• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prevalensi Kelainan Mukosa Oral Dan Pengetahuan Risiko Menyirih Pada Penduduk Kecamatan Pancur Batu Deli Serdang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Prevalensi Kelainan Mukosa Oral Dan Pengetahuan Risiko Menyirih Pada Penduduk Kecamatan Pancur Batu Deli Serdang"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

PREVALENSI KELAINAN MUKOSA ORAL DAN

PENGETAHUAN RISIKO MENYIRIH PADA

PENDUDUK KECAMATAN PANCUR BATU

DELI SERDANG

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi

syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran gigi

KIIRTANA SANTHARASAGARAN

NIM: 110600200

Dosen Pembimbing:

Dr. Wilda Hafny Lubis, drg., Msi.

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

Fakultas Kedokteran Gigi

Departemen Ilmu Penyakit Mulut

Tahun 2015

Kiirtana Santharasagaran

Prevalensi Kelainan Mukosa Oral Dan Pengetahuan Risiko Menyirih Pada

Penduduk Kecamatan Pancur Batu Deli Serdang.

x + 68 halaman

Kebiasaan menyirih masih dilakukan oleh penduduk Kecamatan Pancur Batu

Deli Serdang, khususnya wanita yang telah berumah tangga. Terdapat banyak

penelitian melaporkan adanya hubungan terjadinya kelainan mukosa oral dengan

kebiasaan mengunyah sirih. Ternyata sebagian besar penyirih masih mempunyai

pengetahuan yang kurang tentang dampak negatif dari kebiasaan menyirih. Tujuan

penelitian ini adalah untuk mengetahui kelainan mukosa oral apa saja yang terjadi

pada penyirih serta pengetahuan penduduk tentang risiko menyirih.

Jenis penelitian adalah survei deskriptif dengan pendekatan cross sectional

yang melibatkan 65 orang penyirih di Kecamatan Pancur Batu. Pengumpulan data

dilakukan dengan 2 cara yakni pertama melakukan pemeriksaan rongga mulut

terhadap subjek dengan menggunakan kaca mulut serta senter, kelainan yang

ditemukan dicatat pada lembar pemeriksaan yang telah disediakan. Data pengetahuan

diperoleh dengan mewawancarai subjek sesuai dengan kuesioner yang telah

disediakan. Data yang dikumpulkan kemudian ditabulasikan dan analisa data

dilakukan dengan cara menghitung persentase penyakit mulut berdasarkan kebiasaan

menyirih dan pengetahuan risiko menyirih.

Hasil penelitian menunjukkan dari 65 subjek sebanyak 34 subjek (52,3%)

tidak mempunyai kelainan mukosa oral dan 31 subjek (47,7%) ditemukan

mempunyai kelainan mukosa oral. Dari 31 subjek ditemukan sebanyak 18 kasus

(58,1%) lesi mukosa penyirih, 5 kasus (16,1%) preleukoplakia dan 11 kasus (35,5%)

(3)

Selain itu, ditemukan juga dari 65 penyirih sebanyak 86,2% mempunyai pengetahuan

yang kurang tentang risiko menyirih. Sebanyak 7,7% mempunyai pengetahuan yang

cukup dan 6,1% mempunyai pengetahuan yang baik.

Dari hasil penelitian ini prevalensi terjadinya kelainan rongga mulut akibat

menyirih cukup tinggi dan apabila tidak mendapatkan perawatan kelainan ini dapat

berkembang dan membahayakan kesehatan masyarakat. Penyuluhan harus

berkesinambungan untuk meningkatkan pengetahuan penduduk tentang dampak

negatif dari kebiasaan menyirih terhadap kesehatan rongga mulut.

(4)

PREVALENSI KELAINAN MUKOSA ORAL DAN

PENGETAHUAN RISIKO MENYIRIH PADA

PENDUDUK KECAMATAN PANCUR BATU

DELI SERDANG

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi

syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran gigi

KIIRTANA SANTHARASAGARAN

NIM: 110600200

Dosen Pembimbing:

Dr. Wilda Hafny Lubis, drg., Msi.

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(5)

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan tim penguji skripsi

Medan, 27 Maret 2015

Pembimbing Tanda tangan

Dr. Wilda Hafny Lubis, drg., M.Si

(6)

TIM PENGUJI SKRIPSI

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan tim penguji pada tanggal 27 Maret 2015

TIM PENGUJI

KETUA : Dr. Wilda Hafny Lubis, drg., M.Si

ANGGOTA : 1. Sayuti Hasibuan, drg., Sp.PM

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat

dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu

syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Gigi di Fakultas Kedokteran

Gigi Sumatera Utara.

Rasa hormat dan terima kasih yang tidak terhingga penulis sampaikan kepada

kedua orang tua yaitu buat ayahanda Santharasagaran Karuppiah dan ibunda

Mohanambal Sundaresan atas doa, perhatian dan dukungan moril dan materil sebagai

bentuk kasih sayang kepada penulis.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bimbangan, bantuan

dan doa dari berbagai pihak untuk menyelesaikan skripsi. Untuk itu dengan segala

kerendahan hati serta penghargaan yang tulus penulis menyampaikan rasa terima

kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen pembimbing Dr.Wilda Hafny Lubis,

drg.,M.Si yang telah dengan sabar, tekun, tulus dan ikhlas meluangkan waktu, tenaga

dan pikiran memberikan bimbingan, motivasi, arahan dan saran-saran yang sangat

berharga kepada penulis selama menyusun skripsi. Selanjutnya penulis mengucapkan

terima kasih kepada yang terhormat:

1. Sayuti Hasibuan selaku Ketua Departemen Ilmu Penyakit Mulut Fakultas

Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara, koordinator skripsi dan tim penguji

skripsi yang telah meluangkan waktu dan memberikan saran yang bermanfaat kepada

penulis.

2. Indri Lubis, drg selaku tim penguji skripsi atas waktu yang telah diberikan

dan saran yang bermanfaat buat penulis untuk menyelesaikan skripsi dengan baik.

3. Seluruh staf pengajar Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera

Utara yang telah mendidik dan membimbing penulis selama masa pendidikan, dan

staf pengajar dan pegawai Departemen Ilmu Penyakit Mulut yang telah membimbing

dan memberi arahan selama masa penyusunan skripsi.

4. Siti Salmiah, drg., Sp.KGA, penasehat akademik yang telah banyak

(8)

5. Sahabat-sahabat penulis yaitu Dytha Debrina, Neggy, Angeline, Ashvinaa,

Pennie, Elsi, Tiurma, Maya, Yuki, Patria Fajar Wibowo, Roni serta teman-teman

seangkatan 2011 yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu dan

memotivasi penulis sepanjang skripsi.

Akhir kata, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk

kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangan pikiran

yang berguna bagi fakultas, pengembangan ilmu yang bermanfaat bagi masyarakat.

Akhirnya tiada lagi yang dapat penulis ucapkan selain syukur sedalam-dalamnya

kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Medan, 20 Maret 2015

Penulis,

(Kiirtana

Santharasagaran)

(9)
(10)

2.4.5 Kanker Rongga Mulut………

3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi... 21

(11)

DAFTAR TABEL

5 Distribusi jumlah kelainan mukosa oral terhadap penduduk yang

mempunyai kebiasaan menyirih………. 32

6 Distribusi jenis kelainan mukosa oral pada penduduk yang

mempunyai kebiasaan menyirih………. 34

7 Distribusi pengetahuan risiko menyirih pada penduduk yang

mempunyai kebiasaan menyirih……….. 35

8 Distribusi penduduk yang tidak mempunyai kelainan mukosa

oral berdasarkan tingkat pengetahuan………. 36

9 Distribusi penduduk yang mempunyai kelainan mukosa oral

berdasarkan tingkat pengetahuan……… 36

10 Distribusi penduduk yang pernah atau tidak pernah mendapat

(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1 Komposisi menyirih……… 6

2 Pohon sirih dan daun sirih……….. 7

3 Pinang………. 8

4 Kapur…... 9

5 Gambir……….... 10

6 Tembakau... 11

7 Lesi mukosa penyirih………. 12

8 Oral submukus fibrosis……….. 13

9 Leukoplakia……… 14

10 Liken planus………... 15

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Lembar penjelasan kepada calon subjek penelitian

2. Lembar persetujuan subjek penelitian

3. Kuesioner

4. Lembar pemeriksaan subjek

5. Data penelitian

6. Gambar lesi mukosa penyirih, preleukoplakia dan leukoplakia

7. Surat persetujuan komisi etik

(14)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit yang terjadi pada manusia dapat merupakan konsekuensi dari suatu

gaya hidup. Salah satu perilaku yang berkaitan dengan sosial budaya dan

berhubungan dengan kesehatan rongga mulut adalah kebiasaan menyirih. Sejak

zaman dulu, perilaku ini dijadikan suatu tradisi atau kebiasaan. Menurut Gupta dkk

cit Little, sebanyak 600 milliar orang dilaporkan melakukan aktivitas menyirih di seluruh dunia, terutamanya di Asia Selatan, Asia Tenggara dan Kepulauan Pasifik.

