PERBANDINGAN EFIKASI DOSIS TUNGGAL MEBENDAZOL DENGAN DAN TANPA LEVAMISOL TERHADAP SOIL-TRANSMITTED
HELMINTHS PADA ANAK USIA SEKOLAH DASAR
TESIS
Oleh DEWI SAPUTRI
057027002/IKT
MAGISTER KEDOKTERAN TROPIS FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PERBANDINGAN EFIKASI DOSIS TUNGGAL MEBENDAZOL DENGAN DAN TANPA LEVAMISOL TERHADAP SOIL-TRANSMITTED
HELMINTHS PADA ANAK USIA SEKOLAH DASAR
TESIS
Oleh DEWI SAPUTRI
057027002/IKT
MAGISTER KEDOKTERAN TROPIS FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PERBANDINGAN EFIKASI DOSIS TUNGGAL MEBENDAZOL DENGAN DAN TANPA LEVAMISOL TERHADAP SOIL-TRANSMITTED
HELMINTHS PADA ANAK USIA SEKOLAH DASAR
TESIS
Untuk memperoleh Gelar Magister Kedokteran Tropis dalam Program Studi Ilmu Kedokteran Tropis pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Oleh DEWI SAPUTRI
057027002/IKT
MAGISTER KEDOKTERAN TROPIS FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Penelitian : PERBANDINGAN EFIKASI DOSIS TUNGGAL MEBENDAZOL DENGAN DAN TANPA LEVAMISOL TERHADAP SOIL-TRANSMITTED HELMINTHS PADA ANAK USIA SEKOLAH DASAR
Nama : Dewi Saputri
Nomor Pokok : 057027002
Program Studi : Ilmu Kedokteran Tropis
Menyetujui Komisi Pembimbing :
(dr. Tiangsa Sembiring, SpA(K) Ketua
(dr.Endang H Gani, DTM&H, SpPark) (Drs. Abdul Jalil A. A, M.Kes)
Anggota Anggota
Ketua Program Studi, Dekan FK USU,
(Prof.Dr.dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, (Prof.dr. Gontar A Siregar, Sp.PD MSc.(CTM),SpA(K) KGEH)
Telah diuji pada
Tanggal 28 Oktober 2009
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : dr. Tiangsa Sembiring, SpA(K)
Anggota : 1. dr. Endang Haryanti Gani, DTM&H, SpPark 2. Drs. Abdul Jalil Amri Amra, MKes
ABSTRAK
Soil-transmitted helminths merupakan parasit cacing nematoda yang menginfeksi manusia yang menyebabkan kemunduran pertumbuhan fisik dan perkembangan intelektual. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efikasi mebendazol 500 mg dengan dan tanpa levamisol dosis tunggal pada pengobatan infeksi soil-transmitted helminths pada anak usia sekolah dasar di Kelurahan Kenangan Kecamatan Percut Sei Tuan, Deli Serdang.
Penelitian dilakukan secara uji klinis acak tersamar ganda, dilaksanakan pada 176 anak kelas 1-6 dari enam Sekolah Dasar Negeri yang dibagi atas dua kelompok; kelompok I (pengobatan tunggal mebendazol 500 mg/dosis tunggal) dan kelompok II (pengobatan kombinasi mebendazol 500 mg dan levamisol/dosis tunggal). Contoh tinja dikumpulkan untuk data awal dan 21 hari setelah pengobatan, selanjutnya diperiksa secara kuantitatif dengan metode Kato-Katz. Uji Chi-square, uji t independen dan uji t berpasangan dilakukan untuk melihat hubungan antara pengobatan dengan angka penyembuhan dan angka penurunan jumlah telur.
Prevalensi infeksi soil-transmitted helminths adalah 63,8%; 28,5% infeksi cacing tunggal, 34,5% infeksi cacing ganda dan 0,82% infeksi tiga jenis cacing. Angka penyembuhan Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura pada kelompok I 94,3% dan 68,5% dan pada kelompok II 94,2% dan 68,5%. Tidak terlihat perbedaan yang bermakna angka penyembuhan Ascaris lumbricoides
(p=0,985) dan Trichuris trichiura (0,993) pada kedua kelompok pengobatan. Didapati angka penurunan jumlah telur yang signifikan (p=0,0001) baik pada infeksi Ascaris lumbricoides maupun Trichuris trichiura dari kedua kelompok dibandingkan dengan sebelum pengobatan.
Disimpulkan bahwa efikasi pengobatan kombinasi mebendazol dengan levamisol sama baik dengan pengobatan tunggal mebendazol terhadap infeksi
soil-transmitted helminths pada intensitas infeksi sedang untuk ascariasis dan intensitas infeksi ringan untuk trichuriasis.
ABSTRACT
Soil-transmitted helminths are nemathelminthes parasites to infect human being resulting in retardation in physical growth and intellectual development. The objective of research would be evaluate the efficacy single dose of mebendazole 500 mg alone and in combination with levamisole in treatment of soil-transmitted helminths infection on children of elementary school age in Kelurahan Kenangan, sub district of Percut Sei Tuan, Deli Serdang district.
This was a double blind randomized clinical trial, it had been conducted on 176 children of classes 1-6 from six state elementary schools that was divided inti two groups; group I (single treatment by mebendazole 500 mg/single dose) dan group II (combined treatment by mebendazole 500 mg dan levamisole/single dose). The sample of feses was collected for initial data and 21st day after treatment, and then it was examined quantitatively by Kato-Katz method. The Chi-Square test, independent t–test and paired t-test were conducted to analyze the correlation between treatment with cure rate and egg reduction rate.
The prevalence of soil-transmitted helminths infection was 63,8%;28,5% of single worm infection, 34,5% of multipe worm infection and 0,82% of three spesies of worm infection. The cure rate of Ascaris lumbricoides and Trichuris trichiura in group I was 94,3% and 68,5% and in group II it was 94,2% and 68,6%, respectively.There was no significant difference in cure rate of Ascaris lumbricoides (p=0.985) and Trichuris trichiura (p=0.993) in both groups of treatment. There was a significant egg reduction rate (p=0.0001) either in Ascaris lumbricoides and Trichuris trichiura infection of both groups in comparison to pre-treatment.
It could be the concluded that the efficacy of combined treatment mebendazole with levamisole was as effective as single treatment of mebendazole on soil-transmitted helminths infection in moderate intensity of infection fo ascariasis and mild intensity of infection for trichuriasis.
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT karena atas berkat dan rahmatNya
penulis dapat menyelesaikan penelitian tesis dengan judul Perbandingan efikasi
dosis tunggal mebendazool dengan dan tanpa levamisol terhadap soil—
transmitted helminths pada anak usia sekolah dasar. Tesis ini merupakan salah
satu syarat yang harus dilaksanakan penulis dalam rangka memenuhi persyaratan
untuk meraih gelar magister pada Program Magister Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.
Dengan selesainya tesis ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada:
Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. dr. H. Chairuddin P. Lubis, Sp.A(K)
dan seluruh jajarannya yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk
mengikuti pendidikan program magister di Fakultas Kedokteran USU Medan.
Dekan Fakultas Kedokteran USU Medan, Prof. dr. Gontar A. Siregar, SpPD,
KGEH atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti
pendidikan program magister di Fakultas Kedokteran USU Medan.
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala, dr. Sahrul, SpS yang
telah memberikan izin dan memfasilitasi penulis untuk mengikuti pendidikan
program magister di Fakultas Kedokteran USU Medan.
Terima kasih yang tidak terhingga dan penghargaan setinggi-tingginya penulis
Prof.Dr.dr. Syahril Pasaribu, DTM&H,MSc.(CTM),SpA(K) atas semangat,
bimbingan, dan dorongan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan
menyelesaikan pendidikan program magíster di Fakultas Kedokteran USU Medan.
Terima kasih yang tidak terhingga dan penghargaan setinggi-tingginya penulis
sampaikan kepada dr.Tiangsa Sembiring, SpA(K) (sebagai ketua komisi
pembimbing), atas perhatian, bimbingan dan dorongan selama ini kepada penulis
Terima kasih yang tidak terhingga dan penghargaan setinggi-tingginya penulis
sampaikan kepada dr. Endang H Gani, DTM&H,SpPark dan Drs. Abdul Jalil
Amri Amra, MS (sebagai anggota komisi pembimbing), atas perhatian, bimbingan
dan dorongan selama ini kepada penulis.
Terima kasih yang tidak terhingga dan penghargaan setinggi-tingginya penulis
sampaikan kepada Prof.dr. Iskandar Lubis, SpA(K) dan Prof.dr. Aman A P
Depari, DTM&H,MSc,SpPark (sebagai komisi pembanding) yang dengan penuh
perhatian memberikan dorongan, bimbingan, semangat, serta saran-saran yang
membangun kepada penulis dari awal tesis sampai selesainya tesis ini.
Terima kasih yang tidak terhingga disampaikan kepada semua dosen yang
telah membimbing dan membagi ilmu kepada penulis selama mengikuti program
magister ini.
