakukan oleh wanita dan pria. Ditemukan kegiatan
menyirih lebih sering dilakukan oleh wanita dibandingkan dengan pria yaitu
sebanyak 76,3% wanita adalah penyirih dan 23,7% adalah pria.3 Perilaku menyirih
telah menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat suku Karo, hal ini tampak dalam
penggunaan sirih dan kegunaannya dalam beberapa hal di antaranya adalah untuk
memperkuat gigi geligi dan untuk menenangkan pikiran.9 Hal ini hampir sama
dengan penelitian yang dilakukan oleh Croucher dkk di Inggris, dimana salah satu
alasan untuk menyirih adalah untuk memperkuat gigi geligi.54
Distribusi usia yang paling banyak mempunyai kebiasaan menyirih di
Kecamatan Pancur Batu berada pada kelompok usia 40-65tahun (63,1%), kemudian
disusul dengan kelompok usia 21-39 tahun (29,2%). Hasil penelitian hampir sama
dengan penelitian yang dilakukan oleh Moller dkk cit International Agency For Research On Cancer di Indonesia, di mana kegiatan menyirih sering dilakukan oleh wanita berusia 35 tahun ke atas. Hal ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh
Reichart cit International Agency For Research On Cancer di Thailand, dimana kebanyakan penduduk yang berusia 35 tahun ke atas mempunyai kebiasaan
untuk mengatasi masalah ataupun mencari ketenangan, masing-masing subjek
mempunyai alasan lain sesuai dengan pengalaman masing-masing. Rendahnya
jumlah subjek yang mempunyai kebiasaan menyirih pada usia muda karena masih
bersekolah.
Sebanyak 50,8% dari 65 orang penyirih di Kecamatan Pancur Batu
mempunyai kebiasaan mengunyah sirih lebih dari 10 tahun, di India dilaporkan
sebanyak 57,6% mempunyai kebiasaan menyirih di atas 10 tahun.5 Di samping itu,
sebanyak 38,5% penduduk di Kecamatan Pancur Batu melakukan kegiatan menyirih
sebanyak 4-6 kali sehari. Sebaliknya di India ditemukan lebih banyak subjek
mengunyah sirih sebanyak 1-3 kali sehari (51,9%).5 Dari hal ini dapat dilihat bahwa
menyirih bukan saja suatu aktivitas bagi penduduk di Kecamatan Pancur Batu akan
tetapi sudah menjadi kebiasaan yang tidak bisa dipisahkan dalam kegiatan sehari-hari
sama halnya dengan makan. Menurut penelitian Solihin (2012), kebanyakan penyirih
beranggapan bahwa menyirih secara terus menerus memiliki khasiat utama terhadap
kesehatan dan juga sebagai sejenis narkotik ringan yang berfungsi menenangkan saraf
utama, sehingga dapat menimbulkan efek menenteramkan hati dan pikiran.14
Ditemukan dalam penelitian ini bahwa penyirih di Kecamatan Pancur Batu
pada umumnya menyirih menggunakan komposisi utama yang terdiri dari daun sirih,
pinang dan kapur sedangkan komposisi tambahan terdiri atas komposisi utama
ditambah dengan gambir dan tembakau. Tidak ada subjek di Kecamatan Pancur Batu
menambahkan tembakau atau unsur-unsur lain ke dalam ramuan tersebut untuk
dikunyah bersama-sama, penggunaan tembakau hanya digunakan untuk
membersihkan gigi ketika menyirih. Perpaduan pinang, daun sirih dan kapur dapat
menghasilkan zat kimiawi yang berfungsi menstimulasi sistem saraf pusat sehingga
dapat menenangkan pikiran.14 Hal ini berbeda dengan dengan penyirih di Sri Lanka,
Thailand, Kamboja dan Lao People’s Democratic Republic yang sering
menambahkan tembakau ke dalam ramuannya dan dikunyah bersama-sama.Menurut
penelitian Senewiratne dkk cit International Agency For Research On Cancer di Sri Lanka, sebanyak 42,7% wanita menggunakan tembakau sebagai salah satu ramuan
menggunakan tembakau sebagai ramuan sirih dan sebanyak 39 penyirih tidak
memadukan gambir dalam ramuan sirih.2 Alasan yang diberikan oleh subjek di India
untuk menggunakan tembakau ketika menyirih adalah untuk menghindari kebosanan,
mengatasi sakit badan, mengurangi stress dan untuk menambah rasa.55
Pada penelitian ini, didapatkan 34 subjek (52,3%) tidak mempunyai kelainan
dan sebanyak 31 subjek (47,7%) mempunyai kelainan mukosa oral yang berupa
mukosa penyirih, preleukoplakia dan leukoplakia. Kelainan mukosa oral yang
terbanyak ditemukan dalam penelitian ini adalah lesi mukosa penyirih (Betel
Chewer’s Mucosa) yaitu sebanyak 18 kasus (58,1%). Lesi ini terbatas pada sisi di