Komposisi sirih mengandungi substan psikoaktif dan sering dikonsumsi orang ramai

selain alkohol, nikotin dan kafein.1,2

Aktivitas menyirih digemari oleh masyarakat di Asia Selatan karena

mempunyai beberapa manfaat kesehatan, antara lain menyegarkan pernafasan, obat

pencuci perut, meningkatkan pengecapan, pengobatan ayurvedic, masalah impoten, masalah ginekologi, infeksi parasit di intestinal dan untuk mengatasi masalah

pencernaan. Selain itu, menyirih dapat meningkatkan kapasitas bekerja, menimbulkan

sensasi panas dalam tubuh, mengurangi rasa cemas dan meningkatkan kewaspadaan.

Menyirih sering digunakan oleh orang-orang kurang mampu untuk menghindari

kebosanan dan rasalapar.3,4,5 Menurut Acharya cit Flora, daun sirih diletakkan pada dahi untuk mengurangi rasa sakit kepala.3 Manfaatnya pada gigi dan mulut adalah

dapat memperkuat gigi, mencegah terjadinya karies dan mengurangi rasa sakit pada

gigi.5

Beberapa penelitian melaporkan bahwa kebiasaan menyirih terutama dengan

menggunakan tembakau dapat menyebabkan efek negatif terhadap kesehatan. Efek

yang merugikan ini terjadi disebabkan oleh faktor-faktor yang mendukung timbulnya

kelainan-kelainan pada mukosa oral antara lain komposisi menyirih, durasi dan

frekuensi menyirih, dilaporkan penyebab penyakit kanker pada saluran pernafasan

(15)

menyirih dapat menyebabkan gangguan tekanan darah dan penyakit kardiovaskuler.

Selain itu, menyirih dapat menimbulkan efek negatif terhadap jaringan mukosa,

trismus, stein dan atrisi pada bagian oklusal gigi.6,7 Berbagai penelitian melaporkan

bahwa lesi mukosa oral berhubungan dengan kebiasaan menyirih.8 Hasil yang

diperoleh berbeda pada tiap negara.9

Sebagai tanda awal dari terjadinya perubahan mukosa oral akibat menyirih

meliputi mukosa penyirih, preleukoplakia, leukoplakia, liken planus, oral submukus

fibrosis dan selanjutnya berkembang menjadi karsinoma rongga mulut.7,8,9,10 Pada

penelitian yang dilakukan oleh Hasibuan dkk (2002), dilaporkan terdapat lesi mukosa

penyirih 47,9%, preleukoplakia 14,3%, leukoplakia tipe homogen 7,1%, dan oral

submukus fibrosis 8,2% pada penyirih di Tanah Karo. Kanker rongga mulut tidak

ditemukan dalam penelitian ini.9 Menurut World Health Organization (WHO), lesi mukosa oral merupakan salah satu masalah utama kesehatan masyarakat.11

Berdasarkan laporan WHO, kampanye media massa anti tembakau di Indonesia

ternyata tidak dilaksanakan pada tahun 2011 hingga 2012. Berhubungan dengan hal

tersebut maka pengetahuan masyarakat tentang risiko penggunaan tembakau terutama

ketika menyirih sangat kurang.12 Pemeliharaan kesehatan rongga mulut masih

diabaikan sebagian orang disebabkan oleh rendahnya pengetahuan mereka tentang

risiko kelainan mukosa oral yang dapat terjadi, walaupun proses terjadinya kelainan

mukosa oral pada penyirih lambat dan kenyataannya jarang menimbulkan kematian

spontan menyebabkan penderita sering tidak memberikan perhatian khusus.

Di Kecamatan Pancur Batu, suatu daerah yang terletak di provinsi

Sumatera Utara telah lama dikenal dengan penduduk mempunyai kebiasaan menyirih.

Aktivitas menyirih telah dimulai dari remaja yang bertujuan untuk menghilangkan

kebosanan atau sebagai pergaulan sosial sehingga frekuensi kegiatan menyirih

meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan hal diatas, dan untuk menambah

informasi tentang akibat menyirih maka perlu dilakukan penelitian untuk

mengidentifikasikan prevalensi terjadinya kelainan mukosa oral pada penyirih dan

pengetahuan tentang risiko menyirih pada kalangan penduduk di Kecamatan Pancur

(16)

1.2 Rumusan Masalah

Dari uraian tersebut diatas timbul permasalahan sebagai berikut:

1. Apa saja kelainan mukosa oral pada penyirih di Kecamatan Pancur Batu?

2. Berapakah prevalensi kelainan mukosa oral pada penyirih di Kecamatan

Pancur Batu?

3. Bagaimana pengetahuan penduduk mengenai risiko menyirih di Kecamatan

Pancur Batu?

1.3Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

1. Untuk mengetahui kelainan mukosa oral apa saja yang terjadi pada

penyirih di Kecamatan Pancur Batu.

2. Untuk mengetahui pengetahuan penduduk tentang risiko menyirih di

Kecamatan Pancur Batu.

1.3.2 Tujuan khusus

1. Untuk mengetahui jenis dan jumlah kelainan mukosa oral pada penyirih di

Kecamatan Pancur Batu.

2. Mengetahui apakah lama frekuensi menyirih dan durasi dapat

menyebabkan kelainan mukosa oral pada penyirih di Kecamatan Pancur Batu.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1Manfaat Teoritis

1. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi bagi pengembangan

ilmu pengetahuan kedokteran gigi bahwa menyirih dapat menimbulkan kelainan

mukosa oral.

2. Sebagai data untuk penelitian-penelitian lebih lanjut tentang adanya

(17)

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Informasi ini dapat digunakan dalam membuat rancangan dan

pengembangan program kesehatan gigi dan mulut untuk mencegah kebiasaan

menyirih sebagai penyebab kelainan yang lebih serius di rongga mulut.

2. Sebagai informasi bagi masyarakat tentang risiko terjadinya kelainan

mukosa oral akibat menyirih.

3. Diharapkan dapat menyumbangkan informasi penting untuk memahami

(18)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sejarah Menyirih

Kebiasaan menyirih sudah dikenal sekitar 2000 tahun yang lalu, sedangkan

tembakau dikenal sekitar 16 Masehi.13 Menyirih merupakan kebiasaan tradisional

yang dihubungkan dengan kegiatan sosial, budaya serta upacara-upacara sehingga

dapat diterima di seluruh lapisan masyarakat termasuk wanita dan anak-anak.

Kebiasaan menyirih telah dilaporkan di beberapa negara seperti Pakistan, Sri Lanka,

Bangladesh, Thailand, Kamboja, Malaysia, Indonesia, China, Papua Nugini, beberapa

pulau di Pasifik dan populasi migran dari Afrika Selatan, Afrika Timur, Inggris,

Amerika Utara dan Australia. Kebiasaan menyirih hampir merata dilakukan oleh

masyarakat suku-suku bangsa di Indonesia, mulai dari suku-suku bangsa yang

bermukim di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Papua.

Setiap suku bangsa mengolah sirih sesuai kebutuhan budaya mereka.14 Di Sumatera

Utara, kebiasaan menyirih masih dilakukan terutama pada kalangan suku Karo.

Secara umum dilihat dari tinjauan geografis dan budaya, suku Karo adalah salah satu

etnis suku-suku bangsa Indonesia yang mendiami daerah Dataran Tinggi Karo. Suku

Karo menganut sistem kekerabatan yang disebut disebut dengan “marga” yang terdiri dari lima cabang yaitu Perangin-angin, Ginting, Sembiring, Tarigan, dan Karo-karo.15

Kelima marga ini mempunyai kebiasaan menyirih terutama pada acara adat istiadat.

Dalam perkembangannya budaya, menyirih digunakan untuk tujuan kesehatan atau

sebagai camilan untuk mengisi masa luang.14

(19)

Menyirih merupakan kegiatan mencampur unsur-unsur yang diletakkan dalam

mulut kemudian dihisap atau dikunyah sehingga berkontak dengan mukosa dalam

waktu tertentu.16 Pada umumnya bahan yang digunakan ketika menyirih adalah daun

sirih (Piper betle), kapur (kalsium hidroksida) dan pinang (Areca catechu) dan pada masa selanjutnya dipadukan dengan gambir (Uncaria Gambir), tembakau (Nicotina tobaccum), cengkeh, kayu manis dan lain-lain.2,16

Gambar 1. Komposisi menyirih17

2.2.1 Sirih (Piper betle)

Nama Latin daun sirih adalah Piper betle L, yang berasal dari keluarga

Piperaceae.Sirih merupakan tanaman menjalar dan merambat pada batang pohon di sekelilingnya.18 Secara makroskopik tanaman ini berwarna hijau kekuningan atau

hijau gelap dengan permukaan yang licin. Panjang daun adalah 7-15 cm dan lebarnya

adalah 5-14 cm. Daunnya berbentuk jantung, berujung runcing, tumbuh

bersilang-seling, bertangkai dan mengeluarkan bau yang menyenangkan bila diremas.

Batangnya berwarna cokelat kehijauan, berbentuk bulat dan berkerut. Daun sirih

mempunyai aroma disertai dengan berbagai rasa, dari rasa manis hingga berbau tajam

karena mengandung minyak atsiri.19

Komponen utama daun sirih adalah pati, diastases, gula dan minyak atsiri.