Ucapan terima kasih yang tulus dan bakti penulis sampaikan kepada kedua
orang tua, Alm. H. Sulaiman dan Hj. Jeumpa serta seluruh keluarga yang telah
memberikan dukungan moril dan materil selama penulis menjalani pendidikan di
Kepada suamiku tercinta, dr. Almaycano Ginting, M.Kes, yang dengan penuh
cinta kasih, semangat dan kesabaran yang terus memotivasi penulis dalam
menyelesaikan penelitian dan pendidikaan penulis.
Terima kasih yang tidak terhingga penulis sampaikan kepada kepala-kepala
sekolah serta para guru di SDN No 066667, SDN No 067951, SDN No 066662,
SDN No 066431, SDN No 066663 dan SDN No 066664 atas bantuan dan
kerjasama yang diberikan selama penelitian ini berlangsung, sehingga penelitian
ini dapat berjalan dengan baik.
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh teman-teman
seperjuangan, mahasiswa Pascasarjana USU Program Studi Ilmu Kedokteran
Tropis dan terutama sekali angkatan 2005 atas segala kerjasama dan kekompakan
yang telah terjalin selama ini. Kepada seluruh pihak yang telah membantu selama
penulis mengikuti pendidikan ini tak lupa penulis sampaikan rasa terima kasih
yang tidak terhingga.
Akhirnya penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu penulis berharap kritik dan saran yang
membangun demi perbaikan tesis ini. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.
Medan, 14 Oktober 2009
RIWAYAT HIDUP
I. IDENTITAS PRIBADI
Nama : Dewi Saputri
NIP : 132299323
Pangkat/Golongan : Penata Muda Tk.I/ Assisten Ahli/IIIb
Tempat/Tgl Lahir : Kabupaten Pidie, 8 Agustus 1976
Agama : Islam
Nama Suami : dr. Almaycano Ginting, MKes
Alamat : Komplek Bougenviel Indah Residence Blok B-53 Jl Sei
Mencirim, Sunggal
II. PENDIDIKAN
1. Sekolah Dasar : MIN Merduati, Banda Aceh, tamat tahun 1989
2. Sekolah Menengah Pertama : MTs Ulumul Qur’an, Langsa, tamat tahun
1992
3. Sekolah Menengah Atas : MAN I, Banda Aceh, tamat tahun 1995
4. Srata I (S1) : Fakultas Kedokteran Unsyiah, Banda Aceh,
tamat tahun 2002
III. PEKERJAAN
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK... i
ABSTRACT... ii
UCAPAN TERIMA KASIH... iii
RIWAYAT HIDUP... vi
DAFTAR ISI... vii
DAFTAR TABEL... xi
DAFTAR GAMBAR... xii
DAFTAR SINGKATAN... xiii
DAFTAR LAMBANG... xiv
DAFTAR LAMPIRAN... xv
BAB I PENDAHULUAN... 1
I.1. Latar Belakang Penelitian... 1
I.2. Perumusan Masalah ... 4
I.3. Hipotesis... ... .4
I.4. Tujuan Penelitian... ... .4
I.4.1. Tujuan umum... .4
I.4.2. Tujuan khusus... ...5
I.5. Manfaat Penelitian... ... .5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA... .7
II.1. Soil-transmitted Helmints... .7
II.1.1. Ascariasis………...8
II.1.2. Trichuriasis ... 11
II.1.3. Infeksi cacing tambang... 13
II.2. Pembarantasan Kecacingan ... 15
II.2.1. Higiene dan sanitasi... 16
II.2.2. Pengobatan ... 17
II.2.3. Resistensi obat pada nematoda... 21
BAB III METODOLOGI... 27
III.1. Desain Penelitian... 27
III.2. Tempat dan Waktu Penelitian ... 27
III.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 27
III.4. Etika penelitian ... 28
III.5. Kriteria ... 28
III.5.1. Kriteria inklusi ... 28
III.5.2. Kriteria eksklusi ... 29
III.6. Perkiraan Besar Sampel ... 29
III.7. Variabel dan Definisi Operasional ... 30
III.7.1. Variabel yang diamati ... 30
III.7.2. Definisi Operasional... 30
III.8.1. Pengobatan ... 35
III.8.2. Pemeriksaan tinja ... 36
III.9. Analisis Data ... 36
III.10.Kerangka Kerja ... 38
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 39
IV.1.Hasil Penelitian ... 39
IV.1.1. Karakteristik sampel penelitian... 40
IV.1.2. Efek samping obat... 43
IV.1.3. Efikasi obat terhadap Ascaris lumbricoides... 44
IV.1.4. Efikasi obat terhadap Trichuris trichiura... 46
IV.2.Pembahasan... 47
IV.2.1. Umur ... 48
IV.2.2. Jenis kelamin... 48
IV.2.3. Status gizi... 48
IV.2.4. Intensitas infeksi ... 49
IV.2.5. Efek samping ... 49
IV.2.6. Efikasi pengobatan tunggal mebendazol dosis tunggal dan pengobatan kombinasi mebendazol dengan levamisol dosis tunggal dalam mengobati infeksi soil-transmitted helminths... 50
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 53
V.1 Kesimpulan ... 53
DAFTAR TABEL
No Judul Halaman
1. Infeksi soil-transmitted helmiths pada manusia... 8 2. Klasifikasi intensitas infeksi berdasarkan jumlah telur per gram tinja .... 32 3. Klasifikasi status gizi ... 34 4. Karakteristik sampel penelitian... 41 5. Efek samping obat ... 43 6 Kesembuhan dari infeksi A.lumbricoides setelah pengobatan pada
kedua kelompok perlakuan ... 44 7. Perbedaan rerata telur A.lumbricoides sebelum dan setelah pengobatan pada kedua kelompok perlakuan... 45 8. Perbedaan rerata telur per gram tinja 21 hari setelah pengobatan pada kedua kelompok perlakuan ... 46 9. Kesembuhandari infeksi T.trichiura setelah pengobatan pada kedua kelompok perlakuan ... 46 10. Perbedaan rerata telur T.trichiura sebelum dan setelah pengobatan pada kedua kelompok perlakuan ... 46
DAFTAR GAMBAR
No Judul Halaman
1. Kerangka konsep penelitian ... 6
2. Siklus hidup Ascaris lumbricoides... 9
3. Siklus hidup Trichuris trichiura... 12
4. Siklus hidup Necator americanus dan Ancylostoma duodenale... 14
5. Struktur kimia levamisol hidrokhlorit... 18
6. Struktur kimia mebendazol ... 20
DAFTAR SINGKATAN
AP Angka penyembuhan
APJT Angka penurunan jumlah telur
ARR Egg reduction rate
BB Berat badan
BBL Berat badan lebih
CR Cure rate
NCHS National center for health statistics
P Probabilitas
SPSS Statistical program for social science
STH Soil-transmitted helminths
TB Tinggi badan
TPG Telur per gram tinja
USU Universitas Sumatera Utara
DAFTAR LAMBANG
n1 atau n2 Jumlah subyek
P1 Proporsi kesembuhan penderita STH dengan mebendazol P2 Proporsi kesembuhan penderita STH dengan kombinasi
mebendazol-levamisol
α Tingkat kemaknaan
β Hasil negatif palsu
zα Deviat baku normal untuk α
zβ Deviat baku normal untuk β
Σtpg Jumlah semua telur per gram tinja dari setiap individu
N Jumlah orang yang diperiksa tinjanya
N+ Jumlah orang yang positif terinfeksi STH pada pemeriksaan tinja sebelum pengobatan
% Persen
n21- Banyaknya orang yang mempunyai jumlah telur negatif pada hari ke-21 setelah pengobatan
n+ Banyaknya orang dengan jumlah telur >0 sebelum pengobatan
H0 Sebelum pengobatan
H21 Hari ke-21 setelah pengobatan
DAFTAR LAMPIRAN
No Judul Halaman
1. Persetujuan komite etik ... 61
2. Surat pernyataan kesediaan ... 62
3. Pemeriksaan tinja cara Kato-Katz... 63
4. Pemantauan efek samping obat... 66
ABSTRAK
Soil-transmitted helminths merupakan parasit cacing nematoda yang menginfeksi manusia yang menyebabkan kemunduran pertumbuhan fisik dan perkembangan intelektual. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efikasi mebendazol 500 mg dengan dan tanpa levamisol dosis tunggal pada pengobatan infeksi soil-transmitted helminths pada anak usia sekolah dasar di Kelurahan Kenangan Kecamatan Percut Sei Tuan, Deli Serdang.
Penelitian dilakukan secara uji klinis acak tersamar ganda, dilaksanakan pada 176 anak kelas 1-6 dari enam Sekolah Dasar Negeri yang dibagi atas dua kelompok; kelompok I (pengobatan tunggal mebendazol 500 mg/dosis tunggal) dan kelompok II (pengobatan kombinasi mebendazol 500 mg dan levamisol/dosis tunggal). Contoh tinja dikumpulkan untuk data awal dan 21 hari setelah pengobatan, selanjutnya diperiksa secara kuantitatif dengan metode Kato-Katz. Uji Chi-square, uji t independen dan uji t berpasangan dilakukan untuk melihat hubungan antara pengobatan dengan angka penyembuhan dan angka penurunan jumlah telur.
