PERTANGGUNG JAWABAN LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN DALAM HUBUNGANNYA TERHADAP NASABAH DAN BANK
SKRIPSI
Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Mencapai
Gelar Sarjana Hukum
O l e h
RESI ANANDRA
NIM : 070200321
DEPARTEMEN : HUKUM KEPERDATAAN
PROGRAM KEKHUSUSAN : PERDATA DAGANG
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PERTANGGUNG JAWABAN LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN DALAM HUBUNGANNYA TERHADAP NASABAH DAN BANK
SKRIPSI
Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Mencapai
Gelar Sarjana Hukum O l e h
RESI ANANDRA
NIM : 070200321
DEPARTEMEN : HUKUM KEPERDATAAN
PROGRAM KEKHUSUSAN : PERDATA DAGANG
Disetujui Oleh:
Ketua Departemen Hukum Keperdataan
(Dr. HASYIM PURBA, SH., M.HUM.) NIP. 19660303 198508 1 001
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
(Prof.Dr.H.TAN KAMELLO, SH., MS.) (PUSPA MELATI HSB, SH., M.HUM.) NIP. 19620421 198803 1 004 NIP. 19680128 199403 2 001
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
KATA PENGANTAR Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakaatuh Alhamdulillahi rabbil ‘aalamin,
Segala pujian dan rasa syukur senantiasa kita panjatkan kepada ALLAH SWT
atas segala Rahmat dan Ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis
yang berbentuk skripsi ini dalam rangka menyelesaikan kewajiban penulis sebagai
seorang mahasiswa pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Dengan berbekal ilmu pengetahuan dan bimbingan yang telah penulis terima
selama ini, penulis memberanikan diri untuk memberi judul skripsi ini sebagai
berikut: “PERTANGGUNG JAWABAN LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN
DALAM HUBUNGANNYA TERHADAP NASABAH DAN BANK”.
Selama penulisan dan penyusunan skripsi ini, waktu, tenaga dan pikiran telah
penulis tumpahkan dan curahkan, namun demikian penulis menyadari bahwa apa
yang telah dihasilkan ini belumlah dapat mencapai suatu penilaian yang sempuruna.
Untuk itulah penulis mengharapkan segala kritik dan saran yang membangun
sehingga dapat lebih menyempunakan skripsi ini.
Skripsi ini dapat terselesaikan tidak terlepas dari bimbingan, arahan, petunjuk,
bantuan, saran dan kritik serta dorongan dari semua pihak yang telah turut membantu
penulis. Kiranya, bukanlah hal yang berlebihan pada kesempatan ini penulis
menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum, sebagai Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, yang telah memimpin dengan bijaksana dalam
meningkatkan kualitas Fakultas Hukum, para mahasiswa dan para alumninya.
2. Dr. Hasyim Purba, SH., Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Perdata
3. Prof. Dr. Tan Kamello, SH., MS., selaku Dosen Pembimbing I yang telah
meluangkan waktunya kepada penulis untuk membimbing, mengarahkan dan
memberi masukan yang sangat berguna kepada penulis sehingga skripsi ini
dapat penulis selesaikan.
4. Puspa Melati Hsb, SH., M.Hum., selaku Ketua Program Perdata Dagang dan
Dosen Pembimbing II, atas segala bimbingan dan arahan yang diberikan
kepada penulis sejak masa perkuliahan sampai selesainya skripsi ini.
5. Dosen Penguji yang telah memberikan masukan dan saran demi
penyempurnaan skripsi ini.
6. Seluruh Dosen dan Staf Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara yang tidak dapat penulis ucapkan satu persatu yang mana telah
mengajarkan dan membimbing penulis selama menempuh pendidikan di
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
7. Seluruh Staf Tata Usaha dan Staf Administrasi Perpustakaan serta para
pegawai di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Kemudian, rasa cinta dan kasih sayang yang sedalam-dalamnya penulis
sampaikan kepada keluarga tercinta yang senantiasa memberikan doa dan
semangatnya kepada penulis, yaitu:
1. Orang tua tercinta, Ayahanda H. Zuardy Effendi dan H. Zulman, dan Ibunda
Hj. Suryati dan Hj. Helmiaty yang telah memberikan doa, cinta dan kasih
sayang kepada penulis sejak lahir sampai saat ini. Jangan pernah berhenti
mendoakan dan menyayangi resi ya..
2. Suamiku tercinta Muhammad Syafei SE., MSM. dan buah hati kami Azka
Alfaruqy Zuhya yang telah melengkapi kehidupan dan kebahagiaan saya.
dan azka berikan ke mama. Tetap menjadi inspirasi dan kekuatan bagi mama
ya..
3. Saudara-saudaraku tercinta, Uda Robby Mardinata SE., MM. dan Kakakku
Dr. Rofita Susanty beserta si lucu Khayyara Mazzaya Azhly dan Adzkiran
Aqra Azhly, Abang Budi Hendrawan dan kak Wina Efrianty SE. serta si ndut
Hafizi Akbar, Adik laki-lakiku Reza Atilla Efnedi dan Muhammad Irsyad
(walo pun bandel-bandel, tapi kuliahnya harus selesai secepatnya ya..), Adik
perempuanku tersayang Nandra Irafani dan Nurhasanah (semangat ya
kuliahnya, supaya cepat jadi dokter gigi..)
4. Untuk teman-teman kuliah Fakultas Hukum angkatan 2007: Desy, Mira,
Dinda, Dyah, Dini, Winda, Desi S.. (yang udah tamat duluan), Dila dan Kak
Nova (teman seperjuanganku..) juga teman-teman yang lain yang tidak dapat
disebutkan satu-persatu. Semoga kita semua sukses ya….
5. Dan semua keluargaku yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Terima kasih atas doa dan semangatnya.
Akhirnya penulis juga mengharapkan kritik dan saran dalam upaya
melengkapi karya ilmiah yang sederhana ini agar berguna bagi penambahan
wawasan dan ilmu pengetahuan. Dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita
semua pada umumnya dan penulis khususnya. Penulis berharap apa yang penulis
kerjakan mendapat Ridho dari Allah SWT.
Akhirul kalam, Wabilahitaufik walhidayah wassalamu’alaikum wr. wb.
Medan, Agustus 2011 Hormat Saya,
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
ABSTRAK ... vi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 3
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 4
D. Keaslian Penulisan ... 5
E. Tinjauan Kepustakaan ... 6
F. Metode Penelitian ... 9
G. Sistematika Penulisan ... 10
BAB II PENDIRIAN LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN A. Sistem Perbankan di Indonesia ... 13
B. Latar Belakang Lahirnya Undang-Undang Penjamin Simpanan ... 16
C. Pengertian Lembaga Penjamin Simpanan ... 24
D. Praktek Lembaga Penjamin Simpanan di Negara Lain ... 28
BAB III LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN SEBAGAI PENJAMIN DANA NASABAH A. Pengaturan Masalah Lembaga Penjamin Simpanan di Indonesia ... 36
B. Mekanisme Kerja Lembaga Penjamin Simpanan ... 41
D. Para Pihak Yang Terlibat dalam Lembaga Penjamin
Simpanan ... 58
E. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Kaitannya dengan
Masalah Lembaga Penjamin Simpanan ... 62
F. Peran Lembaga Penjamin Simpanan Melahirkan Kepastian
Hukum dan Disiplin Antar Pihak ... 65
BAB IV PERTANGGUNG JAWABAN LEMBAGA PENJAMIN
SIMPANAN TERHADAP NASABAH DAN BANK
A. Konstruksi Hukum Lembaga Penjamin Simpanan di
Indonesia ... 70
B. Peran Lembaga Penjamin Simpanan dalam Memberikan
Perlindungan Kepada Para Nasabah ... 77
C. Peran Lembaga Penjamin Simpanan dalam Mengatur
Kewajiban Pihak Bank ... 82
D. Peran Lembaga Penjamin Simpanan dilihat dari Kasus Bank
Century ... 88
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ... 93
B. Saran ... 94
ABSTRAK
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mendukung sistem perbankan yang stabil dan sehat diperlukan penyempurnaan terhadap program penjaminan simpanan nasabah bank. Lembaga Penjamin Simpanan di Indonesia sudah terbentuk namun keberadaan lembaga ini belumlah dikenal dan dipahami oleh masyarakat secara luas, termasuk bentuk konstruksi hukum yang seharusnya dari lembaga ini. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) adalah suatu lembaga yang berfungsi menjamin simpanan nasabah perbankan di Indonesia. Badan ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Undang-undang ini mulai berlaku efektif 12 bulan sejak diundangkan sehingga pendirian dan operasional Lembaga Penjamin Simpanan dimulai pada 22 September 2005.
Adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimana peran Lembaga Penjamin Simpanan dalam memberikan perlindungan dan rasa aman terhadap simpanan nasabah bank, bagaimana peran Lembaga Penjamin Simpanan dalam mengawasi dan mengatur kewajiban hukum pihak bank dan bagaimana peran Lembaga Penjamin Simpanan dilihat dari kasus Bank Century.
Untuk menganalisis hal tersebut dilakukan penelitian normatif yang bersifat deskriptif dengan menggunakan data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Bersifat deskriptif maksudnya menggambarkan bagaimana keadaan-keadaan atau fakta yang terjadi dimasyarakat sehingga didapatkan data yang seakurat mungkin. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik kepustakan.
ABSTRAK
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mendukung sistem perbankan yang stabil dan sehat diperlukan penyempurnaan terhadap program penjaminan simpanan nasabah bank. Lembaga Penjamin Simpanan di Indonesia sudah terbentuk namun keberadaan lembaga ini belumlah dikenal dan dipahami oleh masyarakat secara luas, termasuk bentuk konstruksi hukum yang seharusnya dari lembaga ini. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) adalah suatu lembaga yang berfungsi menjamin simpanan nasabah perbankan di Indonesia. Badan ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Undang-undang ini mulai berlaku efektif 12 bulan sejak diundangkan sehingga pendirian dan operasional Lembaga Penjamin Simpanan dimulai pada 22 September 2005.
Adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimana peran Lembaga Penjamin Simpanan dalam memberikan perlindungan dan rasa aman terhadap simpanan nasabah bank, bagaimana peran Lembaga Penjamin Simpanan dalam mengawasi dan mengatur kewajiban hukum pihak bank dan bagaimana peran Lembaga Penjamin Simpanan dilihat dari kasus Bank Century.
Untuk menganalisis hal tersebut dilakukan penelitian normatif yang bersifat deskriptif dengan menggunakan data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Bersifat deskriptif maksudnya menggambarkan bagaimana keadaan-keadaan atau fakta yang terjadi dimasyarakat sehingga didapatkan data yang seakurat mungkin. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik kepustakan.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini industri perbankan memiliki peranan yang sangat penting dalam
mendukung sistem perekonomian suatu negara. Jika industri perbankan dalam
kondisi yang stabil dan baik, tentunya ini akan memberikan pengaruh positif
terhadap perekonomian suatu negara. Pada tahun 1997, industri perbankan di
Indonesia pernah mengalami kondisi yang krisis dimana terjadi pembekuan atau
likuidasi terhadap beberapa bank hingga penutupan bank yang tidak sehat oleh Bank
Indonesia. Akibat terjadinya krisis pada industri perbankan tersebut, maka
kepercayaan masyarakat terhadap bank menurun dengan ditandai terjadinya
penarikan dana secara besar-besaran dan signifikan. Ini mengindikasikan kecilnya
kepercayaan masyarakat untuk menyimpan dananya pada bank-bank nasional.
Untuk meningkatkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap perbankan,
maka pada tahun 1998 Pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk memberikan
jaminan atas dana nasabah atau kewajiban pembayaran oleh bank. Program
Pemerintah untuk menjamin dana nasabah yang ada pada bank ini perlu didukung
oleh pembentukan suatu lembaga tertentu yaitu Lembaga Penjamin Simpanan.
Pendirian Lembaga Penjamin Simpanan sebenarnya tidak hanya bertujuan sebagai
lembaga yang mampu mendukung sistem perbankan secara umum, tetapi merupakan
jalan keluar bagi Indonesia agar dapat keluar dari krisis ekonomi.
Sejarah terbentuknya Lembaga Penjamin Simpanan dimulai ketika
Pemerintah mengeluarkan Keppres Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap
Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat. Kemudian,
pelaksanaan penjaminan bank umum dilakukan oleh Badan Penyehatan Perbankan
Nasional (BPPN) sampai tanggal 27 Februari 2004 dan kemudian dilanjutkan oleh
Unit Pelaksana Penjaminan Pemerintah (UP3) Departemen Keuangan. Sedangkan
pelaksanaan penjaminan terhadap kewajiban pembayaran BPR dilaksanakan oleh
Bank Indonesia. Adapun program yang dilakukan pemerintah untuk memulihkan
kepercayaan masyarakat terhadap bank disebut Program Penjaminan Perbankan
(blanket guarantee) yaitu suatu program penjaminan terhadap pembayaran
kewajiban bank umum guna menjamin dana nasabah.
Seiring dengan mulai pulihnya kepercayaan masyarakat untuk menyimpan
dananya di bank, maka Pemerintah mulai menyiapkan langkah untuk keluar dari
program penjaminan perbankan oleh Pemerintah dengan membentuk Lembaga
Penjamin Simpanan yang diamanatkan dalam Pasal 37B Undang-Undang (UU)
Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan pada tanggal 10
November 1998 atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Dalam Pasal 37B UU tersebut ditetapkan bahwa setiap bank wajib menjamin dana
masyarakat yang disimpan pada bank yang bersangkutan.
Maka dengan dikeluarkannya UU No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga
Penjamin Simpanan menandakan sudah dibentuknya secara resmi suatu lembaga
tetap yang bertugas untuk menjamin keamanan dana nasabah dibank. Terhitung sejak
tanggal 22 september 2005 Lembaga Penjamin Simpanan telah beroperasi dan
Pemerintah telah mengangkat anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin
Simpanan melalui Keputusan Presiden Nomor 161/M Tahun 2005.
Dengan diberlakukannya Undang-Undang tentang Lembaga Penjamin
kepastian hukum bagi nasabah bank untuk mendapatkan perlindungan hukum yang
memadai dan mewujudkan sistem perbankan yang sehat dan stabil. Kemudian
Ibrahim menambahkan bahwa Undang-Undang tersebut merupakan penyempurnaan
dari program penjaminan simpanan nasabah bank yang selama ini telah diatur
melalui berbagai kebijakan Pemerintah antara lain Keputusan Presiden (Keppres) dan
Surat Keputusan Bersama (SKB). 1
Namun demikian setelah terbentuknya Lembaga Penjamin Simpanan peran
dan keberadaannya belum diketahui dan dipahami masyarakat secara luas, termasuk
bentuk konstruksi hukum yang seharusnya dari lembaga ini. Walaupun pembentukan
Lembaga Penjamin Simpanan telah dilakukan, namun kekhawatiran nasabah
terhadap keamanan dana yang mereka simpan dibank tampaknya masih sangat besar.
Dilain pihak, perbankan pun masih merasa peranan lembaga ini belum terasa
maksimal bagi mereka bahkan lembaga ini menimbulkan adanya kewajiban atau
beban baru atas pembayaran premi oleh bank.
Berdasarkan uraian diatas dimana terbentuknya Lembaga Penjamin Simpanan
masih belum terasa maksimal bagi nasabah dan bank, maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitian lebih mendalam untuk penulisan skripsi ini dengan judul:
”Pertanggung Jawaban Lembaga Penjamin Simpanan Dalam Hubungannya Terhadap
Nasabah Dan Bank”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis mengangkat permasalahan
dalam penulisan skripsi ini sebagai berikut:
1
1. Bagaimanakah peran Lembaga Penjamin Simpanan dalam memberikan
perlindungan dan rasa aman terhadap simpanan nasabah bank?
2. Bagaimanakah peran Lembaga Penjamin Simpanan dalam mengawasi dan
mengatur kewajiban hukum pihak bank?
3. Bagaimana peran Lembaga Penjamin Simpanan dilihat dari Kasus Bank
Century?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Berdasarkan permasalahan diatas, maka tujuan penulisan skripsi ini adalah
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui peran Lembaga Penjamin Simpanan dalam memberikan
perlindungan dan rasa aman terhadap simpanan nasabah bank.
2. Untuk mengetahui peran Lembaga Penjamin Simpanan dalam mengawasi dan
mengatur kewajiban hukum pihak bank.
3. Untuk mengetahui peran Lembaga Penjamin Simpanan dilihat dari Kasus
Bank Century.
Selanjutnya, didalam suatu karya ilmiah yang baik diharapkan memiliki
manfaat, maka penulisan skripsi ini juga diharapkan bermanfaat bagi dunia
pendidikan dan ilmu pengetahuan, serta khususnya dalam ilmu hukum sebagai
berikut:
1. Manfaat secara teoritis.
Penulis berharap kiranya penulisan skripsi ini dapat bermanfaat untuk dapat
memberikan masukan sekaligus menambah khasanah ilmu pengetahuan dan
literatur dalam dunia akademis, khususnya literatur tentang peran Lembaga
dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentamg Lembaga Penjamin
Simpanan.