(20)

sebagai antiseptik.2,19 Menurut Wang dkk cit International Agency For Research On Cancer, daun sirih mengandungi vitamin C dan carotene.2 Daun sirih memiliki

manfaat yang sangat luas sebagai bahan obat. Manfaat dari daun sirih antara lain

sebagai antiseptik, stimulan, menghilangkan bau mulut, abses, gatal-gatal,

pembengkakan gusi, rematik dan mencegah abrasi. Bahkan, jus daun sirih digunakan

untuk mengurangi demam, batuk, kelelahan dan asma.18,19,20

Gambar 2. Pohon sirih dan daun sirih21

2.2.2 Pinang (Areca catechu)

Pinang yang dikenali sebagai Areca catechu merupakan suatu jenis tanaman yang berasal dari keluarga Arecaceae yang tumbuh di Afrika Timur, Asia Selatan dan Pulau Pasifik. Di India pinang dikenali sebagai pan dan di Bali sebagai boa.21 Pinang dapat tumbuh 10-30 meter dan meruncing di bagian pucuk sekitar 3-5 cm. Buah

pinang mempunyai bentuk bulat dan berwarna hijau ketika masih muda dan berubah

menjadi kuning dan jingga apabila masak. Kandungan dari pinang adalah catechu-tannic acid (25-35%), acacatechin (2-10%), quercetin, catechu red, alkaloid

(arecoline, arecaidine, guvacine dan guvacoline).2,23,24

Pinang adalah suatu jenis unsur yang mempunyai warna merah-cokelat yang

sering dioleskan pada sirih dan dibungkus bersamaan dengan unsur lain.2 Kulit buah

(21)

dipotong kecil sebelum dikunyah. Kulit biji pinang dapat digunakan untuk

membersihkan gigi. Menurut Wilson dkk cit World health organization Western Pacific Region, dilaporkan bahwa pinang dapat menghasilkan rasa manis dan efek

stimulan. Ketika pinang, kapur dan daun sirih dikunyah pada masa bersamaan akan

menyebabkan hasil pengunyahan menjadi warna merah.23

Menurut Surendiran dkk cit Cyriac, dilaporkan bahwa pinang dapat menghambat pertumbuhan dan propagasi S.mutans. Selain itu, beberapa laporan menyatakan bahwa tumbuhan ini mempunyai sifat antioksidan.25 Menurut Murti dkk

cit Adhikari pinang merupakan salah satu faktor etiologi utama terjadinya oral submukus fibrosis. Hal ini terbukti mukosa oral menjadi kaku dan terdapat

pembentukan fibrous bands, disertakan dengan kehilangan elastisitas mukosa sehingga sulit membuka mulut.24

Gambar 3. Pinang21

2.2.3 Kapur (kalsium hidroksida)

Kapur adalah senyawa atau bahan oksida, hidroksida, dan karbonat dari

kalsium (Ca). Kapur atau cunam (kapur mati) berwarna putih likat seperti krim yang dihasilkan dari cangkang siput laut yang telah dibakar. Hasil dari debu cangkang

perlu dicampur dengan air untuk mempermudah pengolesan ke atas daun sirih.21

Kapur boleh didapati dengan membakar batu kapur (kalsium karbonat

CaCO3). Apabila dibakar dengan suhu tertentu, kalsium karbonat mengeluarkan gas

(22)

dengan air sehingga mengembang dan menghasilkan haba serta mejadi bubuk kapur

yang dikenal sebagai kalsium hidroksida (Ca(OH)2).21

Proses ini disebut dengan tindakan air (slaking) dan bubuk kapur adalah kapur terhidrat. Bubuk kapur akan menjadi cair jika campuran air berlebihan. Bubuk kapur

yang didiamkan lama akan menyebabkan kandungan airnya hilang dan bereaksi

dengan karbon dioksida di udara sehingga kembali menjadi kalsium karbonat.21

Kapur dan komposisi lain pada sirih dipadukan sebelum dikunyah. Kapur melepaskan

alkaloid dari pinang sehingga menghasilkan perasaan euforia.16 Kapur boleh menyebabkan inflamasi pada daerah submukosa.26 Selain itu, kapur juga merupakan

faktor pemicu pembentukan Reactive Oxygen Species (ROS) sehingga menyebabkan kerusakan oksidatif pada Deoxyribonucleic Acid (DNA) sel mukosa bukal pada penyirih.24

Gambar 4. Kapur21

2.2.4 Gambir (Uncaria Gambir)

Gambir merupakan suatu jenis tumbuhan yang terdapat di Asia Tenggara,

biasanya sering dijumpai di Malaysia dan Indonesia. Gambir termasuk dalam

keluarga Rubiaceae. Tinggi tumbuhan ini adalah sekitar 2.4 meter dan panjang daunnya adalah 8-14 cm. Daunnya berbentuk lonjong dan permukaannya licin.

Bunganya berwarna kelabu.21,28 Kandungan utama gambir adalah asam katechu

(23)

Dahlimi menyatakan bahwa kandungan kimia gambir yang paling banyak

dimanfaatkan adalah katechin dan tanin.28

Pada masyarakat tradisional, gambir merupakan satu bahan yang cukup

banyak dibutuhkan. Kegunaan gambir secara tradisional adalah sebagai bahan

pelengkap makan sirih dan obat-obatan, seperti di Malaysia gambir digunakan

sebagai obat luka bakar, di samping rebusan daun muda dan tunasnya sebagai obat

diare dan disentri serta obat kumur-kumur pada sakit tenggorokkan, sedangkan di

Singapura gambir digunakan sebagai bahan baku obat sakit perut dan sakit gigi.28

Gambar 5. Gambir 21

2.2.5 Tembakau (Nicotiana tabacum)

Tembakau berasal dari famili Solanaceae. Daun-daunnya digunakan untuk membuat rokok. Tembakau dapat tumbuh dalam keadaan iklim yang berlainan.

Ketika musim kemarau tembakau dipanen untuk mendapatkan daun-daun yang

bermutu. Daun-daun tembakau yang bermutu hanya boleh dihasilkan di

kawasan-kawasan tertentu. Jenis tembakau yang sama jika ditanam di kawasan-kawasan yang

mempunyai tanah yang berlainan dapat menghasilkan kualitas daun yang rendah. 21

Pohon tembakau subur dapat tumbuh sehingga 2 meter. Daun tembakau

digunakan sebagai pelengkap dalam menyirih. Unsur bioaktif yang terdapat pada

tembakau adalah nikotin, sifatnya menimbulkan ketagihan sehingga mendorong otak

(24)

Gambar 6. Tembakau 21

2.3 Cara Persiapan Sirih

Pengolahan menyirih adalah berbeda pada beberapa negara tergantung kepada

kebiasaan dan sumber bahan yang boleh didapati. Komposisi utama terdiri dari daun

sirih, biji buah pinang dan kapur. Terdapat sebagian penyirih menambahkan kelapa

parut, tembakau, kunyit, cengkeh dan kayu manis.2,16

Di India, kegiatan menyirih berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya.

Secara umum, menyirih dilakukan dengan biji buah pinang dihancurkan, dipotong

kecil atau diparut terlebih dahulu, kemudian dicampurkan dengan kapur dan rempah

lalu dibungkus dengan daun sirih.30 Di Lao People’s Democratic Republic, daun sirih

dioleskan dengan kapur, biji pinang dan tembakau yang dipotong kecil, kemudian

camphor digunakan untuk menghilangkan stein merah pada gigi setelah mengunyah.2

Sementara di Thailand, menurut Mougne dkk cit International Agency For Research On Cancer, komposisi utama menyirih adalah daun sirih, pinang dan kapur,

kemudian ditambahkan dengan bahan adiktif seperti tembakau, sandalwood atau

moonflower bark. Di Myanmar, aktivitas menyirih dikenali sebagai kun-ya atau kun. Komposisi utama adalah sama seperti di Thailand, yaitu daun sirih, pinang, kapur dan

tembakau. Menurut Chin dkk cit International Agency For Research On Cancer, di Malaysia, suku India menggunakan daun sirih muda, kapur, tembakau dan pinang

yang dikeringkan yang telah dipotong atau dalam bentuk bubuk sedangkan suku

(25)

.

Menurut Moller dkk cit International Agency For Research On Cancer

aktivitas bersirih di Indonesia mengacu pada kebiasaan mengunyah campuran daun

sirih (Piper betle Leaves), biji pinang (Areca Catechu), dan kapur (Kalsium hidroksida) yang pada masa selanjutnya dipadukan dengan gambir (Uncaria Gambir)

dan tembakau (Nicotina Tobaccum).2,15 Rempah seperti kapulanga atau cengkeh ditambah untuk menambah rasa. Kemudian campuran ini diletakkan dalam mulut dan

dihisap, dikunyah atau digosok sehingga berkontak dengan mukosa dalam waktu

tertentu.16 Di Indonesia, menyirih dilakukan dengan cara mengunyah gumpalan sirih

kemudian ditambah gumpalan tembakau yang bertujuan untuk membersihkan gigi

dan seterusnya dibiarkan di dalam mulut selama beberapa menit.31

2.4 Kelainan Mukosa Oral Akibat Menyirih

2.4.1 Lesi Mukosa Penyirih (Betel Chewers Mucosa)

Lesi mukosa penyirih merupakan suatu kondisi di mana mukosa oral

cenderung mengalami deskuamasi yang disebabkan komposisi bahan-bahan menyirih

atau efek traumatik pada saat mengunyah atau kedua-duanya. Dalam arti lain, iritasi

mukosa dapat disebabkan dari sumber kimia atau mekanis ketika mengunyah sirih.

