• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Penggunaan Obat Bronkodilator Terhadap Terjadinya Xerostomia Pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik Di Rsu Dr.Pirngadi Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Penggunaan Obat Bronkodilator Terhadap Terjadinya Xerostomia Pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik Di Rsu Dr.Pirngadi Medan"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN PENGGUNAAN OBAT BRONKODILATOR

TERHADAP TERJADINYA XEROSTOMIA PADA

PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK

DI RSU Dr. PIRNGADI MEDAN

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi

syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh:

JENNIFER

NIM: 110600054

Pembimbing:

Sayuti Hasibuan, drg., Sp.PM

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

Fakultas Kedokteran Gigi Departemen Ilmu Penyakit Mulut

Tahun 2015

Jennifer

Hubungan Penggunaan Obat Bronkodilator Terhadap Terjadinya Xerostomia

Pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik di RSU Dr. Pirngadi Medan.

x + 40halaman

Xerostomia merupakan sensasi subjektif mulut kering yang dapat

menyebabkan berbagai masalah di rongga mulut dan mempengaruhi kualitas hidup

seseorang. Xerostomia sering terjadi sebagai efek samping penggunaan obat dan

salah satu obat yang dapat menyebabkan xerostomia adalah obat bronkodilator yang

digunakan pasien PPOK. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan

penggunaan obat bronkodilator terhadap terjadinya xerostomia pada pasien PPOK

berdasarkan jenis obat dan lama pemberian obat. Jenis penelitian ini adalah survei

analitik pendekatan cross sectional dengan melibatkan 97 subjek (75 orang laki-laki dan 22 orang perempuan) yang merupakan pasien PPOK di RSU Dr. Pirngadi Medan.

Penelitian ini dilakukan dengan melakukan wawancara pada subjek, menggunakan

alat bantu kuesioner. Analisa data dilakukan secara manual dan komputerisasi. Hasil

yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan pasien PPOK yang mengalami

xerostomia sebanyak 63 orang (64,9%) dan yang tidak mengalami xerostomia

sebanyak 34 orang (35,1%). Persentase xerostomia berdasarkan jenis obat paling

tinggi terdapat pada penggunaan kombinasi obat agonis beta 2 dan obat

antikolinergik dan persentase xerostomia berdasarkan lama pemberian obat paling

tinggi terdapat pada penggunaan obat selama 1-5 tahun. Hasil uji statistik jenis obat

dan lama pemberian obat menggunakan Pearson chi-square menunjukkan hasil yang signifikan (p < 0,05) yaitu dengan nilai signifikansi dari jenis obat adalah p = 0,045

dan nilai signifikansi dari lama pemberian obat adalah p = 0,035. Berdasarkan hasil

(3)

dan lama pemberian obat bronkodilator yang digunakan pasien PPOK terhadap

terjadinya xerostomia. Jenis obat yang paling menyebabkan xerostomia adalah

penggunaan kombinasi agonis beta 2 dan antikolinergik dan penggunaan obat yang

semakin lama akan semakin meningkatkan risiko terjadinya xerostomia.

(4)

HUBUNGAN PENGGUNAAN OBAT BRONKODILATOR

TERHADAP TERJADINYA XEROSTOMIA PADA

PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK

DI RSU Dr. PIRNGADI MEDAN

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi

syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh:

JENNIFER

NIM: 110600054

Pembimbing:

Sayuti Hasibuan, drg., Sp.PM

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(5)

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan

di hadapan tim penguji skripsi

Medan, 01 April 2015

Pembimbing: Tanda tangan

(6)

TIM PENGUJI SKRIPSI

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan tim penguji

pada tanggal 01 April 2015

TIM PENGUJI

KETUA : Sayuti Hasibuan, drg., Sp.PM

ANGGOTA : Nurdiana, drg., Sp.PM

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat

dan karunia-Nya kepada penulis sehingga skripsi yang berjudul “Hubungan Penggunaan Obat Bronkodilator Terhadap Terjadinya Xerostomia Pada Pasien

Penyakit Paru Obstruktif Kronik Di RSU Dr. Pirngadi Medan” selesai disusun

sebagai salah satu syarat untuk mendapat gelar Sarjana Kedokteran Gigi di Fakultas

Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan skripsi ini penulis telah mendapat banyak bimbingan dan

pengarahan dari berbagai pihak. Terima kasih yang tidak terhingga kepada Ayahanda

Ir. Susanto Limurti, Ibunda Linda Koesuma dan Adinda tersayang Lovelyn atas doa

restu, cinta dan kasih sayang dalam mendidik dan selalu memberi dukungan kepada

penulis.

Pada kesempatan ini pula, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih

yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

1. Prof. Nazruddin, drg., C.Ort., Sp.Ort., Ph.D selaku Dekan Fakultas

Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

2. Sayuti Hasibuan, drg., Sp.PM selaku Ketua Departemen Ilmu Penyakit

Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara sekaligus Dosen

Pembimbing Skripsi yang telah meluangkan waktu dan memberikan bimbingan,

pengarahan dan saran dalam penulisan skripsi ini.

3. Nurdiana, drg., Sp.PM dan Indri Lubis, drg selaku tim penguji skripsi atas

waktu yang telah diberikan dan saran yang bermanfaat buat penulis untuk

menyelesaikan skripsi dengan baik.

4. Cut Nurliza, drg., M.Kes selaku Dosen Pembimbing Akademis yang telah

membimbing dan mengarahkan penulis selama menjalani pendidikan di Fakultas

(8)

5. Seluruh Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera

Utara yang telah mendidik dan membimbing penulis selama masa pendidikan, serta

staf pengajar Departemen Ilmu Penyakit Mulut yang telah membimbing dan

memberikan arahan selama masa penyusunan skripsi.

6. Direktur Utama RSU Dr. Pirngadi Medan, Direktur SDM dan Pendidikan

RSU Dr. Pirngadi Medan, Kepala Instalasi Litbang RSU Dr. Pirngadi Medan beserta

staf dan Kepala SMF Poli Paru RSU Dr. Pirngadi Medan beserta staf yang telah

memberikan izin dan bantuan dalam pelaksanaan penelitian ini.

7. Kakak Intan yang telah memberi saran dan bantuan kepada penulis.

8. Sahabat-sahabat penulis: Juliana, Imelda, Handayani, Shella, Erin, Novia,

Christina, Sumery, Fenny, Ingrid, Fredysen, Alvin, Sutanto, Vandersun yang telah

memberikan bantuan, motivasi dan doa kepada penulis.

9. Teman-teman seperjuangan skripsi di Departemen Ilmu Penyakit Mulut

yaitu Windy, Aldrian, Karina, Fatin, Shamini, Rizqa, Kiirtana, Khaera, Victor, Cindy,

dan kakak Letario serta teman-teman angkatan 2011 yang telah memberikan

kehidupan baru dan menghabiskan waktu bersama dalam menggapai cita-cita serta

memberikan motivasi dan semangat dalam menjalani pendidikan di Fakultas

Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

Akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih dan mengharapkan

saran dan kritik yang membangun untuk menghasilkan karya yang lebih baik lagi

dikemudian hari. Semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangan pikiran yang

berguna bagi pengembangan disiplin ilmu di Fakultas Kedokteran Gigi, khususnya

Departemen Ilmu Penyakit Mulut, serta pengembangan ilmu dikalangan masyarakat.

Medan, 01 April 2015

Penulis,

(9)

DAFTAR ISI

2.4 Hubungan Penggunaan Obat Bronkodilator pada Pasien PPOK terhadap Terjadinya Xerostomia ... 17

2.5 Kerangka Teori... 19

(10)

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian ... 21

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 21

3.3 Populasi dan Sampel ... 21

3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 23

3.5 Variabel Penelitian ... 23

3.5.1 Variabel Bebas ... 23

3.5.2 Variabel Terikat ... 23

3.5.3 Variabel Terkendali ... 23

3.5.4 Variabel Tak Terkendali ... 23

3.6 Definisi Operasional... 24

3.7 Sarana Penelitian ... 24

3.7.1 Alat ... 24

3.7.2 Bahan ... 24

3.8 Metode Pengumpulan Data ... 25

3.9 Pengolahan dan Analisis Data ... 25

3.10 Etika Penelitian ... 26

BAB 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Data Demografi Subjek Penelitian ... 27

4.2 Frekuensi Xerostomia ... 27

BAB 5 PEMBAHASAN ... 31

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 35

DAFTAR PUSTAKA ... 36

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Macam-macam obat agonis beta 2 ... 7

2. Kuesioner untuk mendiagnosis xerostomia ... 13

3. Distribusi dan frekuensi penggunaan obat bronkodilator terhadap pasien

PPOK berdasarkan jenis kelamin dan usia ... 27

4. Distribusi dan frekuensi xerostomia pada pasien PPOK yang

menggunakan obat bronkodilator ... 28

5. Distribusi dan frekuensi xerostomia pada pasien PPOK yang

menggunakan obat bronkodilator berdasarkan jenis kelamin ... 28

6. Distribusi dan frekuensi xerostomia pada pasien PPOK yang

menggunakan obat bronkodilator berdasarkan usia ... 29

7. Tabulasi silang antara jenis obat bronkodilator terhadap terjadinya

xerostomia pada pasien PPOK ... 29

8. Tabulasi silang antara lama pemberian obat bronkodilator terhadap

(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Pengumpulan saliva individu kelenjar parotid ... 16