2. Manfaat secara praktis.
Secara Praktis penulis berharap agar penulisan skripsi ini dapat memberi
pengetahuan yang lebih mendalam tentang Lembaga Penjamin Simpanan,
khususnya perlindungan bagi para nasabah serta kewajiban hukum pihak bank,
sehingga dapat memulihkan kembali kepercayaan masyarakat untuk
menyimpankan dananya di bank yang kemudian dapat kembali menstabilkan
kondisi industri perbankan yang pernah mengalami krisis di tahun 1997.
D. Keaslian Penulisan
Penulisan skripsi ini didasarkan oleh ide, gagasan, dan pemikiran. Yang
dalam pembuatannya, melihat dasar-dasar yang ada baik melalui literatur yang
diperoleh dari perpustakaan maupun media-media lain.
Pokok pembahasan didalam skripsi yang berjudul: ”Pertanggung Jawaban
Lembaga Penjamin Simpanan Dalam Hubungannya Terhadap Nasabah Dan Bank”
membahas peran dan fungsi LPS dalam memulihkan industri perbankan secara
umum, serta memulihkan kepercayaan masyarakat dan mengawasi perbankan secara
khusus guna memulihkan kondisi perekonomian yang sempat mengalami krisis di
tahun 1997.
Permasalahan dan pembahasan didalam penulisan skripsi ini adalah murni
hasil pemikiran dari penulis yang didasarkan atas ketertarikan terhadap peran
Lembaga Penjamin Simpanan terhadap nasabah dan perbankan sesuai dengan tujuan
pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan oleh Pemerintah sesuai dengan
melengkapi tugas dan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum di
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan apabila ternyata dikemudian hari
terdapat judul dan permasalahan yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab
sepenuhnya terhadap skripsi ini.
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Lembaga Penjamin Simpanan
Berdasarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin
Simpanan sebagaimana dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 96 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4420,
Lembaga Penjamin Simpanan atau disebut dengan LPS adalah lembaga yang
independen, transparan dan akuntabel, melaksanakan tugas dan wewenangnya
bertanggung jawab kepada Presiden. Menurut pasal 1 UU No. 24 Tahun 2004,
Lembaga Penjamin Simpanan didefenisikan sebagai lembaga yang berfungsi
menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabilitas
sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya.
Pendirian Lembaga Penjamin Simpanan pada dasarnya dilakukan sebagai
upaya memberikan perlindungan terhadap dua resiko yaitu irrational run terhadap
bank dan systematic risk. Dalam hal ini, menurut tulisan Sitompul, bahwa risiko
pertama, bila bank tidak dapat memenuhi permintaan penarikan simpanan oleh
nasabahnya dalam keadaan tersebut, masabah biasanya menjadi panik dan akan
menutup rekeningnya pada bank, sekalipun bank tersebut sebenarnya sehat. Untuk
itulah keberadaan LPS menjadi penting guna mencegah kepanikan nasabah dengan
jalan meyakinkan masabah tentang keamanan simpanan, sekalipun kondisi keuangan
Resiko kedua, yakni bila suatu bank mengalami kebangkrutan, maka akan
berakibat buruk terhadap bank yang lain, sehingga menghancurkan segmen terbesar
dari sistem perbankan. Dalam hubungan ini, Lembaga Penjamin Simpanan dapat
berfungsi untuk mengatur keamanan dan kesehatan bank secara umum. Fungsi
lainnya adalah sebagai pengawas yang dilakukan dengan cara memantau neraca,
praktik pemberian pinjaman, dan strategi investasi dengan maksud melihat
tanda-tanda finansial distress yang mengarah kepada kebangkrutan bank. 2
Dalam menjamin keamanan dana nasabah, terdapat masa transisi dari
penjaminan oleh Pemerintah ke Lembaga Penjamin Simpanan dengan
tahapan-tahapan sebagai berikut:
Sampai dengan 17 April 2005, seluruh kewajiban pembayaran bank umum
masih dijamin.
Sejak 18 April 2005 sampai dengan 22 September 2005, kewajiban pembayaran
bank umum yang dijamin hanya meliputi simpanan dan pinjaman antar bank
melalui Pasar Uang Antar Bank (PUAB).
Sejak Undang-Undang tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) berlaku
secara efektif pada tanggal 22 September 2005, jaminan Pemerintah terhadap
seluruh kewajiban pembayaran bank umum (blanket guarantee) dinyatakan
berakhir.
22 September 2005 sampai dengan 21 Maret 2006 seluruh simpanan masih
dijamin.
22 Maret 2006 sampai dengan 21 September 2006, nilai simpanan yang dijamin
paling tinggi sebesar Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah).
2
22 September 2006 sampai dengan 21 Maret 2007, nilai simpanan yang dijamin
paling tinggi sebesar Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
22 Maret 2007 sampai dengan 2009, nilai simpanan yang dijamin paling tinggi
sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah).
Tahun 2009 hingga kini, nilai simpanan yang dijamin kembali meningkat
menjadi Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
2. Pengertian Nasabah
Nasabah dapat didefenisikan sebagai pihak yang menggunakan jasa suatu
bank. Nasabah dibagi atas nasabah penyimpan dan nasabah debitur. Nasabah
Penyimpan dapat didefenisikan sebagai nasabah yang menyimpankan dana dibank
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perbankan. Ketentuan Pasal
1 UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun
1992 tentang Perbankan menyebutkan bahwa nasabah penyimpan adalah nasabah
yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian
bank sebagaimana dalam Undang-Undang yang berlaku.
Sementara nasabah debitur didefenisikan sesuai dengan Ketentuan Pasal 1
UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang No.7 Tahun 1992
tentang Perbankan menyebutkan bahwa nasabah debitur adalah nasabah yang
memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah atau yang
dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang
bersangkutan.
3. Pengertian Bank
Bank adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang tentang Perbankan Ketentuan Pasal 1 UU No. 10
Perbankan menyebutkan bahwa Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana
dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat
dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan
taraf hidup rakyat banyak.
Sedangkan simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada
bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk Giro, Deposito,
Sertifikat Deposito, Tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan
itu. 3
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, merupakan penelitian
kepustakaan yaitu penelitian terhadap data sekunder. Dalam kaitannya dengan
permasalahan yang dibahas, penelitian ini menggunakan peraturan-peraturan hukum
yang terkait dengan keberadaan Lembaga Penjamin Simpanan dalam sistem
perbankan. Dalam penelitian ini juga akan ditinjau keberadaan Lembaga Penjamin
Simpanan dan perannya bagi nasabah dan bank. Penelitian ini dititik beratkan pada
studi kepustakaan.
2. Data Penelitian
Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, baik
berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tersier.
a. Bahan hukum primer yang diperoleh dari studi kepustakaan berupa peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan topik yang dibahas. Dalam
kaitannya dengan penelitian dan penulisan skripsi ini bahan hukum primer
3
yang digunakan adalah berbagai peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan perbankan, lembaga penjamin simpanan, dan Kitab
Undang-undang Hukum Perdata.
b. Bahan hukum sekunder terdiri dari tulisan-tulisan, baik berupa makalah,
jurnal dan bahan hukum lainnya yang akan digunakan untuk membantu
menganalisis bahan hukum primer.
c. Bahan hukum tersier terdiri dari indeks, bibliography yang akan membantu
untuk menganalisis bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
3. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini merupakan penelitian normatif yang menggunakan data utama
adalah data sekunder. Data sekunder atau data kepustakaan ini diperoleh melalui
penelitian kepustakaan yang bersumber pada data sekunder, baik berupa bahan
hukum primer, sekunder maupun tersier.
4. Metode Analisis Data
Metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah analisis kualitatif,
yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya
dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang dibahas.
G. Sistematika Penulisan
Untuk lebih mempertegas penguraian isi dari skripsi ini, serta untuk lebih
mengarahkan pembaca, maka berikut ini penulis membuat sistematika penulisan isi
skripsi ini sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Pada bab ini merupakan bab pendahuluan yang menguraikan
Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian
Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian dan
Sistematika Penulisan.
BAB II : PENDIRIAN LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN
Bab ini masih mengupas secara umum tentang Sistem
Perbankan di Indonesia, serta Pandangan Pemerintah terhadap
Perlunya Undang-Undang Lembaga Penjamin Simpanan dan
bagi Perbankan, Pengertian Lembaga Penjamin Simpanan dan
Praktek Lembaga Penjamin Simpanan di Negara Lain.
BAB III : LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN SEBAGAI
PENJAMIN DANA NASABAH
Bab ini meulai mengupas lebih dalam tentang Lembaga
Penjamin Simpanan, meliputi Pengaturan Nasabah Lembaga
Penjamin Simpanan di Indonesia, Mekanisme Kerja Lembaga
Penjamin Simpanan, Prinsip-prinsip Pelaksanaan Lembaga
Penjamin Simpanan, Para Pihak Yang Terlibat dalam Lembaga
Penjamin Simpanan serta Hak dan Kewajiban Para Pihak
dalam Kaitannya dengan Masalah Lembaga Penjamin
Simpanan, juga Peran Lembaga Penjamin Simpanan
Melahirkan Kepastian Hukum dan Disiplin Antar Pihak.