Pasien yang menderita lesi mukosa penyirih sering mempunyai atrisi gigi yang

berat.32 Lesi ini merupakan predisposisi oral submukus fibrosis dan kanker.33,34

Secara klinis, lesi ini kelihatan cokelat-kemerahan pada sisi yang berkontak

dengan mukosa bukal. Diskolorasi disebabkan komposisi sirih yang mengandungi

kapur dan polyphenol. Tingkat diskolorasi juga dipengaruhi oleh komposisi sirih dan frekuensi menyirih. Lesi ini mempunyai karakteristik antara lain permukaan yang

(26)

Gambar 7. Lesi mukosa penyirih35

2.4.2 Oral Submukus Fibrosis

Oral submukus fibrosis merupakan lesi prekanker yang dijumpai pada mukosa

mulut, orofaring, nasofaring dan esofagus, sering disebabkan penggunaan pinang

ketika menyirih.36,37 Kelainan ini merupakan lesi yang kronik, ireversibel yang sering

dijumpai pada mukosa bukal. Simptom awal submukus fibrosis adalah sensasi bakar,

mulut kering, mukosa menjadi pucat dan ulserasi. Sensasi bakar terjadi ketika

berkontak dengan makanan pedas. Pada tahap yang lebih lanjut mukosa bersangkutan

menjadi tebal, keras dan dengan terbentuknya fibrous bands akan menyebabkan kesulitan untuk membuka mulut, bicara, menelan dan membatasi penggerakan

lidah.37,38,39 Mukosa menjadi pucat karena terjadinya kerusakan pada vaskular akibat

dari peningkatan fibrosis sehingga kelihatan seperti marble.39

Komposisi menyirih yang terdiri dari pinang dapat melepaskan unsur aktif

arecoline yang akan menstimulasi fibroblas untuk meningkatkan produksi kolagen sehingga terjadi fibrosis.36,37 Frekuensi dan durasi mempengaruhi pengembangan dari

lesi ini.39 Oral submukus fibrosis dapat didefinisikan bila terdapat satu atau lebih

karakteristik, yaitu dapat fibrous bands yang dapat dipalpasi, tekstur dari lesi terasa kasar dan keras dan mukosa oral memucat.37

Gambar 8. Oral submukus fibrosis36,40

(27)

Preleukoplakia dan leukoplakia adalah lesi yang dapat dijumpai pada

masyarakat yang mempunyai kebiasaan menyirih dengan penggunaan tembakau. Lesi

ini sering dijumpai pada mukosa bukal dan komisura. Tahap awal dari leukoplakia

homogen juga dikenali sebagai preleukoplakia.38 Preleukoplakia merupakan derajat

rendah atau reaksi ringan dari mukosa. Gambaran klinis menunjukkan mukosa

kelihatan putih keabu-abuan, disertai sedikit pola lobular dan tidak mempunyai batas

yang nyata dan bercampuran dengan mukosa berhampiran.41 Lesi ini bersifat

reversibel tetapi dapat menjadi tebal sehingga kelihatan warna putih yang nyata

akibat dari keratin yang menebal.38

Menurut International Conference, leukoplakia didefinisikan sebagai plak atau bercak putih pada mukosa mulut yang tidak dapat dihapus dan tidak dapat

diklasifikasikan secara klinis atau patologis sebagai penyakit lain dan tidak

dihubungkan dengan berbagai agen kimia atau fisik kecuali tembakau. Salah satu

faktor predisposisi terjadinya leukoplakia akibat penggunaan tembakau. Hal ini dapat

dibuktikan apabila kebiasaan menggunakan tembakau dihentikan lesi ini tidak

kelihatan. Pada pengguna tembakau yang berat, lesi ini mempunyai warna

cokelat-kekuningan. Selain itu, penggunaan kapur dan pinang yang berlebihan dapat

menyebabkan trauma lokal pada mukosa, apabila kegiatan menyirih dilakukan secara

terus menerus Reactive Oxygen Species (ROS) menyebabkan kerusakan pada DNA sehingga sel mengalami proliferasi dan pada masa yang lanjut hiperkeratinasasi epitel

terbentuk.42 Pada umumnya, lesi ini tidak mempunyai gejala namun terdapat kasus

yang menyatakan bahwa lesi ini dapat menimbulkan sakit, mukosa menjadi tebal dan

(28)

Gambar 9. Leukoplakia37

2.4.4 Liken Planus

Liken planus sering ditemukan pada penyirih terutama pada bagian mulut

yang sering terpapar dengan sirih. Lesi ini dapat hilang apabila frekuensi dan durasi

mengunyah sirih dikurangi.8 Lesi ini terdiri atas enam tipe yaitu retikular, papula,

plak, erosif, atrofi dan bulla. Tipe atrofi dan erosif sering menunjukkan gambaran

eritematus sedangkan tipe plak, papula dan retikular terjadi akibat hipertrofi sel. Tipe

retikular sering ditemukan di dalam rongga mulut, tipe ini menunjukkan gambaran

garis putih halus dan bergelombang, memiliki Wickham striae yang dikelilingi dengan batas eritematus yang tidak jelas. Di rongga mulut lesi ini sering ditemukan

pada posterior mukosa bukal, lidah dan gingiva. Tipe plak mempunyai gambaran

seperti leukoplakia dan sering terjadi dalam bentuk bercak putih yang homogen.43

Gambar 10. Liken planus43

2.4.5 Kanker Rongga Mulut

Kanker adalah pertumbuhan sel yang abnormal yang disebabkan oleh

perubahan yang multipel pada gen dan menyebabkan hilang keseimbangan antara

proliferasi sel dan apoptosis sel. Pada akhirnya berubah menjadi populasi sel yang

dapat menginvasi jaringan dan bermetastase ke bagian tubuh yang lain. Kanker dapat

(29)

Mengunyah tembakau dengan berbagai komposisi sirih seperti daun sirih,

pinang, dan kapur merupakan faktor risiko terjadinya Oral Squamous Cell Carcinoma (OSCC).34 Tembakau yang ditambahkan pada komposisi sirih dapat

bertanggung jawab terhadap pembentukan kanker karena tembakau mempunyai sifat

karsinogenik. Kanker dapat dilihat pada bagian mulut di mana sirih sering diletakkan,

yaitu pada daerah mukosa bukal atau pada bagian lateral lidah.30 Pada squamous cell carcinoma terdapat kadar metastasis yang tinggi.45 OSCC dapat terjadi tanpa atau dengan bergabung dengan oral submukus fibrosis.30

Gambar 11. Kanker rongga mulut43

2.5 Pengetahuan

Pengetahuan (knowledge) adalah hasil dari “tahu”, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi

melalui panca indra manusia yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa

dan raba. Dengan sendirinya pada waktu pengindraan sehingga menghasilkan

pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi

terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan

telinga. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya

tindakan seseorang (overt behavior). Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak

(30)

Menurut Notoatmodjo (2010), pengetahuan yang dicakup didalam domain

kognitif mempunyai beberapa tingkatan yaitu;46

a. Tahu (know), diartikan sebagai mengingat sesuatu materi yang telah ada sebelumnya. Termasuk dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali

(recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima, oleh sebab itu tahu merupakan tingkatan

pengetahuan paling rendah.

b. Memahami (Comprehension), diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat

menginterprestasikan materi tersebut secara benar.

c. Analisis (Analysis), adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek komponen-komponen, tetapi masih didalam suatu struktur organisasi

yang saling terkait.

d. Sintetis (Syntetis), adalah suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

(31)
(32)

2.7 Kerangka Konsep

Tingkat pengetahuan

 Tahu

 Memahami

 Analisis

 Sintesis

 Evaluasi

Kelainan mukosa oral akibat menyirih

 Lesi mukosa penyirih

 Oral submukus fibrosis

Kebiasaan menyirih

 Komposisi menyirih

 Frekuensi

(33)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian dilakukan secara survei deskriptif dengan pendekatan potong silang

(cross sectional), yaitu mengetahui prevalensi kelainan mukosa oral disebabkan kebiasaan menyirih dan pengetahuan penduduk tentang risiko menyirih. Setiap subjek

hanya diperiksa satu kali saja.47

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Pancur Batu, Deli Serdang pada

bulan Januari 2015. Di Kecamatan ini terdapat beberapa etnis suku dan salah satu dari

etnis suku tersebut adalah suku Karo, di mana suku Karo di Kecamatan Pancur Batu

masih mempunyai kebiasaan tradisional yaitu kebiasaan menyirih. Kebiasaan

menyirih di Kecamatan Pancur Batu lebih banyak dilakukan oleh wanita.