Prevalensi infeksi soil-transmitted helminths adalah 63,8%; 28,5% infeksi cacing tunggal, 34,5% infeksi cacing ganda dan 0,82% infeksi tiga jenis cacing. Angka penyembuhan Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura pada kelompok I 94,3% dan 68,5% dan pada kelompok II 94,2% dan 68,5%. Tidak terlihat perbedaan yang bermakna angka penyembuhan Ascaris lumbricoides
(p=0,985) dan Trichuris trichiura (0,993) pada kedua kelompok pengobatan. Didapati angka penurunan jumlah telur yang signifikan (p=0,0001) baik pada infeksi Ascaris lumbricoides maupun Trichuris trichiura dari kedua kelompok dibandingkan dengan sebelum pengobatan.
Disimpulkan bahwa efikasi pengobatan kombinasi mebendazol dengan levamisol sama baik dengan pengobatan tunggal mebendazol terhadap infeksi
soil-transmitted helminths pada intensitas infeksi sedang untuk ascariasis dan intensitas infeksi ringan untuk trichuriasis.
ABSTRACT
Soil-transmitted helminths are nemathelminthes parasites to infect human being resulting in retardation in physical growth and intellectual development. The objective of research would be evaluate the efficacy single dose of mebendazole 500 mg alone and in combination with levamisole in treatment of soil-transmitted helminths infection on children of elementary school age in Kelurahan Kenangan, sub district of Percut Sei Tuan, Deli Serdang district.
This was a double blind randomized clinical trial, it had been conducted on 176 children of classes 1-6 from six state elementary schools that was divided inti two groups; group I (single treatment by mebendazole 500 mg/single dose) dan group II (combined treatment by mebendazole 500 mg dan levamisole/single dose). The sample of feses was collected for initial data and 21st day after treatment, and then it was examined quantitatively by Kato-Katz method. The Chi-Square test, independent t–test and paired t-test were conducted to analyze the correlation between treatment with cure rate and egg reduction rate.
The prevalence of soil-transmitted helminths infection was 63,8%;28,5% of single worm infection, 34,5% of multipe worm infection and 0,82% of three spesies of worm infection. The cure rate of Ascaris lumbricoides and Trichuris trichiura in group I was 94,3% and 68,5% and in group II it was 94,2% and 68,6%, respectively.There was no significant difference in cure rate of Ascaris lumbricoides (p=0.985) and Trichuris trichiura (p=0.993) in both groups of treatment. There was a significant egg reduction rate (p=0.0001) either in Ascaris lumbricoides and Trichuris trichiura infection of both groups in comparison to pre-treatment.
It could be the concluded that the efficacy of combined treatment mebendazole with levamisole was as effective as single treatment of mebendazole on soil-transmitted helminths infection in moderate intensity of infection fo ascariasis and mild intensity of infection for trichuriasis.
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian
Di Indonesia dan di berbagai negara sedang berkembang, Ascaris
lumbricoides, Trichuris trichiura dan cacing tambang merupakan parasit usus
golongan nematoda yang paling sering menyebabkan infeksi, dan merupakan
salah satu masalah utama kesehatan masyarakat. WHO memperkirakan paling
sedikit dua milyar penduduk atau hampir sepertiga populasi dunia telah terkena
infeksi soil-transmitted helminths. Di antaranya, 300 juta penduduk yang
terinfeksi menderita penyakit yang berat dan sekitar 400 juta anak usia sekolah di
seluruh dunia yang mendapat infeksi tersebut mengalami masalah pertumbuhan
fisik dan perkembangan intelektual seperti penurunan konsentrasi,
ketidakmampuan belajar, dan tingginya angka kegagalan sekolah (WHO, 2006).
Sampai saat ini masih terus dilakukan berbagai penelitian untuk mencari
kombinasi anthelmintik berspektrum luas yang memiliki kemampuan
penyembuhan yang tinggi terhadap cacing usus pada umumnya atau nematoda
usus pada khususnya. Infeksi nematoda usus pada sebagian besar penderita tidak
hanya infestasi tunggal tapi juga terjadi infestasi campuran oleh beberapa spesies
cacing usus. Oleh karena itu pengobatan terhadap nematoda usus tidaklah dapat
dikatakan berhasil bila hanya mampu menyembuhkan terhadap salah satu macam
nematoda saja, tetapi harus mampu membebaskan penderita dari semua nematoda
infeksi parasit usus tersebut. Hal ini disebabkan karena anak cenderung lebih
sering berkontak dengan sumber infeksi yaitu tanah.
Situmeang dkk (2004), dalam penelitiannya pada anak Sekolah Dasar di
Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara mendapat prevalensi Ascaris
lumbricoides 60%, Trichuris trichiura 79%, dan cacing tambang 28% di mana
infeksi tunggal 17,7% dan infeksi campuran 69,3%, sedangkan Dewayani dkk
(2004) mendapatkan A. lumbricoides 56%, T. trichiura 78,6%, dan cacing
tambang 33,8% di mana infeksi tunggal 17,3% sedang infeksi campuran 69%.
Dari data di atas menunjukkan infeksi campuran cukup tinggi yang
memerlukan pengobatan dengan antelmintik spektrum luas. Program kesehatan
masyarakat untuk mengendalikan kesakitan yang disebabkan oleh infeksi
soil-transmitted helminths sebagian besar tergantung pada pemberian obat antelmintik
kepada anak sekolah dasar (WHO, 1996). Secara teoritis terdapat beberapa obat
antelmintik berspektrum luas dosis tunggal antara lain : Albendazol, levamisol,
mebendazol, dan pirantel pamoat yang dapat membasmi cacing dengan
masing-masing kelebihan dan kekurangannya. Namun dalam pelaksanaannya, kebanyakan
program pengendalian infeksi cacing nematoda usus hanya menggunakan preparat
golongan benzimidazol (albendazol dan mebendazol) (WHO, 1995).
Pemberian obat antelmintik golongan benzimidazol mempunyai banyak
keuntungan, antara lain mengurangi jumlah cacing sehingga obat tersebut mampu
meningkatkan status gizi dan perkembangan kognitif anak yang terinfeksi oleh
tambang pada anak dan wanita usia produktif (Stoltzfus dkk, 1997). Pada
penelitian yang dilakukan oleh Rahman pada tahun 1990 di Penang, Malaysia
dengan menggunakan mebendazol dosis tunggal mendapatkan angka
penyembuhan 81,2% untuk A. lumbricoides, 89% dan 48,2% masing-masing
untuk T. trichiura dan cacing tambang
Adapun pada penelitian yang dilakukan oleh Albanico, dkk pada tahun 1999
di Pemba Island, Zanzibar mendapatkan angka penyembuhan terhadap A.
lumbricoides, T. trichiura, dan cacing tambang dengan pemberian mebendazol
500 mg dosis tunggal masing-masing 96,5%, 23%, dan 7,6% serta Angka
Penurunan Jumlah Telur 99%, 81%, dan 52,1%. Levamisol juga digunakan pada
program pengendalian cacing dengan hasil yang baik, walaupun levamisol kurang
efektif dibandingkan dengan mebendazol dalam mengobati infeksi T. trichiura
dan Necator americanus (Al Saffar dkk, 1971; Kan dkk, 1986; Ismail dkk, 1991).
Albanico dkk (2003) pada pemberian kombinasi mebendazol 500 mg dan
levamisol 40 mg atau 80 mg dosis tunggal memperoleh Angka Penyembuhan
98,5%, 23%, dan 26 % serta Angka Penurunan Jumlah Telur 99,1%, 85%, dan
88,7% masing-masing untuk A. lumbricoides, T. trichiura, dan cacing tambang.
Dalam usaha mencari obat cacing yang benar-benar efektif terhadap cacing
usus yang ada, kami mencoba melihat efikasi dari mebendazol secara
terpisah dan kombinasi dengan levamisol pada anak dengan infeksi
I.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pemberantasan infeksi
soil-transmitted helminths dengan menggunakan pengobatan tunggal cenderung
belum dapat menuntaskan masalah. Maka permasalahan penelitian ini adalah
sebagai berikut:
Apakah pengobatan kombinasi mebendazol-levamisol dosis tunggal
mempunyai efikasi yang lebih baik dalam mengobati infeksi soil-transmitted
helminths pada anak usia sekolah dasar dibandingkan dengan pengobatan tunggal
mebendazol dosis tunggal?
I.3. Hipotesis
Pengobatan kombinasi mebendazol-levamisol dosis tunggal mempunyai
efikasi yang lebih baik dibandingkan dengan pengobatan tunggal mebendazol
dosis tunggal dalam mengobati infeksi soil-transmitted helminths pada anak usia
sekolah dasar.
I.4. Tujuan Penelitian
I.4.1. Tujuan umum
Mengetahui perbandingan efikasi dari pengobatan kombinasi
mebendazol-levamisol dosis tunggal dengan pengobatan tunggal mebendazol dosis
tunggal dalam mengobati infeksi soil-transmitted helminths pada anak usia
I.4.2. Tujuan khusus
1. Membandingkan angka penyembuhan antara pengobatan kombinasi
mebendazol-levamisol dosis tunggal dengan pengobatan tunggal
mebendazol dosis tunggal.
