ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
TINGKAT
UNDERPRICING
HARGA SAHAM PADA
PERUSAHAAN YANG MELAKUKAN IPO DI BURSA EFEK
INDONESIA PERIODE 2010-2014
Skripsi
Disusun oleh
Ari Suryawan
1111081000056
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. IDENTITAS PRIBADI
1. Nama : Ari Suryawan
2. Tempat, Tanggal Lahir : Wonogiri, 17 April 1993
3. Jenis Kelamin : Laki-laki
4. Alamat : Jl. Al-Baidho Gg. Makmur 1 No. 7 RT 12/RW
09, Kelurahan Lubang Buaya, Kecamatan
Cipayung, Jakarta Timur. 13810
5. Agama : Islam
6. Kewarganegaraan : Indonesia
7. Nama Ayah : Suryadi
8. Nama Ibu : Sukiyem
9. Anak ke dari : 2 dari 2 bersaudara
10.No. Telp : 08999108120
11.Email : arisuryaawan@gmail.com
II. PENDIDIKAN
1. SDN 09 Lubang Buaya, Jakarta Timur Tahun 1999-2005
2. SMPN 81 Lubang Buaya, Jakarta Timur Tahun 2005-2008
3. SMAN 62 Kramat Jati, Jakarta Timur Tahun 2008-2011
ABSTRACT
Underpricing has become a phenomenon at the time when companies do an IPO. Underpricing is a phenomenon in which the offer of price in primary market is lower than the closing price in secondary market. This study aims to analyze the factors that influence the level of stock price underpricing of IPO companies in Indonesia Stock Exchange within 2010-2014. This study uses 6 variables; company age, company size, CR, DER, ROE and EPS. The data analysis use multiple regression method and the samples of this study use purposive sampling method with the amount of samples are 38 companies from 124 companies that do an IPO in Indonesia Stock Exchange within 2010-2014. The research results show that all of the independent variables; company age, company size, CR, DER, ROE and EPS simultaneously have value significant 0,000 influence toward underpricing. In the other hand, partially, only company age with value significant 0,000 , company size with value significant 0,000 and DER with value significant 0,050 as independent variables have influence significantly while other independent variables such as CR, ROE and EPS don’t have influence significantly toward underpricing.
ABSTRAK
Underpricing telah menjadi fenomena tersendiri pada saat perusahaan melakukan IPO. Underpricing adalah suatu fenomena dimana harga penawaran di pasar perdana lebih rendah dibandingkan harga penutupan di pasar sekunder. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat underpricing harga saham perusahaan IPO di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada periode 2010-2014. Penelitian ini menggunakan 6 variabel bebas yaitu umur perusahaan, ukuran perusahaan, CR, DER, ROE dan EPS. Analisis data dilakukan menggunakan metode regresi berganda dan penarikan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling dengan jumlah sampel sebanyak 38 dari 124 perusahaan yang IPO di BEI dari tahun 2010-2014. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa secara simultan seluruh variabel independen yaitu umur perusahaan, ukuran perusahaan, CR, DER, ROE dan EPS berpengaruh secara signifikan dengan nilai 0,000 terhadap underpricing. Sedangkan secara parsial hanya variabel independen umur perusahaan dengan nilai signifikan 0,000, ukuran perusahaan dengan nilai signifikan 0,000 dan DER dengan nilai signifikan 0,050 yang berpengaruh secara signifikan terhadap underpricing namun variabel independen lainnya yaitu CR, ROE, dan EPS tidak berpengaruh secara signifikan terhadap underpricing.
Kata Pengantar
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya kepada penulis. Shalawat serta salam penulis curahkan kepada
pemimpin umat Nabi Besar Muhammad SAW, beserta keluarga, para sahabat,
danpengikutnya hingga akhir zaman.
Penulis sangat bersyukur dapat menyelesaikan skripsi ini, sebab
dalampenyelesaian skripsi ini penulis banyak mendapat kesulitan. Akan tetapi
berkatbantuan, bimbingan, dukungan, serta doa yang penulis dapatkan dari berbagai
pihakakhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Oleh karena itu,
pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Kedua orang tua yang sangat penulis cintai, Ibunda Sukiyem dan Ayahanda
Suryadi, yang dengan tulus dan ikhlas memberikan rasa kasih sayang, dukungan,
perhatian, serta doa-doanya yang tiada henti kepada penulis.
2. Bapak Dr. Arief Mufraini, LC., M.Si selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Titi Dewi Warninda, M. SI selaku Ketua Jurusan Manajemen Fakultas
Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Dr. Indo Yama Nasaruddin, SE., MAB selaku dosen pembimbing I yang
telah bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan,
arahan,dukungan, motivasi, serta doa kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi
ini. Terima kasih banyak karena bapak tidak pernah bosan mendengarkan
berbagai keluhan penulis dan selalu memberikan solusi dalam menyelesaikan
skripsi ini.
5. Bapak Faizul Mubarok, MM selaku dosen pembimbing II yang telah bersedia
meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis
masukan yang bapak berikan, karena saran dan masukan tersebut sangat
bermanfaat bagi penulis.
6. Seluruh dosen pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah banyak memberikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis.
7. Seluruh staf karyawan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak
memberikan bantuan kepada penulis dalam hal administrasi dan lain-lain.
8. Teman-teman yang saya cintai Agesti Kusumandari dan seperjuangan, Abdul
Azis, Aditya Rian Pratama, Akbar Faizal Perwira, Yudho Wijoseno, Musyrifah
Ratnasari, Siti Syifa, Siti Asiah, Bingah Pangesti, Suci Romadona, Brian Nur
Pratama, Taufan Chaerul, Hilman Azmi, Galih Pangestu, dan teman-teman
lainnya dari manajemen 2011, manajemen B, manajemen keuangan, grup share
everything, yang tidak bisa disebutkan satu per satu yang banyak memberikan
bantuan dan dukungan kepada penulis serta kegembiraan yang dapat
menghilangkan rasa penat dalam penyelesaian skripsi ini.
9. Semua pihak yang terlibat membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini
yang tidak dapat disebutkan satu per satu, dengan segala kerendahan hati penulis
mengucapkan terima kasih.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kata sempurna.
Semua ketidaksempurnaan yang timbul disebabkan oleh keterbatasan kemampuan
maupun pengetahuan yang dimiliki penulis. Maka dari itu, pada kesempatan ini
penulis berharap pembaca sekalian dapat memaklumi apabila banyak ditemukan
kesalahan, kekurangan, ataupun kelemahan yang ditemukan dalam skripsi ini. Penulis
juga mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk melakukan langkah
perbaikan. Akhirnya hanya kepada Allah SWT penulis menyerahkan segala urusan
ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian maupun bagi penulis.
Jakarta, 15 Desember 2015
DAFTAR ISI
Halaman Judul ... i
Lembar Pengasahan Skripsi ... ii
Lembar Pengesahan Ujian Komprehensif ... iii
Lembar Pengesahan Ujian Skripsi ... iv
Lembar Pernyataan Keaslian Karya Ilmiah ... v
B. Tehnik Penentuan Sampel ... 45
C. Metode Pengumpulan Data ... 49
D. Tehnik Analisis Data ... 50
E. Operasional Variabel Penelitian ... 60
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN ... 65
A. Gambaran Umum Objek Penelitian ... 65
1. Sejarah Singkat BEI ... 65
2. Sekilas Tentang KSEI ... 67
3. Sekilas Tentang KPEI ... 68
4. Daftar 38 Perusahaan Sampel Penelitian ... 69
B. Analisis Deskriptif ... 70
1. Umur Perusahaan ... 70
2. Ukuran Perusahaan ... 71
3. CR (Current Ratio) ... 73
4. DER (Debt to Equity Ratio) ... 75
5. ROE (Return on Equity) ... 77
6. EPS (Earning per Share) ... 79
7. Underpricing ... 81
C. Hasil Analisis Regresi Linier Berganda ... 83
1. Hasil Uji Asumsi Klasik ... 83
2. Pengaruh Variabel Independen Secara Simultan Terhadap Variabel Dependen ... 90
3. Pengaruh Variabel Independen Secara Parsial Terhadap Variabel Dependen ... 91
4. Koefisien Determinasi (Adjusted R2) ... 95
D. Interpretasi Hasil Penelitian ... 96
BAB V PENUTUP ... 102
A. Kesimpulan ... 102
B. Implikasi ... 103
C. Saran ... 104
DAFTAR PUSTAKA ... 105
DAFTAR TABEL
No. Keterangan Halaman
1.1 Perkembangan IPO Tahun 2010 – Agustus 2015 ... 6
2.1 Penelitian Terdahulu ... 37
3.1 Metode Pengambilan Sampel ... 47
3.2 Daftar Sampel Penelitian... 48
3.3 Pengambilan Keputusan Korelasi ... 53
4.1 38 Perusahaan yang Menjadi Sampel Penelitian ... 69
4.2 Nilai Ukuran Perusahaan ... 71
4.3 Nilai CR (Current Ratio) ... 73
4.4 Nilai DER (Debt to Equity Ratio) ... 75
4.5 Nilai ROE (Return on Equity) ... 77
4.6 Nilai EPS (Earning per Share) ... 79
4.7 Nilai Underpricing ... 81
4.8 Uji Kolmogorov-Smirnov ... 84
4.9 Uji Multikoliniaritas ... 85
4.10 Output Durbin-Watson ... 86
4.11 Run Test ... 87
4.12 Uji Park ... 89
4.13 Uji F ... 90
4.14 Uji t ... 91
DAFTAR GAMBAR
No. Keterangan Halaman
1.1 Persentase Perusahaan yang Mengalami Underpricing 2010-2015... 7
2.1 Proses Emisi Efek ... 21
2.2 Gambar Kerangka Pemikiran ... 43
4.1 Struktur Pasar Modal Indonesia ... 66
4.2 Grafik Normal Probability Plot ... 83
4.3 Scatterplot ... 88
DAFTAR LAMPIRAN
No. Keterangan Halaman
1 Perusahaan yang Menjadi Sampel Penelitian ... 108
2 Umur Perusahaan yang Menjadi Sampel Penelitian ... 109
3 Ukuran Perusahaan yang Menjadi Sampel Penelitian ... 110
4 Current Ratio Perusahaan yang Menjadi Sampel Penelitian ... 111
5 Debt to Equity Ratio Perusahaan yang Menjadi Sampel Penelitian ... 112
6 Return on Equity Perusahaan yang Menjadi Sampel Penelitian ... 113
7 Earning per Share Perusahaan yang Menjadi Sampel Penelitian ... 114
8 Underpricing Perusahaan yang Menjadi Sampel Penelitian ... 115
9 Hasil Uji Asumsi Klasik ... 116
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang MasalahDi zaman globalisasi ini visi dan misi perusahaan tentunya akan terus mengalami
perkembangan guna mencapai keberhasilan perusahaan. Maka dari itu perusahaan
tentunya membutuhkan modal untuk pendanaan yang bisa membantu dalam tahap
pengembangan perusahaan tersebut. Yaitu salah satunya bersumber dari Pasar Modal.
Menurut Riyanto (2013:219) ada 3 sumber extern pendanaan yang utama bagi
perusahaan yaitu Suplier, Bank, Pasar Modal. Pasar Modal (Capital Market) adalah
suatu pengertian abstrak yang mempertemukan dua kelompok yang saling
berhadapan tetapi yang kepentingannya saling mengisi, yaitu calon pemodal
(investor) di satu pihak dan emiten yang membutuhkan dana jangka menengah atau
jangka panjang. Dimaksudkan dengan pemodal adalah perorangan atau lembaga yang
menanamkan dananya dalam efek, sedangkan emiten adalah perusahaan yang
menerbitkan efek untuk ditawarkan kepada masyarakat (go public).
Menurut Brigham dan Houston (2010:190) Pasar Modal adalah Pasar keuangan
untuk saham dan utang jangka panjang dan hutang jangka menengah atau jangka
panjang panjang satu tahun lebih. Sedangkan Going Public adalah kegiatan menjual
saham kepada masyarakat luas yang dilakukan oleh perusahaan korporasi atau
Siamat (2005:487) Pasar Modal dalam arti sempit adalah suatu tempat yang
terorganisasi di mana efek-efek diperdagangkan yang disebut Bursa Efek. Bursa efek
atau stock exchange adalah suatu system yang terorganisasi yang mempertemukan
penjual dan pembeli efek yang dilakukan baik secara langsung maupun dengan
melalui wakil-wakilnya. Fungsi Bursa Efek ini antara lain adalah menjaga kontinuitas
pasar dan menciptakan harga efek yang wajar melalui mekanisme permintaan dan
penawaran.
Proses penawaran saham perdana kepada publik melalui pasar perdana dikenal
dengan istilah Initial Public Offering (IPO) selanjutnya saham dapat diperjual belikan
pada pasar sekunder dibursa efek. Harga saham pada pasar perdana ditentukan oleh
kesepakatan antara perusahaan emiten dengan underwriter (penjamin emisi saham)
yang telah ditunjuk oleh perusahaan emiten,sedangkan harga saham pada saham
sekunder ditentukan oleh mekanisme pasar (permintaan dan penawaran) menurut
Risqi dan Harto (2013).
Pasar modal dalam bentuk konkrit berupa Bursa Efek (securities / stock
exchange). Bursa efek sebenarnya sama dengan pasar-pasar lainnya yaitu tempat
bertemunya penjual dan pembeli, hanya yang diperdagangkan adalah efek. Di
Indonesia terdapat Bursa Efek Indonesia (disingkat BEI, atau Indonesia Stock
Exchange (IDX). Demi efektivitas operasional dan transaksi, Pemerintah
memutuskan untuk menggabung Bursa Efek Jakarta sebagai pasar saham dengan
Bursa Efek Surabaya sebagai pasar obligasi dan derivatif. Bursa hasil penggabungan
Setiap perusahaan yang akan melakukan IPO harus melalui proses-proses
terlebih dahulu, dimana proses tersebut membutuhkan waktu yang panjang
(Manurung, 2013 : 32). Tahapan pertama yang harus ditempuh adanya kesepakatan
antara direksi perusahaan, dimana kesepakatan ini melalui sebuah rapat yang dikenal
dengan rapat direksi guna mendapatkan kesepakatan atau keputusan diantara direksi
guna mendapatkan kesepakatan ini melalui sebuah rapat yang dikenal dengan rapat
direksi dalam kerangka kekompakan dan dukungan semua pihak untuk terlaksananya
proses IPO yang direncanakan. Selanjutnya, setelah mendapatkan persetujuan pada
rapat Direksi dan Komisaris maka keinginan penawaran saham ke publik harus
mendapatkan persetujuan dari Rapat Pemegang Umum Saham (RUPS) karena RUPS
merupakan organ tertinggi didalam perusahaan.
Tahap ketiga membentuk IPO terlaksana dimana pihak yang harus ada dalam tim
tersebut yaitu akuntansi, hukum, corporate finance, dan bidang lain yang dianggap
perlu seperti pemasaran, produksi, dan logistic perusahaan. Tahap keempat yaitu
melakukan penunjukan kepada pihak-pihak yang berpartisipasi untuk IPO
perusahaan. Adapun pihak yang berpartisipasi dalam IPO yaitu perusahaan penjamin
emisi saham atau yang lebih dikenal dengan Sekuritas, Akuntan Publik, Konsultasi
Hukum, Penilaian, Biro Administrasi Efek, Notaris dan Konsultan Keuangan. Tahap
kelima yaitu melakukan penawaran saham ke publik dengan bantuan semua pihak
Namun sebelumnya perusahaan harus melakukan pendaftaran ke BAPEPAM.
Perusahaan juga harus melakukan pendaftaran bursa untuk mendapatkan surat dari
Bursa Efek Indonesia yang menyatakan bahwa saham perusahaan bisa
diperdagangkan dibursa. Tahap keenam yaitu saham perusahaan diperdagangkan
sejak hari pertama saham dicatatkan dibursa.
Riyanto (2013 : 220) Adapun fungsi dari BAPEPAM tersebut dalam Keppres
No, 53. Tahun 1990 Tentang Pasar Modal yaitu :
1. Mengikuti perkembangan dan mengatur pasar modal sehingga efek dapat
ditawarkan dan diperdagangkan secara teratur, wajar dan efisien serta
melindungi kepentingan pemodal dan masyrakat umum.
2. Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap lembaga-lembaga seperti
; Bursa Efek dan Lembaga Kliring Penyelesaian dan Penyimpanan, Reksa
Dana (Investmen Fund), Perusahaan Efek, Lembaga Penunjang Pasar
Modal, dan
3. Memberikan pendapat kepada Menteri Keuangan mengenai Pasar Modal
Setelah perusahaan melakukan proses-proses untuk melakukan IPO, perusahaan
juga harus mengetahui terlebih dahulu apa saja syarat yang harus dipenuhi oleh
perusahaan. Bursa Efek Indonesia mensyaratkan beberapa ukuran yang harus
dipenuhi agar saham perusahaan dapat ditransaksikan di bursa (Manurung, 2013 :
37). Adapun syarat tersebut yaitu perusahaan harus telah beroperasi
sekurang-kurangnya lima milyar rupiah, memiliki laporan keuangan yang diaudit, menjual
Setelah semua tahapan dan syarat-syarat telah dipenuhi, berarti proses IPO siap
dilaksanakan. Harga saham yang akan dijual perusahaan dipasar perdana adalah hasil
kesepakatan antara emiten dan underwriter sedangkan harga dipasar sekunder adalah
hasil dari mekanisme pasar yaitu permintaan dan penawaran. Penentuan harga saham
pada saat IPO adalah hal yang penting bagi emiten maupun bagi underwriter , karena
hal ini berkaitan dengan dengan berapa banyak dana yang akan dihasilkan emiten
pada saat IPO.
Menurut Lestari, Hidayat, dan Sulasmiyati (2015) underpricing sebagai kondisi
dimana harga penawaran pada saat IPO dinilai lebih rendah secara signifikan
dibandingkan harga saham pada saat penutupan hari pertama di pasar sekunder.
Hipotesis yang dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena underpricing
adalah signaling hypothesis. Allen dan Faulhaber (1989), Grinblatt dan Hwang
(1989), Welch (1989) , Chemmanur (1993) dan Faugeron-Crouzet et al. (2003) dalam
Lestari, Hidayat dan Sulasmiyati (2015) mengungkapkan bahwa emiten
menggunakan harga penawaran perdana sebagai sinyal yang diberikan atas situasi
asimetri informasi, dimana pihak pemilik pertama perusahaan lebih mengetahui
keadaan perusahaan dibandingkan dengan investor. Emiten sengaja menetapkan
harga perdana saham yang underpricing, agar sinyal positif dapat diberikan kepada
investor bahwa kebutuhan total modal emiten dapat terpenuhi meskipun dalam
Fenomena underpricing terjadi di pasar modal berbagai negara diantaranya
Amerika Serikat, Inggris, Australia, Afrika Selatan, China, Malaysia dan Indonesia.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Pusat Referensi Pasar Modal (PRPM) dan situs
www.idx.com peneliti mendapatkan hasil perkembangan untuk perkembangan
underpricing Di Indonesia pada peridode 2010 – Agustus 2015.
Tabel 1.1
Perkembangan IPO Tahun 2010 – Agustus 2015 di Indonesia
Tahun Perusahaan IPO Underpricing
2010 23 22
2011 25 17
2012 22 20
2013 30 21
2014 23 21
Agustus 2015 11 11
Total 134 112
Sumber www.idx.co.id data diolah
Dari (Tabel 1.1) tercatat 134 perusahaan melakukan IPO pada tahun 2010
sampai dengan Agustus 2015, dari data 134 yang kami peroleh, sebanyak 134
perusahaan yang melakukan IPO pada kurun waktu tersebut, 112 saham perusahaan
diantaranya mengalami underpricing dan 22 saham perusahaan lainnya mengalami
fair ataupun overpricing, atau dapat dikatakan masih banyak perusahaan go public
sejak tahun 2010 hingga Agustus 2015 yang mengalami underpricing, sehingga
underpricing merupakan kategori fenomena yang sering masih sering terjadi setiap
tahunya berdasarkan tabel 1.1 diatas, pada saat perusahaan melakukan IPO (Initial
Public Offering) adapun grafik jumlah perusahaan yang mengalami underpricing
Gambar 1.1
Sumber www.idx.co.id data diolah
Dari (Gambar 1.1) tercatat grafik perusahaan yang mengalami underpricing dari
tahun 2010 - Agustus 2015 yang tercatat di www.idx.co.id, dimana tahun tersebut
hampir seluruh perusahaan yang melakukan IPO mengalami underpricing. Pada
tahun 2010 sekitar 95,65% perusahaan mengalami underpricing dimana pada tahun
tersebut terdapat total 23 perusahaan yang melakukan IPO, pada tahun 2011 sekitar
68% perusahaan mengalami underpricing dengan total perusahaan yang melakukan
IPO yaitu 25 perusahaan, pada tahun 2012 sekitar 90,91% perusahaan mengalami
underpricing dari total seluruh perusahaan yang melakukan IPO yaitu 22 perusahaan,
pada tahun 2013 sekitar 70% perusahaan mengalami underpricing dari total seluruh
perusahaan yang melakukan IPO yaitu 30 perusahaan, pada tahun 2014 sekitar
91,30% perusahaan mengalami underpricing dari total seluruh perusahaan yang
melakukan IPO yaitu 23 perusahaan, kemudian pada Agustus 2015 sekitar 100%
mengalami underpricing dari total seluruh perusahaan yang melakukan IPO yaitu 11
perusahaan.
0% 20% 40% 60% 80% 100% 120%
2010 2011 2012 2013 2014 2015
Dari grafik tersebut dapat dikatakan bahwa sekitar 83.58% perusahaan yang go
public (IPO) sejak tahun 2010 hingga Agustus 2015 mengalami underpricing,
Banyaknya fenomena underpricing yang terjadi menunjukkan bahwa harga saham
pada saat penawaran perdana di Indonesia pada periode tersebut secara rata-rata dapat
dikatakan murah..
Polemik kasus mengenai underpricing IPO yang terjadi pada tahun 2010, yaitu
tentang IPO PT Krakatau Steel TBK, soal penetapan harga IPO. Menurut Romli
(2010) Proses IPO BUMN tak jarang hanya menciptakan gaung besar dalam wacana
publik yang sesungguhnya tidak memberikan nilai tambah bagi perusahaan. Setelah
melalui berbagai proses IPO, KS akhirnya resmi melantai di bursa dan tercatat
sebagai emiten ke-413 dengan ticker KRAS pada 10 November 2010.
Pada Tahun 2010 IPO KS masih meninggalkan polemik. Salah satu yang
dipersoalkan adalah penetapan harga saham perdana KS sebesar Rp850 yang
dianggap terlalu murah dan ditengarai berbau kepentingan politis.Terlebih, setelah
harga saham KS melonjak tajam di awal perdagangannya dan menciptakan gain besar
bagi investor asing.
Dalam proses IPO, salah satu tahapan yang paling sulit adalah penetapan harga
saham perdana (offering price) yang sesuai harga pasarnya. Ini terbukti dari kenaikan
harganya secara tajam setelah melantai di bursa. Hasil riset Jay Ritter, seorang
Profesor Finance di Universitas Florida, menunjukkan dari 7.921 kasus IPO di AS
dalam kurun waktu 1975 hingga 2007 ditemukan rata-rata harga sahamnya naik 17,2
Di Indonesia,dari 321 kasus IPO sepanjang 1989-2007, rata-rata harga sahamnya
naik 21,1 persen pada hari pertama perdagangannya. Untuk saham KS,pada hari
pertama perdagangan ditutup pada level Rp1.270 per lembarnya atau melonjak tajam
49,4 persen. Ini artinya, kenaikan harga saham KS jauh lebih tinggi ketimbang
rata-rata hasil riset di atas dan menjadi indikator bahwa harga saham perdana KS memang
terlalu murah. Lantaran KS adalah BUMN, tentu ini menciptakan potential loss bagi
KS itu sendiri dan keuangan negara. Satu pembelajaran berharga dari kasus IPO KS
adalah bargaining power pemerintah dalam penetapan harga saham perdana KS
tampak masih lemah dan terkesan lebih mengutamakan kepentingan investor
ketimbang kepentingan KS sebagai korporasi yang membutuhkan dana.
Dalam proses bookbuilding IPO KS,pembentukan harga berada pada kisaran
Rp850-1.150, namun mengapa harga yang diambil adalah harga terendah meski
penjualan KS saat ini sangat didukung sejumlah faktor positif baik berupa kekuatan
(strength) maupun peluang (opportunity) yaitu: Pertama, KS dijual dalam performa
terbaiknya. Sejak 2007 hingga 2010, kinerja finansial KS terus membaik secara
signifikan. Hingga semester I-2010 saja KS sudah membukukan laba Rp997,75 miliar
atau naik fantastis 190,70 persen jika dibandingkan periode yang sama tahun
sebelumnya yang masih merugi Rp1,1 triliun. Hingga akhir 2010 diperkirakan laba
bersih KS mencapai Rp1,5-2 triliun. Sementara pada 2014, korporasi menargetkan
EBITDA akan tumbuh hingga 21,12 persen. Dari pendekatan manajemen strategik,
kondisi korporasi saat ini boleh dibilang berada pada fase growth and expansion
Pada fase ini,nilai saham korporasi seharusnya dijual pada level lebih tinggi
ketimbang fase normalnya; Kedua, hasil rilis World Steel Association di Brussel,
Belgia menyebutkan, pada 2010 permintaan baja dunia meningkat 13,1 persen
dibandingkan 2009. Untuk 2011, permintaan baja di berbagai negara diperkirakan
akan meningkat tinggi. Harga baja dunia juga akan terus melambung dan pada
gilirannya akan meningkatkan laba KS sebagai salah satu produsen baja berorientasi
ekspor. Ketiga, dari sisi makro, boleh dibilang kondisi fundamental Indonesia saat ini
juga berada pada momentum terbaiknya.
Berbagai indikator ekonomi seperti laju PDB, inflasi, suku bunga, nilai tukar
rupiah, neraca pembayaran, hingga cadangan devisa relatif stabil dan cenderung terus
menguat. Selain itu, peringkat investasi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir juga
terus mengalami upgrading menuju investment grade. Hal ini telah meningkatkan
kepercayaan investor asing sebagaimana tercermin dari derasnya net foreign buying
di pasar saham dalam beberapa waktu terakhir. Ini semestinya bisa meningkatkan
bargaining power pemerintah dalam menjual saham KS, khususnya di mata investor
asing yang dijatah 35 persen;
Keempat, dalam proses IPO KS, ditunjuk tiga penjamin emisi yaitu Danareksa
Sekuritas, Mandiri Sekuritas, dan Bahana Sekuritas. Terbentuknya underwriting
groups ini menandakan biaya emisi yang ditanggung KS selaku emiten juga semakin
tinggi dan sebaliknya risiko yang ditanggung penjamin emisi semakin rendah. Dalam
kondisi demikian, pemerintah semestinya menentukan harga saham perdana KS
Kelima, dari 3,15 miliar saham yang ditawarkan ke publik, jumlah permintaan
investor mencapai 30 miliar atau sekitar 9,5 kali lipatnya. Ini maknanya, terjadi
oversubscribe yang sangat tinggi dan semestinya bisa dijadikan power untuk
menekan investor dan yang keenam, pembelajaran penting lainnya adalah jangan
terlalu percaya kepada investor khususnya asing yang berjanji akan memegang saham
perdana dalam jangka panjang sebagaimana terjadi pada proses IPO KS beberapa
waktu lalu. Pasalnya, karakter berinvestasi saham adalah investasi jangka pendek dan
berorientasi margin, berbeda dengan investasi langsung di infrastruktur yang bersifat
jangka panjang. Ketika capital gain di depan, investor dengan sigap akan segera
melepas sahamnya dan ini terjadi pada perdagangan saham KS pada waktu lalu.
(sumber:http://economy.okezone.com)
Dilihat dari kasus di atas pentingnya studi mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi underpricing pada saat IPO. Seperti yang kita tahu fenomena
underpricing masih banyak terlihat sampai tahun ini di Indonesia. Underpricing
harga saham IPO terjadi bukan karena adanya kesalahan waktu melakukan evaluasi
harga IPO, tetapi underpricing tersebut merupakan kesengajaan dan adanya asimetris
informasi yang dimiliki oleh penerbit saham dan underwriter (penjamin emisi).
Asimetris informasi ini memberikan harga lebih rendah dari harga intrinsik (harga
wajar), sementara tak satu pihak pun yang tahu harga intrinsik tersebut (Manurung,
Hasil penelitian dari Wahyusari (2013) menunjukan bukti empiris bahwa umur
perusahaan berpengaruh terhadap underpricing. Wahyusari (2013) kaitanya umur
perusahaan dengan underpricing dimana lama perusahaan berdiri biasanya
mempengarui minat investor untuk menanamkan modalnya, Umur perusahaan
dihitung dengan mengurangkan antara tahun listing dan tahun berdiri
Hasil penelitian dari Putra dan Damayanti (2013), Kristianti (2013), Retnowati
(2013), Hapsari dan Mahfud (2012) dan Sari (2011) menunjukan bukti empiris bahwa
ukuran perusahaan berpengaruh terhadap underpricing. Menurut Hapsari dan Mahfud
(2012) tingkat ketidakpastian perusahaan berskala besar pada umumnya rendah
karena dengan skala yang tinggi perusahaan cenderung tidak dipengaruhi pasar,
sebaliknya dapat mewarnai dan mempengaruhi keadaan pasar secara keseluruhan.
Keadaan ini dapat dinyatakan sebagai kecilnya tingkat resiko investai perusahaan
berskala besar dalam jangka panjang. Berdasar pada teori signaling menurut Kim
(1999) dalam Hapsari dan Mahfud (2012) yakni untuk mengatasi masalah penilaian
yang rendah terhadap harga saham, maka perusahaan yang berkualitas dapat
memberikan signal bagi investor untuk menunjukkan bahwa perusahaan tersebut
memiliki kualitas yang baik.
Hasil penelitian dari Sari (2011) menunjukan bukti empiris bahwa current ratio
berpengaruh terhadap underpricing. Menurut Hapsari dan Mahfud (2012) Current
ratio merupakan rasio aktiva lancar terhadap hutang lancar, yang menunjukkan
likuiditas suatu perusahaan. Current ratio mengindikasikan kemampuan perusahaan
Berdasarkan pada teori signaling (Kim, 1999) dalam Hapsari dan Mahfud (2012)
yakni untuk mengatasi masalah penilaian yang rendah terhadap harga saham, maka
perusahaan yang berkualitas dapat memberikan signal bagi investor untuk
menunjukkan bahwa perusahaan tersebut memiliki kualitas yang baik. Semakin tinggi
Current Ratio suatu perusahaaan berarti semakin kecil risiko kegagalan perusahaan
dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya.
Hasil penelitian dari Wahyusari (2013) menunjukan bukti empiris bahwa DER
berpengaruh terhadap underpricing. Menurut Retnowati (2013) dan Wahyusari
(2013) DER adalah kemampuan membayar hutang dengan ekuitas yang dimiliki
perusahaan.
Hasil penelitian dari Hapsari dan Mahfud (2012) menunjukan bukti empiris
bahwa return on assets (ROE) berpengaruh terhadap underpricing. Berdasar pada
teori signaling (Kim, 1999) dalam Hapsari dan Mahfud (2012) yakni untuk
mengatasi masalah penilaian yang rendah terhadap harga saham, maka perusahaan
yang berkualitas dapat memberikan signal bagi investor untuk menunjukkan bahwa
perusahaan tersebut memiliki kualitas yang baik. Semakin tinggi ROE artinya
kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba pada masa mendatang juga lebih
tinggi. Tingginya minat investor akan meningkatkan harga saham sehingga
perubahan harga diantara transaksi yang terjadi semakin kecil. Dengan demikian ada
hubungan negatif antara tingkat profitabilitas (ROE) dengan tingkat underpricing
Hasil penelitian dari Retnowati (2013) dan Wirawan (2014) menunjukan bukti
empiris bahwa earning per share (EPS) berpengaruh terhadap underpricing. Menurut
Ang (1997) dalam Hapsari dan Mahfud (2012) Earning Per Share (EPS) merupakan
perbandingan antara laba bersih setelah pajak pada satu tahun buku dengan jumlah
saham yang diterbitkan (Outstanding Shares). Berdasar pada teori signaling (Kim,
1999) dalam Hapsari dan Mahfud (2012) yakni untuk mengatasi masalah penilaian
yang rendah terhadap harga saham, maka perusahaan yang berkualitas dapat
memberikan signal bagi investor untuk menunjukkan bahwa perusahaan tersebut
memiliki kualitas yang baik. Semakin tinggi EPS tentu saja menyebabkan semakin
besar laba dan kemungkinan peningkatan jumlah dividen yang diterima pemegang
saham. Apabila EPS perusahaan tinggi, akan semakin banyak investor yang ingin
membeli saham tersebut sehingga menyebabkan harga saham tinggi.
Penelitian ini memiliki perbedaan dengan penilitian sebelumnya dimana tahun
penelitian yang lebih up to date yaitu 2010-2014 dengan 6 variabel independen,
Variabel-variabel yang akan diteliti pada penelitian ini terdiri dari Umur Perusahaan,
Ukuran perusahaan, Current Ratio (CR), Debt Equity Ratio (DER), Return on Equity
(ROE), dan Earning Per Share (EPS) dengan judul “ Analisis Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Tingkat Underpricing Harga Saham pada Perusahaan yang
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini
dapat dirumuskan:
1. Apakah variabel Umur Perusahaan berpengaruh secara parsial terhadap
underpricing.
2. Apakah variabel Ukuran Perusahaan berpengaruh secara parsial terhadap
underpricing.
3. Apakah variabel Current Ratio (CR) berpengaruh secara parsial terhadap
underpricing.
4. Apakah variabel Debt to Equity Ratio (DER) berpengaruh secara parsial
terhadap underpricing.
5. Apakah variabel Return on Equity (ROE) berpengaruh secara parsial terhadap
underpricing.
6. Apakah variabel Earning per Share (EPS) berpengaruh secara parsial
terhadap underpricing.
7. Apakah variabel umur perusahaan, ukuran perusahaan, Current Ratio (CR),
Debt to Equity Ratio (DER), Return on Equity (ROE), dan Earning per Share
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah diatas, tujuan yang ingin dicapai dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut
1. Untuk menganalisis variabel Umur Perusahaan secara parsial terhadap
underpricing.
2. Untuk menganalisis variabel Ukuran Perusahaan secara parsial terhadap
underpricing.
3. Untuk menganalisis variabel Current Ratio (CR) secara parsial terhadap
underpricing.
4. Untuk menganalisis variabel Debt to Equity Ratio (DER) secara parsial
terhadap underpricing.
5. Untuk menganalisis variabel Return on Equity (ROE secara parsial terhadap
underpricing.
6. Untuk menganalisis variabel Earning per Share (EPS) secara parsial terhadap
underpricing.
7. Untuk menganalisis variabel umur perusahaan, ukuran perusahaan, Current
Ratio (CR), Debt to Equity Ratio (DER), Return on Equity (ROE), dan
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang akan diperoleh dari penelitian ini adalah:
1. Bagi investor/calon investor, dengan hasil penelitian ini bagi para calon
investor dapat dijadikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan
investasi pada saat penawaran saham perdana.
2. Bagi perusahaan/emiten, hasil penelitian ini dapat dijadikan pengetahuan apa
saja faktor-faktor yang mempengaruhi underpricing sehingga perusahaan
dapat meminimalisir terjadinya underpricing pada saat IPO.
3. Bagi bidang akademik, penelitian ini dapat menambah pengetahuan tentang
faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat underpricing pada saat IPO dan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Pustaka
1. Pasar Modal
Menurut Brigham dan Houston (2010:190) Pasar Modal adalah Pasar
keuangan untuk saham dan utang jangka panjang dan hutang jangka menengah
atau jangka panjang panjang satu tahun lebih. Sedangkan Menurut Riyanto
(2013:219) Pasar Modal. Pasar Modal (Capital Market) adalah suatu pengertian
abstrak yang mempertemukan dua kelompok yang saling berhadapan tetapi yang
kepentingannya saling mengisi, yaitu calon pemodal (investor) di satu pihak dan
emiten yang membutuhkan dana jangka menengah atau jangka panjang.
Dimaksudkan dengan pemodal adalah perorangan atau lembaga yang
menanamkan dananya dalam efek, sedangkan emiten adalah perusahaan yang
menerbitkan efek untuk ditawarkan kepada masyarakat (go public).
Menurut Siamat (2005:487) Pasar Modal dalam arti sempit adalah suatu
tempat yang terorganisasi di mana efek-efek diperdagangkan yang disebut Bursa
Efek. Bursa efek atau stock exchange adalah suatu system yang terorganisasi yang
mempertemukan penjual dan pembeli efek yang dilakukan baik secara langsung
maupun dengan melalui wakil-wakilnya. Fungsi Bursa Efek ini antara lain adalah
menjaga kontinuitas pasar dan menciptakan harga efek yang wajar melalui
Menurut Keown et al. (2008:12) terdapat dua jenis pasar modal yaitu, Pasar
Primer adalah suatu pasar yang memperdagangkan surat berharga yang baru,
sedangkan Pasar Sekunder adalah pasar dimana saham yang sebelumnya
diterbitkan perusahaan, diperdagangkan.
Menurut Horne dan Wachowics (2005:39) Pasar Primer adalah pasar dimana
sekuritas baru diambil dan dijual untuk pertama kalinya, sedangkan pasar
sekunder adalah pasar untuk sekuritas yang sudah ada. Menurut Riyanto
(2013:219) Pasar Primer adalah pasar bagi efek yang pertama kali diterbitkan dan
ditawarkan dalam pasar modal, sedangkan Pasar Sekunder adalah pasar bagi efek
yang sudah ada dan sudah diperdagangkan dalam bursa efek.
2. Penawaran Umum Perdana (Initial Public Offering)
Menurut Brigham dan Houston (2010:206) Pasar Penawaran Saham Perdana
(IPO) adalah pasar untuk saham-saham perusahaan yang dalam proses untuk
masuk bursa (go public), sedangkan Going Public adalah kegiatan menjual saham
kepada masyarakat luas yang dilakukan oleh perusahaan korporasi atau pemegang
saham utama. Menurut Keown et al (2008:13) Initial Public Offering (IPO)
adalah pertama kali saham perusahaan djual kepada khalayak ramai.
Menurut Siamat (2005:500) Emisi efek atau sering disebut penawaran umum
(go public) merupakan suatu proses yang melihatkan lembaga penunjang pasar
modal dalam ranka penjualan efek (saham dan obligasi) suatu perusahaan kepada
masyarakat umum. Proses emisi efek tersebut dapat dilakukan dengan mekanisme
Menurut Siamat (2005:500) Adapun tahan proses emisi efek yang berlaku
untuk saat ini adalah sebagai berikut (Gambar 2.1) :
a. Perusahaan yang akan menerbitkan efek (emiten atau issuer)
menyampaikan penyataan maksud (letter on intent) kepada Bapepam.
b. Emiten menghubungi dan menunjuk penjamin emisi (underwriter) serta
lembaga penunjang emisi lainnya.
c. Emiten dan underwriter mempersiapkan dokumen pernyataan pendaftaran
emisi efek berikut lampiran dan dokumen emisi lainya.
d. Emiten melalui underwriter menyampaikan pernyataan pendaftaran emisi
efek kepada Bapepam.
e. Bapepam melakukan penelaahan kesesuaian dokumen emisi dngan
ketentuan yang berlaku.
f. Izin emisi diberikan oleh Bapepam bilama semua dokumen emisis telah
lengkap dan memenuhi ketentuan.
g. Pengumuman dan pendistribusian prospektus.
h. Emiten dan underwriter melakukan penawaran efek melalui pasar
perdana.
i. Penjatahan saham
j. Pengembalian uang kepada pemesan (refund)
k. Penyerahan sertifikat efek
Gambar 2.1
Proses Emisi Efek
Persiapan Letter of intens Pernyataan
3. Underpricing
Apabila harga saham pada saat IPO lebih rendah dibandingkan dengan harga
saham di pasar sekunder pada hari pertama, maka akan terjadi fenomena yang
disebut underpricing. Underpricing merupakan fenomena yang menarik karena
dialami oleh sebagian besar pasar modal di dunia dan seringkali dijumpai di
pasar perdana (Ritter, 1991) dalam Rizqi dan Harto (2013).
Sedangkan menurut Lestari, Hidayat, dan Sulasmiyati (2015) underpricing
sebagai kondisi dimana harga penawaran pada saat IPO dinilai lebih rendah
secara signifikan dibandingkan harga saham pada saat penutupan hari pertama di
pasar sekunder. Penelitian yang dilakukan oleh Aggrawal, et al. (1994) dalam
Hapsari dan Mahfud (2012) menyimpulkan bahwa fenomena underpricing sering
terjadi pada saat IPO.
Hipotesis yang dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena underpricing
adalah signaling hypothesis. Allen dan Faulhaber (1989), Grinblatt dan Hwang
(1989), Welch (1989) dan Chemmanur (1993), Faugeron-Crouzet et al. (2003)
dalam Lestari, Hidayat, dan Sulasmiyati (2015) mengungkapkan bahwa emiten
menggunakan harga penawaran perdana sebagai sinyal yang diberikan atas situasi
asimetri informasi, dimana pihak pemilik pertama perusahaan lebih mengetahui
keadaan perusahaan dibandingkan dengan investor. Emiten sengaja menetapkan
harga perdana saham yang underpriced, agar sinyal positif dapat diberikan kepada
investor bahwa kebutuhan total modal emiten dapat terpenuhi meskipun dalam
Indikasi bahwa emiten memiliki kualitas baik juga dapat terlihat dalam
kondisi underpricing, dimana emiten dianggap mentransfer sebagian kekayaan
pemilik awal perusahaan kepada investor baru sebagai kompensasi harga perdana
yang underpriced. Biaya mahal yang perlu dikeluarkan emiten dalam kondisi
underpricing inilah yang dapat mengindikasikan emiten sebagai perusahaan
dengan kondisi keuangan yang sehat. Perusahaan dengan kualitas lebih rendah
tidak mampu mengikuti cara perusahaan yang berkualitas baik, karena kualitas
rendahnya dapat terungkap sebelum penawaran perdana. Perusahaan berkualitas
lebih rendah akan lebih memilih menawarkan harga saham perdana dengan harga
dan kebutuhan modal sesuai dengan yang sebenarnya menurut
Hipotesis selanjutnya yang dapat menjelaskan underpricing adalah market
feedback hypothesis seperti yang diungkapkan oleh Jegadeesh, Weinstein dan
Welch (1993), Faugeron-Crouzet et al. (2003) dalam Lestari, Hidayat, dan
Sulasmiyati (2015) Para peneliti ini mengungkapkan pelaku pasar lebih mengetahui
nilai emiten yang sebenarnya daripada pemilik saham awal. Informasi ini akan
terungkap kepada mereka melalui perubahan harga setelah IPO. Perusahaan yang
akan go public harus memenuhi persyaratan bahwa laporan keuangan dua tahun
terakhir adalah unqualified opinion. Audit tersebut diperlukan agar publik
memperoleh suatu keyakinan bahwa laporan keuangan tersebut bebas dari salah
saji yang material, sehingga hal ini dapat dijadikan sebagai informasi yang
Hipotesis lain yang dapat menjelaskan underpricing menurut Baron (1982)
dalam Hapsari dan Mahfud (2012) adalah asimetri informasi yang menjelaskan
perbedaan informasi yang dimiliki oleh pihak – pihak yang terlibat dalam
penawaran perdana, yaitu emiten, penjamin emisi, dan masyarakat pemodal.
Penjamin emisi (underwriter) memiliki informasi tentang pasar yang lebih
lengkap daripada emiten, sedangkan terhadap calon investor, penjamin emisi
memiliki informasi yang lebih lengkap tentang kondisi emiten.
Besarnya underpricing diukur dengan initial return yakni selisih harga saham
atau keuntungan yang didapat pemegang saham karena perbedaan harga saham
yang dibeli di pasar perdana dengan harga jual saham yang bersangkutan di pasar
sekunder hari pertama Triani, (2006) dalam Aini (2013), sedangkan menurut
Ardiansyah, (2004) dalam Retnowati (2013) tingkat underpricing ini di proxy
dengan penghitungan initialreturn dari perusahaan – perusahaan yang melakukan
Initial Public Offering, yaitu selisih antara penutupan harga saham pada hari
pertama di pasar sekunder dengan harga saham penawaran perdana dibagi dengan
harga saham penawaran perdana.
Persamaan yang digunakan untuk menghitung Underpricing mengikuti
pengukuran yang dilakukan oleh Lestari, Hidayat, dan Sulasmiyati (2015), Putra dan
Damayanthi (2013), Risqi dan Harto (2013), Retnowati (2013), Aini (2013), Wahyusari
(2013), Hapsari dan Mahfud (2012) dan Prastica (2012) yaitu sebagai berikut:
��� ����� �= Harga Closing di Pasar Sekunder−Harga IPO
4. Umur Perusahaan
Menurut Lestari, Hidayat, dan Sulasmiyati (2015) Umur perusahaan
menunjukkan kemampuan perusahaan dalam bertahan hidup menjalankan
usahanya, sehingga berpengaruh pada tingkat pengalaman yang dimilikinya
dalam menghadapi persaingan. Lamanya umur suatu perusahaan akan
mengindikasikan semakin banyaknya pengalaman yang dimiliki perusahaan
untuk tetap bertahan hidup menjalankan usahanya dan menghadapi hambatannya,
maka hal tersebut juga akan berpengaruh pada semakin rendahnya tingkat
ketidakpastian perusahaan di masa yang akan datang.
Menurut Wahyusari (2013) Lama perusahaan berdiri biasanya mempengaruhi
minat investor untuk menanamkan modalnya. Umur perusahaan dihitung dengan
mengurangkan antara tahun listing dengan tahun berdiri sedangkan, menurut
Nurhidayati, 1998 dalam Aini (2013). Umur perusahaan menunjukkan seberapa
lama perusahaan mampu bertahan dan menjadi bukti perusahaan mampu bersaing
dan dapat mengambil kesempatan bisnis yang ada dalam perekonomian.
Perusahaan yang beroperasi lebih lama mempunyai kemampuan yang lebih besar
untuk menyediakan informasi perusahaan yang lebih banyak dan luas daripada
yang baru saja berdiri. Informasi ini akan bermanfaat bagi investor dalam
mengurangi tingkat ketidakpastian perusahaan. Variabel umur perusahaan diukur
dengan lamanya perusahaan beroperasi yaitu sejak perusahaan itu didirikan
(established date) berdasarkan akta pendirian sampai dengan saat perusahaan
Persamaan untuk mencari umur perusahaan mengikuti pengukuran yang
dilakukan oleh Lestari, Hidayat, dan Sulasmiyati (2015), Wahyusari (2013),
Retnowati (2013), Aini (2013), Safitri (2013), Kristianti (2013), dan Sari (2011) adalah
sebagai berikut :
5. Ukuran Perusahaan
Ukuran perusahaan merupakan cerminan potensi perusahaan dalam
menghasilkan arus kas dan kemampuan untuk mengakses informasi yang lebih
besar. Ukuran perusahaan merupakan nilai yang menentukan besar atau kecilnya
perusahaan yang ditunjukkan dengan total aset yang dimiliknya. Penggukuran
dengan menggunakan total aktiva dianggap lebih baik dari total penjualan karena
total aktiva lebih stabil dari total penjualan serta lebih menunjukkan kekayaan
perusahaan yang digunakan untuk mencapai tujuan perusahaan. Perusahaan yang
berskala besar cenderung lebih dikenal masyarakat sehingga informasi mengenai
prospek perusahaan berskala besar lebih mudah diperoleh investor daripada
perusahaan berskala kecil. Variabel ukuran perusahaan diukur dengan
menghitung log natural total aktiva tahun terakhir sebelum perusahaan tersebut
listing (Suyatmin, 2006) dalam Aini (2013).
Menurut Prisca (2012) Ukuran perusahaan menunjukkan jumlah total aset
yang dimiliki perusahaan. Semakin besar aset perusahaan akan mengindikasikan
semakin besar ukuran perusahaan tersebut. Suatu perusahaan dengan skala
ekonomi yang lebih tinggi dan lebih besar dianggap mampu bertahan dalam
waktu yang lama. Untuk mengukur besarnya skala atau ukuran dari perusahaan
adalah dengan melihat total aktiva dari laporan keuangan perusahaan tahun
terakhir sebelum perusahaan tersebut melakukan IPO di Bursa (Nurhidayati dan
Indriantoro 1998) dalam Retnowati (2013). Persamaan yang digunakan untuk
Ukuran Perusahaan mengikuti pengukuran yang dilakukan oleh Putra dan
Damayanthi (2013) , Retnowati (2013), Aini (2013), Safitri (2013), Hapsari dan
Mahfud (2012), Prastica (2012), dan Sari (2011) adalah sebagai berikut :
6. CR (Current Ratio)
Menurut Brigham dan Houston (2010:134) Rasio Lancar atau Current Ratio
(CR) adalah rasio yang dihitung dengan membagi aset lancar dengan kewajiban
lancar. Rasio ini menunjukan sampai sejauh apa kewajiban lancar ditutupi oleh
aset yang diharapkan akan dikonversi menjadi kas dalam waktu dekat. Menurut
Keown et al (2008:75) Rasio Lancar atau Current Ratio (CR) yaitu rasio yang
menunjukan likuiditas perusahaan yang diukur dengan membandingan aktiva
lancar terhadap hutang lancar (hutang lancar atau hutang jangka pendek).