3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi

Populasi penelitian ini adalah penduduk yang bermukim di Kecamatan Pancur

(34)

3.3.2 Sampel Penelitian

Teknik pemilihan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik consecutive sampling yaitu semua subjek yang datang secara berurutan dan memenuhi kriteria

pemilihan dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah subjek yang diperlukan

terpenuhi.47

3.3.3 Besar Sampel

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan persentase kebiasaan mengunyah

sirih pada masyarakat Batak Karo di Kecamatan Pancur Batu dari hasil penelitian

Emerson Lim (2007) yaitu 32%,48 diperoleh sampel dengan menggunakan rumus

besar sampel untuk data nominal terhadap sampel tunggal untuk estimasi proporsi

suatu populasi yaitu sebagai berikut:47

n=

Keterangan :

n : Jumlah sampel

Zα : Tingkat Kemaknaan (nilai Zα yang dipakai adalah 10%, maka Zα = 1,64)

P : Proporsi mengunyah sirih penelitian Emerson Lim (2007), 32%)

Q : 1 – P ( Q = 0,68)

d : presisi (nilai presisi yang ditentukan peneliti adalah 10 %)

n=

= 58,5

Jumlah sampel minimal yang didapat adalah 58,5. Maka jumlah sampel yang

akan diambil pada penelitian ini adalah 65 orang.

3.4Kriteria Inklusi dan Eksklusi

(35)

1. Subjek mempunyai kebiasaan menyirih setiap hari sampai pada saat

penelitian dilakukan.

2. Subjek yang bersedia untuk menjadi sampel penelitian.

3.4.2 Kriteria Eksklusi:

Subjek yang mempunyai kebiasaan menyirih serta merokok dan mengonsumsi

alkohol.

c. Variabel terkendali : Umur penduduk (12-80 tahun)

3.6 Definisi Operasional

1. Kebiasaan menyirih

Definisi : Kebiasaan yang dilakukan dengan memadukan bahan-bahan

campuran sirih menjadi satu sehingga dapat dikunyah, bahan terdiri dari daun sirih,

pinang dan kapur dengan atau tanpa beberapa macam rempah lainnya seperti gambir,

tembakau, cengkeh, kayu manis dan lain-lain.2,14,16

Cara ukur : Wawancara

Alat ukur : Kuesioner

Skala ukur : Kategorik

2. Umur

(36)

Cara ukur : Wawancara

Alat ukur : Kuesioner

Skala ukur : Kategorik

3. Komposisi menyirih

Definisi : Bahan-bahan yang digunakan ketika menyirih, komposisi

utama terdiri dari daun sirih, pinang dan kapur sedangkan komposisi tambahan terdiri

atas komposisi utama ditambah dengan tembakau dan gambir.2,14,16

Cara ukur : Wawancara

Alat ukur : Kuesioner

Skala ukur : Kategorik

4. Frekuensi menyirih

Definisi : Berapa kali seseorang menyirih dalam satu hari.

Cara ukur : Wawancara

Alat ukur : Kuesioner

Skala ukur : Kategorik

5. Durasi menyirih

Definisi : Lamanya seseorang melakukan kebiasaan menyirih mulai

dari waktu pertama kali sampai saat penelitian dilakukan (tahun).

Cara ukur : Wawancara

Alat ukur : Kuesioner

Skala ukur : Kategorik

6. Pengetahuan penduduk tentang risiko menyirih

Definisi : Pengetahuan responden tentang risiko menyirih dan efek

buruk yang dapat ditimbulkan pada rongga mulut. Pengetahuan responden merupakan

hasil dari tahu dan ini terjadi setelah responden melakukan pengindraan terhadap

kebiasaan menyirih.50

Cara ukur : Wawancara

Alat ukur : Kuesioner

(37)

Hasil ukur : Gambaran tingkat pengetahuan responden terhadap risiko

menyirih diukur melalui 10 pertanyaan. Jawaban yang benar diberi nilai 1, jawaban

yang salah diberi nilai 0. Total nilai semua pertanyaan dijumlahkan dan

dikategorikan. Maka jumlah skor benar untuk seluruh pertanyaan yang diberikan

adalah 10. Kemudian jumlah skor setiap responden dihitung dengan rumus:

P = F / N * 100%

P = Persentase

F = Jumlah jawaban yang benar

N = Jumlah soal

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala kategorik, maka hasil

persentase skor setiap responden dikategorikan sebagai berikut:50

Tabel 1. Kategori Nilai Pengetahuan Menurut Arikunto (2006)

Tingkat Pengetahuan

Penjelasan

Baik Responden mampu menjawab dengan benar 75-100% dari seluruh pertanyaan.

Cukup Responden mampu menjawab dengan benar 56-74% dari seluruh pertanyaan.

Kurang Responden mampu menjawab dengan benar 0-55% dari seluruh pertanyaan.

7. Lesi mukosa penyirih (Betel Chewer’s Mucosa)

Definisi : Lesi yang mempunyai permukaan yang keriput, irregular,

kasar, hiperemi dan permukaan epitel yang sukar dihapus. Cenderung terjadi

deskuamasi disebabkan komposisi bahan menyirih atau efek traumatik. Lesi kelihatan

merah-kecoklatan pada mukosa bersangkutan.32

(38)

Alat ukur : Kaca mulut

Skala ukur : Kategorik

8. Oral submukus fibrosis

Definisi : Lesi yang menyebabkan mukosa menjadi pucat, tebal, keras

dan dengan adanya fibrous band dapat menghambat pergerakan mulut.37 Simtom awal adalah rasa terbakar ketika makan makanan pedas. Mukosa memperlihatkan

fibrous band putih yang vertikal sehingga memberikan tekstur yang kasar dan keras ketika dipalpasi dan rasa sakit serta ketidakmampuan membuka mulut. Bila penyakit

berkembang trimus akan terjadi akibat kehilangan regangan dan mukosa menjadi

lebih pucat dan kaku.36

Cara ukur : Pemeriksaan objektif pada mukosa oral

Alat ukur : Kaca mulut

Skala ukur : Kategorik

9. Preleukoplakia

Definisi : Suatu reaksi rendah dari mukosa mulut. Lesi kelihatan putih

keabu-abuan, sedikit pola lobular, dan tidak mempunyai batas nyata dengan jaringan

dekatnya.9,41

Cara ukur : Pemeriksaan objektif pada mukosa oral

Alat ukur : Kaca mulut

Skala ukur : Kategorik

10. Leukoplakia

Definisi : Plak atau bercak putih pada mukosa oral yang tidak dapat

dihapus dan tidak dapat diklasifikasikan secara klinis atau patologis sebagai penyakit

lain dan tidak dihubungkan dengan berbagai agen kimia atau fisik kecuali tembakau.

Permukaan lesi licin atau kasar ketika dipalpasi. Lesi kelihatan tebal, berfisur dan

indurasi.36

Cara ukur : Pemeriksaan objektif pada mukosa oral

Alat ukur : Kaca mulut

Skala ukur : Kategorik

(39)

Definisi : Lesi yang mengalami ulserasi dengan indurasi pada tepi

ulser, ulser meninggi atau kelihatan sebagai massa yang tumbuh eksofitik dengan

permukaan yang licin atau pebbled, dan mudah berdarah apabila ada trauma.51 Cara ukur : Pemeriksaan objektif pada mukosa oral

Alat ukur : Kaca mulut

Pengumpulan data ditujukan kepada penduduk yang mempunyai kebiasaan

menyirih di Kecamatan Pancur Batu. Penelitian dilakukan mulai pukul 09.00-17.00 di

pasar Pancur Batu. Subjek diberikan informasi tentang tujuan penelitian dan setelah

subjek setuju menjadi subjek penelitian, subjek dimohon menandatangani lembar

persetujuan (Informed consent). Subjek kemudian diwawancarai dan pemeriksaan rongga mulut dilakukan sesuai dengan lembar pemeriksaan disediakan.

(40)

Data klinik diperoleh dengan melakukan pemeriksaan menggunakan

kuesioner dan pemeriksaan jaringan rongga mulut terhadap subjek penelitian,

prosedurnya antara lain:

1. Peneliti mengajukan pertanyaan sesuai dengan kuesioner kepada subjek

penelitian untuk mengetahui pengetahuan responden tentang risiko menyirih.

2. Subjek penelitian didudukkan dalam keadaan rileks pada kursi yang

disediakan di lokasi penelitian. Posisi peneliti berdiri di depan subjek penelitian.

Pemeriksaan klinis dilakukan peneliti dengan bantuan asisten peneliti.

3. Gambaran mengenai kelainan yang terdapat pada rongga mulut diperoleh

dengan melakukan pemeriksaan langsung pada rongga mulut responden dengan

menggunakan kaca mulut untuk melihat mukosa labial, mukosa bukal, gingiva, dan

palatum serta senter sebagai alat penerangan. Dilakukan penelusuran di daerah

mukosa bukal dan gusi untuk melihat ada atau tidak kelainan mukosa oral.

4. Kelainan mukosa oral yang terjadi pada rongga mulut dicatat sesuai dengan

lokasinya pada formulir yang telah dibuat. Kriteria diagnosa disesuaikan dengan

kriteria pada definisi operasional.

3.9Pengolahan Data

Data yang dikumpulkan dari kuesioner yang telah diisi akan dikategorikan

sesuai dengan langkah-langkah berikut:52

1. Editing, yaitu melakukan pemeriksaan kelengkapan data yang dikumpulkan. Jika terjadi kesalahan atau kekurangan dalam pengumpulan data akan

diperbaiki sebelum peneliti meninggalkan lapangan penelitiannya dan melakukan

pendataan ulang.

2. Coding, yaitu proses memberikan kode pada jawaban-jawaban responden, sistem ini memudahkan pengolahan data, sehingga harus tetap terlebih dahulu diteliti

oleh peneliti.