2. Pengumpulan saliva individu kelenjar submandibula dan sublingual ... 16

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Persetujuan Komisi Etik Tentang Penelitian di Bidang Kesehatan

2. Surat Selesai Penelitian dari RSU Dr. Pirngadi Medan

3. Lembar Penjelasan Kepada Calon Subyek Penelitian

4. Lembar Persetujuan Subyek Penelitian

5. Lembar Pemeriksaan Pasien

6. Kuesioner

(14)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Xerostomia adalah keluhan subjektif kekeringan pada rongga mulut yang

tidak selalu berkaitan dengan hipofungsi kelenjar saliva dan hiposalivasi (penurunan

sekresi saliva).1-3 Xerostomia paling sering terjadi sebagai bentuk efek samping

obat-obatan di rongga mulut. Lebih dari 500 jenis obat-obat-obatan telah dikaitkan dengan

terjadinya xerostomia.2 Penelitian yang dilakukan oleh Nagler dan Hershkovich

(2005) pada kelompok usia lanjut menunjukkan penurunan sekresi saliva total tanpa

stimulasi sebagai akibat dari penggunaan obat-obatan.4 Obat-obatan yang

menyebabkan xerostomia adalah obat yang dalam mekanisme kerjanya menganggu

transimisi signal di saraf efektor parasimpatis, obat yang mengganggu akitivitas saraf

efektor adrenergik dan obat yang menyebabkan depresi sistem saraf pusat.2

Xerostomia dapat menyebabkan berbagai masalah di rongga mulut dan juga

dapat mempengaruhi kualitas hidup seseorang. Fungsi pengunyahan, penelanan dan

fungsi bicara akan terganggu. Xerostomia juga dapat menyebabkan mukosa menjadi

kering, sensitif dan rentan terhadap trauma, infeksi kandida, inflamasi, perubahan

pengecapan, sindroma mulut terbakar dan halitosis.3

Salah satu obat yang menyebabkan xerostomia adalah obat bronkodilator yang

digunakan pasien penyakit paru obstruktif kronik.4 Penyakit paru obstruktif kronik

(PPOK) merupakan penyakit paru yang ditandai dengan adanya hambatan aliran

udara, yang bersifat kronik progresif dan tidak sepenuhnya reversibel.5-7 PPOK terdiri

dari bronkitis kronik dan emfisema.7,8 PPOK telah menjadi masalah kesehatan

masyarakat Indonesia akibat semakin tingginya pajanan faktor risiko seperti

kebiasaan merokok, pencemaran udara dan akibat meningkatnya usia harapan

hidup.5,9-11 Berdasarkan Riskesdas tahun 2013, prevalensi PPOK di Indonesia sebesar

3,7% dan di Sumatera Utara sebesar 3,6%. Prevalensi PPOK meningkat seiring

(15)

kematian kelima di seluruh dunia dan WHO memprediksi pada tahun 2020 PPOK

akan menjadi penyebab kematian ketiga di seluruh dunia.9

Pasien yang menderita PPOK biasanya diberikan obat bronkodilator. Jenis

obat bronkodilator yang umumnya diberikan adalah agonis beta 2 dan antikolinergik

(antimuskarinik).7,11-13 Kedua jenis obat tersebut mempunyai efek samping sistemik

seperti tremor, takikardia, hipokalemia, nausea, konstipasi, sakit kepala dan efek

samping di rongga mulut.7,13,14 Salah satu efek samping yang ditimbulkan di rongga

mulut yaitu xerostomia.14,15

Ryberg (1987) melakukan penelitian terhadap laju sekresi saliva total dan laju

sekresi saliva kelenjar parotid pada penderita yang menggunakan agonis beta 2 dan

hasil menunjukkan terjadi penurunan sekresi saliva sebesar 26% dan 36%

berturut-turut pada saliva total dan saliva kelenjar parotid.16 Penelitan yang dilakukan

Najafizadeh dkk (2007) terhadap penggunaan salbutamol dan formoterol

(agonis beta 2) menunjukkan 36,7% terjadi efek samping xerostomia pada kedua

kelompok.17 Casaburi (2000) menyatakan xerostomia (9,3%) sebagai efek samping

yang sering terjadi akibat penggunaan tiotropium (antikolinergik) pada penderita

PPOK.18 Beberapa kelompok percobaan klinis dilakukan terhadap penggunaan

Spiriva Handihaler (antikolinergik jenis tiotropium) pada penderita PPOK dalam beberapa waktu, yaitu pada penggunaanya selama enam bulan, satu tahun dan empat

tahun. Hasil percobaan klinis menunjukkan terjadinya efek samping obat di rongga

mulut berupa xerostomia dengan prevalensi sebesar 16% pada penggunaan selama

enam bulan dan satu tahun, sementara penggunaan selama empat tahun menunjukkan

xerostomia sebesar 5,1%.19

Secara teoritis, penggunaan obat bronkodilator dapat menyebabkan

xerostomia, termasuk penggunaannya pada pasien PPOK. Namun dari penelitian

sebelumnya belum menjelaskan hubungan penggunaan obat bronkodilator pada

pasien PPOK dilihat dari jenis obat dan lama pemberian obat terhadap terjadinya

xerostomia. Oleh karena itu, peneliti perlu untuk melakukan penelitian tentang

hubungan obat bronkodilator terhadap xerostomia yang akan dilakukan pada pasien

(16)

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Masalah Umum

Apakah terdapat hubungan penggunaan obat bronkodilator terhadap terjadinya

xerostomia pada pasien PPOK?

1.2.2 Masalah Khusus

1. Berapakah prevalensi xerostomia pada pasien PPOK yang menggunakan

obat bronkodilator?

2. Apakah terdapat hubungan antara penggunaan obat bronkodilator terhadap

terjadinya xerostomia pada pasien PPOK berdasarkan jenis obat?

3. Apakah terdapat hubungan antara penggunaan obat bronkodilator terhadap

terjadinya xerostomia pada pasien PPOK berdasarkan lama pemberian obat?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan penggunaan obat bronkodilator terhadap

terjadinya xerostomia pada pasien PPOK.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui prevalensi xerostomia pada pasien PPOK yang

menggunakan obat bronkodilator.

2. Untuk mengetahui hubungan antara penggunaan obat bronkodilator

terhadap terjadinya xerostomia pada pasien PPOK berdasarkan jenis obat.

3. Untuk mengetahui hubungan antara penggunaan obat bronkodilator

(17)

1.4 Hipotesis Penelitian

1. Ada hubungan antara terjadinya xerostomia dengan penggunaan obat

bronkodilator pada pasien PPOK.

2. Ada hubungan antara terjadinya xerostomia dengan penggunaan obat

bronkodilator pada pasien PPOK terhadap jenis obat.

3. Ada hubungan antara terjadinya xerostomia dengan penggunaan obat

bronkodilator pada pasien PPOK terhadap lama pemberian obat.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Teoritis

1. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang penggunaan obat

bronkodilator pada pasien PPOK akan berhubungan dengan terjadinya xerostomia.

2. Menambah wawasan peneliti mengenai penggunaan obat bronkodilator

pada pasien PPOK berhubungan dengan terjadinya xerostomia.

3. Sebagai dasar penelitian lebih lanjut terhadap timbulnya xerostomia akibat

obat bronkodilator pada pasien PPOK.

1.5.2 Manfaat Praktis

1. Menambah wawasan pasien PPOK dan tenaga kesehatan tentang terjadinya

xerostomia pada pasien berhubungan dengan penggunaan obat bronkodilator.

2. Sebagai usaha dalam mengatur rencana perawatan bagi setiap gejala

(18)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Paru Obstruktif Kronik

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan penyakit paru kronik

progresif yang tidak menular, ditandai dengan adanya hambatan aliran udara di

saluran napas yang bersifat reversibel parsial. Penyakit PPOK berhubungan dengan

respon inflamasi abnormal paru terhadap partikel berbahaya atau gas racun.11

Kebiasaan merokok merupakan faktor risiko utama penyakit PPOK. Selain itu,

terdapat faktor-faktor risiko lainnya seperti riwayat terpajan polusi udara di

lingkungan dan tempat kerja, hiperaktivitas bronkus, riwayat infeksi saluran napas

bawah berulang dan defisiensi antitripsin alfa-1 yang sangat jarang terjadi di

Indonesia.6,11

Diagnosis PPOK ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik,

pemeriksaan penunjang seperti foto toraks dan uji faal paru.8,12 Gejala awal PPOK

berupa batuk produktif yang sebagian besar terjadi diantara perokok berusia 40-50

tahun, sementara dyspnea (sesak napas) merupakan gejala lanjutan pada usia 50-60 tahun.12 Penyakit paru obstruktif kronik terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema

atau sering merupakan gabungan keduanya.7,8,12

Bronkitis kronik adalah kelainan saluran napas dimana penderita mengalami

batuk kronis dan produksi sputum berlebihan yang terjadi minimal selama tiga bulan

dalam dua tahun berturut-turut, disertai rasa kelelahan dan rasa tidak nyaman pada

penderita.8,12,20 Gejala-gejala pada bronkitis kronik seperti batuk kronik dan

produktif, obstruksi jalan napas dan gangguan pertukaran gas merupakan akibat

perubahan patologi struktur paru. Perubahan struktur paru yang disebabkan oleh

proses inflamasi kronik tersebut berupa peningkatan ukuran epitel-epitel kelenjar,

hipertrofi otot polos dan jaringan penunjang pada dinding jalan napas, serta

degenerasi tulang rawan jalan napas. Perubahan bronkiolus dan gangguan pertukaran

(19)

tidak sesuai (mismatched), dimana sebagian tempat (alveoli) terdapat aliran darah yang adekuat, tetapi sangat sedikit aliran udara dan sebaliknya pada sebagian tempat

lain. Selain itu, juga terjadi penurunan kerja otot-otot respirasi dan penyempitan jalan

napas yang menimbulkan hipoventilasi dan tidak cukupnya udara ke alveoli, hingga

akhirnya menyebabkan peningkatan karbondioksida dalam darah dan kekurangan

oksigen. Sementara itu, mediator-mediator inflamasi yang didominasi oleh sel T

limfosit (CD8+), makrofag dan neutrofil mengakibatkan hipertrofi kelenjar-kelenjar

yang memproduksi mukus dan peningkatan jumlah sel goblet, sehingga terjadi

hipersekresi mukus.20

Emfisema adalah suatu kelainan anatomis paru ditandai oleh pelebaran rongga

udara distal bronkiolus terminal dan kerusakan dinding alveoli.8 Pada emfisema

terjadi penurunan elastisitas alveoli dan berkurangnya permukaan pertukaran gas

sehingga pernapasan menjadi susah. Merokok adalah penyebab utama selain polusi

dan faktor herediter.21,22 Gejala awal emfisema berupa sesak napas dan batuk yang

disertai penurunan aktivitas menjadi sangat terbatas, hingga akhirnya terjadi

kerusakan alveoli yang permanen dan hilangnya kemampuan pertukaran gas oleh

seluruh bagian paru. Emfisema tidak dapat disembuhkan, tetapi perubahan sikap

dengan berhenti merokok dan perawatan dapat menurunkan degenerasi paru dan

mengatasi simtom. 21

2.2 Obat Bronkodilator

Obat bronkodilator merupakan obat utama perawatan PPOK.13 Bronkodilator

menyebabkan relaksasi otot-otot saluran pernapasan sehingga saluran bertambah

lebar dan pernapasan menjadi lebih mudah.23 Bronkodilator diberikan dalam

perawatan reguler untuk mendapat efek bronkodilatasi dan juga digunakan untuk

meredakan gejala eksaserbasi PPOK.7,12 Jenis obat bronkodilator yang digunakan

dalam merawat PPOK yaitu obat golongan agonis beta 2 dan antikolinergik.13 Obat

bronkodilator dapat diberikan secara tunggal ataupun dikombinasi, sesuai dengan

klasifikasi derajat berat penyakit.8 Pemilihan bentuk obat diutamakan bentuk inhalasi

(20)

2.2.1 Agonis beta 2

Obat golongan agonis beta 2 merupakan obat yang umumnya digunakan

dalam perawatan penyakit asma dan PPOK.24 Efek farmakologi utama agonis beta 2

adalah sebagai bronkodilator yaitu untuk merelaksasi otot polos pernapasan melalui

stimulasi reseptor adrenergik beta 2 yang banyak terdapat pada otot polos saluran

napas.15,24 Stimulasi reseptor adrenergik beta 2 pada tingkat sel akan meningkatkan

siklik adenosin monofosfat intraselular (cAMP) yang berperan dalam mengatur tonus

otot polos pernapasan, sehingga terjadi bronkodilatasi. Selain itu, agonis beta 2 yang

juga menstimulasi reseptor adrenergik beta 2 pada presinaptik ganglia parasimpatis

saluran napas, menghambat pelepasan asetilkolin yang merupakan bronkokonstriktor

sehingga menyebabkan bronkodilatasi.15,24,25

Berdasarkan lama kerjanya, agonis beta 2 dibedakan menjadi agonis beta

berefek singkat/SABAs (Short Acting Beta Agonists) dan agonis beta berefek panjang/LABAs (Long Acting Beta Agonists). SABAs digunakan sebagai obat pereda simtom akut (reliever) karena memiliki onset kerja yang cepat (1-5 menit) walaupun tidak bertahan lama (4-6 jam).13,15,23 LABAs mempunyai efek bronkodilator yang

bertahan sekitar 12 jam hingga 24 jam sehingga lebih efektif penggunaanya dalam

pengobatan reguler penyakit PPOK.23

Agonis beta 2 dapat menimbulkan efek samping tremor, takikardia, gagal

jantung kronik dan efek samping di rongga mulut berupa xerostomia.26,27

Tabel 1. Macam-macam obat agonis beta 215,18

Agonis Beta 2 Macam Obat

SABAs Salbutamol (albuterol), terbutaline, pirbuterol

LABAs Salmeterol, formoterol, vilanterol, indacaterol

2.2.2 Antikolinergik

Pada PPOK, antikolinergik digunakan untuk mengurangi tonus otot yang

menyebabkan hambatan aliran udara dan untuk menekan sekresi mukus.28 Sistem

(21)

normal, rangsangan asetilkolin pada saraf parasimpatis reseptor muskarinik paru akan

menyebabkan bronkokonstriksi, yaitu pada reseptor muskarinik M1 dan M3,

sementara pada reseptor muskarinik M2 memiliki efek feedback untuk membatasi pelepasan asetilkolin. Selain itu, rangsangan asetilkolin pada reseptor muskarinik M3

di kelenjar submukosa saluran napas akan menyebabkan peningkatan sekresi

mukus.13,28 Antikolinergik atau antimuskarinik bronkodilator merupakan antagonis

reseptor muskarinik kolinergik non selektif yang bekerja dengan menghambat

asetilkolin padasaraf parasimpatis sehingga menimbulkan bronkodilatasi.28

Bronkodilator antikolinergik terdiri dari antikolinergik berefek singkat/SAMA

(Short acting muscarinic antagonist) seperti ipratropium bromida dan antikolinergik berefek panjang/LAMA (Long acting muscarinic antagonist) yaitu tiotropium bromida. SAMA bersifat non selektif dan menghambat ketiga reseptor muskarinik,

menyebabkan bronkodilatasi dan sedikit supresi mukus, sedangkan LAMA bersifat

lebih selektif terhadap reseptor M3.29 Seperti fungsi SABA, SAMA juga digunakan

untuk mengatasi simtom akut bronkospasme, sementara LAMA digunakan dalam

pengobatan reguler.15 Akan tetapi, jika dibandingkan dengan agonis beta 2,

antikolinergik memiliki onset kerja yang lebih lama sehingga kurang efektif

digunakan sebagai obat pereda simtom (reliever).23,28 Ipratropium bromida (SAMA) bekerja dalam 15 menit dan bertahan selama 6-8 jam, sementara tiotropium (LAMA)

membutuhkan waktu yang lebih lama untuk bekerja (20 menit), walaupun dapat

bertahan selama 24 jam.23

Bronkodilator antikolinergik memiliki lebih sedikit efek samping dibanding

agonis beta 2. Xerostomia dan retensi urin merupakan efek samping yang paling

sering dijumpai.23 Tiotropium menyebabkan xerostomia pada 6-13% pasien.27

2.3 Xerostomia

2.3.1 Definisi

Xerostomia berasal dari kata xeros (kering) dan stoma (mulut) yang artinya

mulut kering. Xerostomia bukan merupakan penyakit, melainkan merupakan sensasi

(22)

hiposalivasi.3 Dasar terjadinya xerostomia adalah perubahan kuantitatif atau kualitatif

fungsi kelenjar saliva.30 Perubahan komposisi dan kualitas saliva dapat menyebabkan

xerostomia, walaupun tanpa terjadi penurunan aliran saliva.3,31

Xerostomia sering ditemukan pada usia lanjut dan prevalensinya tinggi pada

wanita postmenopause. Prevalensi xerostomia juga meningkat seiring pertambahan

umur, dengan estimasi sekitar 30% populasi yang berumur 65 tahun ke atas menderita

xerostomia. Akan tetapi, dalam keadaan sehat/tanpa masalah medis dan tanpa

mengkonsumsi obat-obatan, aliran saliva dan komposisi saliva bersifat stabil dan

tidak berhubungan dengan peningkatan umur.3

2.3.2 Etiologi

Xerostomia dapat disebabkan oleh banyak faktor diantaranya akibat merokok,

penggunaan obat-obatan, proses penuaan, penyakit sistemik, penyakit kelenjar saliva,

efek radioterapi kepala leher dan akibat bernapas dari mulut.1-3,30,32 Selain

faktor-faktor tersebut, xerostomia juga dapat terjadi akibat perubahan inervasi saraf autonom

pada kelenjar saliva. Perubahan inervasi saraf yang didominasi rangsangan simpatis,

seperti pada episode stres dan cemas akut mengakibatkan perubahan komposisi saliva

yang menyebabkan sensasi mulut kering/xerostomia. Kondisi psikologis seperti

depresi dan insomnia juga dapat menyebabkan xerostomia.3 Beberapa penyebab

xerostomia dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Obat-obatan

Obat-obatan sering menyebabkan efek samping di rongga mulut berupa

xerostomia. Lebih dari 500 jenis obat menyebabkan xerostomia dan dari obat yang

sering diresepkan, 80% menyebabkan efek samping xerostomia. Obat-obatan yang

menyebabkan xerostomia diantaranya obat golongan antikolinergik, antidepresan,

antihistamin, obat diuretik, obat antihipertensi, bronkodilator dan opioid.3,27

Efek samping obat-obatan terhadap terjadinya xerostomia juga dipengaruhi

oleh kombinasi obat, dosis obat dan lama penggunaan obat. Semakin banyak

seseorang mengkonsumsi obat-obatan (polifarmasi) atau semakin tinggi dosis obat

(23)

2. Penyakit kelenjar saliva

Beberapa penyakit kelenjar saliva dapat menyebabkan hiposalivasi dan

xerostomia. Penyakit kelenjar saliva yang menyebabkan hiposalivasi/xerostomia

diantaranya seperti parotitis, sialolithiasis, mukokel, obstruksi kelenjar saliva,

adenoma dan karsinoma.1

3. Penyakit sistemik

Sejumlah besar penyakit sistemik dapat menyebabkan xerostomia, baik

sebagai efek samping penyakit maupun yang secara langsung mempengaruhi kelenjar

saliva dan menyebabkan berkurangnya sekresi saliva. Beberapa penyakit sistemik

yang menyebabkan xerostomia diantaranya sindrom Sjogren’s, diabetes, sarkoidosis, sistemik lupus eritematosus, infeksi HIV, hepatitis C, penyakit Graft-versus-host-disease, tuberkulosis dan penyakit ginjal kronik.1-3,30

Sindrom Sjogren’s merupakan penyakit autoimun yang ditandai dengan inflamasi kelenjar eksokrin, sehingga menyebabkan kekeringan permukaan mukosa,

terutama pada mukosa mata dan mukosa mulut. Infiltrasi limfosit yang progresif

merusak asini sekretori kelenjar saliva mayor dan kelenjar saliva minor secara

perlahan, mengakibatkan hiposalivasi dan xerostomia. Selain itu, hipofungsi kelenjar

juga diakibatkan adanya gangguan stimulus pada kelenjar saliva.3

Selain sindrom Sjogren’s, penyakit autoimun yaitu kronik Graft-versus-host-disease (cGVHD) juga menimbulkan manifestasi oral dan xerostomia merupakan keluhan yang paling sering ditemukan. Penyakit cGVHD menyebabkan fibrosis

kelenjar saliva dan perubahan komposisi saliva (berkurangnya konsentrasi Na+ dan

meningkatnya konsentrasi K+) sehingga terjadi penurunan aliran saliva. Pada tahap

lanjut, penyakit cGVHD akan merusak fungsi kelenjar saliva mayor dengan

menyerang reseptor muskarinik, transporter air dan ion kalsium.2,33

Keadaan xerostomia juga menjadi salah satu komplikasi oral penyakit

diabetes mellitus. Sebesar 38,5% anak-anak dan 53% dewasa penderita diabetes

mellitus tipe 1 mengalami xerostomia dan 14%-62% penderita diabetes mellitus tipe

2 mengalami xerostomia.30 Xerostomia terjadi terutama pada penderita penyakit

(24)

dengan keadaan poliuri dan dehidrasi yang dialaminya.30,33,34 Pada penderita dengan

kontrol diabetes buruk, pemeriksaan laju aliran saliva stimulasi pada kelenjar parotid

menunjukkan nilai terendah dibandingkan dengan kelompok diabetes terkontrol.

Sekitar 24%-48% penderita diabetes mengalami pembesaran kelenjar parotid.2

Penurunan laju sekresi saliva dan perubahan komposisi saliva terjadi sebagai akibat

komplikasi kronis penyakit diabetes mellitus berupa neuropati, kelainan

mikrovaskular dan disfungsi endotelial yang menyebabkan gangguan

mikrosirkulasi.34

4. Usia

Xerostomia sering menjadi keluhan saat usia lanjut dan diperkirakan sekitar

12-47% individu usia lanjut mengalami mulut kering.30 Proses penuaan

mengakibatkan berkurangnya sekresi saliva total saat istirahat.4,27 Sekitar 70% saliva

total saat istirahat berasal dari kelenjar saliva submandibular dan sublingual sehingga

berkurangnya aliran saliva yang berkaitan dengan usia disebabkan berkurangnya

aliran saliva kelenjar submandibula dan sublingual dan sedikit dipengaruhi oleh

kelenjar parotid.27 Pemeriksaan histomorfometrik pada jaringan kelenjar saliva

menunjukkan berkurangnya volume asinar, meningkatnya volume duktus, dan

terjadinya penggantian sel-sel asinar oleh jaringan adiposa dan jaringan fibrotik.4

Keadaan xerostomia pada manula dapat diperparah apabila manula menderita

penyakit sistemik maupun mengkonsumsi obat-obatan akibat penyakit sistemik yang

dideritanya.3,4 Penggunaan obat-obatan meningkat seiring bertambahnya umur. Lebih

dari 75% individu berusia 65 tahun ke atas mengkonsumsi minimal satu obat,

sehingga prevalensi xerostomia akibat obat-obatan tinggi pada usia lanjut.35

5. Terapi radiasi kepala dan leher

Radioterapi kepala dan leher dapat menyebabkan komplikasi akut dan

komplikasi kronis pada kelenjar saliva, menyebabkan perubahan komposisi saliva

dan akhirnya menyebabkan xerostomia.3 Pada tahap awal, ionisasi kelenjar saliva

mengakibatkan inflamasi dan degenerasi pada parenkim kelenjar saliva, terutama

(25)

sel-sel asinar, perubahan duktus epitelium, fibrosis dan degenerasi jaringan adiposa

kelenjar saliva.36

Kelenjar saliva yang paling radiosensitif yaitu kelenjar parotid, diikuti

kelenjar submandibula, sublingual dan kelenjar saliva minor. Efek akut radioterapi

pada fungsi salivasi berlangsung pada minggu pertama radioterapi. Radiasi pada

minggu pertama menyebabkan penurunan saliva sebesar 50%-60% dan setelah tujuh

minggu mengalami penurunan sebesar 20%.3 Fungsi salivasi terus menurun hingga

beberapa bulan setelah radioterapi (1-3 bulan).3,36 Jumlah dosis, durasi dan lamanya

radioterapi berhubungan dengan keparahan xerostomia.3

2.3.3 Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala klinis xerostomia yaitu sebagai berikut:

1. Tanda

Mukosa oral terlihat kering dan eritema, dorsal lidah terlihat berlobus dan

fisur, yang disertai dengan atrofi papila filiformis.32,37 Xerostomia mengakibatkan

mukosa menjadi rentan terhadap trauma, kandidiasis, terjadinya sindrom mulut

terbakar dan halitosis.3 Prevalensi kandidiasis dan angular cheilitis meningkat akibat menurunnya aktivitas cleansing dan antimikroba saliva.37 Penderita xerostomia juga akan rentan terhadap karies servikal, karies rekuren, erosi enamel dan penyakit

periodontal.3,32,37

2. Gejala

Penderita xerostomia akan mengalami kesulitan berbicara, mengunyah dan

menelan serta mengalami perubahan pengecapan. Berkurangnya lubrikasi saliva saat

makan, bahkan dapat menyebabkan makanan melekat dengan membran oral. Selain

itu, penderita mengeluh adanya ketidaknyamanan oral dan pada yang memakai gigi

tiruan, xerostomia akan menyebabkan retensi gigi tiruan yang buruk. Penderita

xerostomia juga mengeluh adanya peningkatan kebutuhan untuk minum terutama

(26)

2.3.3 Diagnosis

Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis xerostomia,

diantaranya:

1. Anamnesis dan Kuesioner

Xerostomia merupakan keluhan subjektif mulut kering, sehingga diagnosis

xerostomia dapat ditegakkan dengan hanya melakukan anamnesis, menanyakan

pertanyaan-pertanyaan yang detail tentang keluhan mulut kering yang dialami

seseorang.4

Kuesioner juga dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis xerostomia.

Pertanyaan dalam kuesioner meliputi gejala xerostomia dan perilaku dalam

mengatasinya.4,38

Tabel 2. Kuesioner untuk mendiagnosis xerostomia38

1 Apakah mulut anda terasa kering saat ini?

2 Apakah saat mengkonsumsi makanan mulut anda juga terasa kering?

3 Apakah anda mengalami kesulitan dalam mengkonsumsi makanan yang kering? 4 Apakah anda mengalami kesulitan saat menelan makanan?

5 Apakah mulut anda membutuhkan air minum saat menelan makanan? 6 Apakah anda mengisap permen untuk meringankan mulut kering? 7 Apakah pada malam hari anda bangun untuk minum?

8 Apakah bibir anda terasa kering? 9 Apakah kulit wajah anda terasa kering? 10 Apakah mata anda terasa kering? 11 Apakah hidung anda terasa kering?

2. Pemeriksaan klinis rongga mulut

Pemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan tanda-tanda kekeringan mukosa

seperti bibir pecah, mukosa bukal yang pucat, lidah yang licin, eritema dan disertai

atrofi papila. Kandidiasis sering ditemukan dan berkontribusi menyebabkan mukosa

yang sensitif. Selain itu, lakukan pemeriksaan kelenjar saliva yaitu memeriksa apakah

terjadi pembesaran, perubahan tekstur dan rasa sakit, serta memeriksa kuantitas dan

(27)

Xerostomia juga ditandai oleh sarung tangan dan kaca mulut yang terasa lengket

dengan permukaan mukosa saat dilakukan pemeriksaan.3

3. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan fungsi kelenjar saliva dan laju sekresi saliva dapat dilakukan

secara objektif menggunakan metode sialometri.3 Pemeriksaan dapat dilakukan

terhadap saliva total (campuran cairan rongga mulut) maupun terhadap saliva

individu, baik dalam keadaan tanpa stimulasi/istirahat atau dalam keadaan

terstimulasi.27,33 Saliva total lebih banyak digunakan sebagai indikator mulut kering

dan penyakit sistemik yang bersangkutan, sementara pemeriksaan saliva individu

lebih bermanfaat dalam mendiagnosis penyakit kelenjar saliva.27

Teknik pengumpulan saliva dalam keadaan tanpa stimulasi diantaranya

dengan metode draining/drooling, metode spitting, metode swabbing dan metode suction.40 Pengumpulan saliva yang terstimulasi dapat dilakukan dengan metode mengunyah parafin ataupun dengan mengaplikasikan asam sitrat pada lidah.40 Total

waktu pengumpulan saliva sekitar 5-15 menit.27 Untuk melakukan pengumpulan

saliva istirahat, individu yang akan diukur salivanya, diinstruksikan untuk tidak

makan, minum, merokok atau melakukan stimulasi apapun (termasuk tindakan

higiene oral) selama 90 menit sebelum dilakukan pengukuran.33

a. Saliva total tanpa stimulasi

Dalam keadaan tanpa stimulasi, laju alir saliva total normalnya sekitar

0,5 ml/menit dan dikatakan hiposalivasi jika laju alir saliva total kurang dari

0,1 ml/ menit.35,39 Pengumpulan saliva total istirahat dapat dilakukan dengan metode

draining, spitting, suction dan absorbent (swab).3 Pada metode draining, saliva dibiarkan mengalir dari mulut ke dalam suatu wadah, sementara metode spitting yaitu mengumpulkan saliva dalam mulut yang kemudian ditampung dalam suatu

wadah/sialometer 1-2 kali setiap menit. Metode suction menggunakan saliva ejector, sementara pada metode swab caranya menggunakan cotton roll/sponge yang sebelumnya diukur beratnya, kemudian dimasukkan ke dalam mulut dan dibiarkan

(28)

untuk memperkirakan derajat salivasi pasien dengan keadaan xerostomia yang

parah.27

b. Saliva total terstimulasi

Pada keadaan terstimulasi, laju alir saliva meningkat menjadi 1,5-2 ml/menit

dan dikatakan hiposalivasi jika kurang dari 0,7 ml/menit.33 Pengumpulan saliva total

stimulasi dapat menggunakan metode mastikasi dengan parafin wax, metode

rangsangan dengan asam sitrat dan metode absorbent dengan sponge. Pada metode mastikasi, individu diberi parafin wax untuk dikunyah selama 5 menit. Setelah itu,

saliva yang terakumulasi dalam mulut ditampung setiap menit dalam suatu wadah.

Metode rangsangan dengan asam sitrat yaitu dengan mengaplikasikan asam sitrat

pada lateral lidah setiap 30 detik selama 5 menit, kemudian saliva dikumpulkan

dalam suatu wadah setiap menit. Pada metode absorbent/swab, sponge diletakkan di dalam mulut setelah sebelumnya ditimbang beratnya. Kemudian individu diinstruksi

untuk mengunyah sponge tersebut. Sponge kemudian diukur kembali beratnya dan

dicari hasil selisihnya.27

c. Saliva individu kelenjar parotid

Pengumpulan saliva individu kelenjar parotid dapat dilakukan dengan

menggunakan alat cup Carlson-Crittenden/cupLashley. Alat cupLashley terdiri dari dua chamber, dimana bagian dalam chamber diletakkan diatas orifisi duktus stensen (mukosa bukal disekitar gigi molar satu permanen), sementara bagian luar chamber dihubungkan ke suction. Dalam keadaan tanpa stimulasi, aliran saliva individu kelenjar parotid sangat rendah/hampir tidak ada, sehingga pengumpulan saliva

individu kelenjar parotid biasanya dilakukan dalam keadaan terstimulasi

menggunakan larutan asam sitrat 2-4%. Larutan ini diaplikasikan pada lateral border

(29)

Gambar 1. Pengumpulan saliva individu kelenjar parotid. A= Alat cup Lashley, B= Posisi peletakan alat diatas orifisi kelenjar parotid (duktus Stensen)27

d. Saliva individu kelenjar submandibula dan sublingual

Pengumpulan saliva individu kelenjar submandibula dan sublingual juga dapat

dilakukan dalam keadaan tanpa stimulasi maupun dalam keadaan terstimulasi

(dengan asam sitrat 2-4%). Pengumpulan saliva biasanya dilakukan dengan

menggunakan metode suction. Pada teknik ini, duktus Stensen dihambat menggunakan cup Lashley atau cotton rolls dan saliva yang terakumulasi pada dasar mulut dapat diaspirasi menggunakan syringe atau menggunakan alat suction yang diperkenalkan Wolff.27

Gambar 2. Pengumpulan saliva individu kelenjar submandibula dan sublingual. A=Metode suction menggunakan syringe, B= alat suction menurut Wolff27

A B

B

(30)

4. Metode lain

Selain metode pemeriksaan seperti penjelasan sebelumnya, untuk

mengevaluasi fungsi saliva dapat juga dilakukan dengan melihat kemampuan

seseorang untuk mengunyah dan menelan biskuit kering dalam keadaan tanpa air.3

Sialografi, Ultrasonografi, MRI dan CT scan digunakan untuk mendeteksi adanya keadaan patologis seperti sialolith, obstruksi/kerusakan duktus, tumor dan kista yang

menyebabkan disfungsi kelenjar saliva.39

2.4 Hubungan Penggunaan Obat Bronkodilator pada Pasien PPOK

terhadap Terjadinya Xerostomia

Dalam keadaan istirahat, kelenjar saliva minor diperkirakan memproduksi

setengah bagian dari saliva di rongga mulut.33 Sementara dalam keadaan stimulasi,

sekitar 90% saliva dihasilkan oleh kelenjar mayor. Kelenjar mayor terdiri dari

kelenjar parotid, kelenjar submandibula dan kelenjar sublingual. Struktur anatomi

kelenjar saliva terdiri dari sel asinar dan sel duktus. Sel asinar membentuk hasil akhir

sekretori, sedangkan sel duktus membentuk sistem cabang yang mendistribusi saliva

dari sel asinar kedalam rongga mulut. Sel asini kelenjar parotid menghasilkan saliva

serous, kelenjar sublingual dan kelenjar minor menghasilkan saliva mukus dan

kelenjar submandibula menghasilkan saliva seromukus yang didominasi sifat

mukus.1,33 Saliva serous adalah saliva yang encer, sementara saliva mukus lebih

kental karena adanya kandungan musin, glikoprotein.1

Saliva terdiri dari dua komponen, yaitu komponen cairan yang mencakup

ion-ion dan komponen protein. Kedua komponen tersebut disekresi secara terpisah

dengan mekanisme berbeda yang berada di bawah rangsangan sistem saraf autonom.

Sekresi komponen cairan diatur oleh rangsangan parasimpatis melalui reseptor

muskarinik-kolinergik dan pelepasan komponen protein oleh rangsangan simpatis

melalui reseptor beta adrenergik. Rangsangan saraf parasimpatis akan menghasilkan

saliva dengan kandungan komponen cairan yang tinggi, tetapi dengan konsentrasi

(31)

protein yang tinggi, tetapi sedikit saliva. Oleh karena itu, rangsangan simpatis

menyebabkan sensasi mulut kering.33,41

Penggunaan agonis beta 2 menyebabkan perubahan komposisi saliva dan

berkurangnya sekresi saliva.16 Obat bronkodilator agonis beta 2, merupakan obat

simpatomimetik, yaitu obat yang bekerja pada saraf simpatis dan menyerupai kerja

neurotransmitter adrenergik.26 Dengan adanya rangsangan simpatis, maka akan terangsang kelenjar submandibula dan kelenjar sublingual yang menghasilkan saliva

mukus yang tebal dan kental, sedangkan kelenjar parotid yang tidak dipersarafi saraf

simpatis tidak menghasilkan saliva.26 Dengan demikian, volume saliva yang

dihasilkan akan lebih sedikit. Padahal dalam keadaan terstimulasi, kelenjar parotid

berkontribusi besar menghasilkan saliva (50-70%).1 Selain itu, obat golongan

simpatomimetik juga menyebabkan vasokonstriksi sehingga terjadi penurunan aliran

saliva dan akhirnya mengakibatkan xerostomia.26

Obat bronkodilator antikolinergik memiliki mekanisme kerja yang berbeda

dalam menyebabkan xerostomia. Obat golongan antikolinergik merupakan obat

parasimpatolitik yang bekerja antagonis pada saraf parasimpatis.26 Seperti uraian

sebelumnya, rangsangan parasimpatis berfungsi untuk mengatur sekresi komponen

cairan saliva. Dengan adanya kerja obat antikolinergik yang menghambat perlekatan

asetilkolin pada reseptor muskarinik-kolinergik saraf parasimpatis, maka akan terjadi

(32)
(33)

2.6 Kerangka Konsep

Xerostomia Obat bronkodilator pada pasien

PPOK

 Jenis obat

 Lama pemberian obat

Jenis Kelamin Usia pasien

(34)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini dilakukan secara survei analitik dengan pendekatan cross sectional, yang berusaha mempelajari dinamika hubungan antara faktor-faktor risiko (variabel bebas) dengan dampak atau efeknya (variabel tergantung) dengan

melakukan pengukuran sesaat.42 Penggunaan obat bronkodilator pada pasien PPOK

dan xerostomia dapat diobservasi di satu waktu yang sama, yang artinya setiap pasien

PPOK yang menjadi subjek penelitian diobservasi hanya satu kali saja dan obat

bronkodilator yang dilihat dari jenis dan lama pemakaian obat dapat dilihat dari

rekam medik serta terjadinya xerostomia diukur menurut keadaan atau status saat

diobservasi.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan (RSU Dr.

Pirngadi) yang berlokasi di Jalan Prof H. Yamin No. 47 Medan. Menurut SK Menkes

No. 433 tahun 2007 menetapkan RSU Dr. Pirngadi sebagai rumah sakit pendidikan

karena kelayakan rumah sakit dalam memenuhi sarana dan prasarana dalam

pelaksanaan pendidikan.43 Pemilihan RSU Dr. Pirngadi ini dikarenakan rumah sakit

ini merupakan rumah sakit pusat di Medan yang memiliki poli paru dengan alat

pemeriksaan dan rekam medik yang lengkap sehingga mempermudah peneliti

menemukan subjek penelitian. Waktu penelitian dimulai dari bulan Januari 2015

hingga bulan Februari 2015 sampai jumlah sampel terpenuhi.

3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi

(35)

3.3.2 Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah pasien PPOK di RSU Dr. Pirngadi Medan.

Jumlah sampel dalam penelitian ini diambil dengan menggunakan rumus penaksiran

proporsi populasi dengan ketentuan absolut (simpangan mutlak).44

Keterangan :

n : besar sampel yang diperlukan

d : tingkat akurasi = 10% (0,1)

P : proporsi populasi  diambil nilai 50% (0,5) karena belum ada penelitian sebelumnya tentang persentase xerostomia yang ditemukan pada pasien PPOK yang mengkonsumsi obat bronkodilator.

Z : nilai kepercayaan 95% = 1,96

 97 orang

Metode pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah metode non-probability sampling jenis consecutive sampling, yaitu semua subjek yang datang secara berurutan dan memenuhi kriteria pemilihan diikutsertakan dalam penelitian

(36)

3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

3.4.1 Kriteria Inklusi

1. Pasien PPOK yang berusia 30-60 tahun.

2. Pasien PPOK yang setuju menjadi sampel penelitian.

3.4.2 Kriteria Eksklusi

1. Pasien PPOK yang menderita sindrom Sjogren’s, penyakit diabetes mellitus, infeksi HIV, penyakit ginjal kronik, penyakit sistemik lupus eritematosus

dan penyakit sistemik lain yang dapat menyebabkan xerostomia.

2. Pasien PPOK yang menggunakan obat antihipertensi, obat diuretik, obat

antihistamin, obat antidepresan dan obat-obatan lain yang dapat menyebabkan

xerostomia.

3.5 Variabel Penelitian

3.5.1 Variabel Bebas

Obat bronkodilator yang digunakan pasien PPOK.

3.5.2 Variabel Terikat

Xerostomia.

3.5.3 Variabel Terkendali

Usia.

3.5.4 Variabel Tidak Terkendali

(37)

3.6 Definisi Operasional

1. Obat bronkodilator yang digunakan pasien PPOK adalah obat yang

menyebabkan relaksasi otot-otot saluran pernapasan sehingga saluran bertambah

lebar dan pernapasan menjadi lebih mudah, yang akan dilihat jenis obat dan lama

pemberian obat.23

- Jenis obat bronkodilator yang digunakan pasien PPOK adalah jenis

obat-obatan yang digunakan pasien dalam terapi PPOK dan dapat dilihat dari rekam

medik, meliputi:13

a. Golongan Agonis beta 2

b. Golongan Antikolinergik

c. Kombinasi Agonis beta 2 dan Antikolinergik

- Lama pemberian obat bronkodilator adalah penggunaan obat bronkodilator

oleh pasien dari awal pemakaian sampai saat diteliti dengan satuan waktu (tahun)

yang dapat dilihat dari rekam medik dan anamnesis.

2. Xerostomia adalah sensasi subjektif mulut kering yang tidak selalu disertai

dengan hipofungsi kelenjar saliva/hiposalivasi, yang dinilai berdasarkan kusioner

dengan skor xerostomia lebih besar atau sama dengan lima.3,38

3. Usia adalah usia responden yang terhitung sejak lahir hingga ulang tahun

terakhir saat dilakukan penelitian yang dapat dilihat dari rekam medik.45

4. Jenis kelamin adalah aspek biologis yang membedakan seseorang menjadi

laki-laki atau perempuan yang dapat dilihat dari rekam medik.46

3.7 Sarana Penelitian

3.7.1 Alat

Alat yang digunakan meliputi kuesioner, lembar pemeriksaan, dan alat tulis.

3.7.2 Bahan

(38)

3.8 Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data ditujukan kepada pasien PPOK yang diperoleh dari rekam

medik pasien dan datang ke poli paru RSU Dr. Pirngadi Medan yang dilakukan mulai

pukul 09.00-01.00 dan pasien diberi informasi tentang tujuan penelitian ini. Setelah

pasien setuju menjadi subjek penelitian, pasien diminta menandatangani informed consent. Kemudian dari rekam medik dicatat data pribadi pasien (nama, umur, jenis kelamin), jenis obat bronkodilator dan lama pemberian obat bronkodilator.

Selanjutnya pertanyaan diajukan sesuai dengan kuesioner kepada pasien untuk

membuktikan ada atau tidaknya xerostomia.

3.9 Pengolahan dan Analisis Data

3.9.1 Pengolahan Data

Data yang dikumpulkan dari lembar hasil pemeriksaan pasien kemudian

dianalisis sesuai dengan sifatnya. Data yang bersifat univariat dianalisis secara

manual dan data yang bersifat bivariat dianalisis dengan menggunakan sistem

komputerisasi.

3.9.2 Data Univariat

Analisis univariat (analisis deskriptif) bertujuan untuk menguji hipotesis dari

peneliti yang bersifat deskriptif.47 Data univariat disajikan dalam bentuk tabel yang

meliputi:

1. Distribusi dan frekuensi penggunaan obat bronkodilator pada pasien PPOK

berdasarkan jenis kelamin dan usia.

2. Distribusi dan frekuensi xerostomia pada pasien PPOK yang menggunakan obat

bronkodilator.

3. Distribusi dan frekuensi xerostomia pada pasien PPOK yang menggunakan obat

bronkodilator berdasarkan jenis kelamin.

4. Distribusi dan frekuensi xerostomia pada pasien PPOK yang menggunakan obat

(39)

3.9.3 Data Bivariat

Analisis bivariat adalah analisis yang digunakan untuk menguji ada tidaknya

perbedaan atau perbandingan keberadaan variabel dari dua kelompok data atau

lebih.44 Data bivariat disajikan dalam bentuk tabel yang meliputi tabulasi silang antara

jenis obat bronkodilator dengan terjadinya xerostomia pada pasien PPOK dan tabulasi

silang antara lama pemberian obat bronkodilator dengan terjadinya xerostomia pada

pasien PPOK.

Analisis data pada penelitian ini menggunakan uji Pearson chi-square (X2) untuk mengetahui hubungan antara penggunaan obat yang digunakan pasien PPOK

dengan xerostomia.

Berdasarkan uji statistik tersebut dapat diputuskan :

1. Menerima Ha (menolak Ho), jika diperoleh nilai X2 hitung > X2 tabel atau nilai

p ≤ α (0,05).

2. Menolak Ha (menerima Ho), jika diperoleh nilai X2 hitung < X2 tabel atau nilai

p > α (0,05).

3.10 Etika Penelitian

Etika penelitian dalam penelitian ini mencakup hal sebagai berikut :

1. Ethical Clearance

Peneliti mengajukan persetujuan pelaksanaan penelitian kepada komisi etik

penelitian kesehatan berdasarkan ketentuan etika yang bersifat internasional maupun

nasional.

2. Lembar Persetujuan (Informed Consent)

Peneliti meminta secara sukarela subjek untuk berpartisipasi dalam penelitian

yang dilakukan. Bagi subjek yang setuju, dimohon untuk menandatangani lembar

persetujuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan penelitian.

3. Kerahasiaan (Confidentiality)

Data yang terkumpul dalam penelitian ini dijamin kerahasiaanya oleh peneliti,

karena itu data yang ditampilkan dalam bentuk data kelompok bukan bentuk data

(40)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1 Data Demografi Subjek Penelitian

Penelitian ini menggunakan subjek sebanyak 97 orang pasien PPOK di RSU

Dr. Pirngadi Medan. Berdasarkan jenis kelamin pada penelitian ini terdapat subjek

laki-laki sebanyak 75 orang (77,3%), sedangkan subjek perempuan sebanyak 22

orang (22,7%). Berdasarkan usia subjek penelitian, kelompok usia 30-40 tahun

sebanyak 3 orang (3,1%), kelompok usia 41-50 tahun sebanyak 23 orang (23,7%)

serta kelompok usia 51-60 tahun sebanyak 71 orang (73,2%).

Tabel 3. Distribusi dan frekuensi penggunaan obat bronkodilator terhadap pasien PPOK berdasarkan jenis kelamin dan usia

No. Variabel Frekuensi (n=97 orang) Persentase (%)

1. Jenis Kelamin

a. Laki – laki 75 77,3%

b. Perempuan 22 22,7%

2. Usia

a. 30-40 tahun 3 3,1%

b. 41-50 tahun 23 23,7%

c. 51-60 tahun 71 73,2%

4.2 Frekuensi Xerostomia

Hasil penelitian menunjukkan subjek penelitian yang mengalami xerostomia

sebanyak 63 orang (64,9%) sedangkan yang tidak mengalami xerostomia sebanyak

(41)

Tabel 4. Distribusi dan frekuensi xerostomia pada pasien PPOK yang menggunakan

Pasien pada penelitian ini sebagian besar adalah laki-laki, sehingga mayoritas

pasien yang mengalami xerostomia adalah laki-laki. Penelitian menunjukkan dari 63

orang yang mengalami xerostomia, sebanyak 49 orang adalah laki-laki, sementara

hanya 14 orang perempuan yang mengalami xerostomia. Pasien yang tidak

mengalami xerostomia sebanyak 34 orang, terdiri dari 26 orang laki-laki dan 8 orang

perempuan. (Tabel 5)

Tabel 5. Distribusi dan frekuensi xerostomia pada pasien PPOK yang menggunakan obat bronkodilator berdasarkan jenis kelamin

Penelitian terhadap 97 subjek dengan rentang usia 30-60 tahun menunjukkan

73,2% pasien PPOK berada dalam rentang usia 51-60 tahun, 23,7% pasien berusia

41-50 tahun dan hanya 3,1% pasien berusia 30-40 tahun. Pada rentang usia 51-60

(42)

Tabel 6. Distribusi dan frekuensi xerostomia pada pasien PPOK yang menggunakan

Penelitian dari 97 subjek menunjukkan sebanyak 59 orang mengkonsumsi

kedua jenis obat bronkodilator, dimana 42 orang mengalami xerostomia dan 17 orang

lainnya tidak mengalami xerostomia. Hasil uji statistik menggunakan Pearson chi-square memperlihatkan bahwa nilai signifikansi p = 0,045 atau p < sig α (0,05). Dengan demikian, Ho ditolak atau Ha diterima sehingga dapat disimpulkan bahwa

terdapat hubungan yang signifikan antara jenis obat bronkodilator yang digunakan

pasien PPOK terhadap terjadinya xerostomia. (Tabel 7)

(43)

Penelitian melihat hubungan lama pemberian obat PPOK terhadap terjadinya

xerostomia pada pasien PPOK menunjukkan 48,4% pasien menggunakan obat

bronkodilator selama 1-5 tahun, 34% menggunakan obat bronkodilator <1 tahun dan

hanya 17,6% menggunakan obat bronkodilator >5 tahun. Berdasarkan lama

pemberian obat, hasil uji statistik menggunakan Pearson chi-square memperlihatkan

bahwa nilai signifikansi p = 0,035 atau p < sig α (0,05). Dengan demikian, Ho ditolak

atau Ha diterima sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang

signifikan antara lama pemberian obat bronkodilator pada pasien PPOK terhadap

terjadinya xerostomia. (Tabel 8)

Tabel 8. Tabulasi silang antara lama pemberian obat bronkodilator terhadap terjadinya xerostomia pada pasien PPOK

Lama pemberian obat PPOK

Xerostomia

Jumlah Nilai P

Ya Tidak

n % n %

<1 tahun 17 17,5% 16 16,5% 33 (34,0%)

0,035 1-5 tahun 31 31,9% 16 16,5% 47 (48,4%)

(44)

BAB 5

PEMBAHASAN

Xerostomia merupakan sensasi subjektif mulut kering yang sering terjadi

sebagai efek samping penggunaan obat-obatan.35 Salah satu obat yang menyebabkan

xerostomia adalah obat bronkodilator yang digunakan pasien PPOK, yaitu obat

agonis beta 2 dan antikolinergik.4,14,27 Beberapa penelitian terhadap penggunaan obat

bronkodilator, seperti penelitian Najafizadeh dkk terhadap penggunaan agonis beta 2

dan penelitian Casaburi dkk terhadap penggunaan antikolinergik menunjukkan

xerostomia sebagai efek samping yang paling sering terjadi.17,18

Penelitian yang dilakukan di poli paru RSU Dr. Pirngadi Medan menunjukkan

jumlah responden laki lebih banyak dibanding perempuan, yaitu 75 orang

laki-laki dan 22 orang perempuan. Keadaan ini sesuai dengan hasil penelitian Sidabutar

dkk pada tahun 2012 di RSUP H. Adam Malik yang menunjukkan mayoritas pasien

PPOK adalah laki-laki (86,5%).48 Hasil survei Rycroft dkk juga menunjukkan

prevalensi pasien PPOK lebih tinggi pada laki-laki.49 Tingginya persentase PPOK

pada laki-laki berkaitan dengan kebiasaan merokok sebagai faktor risiko utama yang

lebih tinggi pada laki-laki.5,6,9-11 Menurut Riskesdas 2013, proporsi perokok laki-laki

berusia ≥15 tahun sebesar 64,9%, sementara proporsi perokok perempuan hanya

sebesar 2,1%.10 Merokok dapat menyebabkan penyempitan pada bronkiolus,

inflamasi dan fibrosis, yang kemudian mengakibatkan obstruksi aliran udara.50 Asap

rokok dapat melemahkan mekanisme pertahanan saluran pernapasan antara lain

mengakibatkan penurunan produksi komponen sekretori IgA yang berfungsi

mencegah penetrasi antigen ke dalam mukosa saluran napas dan juga menyebabkan

paralise silia saluran pernapasan, mengakibatkan hilangnya kemampuan

menyingkirkan debris dan mukus dari paru-paru, sehingga dapat meningkatkan risiko

infeksi. Hilangnya kemampuan silia akan menimbulkan batuk sebagai usaha untuk

menyingkirkan mukus dan batuk yang kronis dapat berkembang menjadi bronkitis

(45)

memicu respon inflamasi pada saluran pernapasan dan alveoli paru. Enzim proteolitik

yang dikeluarkan oleh sel inflamatori alveoli pada akhirnya dapat menyebabkan

kerusakan jaringan alveolar paru, yaitu hilangnya elastisitas alveolar paru. Keadaan

ini disebut emfisema, yang merupakan efek akhir merokok akibat penyempitan

saluran napas yang progresif.12,20,21,50 Walaupun demikian, kebiasaan merokok bukan

merupakan satu-satunya faktor yang menyebabkan terjadinya PPOK. Beberapa faktor

risiko lain ikut mendukung perkembangan PPOK, diantaranya faktor genetik, polusi

lingkungan, infeksi dan adanya peningkatan usia harapan hidup, dimana terjadi

peningkatan penyakit degeneratif.9,50

PPOK merupakan suatu penyakit kronis yang membutuhkan waktu tahunan

untuk berkembang.12 Prevalensi terjadinya PPOK meningkat seiring bertambahnya

usia.10 Berdasarkan kelompok usia, jumlah responden terbanyak berada pada rentang

usia 51-60 tahun, yaitu sebanyak 71 orang dengan umur rata-rata adalah 53,85 ± 5,72.

Hasil penelitian Sidabutar dkk juga menunjukkan prevalensi PPOK yang tinggi pada

usia tua, yaitu sebesar 64,5% pasien PPOK berada pada kelompok usia ≥60 tahun.48 Dengan bertambahnya usia, kekuatan otot dan fungsi paru akan menurun. Proses

aging mengakibatkan kalsifikasi pada tulang kartilago yang dapat mempengaruhi kerja diafragma. Kekuatan diafragma pada manula yang sehat menurun sebesar 25%.

Selain itu, proses aging juga menyebabkan degenerasi serabut elastik duktus alveolar, mengakibatkan udara terperangkap. Keadaan tersebut yang disertai adanya

faktor-faktor risiko lainnya akan meningkatkan potensi terjadinya PPOK.51

Hasil penelitian yang dilakukan terhadap 97 subjek penelitian menunjukkan

sebanyak 63 orang mengalami xerostomia, yaitu terdiri dari 49 orang laki-laki dan 14

orang perempuan. Berdasarkan jenis kelamin, mayoritas pasien PPOK adalah

laki, sehingga sebagian besar pasien PPOK yang mengalami xerostomia adalah

laki-laki.

Prevalensi terjadinya xerostomia berdasarkan kelompok usia paling tinggi

dijumpai pada kelompok usia 51-60 tahun, yaitu sebesar 47,4% (46 orang). Keadaan

ini dikarenakan mayoritas subjek pada penelitian ini berada pada kelompok usia

(46)

Penelitian yang dilakukan terhadap 97 pasien PPOK yang menggunakan obat

bronkodilator menunjukkan terjadinya xerostomia sebesar 64,9% (63 orang). Jenis

obat bronkodilator yang paling banyak diberikan adalah kombinasi obat agonis beta 2

dan antikolinergik, yaitu pada 59 orang. Penggunaan kombinasi kedua golongan obat

menunjukkan terjadinya xerostomia paling banyak, yaitu sebesar 43,3% (42 orang).

Hal ini dapat terjadi karena efek dari masing-masing obat tersebut adalah xerostomia,

sehingga keadaan xerostomia semakin jelas terlihat pada yang menggunakan kedua

obat bonkodilator tersebut. Penggunaan obat bronkodilator secara tunggal

menunjukkan penggunaan antikolinergik lebih dapat menyebabkan xerostomia

dibanding penggunaan agonis beta 2, dimana dari 10 orang yang hanya menggunakan

antikolinergik, 8 orang mengalami xerostomia dan hanya 2 orang yang tidak

mengalami xerostomia, sedangkan dari 28 orang yang hanya menggunakan agonis

beta 2, yang tidak mengalami xerostomia sebanyak 15 orang, sedangkan hanya 13

orang yang mengalami xerostomia. Efek xerostomia yang disebabkan obat

antikolinergik lebih jelas terlihat dibanding efek obat agonis beta 2. Keadaan ini

dikarenakan obat antikolinergik memblokir saraf parasimpatis dan menyebabkan

penurunan volume saliva, sedangkan obat agonis beta 2 mempengaruhi saraf

simpatis, menyebabkan perubahan komposisi saliva.26,52 Amerongen menyatakan

bahwa penggunaan agonis beta menyebabkan perubahan komposisi protein saliva

yaitu menurunnya produksi dan sekresi musin saliva.53 Selain itu, adrenergik

simpatetik dapat menyebabkan vasokonstriksi mengakibatkan penurunan aliran darah

pada kelenjar saliva sehingga terjadi penurunan aliran saliva.52

Analisis hubungan jenis obat bronkodilator yang digunakan pasien PPOK

terhadap terjadinya xerostomia dengan uji statistik chi-square menunjukkan nilai p = 0,045 (p < 0,05) yang berarti adanya hubungan yang signifikan antara jenis obat

terhadap terjadinya xerostomia. Jenis obat yang paling menyebabkan xerostomia

adalah penggunaan kombinasi kedua golongan obat bronkodilator. Keadaan ini sesuai

dengan beberapa literatur yang menyatakan bahwa jumlah obat yang digunakan

mempengaruhi terjadinya xerostomia. Penggunaan obat yang semakin banyak akan

(47)

Hasil penelitian yang dilakukan di RSU Dr. Pirngadi Medan menunjukkan

mayoritas responden menggunakan obat bronkodilator selama 1-5 tahun dan

responden yang mengalami xerostomia juga lebih banyak dijumpai pada kelompok

tersebut, yaitu sebanyak 31 orang (31,9%). Xerostomia yang disebabkan penggunaan

obat-obatan tidak menyebabkan kerusakan yang permanen pada kelenjar saliva.

Simtom mulut kering yang terjadi bersifat transien, tergantung durasi dari efek

pengobatan.35 Tidak semua obat-obatan yang dapat menyebabkan xerostomia

menunjukkan simtom mulut kering pada awal pemakaian, tetapi simtom mulut kering

dapat terjadi setelah penggunaan obat selama beberapa tahun kemudian, tergantung

batas toleransi tertinggi yang bervariasi pada tiap individu.54

Berdasarkan hasil uji statistik chi-square melihat hubungan lama pemberian obat bronkodilator pada pasien PPOK terhadap terjadinya xerostomia diperoleh nilai

p = 0,035 (p < 0,05) yang berarti adanya hubungan yang signifikan antara lama

pemberian obat terhadap terjadinya xerostomia. Penggunaan obat yang semakin lama

akan meningkatkan risiko terjadinya xerostomia.3 Hasil ini sesuai dengan pernyataan

Benn tentang penggunaan obat antikolinergik dapat menyebabkan berkurangnya

aliran saliva pada pemakaian jangka panjang.1 Godara dkk juga menyatakan bahwa

penggunaan agonis beta 2 dalam jangka panjang berhubungan dengan berkurangnya

(48)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di poli paru RSU Dr. Pirngadi

Medan dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara penggunaan obat

bronkodilator pada pasien PPOK terhadap terjadinya xerostomia. Prevalensi

terjadinya xerostomia pada pasien PPOK sebesar 64,9%. Frekuensi terjadinya

xerostomia tergantung pada jenis obat dan lama pemberian obat.

Penelitian yang dilakukan hanya melihat terjadinya xerostomia berdasarkan

jenis obat dan lama pemberian obat bronkodilator pada pasien PPOK dengan

menggunakan kuesioner. Diharapkan adanya penelitian lanjutan untuk mengevaluasi

lebih lanjut terjadinya xerostomia akibat penggunaan obat bronkodilator pada pasien

PPOK.

(49)

DAFTAR PUSTAKA

1. Benn A. Xerostomia among adult New Zealanders: a national survey. Thesis.

New Zealand: University of Otago, 2012: 1-27.

2. Sultana N, Sham ME. Xerostomia: an overview. International Journal of Dental

Clinics 2011; 3(2): 58-61.

3. Stipetic MM. Xerostomia-diagnosis and treatment. Rad 514 Medical Sciences

2012; 38: 69-81.

4. Putten van der GJ, Brand HS, Schols JMGA, Baat C de. The diagnostic

suitability of a xerostomia questionnaire and the association between xerostomia,

hyposalivation and medication use in a group of nursing home residents. Clin

6. Senior RM, Atkinson JJ. Chronic obstructive pulmonary disease: epidemiology,

pathophysiology, and pathogenesis. In: Fishman AP, eds. Fishman’s Pulmonary Diseases and Disorders. 4th ed. United States: McGraw-Hill, 2008: 707-08.

7. Wise RA. Chronic obstructive pulmonary disease: clinical course and

management. In: Fishman AP, eds. Fishman’s Pulmonary Diseases and Disorders. 4th ed. United States: McGraw-Hill, 2008: 729-30,737-40.

8. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).

Jakarta 2003: 2-12.

9. Susanto AD, Prasenohadi, Yunus F. 2010: The year of the lung.

http://jurnalrespirologi.org/jurnal/Jan10/Lung%20of%20the%20year-2.pdf

(1 September 2014).

10. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.

Gambar

Tabel 2. Kuesioner untuk mendiagnosis xerostomia38
Gambar 1.  Pengumpulan saliva individu kelenjar parotid. A= Alat cup Lashley, B= Posisi peletakan alat diatas orifisi kelenjar parotid (duktus Stensen)27
Tabel 3. Distribusi dan frekuensi penggunaan obat bronkodilator terhadap pasien   PPOK berdasarkan jenis kelamin dan usia
Tabel 4. Distribusi dan frekuensi xerostomia pada pasien PPOK yang menggunakan obat  bronkodilator
+3

Referensi

Dokumen terkait

Hasil Penelitian menunjukkan bahwa pengembangan usaha budidaya lobster air tawar di berbasis Agribisnis di Sulawesi Selatan, berdasarkan posisi usaha pada kuadran II

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rasio antara tepung kacang hijau dengan bubur wortel dalam pembuatan bubur bayi memberikan pengaruh yang berbeda nyata

Kesimpulan penelitian adalah terdapat hubungan yang positif antara antara kualitas produk dan kualitas pelayanan dengan kepuasan konsumen Matahari Dept Store pada warga RW

Pemeliharaan Rutin/ Berkala Sarana dan Prasarana Pasar Produksi Peternakan. Belanja Modal

Abstrak: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas pemasangan kateter pada pria dengan menggunakan jeli yang dimasukkan uretra dengan jeli yang dioleskan di

Hak turun temurun atas tanah yang terkuat dan terpenuh sebagai yang dimaksud dalam pasal 20 UUPA, belum tentu hak milik itu tercatat dalam buku administrasi desa dan

Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP Muhammadiyah Pringsewu Lampung PERSEPSI DAN MOTIVASI MAHASISWA DALAM MEMILIH.. PROGRAM STUDI PADA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA

Integrasi nasional adalah usaha dan proses mempersatukan perbedaan perbedaan yang ada pada suatu negara sehingga terciptanya keserasian dan keselarasan secara