• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Pertumbuhan Wilayah Kota Pematangsiantar Di Era Otonomi Daerah.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Pertumbuhan Wilayah Kota Pematangsiantar Di Era Otonomi Daerah."

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS EKONOMI

MEDAN

ANALISIS PERTUMBUHAN WILAYAH KOTA PEMATANGSIANTAR DI ERA OTONOMI DAERAH

SKRIPSI

Diajukan oleh :

070501100

MARK RIDHO WIBAWA S

EKONOMI PEMBANGUNAN

(2)

ABSTRACT

This study analyzes the growth of economic sectors Pematangsiantar City. The growth is compared with the growth of economic sectors districts / cities in North Sumatra. The method used is the Shift-Share analysis. Data used in this research is secondary data of Gross Regional Domestic Product (GDP) and GDP Pematangsiantar City North Sumatra based on constant 2000 prices. Duration of time taken between the year 1997 as the beginning of the analysis and data in 2009 as the year end data analysis.

The purpose of this study was to determine the rate of growth of economic sectors Pematangsiantar City, comparing economic growth with economic growth Pematangsiantar City of North Sumatra, to know the profile of economic growth and identify the City Pematangsiantar competitiveness of economic sectors Pematangsiantar City compared to North Sumatra in the era of regional autonomy.

From the research, it is known that the economy is dominated by the City Pematangsiantar manufacturing, trade, hotels, and restaurants and other service sectors. However, after nine years of regional autonomy run almost all economic sectors have Pematangsiantar City competitiveness of the less well when compared with other regional economic sectors, except electricity, gas, and water supply, trade, hotels, and restaurants, and financial sector, rentals, and services company that has a positive value of RFQ. This is because economic sectors Pematangsiantar City has a slower growth rate compared with the economic sector, districts and other cities in North Sumatra.

(3)

ABSTRAK

Penelitian ini menganalisis pertumbuhan sektor ekonomi Kota Pematangsiantar. Pertumbuhan tersebut dibandingkan dengan pertumbuhan sektor ekonomi kabupaten/kota lain di Sumatera Utara. Metode yang digunakan adalah analisis Shift-Share. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Pematangsiantar dan PDRB Sumatera Utara berdasarkan harga konstan tahun 2000. Jangka waktu yang diambil berkisar antara tahun 1997 yaitu sebagai tahun awal analisis dan data tahun 2009 sebagai data tahun akhir analisis.

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui laju pertumbuhan sektor ekonomi Kota Pematangsiantar, membandingkan pertumbuhan ekonomi Kota Pematangsiantar dengan pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara, mengetahui profil pertumbuhan ekonomi Kota Pematangsiantar dan mengidentifikasi daya saing sektor ekonomi Kota Pematangsiantar jika dibandingkan dengan Sumatera Utara di era Otonomi Daerah.

Dari hasil penelitian, diketahui bahwa perekonomian Kota Pematangsiantar didominasi oleh sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel, dan restoran dan sektor jasa lainnya. Namun, setelah otonomi daerah berjalan sembilan tahun hampir semua sektor ekonomi Kota Pematangsiantar memiliki daya saing yang kurang baik bila dibandingkan dengan sektor ekonomi wilayah lain, kecuali sektor listrik, gas, dan air bersih, sektor perdagangan, hotel, dan restoran, dan sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan yang memiliki nilai PPW yang positif. Hal ini karena sektor-sektor ekonomi Kota Pematangsiantar memiliki laju pertumbuhan yang lebih lambat dibandingkan dengan sektor perekonomian kabupaten/kota lain di Sumatera Utara.

Kata kunci: otonomi daerah dan pertumbuhan wilayah

(4)

KATA PENGANTAR

Dengan kerendahan hati, terlebih dahulu penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus karena atas berkat dan rahmatNya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Adapun penulisan skripsi ini merupakan kewajiban bagi para mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara guna memenuhi syarat dalam memperoleh gelar kesarjanaan. Untuk memenuhi kewajiban tersebut, maka penulis menyusun skripsi yang berjudul: ”ANALISIS PERTUMBUHAN WILAYAH KOTA PEMATANGSIANTAR DI ERA OTONOMI DAERAH.”

Penulis menyadari bahwa adanya bimbingan dan dorongan dari semua pihak ataupun dukungan baik moril maupun materil, maka penulisan skripsi ini dapat terwujud.

(5)

Penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Drs. Jhon Tafbu Ritonga, M.Ec, selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec, selaku Ketua Departemen Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Irsyad Lubis, Ph.D, selaku Penasehat Akademik selama penulis mengikuti perkuliahan di Fakultas Ekonomi.

4. Ibu Prof. Dr. lic. rer. reg. Sirojuzilam, SE, selaku Dosen Pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan banyak masukan maupun bimbingan mulai dari awal pengerjaan sampai dengan selesainya skripsi ini. 5. Bapak Drs. H. B Tarmizi, SU, sebagai dosen penguji I yang telah memberikan

saran dan masukan bagi penulis dalam rangka penyempurnaan skripsi ini. 6. Ibu Ilyda Sudardjat, Msi, sebagai sebagai dosen wali yang telah memberikan

bimbingan selama masa perkuliahan dan sebagai dosen penguji II yang telah memberikan saran dan masukan bagi penulis dalam rangka penyempurnaan skripsi ini.

7. Seluruh staf pengajar dan staf administrasi Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara khususnya Departemen Ekonomi Pembangunan.

(6)

9. Seluruh keluarga tercinta yang berada di Pematangsiantar yang memberikan kasih sayangnya dan yang menjadi motivator bagi penulis.

10.Buat teman-teman Departemen Ekonomi Pembangunan stambuk 2007 yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu yang selalu memberikan senyum, harapan, semangat, dan yang selalu mendengarkan dan memecahkan masalah bersama-sama dalam suka dan duka. Penulis sangat bersyukur dapat mengenal kalian, yang telah memberikan warna di dalam hidup ini. Kalian adalah anugerah termanis yang Tuhan berikan.

Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari para pembaca demi penulisan yang lebih sempurna di masa yang akan datang. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca dan semoga Tuhan senantiasa melimpahkan berkat dan damai sejahtera bagi kita semua.

Medan, Desember 2010 Penulis,

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRACT ... i

ABSSTRAK... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I : PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 8

1.3. Hipotesis ... 9

1.4. Tujuan Penelitian... 9

1.5. Manfaat Penelitian ... 10

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Otonomi Daerah ... 11

2.2. Konsep Pertumbuhan Ekonomi ... 17

2.3. Konsep Wilayah ... 20

2.4. Konsep Pembangunan Wilayah ... 24

2.5. Perencanaan dan Pembangunan Wilayah ... 28

2.6. Penelitian-penelitian Terdahulu ... 30

2.7. Kerangka Pemikiran Konsetual ... 35

BAB III : METODE PENELITIAN 3.1. Ruang Lingkup Penelitian ... 38

(8)

3.5. Metode Analisis Data ... 40

3.5.1. Analisis Laju Pertumbuhan PDRB Kota Pematangsiantar ... 40

3.5.2. Analisis Shift Share... 41

3.5.3. Rasio PDRB Kota/Kabupaten dan PDRB Provinsi ... 45

3.5.4. Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah ... 47

3.5.5. Analisis Pergeseran Bersih dan Profil Pertumbuhan ... 50

3.6. Konsep dan Defenisi Operasional Data ... 54

BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskriptif Daerah Penelitian ... 55

4.1.1. Wilayah Administratif ... 55

4.1.2. keadaan Penduduk ... 57

4.2. Keadaan Perekonomian Kota Pematangsiantar ... 62

4.3. Pertumbuhan PDRB Di Kota Pematangsiantar Sebelum Otonomi Daerah (1997-2000) dan Pada Masa Otonomi Daerah (2001-2009) ... 64

4.4. Pertumbuhan Wilayah Kota Pematangsiantar ... 69

4.4.1. Analisis PDRB Kota Pematangsiantar dan PDRB Sumatera Utara di Era Otonomi daerah ... 69

4.4.2. Rasio PDRB Kota Pematangsiantar dan PDRB Provinsi Sumatera Utara ... 72

4.5. Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah Kota Pematangsiantar di Era Otonomi Daerah (2001-2009) ... 74

4.5.1. Komponen Pertumbuhan Regional Kota Pematangsiantar di Era Otonomi Daerah ... 74

4.5.2. Komponen Pertumbuhan Proporsional Kota Pematangsiantar di Era Otonomi Daerah ... 76

4.5.3. Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah Kota Pematangsiantar di Era Otonomi Daerah ... 79

(9)

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan ... 85 5.2. Saran ... 87 DAFTAR PUSTAKA

(10)

DAFTAR TABEL

Tabel Judul Halaman

1.1. PDRB Kota Pematangsiantar Tahun 1997-2009 Menurut

Lapangan Usaha ADHK 2000 6

4.1. Wilayah Kota Pematangsiantar 55

4.2. Jumlah dan Tingkat Pertumbuhan Penduduk Kota

Pematangsiantar Tahun 1997-2009 59

4.3. TPAK dan TPT Kota Pematangsiantar Tahun 2002-2009 60

4.4. Distribusi Persentase PDRB Kota Pematangsiantar

Menurut Lapangan Usaha ADHK 2000 63

4.5. Laju Pertumbuhan PDRB Kota Pematangsiantar Sebelum

dan Pada Masa Otonomi Daerah Menurut Lapangan Usaha

ADHK 2000 66

4.6. PDRB Kota Pematangsiantar dan Provinsi Sumatera Utara

Tahun 2001-2009 ADHK 2000 71

4.7. Rasio PDRB Kota Pematangsiantar dan PDRB Sumatera

Utara 73

4.8. Komponen Pertumbuhan Regional Kota Pematangsiantar

Pada tahun 2001-2009 75

4.9. Komponen Pertumbuhan Proporsional Kota Pematangsiantar Pada Tahun 2001-2009 77 5.0. Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah Kota

Pematangsiantar Pada Tahun 2001-2009 80 5.1. Pergeseran Bersih Sektor Ekonomi Kota Pematangsiantar

(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul Halaman

2.1. Kerangka Pemikiran Konseptual 37

3.1. Model Analisis Shift Share 41

3.2. Profil Pertumbuhan PDRB 50

4.1. Grafik Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan Tahun

2009 58

4.2. Grafik Jumlah Penduduk Usia 15 Tahun Keatas Menurut Angkatan Kerja dan Bukan Angkatan Kerja

Tahun 2008 61

4.3. Profil Pertumbuhan Sektor Ekonomi Kota

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Judul Halaman

1 PDRB Sumatera Utara Tahun 1997-2009 Menurut Lapangan Usaha Berdasarkan Harga Konstan

2000 92

2 PDRB Kota Pematangsiantar Tahun 1997-2009 Menurut Lapangan Usaha Berdasarkan Harga

Konstan 2000 93

3 Rasio PDRB Kota Pematangsiantar dan Provinsi Sumatera Utara Sebelum Otonomi Daerah Tahun

1997-2000 94

4 Rasio PDRB Kota Pematangsiantar dan Provinsi Sumatera Utara Pada Masa Otonomi Daerah

(13)

ABSTRACT

This study analyzes the growth of economic sectors Pematangsiantar City. The growth is compared with the growth of economic sectors districts / cities in North Sumatra. The method used is the Shift-Share analysis. Data used in this research is secondary data of Gross Regional Domestic Product (GDP) and GDP Pematangsiantar City North Sumatra based on constant 2000 prices. Duration of time taken between the year 1997 as the beginning of the analysis and data in 2009 as the year end data analysis.

The purpose of this study was to determine the rate of growth of economic sectors Pematangsiantar City, comparing economic growth with economic growth Pematangsiantar City of North Sumatra, to know the profile of economic growth and identify the City Pematangsiantar competitiveness of economic sectors Pematangsiantar City compared to North Sumatra in the era of regional autonomy.

From the research, it is known that the economy is dominated by the City Pematangsiantar manufacturing, trade, hotels, and restaurants and other service sectors. However, after nine years of regional autonomy run almost all economic sectors have Pematangsiantar City competitiveness of the less well when compared with other regional economic sectors, except electricity, gas, and water supply, trade, hotels, and restaurants, and financial sector, rentals, and services company that has a positive value of RFQ. This is because economic sectors Pematangsiantar City has a slower growth rate compared with the economic sector, districts and other cities in North Sumatra.

(14)

ABSTRAK

Penelitian ini menganalisis pertumbuhan sektor ekonomi Kota Pematangsiantar. Pertumbuhan tersebut dibandingkan dengan pertumbuhan sektor ekonomi kabupaten/kota lain di Sumatera Utara. Metode yang digunakan adalah analisis Shift-Share. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Pematangsiantar dan PDRB Sumatera Utara berdasarkan harga konstan tahun 2000. Jangka waktu yang diambil berkisar antara tahun 1997 yaitu sebagai tahun awal analisis dan data tahun 2009 sebagai data tahun akhir analisis.

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui laju pertumbuhan sektor ekonomi Kota Pematangsiantar, membandingkan pertumbuhan ekonomi Kota Pematangsiantar dengan pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara, mengetahui profil pertumbuhan ekonomi Kota Pematangsiantar dan mengidentifikasi daya saing sektor ekonomi Kota Pematangsiantar jika dibandingkan dengan Sumatera Utara di era Otonomi Daerah.

Dari hasil penelitian, diketahui bahwa perekonomian Kota Pematangsiantar didominasi oleh sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel, dan restoran dan sektor jasa lainnya. Namun, setelah otonomi daerah berjalan sembilan tahun hampir semua sektor ekonomi Kota Pematangsiantar memiliki daya saing yang kurang baik bila dibandingkan dengan sektor ekonomi wilayah lain, kecuali sektor listrik, gas, dan air bersih, sektor perdagangan, hotel, dan restoran, dan sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan yang memiliki nilai PPW yang positif. Hal ini karena sektor-sektor ekonomi Kota Pematangsiantar memiliki laju pertumbuhan yang lebih lambat dibandingkan dengan sektor perekonomian kabupaten/kota lain di Sumatera Utara.

Kata kunci: otonomi daerah dan pertumbuhan wilayah

(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pembangunan ekonomi diarahkan pada terwujudnya perekonomian nasional yang mandiri dan andal berdasarkan demokrasi ekonomi untuk meningkatkan kemakmuran seluruh rakyat secara selaras, adil dan merata. Pertumbuhan ekonomi dengan demikian harus diarahkan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat serta mengatasi ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial

Pembangunan merupakan suatu proses yang dilaksanakan secara berkesinambungan dan berencana untuk mendapatkan kondisi masyarakat yang lebih baik dari sebelumnya. Oleh karena itu, pembangunan tersebut harus mampu mengakomodasi berbagai aspek kehidupan manusia baik material maupun spiritual. Pengalaman di negara-negara lain menunjukkan pembangunan ekonomi cenderung mendapat prioritas dari pembagunan lainnya karena pembangunan bidang ini diharapkan akan menjadi pemicu bagi pembangunan di bidang lainnya.

(16)

Pertumbuhan ekonomi sebagai indikator pembangunan daerah memprioritaskan untuk membangun dan memperkuat sektor-sektor di bidang ekonomi dengan mengembangkan, meningkatkan, dan mendayagunakan sumber daya secara optimal dengan tetap memperhatikan ketentuan antara industri dan pertanian yang tangguh serta pembangunan lainnya. Tuntutan agar pembangunan tidak hanya berjalan di daerah-daerah yang dekat dengan pemerintahan pusat saja, telah membuat pemerintah mengupayakan strategi yang sekiranya dapat mewujudkan terciptanya pembangunan. Keadaan tersebut mendorong lahirnya Undang No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah, serta Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah, yaitu hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai peraturan perundang-undangan. Jadi, sistem pemerintahan yang semula sentralis beralih menjadi desentralis yaitu penyerahan wewenang pemerintah kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), artinya sekarang daerah bebas mengatur kepentingannya baik itu masalah keuangan maupun pengambilan keputusan, selama tidak bertentangan dengan Undang-Undang.

(17)

Pematangsiantar memiliki kemandirian dalam melaksanakan pemerintahan dan menentukan sendiri kemajuan pembangunan.

Sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh Kota Pematangsiantar, maka perekonomiannya di dominasi oleh sektor industri. Sektor industri memegang peranan penting bagi pembangunan perekonomian Kota Pematangsiantar. Hal ini ditunjukkan dari kontribusi sektor industri dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDRB) dan dalam hal penyerapan tenaga kerja. Hal ini terlihat dari kecilnya kontribusi sektor pertanian pada PDRB daerah tersebut. Dari keseluruhan nilai PDRB sebesar Rp 813,59 Milyar, kontribusi sektor industri pengolahan mencapai Rp 267 Milyar atau 32,83 persen.

Di Kota Pematangsiantar ini terdapat 433 unit usaha industri kecil dan 41 unit usaha industri besar dan sedang. Pada industri kecil kelompok industri dengan unit usaha terbanyak adalah Industri Barang-Barang dari Logam, Mesin, dan Perlengkapannya, yaitu sebanyak 123 unit usaha dengan tenaga kerja sebanyak 954 orang. Sedangkan kelompok industri besar dan sedang yang jumlah unit usahanya terbesar adalah Industri (Besar dan Sedang) Makanan, Minuman, dan Tembakau, yaitu sebanyak 23 unit usaha dengan tenaga kerja sebanyak 3.808 orang.

(18)

Wilayah Kota Pematangsiantar merupakan wilayah perkotaan sehingga tidak sesuai dikembangkan untuk kegiatan pertanian. Wilayah perkotaan cenderung sesuai untuk kegiatan industri, perdagangan, dan jasa. Salah satu alasan berkembangnya sektor industri di Kota Pematangsiantar adalah karena secara geografis terletak di tengah-tengah Kabupaten Simalungun, dimana kabupaten ini unggul pada beberapa jenis komoditas pertanian sehingga dapat berfungsi sebagai penyedia input (hinterland) bagi industri Kota Pematangsiantar. Pada periode 1983-1995 PDRB sektor industri Kota Pematangsiantar terus meningkat, namun di tahun 1996 mengalami penurunan sebesar 4,43%. Pada tahun 1999 meningkat kembali sebesar 2,80% yang menunjukkan mulai bangkitnya sektor industri pasca krisis ekonomi.

(19)

komoditas ini mencapai Rp 12,9 milyar. Industri lain yang juga memberi kontribusi terhadap perekonomian Kota Pematangsiantar diantaranya adalah industri makanan, tekstil, perabot, percetakan, dan, kimia.

Sektor perekonomian yang sebelumnya di danai pemerintah pusat harus mampu dikembangkan sehingga menjadi leading sector. Dalam jangka panjang, konsep pembangunan daerah harus dapat menjadi suatu upaya untuk menumbuhkan perekonomian daerah sehingga daerah otonom dapat tumbuh dan berkembang secara mandiri. Sebagai daerah otonom, daerah mempunyai kewenangan dan tanggung jawab menyelenggarakan kepentingan masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip keterbukaan, partisipasi masyarakat, dan bertanggung jawab kepada masyarakat.

Otonomi daerah berpengaruh terhadap perkembangan ekonomi Kota Pematangsiantar. Berjalannya otonomi daerah diharapkan dapat mendorong peningkatan pelayanan di bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan serta memberikan kemampuan dalam memanfaatkan potensi wilayahnya untuk penyelenggaraan pembangunan daerah.

(20)

diterapkan sektor-sektor yang harus diprioritaskan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi Kota Pematangsiantar.

Tabel 1.1. PDRB Kota Pematangsiantar Tahun 1997-2009 Menurut Lapangan Usaha ADHK 2000 (Milyar Rupiah)

Sumber : BPS Kota Pematangsiantar, diolah.

Berdasarkan Tabel 1.1., selama periode otonomi daerah tahun 2001-2009 seluruh sektor perekonomian di Kota Pematangsiantar mengalami peningkatan.

Tahun

Sebelum Otonomi Daerah Sektor Perekonomian Pertanian Pertambangan dan Galian Industri Pengolahan Listrik,Gas, dan Air Minum Bangunan dan Konstruksi Perdagangan, Hotel, dan Restoran Angkutan dan Komunukasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Jasa Lainnya

1997 60,69 3,68 199,57 14,30 121,55 339,12 242,92 119,49 193,21

1998 60,15 3,53 188,56 13,63 117,83 345,85 240,04 116,20 189,84

1999 60,39 3,61 195,50 14,08 119,17 353,86 242,16 119,50 192,55

2000 60,73 3,71 205,05 14,46 123,57 363,99 245,45 121,82 197,05

Tahun

Pada Masa Otonomi Daerah Sektor Perekonomian Pertanian Pertambangan dan Galian Industri Pengolahan Listrik,Gas, dan Air Minum Bangunan dan Konstruksi Perdagangan, Hotel, dan Restoran Angkutan dan Komunukasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Jasa Lainnya

2001 63,06 3,60 205,13 15,51 125,08 370,11 125,04 125,04 211,03

2002 64,31 3,42 205,71 16,60 125,70 397,50 215,93 145,95 214,71

2003 66,34 3,38 207,35 17,41 129,20 414,28 254,41 151,78 259,65

2004 72,19 3,45 209,60 24,02 135,38 422,65 251,64 171,03 271,51

2005 73,01 0,37 209,88 25,91 144,88 460,02 270,61 180,36 284,93

2006 71,53 0,44 223,07 22,33 153,94 480,85 283,84 192,26 216,85

2007 65,50 0,44 230,42 21,66 54,91 504,74 300,13 215,25 236,22

2009 65,11 0,41 239,60 22,07 155,48 554,68 314,46 232,02 244,43

(21)

Sektor industri dan pengolahan sebagai salah satu sektor yang dominan dalam pembentukan PDRB Kota Pematangsiantar menunjukkan peningkatan yang signifikan sejak diberlakukannya otonomi daerah. Demikian halnya pada sektor perdagangan, hotel, dan restoran mampu meningkatkan nilai PDRB sebesar 363,99 milyar pada tahun 2000 menjadi 604,04 milyar pada tahun 2009 di masa otonomi daerah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dengan adanya otonomi daerah berpengaruh positif terhadap pertumbuhan PDRB Kota Pematangsiantar.

Namun, adanya otonomi daerah ternyata membawa pengaruh negatif terhadap perkembangan tenaga kerja. Pertumbuhan tenaga kerja di Kota Pematangsiantar sejalan dengan pertumbuhan penduduk. Pada periode 1990-2002 rata-rata pertumbuhan tenaga kerja 1,26% per tahun. Namun pertumbuhan ini tidak sebanding dengan kesempatan kerja yang ada, sehingga mengakibatkan bertambahnya jumlah pengangguran. Di Kota Pematangsiantar pada tahun 2002 banyaknya pencari kerja yang belum berpengalaman yang terdaftar di Kantor Departemen Tenaga Kerja 1.392 orang dan pada tahun 2009 sebanyak 1.422 orang. Jika dilihat dari jenis kelamin pencari kerja perempuan lebih banyak jika dibandingkan dengan pencari kerja laki-laki. Jumlah pencari kerja perempuan 977 orang dan laki-laki sebanyak 415 orang.

(22)

1.2. Rumusan Masalah

Undang-Undang otonomi daerah telah dijalankan, berbagai dampak telah ditimbulkan dari implementasi Undang-Undang tersebut, baik berupa pemekaran wilayah maupun peningkatan PAD. Setiap daerah harus mampu mengoptimalisasi peran sektor-sektor perekonomian lokalnya agar dapat meningkatkan PAD dan tidak bergantung pada anggaran dari pemerintah pusat. Daerah-daerah memiliki kebijakannya masing-masing dalam melaksanakan pembangunan sesuai dengan potensi sumber dayanya.

Permasalahan yang dihadapi pemerintah daerah dalam mengurus rumah tangga sendiri bersumber dari terbatasnya dana dalam melaksanakan pembangunan di wilayahnya. Untuk meningkatkan pembangunan daerah diperlukan biaya yang harus digali dari sumber keuangan sendiri. Keuangan daerah seharusnya merupakan salah satu kriteria untuk mengetahui secara riil kemampuan daerah dalam mengurus rumah tangga sendiri. Hal ini sesuai dengan tujuan pemberian otonomi kepada daerah, yaitu agar daerah mampu mengurus daerahnya sendiri dan berusaha melepaskan diri dari ketergantungan kepada pemerintah pusat.

Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini membahas permasalahan-permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana laju pertumbuhan ekonomi di Kota Pematangsiantar pada masa otonomi daerah (2001-2009)?

(23)

1.3. Hipotesis

Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap permasalahan yang menjadi objek penelitian, yang kebenarannya masih perlu dibuktikan atau pun diuji secara empiris.

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan sebelumnya, maka hipotesis penelitiannya adalah sebagai berikut:

1. Otonomi daerah (2001-2009) berpengaruh terhadap peningkatkan laju pertumbuhan sektor perekonomian di Kota Pematangsiantar.

2. Otonomi daerah (2001-2009) berpengaruh terhadap pertumbuhan sektor perekonomian Kota Pematangsiantar.

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan dilaksanakannya penelitian ini, yaitu:

1) Menganalisis laju petumbuhan ekonomi di Kota Pematagsiantar sebelum otonomi daerah (1997-2000) dan pada masa otonomi daerah (2001-2009). 2) Menganalisis pertumbuhan sektor perekonomian di Kota Pematangsiantar

(24)

1.5. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Bahan pertimbangan bagi pengambilan keputusan untuk perencanaan dan penentuan kebijakan pembangunan wilayah berdasarkan potensi yang dimiliki.

2. Bahan masukan dan informasi bagi penelitian yang masih relevan dengan permasalah penelitian ini.

(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Otonomi Daerah

Sistem pemerintahan Republik Indonesia mengatur asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan yang dilaksanakan secara bersama-sama. Untuk mewujudkan pelaksanaan asas desentralisasi tersebut maka dibentuklah daerah otonomi yang terbagi dalam daerah provinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota yang bersifat otonom sesuai dengan ketentuan pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Menurut pasal 1 ayat (1) dalam Undang-Undang-Undang-Undang tersebut dirumuskan bahwa: “Daerah Otonom”, selanjutnya disebut daerah,

adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu

berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut

prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Otonomi daerah merupakan alternatif pemecahan masalah kesenjangan pembangunan, terutama dalam konteks pemberdayaan pemerintah daerah yang selama ini dipandang hanya sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat. Menurut UU No. 22 Tahun 1999, otonomi daerah adalah kewenangan pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat di daerah tersebut menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat setempat.

(26)

pemerintah pusat dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Pada masa sekarang ini titik berat pemberian otonomi daerah diberikan kepada daerah tingkat II dan bukan kepada daerah tingkat I atau desa, karena pemerintah daerah tingkat II dianggap sebagai tingkat pemerintahan yang paling dekat dengan masyarakat sehingga dapat mengetahui kebutuhan masyarakat di daerahnya.

Menurut Arsyad (1999), pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah dan masyarakatnya mengelola sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam wilayah tersebut. Otonomi daerah memiliki tiga asas pada prinsip pelaksanaannya, yaitu:

1. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan kepada daerah otonom dalam kerangka NKRI.

2. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan atau perangkat pusat di daerah.

3. Tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada kepala daerah dan desa serta dari daerah ke desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkannya kepada yang menugaskan.

(27)

memobilisasi sumber-sumber penerimaan dan meningkatkan kapasitas keuangan. Dengan desentralisasi, sebagian atau seluruh fungsi pemerintah pusat dilimpah kepada daerah. Pemerintah daerah membiayai pelaksanaan fungsi tersebut dengan PAD yang dihasilkan oleh setiap daerah. Dalam kenyataanya pemerintah daerah memiliki keterbatasan untuk membiayai pelaksanaan program-program daerah dan kegiatan pembangunan dengan hanya mengandalkan potensi PAD. Bantuan pemerintah pusat sangat dibutuhkan dalam menunjang pembangunan di daerah. Sehingga diharapkan dengan adanya otonomi daerah pertumbuhan ekonomi daerah semakin kuat untuk menyokong pertumbuhan ekonomi nasional.

Otonomi daerah menurut UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, otonomi daerah pada hakikatnya adalah hak mengurus rumah tangga sendiri bagi suatu daerah otonom, artinya penetapan kebijakan sendiri, pelaksanan sendiri, serta pembiayaan sendiri dan pertanggungjawaban daerah sendiri (Aser, 2005).

(28)

Berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999, sasaran pelaksanaaan otonomi daerah adalah daerah kabupaten dan daerah kota yang berkedudukan sebagai daerah otonom memiliki wewenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Kewenangan daerah kabupaten atau kota mencakup semua kewenangan pemerintahan selain kewenangan pusat dan provinsi. Bidang pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh daerah kabupaten atau kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja.

Sebelum dikeluarkannnya Undang-Undang Otonomi Daerah tahun 1999, sumber keuangan daerah menurut UU No. 5 Tahun 1974 adalah sebagai berikut : 1. Penerimaan Asli Daerah (PAD)

2. Bagi hasil pajak dan non pajak

3. Bantuan pusat (APBN) untuk daerah tingkat I dan tingkat II 4. Pinjaman daerah

(29)

Sesuai dengan UU No. 22 Tahun 1999, sumber pendapatan daerah antara lain :

1. Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang terdiri dari : a. Pajak daerah

b. Retribusi daerah

c. Bagian Pemda dari hasil keuntungan perusahaan milik daerah (BUMD) d. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan.

2. Dana Perimbangan, yang terdiri dari : a. Dana bagi hasil

b. Dana alokasi umum c. Dana alokasi khusus 3. Pinjaman daerah

4. Lain-lain pendapatan daerah yang sah.

Sedangkan berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004, sumber pendapatan daerah antara lain:

1. Pendapatan asli daerah yang selanjutnya disebut PAD, yaitu: a. hasil pajak daerah

b. hasil retribusi daerah

c. hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan d. lain-lain PAD yang sah

2. Dana Perimbangan

(30)

Dana perimbangan terdiri dari bagian daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, penerimaan dari sumber daya alam, Pajak Penghasilan (PPh), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Berdasarkan UU No. 25 Tahun 1999, alokasi DAU ditetapkan berdasarkan dua faktor, yaitu potensi ekonomi dan kebutuhan daerah. Karena tujuan utama pemberian DAU adalah untuk mengurangi ketimpangan antar daerah, maka pada prinsipnya daerah-daerah yang miskin sumber daya alam akan memperoleh porsi yang lebih besar. Masalahnya, keragaman daerah-daerah dalam hal potensi ekonomi dan kebutuhan sangat besar. Jadi, daerah-daerah harus dapat mengoptimalkan peran sektor-sektor perekonomiannya sehingga dapat meningkatkan pembangunan daerah.

Pada masa sebelum otonomi, semua wewenang pemerintah dipegang oleh pemerintah pusat, daerah hanya sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat. Adanya otonomi daerah membuat wewenang pemerintah daerah semakin besar. Berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999, kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam bidang pemerintah kecuali dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, kebijakan tentang perencanaan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konversi, dan standarisasi nasional (Elmi, 2002).

(31)

masyarakatnya serta suasana baru dalam hubungan antar pusat dan daerah. Masyarakat di daerah yang selama ini lebih banyak dalam posisi dimarginalkan maka selanjutnya diberi kesempatan untuk mendapat pengakuan dan penghargaan terhadap hak-hak, aspirasi dan kepentingannya. Dengan kebijakan otonomi daerah, anggapan bahwa pemerintah lebih tahu kebutuhan masyarakat akan bergeser kepada masyarakat yang lebih mengetahui kebutuhan, aspirasi dan kepentingannya (Haris, 2005).

Sejak tanggal 1 Januari 2001 secara serentak otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 diimplementasikan secara nasional. Daerah menyambut implementasi kebijakan otonomi daerah dengan sangat antusias. Antusiasme masyarakat ini timbul karena besarnya harapan mereka terhadap otonomi daerah untuk menjawab berbagai masalah hubungan pusat dan daerah serta menuntaskan permasalahan berbagai tuntutan daerah selama ini. Secara bertahap daerah mulai menyesuaikan kelembagaan, struktur organisasi, kepegawaian, keuangan dan perwakilan di daerah dengan ketentuan yang diatur dalam UU No. 22 tahun 1999 (Haris, 2005).

2.2. Konsep Pertumbuhan Ekonomi

(32)

institusional, dan ideologis terhadap berbagai tuntutan keadaan yang ada (Todaro, 2004).

Kapasitas pertumbuhan dimungkinkan oleh adanya perkembangan teknologi, penyesuaian-penyesuaian kelembagaan dan ideologi sebagaimana yang diminta oleh kondisi masyarakatnya. Definisi ini memiliki tiga komponen pokok, yaitu, (1) Adanya peningkatan terus menerus dalam keluaran atau produksi nasional, yang merupakan manifestasi pertumbuhan ekonomi dan kemampuan untuk menyediakan berbagai jenis barang yang dibutuhkan merupakan pertanda kematangan ekonomi; (2) Kemajuan di bidang teknologi telah memberikan dasar atau prakondisi untuk berlangsungnya pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan, suatu kondisi yang penting tetapi tidak cukup hanya itu; (3) Penyesuaian-penyesuaian kelembagaan, sikap, dan ideologi harus diciptakan.

(33)

Menurut Kuznet dalam Jhingan (2004), pertumbuhan ekonomi sebagai kenaikan jangka panjang dalam kemampuan suatu negara untuk menyediakan semakin banyak jenis barang-barang ekonomi kepada penduduknya, kemampuan ini tumbuh sesuai dengan kemajuan teknologi, dan penyesuaian kelembagaan dan ideologis yang diperlukannya. Defenisi ini mempunyai tiga komponen, pertama, pertumbuhan ekonomi suatu bangsa terlihat dari meningkatnya secara terus-menerus suatu persediaan barang. Persediaan ini juga mengidentifikasi pertumbuhan suatu wilayah di suatu negara. Jika wilayah tersebut dapat meningkatkan persediaan barangnya secara terus-menerus maka wilayah tersebut dapat dikatakan mengalami pertumbuhan ekonomi. Kedua, teknologi maju merupakan faktor dalam pertumbuhan ekonomi yang menetukan derajat pertumbuhan kemampuan dalam penyediaan aneka macam barang kepada penduduk. Komponen kedua ini juga dapat dijadikan sebagai acuan apakah suatu wilayah di suatu negara tersebut mengalami pertumbuhan ekonomi. Jika wilayah tersebut dapat mengadopsi atau menemukan teknologi baru yang dapat meningkatkan produksi tanpa menambah input maka persediaan barang disuatu wilayah tersebut bertambah, ini berarti wilayah tersebut mengalami pertumbuhan ekonomi. Ketiga, penggunaan teknologi secara luas dan efisien memerlukan adanya penyesuaian di bidang kelembagaan dan ideologi sehingga inovasi yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan umat manusia dapat dimanfaatkan secara tepat.

(34)

dalam agregat variabel ekonomi, variabel transformasi struktural, dan faktor yang mempengaruhi penyebaran pertumbuhan ekonomi internasional. Dua agregat variabel ekonomi yaitu; (1) Tingkat pertumbuhan keluaran perkapita yang tinggi dan laju pertumbuhan penduduk, (2) Tingkat kenaikan yang tinggi pada total produktivitas faktor, terutama produktivitas tenaga kerja. Dua variabel transformasi struktural yaitu; (1) Tingkat transformasi struktural yang tinggi, dan (2) Tingkat transformasi sosial dan ideologi yang tinggi. Dua faktor yang mempengaruhi penyebaran pertumbuhan ekonomi internasional adalah kecenderungan negara-negara yang secara ekonomis maju untuk menggapai bagian dunia yang lain dalam usaha untuk memperluas pasar dan memperoleh bahan mentah, serta terbatasnya penyebaran pertumbuhan ekonomi yang hanya meliputi sepertiga bagian dunia.

2.3. Konsep Wilayah

Budiharsono (2001) menyatakan, wilayah diartikan sebagai suatu unit geografi yang dibatasi oleh kriteria tertentu yang bagian-bagiannya tergantung secara internal. Wilayah dapat dibagi menjadi empat jenis, yaitu: (1) wilayah homogen, (2) wilayah nodal, (3) wilayah perencanaan, dan (4) wilayah administratif.

1. Wilayah Homogen

(35)

dapat bersifat ekonomi misalnya daerah dengan struktur produksi dan konsumsi yang serupa, bersifat geografi misalnya wilayah yang mempunyai topografi/iklim yang sama, bahkan dapat juga bersifat sosial/politik misalnya kepribadian suatu wilayah yang bersifat tradisional kepada partai. Dengan demikian, apabila terjadi suatu perubahan pada suatu wilayah akan berpengaruh terhadap wilayah lainnya. 2. Wilayah Nodal

Wilayah nodal merupakan satuan-satuan yang heterogen dan memiliki hubungan yang erat satu sama lain dengan distribusi penduduk manusia, sehingga terbentuk suatu kota-kota besar, kotamadya maupun desa-desa. Ciri umum pada daerah-daerah nodal adalah penduduk kota tidak tersebar secara merata diantara pusat-pusat yang sama besarnya, melainkan tersebar pula diantara pusat-pusat yang besarnya berbeda-beda dan secara keseluruhan membentuk suatu hirarki perkotaan (urban hierarchy), sehingga timbul ketergantungan antar pusat (inti) dan daerah belakangnya (hinterland). Hal ini menyebabkan terjadinya pertukaran barang dan jasa secara intern di dalam wilayah tersebut. Daerah belakang akan menjual barang-barang mentah dan jasa tenaga kerja kepada daerah inti, sedangkan daerah inti akan menjual ke daerah belakang dalam bentuk barang jadi.

Contoh daerah nodal adalah Provinsi DKI Jakarta dan BOTABEK (Bogor, Tangerang, Bekasi) yang mana DKI sebagai daerah inti dan BOTABEK sebagai daerah belakangnya.

3. Wilayah Administratif

(36)

kabupaten, kecamatan, desa/kelurahan dan RT/RW. Hal ini disebabkan dua faktor, yaitu: (1) dalam melaksanakan kebijaksanaan dan rencana pembangunan wilayah diperlukan tindakan dari berbagai badan pemerintahan, dan (2) wilayah yang batasnya ditentukan berdasarkan satuan administrasi pemerintah lebih mudah dianalisis.

4. Wilayah Perencanaan

Wilayah perencanaan didefinisikan sebagai wilayah yang memperlihatkan kesatuan keputusan-keputusan ekonomi. Wilayah perencanaan harus memiliki ciri-ciri: (1) cukup besar untuk mengambil keputusan-keputusan investasi yang berskala ekonomi. (2) mampu mengubah industrinya sendiri dengan tenaga kerja yang ada, (3) memiliki struktur ekonomi yang homogen, (4) mempunyai sekurang-kurangnya satu titik pertumbuhan, (5) menggunakan suatu cara pendekatan perencanaan pembangunan dan (6) masyarakat dalam wilayah mempunyai kesadaran bersama terhadap persoalan-persoalannya.

Contoh wilayah perencanaan yang lebih menekankan pada aspek fisik dan ekonomi adalah BARELANG (Pulau Batam, Pulau Rembang, Pulau Galang), daerah perencanaan tersebut adalah lintas batas administrasi.

(37)

1. Wilayah Maju

Wilayah maju merupakan wilayah yang telah berkembang dan diidentifikasikan sebagai wilayah pusat pertumbuhan, pemusatan penduduk, industri, pemerintahan, pasar potensial, tingkat pendapatan yang tinggi dan memiliki sumberdaya manusia yang berkualitas. Perkembangan wilayah maju di dukung oleh perkembangan sumberdaya yang ada di wilayah tersebut maupun wilayah belakangnya (hinterland) dan potensi lokasi yang strategis. Sarana pendidikan yang memadai serta pembangunan infrastruktur yang lengkap, seperti jalan, pelabuhan, alat komunikasi dan sebagainya mengakibatkan aksesabilitas yang tinggi terhadap pasar domestik maupun internasional.

2. Wilayah Sedang Berkembang

Wilayah ini memiliki karakteristik pertumbuhan penduduk yang cepat sebagai implikasi dari peranannya sebagai penyangga wilayah maju. Wilayah sedang berkembang juga mempunyai tingkat pendapatan dan kesempatan kerja yang tinggi, potensi sumberdaya alam yang melimpah, keseimbangan antara sektor pertanian dan industri serta mulai berkembangnya sektor jasa.

3. Wilayah Belum Berkembang

(38)

4. Wilayah Tidak Berkembang

Karakteristik wilayah ini diidentifikasikan dengan tidak adanya sumberdaya alam, sehingga secara alamiah tidak berkembang. Selain itu, tingkat kepadatan penduduk, kualitas sumberdaya manusia dan tingkat pendapatan masih tergolong rendah dan pembangunan infrastruktur pun tidak lengkap.

2.4. Konsep Pembangunan Wilayah

Seluruh wilayah di Indonesia memiliki kontribusi terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi negara Indonesia. Pembangunan wilayah merupakan bagian integral dan penjabaran dari pembangunan nasional dalam rangka pencapaian sasaran pembangunan yang disesuaikan dengan potensi, aspirasi dan permasalahan di daerah, yang diarahkan untuk lebih mengembangkan dan menyerasikan laju pertumbuhan antardaerah, antarkota, antardesa, dan antarkota dengan desa. Pembangunan daerah bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat di wilayah atau daerah melalui pembangunan yang serasi antarsektor maupun antarpembangunan sektoral dengan perencanaan pembangunan oleh daerah yang efisien dan efektif menuju tercapainya kemandirian daerah dan kemajuan yang merata di seluruh pelosok Tanah Air (Soegijoko, 1997).

(39)

terdapat pihak yang mengatur dan mengambil keputusan untuk mempengaruhi perubahan sosial (Friedman dalam Restuningsih, 2004). Sasaran pembangunan menurut Todaro (1994) yaitu:

1. Meningkatkan persediaan dan memperluas pembagian/pemerataan bahan pokok yang dibutuhkan untuk bisa hidup, seperti perumahan, kesehatan dan lingkungan.

2. Mengangkat taraf hidup termasuk menambah dan mempertinggi pendapatan dan penyediaan lapangan kerja, pendidikan yang lebih baik, dan perhatian yang lebih besar terhadap nilai-nilai budaya manusiawi, yang semata-mata bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan materi, tetapi untuk meningkatkan kesadaran harga diri baik individu maupun nasional.

3. Memperluas jangkauan pilihan ekonomi dan sosial bagi semua pilihan individu dan nasional dengan cara membeb askan mereka dari sikap budak dan ketergantungan, tidak hanya hubungan dengan orang lain dan negara lain, tetapi juga dari sumber-sumber kebodohan dan penderitaan.

Untuk mencapai sasaran pembangunan diatas, pembangunan ekonomi harus diarahkan kepada:

(40)

3. Pengurangan dan pemberantasan ketimpangan.

4. Perubahan sosial, sikap mental, dan tingkah laku masyarakat dan lembaga pemerintah.

Pada kenyataannya, tidak semua wilayah dapat mewujudkan hal tersebut, sehingga pembangunanpun tidak merata di seluruh wilayah. Perbedaan pembangunan antarwilayah dapat dijelaskan oleh sejumlah teori, yakni teori basis ekonomi, teori lokasi dan teori daya tarik industri (Tambunan, 2001).

1. Teori Basis Ekonomi

Teori ini menjelaskan bahwa faktor utama penentu pertumbuhan ekonomi suatu wilayah dipengaruhi oleh hubungan langsung permintaan barang dan jasa dari luar daerah. Proses produksi sektor industri di suatu wilayah yang menggunakan sumber daya produksi lokal (tenaga kerja, bahan baku dan produk unggulan yang diekspor) akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi, peningkatan pendapatan perkapita dan penciptaan lapangan kerja di wilayah tersebut.

2. Teori Lokasi

Teori ini digunakan untuk menentukan pengembangan kawasan industri di suatu wilayah. Lokasi usaha ditempatkan pada suatu tempat yang mendekati bahan baku/pasar. Hal ini ditentukan berdasarkan tujuan perusahaan dalam rangka memaksimumkan keuntungan dengan biaya serendah mungkin.

3. Teori Daya Tarik Industri

(41)

industri-industri kaitan, daya saing masa depan, spesialisasi industri, potensi ekspor dan prospek permintaan domestik.

Dengan demikian, konsep pembangunan wilayah secara mendasar mengandung prinsip pelaksanaan kebijaksanaan desentralisasi dalam kerangka peningkatan pelaksanaan pembangunan untuk mencapai sasaran nasional yang bertumpu pada trilogi pembangunan, yaitu pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas. Dalam hal ini pembangunan wilayah merupakan upaya pemerataan pembangunan dengan pengembangan wilayah-wilayah tertentu melalui berbagai kegiatan sektoral secara terpadu, sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah itu secara efektif dan efisien serta dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya (Soegijoko, 1997).

Menurut Arsyad (1999), pembangunan ekonomi daerah/wilayah adalah suatu proses dimana pemerintah dan masyarakatnya mengelola sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam wilayah tersebut. Perencanaan ekonomi daerah adalah suatu proses yang mencakup pembentukan institusi-institusi baru, pembangunan industri-industri alternatif, perbaikan kapasitas tenaga kerja yang ada, untuk menghasilkan barang dan jasa yang lebih baik, identifikasi pasar-pasar baru, alih ilmu pengetahuan, dan pengembangan usaha-usaha baru.

(42)

kemajuan material harus muncul dari warga masyarakatnya sendiri dan tidak dapat dipengaruhi atau diintimidasi oleh daerah luar.

2.5. Perencanaan dan Pembangunan Wilayah

Berkembangnya perekonomian Indonesia yang ditandai dengan pertumbuhan ekonomi, terjadinya transformasi di bidang teknologi dan perekonomian. Hal ini jelas menandakan meningkatnya kemampuan pemerintah daerah untuk mewujudkan pembangunan. Namun dengan naiknya harga BBM pemerintah dituntut untuk lebih efisien dan tepat dalam alokasi pembiayaan pembangunan, dengan memanfaatkan potensi, serta aspirasi untuk memahami potensi pembiayaan asli daerah.

Soegijoko (1997), menyatakan pelaksanaan pembangunan tidak lagi dapat dilaksanakan secara sektoral semata, namun harus lebih berorientasi pada pembangunan regional atau pembangunan multisektoral. Untuk itu perlu upaya pengembangan wilayah secara terpadu melalui penyusunan perencanaan regional. Perencanaan regional merupakan perencanaan yang dilakukan karena adanya perbedaan kepentingan, permasalahan, ciri dan karakteristik dari masing-masing daerah/wilayah yang menuntut campur tangan pemerintah pada tingkat regional.

(43)

Pembangunan suatu wilayah bukan berarti tidak mempunyai kendala, dalam hal ini untuk mengatasi dan mengantisipasi kendala-kendala pembangunan regional, pemerintah telah memprakarsai beberapa kegiatan berkaitan dengan pembangunan regional, diantaranya sebagai berikut:

1. Desentralisasi Pembiayaan

Pemerintah telah menetapkan suatu kerangka dari fungsi desentralisasi yang lebih mendalam pada tingkat kabupaten, dituangkan dalam PP No. 8 Tahun 1995, peraturan ini merupakan tindak lanjut dari PP No. 45 Tahun 1992 (pelaksanaan otonomi wilayah dengan penekanan pada daerah tingkat II). UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25 Tahun 2000 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah dan telah disempurnakan dengan UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah. 2. Pengadaan Pelayanan Regional

Pemerintah dalam beberapa sektor telah mulai mengadakan pelayanan dengan sistem desentralisasi pada tingkat wilayah. Sebagai contoh, Telkom telah di bagi ke dalam sejumlah perusahaan distribusi wilayah yang bertanggung jawab terhadap penyediaan pelayanan di wilayah yang bersangkutan. Hal ini juga terjadi pada distribusi pelayanan listrik.

3. Perencanaan Regional

(44)

disusun kriteria untuk menetapkan kawasan andalan berdasarkan kepentingan ekonomi, sosial, dan budaya.

4. Pengentasan Kemiskinan

Pengentasan kemiskinan lebih ditekankan pada masalah kemiskinan di wilayah Indonesia Timur, sehingga dibentuk suatu Komisi Dewan Kawasan Timur Indonesia untuk mengamati, menyusun dan mengkoordinasikan kebijaksanaan bagi KTI. Dewan KTI ini telah menetapkan 13 kawasan andalan yang akan dikembangkan di KTI sebagai wilayah yang diharapkan dapat memacu perkembangan wilayah sekitar di KTI.

5. Inovasi Proyek Infrastruktur Perkotaan

Pemerintah menetapkan kegiatan-kegiatan operasional dengan penekanan pada pengawasan biaya dan rasionalisasi serta penguatan kelembagaan subnasional dalam bentuk Program Pembangunan Prasarana Kota Terpadu (P3KT). P3KT pada dasarnya mengubah dan menggeser pendekatan pembangunan prasarana kota dari pendekatan sektoral dan terpusat ke pendekatan yang lebih terpadu dan lebih terdesentralisasi.

2.6. Penelitian-Penelitian Terdahulu

(45)

Penelitian ini menggunakan data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Tangerang dan Propinsi Banten tahun 2001 hingga tahun 2004. Data tersebut diperoleh dari survei sekunder, yaitu dengan memanfaatkan data yang telah tersedia pada instansi terkait. Dalam skripsi ini digunakan model basis ekonomi yang tercermin pada analisis Location Quotient (LQ) yang dilengkapi analisis Shift Share, yang berguna untuk mengetahui sektor-sektor unggulan di Kota Tangerang.

Hasil metode analisis Shift Share menggunakan komponen pertumbuhan

differential (Dj) menunjukkan terdapat 4 sektor dengan rata-rata Dj positif, yaitu

sektor perdagangan, hotel dan restoran dengan nilai rata-rata Dj sebesar 6277,27; sektor angkutan dan komunikasi dengan nilai rata-rata sebesar 47076,89; sektor bank dan lembaga keuangan lainnya dengan nilai rata-rata sebesar 54818,93; sektor jasa-jasa dengan nilai rata-rata sebesar 1835,37, hal tersebut mengindikasikan bahwa ke-4 sektor tersebut tumbuh lebih cepat dibandingkan sektor ekonomi yang sama dengan Propinsi Banten sehingga ke-4 sektor tersebut memiliki daya saing tinggi dan berpotensi untuk dikembangkan untuk memacu pertumbuhan ekonomi Kota Tangerang, sedangkan komponen pertumbuhan

proportional (Pj) menunjukkan bahwa terdapat 4 sektor yang memiliki nilai

(46)

Sihombing (2006), dalam penelitiannya analisis mengenai dampak otonomi daerah terhadap pertumbuhan sektor perekonomian di Kabupaten Tapanuli Utara digunakan analisis Shift Share. Data yang digunakan adalah data sekunder berupa nilai PDRB Kabupaten Tapanuli Utara dan nilai PDRB Provinsi Sumatera Utara tahun 1993-2004 berdasarkan harga konstan tahun 1993.

(47)

Pada masa otonomi daerah tahun 2001 sampai 2004, perekonomian Kabupaten Tapanuli Utara termasuk dalam kelompok pertumbuhan progresif. Akan tetapi sebagian besar sektor ekonomi mempunyai laju pertumbuhan yang lambat.

Ramadhanni (2007) menganalisis pertumbuhan sektor-sektor ekonomi dalam menunjang pembangunan daerah Kabupaten Lahat pada masa otonomi daerah tahun 2001-2004, baik itu laju pertumbuhannya maupun daya saing sektor tersebut terhadap Propinsi Sumatera Selatan. Selain itu akan diidentifikasi profil pertumbuhan PDRB Kabupaten Lahat dan pergeseran bersih, sehingga dapat diketahui sektor-sektor tersebut termasuk kedalam kelompok pertumbuhan

progresif (maju) atau kelompok pertumbuhan lambat.

Penelitian ini menggunakan model analisis Shift Share. Perangkat lunak yang digunakan dalam proses pengolahan data Shift Share ini adalah Microsoft

Excel. Data yang digunakan adalah data sekunder berupa nilai PDRB Kabupaten

Lahat dan PDRB Propinsi Sumatera Selatan tahun 2001-2004 berdasarkan harga konstan tahun 2000 menurut lapangan usaha.

(48)

perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan dan komunikasi dan sektor jasa-jasa.

Dengan melihat nilai pergeseran bersih Kabupaten Lahat terhadap Propinsi Sumatera Selatan, maka secara agregat, nilai yang diperoleh Kabupaten Lahat mengalami pertumbuhan yang masih progresif. Selain itu, sektor-sektor perekonomian Kabupaten lahat secara umum didukung oleh daya dukung (PPW >

0). Dengan total nilai pergeseran bersih yang positif (PB > 0), ini berarti bahwa

pada masa otonomi daerah, Kabupaten Lahat termasuk Kabupaten yang mengalami laju pertumbuhan yang progresif. Sektor pertanian merupakan sektor andalan yang sangat mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Lahat dan juga memberikan kontribusi terbesar terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten Lahat.

Mahila (2007) dalam penelitiannya menganalisis pertumbuhan sektor ekonomi Kabupaten Karawang. Pertumbuhan tersebut dibandingkan dengan pertumbuhan sektor ekonomi kabupaten lain di Jawa Barat. Metode yang digunakan adalah analisis Shift Share. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa data Produk Domertik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Karawang dan PDRB Jawa Barat berdasarkan harga konstan tahun 1993. Jangka waktu yang diambil berkisar antara tahun 1993 yaitu sebagai tahun awal analisis dan data tahun 2005 sebagai data tahun akhir analisis.

(49)

menyebabkan sektor pertambangan di Kabupaten Karawang memiliki kontribusi terbesar ketiga terhadap PDRB Jawa Barat. Berkembangnya sektor industri pengolahan di Kabupaten Karawang menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah penduduk yang berdampak pada peningkatan penggunaan listrik, gas dan air bersih di Kabupaten Karawang. Sektor pertanian di Kabupaten Karawang memiliki tingkat pertumbuhan yang lambat tetapi sektor ini masih mempunyai daya saing baik bila dibandingkan dengan sektor ekonomi di Jawa Barat, meskipun kontribusi sektor pertanian menurun, tetapi sektor ini masih menjadi penyumbang terbesar di Jawa Barat dalam memenuhi permintaan pasar.

Perekonomian Kabupaten Karawang termasuk dalam kelompok yang

progresif, tetapi ada beberapa sektor yang masih bisa ditingkatkan

kemampuannya untuk meningkatkan pendapatan daerah, karena Kabupaten Karawang sebagian besar wilayahnya didominasi oleh sektor pertanian, sektor perdagangan, hotel dan restoran, dan sektor bangunan. Semua sektor tersebut termasuk dalam pertumbuhan yang lambat.

2.7. Kerangka Pemikiran Konseptual

(50)

pembangunan suatu daerah, sehingga daerah tidak mampu berkreasi menentukan arah pembangunannya. Adanya kebijakan otonomi daerah menuntut daerah-daerah untuk mampu mengoptimalkan potensi sektor-sektor perekonomiannya.

Potensi sektor perekonomian berpengaruh terhadap perkembangan suatu wilayah. Apabila sektor perekonomian memiliki pertumbuhan yang cepat, maka suatu wilayah berkembang dengan cepat pula, begitu pula sebaliknya. Laju pertumbuhan sektor-sektor perekonomian dapat dianalisis dengan analisis Shift

Share.

(51)
[image:51.595.108.515.131.664.2]

Keterangan: = Alat analisis yang digunakan = Hal-hal yang dihasilkan

Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Konseptual Perekonomian Kota Pemtangsiantar

Sebelum Otonomi Daerah (1997-2000)

Pada Masa Otonomi Daerah (2001-2009)

Sektor-sektor Perekonomian

Pengembangan Wilayah Kota Pematangsiantar Laju Pertumbuhan PDRB dan

Kontribusi Masing-Masing Sektor Perekonomian

Laju Pertumbuhan, Daya Saing, dan Profil Pertumbuhan

dari Masing-Masing Sektor Perekonomian Analisis

PDRB

Analisis

(52)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dalam penelitian ini dilakukan di Kota Pematangsiantar yang merupakan salah satu kota di Provinsi Sumatera Utara. Penelitian ini dilakukan untuk mengamati dan menganalisis bagaimana pertumbuhan wilayah Kota Pematangsiantar di era otonomi daerah melalui nilai PDRB-nya.

3.2. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan untuk penelitian ini adalah data sekunder berupa PDRB Kota Pematangsiantar dan Provinsi Sumatera Utara atas dasar harga konstan 2000 antara periode tahun 1997-2009, serta data-data lainnya yang masih terkait dengan penelitian ini. Adapun alasan penggunaan tahun dasar 2000 adalah:

1. Penghitungan laju pertumbuhan ekonomi dibutuhkan penggunaan tahun dasar yang dapat menggambarkan kondisi perekonomian Indonesia secara representatif.

(53)

3. Tahun dasar yang dianggap representatif untuk mengukur laju pertumbuhan ekonomi setelah krisis ekonomi tahun 1997/1998 adalah tahun 2000 karena tahun tersebut dianggap sebagai tahun yang relatif stabil setelah krisis ekonomi tahun 1997/1998.

4. Ketersediaan data yang konsisten untuk mendukung penggunaan tahun dasar tersebut yaitu tabel Input-Output Indonesia tahun 2000.

Data diperoleh dari BPS Provinsi Sumatera Utara, BPS Kota Pematangsiantar, dan instansi terkait lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini. Referensi studi kepustakaan melalui jurnal, artikel, bahan-bahan lain dari perpustakaan dan internet yang masih relevan dengan penelitian ini.

3.3. Metode dan Teknik Pengumpulan Data

(54)

3.4. Pengolahan Data

Dalam melakukan pengolahan data, penulis menggunakan software

Microsoft Excel sebagai software pembantu dalam mengkonversi data dalam

bentuk baku yang disediakan oleh sumber kedalam bentuk yang lebih representatif sehingga meminimalkan kesalahan dalam mengolah data jika dibandingkan dengan pengolahan data yang dilakukan secara manual.

3.5. Metode Analisis Data

3.5.1. Analisis Laju Pertumbuhan PDRB Kota Pematangsiantar

Menurut Budiharsono (2001), analisis PDRB digunakan untuk mengidentifikasi perubahan PDRB sektor ke i di kabupaten/kota ke j pada tahun awal dan tahun akhir analisis. Analisis ini akan menghasilkan laju pertumbuhan PDRB Kota Pematangsiantar atau dengan kata lain analisis ini digunakan untuk menilai serta untuk mendapatkan informasi yang valid tentang bagaimana rata-rata laju pertumbuhan PDRB Kota Pematangsiantar mengalami peningkatan ataupun penurunan pada periode setelah otonomi daerah berjalan.

Laju Pertumbuhan PDRB Kota Pematangsiantar menggunakan rumus:

LPPDRBt

Dimana:

= x 100%

LPPDRBt

PDRB

= Laju Pertumbuhan PDRB pada tahun ke-t

t

PDRB

= Angka PDRB pada tahun ke-t

t-1 = Angka PDRB pada tahun ke t-1 PDRBt – PDRBt-1

(55)

3.5.2. Analisis Shift Share

Laju pertumbuhan sektor-sektor perekonomian dapat dianalisis dengan analisis Shift Share. Pada penelitian ini analisis Shift Share digunakan untuk menganalisis dampak otonomi daerah terhadap pertumbuhan sektor perekonomian di Kota Pematangsiantar, sehinggga dapat diketahui sektor-sektor yang memiliki pertumbuhan yang cepat dan sektor-sektor yang memiliki pertumbuhan yang lambat. Selain itu, dapat pula dianalisis daya saing sektor, yaitu sektor mana yang mampu bersaing dan sektor mana yang tidak mampu bersaing. Secara skematik model analisis Shift Share telah disajikan pada Gambar 3.1.

Keterangan:

PP : Pertumbuhan Proporsional PPW : Pertumbuhan Pangsa Wilayah Sumber: Budiharsono (2001)

Maju PP +PPW ≥ 0

Komponen

Pertumbuhan Proporsional (PP)

Sektor ke i (sektor i)

Komponen Pertumbuhan Nasional (PN) atau Pertumbuhan Regional

(PR)

Wilayah ke j (Wilayah j)

Komponen

Pertumbuhan Pangsa Wilayah (PPW)

[image:55.595.115.569.361.599.2]
(56)

Analisis Shift Share menganalisis berbagai perubahan indikator kegiatan ekonomi, seperti produksi dan kesempatan kerja, pada dua titik waktu di suatu wilayah. Hasil analisis dapat menunjukkan perkembangan suatu sektor di suatu wilayah jika dibandingkan secara relatif dengan sektor-sektor lainnya, apakah perkembangan dengan cepat atau lambat. Hasil analisis ini juga dapat menunjukkan bagaimana perkembangan suatu wilayah bila dibandingkan dengan wilayah lainnya. Tujuan analisis Shift Share adalah untuk menentukan produktivitas kerja perekonomian daerah dengan membandingkan dengan daerah yang lebih besar (regional atau nasional).

Berdasarkan Gambar 3.1. juga dapat dipahami bahwa pertumbuhan sektor perekonomian pada suatu wilayah dipengaruhi oleh beberapa komponen, yaitu: komponen pertumbuhan nasional (national growth component) disingkat PN atau komponen pertumbuhan regional (regional growth component) disingkat PR, komponen pertumbuhan proporsional (proportional or industrial mix growth

component) disingkat PP dan komponen pertumbuhan pangsa wilayah (regional

share growth component) disingkat PPW. Dari ketiga komponen tersebut dapat

(57)

1. Komponen Pertumbuhan Nasional/Pertumbuhan Regional (PR)

Komponen pertumbuhan nasional/regional adalah perubahan produks i suatu wilayah yang disebabkan oleh perubahan produksi nasional/regional secara umum, perubahan kebijakan ekonomi nasional/regional, atau perubahan dalam hal-hal yang mempengaruhi perekonomian suatu sektor dan wilayah. Bila diasumsikan bahwa tidak ada perbedaan karakteristik ekonomi antarsektor dan antarwilayah, maka adanya perubahan akan membawa dampak yang sama pada semua sektor dan wilayah. Akan tetapi pada kenyataannya beberapa sektor dan wilayah tumbuh lebih cepat daripada sektor dan wilayah lainnya.

2. Komponen Pertumbuhan Proporsional (PP)

Komponen pertumbuhan proporsional tumbuh karena perbedaan sektor dalam permintaan produk akhir, perbedaan dalam ketersediaan bahan mentah, perbedaan dalam kebijakan industri dan perbedaan dalam struktur dan keragaman pasar.

3. Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah (PPW)

Timbulnya komponen pertumbuhan pangsa wilayah terjadi karena peningkatan atau penurunan PDRB atau kesempatan kerja dalam suatu wilayah dibandingkan wilayah lainnya. Cepat lambatnya pertumbuhan ditentukan oleh keunggulan komparatif, akses pasar, dukungan kelembagaan, prasarana sosial dan ekonomi serta kebijakan ekonomi regional pada wilayah terebut.

(58)

titik waktu dijadikan sebagai dasar analisis, sedangkan satu titik lainnya dijadikan sebagai akhir analisis.

2. Perubahan PDRB di suatu wilayah antara tahun dasar analisis dengan tahun akhir analisis dapat dilihat melalui tiga komponen yakni komponen pertumbuhan nasional (PN/PR), komponen pertumbuhan proporsional (PP), dan komponen pertumbuhan pangsa wilayah (PPW).

3. Berdasarkan komponen PN/PR dapat diketahui laju pertumbuhan ekonomi suatu wilayah dibadingkan dengan laju pertumbuhan nasional.

4. Komponen PP dapat digunakan untuk mengetahui pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di suatu wilayah. Hal ini berarti bahwa suatu wilayah dapat mengadakan spesialisasi di sektor-sektor yang berkembang secara nasional dan bahwa sektor-sektor dari perekonomian wilayah telah berkembang lebih cepat daripada rata-rata nasional untuk sektor-sektor itu.

5. Komponen PPW dapat digunakan untuk melihat daya saing sektor-sektor ekonomi dibandingkan dengan sektor ekonomi pada wilayah lainnya.

6. Jika persentase PP dan PPW dijumlahkan, maka dapat ditunjukkan adanya

Shift (pergeseran) hasil pembangunan perekonomian daerah.

(59)

1. Analisis Shift Share merupakan suatu teknik pengukuran yang mencerminkan suatu sistem akunting dan tidak analitik. Oleh karena itu analisis tidak untuk menjelaskan mengapa, misalnya, pengaruh daya saing (keunggulan komparatif) adalah positif dibeberapa wilayah, tetapi negatif di wilayah-wilayah lainnya.

2. Komponen pertumbuhan nasional secara implisit mengemukakan bahwa pertumbuhan ekonomi suatu wilayah ekuivalen dengan laju pertumbuhan nasional. Gagasan tersebut terlalu sederhana, karena mengakibatkan sebab-sebab pertumbuhan wilayah.

3. Arti ekonomi dari kedua komponen pertumbuhan wilayah (PP dan PPW) tidak dikembangkan dengan baik. Keduanya berkaitan dengan prinsip-prinsip ekonomi yang sama, seperti perubahan penawaran dan permintaan, perubahan teknoligi dan perubahan lokasi.

Teknik analisis Shift Share secara implisit mengambil asumsi bahwa semua barang yang dijual secara nasional, padahal tidak semua demikian. Bila pasar suatu wilayah bersifat lokal maka barang itu tidak dapat bersaing dengan wilayah-wilayah lain yang menghasilkan barang yang sama, sehingga tidak mempengaruhi permintaan agregat.

3.5.3. Rasio PDRB Kota/Kabupaten dan PDRB Provinsi (Nilai Ra, Ri, ri Nilai R

)

(60)

1. Nilai R

R

a

a merupakan selisih antara total PDRB Provinsi Sumatera Utara pada

tahun akhir analisis dengan total PDRB Provinsi Sumatera Utara pada tahun dasar analisis dibagi total PDRB Provinsi Sumatera utara pada tahun dasar analisis, rumusnya dapat dituliskan sebagai berikut:

Ra

Dimana:

=

Y’.. = Total PDRB Provinsi Sumatera Utara pada tahun akhir analisis,

Y.. = Total PDRB Provinsi Sumatera Utara pada tahun dasar analisis.

2. Nilai R

R

i

i merupakan selisih antara PDRB Provinsi Sumatera Utara sektor

pertanian (1) pada tahun akhir analisis dengan PDRB Provinsi Sumatera Utara sektor pertanian pada tahun dasar analisis dibagi PDRB Provinsi Sumatera Utara sektor pertanian pada tahun dasar analisis. Rumusnya adalah sebagai berikut:

Ri Dimana :

=

Y’1

Y

= PDRB Provinsi Sumatera Utara dari sektor pertanian pada tahun akhir analisis,

1 3. Nilai r

= PDRB Provinsi Sumatera Utara dari sektor pertanian pada tahun dasar analisis.

Nilai r i

i merupakan selisih antara PDRB Kota Pematangsiantar dari sektor pertanian (1) pada tahun akhir analisis dengan PDRB Kota Pematangsiantar dari sektor pertanian pada tahun dasar analisis dibagi PDRB Kota Pematangsiantar

Y.. Y’.. – Y..

Y1

(61)

sektor pertanian pada tahun dasar analisis. Rumusnya dapat ditulis sebagai berikut:

ri =

Dimana:

y’1j

y

= PDRB Kota Pematangsiantar sektor pertanian pada tahun akhir analisis,

1j

3.5.4. Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah

= PDRB Kota Pematangsiantar sektor pertanian pada tahun dasar analisis.

Nilai komponen PR, PP, dan PPW didapat dari perhitungann nilai Ra, Ri dan ri

1. Komponen Pertumbuhan Regional (PR)

. Dari ketiga komponen tersebut jika dijumlahkan akan didapat nilai perubahan PDRB.

Komponen PR adalah perubahan produksi suatu wilayah yang disebabkan oleh perubahan produksi regional secara umum, perubahan kebijakan ekonomi regional, atau perubahan dalam hal-hal yang mempengaruhi perekonomian suatu sektor dan wilayah. Bila diasumsikan bahwa tidak ada perbedaan karakteristik ekonomi antarsektor dan antarwilayah, maka adanya perubahan akan membawa dampak yang sama pada semua sektor dan wilayah. Akan tetapi kenyataannya beberapa sektor dan wilayah tumbuh lebih cepat daripada sektor dan wilayah lainnya. Komponen pertumbuhan regional dapat dirumuskan sebagai berikut:

PR1j = (Ra) y1j

y’1j - y1j

(62)

Di mana:

PR1

y

= Komponen pertumbuhan regional sektor pertanian.

1j

(R

= PDRB Kota Pematangsiantar dari sektor pertanian pada tahun dasar analisis

a

Apabila persentase total perubahan PDRB Kota Pematangsiantar lebih besar daripada persentase komponen pertumbuhan regional, maka pertumbuhan sektor-sektor ekonomi Kota Pematangsiantar lebih besar daripada pertumbuhan sektor-sektor ekonomi Provinsi Sumatera Utara. Apabila persentase total perubahan PDRB Kota Pematangsiantar lebih kecil dibandingkan dengan nilai komponen pertumbuhan regional, maka pertumbuhan sektor-sektor ekonomi Kota Pematangsiantar lebih kecil bila dibandingkan dengan pertumbuhan sektor-sektor ekonomi Provinsi Sumatera Utara.

) = Persentase perubahan PDRB Kota Pematangsiantar yang disebabkan oleh pertumbuhan regional.

2. Komponen Pertumbuhan Proporsional (PP)

Komponen PP terjadi karena perbedaan sektor dalam permintaan produk akhir, perbedaan dalam ketersediaan bahan mentah, perbedaan dalam kebijakan industri, dan perbedaan dalam struktur dan keragaman pasar (Budiharsono, 2001). Komponen pertumbuhan proporsional dapat dirumuskan sebagai berikut:

PPij = (Ri – Ra) y

Dimana:

ij

PPij

y

(63)

(Ri–Ra

Apabila PP

) = Perubahan PDRB Kota Pematangsiantar yang disebabkan oleh

komponen pertumbuhan proporsional

ij < 0, menunjukkan bahwa sektor i pada wilayah ke j laju pertumbuhannya lambat. Sedangkan apabila PPij

3. Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah (PPW)

> 0 menunjukkan bahwa sektor i pada wilayah ke j laju pertumbuhannya cepat.

Timbul karena peningkatan atau penurunan PDRB atau kesempatan kerja dalam suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya. Cepat lambatnya pertumbuhan ditentukan oleh keunggulan komperatif, akses pasar, dukungan kelembagaan, prasarana sosial dan ekonomi serta kebijakan ekonomi regional pada wilayah tersebut (Budiharsono, 2001). Komponen pertumbuhan pangsa wilayah dirumuskan sebagai berikut:

PPWij = (ri – Ri) y Dimana:

ij

PPWij = Komponen pertumbuhan pangsa wilayah sektor i

y

Kota Pematangsiantar

ij

(r

= PDRB Kota Pematangsiantar dari sektor i pada tahun awal analisis

i–Ri

Apabila PPW

) = Persentase perubahan PDRB Kota Pematangsiantar yang disebabkan

oleh pertumbuhan pangsa wilayah

ij < 0, maka sektor i pada wilayah ke j tidak dapat bersaing dengan baik bila dibandingkan dengan wilayah yang lainnya, sedangkan apabila

(64)

3.5.5. Analisis Pergeseran Bersih dan Profil Pertumbuhan

Analisis profil pertumbuhan PDRB bertujuan untuk mengidentifikasi pertumbuhan PDRB sektor ekonomi di suatu wilayah pada kurun

Gambar

Tabel
Tabel 1.1. PDRB Kota Pematangsiantar Tahun 1997-2009 Menurut Lapangan Usaha ADHK 2000 (Milyar Rupiah)
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Konseptual
Gambar 3.1. Model Analisis Shift-Share
+7

Referensi

Dokumen terkait

Selanjutnya, inklusi pada teks yang kontra adalah pelanggaran hukum Soeharto; aturan yang dilanggar; strategi pembangunan Soeharto yang dianggap salah; karakteristik Soeharto

Ruang Seksi Bina Lembaga Zakat dan Wakaf 35,04.

Ruang lingkup penyusunan Landasan Program Perencanaan dan Perancangan Pengembangan Kantor Pusat PLN (Persero) Jakarta ini meliputi pada penciptaan ruang-ruang baru

C_1 Pemberdayaan Pemuda Karangtaruna Dalam Rancang Bangun Sistem e-Commerce melalui Pemanfaatan Akses Informasi Jaringan Pita Lebar Indonesia Berbasis Web-GIS untuk Peningkatan

[r]

[r]

[r]

[r]