3. Entry data, kegiatan ini memasukkan data dalam program komputer untuk dilakukan analisis dengan uji statistik deskriptif dengan menyajikan data dalam

(41)

4. Tabulating, adalah proses menghitung setiap variabel berdasarkan kategori yang telah ditetapkan sebelumnya sesuai dengan tujuan penelitian.

3.10 Analisa Data

Data univariat disajikan dalam bentuk tabel yang meliputi:

1. Distribusi usia penduduk yang mempunyai kebiasaan menyirih.

2. Distribusi durasi mengunyah sirih (tahun) pada penyirih.

3. Distribusi frekuensi mengunyah sirih dalam satu hari.

4. Distribusi komposisi menyirih yang digunakan oleh penduduk di

Kecamatan Pancur Batu.

5. Distribusi jumlah kelainan mukosa oral pada penduduk yang mempunyai

kebiasaan menyirih di Kecamatan Pancur Batu.

6. Distribusi jenis kelainan mukosa oral yang ditemukan pada penduduk

yang mempunyai kebiasaan menyirih di Kecamatan Pancur Batu.

7. Distribusi pengetahuan risiko menyirih pada penduduk yang mempunyai

kebiasaan menyirih di Kecamatan Pancur Batu.

8. Distribusi penduduk yang tidak mempunyai kelainan mukosa oral

berdasarkan tingkat pengetahuan.

9. Distribusi penduduk yang mempunyai kelainan mukosa oral berdasarkan

tingkat pengetahuan.

10.Distribusi penduduk yang pernah atau tidak pernah mendapat penyuluhan

tentang dampak penggunaan sirih.

Data yang dikumpulkan kemudian ditabulasikan dan analisa data dilakukan

dengan cara menghitung persentase penyakit mulut berdasarkan kebiasaan menyirih

dan pengetahuan risiko menyirih. Analisa data dilanjutkan dengan membahas hasil

penelitian.

3.11 Etika Penelitian

Etika penelitian dalam penelitian ini mencakup:

(42)

Peneliti menjelaskan tujuan penelitian, tindakan yang akan dilakukan serta

informasi yang akan diperoleh yang berkaitan dengan penelitian kepada subjek. Jika

subjek penelitian mengerti dan bersedia menjadi sampel, subjek penelitian dimohon

untuk menandatangani lembar persetujuan dan berpartisipasi dalam kegiatan

penelitian.

2. Ethical Clearance

Peneliti mengajukan lembar persetujuan pelaksanaan penelitian kepada

komisi etik penelitian kesehatan berdasarkan ketentuan etika yang bersifat

internasional maupun nasional.

3. Kerahasiaan ( Confidentiality)

Data yang terkumpul dalam penelitian akan dijamin kerahasiannya oleh

(43)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1 Karakteristik Responden

Pada penelitian yang dilakukan di Kecamatan Pancur Batu, Deli Serdang,

subjek penelitian yang diperiksa terdiri dari 65 orang penyirih dan semuanya wanita.

Usia subjek dibagi menjadi 4 kelompok usia yaitu usia 12-20 tahun (remaja),

kelompok usia 21-39 tahun (dewasa muda), kelompok usia 40-65 tahun (dewasa) dan

kelompok usia > 65 tahun (lanjut usia).53 Dari penelitian tersebut usia rata-rata subjek

adalah 45,7tahun di mana usia terendah adalah 20tahun dan usia tertinggi adalah 80

tahun. Kelompok umur yang mempunyai jumlah penyirih tertinggi adalah diantara

subjek yang berusia 40-65 tahun (Tabel 1).

Tabel 1. Distribusi Usia yang Mempunyai Kebiasaan Menyirih

Usia Jumlah (orang) Persentase (%)

12-20 tahun 1 1,5

21-39 tahun 19 29,2

40-65 tahun 41 63,1

>65 tahun 4 6,2

(44)

4.2 Durasi Menyirih Berdasarkan Tahun

Durasi subjek melakukan kebiasaan menyirih bervariasi, mulai dari kurang

dari 1 tahun sampai lebih dari 10 tahun. Sebagian besar subjek mempunyai kebiasaan

mengunyah sirih lebih dari 10 tahun yaitu sebanyak 50,8%, sebanyak 30,8%

mengunyah sirih selama 1-5 tahun, 12,3% mengunyah sirih selama 5-10 tahun dan

persentase terendah adalah pada kelompok yang mempunyai kebiasaan menyirih

kurang dari 1 tahun adalah sebanyak 6,1% (Tabel 2).

Tabel 2. Distribusi Durasi Mengunyah Sirih (Tahun) pada Penyirih

4.3 Frekuensi Menyirih Dalam Satu Hari

Frekuensi subjek melakukan kebiasaan menyirih bervariasi, mulai dari 1-3

kali dalam satu hari sampai lebih dari 11 kali dalam satu hari. Sebanyak 38,5% subjek

mengunyah sirih 4-6 kali sehari, 21,5% mengunyah sirih sebanyak 7-10 kali dan lebih

dari 11 kali dalam satu hari. Persentase terendah adalah sebanyak 18,5% dimana

subjek mengunyah sirih 1-3 kali sehari (Tabel 3).

Tabel 3. Distribusi Frekuensi Mengunyah Sirih Dalam Satu Hari

Frekuensi menyirih

dalam satu hari

Jumlah (orang) Persentase (%)

1-3 kali 12 18,5

4-6 kali 25 38,5

Durasi Jumlah (orang) Persentase (%)

< 1 tahun 4 6,1

1-5 tahun 20 30,8

5-10 tahun 8 12,3

>10 tahun 33 50,8

(45)

7-10 kali 14 21,5

>11 kali 14 21,5

TOTAL 65 100

4.4 Komposisi Menyirih

Semua subjek pada penelitian ini mengunyah sirih dengan menggunakan

bahan-bahan yang terdiri dari daun sirih, pinang dan kapur sedangkan komposisi

tambahan adalah tembakau dan gambir. Tembakau hanya digunakan oleh subjek

ketika menyirih untuk membersihkan gigi geligi.

4.5 Jumlah Kelainan Mukosa Oral Terhadap Penduduk yang

Mempunyai Kebiasaan Menyirih

Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan pada 65 orang penyirih,

sebanyak 34 orang (52,3%) tidak ditemukan adanya kelainan pada mukosa oral, 31

orang penyirih (47,7%) menunjukkan adanya kelainan mukosa oral. Dari subjek yang

ditemukan kelainan mukosa oral, sebanyak 28 orang (43,1%) mempunyai satu jenis

kelainan mukosa oral dan 3 orang (4,6%) mempunyai dua jenis kelainan mukosa oral

(Tabel 5).

Tabel 5. Distribusi Jumlah Kelainan Mukosa Oral pada Penduduk yang Mempunyai Kebiasaan Menyirih

Kelainan mukosa oral Jumlah (orang)

Persentase (%)

(46)

4.6 Distribusi Jenis Kelainan Mukosa Oral pada Penduduk yang

Mempunyai Kebiasaan Menyirih

Dari 31 orang penyirih yang mempunyai satu jenis kelainan mukosa oral

ditemukan lesi mukosa penyirih mempunyai persentase paling tinggi yaitu sebanyak

15 kasus (23,1%) diikuti dengan leukoplakia 10 kasus (15,4%) dan preleukoplakia

sebanyak 3 kasus (4,6%). Pada penyirih yang mempunyai 2 jenis kelainan mukosa

oral, terdapat 2 kasus (3,1%) lesi mukosa penyirih dan preleukoplakia, dan 1 kasus

(1,5%) untuk lesi mukosa penyirih dan leukoplakia. Kanker mulut dan oral submukus

fibrosis tidak ditemukan dalam penelitian ini (Tabel 6).

Kelainan mukosa oral (+)

 Satu jenis kelainan

mukosa oral

 Dua jenis kelainan

mukosa oral

TOTAL 65 100

3

28 43,1

4,6

(47)

Tabel 6. Distribusi Jenis Kelainan Mukosa Oral pada Penduduk yang Mempunyai Kebiasaan Menyirih

Kelainan mukosa oral Jumlah

(orang)

Persentase

(%)

Lesi mukosa penyirih 15

23,1

Oral Submukus Fibrosis 0 0

Preleukoplakia 3 4,6

Leukoplakia 10 15,4

Kanker 0 0

Lesi mukosa penyirih+oral

submukus fibrosis 0 0

Lesi mukosa penyirih+

preleukoplakia 2 3,1

Lesi mukosa penyirih+

Leukoplakia 1 1,5

Preleukoplakia+ Oral submukus

fibrosis 0 0

Leukoplakia+ Oral submukus

fibrosis 0 0

Tidak ada kelainan 34 52,3

(48)

4.7 Pengetahuan Risiko Menyirih pada Penduduk yang Mempunyai

Kebiasaan Menyirih

Dari 65 penyirih sebanyak 86,2% mempunyai pengetahuan yang kurang

tentang risiko menyirih. Sebanyak 7,7% mempunyai pengetahuan yang cukup dan

6,1% mempunyai pengetahuan yang baik (Tabel 7).