BAB IV : PERTANGGUNG JAWABAN LEMBAGA PENJAMIN
SIMPANAN TERHADAP NASABAH DAN BANK
Bab ini menjawab permasalahan didalam penelitian meliputi
Konstruksi Hukum Lembaga Penjamin Simpanan di Indonesia,
Perlindungan Kepada Para Nasabah dan Peran Lembaga
Penjamin Simpanan dalam mengatur kewajiban Pihak Bank.
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini merupakan kesimpulan dan saran dari skripsi ini. Pada
bab ini akan disimpulkan hasil uraian mulai dari bab I sampai
dengan bab IV dengan singkat dan sistematis, sebagai jawaban
dari pembahasan. Dan terakhir ditutup dengan saran-saran
setelah menguraikan permasalahan yang timbul sesuai dengan
BAB II
PENDIRIAN LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN
A. Sistem Perbankan di Indonesia
Dalam perekonomian di Indonesia bank merupakan salah satu lembaga
keuangan yang diakui. Keberadaan lembaga keuangan dalam sistem perekonomian
dan sektor keuangan pada khususnya merupakan hal yang penting. Hal ini terutama
berkaitan dengan masalah permodalan dan perputaran uang. Kegiatan usaha yang
lazim dilakukan oleh bank dalam menyalurkan dana adalah pemberian kredit,
investasi surat berharga, mendanai transaksi perdagangan nasional, penempatan dana
di bank lain dan penyertaan modal saham.
Dana yang terkumpul oleh bank melalui masyarakat diharapkan dapat
membantu pelaksanaan pembangunan. Dalam praktek, lembaga keuangan terdiri dari
perbankan dan non perbankan.
Dengan keberadaannya yang penting tersebut, maka perlu dilakukan
peningkatan kebijakan keuangan khususnya terhadap perbankan sebagai salah satu
lembaga keuangan. Kebijakan keuangan diarahkan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, baik sebagai penabung atau pemilik modal maupun
sebagai pengguna modal.
Kemajuan untuk meningkatkan perbankan perlu didukung oleh
pengaturannya dalam perundang-undangan. Pada awalnya masalah perbankan diatur
dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan.
Agar kemajuan yang dialami oleh lembaga perbankan dapat ditingkatkan secara
berkelanjutan dan benar-benar dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya
demokrasi ekonomi, sehingga segala potensi, inisiatif dan kreasi masyarakat dapat
dikerahkan dan dikembangkan menjadi suatu pembinaan dan pengawasan perbankan
serta landasan gerak perbankan yang selama ini didasarkan kepada ketentuan
Undang-Undang Perbankan Tahun 1967 perlu dikembangkan dan disempurnakan. 4
Dengan penyempurnaan itu, maka perbankan dapat menjadi lebih siap dan
mampu berperan secara lebih baik dalam mendukung proses pembangunan yang
semakin dihadapkan pada tantangan dan perubahan serta perkembangan
perekonomian internasional.
Undang-Undang Perbankan Tahun 1967 disusun pada situasi dan kondisi
perekonomian yang jauh berbeda dengan kondisi perekonomian saat ini.
Perkembangan perekonomian nasional dan internasional yang senantiasa bergerak
cepat memerlukan pengaturan yang mampu mengakomodasi perkembangan zaman
yang ada. Untuk itu Pemerintah Indonesia akhirnya mengeluarkan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Dalam perbankan, bidang perekonomian adalah bidang yang sangat dinamis.
Walaupun Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan, namun undang-undang tersebut dalam
perkembangannya juga masih harus disesuaikan dengan perkembangan kondisi yang
ada. Untuk itu Pemerintah akhirnya mengeluarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan. 5
Perubahan Undang-Undang Perbankan dilakukan dalam menghadapi
perkembangan perekonomian nasional yang senantiasa bergerak cepat, kompetitif
dan terintegrasi dengan tantangan yang semakin kompleks serta system keuangan
4
Penjelasan atas UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
5
yang semakin maju. Guna menghadapi hal ini maka diperlukan penyesuaian
kebijakan dibidang ekonomi termasuk dalam sektor perbankan.
Hubungan hukum yang ada dalam bidang perbankan terdiri dari bank dan
masyarakat sebagai nasabah. Bank harus selalu dapat menjaga kepentingan para
nasabahnya dengan baik. Oleh karena itu, dalam sistem operasionalnya bank dituntut
dapat berjalan dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian dalam menjaga
kepercayaan masyarakat.
Pada dasarnya bank tidak hanya berfungsi untuk menghimpun dana saja,
tetapi juga harus dapat menyalurkan dana ke masyarakat dalam bentuk kredit
perbankan, baik dalam bentuk kredit konsumtif maupun modal kerja. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa pihak yang ada dalam perbankan tidak hanya
sebatas bank dan nasabah saja, tetapi juga ada pengguna dana bank atau peminjam
kredit yang disebut debitur.
Pihak-pihak dalam suatu perjanjian kredit adalah kreditur dan debitur. Yang
dimaksud dengan kreditur yaitu pihak yang memberikan pinjaman dalam hal ini
adalah bank. Sedangkan yang dimaksud dengan debitur yaitu pihak yang
mendapatkan pinjaman atau penerima pinjaman.
Berbicara mengenai debitur dalam subyek hukum, maka dapat dijelaskan
siapa saja yang bisa menerima kredit dari bank yakni perorangan dan badan usaha.
Pertama, penerima pinjaman Perorangan adalah orang atau subjek pribadi yang
bertindak atas nama sendiri bukan untuk suatu kelompok usaha. Bila debitur
dianggap oleh hukum tidak cakap untuk bertindak sendiri dalam melakukan
perbuatan-perbuatan hukum (Pasal 1330 KUHPerdata) apakah karena mereka masih
berada dibawah umur atau belum genap 21 tahun ataukah dianggap tidak sehat akal
Sedangkan yang kedua, penerima pinjaman Badan Hukum yaitu sekelompok
orang yang berkumpul dan bergabung untuk melakukan suatu usaha yang diatur oleh
undang-undang. Dalam badan hukum, memiliki syarat-syarat dalam
pembentukannya, yaitu: adanya harta kekayaan yang terpisah, mempunyai tujuan
tertentu, mempunyai kepentingan sendiri dan adanya organisasi yang teratur.
Berbicara mengenai kepemilikan bank dapat dibagi menjadi dua, yaitu
dimiliki oleh Negara atau disebut juga BUMN dan dimiliki oleh swasta. Ketentuan
Pasal 1 UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara menyebutkan
bahwa Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan
usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Negara melalui
penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkan.
Apapun bentuknya dan siapa pemiliknya, bank harus dapat menjalankan
fungsinya dengan baik dan melindungi kepentingan para nasabahnya dengan
sebaik-baiknya. Upaya ini harus dilakukan dalam kondisi perekonomian kapanpun dan
bagaimanapun.
Usaha untuk menjamin dana nasabah harus dilakukan dengan maksimal.
Salah satunya adalah dengan membentuk Lembaga Penjamin Simpanan. Usaha
menjamin dana nasabah tidak hanya bertujuan untuk menciptakan kestabilan
terhadap sistem perekonomian dan perbankan saja, tetapi juga diharapkan dapat
meningkatkan rasa kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan sebagai
salah satu lembaga keuangan dalam sistem perekonomian di Indonesia.