2. Membandingkan angka penurunan jumlah telur cacing antara pengobatan
kombinasi mebendazol-levamisol dosis tunggal dengan pengobatan tunggal
mebendazol dosis tunggal.
3. Mengetahui jumlah rata-rata telur cacing pada setiap kelompok sebelum dan
sesudah pengobatan.
I.5. Manfaat Penelitian
1. Memperoleh alternatif terapi untuk pengobatan infeksi soil-transmitted
helminths pada anak usia sekolah dasar dengan efektifitas penyembuhan
yang tinggi serta efek samping yang rendah dan biaya yang relatif murah.
2. Sebagai masukan kepada dunia kedokteran dalam menentukan obat
antelmintik alternatif yang efektif untuk digunakan pada pengobatan dan
I.6. Kerangka Konsep
Berdasarkan studi kepustakaan, maka disusun kerangka konsep
penelitian yang diuraikan pada diagram berikut.
SOIL-TRANSMITTED HELMINTHIASIS CAMPURAN
PENGOBATAN TUNGGAL MEBENDAZOL DOSIS
TUNGGAL
- LINGKUNGAN - HIGIENE - SANITASI
PENGOBATAN KOMBINASI MEBENDAZOL-LEVAMISOL
DOSIS TUNGGAL
SEMBUH
PENURUNAN JUMLAH
TELUR CACING PENGOBATAN DENGAN
ANTELMINTIK
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA II.1. Soil-transmitted Helminths
Soil-transmitted helminths merupakan kelompok parasit cacing nematoda
yang menyebabkan infeksi pada manusia akibat tertelan telur atau melalui kontak
dengan larva yang berkembang dengan cepat pada tanah yang hangat dan basah di
negara-negara subtropis dan tropis di berbagai belahan dunia. Bentuk dewasa
soil-transmitted helminths dapat hidup selama bertahun-tahun di saluran percernaan
manusia. Lebih dari dua milyar penduduk dunia terinfeksi oleh paling sedikit satu
spesies cacing tersebut, terutama yang disebabkan oleh A. lumbricoides, T.
trichiura dan cacing tambang (WHO, 2005; WHO, 2006).
Soil-transmitted helminths merupakan salah satu penyebab utama kemunduran
pertumbuhan fisik dan perkembangan intelektual yang berdampak terhadap
pendidikan, ekonomi dan kesehatan masyarakat yang sering terabaikan.
Kurangnya perhatian para tenaga kesehatan dan masyarakat dunia terhadap
kondisi ini disebabkan (Chan, 1997; WHO, 2006):
1. Kebanyakan penduduk yang terinfeksi oleh Soil-transmited helmiths berasal
dari negara-negara miskin.
2. Infeksi parasit ini menyebabkan gangguan kesehatan kronis dengan
manifestasi klinis yang tidak nyata.
3. Pengukuran efek yang timbul akibat infeksi soil-transmitted
Tabel 1. Infeksi soil-transmitted helminths pada manusia
Cacing penyebab utama di seluruh dunia
Penyakit Perkiraan populasi yang terinfeksi (juta)
Ascaris lumbricoides Infeksi cacing gelang 807-1221
Trichuris trichiura Infeksi cacing cambuk 604-795
Necator americanus dan Ancylostoma duodenale
Infeksi cacing tambang 576-740
Strongyloides strecoralis Infeksi cacing benang (threadworm)
30-100
Enterobius vermicularis Infeksi cacing kremi 4-28% anak
(Sumber : Bethony dkk , 2006)
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa infeksi soil-transmitted helminths
memiliki dampak yang sangat besar terhadap tingkat kehadiran dan prestasi
sekolah serta produktivitas ekonomi dimasa mendatang (Miguel and Kremer,
2003). World Health Assembly berusaha mengantisipasi hal tersebut dengan
membuat sebuah resolusi bagi negara-negara anggota dalam upaya mengontrol
angka kesakitan akibat infeksi soil tramitted helminths melalui pemberian obat
antelmintik dalam skala besar kepada anak usia sekolah dasar di negara-negara
miskin ( Horton, 2003).
II.1.1. Ascariasis
Askariasis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh A.
lumbricoides (cacing gelang) yang hidup di usus halus manusia dan penularannya
seluruh dunia, frekuensi terbesar berada di negara tropis yang lembab, dengan
angka prevalensi kadangkala mencapai di atas 50%. Angka prevalensi dan
intensitas infeksi biasanya paling tinggi pada anak usia 5-15 tahun (Ditjen PP&PL
Dep.Kes. RI, 2005; Bethony dkk, 2006).
Gambar 2. Siklus hidup Ascaris lumbricoides. 1)Cacing dewasa, 2) telur infertil dan telur fertil, 5) larva yang telah menetas, 7) larva matur
(Sumber : http://www.dpd.cdc.gov/dpdx)
Siklus hidup cacing ini membutuhkan waktu empat hingga delapan minggu
untuk menjadi dewasa. Manusia dapat terinfeksi cacing ini karena mengkonsumsi
makanan atau minuman yang terkontaminasi telur cacing yang telah berkembang
usus halus. Selanjutnya larva bergerak menembus pembuluh darah dan limfe usus
mengikuti aliran darah ke hati atau ductus thoracicus menuju ke jantung.
Kemudian larva dipompa ke paru. Larva di paru mencapai alveoli dan tinggal
disitu selama 10 hari untuk berkembang lebih lanjut. Bila larva telah berukuran
1,5 mm, ia mulai bermigrasi ke saluran nafas, ke epiglotis dan kemudian esofagus,
lambung akhirnya kembali ke usus halus dan menjadi dewasa. Umur yang normal
dari cacing dewasa adalah 12 bulan; paling lama bisa lebih dari 20 bulan, cacing
betina dapat memproduksi lebih dari 200.000 telur sehari. Dalam kondisi yang
memungkinkan telur dapat tetap bertahan hidup di tanah selama 17 bulan sampai
beberapa tahun (Beaver dkk, 1984; Markell dkk, 1999; Strikland, G.T. dkk ,
2000).
Infeksi ringan cacing ini biasanya ditandai dengan sedikit gejala atau tanpa
gejala sama sekali. Kelainan patologi yang terjadi, disebabkan oleh dua stadium
sebagai berikut (Beaver dkk, 1984; Markell dkk, 1999; Strikland, G.T. dkk, 2000):
1. Kelainan oleh larva, yaitu berupa efek larva yang bermigrasi di paru
(manifestasi respiratorik). Gejala yang timbul berupa demam, dyspneu,
batuk, malaise bahkan pneumonia. Gejala ini terjadi 4-16 hari setelah
infeksi. Cyanosis dan tachycardia dapat ditemukan pada tahap akhir infeksi.
Semua gejala ini dinamakan Ascaris pneumonia atau Syndroma loffler.
Kelainan ini akan menghilang dalam waktu ± 1 bulan.
2. Kelainan oleh cacing dewasa, berupa efek mekanis yang jika jumlahnya
total. Migrasi yang menyimpang dapat menyebabkan berbagai efek patologi,
tergantung kepada tempat akhir migrasinya. Infeksi Ascaris lumbricoides
dapat menyebabkan gangguan absorbsi beberapa zat gizi; seperti
karbohidrat dan protein, dan cacing ini dapat memetabolisme vitamin A,
sehingga menyebabkan kekurangan gizi, defisiensi vitamin A dan anemia
ringan
II.1.2. Trichuriasis
Trichuriasis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh T. trichiura (cacing
cambuk) yang hidup di usus besar manusia khususnya caecum yang penularannya
melalui tanah. Cacing ini tersebar di seluruh dunia, prevalensinya paling tinggi
berada di daerah panas dan lembab seperti di negara tropis dan juga di
daerah-daerah dengan sanitasi yang buruk, cacing ini jarang dijumpai di daerah-daerah yang
gersang, sangat panas atau sangat dingin. Cacing ini merupakan penyebab infeksi
cacing kedua terbanyak pada manusia di daerah tropis (; Beaver dkk, 1984;
Markell dkk, 1999).
Siklus hidup cacing ini langsung dan menjadi dewasa pada satu inang.
Cacing dewasa masuk ke mukosa caecum dan colon proximal manusia dan dapat
hidup di saluran pencernaan selama bertahun-tahun. Cacing betina diperkirakan
memproduksi lebih dari 1000 telur perhari. Telur yang keluar melalui tinja
menjadi infektif dalam waktu 10-14 hari (lebih kurang tiga minggu) di tanah yang
hangat dan lembab. Manusia mendapat infeksi karena menelan telur infektif dari
larva cacing tumbuh dan berkembang menjadi dewasa dalam waktu 1-3 bulan
setelah infeksi. Telur ditemukan dalam tinja setelah 70-90 hari sejak terinfeksi
(Beaver dkk, 1984; Strikland, G.T. dkk, 2000).
Gambar 3. Siklus hidup Trichuris trichiura. (Sumber : http://www.dpd.cdc.gov/dpdx)
Infeksi ringan pada manusia biasanya tanpa gejala. Kelainan patologi
disebabkan oleh cacing dewasa. Bila jumlah cacing cukup banyak dapat
yang berat menyebabkan nyeri perut, tenesmus, diare berisi darah dan lendir
(disentri), anemia, prolapsus rektum, dan hipoproteinemia. Pada anak, cacing ini
dapat menyebabkan jari tabuh (clubbing fingers) akibat anemia dan gangguan
pertumbuhan (Tanaka dkk, 1980; Beaver dkk, 1984; Strikland, G.T. dkk, 2000).
II.1.3. Infeksi cacing tambang
Infeksi cacing tambang pada manusia disebabkan oleh infeksi parasit cacing
nematoda N. americanus dan Ancylostoma duodenale yang penularannya melalui
kontak dengan tanah yang terkontaminasi. Cacing ini merupakan penyebab infeksi
kronis yang paling sering, dengan jumlah orang yang terinfeksi diperkirakan
mencapai seperempat dari populasi penduduk dunia di negara tropis dan subtropis.
Jumlah penderita infeksi cacing tambang paling banyak dijumpai di Asia,
kemudian diikuti negara-negara sub–Sahara Afrika. N. americanus merupakan
cacing tambang yang paling banyak dijumpai di berbagai belahan dunia,
sedangkan A. duodenale penyebarannya secara geografis sangat terbatas (Tanaka
dkk, 1980; Beaver dkk, 1984; Strikland, G.T. dkk, 2000;).
Cacing dewasa hidup dan melekat pada mukosa jejunum dan bagian atas
ileum. Cacing betina N. americanus dapat memproduksi 10.000 telur sehari
dan A. duodenale memproduksi 20.000 telur sehari. Dalam kondisi yang
memungkinkan; tanah berpasir yang hangat dan lembab, telur di tanah tumbuh
dan berkembang menjadi embrio dalam 24-48 jam pada suhu 23 sampai 30 °C.
Ancylostoma duodenale lebih sering tertular karena tertelan larva filariform dari
pada penetrasi larva tersebut melalui kulit. Selanjutnya cacing ini tumbuh dan
berkembang menjadi cacing dewasa, kawin dan mulai bertelur empat sampai tujuh
minggu setelah terinfeksi. Larva filariform A. duodenale yang tertelan tumbuh dan
berkembang menjadi cacing dewasa tanpa migrasi paru. Cacing dewasa dapat
hidup selama satu tahun (Tanaka dkk, 1980; Beaver dkk, 1984; Strikland, G.T.
dkk, 2000).
.
Gambar 4. Siklus hidup Necator americanus dan Ancylostona duodenale
(Sumber : Strikland, G.T. dkk, 2000 )
Infeksi ringan cacing ini biasanya ditandai dengan sedikit gejala atau tanpa
gejala sama sekali. Pada infeksi yang berat, kelainan patologi yang terjadi,
disebabkan oleh tiga fase sebagai berikut (Tanaka dkk, 1980; Beaver dkk, 1984):
menembus kulit. Larva ini menyebabkan dermatitis yang disebut Ground
itch. Timbul rasa nyeri dan gatal pada tempat penetrasi.
2. Fase pulmonary, berupa efek yang disebabkan oleh migrasi larva dari
pembuluh darah kapiler ke alveolus. Larva ini menyebabkan batuk kering,
asma yang disertai dengan wheezing dan demam.
3. Fase intestinal, berupa efek yang disebabkan oleh perlekatan cacing dewasa
pada mukosa usus halus dan pengisapan darah. Cacing ini dapat mengiritasi
usus halus menyebabkan mual, muntah, nyeri perut, diare, dan feses yang
berdarah dan berlendir. Anemia defisiensi besi dijumpai pada infeksi cacing
tambang kronis akibat kehilangan darah melalui usus akibat dihisap oleh
cacing tersebut di mukosa usus. Jumlah darah yang hilang per hari per satu
ekor cacing adalah 0,03 mL pada infeksi Necator americanus dan 0,15 mL
pada infeksi Ancylostoma duodenale. Jumlah darah yang hilang setiap
harinya adalah 2 mL/1000 telur/gram tinja pada infeksi Necator americanus
dan 5 mL/1000 telur/gram tinja pada infeksi Ancylostoma duodenale,
sehingga kadar hemoglobin dapat turun mencapai level 5 gr/dl atau lebih
rendah. Pada anak, infeksi cacing ini dapat menganggu pertumbuhan fisik
dan mental.
II.2. Pemberantasan Kecacingan
Strategi pemberantasan kecacingan di masyarakat tergantung bagaimana
mempengaruhi transmisi parasit tersebut. Berdasarkan berbagai hasil penelitian,
dapat disimpulkan bahwa prevalensi infeksi soil-transmitted helminths
berhubungan dengan higiene dan sanitasi serta sikap masyarakat. Penggunaan
obat-obat antelmintik saat ini tidak hanya terbatas pada pengobatan infeksi
soil-transmitted helminths yang simptomatis saja, tetapi juga dipakai dalam skala besar
guna mengurangi angka morbiditas pada masyarakat di daerah endemis. Banyak
sekali bukti yang menunjukkankan bahwa infeksi kronis soil-transmitted
helminths dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan, status gizi yang buruk dan
daya kognitif yang rendah pada anak (Bundy dkk, 2002).
II.2.1. Higiene dan sanitasi
Penelitian yang dilakukan oleh Ismid, dkk (1988) dan Margono, dkk (1991)
mendapatkan adanya hubungan yang bermakna antara infeksi soil-transmitted
helminths (infeksi A. lumbricoides) pada anak dan kebersihan pribadi serta
sanitasi lingkungan. Soeripto (1986) pada penelitiannya membuktikan bahwa
pembinaan air bersih, jamban keluarga dan kesehatan lingkungan, sesudah
pengobatan cacing secara massal pada penduduk dapat mengurangi penularan dan
menurunkan prevalensi infeksi soil-transmitted helminths di pedesaan, terutama
pada anak usia kurang dari 10 tahun.
Kebersihan lingkungan dipengaruhi oleh besarnya kontaminasi tanah yang
terjadi. Kontaminasi tanah dengan telur cacing merupakan indikator keberhasilan
dan Holland (2000) untuk jangka panjang, perbaikan higiene dan sanitasi
merupakan cara yang tepat untuk mengurangi infeksi soil-transmitted helminths.
II.2.2. Pengobatan
Pengobatan secara berkala dengan obat antelmintik golongan
benzimidazol pada anak usia sekolah dasar dapat mengurangi dan menjaga
cacing-cacing tersebut berada pada kondisi yang tidak dapat menimbulkan
penyakit (Bundy dkk, 2002). Keuntungan pemberantasan kecacingan secara
berkala pada kelompok anak usia sekolah meliputi :
a. Meningkatkan cadangan besi.
b. Meningkatkan pertumbuhan dan kondisi fisik.
c. Meningkatkan daya kognitif dan tingkat kehadiran sekolah.
d. Mengurangi kemungkinan terkena infeksi sekunder.
Pada anak-anak yang lebih muda, beberapa penelitian menunjukkan keuntungan
berdasarkan indikator nutrisi seperti mengurangi jumlah anak yang kurus,
malnutrisi, perawakan yang pendek dan meningkatkan selera makan (Stephensons
dkk, 1989; Stephensons dkk, 1993; Stoltzfus dkk, 1997) .
Berbagai jenis obat cacing telah dikenal seperti golongan piperazin,
levamisol, pirantel pamoat, oxantel-pirantel pamoat, mebendazol dan yang
terakhir ini adalah albendazol. Pada prinsipnya obat cacing yang baik adalah obat
yang dapat bekerja terhadap berbagai stadium cacing (yaitu telur, larva, dan
dewasa), mempunyai efikasi yang baik untuk semua jenis nematoda usus dan efek
Levamisol hidrokhlorit
Levamisol hidrokhlorit merupakan isomer dari tetramisol. Obat ini
digunakan pada pengobatan infeksi nematoda usus. Dosis tinggi levamisol efektif
mengobati ascariasis (90%) dan sedikit berperan dalam melawan infeksi cacing
tambang. Obat ini bekerja dengan meningkatkan frekuensi aksi potensial dan
menghambat transmisi neuromuskular cacing, sehingga cacing berkontraksi
diikuti dengan paralisis tonik, kemudian mati (Csaky & Barnes, 1984; Girdwood,
1984; Sukarban dan Santoso, 2001).
.
Gambar 5. Struktur kimia levamisol hidrokhlorit (Sumber : Csaky & Barnes, 1984)
Pada pemberian oral, levamisol diserap dengan cepat dan sempurna. Kadar
puncak tercapai dalam waktu 1-2 jam sesudah pemberian dosis tunggal. Dalam
waktu 24 jam, 60% obat dieksresikan bersama urin sebagai metabolit.
Dosis rendah levamisol hanya menyebabkan efek samping ringan pada saluran
cerna dan SSP. Pemakaian untuk waktu yang lama dengan dosis tinggi dapat
menimbulkan efek samping berupa reaksi alergi (rash), neutropenia, dan Flu-like
jarang menimbulkan efek samping (Csaky & Barnes, 1984; Girdwood, 1984;
Sukarban dan Santoso, 2001)
Levamisol tersedia sebagai tablet 25, 40, dan 50 mg yang dapat diberikan
dengan dosis 2,5 mg/kgbb. Pada ascariasis, penderita yang berat badannya lebih
dari 40 kg diberikan dosis tunggal 50-150 mg, anak dengan berat badan 10-19 kg
diberikan dosis tunggal 50 mg dan 100 mg bagi anak yang mempunyai berat
badan 20-39 kg (Sukarban dan Santoso, 2001; Tjay dan Rahardja, 2002).