Tabel 7. Distribusi Pengetahuan Risiko Menyirih pada Penduduk yang Mempunyai Kebiasaan Menyirih

Pengetahuan Jumlah

(orang)

Persentase

(%)

Kurang 56

86,2

Cukup 5 7,7

Baik 4 6,1

TOTAL 65 100

4.8 Penduduk yang Tidak Mempunyai Kelainan Mukosa Oral

berdasarkan Tingkat Pengetahuan

Dalam penelitian ini sebanyak 34 subjek tidak mempunyai kelainan mukosa

oral. Dari 34 subjek ini sebanyak 26 orang (76,4%) mempunyai pengetahuan yang

kurang tentang risiko menyirih. Sedangkan sebanyak 4 orang (11,8%) mempunyai

pengetahuan yang cukup dan 4 orang (11,8%) mempunyai pengetahuan yang baik

(49)

Tabel 8. Distribusi Penduduk yang Tidak Mempunyai Kelainan Mukosa Oral

4.9 Penduduk yang Mempunyai Kelainan Mukosa Oral Berdasarkan

Tingkat Pengetahuan

Pada 31 subjek yang mempunyai kelainan mukosa oral, didapatkan 30 orang

(50)

4.10 Penyuluhan Tentang Dampak Penggunaan sirih

Pada penelitian ini sebesar 61 orang (93,8%) telah menyatakan bahwa tidak

pernah mendapat penyuluhan dari pihak kesehatan mengenai risiko mengunyah sirih.

Sebanyak 4 orang (6,2%) pernah mendapat penyuluhan (Tabel 10).

Tabel 10. Distribusi Penduduk Pernah Atau Tidak Pernah Mendapat Penyuluhan

Penyuluhan Jumlah (orang) Persentase (%)

Ya 4 6,2

Tidak 61 93,8

(51)

BAB 5

PEMBAHASAN

Dari hasil penelitian diperoleh bahwa kebiasaan menyirih masih dilakukan

oleh sebagian besar penduduk di Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang

terutama pada kalangan wanita. Hal ini disebabkan wanita mempunyai beban

tanggung jawab atas kebutuhan rumah tangga, sehingga wanita lebih banyak mencari

sesuatu hal yang mereka anggap dapat memberikan ketenangan maupun kesenangan

salah satunya dengan menyirih, sedangkan kaum pria di Kecamatan Pancur Batu

lebih cenderung untuk melakukan kebiasaan merokok. Penelitian yang dilakukan di

Malaysia oleh Tan dkk cit Flora berbeda dengan penelitian di Kecamatan Pancur Batu dimana kegiatan menyirih dilakukan oleh wanita dan pria. Ditemukan kegiatan

menyirih lebih sering dilakukan oleh wanita dibandingkan dengan pria yaitu

sebanyak 76,3% wanita adalah penyirih dan 23,7% adalah pria.3 Perilaku menyirih

telah menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat suku Karo, hal ini tampak dalam

penggunaan sirih dan kegunaannya dalam beberapa hal di antaranya adalah untuk

memperkuat gigi geligi dan untuk menenangkan pikiran.9 Hal ini hampir sama

dengan penelitian yang dilakukan oleh Croucher dkk di Inggris, dimana salah satu

alasan untuk menyirih adalah untuk memperkuat gigi geligi.54

Distribusi usia yang paling banyak mempunyai kebiasaan menyirih di

Kecamatan Pancur Batu berada pada kelompok usia 40-65tahun (63,1%), kemudian

disusul dengan kelompok usia 21-39 tahun (29,2%). Hasil penelitian hampir sama

dengan penelitian yang dilakukan oleh Moller dkk cit International Agency For Research On Cancer di Indonesia, di mana kegiatan menyirih sering dilakukan oleh wanita berusia 35 tahun ke atas. Hal ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh

Reichart cit International Agency For Research On Cancer di Thailand, dimana kebanyakan penduduk yang berusia 35 tahun ke atas mempunyai kebiasaan

(52)

untuk mengatasi masalah ataupun mencari ketenangan, masing-masing subjek

mempunyai alasan lain sesuai dengan pengalaman masing-masing. Rendahnya

jumlah subjek yang mempunyai kebiasaan menyirih pada usia muda karena masih

bersekolah.

Sebanyak 50,8% dari 65 orang penyirih di Kecamatan Pancur Batu

mempunyai kebiasaan mengunyah sirih lebih dari 10 tahun, di India dilaporkan

sebanyak 57,6% mempunyai kebiasaan menyirih di atas 10 tahun.5 Di samping itu,

sebanyak 38,5% penduduk di Kecamatan Pancur Batu melakukan kegiatan menyirih

sebanyak 4-6 kali sehari. Sebaliknya di India ditemukan lebih banyak subjek

mengunyah sirih sebanyak 1-3 kali sehari (51,9%).5 Dari hal ini dapat dilihat bahwa

menyirih bukan saja suatu aktivitas bagi penduduk di Kecamatan Pancur Batu akan

tetapi sudah menjadi kebiasaan yang tidak bisa dipisahkan dalam kegiatan sehari-hari

sama halnya dengan makan. Menurut penelitian Solihin (2012), kebanyakan penyirih

beranggapan bahwa menyirih secara terus menerus memiliki khasiat utama terhadap

kesehatan dan juga sebagai sejenis narkotik ringan yang berfungsi menenangkan saraf

utama, sehingga dapat menimbulkan efek menenteramkan hati dan pikiran.14

Ditemukan dalam penelitian ini bahwa penyirih di Kecamatan Pancur Batu

pada umumnya menyirih menggunakan komposisi utama yang terdiri dari daun sirih,

pinang dan kapur sedangkan komposisi tambahan terdiri atas komposisi utama

ditambah dengan gambir dan tembakau. Tidak ada subjek di Kecamatan Pancur Batu

menambahkan tembakau atau unsur-unsur lain ke dalam ramuan tersebut untuk

dikunyah bersama-sama, penggunaan tembakau hanya digunakan untuk

membersihkan gigi ketika menyirih. Perpaduan pinang, daun sirih dan kapur dapat

menghasilkan zat kimiawi yang berfungsi menstimulasi sistem saraf pusat sehingga

dapat menenangkan pikiran.14 Hal ini berbeda dengan dengan penyirih di Sri Lanka,

Thailand, Kamboja dan Lao People’s Democratic Republic yang sering

menambahkan tembakau ke dalam ramuannya dan dikunyah bersama-sama.Menurut

penelitian Senewiratne dkk cit International Agency For Research On Cancer di Sri Lanka, sebanyak 42,7% wanita menggunakan tembakau sebagai salah satu ramuan

(53)

menggunakan tembakau sebagai ramuan sirih dan sebanyak 39 penyirih tidak

memadukan gambir dalam ramuan sirih.2 Alasan yang diberikan oleh subjek di India

untuk menggunakan tembakau ketika menyirih adalah untuk menghindari kebosanan,

mengatasi sakit badan, mengurangi stress dan untuk menambah rasa.55

Pada penelitian ini, didapatkan 34 subjek (52,3%) tidak mempunyai kelainan

dan sebanyak 31 subjek (47,7%) mempunyai kelainan mukosa oral yang berupa

mukosa penyirih, preleukoplakia dan leukoplakia. Kelainan mukosa oral yang

terbanyak ditemukan dalam penelitian ini adalah lesi mukosa penyirih (Betel

Chewer’s Mucosa) yaitu sebanyak 18 kasus (58,1%). Lesi ini terbatas pada sisi di

mana campuran sirih tersebut dikunyah dan diletakkan. Terjadinya lesi mukosa

penyirih disebabkan karena adanya iritasi terus menerus dari campuran sirih tersebut

dengan mukosa. Hasil ini hampir sama dengan penelitian yang dilakukan di Malaysia

terhadap 850 subjek pada tahun 1995, ditemukan prevalensi sebanyak 21,9%

mempunyai mukosa penyirih. Sedangkan penelitian yang dilakukan di Kamboja pada

tahun 1996 terhadap 102 penyirih didapati sebanyak 60,8% subjek mempunyai lesi

mukosa menyirih.7 Pada penelitian ini prevalensi mukosa penyirih lebih rendah

apabila dibandingkan dengan prevalensi di Kamboja. Perbedaan ini mungkin

disebabkan frekuensi, durasi dan lama kontak mengunyah sirih.9 Mukosa penyirih

tidak dianggap sebagai lesi maglinan, namun kondisi ini biasanya disertai dengan

kelainan mukosa seperti leukoplakia dan oral submukus fibrosis, yang berpotensi

menjadi malignan.7

Preleukoplakia ditemukan 5 kasus (16,1%) dari 31 subjek yang diteliti,

sedangkan leukoplakia didapatkan sebanyak 11 kasus (35,5%). Pada penelitian Chin

dkk cit International Agency For Research On Cancer, ditemukan 38 kasus (22,7%) preleukoplakia dan 67 kasus (40,1%) leukoplakia.2 Ditemukan kejadian leukoplakia

dan preleukoplakia pada kalangan penyirih di Kecamatan Pancur Batu lebih rendah

dibandingkan dengan hasil penelitian di Malaysia, hal ini disebabkan adanya

perbedaan dalam cara melakukan kegiatan menyirih. Penyirih di Malaysia

memadukan tembakau dengan daun sirih, kapur dan pinang kemudian dikunyah

(54)