B. Latar Belakang Lahirnya Undang-Undang Lembaga Penjamin Simpanan
Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sejak tanggal 27 Februari
BPPN sebagai penyelenggara administrasi program penjaminan terhadap
pembayaran kewajiban bank umum yang diterapkan pemerintah untuk mendorong
pemulihan kepercayaan nasabah kepada perbankan. Zulkarnain Sitompul
menguraikan bahwa pada awalnya pendiriannya, BPPN didirikan berdasarkan
Keputusan Presiden No. 27 juncto No. 34 Tahun 1998. Akan tetapi dengan
kewenangan yang diberikan padanya kekuatan hukum Keputusan Presiden tersebut
diragukan. Dasar hukum yang lebih kuat diperoleh BPPN setelah dilakukan
amandemen Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998. Setelah amandemen UU Perbankan ini,
kemudian keberadaan BPPN diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah Nomor
17 Tahun 1999. 6
Perekonomian suatu negara yang beranjak pulih dari krisis, penerapan
penjaminan perbankan harus dipercepat dengan tetap menghindari terjadinya moral
hazard (aji mumpung) bagi pelaku perbankan. Kehati-hatian Pemerintah dalam
menyiapkan evaluasi dan kebijakan dari penerapan program penjaminan perbankan
dengan tetap memperhatikan stabilitas sektor perbankan dengan cara mendorong
lahirnya Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Pembentukan LPS diamanatkan dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam Undang–Undang
tersebut pada Pasal 37 B disebutkan secara tegas bahwa setiap bank wajib menjamin
dana simpanan masyarakat pada bank itu, dibentuk LPS yang terbentuk badan
hukum Indonesia, serta ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
6
Amanat untuk membentuk LPS telah ditindaklanjuti dengan intensif oleh
Pemerintah dan dilaksanakan bersama oleh Departemen Keuangan (DepKeu), Badan
Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), dan Bank Indonesia. Bahkan rancangan
Undang-Undang (RUU) mengenai LPS telah diserahkan pemerintah kepada DPR
menjelang akhir tahun 2003. Hal ini menunjukkan bahwa LPS sangat diperlukan
dalam upaya menopang sistem perbankan. Karena itulah sistem perbankan yang
merupakan simpul terlemah, diperlukan adanya keberadaan LPS. Dengan demikian
LPS harus dipandang sebagai salah satu pilar dalam mendukung peningkatan
stabilitas sistem keuangan tersebut. Pilar yang lain mencakup pengaturan dan
pengawasan bank, lender of last resort, sistem pembayaran dan dukungan fiskal. 7
Seperti halnya lembaga penjamin simpanan yang dibentuk di negara lain,
LPS harus dapat menjalankan fungsinya dengan baik dalam menjamin simpanan
nasabah bank secara terbatas sehingga mendukung upaya menjaga stabilitas sektor
perbankan dan memberikan rasa aman bagi bank peserta program penjaminan.
Fungsi ini idealnya dilengkapi kewenangan untuk menangani penutupan bank
bermasalah hingga pelaksanaan likuidasinya. Semangat dari kelaziman fungsi ini
adalah karena sebagai lembaga yang menjamin simpanan nasabah, LPS memiliki
exposure resiko terbesar apabila bank pesertanya ditutup. Bagaimana tidak, lembaga
penjamin simpanan yang akan membayar seluruh simpanan nasabah bank yang
dijamin secara terbatas.
Tentang betapa pentingnya LPS, Amerta Mardjono berpendapat keterlibatan
aktif LPS, mulai dari upstream hingga downstream kegiatan penjamin simpanan
nasabah bank dapat terjaga kesinambungannya dengan bank, dimana setelah
digunakan untuk membayar simpanan nasabah, posisi dana program penjaminan
7
dapat dipulihkan oleh LPS melalui perolehan dari likuidasi aset bank yang ditutup.
Untuk dapat menjalankan fungsi dan tugasnya dengan efektif, LPS memerlukan
serangkaian kelengkapan kewenangan yang berkaitan dengan kepentingan publik.
Misalnya, kewenangan untuk memungut premi penjaminan, kewenangan untuk
membayar simpanan nasabah bank, kewenangan untuk memantau bank pesertanya
sesuai dengan kaidah pengelolaan resiko yang baik (berkoordinasi dengan otoritas
perbankan sebagai pihak yang berwenang mengawasi bank), dan kewenangan untuk
menangani bank yang bermasalah. Perlu digaris bawahi, disini fungsi pengawasan
bank harus tetap menjadi wilayah tugas dan tanggung jawab otoritas perbankan,
sedangkan LPS menjalankan pemantauan terhadap bank peserta sebatas fungsi dan
resiko yang dipikulnya sebagai penjamin simpanan nasabah bank terkait. 8
Dengan memperhatikan pandangan dan latar belakang betapa pentingnya
berdirinya Lembaga Penjamin Simpanan, maka Pemerintah secara resmi mengajukan
Rancangan Undang-Undang Lembaga Penjamin Simpanan ke Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia pada bulan nopember 2003. Pemerintah menyampaikan
pandangannnya bahwa industri perbankan merupakan komponen penting dalam
perekonomian suatu negara. Stabilitas industri perbankan sangat diperlukan untuk
menjaga stabilas perekonomian secara keseluruhan.
Industri perbankan kita pernah mengalami krisis yang diawali penutupan dan
likuidasi sejumlah bank pada tahun 1997. Krisis tersebut mengakibatkan tingkat
kepercayaan masyarakat pada perbankan nasional menurun, yang ditandai dengan
penarikan dana masyarakat dalam jumlah yang sangat signifikan dari sistem
perbankan (bank runs). Untuk meningkatkan kembali kepercayaan masyarakat, pada
tahun 1998 Pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk memberikan jaminan atas
8
seluruh kewaiban pembayaran bank yang biasa disebut sebagai blanket guarantee.
Sampai saat ini kestabilan sistem perbankan bertumpu pada blanket guarantee.
Luas lingkup penjaminan dalam blenket guarantee telah membebani
anggaran negara dan dapat menyebabkan timbulnya moral hazard baik pada pihak
pengelola bank maupun masyarakat. Blanket guarantee tidak mendorong pengelola
bank untuk melakukan usaha prudent, sementara masyarakat kurang memperhatikan
atau mementingkan kondisi kesehatan bank dalam menyimpan dana atau
menggunakan jasa bank. Penerapan penjaminan secara menyeluruh menyebabkan
tidak timbulnya disiplin pasar.
Untuk menjaga kepercayaan masyarakat dan mempertahankan stabilitas
sistem perbankan nasional, penjaminan kewajiban pembayaran bank tetap diperlukan
untuk masa yang akan datang. Namun demikian, resiko pembebanan anggaran
negara dan timbulnya moral hazard akibat penerapan penjaminan tersebut harus
dapat diminimumkan. Sehubungan dengan itu, penjaminan kewajiban pembayaran
bank perlu dibatasi sehingga hanya meliputi penjaminan simpanan nasabah bank
sampai jumlah tertentu. Pengurangan penjaminan dari kondisi saat ini sampai ke
lingkup dan tingkat terbatas yang lebih ideal tentu harus dilaksanakan dengan
hati-hati dan bertahap (gradually phased out). Lingkup dan tingkat penjaminan yang
terbatas tersebut akan dilakukan oleh Lembaga Penjamin Simpanan.
Selanjutnya pada Rapat Kerja dengan Komisi IX tanggal 9 Pebruari 2004,
Menteri Keuangan Republik Indonesia Dr. Boediono menyampaikan pandangan dan
pendapatnya lebih mendalam.Pokok-pokok pandangan Pemerintah adalah RUU ini
dimaksudkan untuk memberikan landasan hukum yang kokoh bagi penerapan suatu
sistem penjaminan simpanan di Indonesia ini merupakan suatu lembaga baru di
perbankan di banyak negara di dunia sekarang ini. RUU ini juga menjabarkan peran
LPS dalam kerangka jaring pengaman sistem keuangan atau Financial Safety Net.
Materi RUU tentang Lembaga Penjamin Simpanan, disusun dengan
memperhatikan model dan pengalaman di negara-negara lain yang berhasil
menerapkannya dan menyesuaikannya dengan kondisi riil dan pengalaman di
Indonesia sendiri di bidang keuangan dan perbankan. Selain itu dalam
mempersiapkan RUU ini, Pemerintah dan Bank Indonesia telah melakukan beberapa
kali sosialisasi terutama bagi pelaku Perbankan, Akademisi dan berbagai Lembaga
Konsumen di berbagai kota besar di Indonesia diantaranya Jakarta, Medan, Surabaya
dan Denpasar, untuk mendapatkan masukan dan saran.
Pemerintah yang akan datang sudah memiliki Undang-Undang tentang
Lembaga Penjamin Simpanan, dapat memberikan landasan hukum yang kokoh bagi
pelaksanaan pemberian jaminan terhadap simpanan nasabah. Urgensi dari RUU ini
juga timbul dari adanya rencana pengakhiran tugas BPPN sebagai Lembaga
Pelaksana Penjaminan Bank.
Salah satu dampak yang paling berat dari krisis yang lalu adalah runtuhnya
kepercayaan masyarakat pada perbankan nasional ditandai dengan penarikan dana
masyarakat secara besar-besaran. Dalam keadaan seperti itu, bank yang sehat dalam
keadaan normal akan ikut runtuh, untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat
pada awal tahun 1998 Pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk memberikan
jaminan atas seluruh kewajiban pembayaran bank umum.