mana campuran sirih tersebut dikunyah dan diletakkan. Terjadinya lesi mukosa
penyirih disebabkan karena adanya iritasi terus menerus dari campuran sirih tersebut
dengan mukosa. Hasil ini hampir sama dengan penelitian yang dilakukan di Malaysia
terhadap 850 subjek pada tahun 1995, ditemukan prevalensi sebanyak 21,9%
mempunyai mukosa penyirih. Sedangkan penelitian yang dilakukan di Kamboja pada
tahun 1996 terhadap 102 penyirih didapati sebanyak 60,8% subjek mempunyai lesi
mukosa menyirih.7 Pada penelitian ini prevalensi mukosa penyirih lebih rendah
apabila dibandingkan dengan prevalensi di Kamboja. Perbedaan ini mungkin
disebabkan frekuensi, durasi dan lama kontak mengunyah sirih.9 Mukosa penyirih
tidak dianggap sebagai lesi maglinan, namun kondisi ini biasanya disertai dengan
kelainan mukosa seperti leukoplakia dan oral submukus fibrosis, yang berpotensi
menjadi malignan.7
Preleukoplakia ditemukan 5 kasus (16,1%) dari 31 subjek yang diteliti,
sedangkan leukoplakia didapatkan sebanyak 11 kasus (35,5%). Pada penelitian Chin
dkk cit International Agency For Research On Cancer, ditemukan 38 kasus (22,7%) preleukoplakia dan 67 kasus (40,1%) leukoplakia.2 Ditemukan kejadian leukoplakia
dan preleukoplakia pada kalangan penyirih di Kecamatan Pancur Batu lebih rendah
dibandingkan dengan hasil penelitian di Malaysia, hal ini disebabkan adanya
perbedaan dalam cara melakukan kegiatan menyirih. Penyirih di Malaysia
memadukan tembakau dengan daun sirih, kapur dan pinang kemudian dikunyah
menyebabkan penyirih terpapar dengan kadar karsinogen yang tinggi seperti tobacco-specific nitrosamines (TSNAs), hal ini dapat menyebabkan penyirih lebih rentan
menderita lesi prekanker dibandingkan dengan penyirih yang hanya menggunakan
tembakau untuk membersihkan gigi geligi. Selain itu, lama paparan dan frekuensi
menyirih yang tinggi dalam satu hari sangat berpengaruh terhadap pembentukan lesi,
komposisi sirih yang bersifat karsinogenik berkontak secara terus menerus dengan
mukosa sehingga menyebabkan kerusakan sel pada mukosa yang bersangkutan.2,9,42
Pada penelitian Gupta cit International Agency For Research On Cancer, ditemukan sebanyak 14,6% subjek yang menyirih di atas 10 kali per hari mempunyai
leukoplakia sedangkan hanya sebanyak 8,4% subjek yang melakukan kegiatan
menyirih kurang dari 10 kali per hari mempunyai leukoplakia.2 Menurut penelitian
Lee dkk cit World Health Organization Western Pacific Region terdapat interaksi antara pinang dan tembakau sehingga menyebabkan terjadinya leukoplakia,
sedangkan menurut Van der Wall dkk citWorld Health Organization Western Pacific Region kadar transformasi leukoplakia menjadi maglinan adalah sekitar 0,1%-17,5%.23 Walaupun kasus preleukoplakia dan leukoplakia hanya ditemukan dalam
jumlah yang kecil, keberadaan lesi tersebut seharusnya mendapatkan perhatian dari
pihak kesehatan. Menurut penelitian Downer dan Petti citWorld Health Organization Western Pacific Region, diperkirakan terjadinya kanker mulut disebabkan leukoplakia adalah 6,2-29,1 kasus dari 100 000 orang.23
Dalam penelitian ini tidak ditemukan oral submukus fibrosis dan kanker
rongga mulut. Hal ini berbeda dengan penelitian terhadap penyirih di Tanah Karo, di
mana terdapat 21 kasus oral submukus fibrosis ditemukan pada orang yang
mempunyai kebiasaan menyirih.9 Hal ini mungkin disebabkan pinang yang menjadi
faktor etiologi terjadinya oral submukus fibrosis, tidak digunakan dalam jumlah yang
banyak ketika dimasukkan ke dalam ramuan. Beberapa orang subjek berpendapat
bahwa kelebihan pinang dapat menyebabkan perasaan yang tidak enak seperti jantung
berdebar dan pening. Menurut penelitian Reddy dkk, penyirih yang menggunakan
pinang dan tembakau sebagai salah satu ramuan menyirih mempunyai risiko yang
dalam jumlah yang banyak. Dari 390 subjek sebanyak 6 orang tidak mempunyai oral
submukus fibrosis, hal ini karena daun sirih memiliki sifat antioksidan dan beta-carotene yang tinggi sehingga menghambat radikal bebas. Kebiasaan menyirih lebih
dari 10 tahun dan frekuensi menyirih lebih dari 10 kali dalam satu hari meningkatkan
risiko terjadinya oral submukus fibrosis yang lebih parah.2,56 Pada subjek yang
mengunyah sirih lebih dari 6 menit dan mempunyai kebiasaan menelan sirih
ditemukan menderita oral submukus fibrosis.56 Selain itu, sebuah studi di Afrika
Selatan menemukan sebanyak 68% kanker pada mukosa bukal dan 84% kanker lidah
terjadi pada penyirih yang menggunakan pinang sebagai salah satu komposisi
menyirih tanpa adanya tembakau.7 Komposisi sirih yang terdiri dari pinang
mengandung arecoline dan bentuk alkaloid yang lain yang kemudian diubah menjadi
N-nitroso yang bersifat karsinogenik.57 Arecoline menghambat sintesis protein dan menstimulasi produksi kolagen dan meningkatkan proliferasi fibroblast, hal ini merangsang perubahan neoplastic sehingga terjadinya kanker.58 Menurut penelitian Gupta cit Gandhi, risiko terjadinya kanker mulut tinggi apabila seorang penyirih mempunyai oral submukus fibrosis, terutamanya menggunakan tembakau sebagai
ramuan menyirih. Iritasi yang terus menerus pada mukosa disebabkan penggunaan
kapur juga dapat menyebabkan terjadinya kanker rongga mulut.13
Selain dari kelainan mukosa oral yang ditemukan pada penyirih, terdapat
beberapa perubahan yang dapat dilihat ketika rongga mulut diperiksa, didapati bahwa
adanya warna merah hingga kecoklatan pada bibir, mukosa bukal dan lidah. Selain
itu, adanya warna kehitaman pada gigi geligi subjek yang diteliti. Stain pada gigi
terjadi disebabkan penggunaan pinang dan kurangnya penjagaan kebersihan rongga
mulut seperti menyikat gigi secara teratur.7 Pada beberapa subjek kelihatan terjadinya
atrisi pada gigi geligi. Hal ini disebabkan mengunyah sirih secara terus menerus
dengan beban yang berlebihan dapat menyebabkan atrisi pada bagian insisal atau
oklusal gigi geligi dan tingkat keparahan atrisi tergantung pada frekuensi dan durasi
mengunyah sirih.7
Berdasarkan hasil wawancara dengan 65 subjek, didapati sebanyak 56 subjek
(7,7%) mempunyai pengetahuan yang cukup dan 4 subjek (6,1%) mempunyai
pengetahuan yang baik. Dari 34 subjek yang tidak mempunyai kelainan mukosa oral,
sebanyak 26 subjek (76,8%) mempunyai pengetahuan yang kurang, masing-masing 4
subjek (11,8%) mempunyai pengetahuan yang cukup dan baik. Dari 31 subjek yang
mempunyai kelainan mukosa oral sebanyak 30 subjek (96,8%) mempunyai
pengetahuan yang kurang, 1 subjek (3,2%) yang mempunyai pengetahuan yang
cukup dan tidak ada orang yang mempunyai pengetahuan yang baik. Pada
kenyataannya, sebagian besar penyirih di Kecamatan Pancur Batu beranggapan
bahwa menyirih membawa lebih banyak dampak positif terhadap kesehatan daripada
dampak negatif sehingga subjek menganggap bahwa adalah aman untuk
mengonsumsi sirih secara terus menerus. Hal ini sama dengan penelitian yang
dilakukan di Tanah Karo, dimana penyirih yakin bahwa menyirih tidak menimbulkan
pengaruh yang merugikan bagi kesehatan rongga mulut.9 Penggunaan bahan menyirih
berlangsung hingga saat ini karena bahan-bahan tersebut dinilai sebagai bahan alami
dan efek samping dari kebiasaan menyirih jarang terjadi. Kebanyakan subjek yang
diwawancarai merupakan ibu-ibu yang bekerja di pasar dan ini mungkin adalah salah
satu sebab kurangnya pengetahuan disebabkan kesibukan bekerja dari pagi sampai
sore sehingga tidak ada waktu untuk membaca atau mendengar tentang risiko
menyirih. Menurut penelitian Ahmed dkk di Bangladesh, sebagian besar penduduk
yang mengunyah sirih tidak tahu tentang risiko menyirih. 47 subjek (76%) tidak tahu
atau menyatakan bahwa kebiasaan menyirih tidak menyebabkan kanker rongga
mulut, sedangkan 30 subjek (41%) tidak tahu atau menyatakan bahwa kebiasaan
menyirih tidak akan menyebabkan masalah pada gigi.59 Pengetahuan menyirih
didapatkan berdasarkan pengalaman masing-masing subjek disertakan informasi yang
didapatkan dari media massa atau dari pihak kesehatan. Penduduk Kecamatan Pancur
Batu menganggap efek negatif yang ditimbulkan akibat menyirih adalah
pembentukan stain dan iritasi pada mukosa mulut akibat penggunaan kapur secara
berlebihan. Padahal efek negatif yang paling membahayakan akibat dari menyirih