Menurut Riyanto (2013:332) Rasio Lancar atau Current Ratio (CR) yaitu
kemampuan untuk membayar utang yang segera harus dipenuhi dengan aktiva
lancar. Persamaan yang digunakan untuk mengukur current ratio (CR) mengikuti
pengukuran yang dilakukan oleh Brigham dan Houston (2010:134) yaitu sebagai
berikut :
Ukuran Perusahaan = Ln(Total Aset)
7. DER (Debt to Equity Ratio)
Menurut Brigham dan Houston (2010:143) Rasio hutang atau Debt to Equity
Ratio (DER) adalah rasio total hutang terhadap total aset sedangkan menurut
Keown et al (2008:83) Rasio hutang atau Debt to Equity Ratio (DER) yaitu rasio
yang menunjukan berapa banyak hutang yang digunakan membiayai aset-aset
perusahaan.
Horne dan Machowicz (2005:209) Rasio hutang atau Debt to Equity Ratio
(DER) adalah rasio yang menunjukan sejauh mana perusahaan dibiayai oleh
hutang. Semakin rendah rasio ini, semakin tinggi tingkat pendanaan perusahaan
yang disediakan oleh pemegang saham, dan semakin besar perlindungan bagi
kreditor (margin perlindungan) jika terjadi penyusutan nilai aktiva atau kerugian
besar sedangkan menurut Riyanto (2013:333) Rasio hutang atau Debt to Equity
Ratio (DER) yaitu bagian dari setiap rupiah modal sendiri yang dijadikan jaminan
untuk keseluruhan utang.
Persamaan yang digunakan untuk mengukur Debt to Equity Ratio (DER)
mengikuti pengukuran yang dilakukan oleh Brigham dan Houston (2010:143),
Keown et al (2008:83), Horne dan Machowicz (2005:209), Wahyusari (2013) dan
Retnowati (2013) sebagai berikut :
8. ROE (Return on Equity)
Menurut Brigham dan Houston (2010:149) Pengembalian Ekuitas Biasa atau
Return on Equity (ROE) adalah Rasio laba bersih terhadap ekuitas biasa, untuk
mengukur tingkat pengembalian investasi pemegang saham biasa sedangkan
menurut Menurut Keown et al (2008:75) Pengembalian Ekuitas Biasa atau Return
on Equity (ROE) yaitu tingkat pengembalian saham biasa menunjukan rata-rata
perhitungan pengembalian atas investasi pemegang saham yang diukur dengan
membandingkan pendapatan bersih terhadap ekuitas saham biasa.
Horne dan Machowicz (2005:225) Pengembalian atas ekuitas atau Return on
Equity (ROE) adalah mengukur daya untuk menghasilkan laba pada investasi
nilai buku pemegang saham dengan membandingkan laba bersih setelah pajak
dengan ekuitas yang telah diinvestasikan pemegang saham di perusahaan. Dimana
ROE yang tinggi akan mencerminkan penerimaan perusahaan atas peluang
investasi yang baik dan manajemen biaya yang efektif sedangkan menurut
Menurut Riyanto (2013:336) Pengembalian Ekuitas Biasa atau Return on Equity
(ROE) yaitu kemampuan dari modal sendiri untuk menghasilkan keuntungan.
Persamaan yang digunakan untuk mengukur Return on Equity (ROE)
mengikuti pengukuran yang dilakukan oleh Brigham dan Houston (2010:149),
Riyanto (2013:336), Risqi dan Harto (2013), Aini (2013), Hapsari dan Mahfud
(2012) sebagai berikut :
��� = Laba Bersih
9. EPS (Earning per Share)
Menurut Brigham dan Houston (2010:93) Labar Per Saham atau Earning per
Share (EPS) adalah jumlah labar bersih dibagi dengan jumlah saham yang
beredar di perusahaan tersebut. Dalam laporan laba rugi EPS merupakan pos
terpenting bagi pemegang saham. Jika suatu perusahaan memeliki opsi atau
konvertibel beredar atau jika perusahaan menerbitkan saham biasa baru-baru ini,
maka perhitungan EPS menjadi sedikit lebih rumit.
Menurut Horne dan Wachowicz (2005:5) Labar Per Saham atau Earning per
Share (EPS) adalah pendapatan setelah pajak (earning after tax) dibagi dengan
jumlah saham biasa yang tersebar. Harga pasar saham perusahan mencerminkan
penialaian khusus dari semua pelaku pasar atas nilai suatu perusahaan. Penilaian
tersebut memperhitungkan EPS saat ini dan perkiraan EPS di masa mendatang.
Menurut Siamat (2005:519) Labar Per Saham atau Earning per Share (EPS)
adalah rasio yang menunjukan laba bersih yang berhasil diperoleh perusahaan
untuk setiap unit saham selama periode.
Persamaan yang digunakan untuk mengukur Earning per Share (EPS)
mengikuti pengukuran yang dilakukan oleh Brigham dan Houston (2010:93),
Horne dan Wachowicz (2005:5), Siamat (2005:519), Retnowati (2013), Hapsari
dan Mahfud (2012), dan Sari (2011) sebagai berikut :
B. Hubungan Antara Variabel
1. Hubungan antara Umur Perusahaan terhadap Tingkat Underpricing
Umur perusahaan emiten menunjukkan seberapa lama perusahaan mampu
bertahan dan banyaknya informasi yang dapat diserap oleh publik. Perusahaan
yang beroperasi lebih lama mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk
menyediakan informasi perusahaan yang lebih banyak dan luas daripada
perusahaan yang baru saja berdiri. Dengan demikian akan mengurangi adanya
asimetri informasi dan memperkecil ketidakpastian pasar dan pada akhirnya akan
mempengaruhi underpricing (How et al., 1995) dalam Kristiantari (2013).
Perusahaan yang telah lama berdiri bisa dipersepsikan sebagai perusahaan
yang sudah tahan uji sehingga kadar resikonya rendah dan hal ini bisa menarik
investor karena diyakini perusahaan yang sudah lama berdiri bisa dikatakan lebih
berpengalaman dalam menghasilkan return bagi perusahaan yang pada baik akan
lebih dipercaya oleh investor dibandingkan dengan yang tidak memiliki reputasi
baik. Hal ini berarti auditor yang memiliki reputasi tinggi akan mengurangi
ketidakpastian IPO serta mencerminkan resiko perusahaan IPO tersebut rendah,
serta rendah pula tingkat underpricing tersebut Aini (2013). Berdasarkan uraian
diatas dapat disimpulkan bahwa umur perusahaan memiliki pengaruh terhadap
2. Hubungan antara Ukuran Perusahaan terhadap Tingkat Underpricing
Perusahaan berukuran besar umumnya memiliki tingkat ketidakpastian yang
rendah dibandingkan dengan perusahaan kecil, karena dengan skala yang tinggi
maka perusahaan besar cenderung tidak dipengaruhi oleh pasar, sebaliknya dapat
mewarnai dan mempengaruhi keadaan pasar secara keseluruhan. Kejelasan
informasi tentang perusahaan akan meningkatkan penilaian akan perusahaan,
mengurangi tingkat ketidakpastian dan meminimalkan tingkat resiko dan
underpricing Sulistio (2005) dalam Aini (2013).
Tingkat ketidakpastian perusahaan berskala besar pada umumnya rendah
karena dengan skala yang tinggi perusahaan cenderung tidak dipengaruhi pasar,
sebaliknya dapat mewarnai dan mempengaruhi keadaan pasar secara keseluruhan.
Keadaan ini dapat dinyatakan sebagai kecilnya tingkat resiko investai perusahaan
berskala besar dalam jangka panjang. Sedangkan pada perusahaan berskala kecil
tingkat ketidakpastian di masa yang akan datang besar, sehingga tingkat resiko
investasinya lebih besar dalam jangka panjang Nurhidayati dan Indriantoro,
(1998) dalam Hapsari dan Mahfud (2012). Berdasar pada teori signaling yakni
untuk mengatasi masalah penilaian yang rendah terhadap harga saham, maka
perusahaan yang berkualitas dapat memberikan signal bagi investor untuk
menunjukkan bahwa perusahaan tersebut memiliki kualitas yang baik Kim (1999)
dalam Hapsari dan Mahfud (2012). Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan
3. Hubungan antara Current Ratio terhadap Tingkat Underpricing
Current ratio merupakan rasio aktiva lancar terhadap hutang lancar, yang
menunjukkan likuiditas suatu perusahaan. Current ratio mengindikasikan
kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban lancarnya dari aktiva lancar
yang dimiliki. Berdasar pada teori signaling Kim (1999) dalam Hapsari dan
Mahfud (2012) yakni untuk mengatasi masalah penilaian yang rendah terhadap
harga saham, maka perusahaan yang berkualitas dapat memberikan signal bagi
investor untuk menunjukkan bahwa perusahaan tersebut memiliki kualitas yang
baik. Semakin tinggi Current Ratio suatu perusahaaan berarti semakin kecil risiko
kegagalan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya.
Hal ini menjadikan risiko yang ditanggung pemegang saham juga semakin
kecil. Jadi, semakin besar Current Ratio semakin kecil Initial Return. Semakin
tinggi Current Ratio suatu perusahaan berarti semakin kecil risiko kegagalan
perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Sehingga, risiko yang
ditanggung pemegang saham juga semakin kecil. Jadi, semakin besar Current
Ratio semakin kecil Initial returns atau semakin besar Current Ratio maka
semakin besar Underpricing Suyatmin dan Sujadi (2006) dalam Hapsari dan
Mahfud (2012). Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Current Ratio
4. Hubungan antara Debt to Equity Ratio terhadap Tingkat Underpricing
Tingkat Debt to Equity Ratio menggambarkan risiko yang diukur dengan
membandingkan total kewajiban perusahaan dengan total aset. Menurut
penelitian yang dilakukan Kim et al., (1995) dalam Risqi dan Harto (2013) bahwa
tingkat Debt to Equity Ratio berkorelasi positif dengan intial return. Dapat
disimpulkan bahwa Debt to Equity Ratio tinggi menggambarkan risiko
perusahaan yang tinggi pula sehingga investor dalam melakukan keputusan
investasi akan menghindarkan penilaian harga saham perdana yang terlalu tinggi
yang menyebabkan underpricing.
DER merupakan salah satu informasi yang penting bagi investor untuk
menilai resiko suatu nilai saham. Nilai DER yang tinggi menandakan struktur
permodalan usaha lebih banyak memanfaatkan hutang-hutang relatif terhadap
ekuitas, sehingga menunjukan resiko financial atau resiko kegagalan perusahaan
untuk mengembalikan pinjaman akan semakin tinggi yang nantinya akan
mempengaruhi tingkat return yang akan diterima oleh investor dimasa yang akan
datang. Semakin tinggi nilai DER berarti semakin tinggi resiko saham emiten
tersebut, maka semakin tinggi pula tingkat return yang diharapkan oleh investor,
yang berarti juga semakin tinggi tingkat underpricing tersebut Suyatmin (2006)
dalam Aini (2013). Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Debt to
5. Hubungan antara Return on Equity terhadap Tingkat Underpricing
Return on Equity (ROE) merupakan ukuran profitabilitas dimana merupakan
informasi yang diberikan kepada investor mengenai seberapa besar tingkat
pengembalian modal investor dari perusahaan yang berasal dari kinerja
perusahaan dalam menghasilkan laba. Menurut Kim (1999) dalam Risqi dan
Harto (2013) berdasarkan teori Signalling yaitu untuk mengatasi penilaian yang
rendah terhadap harga saham, maka perusahaan yang berkualitas baik dapat
memberikan sinyal bagi investor untuk menunjukan bahwa perusahaan
berkualitas baik. Semakin tinggi ROE maka kemampuan perusahaan untuk
menghasilkan laba pada masa yang akan datang juga lebih tinggi.
Nilai ROE yang semakin tinggi akan menunjukkan bahwa perusahaan mampu
menghasilkan laba dimasa yang akan datang dan laba merupakan informasi
penting bagi investor sebagai pertimbangan dalam menanamkan modalnya.
Semakin besar nilai ROE maka mencerminkan resiko perusahaan IPO tersebut
rendah, sehingga nilai ROE yang tinggi dapat mengurangi ketidakpastian saham
dimasa mendatang serta menunjukkan tingkat keamanan investasi yang tinggi,
yang berarti juga semakin rendah tingkat underpricing tersebut Kurniawan (2007)
dalam Aini (2013). Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa return of
6. Hubungan antara Earning Per Share terhadap Tingkat Underpricing
Menurut Ang (1997) dalam Hapsari dan Mahfud (2012) Earning Per Share
(EPS) merupakan perbandingan antara laba bersih setelah pajak pada satu tahun
buku dengan jumlah saham yang diterbitkan (Outstanding Shares). Berdasar pada
teori signaling (Kim, 1999) dalam Hapsari dan Mahfud (2012) yakni untuk
mengatasi masalah penilaian yang rendah terhadap harga saham, maka
perusahaan yang berkualitas dapat memberikan signal bagi investor untuk
menunjukkan bahwa perusahaan tersebut memiliki kualitas yang baik. Semakin
tinggi EPS tentu saja menyebabkan semakin besar laba dan kemungkinan
peningkatan jumlah dividen yang diterima pemegang saham. Apabila EPS
perusahaan tinggi, akan semakin banyak investor yang ingin membeli saham
tersebut sehingga menyebabkan harga saham tinggi. Berdasarkan uraian diatas
C. Penelitian Terdahulu
Persamaan Perbedaan Hasil Penelitian
No Judul Penelitian
Variabel Dependen
Persamaan Perbedaan Hasil Penelitian
3 Rosyidah
sedangkan Return on Assets dan Financial
Leverage tidak berpengaruh signifikan terhadap
No Judul Penelitian
Variabel Dependen
Persamaan Perbedaan Hasil Penelitian
6 Risqi dan Harto
reputasi auditor,
return on equity, dan
No Judul Penelitian
Variabel Dependen
Persamaan Perbedaan Hasil Penelitian
9 Retnowati
No Judul Penelitian
Variabel Dependen
Persamaan Perbedaan Hasil Penelitian
1997-2010” dana untuk
Underpricing Variabel CR, EPS, ROE
Underpricing Variabel Ukuran reputasi auditor dan
ukuran perusahaan tidak berpengaruh
terhadap
No Judul Penelitian
Variabel Dependen
Persamaan Perbedaan Hasil Penelitian
D.Kerangka Pemikiran
Kerangka Pemikiran
Gambar 2.2
Variabel Independen :
1. Umur Perusahaan
2. Ukuran Perusahaan
3. Current Ratio 4. Debt to Equity Ratio 5. Return on Equity 6. Earning per Share
Uji Asumsi Klasik :
- Normalitas
- Heteroskedastisitas
- Multikolinearitas
- Autokorelasi
Variabel Dependen :
Underpricing
Uji Regresi Linier Berganda
Uji Hipotesis
- Uji t
- Uji F
- Uji R2
Perusahaan go public yang terdaftar di BEI dan mengalami Underpricing
E. Hipotesis
Berdasarkan kerangka pemikiran diatas dan perumusan masalah, maka hipotesis
yang dirumuskan dalam penelitian adalah sebagai berikut :
Ha1 :Variabel Umur Perusahaan memiliki pengaruh terhadap underpricing.
Ha2 :Variabel Ukuran Perusahaan memiliki pengaruh terhadap underpricing.
Ha3 :Variabel Current Ratio (CR) memiliki pengaruh terhadap underpricing.
Ha4 :Variabel Debt to Equity Ratio (DER) memiliki pengaruh terhadap underpricing.
Ha5 :Variabel Return on Equity (ROE) memiliki pengaruh terhadap underpricing.
Ha6 :Variabel Earning per Share (EPS) memiliki pengaruh terhadap underpricing.
Ha7 :Umur Perusahaan, Ukuran Perusahaan, Current Ratio (CR), Debt to Equity
Ratio (DER), Return on Equity (ROE), dan Earning per Share (EPS) secara