Apapun yang terjadi dengan bank, dana masyarakat tetap aman, kebijakan
blenket guarantee ini secara bertahap dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat
tetap menyimpan uangnya pada bank nasional. Sampai saat ini kestabilan sistem
Sekarang kondisi keuangan dan perbankan kita sudah normal, sehinggga
blanket guarantee itu secara bertahap dapat diganti dengan sistem yang lebih cocok
dengan keadaan normal. Untuk menjaga kepercayaan masyarakat dan
mempertahankan stabilitas perbankan nasional, penjaminan kewajiban pembayaran
tetap diperlukan untuk masa yang akan datang. Namun demikian resiko beban
anggaran negara dan moral hazard sebagai akibat dari penjaminan tersebut dapat
diminimumkan. Untuk itu seperti praktek-praktek di negara lain, penjaminan
kewajiban pembayaran bank kiranya perlu dibatasi hingga meliputi penjaminan
simpanan nasabah bank sampai dengan jumlah tertentu. Pengurangan penjaminan
dari kondisi saat ini sampai ke lingkup dan tingkat terbatas yang lebih ideal tentu
harus dilakukan dengvan hati-hati dan bertahap. Apapun yang kita lakukan tidak
boleh mengganggu kepercayaan masyarakat dan stabilitas sistem keuangan kita.
Lingkup dan tingkat penjaminan yang terbatas tersebut, akan dilakukan oleh
Lembaga Penjamin Simpanan atau LPS.
Satu hal yang perlu kita catat adalah disaat terjadinya bank rush atau krisis
perbankan saeperti pada tahun 1997-1998 yang lalu, umumnya deposan kecil yang
paling dirugikan karena mereka kurang mempunyai akses informasi dan kemampuan
untuk mengevaluasi kondisi kesehatan suatu bank. Mereka sering kali bereaksi
secara berlebihan terhadap rumor mengenai keadaan suatu bank atau sebaliknya
terlambat mengambil tindakan menyelamatkan simpanannya. Mengingat sebagian
besar deposan merupakan nasabah kecil, maka Lembaga Penjamin Simpanan atau
sistem penjaminan terbatas harus terutama diarahkan pada penjaminan dan
perlindungan terhadap dana para deposan kecil.
Krisis yang melanda berbagai negara termasuk Indonesia, telah memberikan
keadaan krisis, sektor keuangan khususnya perbankan merupakan simpul terlemah
dalam suatu sistem ketahanan ekonomi dan moneter suatu negara. Sejumlah lembaga
merupakan pilar utama bertumbuhnya stabilitas keuangan suatu negara. Penjaminan
simpanan atau deposit insurance, dipandang sebagai salah satu pilar dalam
mendukung peningkatan stabilitas sistem kuangan tersebut. Pilar yang lain mencakup
pengaturan dan pengawasan bank lender of last resort serta sistem pembayaran dan
dukungan fiskal. Keberadaan penjamian simpanan saja tidak cukup untuk
mengantisipasi mengatasi semua permasalahan perbankan. Setiap saat, terutama saat
dalam masa krisis, kerjasama diantara penyelenggara pilar tersebut harus dilandaskan
pada suatu mekanisme kerja yang jelas, efisien dan efektif.
Para penyelenggara pilar-pilar stabilitas keuang tersebut, meliputi seluruh
lembaga yang terlibat dalam sistem keuangan nasional yaitu baik Bank Sentral,
Menteri Keuangan, Pengawas Perbankan, dan Lembaga Penjamin Simpanan. Untuk
mendukung mekanisme kerja diantara lembaga-lembaga tersebut, khususnya pada
saat terjadi gangguan pada sektor keuangan dan perbankan, dalam kerangka finance
safety net akan dibentuk Komiter Koordinasi. Hasil kajian Pemerintah menunjukkan
bahwa pola ini telah berjalan baik di berbagai negara. Dalam kerangka mekanisme
ini sistem penjaminan simpanan tidak hanya berfungsi untuk melindungi simpanan
nasabah bank, tetapi juga berperan aktif dalam mendukung terciptanya stabilitas pada
industri perbankan. Fungsi LPS sebagai penjamin simpanan adalah salah satu pelaku
dalam jaring pengaman sistem keuangan, akan terselenggara dengan baik apabila
LPS merupakan lembaga independen yang memiliki kewenangan publik. Untuk
memberikan landasan hukum yang kokoh dalam menyelenggarakan kewenangan
publik tersebut, antara lain penarikan premi, penyelesaian bank bermasalah dan
berdasarkan suatu Undang-Undang. Pengalaman BPPN selama ini, yang
kewenangannya berlandaskan Peraturan Pemerintah, menunjukkan bahwa landasan
hukum yang lebih kuat sangat diperlukan.
LPS merupakan suatu lembaga eksekutif yang independen dalam pelaksanaan
tugasnya, meskipun LPS bertanggungjawab kepada Presiden, LPS melaksanakan
tugasnya sehari-hari secara independen. Presiden juga tidak dapat memberhentikan
LPS, kecuali berdasarkan keputusan yang ditetapkan dalam Undang-Undang tentang
LPS. Selain itu agar menjadi lembaga yang transparan dan akuntabel, LPS wajib
menyampaikan laporan tahunan yang terdiri dari laporan yang telah diaudit oleh
BPK dan laporan kegiatan kerja kepada Presiden dan DPR. Laporan keuangan yang
telah diaudit tersebut diumumkan pada surat kabar harian yang memiliki peredaran
luas. Berdasarkan hal tersebut, masyarakat dapat menilai kinerja LPS dalam
melaksanakan tugasnya. 9
C. Pengertian Lembaga Penjamin Simpanan
Perbankan mempunyai peran yang penting dalam sistem perekonomian.
Kepercayaan masyarakat terhadap perbankan perlu diperkuat. Untuk itu perlu
diberikan jaminan atas dana yang disimpannya. Keberadaan sistem penjamin
simpanan yang diatur secara tegas dan disusun secara lengkap dapat meningkatkan
kepercayaan dan pada akhirnya memperkuat sistem perbankan. Untuk meningkatkan
kepercayaan tersebut, banyak negara memberikan perlindungan kepada nasabahnya
dengan menerapkan suatu sistem penjamin simpanan (deposit protection system)
dalam bentuk sistem penjaminan nasabah yang ditentukan secara eksplisit. 10
9
Farida Gurmiyati, Penjaminan Simpanan Nasabah Bank, 2007, Fakultas Hukum Universitas Indonesia
10
Kepercayaan masyarakat terhadap bank dapat dikatakan sebagai aset bank.
Dengan demikian adanya upaya untuk menjamin kewajiban bank merupakan langkah
yang tepat untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat yang merupakan hal
utama dalam upaya penyehatan perbankan di Indonesia. Lembaga Penjamin
Simpanan adalah lembaga yang independen, transparan, dan akuntabel dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya. 11 Penjaminan simpanan nasabah bank yang
diharapkan dapat memelihara kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan
dan dapat meminimumkan resiko yang membebani anggaran Negara atau resiko
yang menimbulkan moral hazard. 12
Pendirian Lembaga Penjamin Simpanan tidak terlepas dari fungsinya yang
sangat penting. Adapun fungsi Lembaga Penjamin Simpanan adalah: 13
a. Menjamin simpanan nasabah penyimpan; dan
b. Turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan
kewenangannya.
Dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan
kewenangannya, Lembaga Penjamin Simpanan akan melakukan penyelesaian atau
penanganan bank gagal. Bank gagal (failing bank) adalah bank yang mengalami
kesulitan keuangan dan membahayakan kelangsungan usahanya serta dinyatakan
tidak dapat lagi disehatkan oleh Lembaga Pengawas Perbankan (LPP) sesuai dengan
kewenangan yang dimilikinya. Lembaga Pengawas Perbankan adalah Bank
Indonesia atau pengawas sektor jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang tentang Bank Indonesia. Apabila kondisi bank yang mengalami
kesulitan keuangan tersebut semakin memburuk, antara lain ditandai dengan
11
Pasal 2 UU No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan
12
Penjelasan UU No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan
13
menurunnya tingkat solvabilitas bank, tindakan penyelesaian dan penanganan lain
harus segera dilakukan. 14
Dalam menghadapi menurunnya tingkat solvabilitas bank, penyelesaian dan
penanganan bank yang gagal diserahkan kepada Lembaga Penjamin Simpanan yang
akan bekerja setelah terlebih dahulu dipertimbangkan perkiraan dampak pencabutan
izin usaha bank terhadap perekonomian nasional.
Dalam hal pencabutan izin usaha bank diperkirakan memiliki dampak
terhadap perekonomian nasional, tindakan penanganan yang dilakukan Lembaga
Penjamin Simpanan yang didasarkan pada keputusan Komite Koordinasi. Mengingat
fungsinya yang penting tersebut maka Lembaga Penjamin Simpanan harus
independen, transparan dan akuntabel dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.
Oleh karena itu, status hukum, governance, pengelolaan kekayaan dan kewajiban,
pelaporan dan akuntabilitas Lembaga Penjamin Simpanan serta hubungannnya
dengan organisasi lain perlu diatur secara tegas dalam Peraturan
Perundang-Undangan. Dalam hal ini adalah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang
Lembaga Penjamin Simpanan.
Pengertian tentang independensi bagi Lembaga Penjamin Simpanan
mengandung arti bahwa dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Lembaga
Penjamin Simpanan tidak bisa dicampurtangani oleh pihak manapun termasuk oleh
Pemerintah terkecuali atas hal-hal yang dinyatakan secara jelas didalam
Undang-Undang ini. 15
Dalam menjalankan fungsinya, Lembaga Penjamin Simpanan mempunyai
tugas-tugas yang meliputi:
a. Merumuskan dan menetapkan kebijakan pelaksanaan penjaminan simpanan.
14
Penjelasan UU No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan
15
b. Melaksanakan penjaminan simpanan.
Untuk lebih terperinci tugas yang dapat dilakukan Lembaga Penjamin Simpanan
sehubungan dengan menjalankan fungsinya adalah sebagai berikut: 16
a. Merumuskan dan menetapkan kebijakan dalam rangka turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan.
b. Merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan penyelesaian bank gagal (bank resolution) yang tidak berdampak sistemik, dan
c. Melaksanakan penanganan bank gagal yang berdampak sistemik.
Dalam rangka melaksanakan tugasnya, Lembaga Penjamin Simpanan
mempunyai wewenang sebagai berikut: 17
a. Menetapkan dan memungut premi penjaminan,
b. Menetapkan dan memungut konstribusi pada saat bank pertama kali menjadi peserta,
c. Melakukan pengelolaan kekayaan dan kewajiban Lembaga Penjamin Simpanan,
d. Mendapatkan data simpanan nasabah, data kesehatan bank, laporan keuangan bank, dan laporan hasil pemeriksaan bank sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank,
e. Melakukan rekonsiliasi, verifikasi, dan/atau konfirmasi atas data sebagaimana dimaksud pada huruf d,
f. Menetapkan syarat, tata cara, dan ketentuan pembayaran klaim,
g. Menunjuk, menguasakan, dan/atau menugaskan pihak lain untuk bertindak bagi kepentingan dan/atau atas nama Lembaga Penjamin Simpanan, guna melaksanakan sebagian tugas tertentu,
h. Melakukan penyuluhan kepada bank dan masyarakat tentang penjaminan simpanan,
i. Menjatuhkan sanksi administratif.
Lembaga Penjamin Simpanan dapat melakukan penyelesaian dan penanganan
bank gagal dengan kewenangan sebagai berikut:
a. Mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegang
saham, termasuk hak dan wewenang RUPS,
b. Menguasai dan mengelola asset dan kewajiban bank gagal yang
diselamatkan,
16
Pasal 5 UU No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan
17
c. Meninjai ulang, membatalkan, mengakhiri, dan/atau mengubah setiap kontrak
yang mengikat bank gagal yang diselamatkan dengan pihak ketiga yang
merugikan bank, dan
d. Menjual dan/atau mengalihkan asset bank tanpa persetujuan debitur dan/atau
kewajiban bank tanpa persetujuan kreditur.
Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Lembaga Penjamin Simpanan
dapat meminta data, informasi dan/atau dokumen kepada pihak lain. Setiap pihak
yang dimintai data, informasi, dan/atau dokumen wajib memberikan kepada
Lembaga Penjamin Simpanan.
D. Praktek Lembaga Penjamin Simpanan di Negara Lain
Berkaca dari pengalaman Lembaga Penjamin Simpanan di beberapa negara,
banyak dipertanyakan hubungan antara Lembaga Penjamin Simpanan dengan Dana
Moneter Internasional (IMF). Lembaga ini dipercaya bisa menjadi obat penyembuh
paling manjur bagi perekonomian Indonesia yang sudah bertahun-tahun digerogoti
krisis ekonomi kronis sejak tahun 1997.
Kemudian, IMF bukanlah mitra yang tepat untuk pemulihan krisis. Bahkan
kegagalan IMF lebih dikenal daripada keberhasilannya mengatasi persoalan
Indonesia. Begitupun dengan Indonesia, pemerintahnya dikenal bukanlah pemerintah
yang kredibel untuk menata ekonomi, terutama setelah dibebani persoalan korupsi,
kolusi dan nepotisme yang hampir mewarnai setiap sisi kehidupan di negeri ini. Jadi
dalam konteks LPS, bukannya tidak mungkin LPS merupakan sebuah solusi yang
sebetulnya tidak lepas dari permasalahan. Permasalahan itu menyangkut tentang
seberapa jauh pemerintah memahami penyakit dalam tubuh perekonomian Indonesia
berlebihan karena adanya keterbatasan kapasitas dari IMF itu sendiri dan korupnya
Pemerintah Indonesia. Sehingga tidaklah berlebihan jika LPS diciptakan dalam
kerangka rent seeker activity. 18
Sebelum Lembaga Penjamin Simpanan diterapkan di Indonesia, pada awal
pembahasan Rancangan Undang-undang LPS dipelajari tentang penerapan LPS di
negara lain. Setiap negara mempunyai pengalaman dan skema tersendiri. Sistem ini
diterapkan dengan skema yang bervariasi pada setiap negara, diantaranya
menyangkut sumber pembiayaan, penetapan premi, yang menjadi pengelola dan
wajib tidaknya bank mengikutinya.
Sistem asuransi simpanan yang diterapkan Amerika Serikat merupakan
sistem tertua di dunia dan telah menjadi model untuk negara-negara lain. Sistem ini
telah terbukti berhasil pengembalian kepercayaan masyarakat pada sistem perbankan.
Pada generasi selanjutnya, sistem ini telah efektif mencegah bank bermasalah
menjadi bank panic. Pada 1980-an, ketika ratusan bank dan thrifts bangkrut, asuransi
simpanan telah bertindak sebagai jangkar untuk meningkatkan kepercayaan publik
pada sistem perbankan. 19
Dalam penelitian lainnya terdapat tiga skema yang menyangkut lembaga
yang menjadi pengelola, yaitu pertama, skema dimana LPS dikelola oleh Pemerintah
melalui satu badan tertentu, kedua, LPS sepenuhnya dikelola oleh badan privat atau
swasta, dan yang ketiga lembaga tersebut dikelola secara bersama, Pemerintah dan
privat. Dari 68 (enam puluh delapan) negara yang menerapkan sistem penjamin
simpanan, 52 (lima puluh dua) negara menerapkan sistem dengan sumber
pembiayaan secara gabungan antara pembiayaan oleh bank dan pembiayaan dari
18
A.Deni Danuri, Lembaga Penjamin Simpanan Masih Diperlukan?, www.suarapembaruan.com , 6 September 2004
19
publik atau negara. Cile merupakan satu-satunya negara yang menerapkan sistem
penjaminan simpanan dengan sepenuhnya dibiayai oleh dana publik yang bersumber
dari pajak yang dibebankan kepada seluruh rakyat.
Kemudian, 8 (delapan) negara di Eropa dengan 7 (tujuh) negara lainnya
melakukan pembiayaan secara privat dari bank yang menjadi anggota sistem ini.
Distribusi dari 68 (enam pulih delapan) negara yang telah menerapkan sistem
penjaminan simpanan berdasarkan tiga skema pengelolaannya seperti yang telah
disebutkan adalah 33 (tiga puluh tiga) negara menerapkan sistem penjaminan
simpanan dengan lembaga yang dikelola oleh badan Pemerintah. Sebanyak 24 (dua
puluh empat) negara termasuk Amerika Serikat, Kanada, dan Kamerun menyerahkan
pengelolaan lembaga penjamin simpanan kepada gabungan pihak privat dan
Pemerintah. Selebihnya, 11 (sebelas) negara yang meliputi 8 (delapan) negara di
Eropa, seperti Prancis, Jerman, Italia dan Inggris melakukan pengelolaan lembaga
penjamin simpanan yang sepenuhnya dilakukan oleh privat yang merupakan
kepemilikan bersama dari semua bank anggota atau lembaga privat yang sepenuhnya
tidak ada kaitannya dengan bank anggota sistem.
Skema sistem seperti yang dijelaskan diatas, menurut penelitian yang pernah
dilakukan sangat mempengaruhi keberhasilan dari sistem penjamian simpanan.
Misalnya, sistem penjaminan simpanan yang disuatu negara menerapkan premi
dengan berbasis resiko belum tentu berhasil diterapkan di negara lain. Dilihat dari
perspektif fairness, seharusnya penerapan premi harus berbasis resiko. Akan tetapi,
kenyataannya hanya 22 (dua puluh dua) negara diantaranya Amerika Serikat yang
menetapkan premi dengan berbasis resiko, sedangkan sisanya 46 (empat puluh enam)
Inggris, Kanada, Austria, Jerman, dan Jepang masih menetapkan premi yang tidak
berbasis resiko atau flat. 20
Selanjutnya, dalam penelitian yang berbeda diuraikan skema dan langkah
negara-negara yang sedang dilanda krisis dalam bentuk mendirikan Lembaga
Penjamin Simpanan. Di benua Asia, negara-negara yang telah memiliki Lembaga
Penjamin Simpanan yang cukup matang antara lain, adalah Filipina (sejak tahun
1963), Korea (sejak tahun 1996), Taiwan (sejak tahun 1985), dan Jepang (sejak tahun
1971). Adapun negara-negara maju, lembaga penjamin simpanan telah dikenal lama
di Amerika Serikat (sejak tahun 1933) dan Kanada (sejak tahun 1966). 21
Penerapan Lembaga Penjamin Simpanan yang baik (best practice) di
negara-negara lain pada umumnya adalah badan hukum publik yang terafiliasi dengan
pemerintah, namun dengan pengelolaan yang independen. Hal ini menyangkut
kepentingan pengakomodasian dan kewenangan publik yang dimilikinya serta
berkaitan dengan akses pendanaan awal yang biasanya berasal dari Pemerintah atau
Bank Sentral. Secara umum, mengingat badan hukum publik tersebut memiliki
sendiri aturan undang-undang terkait dengan program dan kelembagaannya, maka
independensi pengelolaannya dapat dijaga dengan baik sehingga tugas dan fungsi
lembaga tersebut bisa berjalan dengan efektif.
Lembaga Penjamin Simpanan di semua negara memiliki tugas dan fungsi
dasar yang sama, yaitu menjamin simpanan nasabah bank dengan besaran simpanan
yang dijamin secara terbatas. Meskipun demikian agar tugas dan fungsi dasar
tersebut dapat padu-padan dan berjalan baik, diperlukan rangkaian wewenang lain
yang menjadikannya efektif dan efisien. Lembaga Penjamin Simpanan dilaksanakan
20
Muslim Tampubolon, Lembaga Penjamin Simpanan Atasi Sistem Keuangan?, www.pikiranrakyat.com, 18 Agustus 2003
21
oleh suatu badan hukum publik yang independen, yang pada awal pendiriannya
didukung pembiayaannya oleh Pemerintah dan Bank Sentral, namun kemudian
lembaga tersebut membiayai operasinya sendiri melalui pemungutan premi
penjaminan dan kontribusi dari bank peserta.
Mengenai pemungutan premi penjaminan, besaran premi yang dibebankan
oleh Lembaga Penjamin Simpanan kepada sektor perbankan bervariasi, tergantung
dari profil resiko bank bersangkutan atau tergantung dari kesiapan infrastruktur
Lembaga Penjamin Simpanannya. Amerika Serikat misalnya, pada awal berdirinya
Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) di tahun 1933, premi penjaminan
yang dipungut dari bank peserta ditetapkan secara tetap (flat rate). Pola tersebut
berlangsung selama lebih dari setengah abad hingga tahun 1992 ketika FDIC
akhirnya menilai infrastruktur yang dimilikinya untuk menilai resiko bank telah
memadai dan kemudian memutuskan untuk mengubah pola penghitungan
pembebanan premi penjaminan sesuai dengan profil resiko masing-masing bank
peserta (risk-based) premium.
Pendirian Lembaga Penjamin Simpanan di banyak negara umumnya
didasarkan pada perangkat hukum yang setara dengan undang-undang, untuk
menjaga akuntabilitas fungsi dan kewenangan yang mereka lakukan sebagai badan
hukum publik yang independen.
Penentuan batas maksimum simpanan yang dijamin oleh lembaga penjamin
simpanan di beberapa negara juga sangat bervariasi. Filipina, misalnya, membatasi
penjaminan sebesar 100,000 peso, di Korea Selatan maksimum 50.000 won, di
Kanada 60.000 dollar Kanada, dan di Amerika Serikat 100.000 dollar AS. Bisa
pada besarnya pendapatan Produk Domestik Bruto (PDB) serta mengacu pada
distribusi jumlah nasabah yang ada.
Kisaran maksimum penjaminan simpanan yang mengacu pada besarnya PDB
umumnya adalah antara 4 (empat) dan 8 (delapan) kali dari pendapatan perkapita
suatu negara. Meski demikian, banyak negara lebih memilih untuk mengupayakan
agar minimum 90% nasabah bank dapat dijamin oleh program penjaminan. Dalam
kaitan ini, jika Indonesia menerapkan penjaminan jumlah rekening simpanan
terbanyak berdasarkan perhiungan pemerintah, maka angka ini berkisar maksimum
simpanan Rp. 100.000.000 atau seratus juta rupiah.
Pengamat perbankan Ryan Kiyanto juga mempelajari tentang proses,
mekanisme, dan skema kelembagaan negara-negara dalam mendirikan Lembaga
Penjamin Simpanan setelah mengalami krisis. Secara umum terdapat satu benang
merah yang sama di berbagai negara dalam menghadapi krisis keuangan, yakni
munculnya dorongan pembentukan “formal schemes for protecting depositors”.
Yaitu lembaga penjaminan yang dapat memenuhi kewajiban terhadap segenap
stakeholders jika bank dilikuidasi guna menjaga kepercayaan masyarakat.
Menurut penelitian lainnya disebutkan bahwa negara-negara yang sudah
melaksanakan kebijakan program penjaminan tersebut antara lain Cina, India,
HongKong, Korsel, Thailand, Argentina, Brasil, Chili, Meksiko, Rusia, Uni Eropa,
Jepang, dan AS. 22 Di India, program penjaminan dilakukan oleh Deposit Insurance
and Credit Guarantee Corporation sejak 1962 dengan maksimal nilai penjaminan
100.000 rupee/orang. HongKong sejak 1995 membatasi batas maksimal penjaminan
senilai 100.000 dolar HongKong. Korsel sejak 1996 menerapkan program
penjaminan dengan batas maksimal 20 juta won. Argentina menerapkan New Deposit
22
Insurance Fund for Financial Institutions (dikenal dengan SEDESA) sejak 1995
dengan batas maksimal 30.000 dolar AS. Meksiko juga menerapkan program yang
sama (dikenal dengan FOBAPROA). Dengan batas maksimal senilai 100.000 dolar
AS yang secara gradual program ini berakhir pada akhir 2005.
Berbeda dengan negara lain, Thailand menerapkan program penjaminan
Financial Institutions Development Fund (FIDP) pada 1985 tanpa batas nilai
penjaminan. Perlu diketahui, yang menonjol dari problem utama perbankan Thailand
adalah tingginya NPL, mencapai 50% dari total kredit. Tidak mengherankan jika
angagran sebesar 43 miliar dolar AS (setara 32% dari GDP) disiapkan pemerintah
Thailand untuk merestrukturisasi 20 (dua puluh) bank bermasalah.
Untuk mempercepat restrukturisasi perbankan, dibentuk The Financial
Restructuring Advisory Committee (FRAC) pada oktober 1997. Bersamaan dengan
itu, guna merestrukturisasi NPL dan bad debt, dibentuk Asset Management
Corporations (AMC). Sementara untuk memperkuat permodalan bank, pemerintah
Thailand telah membentuk FIDF yang berfungsi membantu mengatasi problem
permodalan dan likuiditas bank. Kepemilikan saham pemerintah bank-bank yang
telah direkap berangsur-angsur harus dikurangi untuk memperkuat struktur
penerimaan negara melalui program divestasi bertahap.
Di AS, penyelamatan dan penyehatan perbankan dilakukan sejak 1991
dengan dikeluarkannya United States Federal Deposit Insurance Corporation
Improvement Act (FDICIA). Batas maksimal yang dijamin senilai 100.000 dolar AS.
Beberapa kebijakan yang menyertai FDICIA antara lain rencana rekapitulasi,
membatasi atau melarang bank memberikan dividen, serta meningkatkan batasan
tak urung 31 (tiga puluh satu) bank ditutup dan 10 (sepuluh) bank dinyatakan
bankrut.
Pemerintah Brasil juga mendorong perbankan untuk melakukan konsolidasi
melalui pola merger dan akusisi. Banyak lembaga keuangan pemerintah berhasil
direstrukturisasi, dengan rincian yang dilikuidasi 9 (Sembilan) buah, diprivatisasi 7
(tujuh) buah, difederalisasi 4 (empat) buah, di clean up 6 (enam) buah, dan dialihkan
ke Development Agency 14 (empat belas) buah. Dengan pola-pola tersebut, Brasil
berhasil memulihkan kondisi perbankan dari perangkap krisis yang bersifat sistemik.
Kendati tidak separah Indonesia dan Thailand, namun Malaysia tak luput dari
krisis perbankan. Pemerintah bersama dengan Bank Negara Malaysia (bank sentral),
memegang peran kunci dalam penyehatan sektor perbankan. Untuk keperluan
penyehatan 24 (dua puluh empat) bank, telah dianggarkan dana senilai 13 miliar