Mebendazol
Hal yang berbeda dengan obat cacing sebelumnya, mebendazol
dikatakan dapat bekerja pada semua stadium nematoda usus (Abadi, 1985;
Pasaribu, 1989; Chan,1992). Berbagai penelitian telah dilakukan untuk melihat
efikasi mebendazol ini seperti Abadi (1985) pada pemberian mebendazol 500 mg
dosis tunggal mendapat Angka Penyembuhan 93,4%, 77,6%, dan 91,1% untuk
A.lumbricoides, T.trichiura, dan cacing tambang. Adapun pada penelitian yang
dilakukan oleh Albanico, dkk (2003), mendapatkan Angka Penyembuhan
terhadap Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, dan cacing tambang dengan
pemberian mebendazol 500 mg dosis tunggal masing-masing 96,5%, 23%, dan
7,6%.
Mebendazol banyak digunakan sebagai monoterapi untuk pengobatan massal
terhadap penyakit kecacingan dan juga pada infeksi campuran dua atau lebih
cacing. Obat ini bekerja sebagai vermicid, larvicid dan juga ovicid. Walaupun
tiabendazol, mekanisme kerja dan farmakologi keduanya sedikit berbeda.
Mebendazol menyebabkan kerusakan struktur subselular dan menghambat sekresi
asetilkolinesterase cacing. Obat ini juga menghambat sintesis mikrotubulus
nematoda yang mengakibatkan gangguan pada mitosis dan pengambilan glukosa
secara irreversibel sehingga terjadi pengosongan glikogen pada cacing, dan
kemudian cacing akan mati secara perlahan-lahan. Mebendazol juga menimbulkan
sterilitas pada telur cacing T.trichiura, cacing tambang dan A. lumbricoides
sehingga telur ini gagal berkembang menjadi larva. Tetapi larva yang sudah
matang tidak dapat dipengaruhi oleh mebendazol (Pasaribu, 1989; Goldsmith,
1998; Sukarban dan Santoso, 2001).
Mebendazol merupakan antelmintik broadspektrum yang sangat efektif
terhadap cacing gelang, kremi, cambuk dan tambang. Nama kimianya ialah
N-(5-benzoil-2-benzimidazolil) karbamat dengan rumus kimia sebagai berikut:
Gambar 6. Struktur kimia mebendazol (Sumber : Csaky & Barnes, 1984)
Penyerapan mebendazol dari usus setelah pemberian secara oral kurang dari
10%. Obat yang diabsorbsi 90% berikatan dengan protein. Bioavailabilitas
sistemik yang rendah dari mebendazol merupakan dampak dari absorbsinya yang
terutama lewat urin dalam bentuk utuh dan metabolit dekarboksilasi dalam tempo
48 jam. Mebendazol merupakan bentuk obat yang lebih aktif dibandingkan
dengan metabolitnya. Absorbsi ditingkatkan bila obat diberikan bersama makanan
berlemak (Goodman, L.S. & Gilman, A , 1996; Goldsmith, 1998; Sukarban dan
Santoso, 2001).
Mebendazol merupakan obat yang aman, efek samping berupa
gangguan saluran cerna seperti sakit perut dan diare jarang terjadi. Efek samping
mebendazol dosis tinggi berupa reaksi alergi, alopecia, neutropenia reversible,
agranulocytosis, dan hypospermia jarang dijumpai. Obat ini tidak dianjurkan
digunakan pada ibu hamil karena memiliki sifat teratogenik yang potensial dan
bagi anak usia dibawah dua tahun. Pemberian obat ini pada pasien yang
mempunyai riwayat alergi sebelumnya tidak dianjurkan (Goodman, L.S. &
Gilman, A, 1996; Tjay dan Rahardja, 2002).
Mebendazol biasanya diminum secara oral, dosisnya sama pada dewasa dan
anak yang berusia lebih dari 2 tahun. Pada pengobatan ascariasis, trichuriasis dan
infeksi cacing tambang, 100 mg obat diminum pada pagi dan malam hari selama 3
hari berturut-turut atau dengan dosis tunggal 500 mg dan tidak memerlukan
pencahar. Apabila belum sembuh, dosis ini dapat diulang 3 minggu kemudian
(Goodman, L.S. & Gilman, A, 1996; Sukarban dan Santoso, 2001; WHO, 2003).
II.2.3. Resistensi obat pada nematoda
Beberapa tahun belakangan ini, terdapat laporan penelitian yang menunjukkan
dilakukan oleh De Clerecq dkk (1997) melaporkan telah terjadinya kegagalan
mebendazol dalam mengobati infeksi cacing tambang di bagian selatan Mali.
Adapun pada penelitian yang dilakukan oleh Reynoldson dkk (1997) mendapati
efikasi yang sangat rendah dari pirantel pamoat dalam mengobati infeksi cacing
tambang (Ancylostoma duodenale) di daerah Kimberley, Australia Barat laut.
Kedua peneliti tersebut menganggap penyebab penurunan sensitifitas obat dari
cacing tambang mungkin sebagai suatu perubahan genetik dalam kerentanan dari
strain lokal cacing tambang (seperti, bukan akibat seleksi dari tekanan obat) atau
faktor host (seperti diet lokal) yang dapat merubah farmakodinamik obat.
Walaupun interpretasi dan implikasi dari penelitian tersebut masih diperdebatkan,
namun penemuan tersebut telah mendorong peningkatan kewaspadaan akan
potensi permasalahan resistensi antelmintik (RA) pada pengobatan dan
pengendalian infeksi cacing pada manusia.
Pada saat sekarang, RA merupakan permasalahan penyakit yang paling
penting pada industri peternakan domba di Australia, Afrika Selatan dan
kemungkinan di Amerika Selatan (Waller dkk, 1995;Waller dkk, 1996; Van Wyk
dkk, 1997). Tiga puluh tahun yang lalu, banyak ilmuwan menganggap bahwa
fenomena resistensi obat pada cacing-cacing yang menginfeksi hewan di
peternakan tidak penting. Sehingga akhirnya prevalensi RA yang tinggi di atas
50% sekarang dilaporkan di semua bagian dunia untuk cacing gastrointestinal
pada domba, kambing dan kuda yang terdapat di industri peternakan (Geerts dan
Resistensi antelmintik didefinisikan sebagai penurunan sensitivitas suatu
populasi parasit terhadap kerja suatu obat yang diturunkan.(Conder dan Campbell,
1995). Menurut Cerami dan Warren (1994) cacing lebih lambat mengembangkan
resistensi obat dibandingkan dengan agen infeksi lainnya karena cacing
berkembang biak lebih lambat. Namun demikian sikap berhati-hati dalam
mengobati infeksi cacing pada manusia merupakan tindakan yang bijak. RA boleh
jadi belum merupakan permasalah medis, tetapi sedikitnya laporan RA sejauh ini
boleh jadi hanya menggambarkan ujung dari sebuah gunung es. Hal ini
kemungkinan disebabkan oleh dua hal yaitu: a) Kegagalan pengobatan secara
individu sering tidak terdeteksi, ketika sebagian besar infeksi cacing hanya
menyebabkan penyakit subklinis. b) Sekali RA muncul, itu akan sangat cepat
menjadi problem utama baik di klinis maupun pada pengobatan preventif (Geerts
dan Gryseels, 2000)
Obat-obat utama yang digunakan saat ini dalam mengobati nematoda yang
menginfeksi manusia adalah mebendazol, albendazol, pirantel pamoat dan
levamisol untuk nematoda intestinal. Obat-obat tersebut tersedia secara luas di
sebagian besar sistem pelayanan kesehatan sebagai pengobatan kuratif dari
kasus-kasus klinis selama bertahun-tahun. Disamping itu, saat ini antelmintik juga
digunakan sebagai pengobatan preventif pada masyarakat dengan resiko tinggi
penularan (seperti anak usia sekolah dan wanita hamil) yang diberikan secara
berkala (Bundy dan De Silva, 1998; Albanico dkk, 1999).
pertama kali dicatat bahwa penyembuhan sempurna infeksi cacing tambang (dan
kebanyakan infeksi cacing lainnya) biasanya tidak dicapai dengan beberapa obat.
Berdasarkan pada dosis dan tehnik pemeriksaan tinja yang dilakukan, didapatkan
angka penyembuhan yang sama rendah yaitu 61% (400 mg) dan 67% (800 mg)
untuk albendazol, 0% (dosis tunggal) dan 23% (pengulangan dosis) untuk
levamisol, 30% (dosis tunggal) dan 37% ( pengulangan dosis) untuk pirantel
pamoat dan 19% (dosis tunggal) dan 45% (pengulangan dosis) untuk mebendazol
telah dilaporkan (De Silva dkk, 1997; Krepel dkk, 1993).
Paling sedikit ada beberapa populasi cacing tambang memperlihatkan sedikit
toleransi alamiah terhadap paling sedikit satu jenis obat yang digunakan saat ini.
Perbedaan kerentanan dua spesies Ancylostoma duodenale dan Necator
americanus terhadap antelmintik telah dibuktikan. Kemungkinan pengembangan
resistensi terhadap mebendazol pada cacing tambang yang menginfeksi manusia
(penelitian di Mali) sama sekali tidak mengherankan, semenjak benzimidazol
diketahui relatif menjadi selektor yang baik resistensi antelmintik. Pada
cacing-cacing yang menginfeksi ternak, resistensi benzimidazol telah muncul dengan
cepat dan tersebar dengan mudah (Conder dan Campbell, 1995; Ross, 1997).
Hipotesis resistensi obat di Australia diilhami oleh kecurigaan secara klinis
resistensi di sebuah area dimana pirantel pamoat telah digunakan pada masyarakat
untuk jangka waktu yang lama.
Faktor-faktor yang berperan terhadap perkembangan resistensi antelmintik
merupakan sebuah fakta. Beberapa faktor yang berperan terhadap terjadinya
resistensi obat telah diidentifikasi dan diteliti. Faktor-faktor yang berperan
terhadap perkembangan resistensi obat antelmintik yaitu:
a) Frekuensi pengobatan yang tinggi. Pada penelitian Barton (1983) dan Martin dkk (1984) menunjukkan bahwa frekuensi pengobatan yang tinggi
menseleksi resistensi lebih kuat dibandingkan dengan frekuensi pengobatan
yang kurang. Dari penelitian tersebut juga terdapat bukti kuat bahwa
resistensi obat berkembang lebih cepat pada daerah dimana hewan-hewan
diberikan antelmintik secara reguler. Resistensi obat dapat juga terjadi pada
frekuensi pengobatan lebih rendah, khususnya ketika obat yang sama
diberikan selama bertahun-tahun. Beberapa peneliti telah melaporkan
perkembangan resistensi obat terjadi ketika hanya dua atau tiga kali
pengobatan diberikan per tahun (Geerts dkk, 1990; Burger dan Bauer, 1994).
b) Regimen obat tunggal. Seringkali obat tunggal, yang biasanya sangat efektif pada tahun-tahun pertama pengobatan, digunakan secara
terus-menerus sampai obat tersebut menjadi kurang efektif. Pada penelitian yang
dilakukan oleh Geerts dkk (1987) mendapatkan bahwa penggunaan
levamisol dalam waktu yang lama pada ternak juga telah memicu
perkembangan resistensi, walaupun frekuensi pemberian pengobatan
pertahunnya rendah.
memungkinkan cacing resisten heterozigot tetap bertahan hidup (Smith,
1990). Beberapa penelitian laboratorium telah menunjukkan bahwa dosis
yang tidak adekuat terbukti berperan terhadap seleksi resistensi atau
strain-strain yang toleran (Hoekstra dkk, 1997). Penelitian tersebut menunjukkan
bahwa bahwa bioavailabilitas benzimidazol dan levamisol lebih rendah pada
kambing dibandingkan pada domba dan oleh karena itu kambing harus
diobati dengan dosis satu setengah atau dua kali lebih tinggi dari dosis yang
diberikan kepada domba (Hennessy, 1994). Bagaimanapun juga, selama
bertahun-tahun kambing dan domba telah diberikan dosis antelmintik yang
sama. Fakta bahwa RA lebih sering terjadi dan tersebar luas pada kambing
merupakan konsekuensi langsung dari dosis yang tidak adekuat ( Smith dkk,
BAB III
METODOLOGI III.1. Desain Penelitian
Penelitian ini dilakukan secara uji klinis acak tersamar ganda (double blind
randomized trial), dengan memakai desain paralel tanpa pasangan serasi dan
dibagi dalam dua kelompok.
Sebelum anak-anak didaftar masuk dalam penelitian, wali atau orang tua dari
anak-anak di sekolah yang terpilih diberi suatu penjelasan yang menyeluruh
tentang risiko dan keuntungan-keuntungan penelitian dan diminta persetujuan
secara tertulis.
III.2. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan sejak Februari sampai April 2009 diantara
anak-anak yang didaftar dari kelas 1 sampai kelas 6 dari enam Sekolah Dasar Negeri di
Kelurahan Kenangan Kecamatan Percut Sei Tuan, Deli Serdang. Sekolah dipilih
secara acak dari 20 Sekolah Dasar Negeri yang terdapat di kelurahan tersebut.
III.3. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi penelitian ini adalah anak sekolah dasar di Kelurahan Kenangan
Kecamatan Percut Sei Tuan, kelas 1 sampai dengan kelas 6 yang terinfeksi oleh
enam Sekolah Dasar Negeri yang telah terpilih guna mendapatkan jumlah
sampel yang dibutuhkan. Siswa yang dipilih sebagai sampel adalah anak yang
dinyatakan positif terinfeksi oleh soil-transmitted helminths campuran
berdasarkan hasil pemeriksaan tinja di laboratorium dengan metode Kato Katz.
III.4. Etika Penelitian
Penelitian yang melibatkan manusia sebagai subjek penelitian telah dilakukan
sesuai dengan aturan etika penelitian yang diatur dalam Deklarasi Helsinki dan
telah memperoleh ”ethical clearance” dari komite etik dan komite ilmiah
penelitian bidang kesehatan Fakultas Kedokteran USU.
III.5. Kriteria
III.5.1. Kriteria inklusi
a. Subjek penelitian bersedia mengikuti pengobatan yang ditetapkan, yang
dibuktikan dengan surat persetujuan orang tua atau wali.
b. Subjek penelitian dipastikan tidak mengkonsumsi obat cacing 1 bulan
sebelum penelitian ini dilakukan.
c. Selama waktu penelitian, subjek penelitian tidak melakukan pengobatan
(medis atau tradisional) untuk kasus infeksi cacing.
d. Subjek penelitian dalam keadaan sehat (kecuali infeksi cacing) berdasarkan
pemeriksaan dokter.
atau ditemukan bersamaan dengan larva cacing tambang.
III.5.2 Kriteria eksklusi
a. Menolak makan obat.
b. Tidak ikut serta memeriksakan tinja ulang setelah pengobatan pada hari
ke-21 atau dalam 3 hari sesudahnya.
c. Timbul komplikasi atau efek samping yang berat dari obat cacing yang
diberikan.
d. Menderita sakit (diluar kecacingan) yang berat (seperti diare yang berat, atau
demam yang tinggi) atau menderita gizi buruk.
III.6. Perkiraan Besar Sampel
Perkiraan besar sampel ditentukan dengan memakai rumus Uji Hipotesis
Terhadap Dua Proporsi, dan dipakai uji hipotesis dua arah.
n1 = n2 = (zα√2PQ + zβ√P1Q1+P2Q2)2
(P1 – P2)2
Pada peneltian ini telah ditetapkan bahwa:
P1 : Proporsi kesembuhan penderita soil-transmitted helminths (T. trichiura)
dengan mebendazol adalah 23% = 0.23 (dari pustaka).
P2 : Proporsi kesembuhan penderita soil-transmitted helminths (T. trichiura)
dengan terapi kombinasi mebendazol-levamisol dengan perbedaan klinis
P = ½ ( P1 + P2 ) = 0,33 Q = 1 – P = 1 – 0,305 = 0,67
Q1 = 1 – P1 = 0,77 Q2 = 1 – P2 = 0,57
α = 0,05 ( tingkat kepercayaan 95%) Æ zα (dua arah) = 1,96.
β = 0,20 ( power penelitian 80% ) Æ zβ = 0,842.
Dengan memakai rumus di atas maka diperoleh jumlah subyek minimal untuk
masing-masing kelompok adalah sebanyak 86 orang.
III.7. Variabel dan Definisi Operasional
III.7.1. Variabel yang diamati
III.7.1.1. Variabel independen : Pengobatan dengan antelmintik :
a) Mebendazol
b) Kombinasimebendazol-levamisol
III.7.1.2 Variabel dependen : Keberhasilan pengobatan :
a). Angka Penyembuhan
b). Angka Penurunan Jumlah Telur
III.7.2. Definisi Operasional
1. Penderita soil-transmitted helminthiasis campuran adalah individu yang
pada pemeriksaan tinja ditemukan dua jenis telur cacing atau lebih (atau
ditemukan bersamaan dengan larva cacing tambang). Adapun jenis cacing
yang dimaksudkan adalah A. lumbricoides, T. trichiura, dan cacing tambang.
pemberian obat-obat antelmintik tertentu. Obat-obat tersebut diberikan oleh
petugas penelitian dan dikonsumsi langsung oleh penderita di lokasi
penelitian. Adapun obat-obat yang digunakan sebagai bahan eksperimen
dalam penelitian ini sebagai berikut :
a) Regimen pengobatan I, pemberian obat mebendazol 500 mg (Indofarma: blister @ 500 mg) dosis tunggal pada kelompok eksperimen
I, diberikan tanpa memperhatikan berat badan.
b) Regimen pengobatan II, pemberian obat kombinasi mebendazol 500
mg dan levamizol (Askamex®, Konimex: tablet @ 25 mg) 50 mg atau
100 mg atau 150 mg dosis tunggal pada kelompok eksperimen II. Pada
anak yang mempunyai berat badan 10-20 kg diberikan obat mebendazol
500 mg dan levamizol 50 mg. Adapun anak yang mempunyai berat
badan 21-40 kg diberikan obat mebendazol 500 mg dan levamizol 100
mg atau levamisol 150 mg bila berat badan anak >40 kg.
3. Keberhasilan pengobatan (variabel dependen) adalah kemampuan obat yang
diberikan untuk menurunkan intensitas infeksi menjadi lebih ringan
daripada sebelum pengobatan atau sembuh. Keberhasilan pengobatan
digambarkan dalam bentuk Angka penyembuhan dan Angka penurunan
jumlah telur.
4. Intensitas infeksi adalah distribusi jumlah telur per gram tinja yang
menunjukkan beratnya infeksi. Intensitas infeksi digolongkan atas ringan,
intensitas infeksi dari A.lumbricoides, T.trichiura dan cacing tambang
sesuai dengan ketentuan WHO (Montresor et al, 1998).
Tabel 2.Klasifikasi intensitas infeksi berdasarkan jumlah telur per gram (tpg)
Intensitas infeksi ( Jumlah telur /gram) Macam cacing
Ringan Sedang Berat
A. lumbricoides 1 – 4999 5000 – 49 999 ≥ 50 000
T. trichiura 1 – 999 1000 – 9 999 ≥ 10 000
Cacing tambang 1 – 1999 2000 – 3999 ≥ 4000
Intensitas infeksi dalam kelompok dinyatakan dalam bentuk:
Rata-rata Telur Per Gram (RTPG) dihitung sebagai mean aritmatik
Mean aritmatik =
∑
tpg
N
Keterangan∑tpg = Jumlah semua telur per gram dari setiap individu N = Jumlah orang yang diperiksa tinjanya
5. Prevalensi infeksi adalah jumlah orang yang terinfeksi dalam suatu populasi
Rumus yang digunakan untuk menghitung prevalensi infeksi pada populasi:
Keterangan
N+ = Jumlah orang yang positif terinfeksi oleh STH pada pemeriksaan sebelum pengobatan
N = Jumlah orang yang diperiksa tinjanya
Prevalensi = (N
+/ N) x 100
adalah persentase penurunan jumlah telur yang disebabkan oleh
pengobatan (Albanico, M., Bickle, Q., and et al, 2003).
Persentase penurunan jumlah telur diperkirakan berdasarkan rumus:
% penurunan TPG = ( RTPG
H0– RTPG
H21) X 100
( RTPG
H0)
Keterangan
RTPGH0 = Rata-rata jumlah telur per gram sebelum pengobatan RTPGH21 = Rata-rata jumlah telur pada hari ke-21 setelah pengobatan. 7. Sembuh adalah apabila pada pemeriksaan tinja setelah pengobatan tidak
ditemukan lagi telur cacing.
8. Angka Penyembuhan (AP) adalah persentase anak yang mempunyai jumlah
telur negatif setelah pengobatan dari anak-anak dengan jumlah telur > 0
sebelum pengobatan (Albanico, M., Bickle, Q., and et al, 2003).
AP = (n
21 --/ n
+) X 100
Keterangan
n21-- = Banyaknya orang yang mempunyai jumlah telur negatif pada hari ke-21 setelah pengobatan
n+ = Banyaknya orang dengan jumlah telur > 0 sebelum pengobatan. 9. Metode Kato-Katz adalah metode yang digunakan untuk pemeriksaan rutin
telur cacing secara kuantitatip.
10. Status gizi ditentukan dengan cara antropometri, berpatokan pada baku
WHO (NCHS-WHO). Klasifikasi status gizi ditentukan dengan
menggunakan berat badan menurut tinggi badan yang dibandingkan dengan
baku (median) menurut umur dan jenis kelamin. Tinggi badan diukur
dengan menggunakan microtoise yang memiliki ketepatan pengukuran pada
skala 0,1 cm dan berat badan diukur dengan menggunakan timbangan
Camry.
Tabel 3. Klasifikasi status gizi ( Waterlow, 1973 )
Indeks Status Gizi Keterangan
Berat badan lebih > 110%
Gizi-baik 110% - 90%
Gizi kurang < 90% - 70%
Berat badan menurut tinggi badan (BB/TB)
Gizi buruk < 70%
III.8. Cara Kerja
Dua minggu sebelum tanggal pengobatan yang dijadwalkan, wali atau orang
tua dari anak-anak di sekolah yang terpilih diberikan suatu penjelasan yang
menyeluruh tentang penelitian, dan diminta persetujuan secara tertulis. Anak-anak
yang telah didaftar diberikan sebuah wadah untuk membawa contoh tinja segar
pada keesokan harinya. Pemeriksaan tinja secara kualitatif dan kuantitatif dengan
metode Kato-Katz (terlampir) dilakukan di laboratorium Parasitologi Fakultas
Kedokteran, Universitas Islam Sumatera Utara, Medan. Anak-anak yang positif
laboratorium dipilih secara random untuk penelitian. Anak yang terpilih sebagai
sampel penelitian, tinjanya akan dianalisa lebih lanjut. Sampel anak dipilih secara
acak di mana setiap anak bernomor urut ganjil dimasukkan dalam kelompok I dan
anak bernomor urut genap dimasukkan dalam kelompok II. Selanjutnya anak-anak
yang masuk dalam kelompok II dibagi lagi berdasarkan berat badan (kelompok
yang berat badannya 10-20 kg, 21-40 kg dan >40 kg).
III.8.1. Pengobatan
Pada hari pemberian pengobatan, setiap anak pada kelompok I diberi satu
tablet mebendazol 500 mg tanpa memperhatikan berat badan. Pada kelompok II di
mana anak-anak yang mempunyai berat badan 10-20 kg menerima satu tablet
mebendazol 500 mg dan 2 tablet levamisol 25 mg, dan yang lain untuk anak yang
berat badannya 21-40 kg, menerima satu tablet mebendazol 500 mg dan 4 tablet
levamisol 25 mg atau satu tablet mebendazol 500 mg dan 6 tablet levamisol 25
mg bila berat badan anak >40 kg. Obat-obat yang diberi ditempatkan pada wadah
yang disegel dan telah diberi kode dengan nomor dan nama. Anak-anak
diidentifikasi berdasarkan nomor-nomor ini selama penelitian.
Selama tiga hari berturut-turut, tiap anak ditanya dan dicatat gejala atau efek
samping yang mungkin timbul setelah pengobatan dan pencatatan dimulai sehari
sesudah pengobatan. Orang tua dan anak diminta melapor kepada guru atau
merujuk pada pusat kesehatan yang paling dekat bila timbul efek samping yang
III.8.2. Pemeriksaan tinja
Pemeriksaan tinja ulang dilakukan pada hari ke-21 setelah pengobatan. Anak
yang tidak membawa contoh tinja pada hari ke-21 tetap akan diperiksa tinjanya
sampai hari ke-24. Pemeriksaan tinja dilakukan secara kuantitatif dengan metode
Kato-Katz di laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Islam
Sumatera Utara.
Pemeriksa laboratorium dibutakan, sehingga analis yang memeriksa sediaan
tinja tidak mengetahui obat yang diterima oleh pasien. Sediaan tinja diperiksa
dalam satu jam persiapan untuk menghindari perembesan warna reagensia ke
dalam telur. Perbandingan jumlah telur cacing sebelum dan setelah pengobatan
dikalkulasi untuk menilai Angka Penyembuhan (AP) atau Cure Rate (CR) dan
Angka Penurunan Jumlah Telur (APJT) atau Egg Reduction Rate (ARR).
III.9. Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan sebagai berikut:
1) Uji Kai kuadrat, digunakan untuk menganalisis perbedaan kesembuhan
antara kelompok yang mendapat pengobatan tunggal mebendazol dengan
kelompok yang mendapat pengobatan kombinasi mebendazol-levamisol.
2) Uji t independen, digunakan untuk menganalisis perbedaan jumlah rerata
telur cacing antara kelompok yang mendapat pengobatan tunggal
mebendazol dan kelompok yang mendapat pengobatan kombinasi
berdistribusi normal dilakukan uji Mann-Whitney.
3) Untuk menganalisis perbedaan jumlah rerata telur cacing pada setiap
kelompok sebelum dan sesudah pengobatan digunakan uji t berpasangan.
Bila data tidak berdistribusi normal dilakukan uji Wilcoxon Sign.
Perhitungan statistik diselesaikan dengan menggunakan program SPSS 11,5. Hasil
III.10. Kerangka Kerja
Pemeriksaan tinja dengan metode Kato-Kazt Populasi terjangkau
Soil-transmitted helminthiasis campuran
Kriteria Inklusi Kriteria Eksklusi
Randomisasi
Pengobatan dengan antelmintik
Mebendazol 500 mg + levamisol 50 mg / 100
mg dosis tunggal
Keberhasilan pengobatan
Telur cacing pada tinja Pemeriksaan tinja pada hari ke-21 setelah pengobatan dengan metode
Kato-Katz Mebendazol 500 mg
dosis tunggal