menyebabkan penyirih terpapar dengan kadar karsinogen yang tinggi seperti tobacco-specific nitrosamines (TSNAs), hal ini dapat menyebabkan penyirih lebih rentan

menderita lesi prekanker dibandingkan dengan penyirih yang hanya menggunakan

tembakau untuk membersihkan gigi geligi. Selain itu, lama paparan dan frekuensi

menyirih yang tinggi dalam satu hari sangat berpengaruh terhadap pembentukan lesi,

komposisi sirih yang bersifat karsinogenik berkontak secara terus menerus dengan

mukosa sehingga menyebabkan kerusakan sel pada mukosa yang bersangkutan.2,9,42

Pada penelitian Gupta cit International Agency For Research On Cancer, ditemukan sebanyak 14,6% subjek yang menyirih di atas 10 kali per hari mempunyai

leukoplakia sedangkan hanya sebanyak 8,4% subjek yang melakukan kegiatan

menyirih kurang dari 10 kali per hari mempunyai leukoplakia.2 Menurut penelitian

Lee dkk cit World Health Organization Western Pacific Region terdapat interaksi antara pinang dan tembakau sehingga menyebabkan terjadinya leukoplakia,

sedangkan menurut Van der Wall dkk citWorld Health Organization Western Pacific Region kadar transformasi leukoplakia menjadi maglinan adalah sekitar 0,1%-17,5%.23 Walaupun kasus preleukoplakia dan leukoplakia hanya ditemukan dalam

jumlah yang kecil, keberadaan lesi tersebut seharusnya mendapatkan perhatian dari

pihak kesehatan. Menurut penelitian Downer dan Petti citWorld Health Organization Western Pacific Region, diperkirakan terjadinya kanker mulut disebabkan leukoplakia adalah 6,2-29,1 kasus dari 100 000 orang.23

Dalam penelitian ini tidak ditemukan oral submukus fibrosis dan kanker

rongga mulut. Hal ini berbeda dengan penelitian terhadap penyirih di Tanah Karo, di

mana terdapat 21 kasus oral submukus fibrosis ditemukan pada orang yang

mempunyai kebiasaan menyirih.9 Hal ini mungkin disebabkan pinang yang menjadi

faktor etiologi terjadinya oral submukus fibrosis, tidak digunakan dalam jumlah yang

banyak ketika dimasukkan ke dalam ramuan. Beberapa orang subjek berpendapat

bahwa kelebihan pinang dapat menyebabkan perasaan yang tidak enak seperti jantung

berdebar dan pening. Menurut penelitian Reddy dkk, penyirih yang menggunakan

pinang dan tembakau sebagai salah satu ramuan menyirih mempunyai risiko yang

(55)

dalam jumlah yang banyak. Dari 390 subjek sebanyak 6 orang tidak mempunyai oral

submukus fibrosis, hal ini karena daun sirih memiliki sifat antioksidan dan beta-carotene yang tinggi sehingga menghambat radikal bebas. Kebiasaan menyirih lebih

dari 10 tahun dan frekuensi menyirih lebih dari 10 kali dalam satu hari meningkatkan

risiko terjadinya oral submukus fibrosis yang lebih parah.2,56 Pada subjek yang

mengunyah sirih lebih dari 6 menit dan mempunyai kebiasaan menelan sirih

ditemukan menderita oral submukus fibrosis.56 Selain itu, sebuah studi di Afrika

Selatan menemukan sebanyak 68% kanker pada mukosa bukal dan 84% kanker lidah

terjadi pada penyirih yang menggunakan pinang sebagai salah satu komposisi

menyirih tanpa adanya tembakau.7 Komposisi sirih yang terdiri dari pinang

mengandung arecoline dan bentuk alkaloid yang lain yang kemudian diubah menjadi

N-nitroso yang bersifat karsinogenik.57 Arecoline menghambat sintesis protein dan menstimulasi produksi kolagen dan meningkatkan proliferasi fibroblast, hal ini merangsang perubahan neoplastic sehingga terjadinya kanker.58 Menurut penelitian Gupta cit Gandhi, risiko terjadinya kanker mulut tinggi apabila seorang penyirih mempunyai oral submukus fibrosis, terutamanya menggunakan tembakau sebagai

ramuan menyirih. Iritasi yang terus menerus pada mukosa disebabkan penggunaan

kapur juga dapat menyebabkan terjadinya kanker rongga mulut.13

Selain dari kelainan mukosa oral yang ditemukan pada penyirih, terdapat

beberapa perubahan yang dapat dilihat ketika rongga mulut diperiksa, didapati bahwa

adanya warna merah hingga kecoklatan pada bibir, mukosa bukal dan lidah. Selain

itu, adanya warna kehitaman pada gigi geligi subjek yang diteliti. Stain pada gigi

terjadi disebabkan penggunaan pinang dan kurangnya penjagaan kebersihan rongga

mulut seperti menyikat gigi secara teratur.7 Pada beberapa subjek kelihatan terjadinya

atrisi pada gigi geligi. Hal ini disebabkan mengunyah sirih secara terus menerus

dengan beban yang berlebihan dapat menyebabkan atrisi pada bagian insisal atau

oklusal gigi geligi dan tingkat keparahan atrisi tergantung pada frekuensi dan durasi

mengunyah sirih.7

Berdasarkan hasil wawancara dengan 65 subjek, didapati sebanyak 56 subjek

(56)

(7,7%) mempunyai pengetahuan yang cukup dan 4 subjek (6,1%) mempunyai

pengetahuan yang baik. Dari 34 subjek yang tidak mempunyai kelainan mukosa oral,

sebanyak 26 subjek (76,8%) mempunyai pengetahuan yang kurang, masing-masing 4

subjek (11,8%) mempunyai pengetahuan yang cukup dan baik. Dari 31 subjek yang

mempunyai kelainan mukosa oral sebanyak 30 subjek (96,8%) mempunyai

pengetahuan yang kurang, 1 subjek (3,2%) yang mempunyai pengetahuan yang

cukup dan tidak ada orang yang mempunyai pengetahuan yang baik. Pada

kenyataannya, sebagian besar penyirih di Kecamatan Pancur Batu beranggapan

bahwa menyirih membawa lebih banyak dampak positif terhadap kesehatan daripada

dampak negatif sehingga subjek menganggap bahwa adalah aman untuk

mengonsumsi sirih secara terus menerus. Hal ini sama dengan penelitian yang

dilakukan di Tanah Karo, dimana penyirih yakin bahwa menyirih tidak menimbulkan

pengaruh yang merugikan bagi kesehatan rongga mulut.9 Penggunaan bahan menyirih

berlangsung hingga saat ini karena bahan-bahan tersebut dinilai sebagai bahan alami

dan efek samping dari kebiasaan menyirih jarang terjadi. Kebanyakan subjek yang

diwawancarai merupakan ibu-ibu yang bekerja di pasar dan ini mungkin adalah salah

satu sebab kurangnya pengetahuan disebabkan kesibukan bekerja dari pagi sampai

sore sehingga tidak ada waktu untuk membaca atau mendengar tentang risiko

menyirih. Menurut penelitian Ahmed dkk di Bangladesh, sebagian besar penduduk

yang mengunyah sirih tidak tahu tentang risiko menyirih. 47 subjek (76%) tidak tahu

atau menyatakan bahwa kebiasaan menyirih tidak menyebabkan kanker rongga

mulut, sedangkan 30 subjek (41%) tidak tahu atau menyatakan bahwa kebiasaan

menyirih tidak akan menyebabkan masalah pada gigi.59 Pengetahuan menyirih

didapatkan berdasarkan pengalaman masing-masing subjek disertakan informasi yang

didapatkan dari media massa atau dari pihak kesehatan. Penduduk Kecamatan Pancur

Batu menganggap efek negatif yang ditimbulkan akibat menyirih adalah

pembentukan stain dan iritasi pada mukosa mulut akibat penggunaan kapur secara

berlebihan. Padahal efek negatif yang paling membahayakan akibat dari menyirih

Gambar

Tabel
Gambar
Gambar 10. Liken planus43
Gambar 11. Kanker rongga mulut43
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui untuk mengetahui keberadaan Sanggar Seni Mejuah-juah di Desa pertampilen Kecamatan pancur batu Kabupaten Deli Serdang, untuk

Tetty Rini Rebecca Siregar : Studi Keanekaragaman Makrozoobenthos Di Aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu Dan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang, 2010..

Dampak Peralihan Tempat Pembuangan Akhir Namo Bintang Terhadap Kesejahteraan Sosial Rumah Tangga Pemulung di Desa Baru,.. Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten

Hasil yang diperoleh berdasarkan penelitian adalah pengawasan berpengaruh dengan disiplin kerja pegawai di Kantor Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang

Hasil yang diperoleh berdasarkan penelitian adalah pengawasan berpengaruh dengan disiplin kerja pegawai di Kantor Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang

Pendapatan Usahatani Belimbing (Averrhoa carambola L.) di Deli Serdang (Studi Kasus : Desa Namoriam Kecamatan Pancur Batu)”.. Dibimbing oleh

Disiplin kerja pada Kantor Camat Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang dapat.

CHRISTINA SAGALA: Dampak Pengerukan Pasir Terhadap Kelimpahan Plankton dengan Parameter Fisika Kimia di Hulu Sungai Belawan, Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang..