ANALISIS RESPON VARIABEL EKONOMI MAKRO
TERHADAP
INFLATION TARGETING FRAMEWORK
DI INDONESIA
TESIS
Oleh
APPAN PARDEDE
087018042/EP
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2010
S E K
O L
A
H
P A
S C
A S A R JA N
ANALISIS RESPON VARIABEL EKONOMI MAKRO
TERHADAP
INFLATION TARGETING FRAMEWORK
DI INDONESIA
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Ekonomi Pembangunan pada Sekolah Pascsarjana
Universitas Sumatera Utara
Oleh
APPAN PARDEDE
087018042/EP
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : ANALISIS RESPON VARIABEL EKONOMI
MAKRO TERHADAP INFLATION TARGETING
FRAMEWORK DI INDONESIA
Nama Mahasiswa : Appan Pardede
Nomor Pokok : 087018042
Program Studi : Ekonomi Pembangunan
Menyetujui
Komisi Pembimbing
(Dr. Jonni Manurung, M.S) Ketua
(Dr. Murni Daulay, M.Si) Anggota
Ketua Program Studi
(Prof. Dr. Sya’ad Afifuddin, M.Ec)
Direktur
(Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE)
Telah diuji pada
Tanggal : 23 Desember 2010
PANITIA PENGUJI TESIS :
Ketua : Dr. Jonni Manurung, MS
Anggota : 1. Dr. Murni Daulay, SE., M.Si
2. Dr. Rahmanta, M.Si
3. Drs. Rujiman, MA
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Saya yang berjudul: “Analisis
Respon Variabel Ekonomi Makro terhadap Inflation Targeting Framework
di Indonesia”.
Adalah benar hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan oleh
siapapun juga sebelumnya. Sumber-sumber data dan informasi yang digunakan telah
dinyatakan secara benar dan jelas.
Medan, Desember 2010 Yang membuat pernyataan,
ABSTRAK
Penelitian ini menganalisis respon dan kontribusi beberapa variabel ekonomi makro seperti dalam penelitian ini adalah inflasi, cadangan devisa, excess reserve bank, SBPU, kurs, tingkat bunga kredit, harga relatif, PDB dan net ekspor untuk penentuan sasaran target inflasi di Indonesia.
Pengumpulan data diperoleh dari data sekunder. Sumber data dalam penelitian ini dari Badan Pusat Statistik Indonesia dan Bank Indonesia. Data dikumpulkan mulai tahun 1984 s/d tahun 2008. Penentuan jumlah observasi didasarkan atas stabilitas lag struktur dalam model penelitian. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah
model ekonometrika dengan metode Vector Autoregression (VAR), Impulse
Response Function (IRF) dan Varian Decomposition (VD) yang sebelumnya diuji menggunakan uji Unit Roots dan uji Kointegrasi Johansen.
Hasil analisa data diketahui bahwa respons variabel makro ekonomi terhadap
Inflation Targeting Framework dari perkiraan inflasi pada tahun 1 (jangka pendek), perkiraan error variance terbesar (68,23%) dijelaskan oleh Cadangan Devisa (CD) kemudian inflasi itu sendiri 24,82%. Artinya bahwa CD dan inflasi itu sendiri sebagai variabel yang sangat dominan mempengaruhi inflasi dalam jangka pendek, dalam jangka menengah (5 tahun) error variance yang paling besar mempengaruhi inflasi adalah CD sebesar 36,26% kemudian Kurs sebesar 17,34%, sedangkan variabel yang pengaruhnya terkecil adalah TBK sebesar 0,93%. Dalam jangka panjang (25 tahun) variabel yang paling besar mempengaruhi inflasi adalah CD sebesar 35,54% kemudian Kurs sebesar 17,13% sedangkan variabel yang pengaruhnya terkecil adalah PDB sebesar 2,14%.
ABSTRACT
This study analyzed the responses and the contribution of some macroeconomic variables in this study are inflation, foreign exchange reserves, excess reserve bank, SBPU, exchange, mortgage interest rates, relative prices, GDP and net exports Indonesia inflation target.
The collection of data obtained from secondary data. Sources of data in this study from Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia and Bank Indonesia. Data collected from 1984 to 2008. Determination of the number of observations based on the stability of the lag structure in the research model. The model used in this study is the econometric model using Vector autoregression (VAR), Impulse Response Function (IRF) and variance decomposition (VD) previously tested by using test Unit Root and Johansen cointegration test.
The results of the analysis of data knows that macroeconomic variables in inflationary goal setting response framework of inflation expected in year 1 (short term), the variance of forecasting larger error (68,23%) is explained by foreign exchange reserves (CD) then inflation of currencies (INF) is 24, 82%. This means that CD and inflation itself as very dominant variables that affect inflation in the short term, medium term (5 years), greater variance error affects inflation is 36,26% CD then rate is 17,34% while the lower variable influence TBK is 0.93%. And long term (25 years), the largest variable affecting inflation is 35,54% CD 17,13% while the rate of the variable whose influence is less GDP amounted to 2.14%.
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kepada Tuhan yang Maha Kuasa pencipta langit dan
bumi, yang telah memberikan kesehatan, berkat dan rahmat-Nya kepada penulis
sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Analisis Respon
Variabel Ekonomi Makro terhadap Inflation Targeting Framework
di Indonesia” sebagai tugas akhir pada Program Magister Ekonomi Pembangunan,
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih yang tulus kepada semua pihak yang telah memberikan
bimbingan, dukungan, dan bantuan selama proses penyelesaian tesis ini. Secara
khusus, penulis haturkan terima kasih kepada:
1. Bapak Drs. Noor Fais, MM Kepala KPP Pratama Medan Kota dan Bapak Yusri
Natar, SH selaku Kakanwil DJP Sumut I, yang memberikan izin kuliah dan
dukungan moral dan motivasi diawal pertama penulis melaksanakan pendidikan
ini.
2. Bapak Almuden Situmorang, SH Kepala KPP Pratama Subulussalam dan Bapak
Dr. Eddy Marlan, Ak., M.B.A, selaku Pejabat Sementara Kakanwil DJP
Nanggroe Aceh Darussalam, yang memberikan izin kuliah dan dukungan moral
dan motivasi diakhir pendidikan ini.
3. Bapak Dr. Jonni Manurung, MS, sebagai Pembimbing I yang banyak memberikan
arahan, bimbingan, motivasi dan pemikiran yang sangat berharga hingga tesis ini
4. Ibu Dr. Murni Daulay, M.Si, selaku Pembimbing II yang banyak memberikan
arahan, bimbingan, motivasi dan pemikiran yang sangat berharga hingga tesis ini
dapat selesai.
5. Bapak Prof. Dr. Sa’ad Afifuddin, M.Ec, selaku Ketua Program Studi Ekonomi
Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang
memberikan arahan kepada saya sehingga mampu menyelesaikan pendidikan
pada Program Magister Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara.
6. Bapak Dr. Rahmanta, M.Si, Bapak Drs. Rujiman, M.A. dan Bapak Wahyu Ario
Pratomo, SE. M.Ec selaku Dosen Pembanding yang telah banyak memberikan
saran-saran perbaikan dalam penyusunan tesis ini.
7. Bapak Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE, selaku Direktur Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, beserta seluruh staf pengajar dan
pegawai, khususnya pada Program Magister Ekonomi Pembangunan Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan pengajaran dan
bimbingan selama proses perkuliahan hingga penulis mampu menyelesaikan studi
ini.
8. Rekan-rekan mahasiswa Program Magister Ekonomi Pembangunan Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Angkatan XVI yang telah sama-sama
berjuang dengan penulis, dalam menyelesaikan studi dan telah memberikan
Sangat teristimewa kepada Istriku tercinta Roslenni Sitindaon, SE dan
anak-anakku tersayang Lintang Aaron Pardede dan Graceyla Amanda Pardede yang selama
ini memberikan inspirasi dan spirit serta pengorbanan yang tulus ikhlas mulai masa
perkuliahan sampai penulisan tesis ini selesai.
Khusus kepada Ayahanda dan Ibunda Op. Lintang Pardede dan Ibu Mertua
R. Siahaan yang selama ini memberikan dorongan dan spirit mulai masa perkuliahan
sampai penulisan tesis ini. Tidak lupa juga penulis menyampaikan banyak terima
kasih kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
membantu baik moril dan materil baik selama perkuliahan maupun penyelesaian tesis
ini dengan baik. Penulis memohon kepada Tuhan kiranya memberikan balasan pahala
yang berlipat ganda bagi semua pihak yang telah memberikan bantuan selama ini.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun agar nantinya dapat
menjadi lebih baik dan sempurna. Akhirnya penulis memohon agar Tuhan Yang
Maha Esa memberikan limpahan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis dan semua
pihak yang telah memberikan bantuannya selama ini.
Medan, Desember 2010
Penulis,
RIWAYAT HIDUP
1. Nama : Appan Pardede
2. Tempat & Tanggal Lahir : Bosargalugur, 05 Januari 1977
3. Agama : Kristen Protestan
4. Pekerjaan : Fungsional Pemeriksa Pajak pada DJP
5. Nama Istri : Roslenni Sitindaon, SE
6. Anak : 1. Lintang Aaron Pardede
2. Graceyla Amanda Pardede
7. Nama Orang Tua : 1. Ayah : Viktor Pardede
2. Ibu : Rauli Siahaan
8. Alamat Rumah : Jl. Kpt. Muslim Gg. Jawa Lr. Pribadi No. 16A Medan
9. Pendidikan
a. Tahun 1983-1989 : SD Negeri 1 Bosargalugur Kec. Tanah Jawa
b. Tahun 1989-1992 : SMP Swasta Karya Bakti Tanah Jawa Simalungun
c. Tahun 1992-1995 : SMA Swasta Budi Mulia Pematang Siantar
d. Tahun 1995-1996 : PRODIP I Spesialisasi Anggaran di BPLK Medan
e. Tahun 1999-2000 : Pendidikan Pembantu Akuntan di STAN Jakarta
f. Tahun 2001-2006 : Fakultas Ekonomi Universitas Medan Area Medan
g. Tahun 2009-2010 : Magister Ekonomi Pembangunan Sekolah
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... ... iii
RIWAYAT HIDUP ... ... vi
DAFTAR ISI ... ... vii
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GAMBAR ... ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... ... xiv
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 9
1.3. Tujuan Penelitian ... 11
1.4. Manfaat Penelitian ... ... 13
BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 14
2.1. Kebijakan Moneter ... 14
2.2. Inflation Targeting Framework (ITF) ... 19
2.3. Inflasi dan Teori Inflasi ... 24
2.4. Cadangan Devisa... ... 26
2.5. Suku Bunga dan Excess Reserve Bank... 31
2.6. Kurs dan Tingkat Suku Bunga Bank ... 37
2.7. Kurs untuk Ekspor Neto dan Harga Relatif Ekspor Impor ... 44
2.8. Produk Domestik Bruto dan Ekspor Neto ... 48
2.9. Pengaruh PDB dan Harga Relatif Ekspor Impor terhadap Inflasi ... 54
2.10. Penelitian Sebelumnya ... 59
2.11. Kerangka Pemikiran ... 65
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 68
3.1. Ruang Lingkup Penelitian ... 68
3.2. Jenis dan Sumber Data ... 68
3.3. Uji Asumsi………. 68
3.3.1. Uji Unit Root Test . ... 68
3.3.2. Kointegrasi ... 69
3.4. Metode Analisis... ... 70
3.4.1. Vector Autoregression (VAR) ... 70
3.4.2. Uji Stabilitas VAR ... 72
3.4.3. Impulse Response Function (IRF) ... 72
3.4.4. Forecast Error Variance Desomposition (FEVD) ... 73
3.4.5. Prosedur Analisis... 74
3.5. Definisi Operasional ……… 76
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 78
4.1. Perkembangan Variabel Ekonomi Makro ... 78
4.2. Hasil Uji Akar-akar Unit dan Derajat Integrasi ... 98
4.3. Vector Autoregression ... 100
4.4. Uji Kointegrasi dan Stabilitas Lag Struktur ... 102
4.5. Impulse Response Function (IRF) ... 106
4.5.1. Response Function Produk Domestik Bruto (PDB) ... 106
4.5.2. Response Function Inflasi ... 108
4.5.3. Response Function KURS ... 110
4.5.4. Response Function Cadangan Devisa (CD) ... 112
4.5.5. Response Function Net Ekspor (NE) ... 114
4.5.6. Response Function Suku Bunga Pasar Uang (SBPU) Antar Bank ... 116
4.5.7. Response FunctionExcess Reserve Bank (ERB) ... 118
4.5.8. Response Function Harga Relatif (HR) ... 120
4.6. Variance Decomposition ... 124
4.6.1. Variance Decomposition Produk Domestik Bruto (PDB) ... 124
4.6.2. Variance Decomposition Inflasi ... 125
4.6.3. Variance Decomposition KURS ... 125
4.6.4. Variance Decomposition Cadangan Devisa (CD) ... 126
4.6.5. Variance DecompositionExcess Reserve Bank (ERB) ... 127
4.6.6. Variance Decomposition Harga Relatif (HR) ... 127
4.6.7. Variance Decomposition Net Ekspor (NE) ... 128
4.6.8. Variance Decomposition Suku Bunga Pasar Uang (SBPU) Antar Bank ... 129
4.6.9. Variance Decomposition Tingkat Bunga Kredit (TBK) ... 129
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 131
5.1. Kesimpulan ... 131
5.2. Saran ... 133
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
1.1. Perkembangan Inflasi Januari 2004 s/d Desember 2008 (Dalam
Persen) ... 4
1.2. Perkembangan Jumlah Uang di Indonesia (Dalam Milyar Rupiah) ... ... 6
1.3. Perkembangan Pendapatan Nasional, Kurs, dan Tingkat Suku Bunga di Indonesia Selama Periode 1986-2007... ... 7
2.1. Model Rekening-T Bank Sentral untuk Menggambarkan Cadangan Devisa dan Sirkulasi Mata Uang... ... 28
2.2. Model Rekening-T Bank Sentral untuk Menggambarkan Cadangan Devisa dan Deposit... ... 29
2.3. Model Rekening-T Bank Sentral untuk Menggambarkan Cadangan Devisa dan Sekuritas Pemerintah ... ... 30
4.1. Perkembangan Cadangan Devisa Tahun 1984-2008 ... 87
4.2. Perkembangan Excess Reserve Bank Tahun 1984-2008 ... 88
4.3. Perkembangan Inflasi (INF), Suku Bunga Pasar Uang (SBPU) dan Tingkat Bunga Kredit (TBK) Tahun 1984-2008 ... 90
4.4. Perkembangan Produk Domestik Bruto Tahun 1984-2008 ... 92
4.5. Perkembangan Kurs Tahun 1984-2008 ... 94
4.6. Perkembangan Net Ekspor Tahun 1984-2008 ... 95
4.7. Perkembangan Harga Relatif Tahun 1984-2008 ... 97
4.8. Hasil Pengujian Stasioner dengan Akar-akar Unit... 99
4.9. Hasil Analisa VAR ... 101
4.11. Roots of Characteristic Polynomial ... 105
4.12. Response of LOG (PDB) ... 107
4.13. Response of LOG (INF) ... 108
4.14. Response of LOG (KURS) ... 110
4.15. Response of LOG (CD) ... 112
4.16. Response of LOG (NE)... 114
4.17. Response of LOG (SBPU) ... 116
4.18. Response of LOG (ERB) ... 118
4.19. Response of LOG (HR) ... 120
4.20. Response of LOG (TBK) ... 122
4.21. Variance Decomposition PDB ... 124
4.22. Variance Decomposition Inflasi ... 125
4.23. Variance Decomposition KURS ... 126
4.24. Variance Decomposition CD ... 126
4.25. Variance Decomposition ERB ... 127
4.26. Variance Decomposition HR ... 128
4.27. Variance Decomposition NE... 128
4.28. Variance Decomposition SBPU ... 129
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
1.1. Perkembangan Inflasi Januari 2007 s.d Maret 2009 ... ... 5
2.1. Kerangka Kerja ITF ... ... 23
2.2. Hubungan Tingkat Bunga dan Tabungan ... ... 33
2.3. Keseimbangan Pasar Cadangan: Perubahan Tingkat Bunga Discount Loan ... ... 35
2.4. Keseimbangan Pasar Cadangan: Perubahan Tingkat Giro Wajib Minimum ... ... 36
2.5. Pergeseran Skedul Ekspektasi Return Deposit Mata Uang Luar Negeri ... ... 41
2.6. Pergeseran Skedul Ekspektasi Return Deposit Mata Uang Domestik ... ... 42
2.7. Efek Peningkatan Penawaran Uang Riil terhadap Skedul Ekspektasi Return Deposit Mata Uang Domestik dan Deposit Mata Uang Luar Negeri ... 43
2.8. Kerangka Pemikiran ... ... 65
4.1. Perkembangan IHSG, SUN dan BI Rate Januari 2006 s/d Januari 2010 ... ... 80
4.2. Perkembangan Nilai Tukar dan Cadangan Devisa Tahun 2005 s/d 2009 ... ... 82
4.3. Ekspektasi Inflasi Tahun 2005 s.d 2009 ... ... 84
4.4. Perkembangan Cadangan Devisa Tahun 1984-2008 ... ... 88
4.5. Perkembangan Excess Reserve Bank Tahun 1984-2008 ... 89
4.7. Perkembangan PDB (Milyar Rp) Tahun 1984-2008 ... 93
4.8. Perkembangan Kurs Tahun 1984-2008 ... 94
4.9. Perkembangan Net Ekspor Tahun 1984-2008 ... 96
4.10. Perkembangan Harga Relatif Tahun 1984-2008 ... 97
4.11. Stabilitas Struktur Model ... 105
4.12. Respons Variabel PDB pada Perubahan Variabel Lain ... 107
4.13. Respons Variabel Inflasi pada Perubahan Variabel Lain ... 109
4.14. Respons Variabel KURS pada Perubahan Variabel Lain ... 111
4.15. Respons Variabel CD pada Perubahan Variabel Lain ... 113
4.16. Respons Variabel Net Ekspor pada Perubahan Variabel Lain ... 115
4.17. Respons Variabel Suku Bunga Pasar Uang pada Perubahan Variabel Lain ... 117
4.18. Respons Variabel ERB pada Perubahan Variabel Lain ... 119
4.19. Respons Variabel HR pada Perubahan Variabel Lain ... 121
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Tabulasi Data Variabel ... ... 137
2. Indeks Nilai Harga Relatif ... ... 138
3. Nilai Net Ekspor ... ... 139
4. Unit Roots pada Level ... ... 140
5. Unit Roots pada 1st Difference ... ... 142
6. Unit Roots pada 2ndDifference ... ... 144
7. Cointegrasi Johansen Hasil Uji Kointegrasi Johansen... ... 145
8. Vector Autoregression ... 146
9. Stabilitas Lag Structur ... 147
10. Impulse Response Function... 148
ABSTRAK
Penelitian ini menganalisis respon dan kontribusi beberapa variabel ekonomi makro seperti dalam penelitian ini adalah inflasi, cadangan devisa, excess reserve bank, SBPU, kurs, tingkat bunga kredit, harga relatif, PDB dan net ekspor untuk penentuan sasaran target inflasi di Indonesia.
Pengumpulan data diperoleh dari data sekunder. Sumber data dalam penelitian ini dari Badan Pusat Statistik Indonesia dan Bank Indonesia. Data dikumpulkan mulai tahun 1984 s/d tahun 2008. Penentuan jumlah observasi didasarkan atas stabilitas lag struktur dalam model penelitian. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah
model ekonometrika dengan metode Vector Autoregression (VAR), Impulse
Response Function (IRF) dan Varian Decomposition (VD) yang sebelumnya diuji menggunakan uji Unit Roots dan uji Kointegrasi Johansen.
Hasil analisa data diketahui bahwa respons variabel makro ekonomi terhadap
Inflation Targeting Framework dari perkiraan inflasi pada tahun 1 (jangka pendek), perkiraan error variance terbesar (68,23%) dijelaskan oleh Cadangan Devisa (CD) kemudian inflasi itu sendiri 24,82%. Artinya bahwa CD dan inflasi itu sendiri sebagai variabel yang sangat dominan mempengaruhi inflasi dalam jangka pendek, dalam jangka menengah (5 tahun) error variance yang paling besar mempengaruhi inflasi adalah CD sebesar 36,26% kemudian Kurs sebesar 17,34%, sedangkan variabel yang pengaruhnya terkecil adalah TBK sebesar 0,93%. Dalam jangka panjang (25 tahun) variabel yang paling besar mempengaruhi inflasi adalah CD sebesar 35,54% kemudian Kurs sebesar 17,13% sedangkan variabel yang pengaruhnya terkecil adalah PDB sebesar 2,14%.
ABSTRACT
This study analyzed the responses and the contribution of some macroeconomic variables in this study are inflation, foreign exchange reserves, excess reserve bank, SBPU, exchange, mortgage interest rates, relative prices, GDP and net exports Indonesia inflation target.
The collection of data obtained from secondary data. Sources of data in this study from Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia and Bank Indonesia. Data collected from 1984 to 2008. Determination of the number of observations based on the stability of the lag structure in the research model. The model used in this study is the econometric model using Vector autoregression (VAR), Impulse Response Function (IRF) and variance decomposition (VD) previously tested by using test Unit Root and Johansen cointegration test.
The results of the analysis of data knows that macroeconomic variables in inflationary goal setting response framework of inflation expected in year 1 (short term), the variance of forecasting larger error (68,23%) is explained by foreign exchange reserves (CD) then inflation of currencies (INF) is 24, 82%. This means that CD and inflation itself as very dominant variables that affect inflation in the short term, medium term (5 years), greater variance error affects inflation is 36,26% CD then rate is 17,34% while the lower variable influence TBK is 0.93%. And long term (25 years), the largest variable affecting inflation is 35,54% CD 17,13% while the rate of the variable whose influence is less GDP amounted to 2.14%.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam melaksanakan tugasnya Bank Indonesia telah menyusun berbagai
kerangka kebijakan moneter yang akan menjadi pedoman dalam langkah usaha
stabilisasi ekonomi. Kebijakan ini tentunya selalu disesuaikan dengan perkembangan
dinamika ekonomi nasional dari tahun ke tahun. Perkembangan ekonomi nasional dan
global beberapa tahun terakhir ini telah memfokuskan perhatian BI kepada masalah
pengendalian inflasi. Hal ini juga didukung oleh perkembangan teori ekonomi dalam
literatur dan temuan empiris di beberapa negara bahwa kebijakan moneter dalam
jangka menengah panjang hanya berpengaruh pada inflasi, bukan pada pertumbuhan
ekonomi (Perry Warjiyo dan Solikin, 2004). Rancangan rencana strategis dalam
pengendalian inflasi yang telah dirancang oleh bank Indonesia ini lebih popular
disebut dengan Inflation Targetting Framework (ITF).
Inflation Targeting Framework (ITF) merupakan suatu kerangka kerja
kebijakan moneter yang mempunyai ciri-ciri utama adanya pernyataan resmi dari
bank sentral dan dikuatkan dengan undang-undang bahwa tujuan akhir dari kebijakan
moneter adalah mencapai dan menjaga tingkat inflasi yang rendah, dan
mengumumkan target inflasi kepada publik. Perlunya mencapai dan menjaga tingkat
inflasi yang rendah dan stabil didasarkan oleh dua hal (Perry Warjiyo dan Solikin,
terjadinya laju inflasi yang tinggi, serta adanya temuan empiris yang menunjukkan
bahwa dalam jangka menengah-panjang, kebijakan moneter hanya akan berpengaruh
terhadap inflasi, bukan pada pertumbuhan ekonomi, walaupun belum terdapat
kesepakatan tentang pengaruh kebijakan moneter, khususnya ITF dalam jangka
pendek terhadap beberapa variabel ekonomi makro di Indonesia. Empat prinsip
pokok rezim kebijakan moneter dengan ITF, yaitu:
1. Memiliki sasaran utama, yaitu sasaran inflasi, yang dijadikan sebagai prioritas
pencapaian (overriding objective) dan acuan (nominal anchor) kebijakan moneter.
2. Bersifat antisipatif (preemptive atau forward looking) dengan mengarahkan
respon kebijakan moneter saat ini untuk pencapaian sasaran inflasi ke depan.
3. Mendasarkan pada analisis, prakiraan, dan kaidah kebijakan tertentu dalam
menetapkan pertimbangan respon kebijakan moneter (constrained discretion).
4. Sesuai dengan prinsip-prinsip tata kelola yang sehat (good governance), yaitu
berkejelasan tujuan, konsisten, transparan, dan berakuntabilitas.
Berbagai dasar pembentukan ITF adalah untuk menjaga kestabilan inflasi,
khususnya pada saat krisis ekonomi. Krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997
telah menyebabkan nilai tukar rupiah terdepresiasi hingga mencapai Rp. 17.000 per
dollar USA. Pada akhir periode tahun 1997, depresiasi nilai tukar rupiah terhadap
dollar USA mencapai angka 68.7% dan secara otomatis meningkatkan inflasi dari
11.1% menjadi sekitar 77.6%. Pertumbuhan ekonomi terkontraksi dari rata-rata
sekitar 7.0% sebelum krisis menjadi 13.1% pada tahun 1998. Kondisi ini telah
moneter. UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia pada Pasal 7 menyatakan bahwa
tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara stabilitas nilai rupiah.
Terdorong oleh perkembangan perekonomian yang sangat cepat dengan pasar uang
yang semakin global maka penyempurnaan terhadap kebijakan moneter pun penting
dilakukan. Meski tidak secara eksplisit disebutkan, UU No. 23 tersebut menunjukkan
bahwa penyempurnaan kebijakan, terangkum dalam suatu kerangka strategis yaitu
Inflation Targeting Framework yang juga melandasi Bank Indonesia sebagai lembaga
independen dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter tersebut
terutama pada periode setelah krisis. Inflation targeting merupakan suatu strategi
kebijakan moneter dalam mengantisipasi tekanan inflasi yang akan terjadi dengan
memfokuskan secara langsung pada kestabilan harga, melalui penetapan sasaran
inflasi yang diinginkan. Inflation targeting itu sendiri terealisasi sejak tahun 2000
dengan toleransi sekitar 3.0-5.0% dan kemudian tahun 2001 sekitar 4.0-6.0% dan
tahun 2002 ditetapkan sekitar 9.0-10.0%.
Saat krisis dan pemulihan ekonomi, pengendalian harga memang sulit
dilakukan sehingga penentuan target inflasi dalam kenyataannya seringkali tidak
tercapai dalam implementasinya. Hal ini terlihat pada sasaran inflasi tahun 2000
(angka inflasi 9.4%), 2001 (angka inflasi 12.5%), dan 2002 (angka inflasi 10.1%)
tidak tercapai. Sementara itu nilai tukar terhadap dollar USA masih relatif belum
stabil yang ditunjukkan oleh kisaran nilai tukar antara Rp. 8.000- Rp. 10.000 per
dollar USA. Hal ini menimbulkan pertanyaan sampai sejauhmana sasaran UU tentang
Di tengah perkembangan perekonomian yang terjadi tersebut, dan seiring
dengan menurunnya tekanan inflasi, Bank Indonesia mengarahkan perhatiannya pada
upaya menjaga pertumbuhan ekonomi negeri. Hal ini dilakukan dengan tetap
mengawal inflasi dan kestabilan ekonomi makro dan sektor keuangan dalam jangka
menengah. Berbagai upaya untuk mencegah sektor riil anjlok lebih dalam lagi juga
ditempuh Bank Indonesia melalui kebijakan moneternya. Penurunan nilai tukar
rupiah sebagai imbas pasar keuangan global yang mengalami krisis sehingga
mempengaruhi variabel ekonomi makro seperti inflasi dan tingkat SBI.
Tabel 1.1. Perkembangan Inflasi Januari 2004 s/d Desember 2008 (Dalam Persen)
Periode Inflasi Periode Inflasi Periode Inflasi Periode Inflasi Periode Inflasi
Jan-04 4.82 Jan-05 7.32 Jan-06 17.03 Jan-07 6.52 Jan-08 7.36
Feb-04 4.60 Feb-05 7.15 Feb-06 17.92 Feb-07 6.30 Feb-08 7.40
Mar-04 5.11 Mar-05 8.81 Mar-06 15.74 Mar-07 6.52 Mar-08 8.17
Apr-04 5.92 Apr-05 8.12 Apr-06 15.40 Apr-07 6.29 Apr-08 8.96
May-04 6.47 May-05 7.40 May-06 15.60 May-07 6.01 May-08 10.38
Jun-04 6.83 Jun-05 7.42 Jun-06 15.53 Jun-07 5.77 Jun-08 11.03
Jul-04 7.20 Jul-05 7.84 Jul-06 15.15 Jul-07 6.06 Jul-08 11.90
Aug-04 6.67 Aug-05 8.33 Aug-06 14.90 Aug-07 6.51 Aug-08 11.85
Sep-04 6.27 Sep-05 9.06 Sep-06 14.55 Sep-07 6.95 Sep-08 12.14
Oct-04 6.22 Oct-05 18.89 Oct-06 6.29 Oct-07 6.88 Oct-08 11.77
Nov-04 6.18 Nov-05 18.38 Nov-06 5.27 Nov-07 6.71 Nov-08 11.68
Dec-04 6.40 Dec-05 17.11 Dec-06 6.60 Dec-07 6.59 Dec-08 11.06
Sumber: www.bi.go.id. Data diolah, 2010
Pada tabel di atas diketahui perkembangan inflasi dari Januari 2004 sampai
dengan Oktober 2008. Inflasi dalam perkembangannya menunjukkan angka yang
meningkat mencapai 12,14% pada akhir tahun 2008. Peningkatan inflasi terjadi
akibat kenaikan harga-harga yang disebabkan adanya fenomena hari besar dan tahun
11.85
Sumber: Bank Indonesia, data diolah, 2009
Gambar 1.1. Perkembangan Inflasi Januari 2007 s.d Maret 2009
Pada Gambar 1.1 diketahui seiring dengan kenaikan inflasi yang merangkak
pada kisaran yang lebih tinggi dan juga adanya kecenderungan Bank Indonesia untuk
menurunkan tingkat suku bunga sertifikat bank indonesia (SBI) pada Desember 2007,
maka dengan penurunan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) tersebut akan
mendorong pertumbuhan uang beredar, hal itu diikuti pula dengan melemahnya nilai
tukar rupiah, maka harga barang juga akan mengalami kenaikan, karena belum bisa
lepas dari inflasi dan juga krisis ekonomi yang masih terjadi. Selain itu, terlihat pula
gejala merenggangnya hubungan antar variabel ekonomi makro. Kondisi ini pada
akhirnya akan mempersulit otoritas moneter untuk mengambil keputusan dalam
manajemen moneternya. Di Indonesia, kebijakan moneter sepenuhnya diserahkan
kepada otoritas moneter yaitu Bank Indonesia. Dalam hal ini, jumlah uang beredar
merupakan alat yang digunakan oleh Bank Indonesia dalam menetapkan kebijakan
moneter. Jumlah permintaan uang di suatu negara dipengaruhi banyaknya
faktor-faktor antara lain kebijakan pemerintah, politik, dan keamanan. Berdasarkan data Krisis Ekonomi Global
Inflasi
statistik jumlah perkembangan uang di Indonesia mengalami pertumbuhan yang
cukup bervariasi. Perkembangan jumlah uang di Indonesia dalam kurun waktu 1986
hingga tahun 2007 dapat dilihat pada Tabel.
Tabel 1.2. Perkembangan Jumlah Uang di Indonesia (Milyar Rupiah)
Tahun Uang Kartal Uang Giral M1
Sumber: Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (2010)
Faktor yang paling mempengaruhi terhadap perkembangan jumlah uang
antara lain pendapatan nasional, nilai tukar dan tingkat suku bunga (Boediono, 2002).
Data tentang perkembangan pendapatan nasional, nilai tukar dan tingkat suku bunga
Tabel 1.3. Perkembangan Pendapatan Nasional, Kurs, dan Tingkat Suku Bunga
2001 1.440.405,00 10.265,00 17.90
2002 1.505.216,00 9.261,00 17.82
Sumber: Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (2010)
Tabel 1.3 memperlihatkan bahwa jumlah PDB, nilai tukar dan tingkat suku
bunga di Indonesia cenderung mengalami perubahan dari tahun ke tahun. Perubahan
itu diduga berpengaruh terhadap jumlah permintaan uang di Indonesia. Dengan
adanya kenaikan dan penurunan jumlah permintaan uang tersebut, mengakibatkan
Penelitian mengenai topik yang relevan dengan penelitian ini, diantaranya
telah dilakukan oleh Santoso dan Iskandar (1999) untuk periode 1990:1 sampai
1998:10. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa suku bunga tidak mempengaruhi
nilai tukar karena pada periode tersebut nilai tukar lebih ditentukan oleh pemerintah
dari pada mekanisme pasar. Selanjutnya Santoso dan Anglingkusumo (1998)
menyatakan laju inflasi di Indonesia lebih disebabkan oleh adanya tekanan-tekanan
fundamental dari sisi permintaan seperti jumlah uang beredar, siklus penggunaan
produksi, dan interaksi antara ekspektasi masyarakat. Sementara itu, Siregar dan
Ward (2002) dalam menjelaskan mekanisme transmisi kebijakan moneter,
menemukan bahwa shock kebijakan moneter dapat mempengaruhi output melalui
pengaruh suku bunga domestik terhadap nilai tukar riil, namun pengaruh tersebut
relatif kecil. Hal ini dijelaskan juga oleh Kuijs (2002) yang mengkaji mekanisme
transmisi kebijakan moneter dan inflasi di Slowakia dengan pendekatan VAR dan
ECM. Hasil studi menunjukkan bahwa kebijakan moneter mempengaruhi output
melalui dampak suku bunga terhadap permintaan agregat tetapi respon tersebut kecil.
Kesemuanya ini menunjukkan adanya keterbatasan kebijakan moneter dalam upaya
menstabilkan perekonomian secara agregat. Penelitian-penelitian tersebut lebih
berfokus pada transmisi kebijakan moneter serta sumber-sumber fluktuasi
perekonomian di Indonesia. Penelitian ini melanjutkan hal tersebut dengan
menambah kajian mengenai respon beberapa variabel ekonomi makro dalam
Dengan dukungan berbagai kebijakan makro lainnya, kebijakan ITF yang
dijalankan pemerintah akan dapat mencapai sasaran dan dapat diminimalkan dampak
negatifnya. Oleh karena itu diperlukan sebuah ramuan dari berbagai kebijakan ITF
dan kebijakan makro lainnya, sedemikian rupa, agar berbagai kebijakan tersebut tidak
saling bertentangan dan justru saling melengkapi dan mendukung stabilitas ekonomi
makro. Berdasarkan uraian tersebut, penulis merasa tertarik untuk membahas dan
membuat suatu tulisan dalam bentuk karya ilmiah dengan judul: “Analisis Respon
Variabel Ekonomi Makro terhadap Inflation Targeting Framework di Indonesia”.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas permasalahan utama yang ingin dibahas
adalah apakah respon beberapa variabel ekonomi makro dalam penelitian ini
berpengaruh dan berkontribusi terhadap Inflation Targeting Framework (ITF)
di Indonesia. Untuk menjawab permasalahan penelitian ini adalah dengan cara
menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian yang dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah inflasi tahun sebelumnya, Cadangan Devisa (CD), Excess Reserve
Bank (ERB), Suku Bunga Pasar Uang (SBPU), Kurs, Net Ekspor (NE),
Tingkat Bunga Kredit (TBK), Harga Relatif (HR), Produk Domestik Bruto
(PDB) berkontribusi terhadap inflasi (INF) itu sendiri?
2. Apakah cadangan devisa tahun sebelumnya, inflasi, Excess Reserve Bank,
Relatif, Produk Domestik Bruto berkontribusi terhadap Cadangan Devisa itu
sendiri?
3. Apakah Excess Reserve Bank tahun sebelumnya, Inflasi, Cadangan Devisa,
Suku Bunga Pasar Uang, Kurs, Net Ekspor, Tingkat Bunga Kredit, Harga
Relatif, Produk Domestik Bruto berkontribusi terhadap Excess Reserve Bank
itu sendiri?
4. Apakah Suku Bunga Pasar Uang tahun sebelumnya, Inflasi, Cadangan Devisa,
Excess Reserve Bank, Kurs, Net Ekspor, Tingkat Bunga Kredit, Harga Relatif,
Produk Domestik Bruto berkontribusi terhadap Suku Bunga Pasar Uang itu
sendiri?
5. Apakah kurs tahun sebelumnya, Inflasi, Cadangan Devisa, Excess Reserve
Bank, Suku Bunga Pasar Uang, Net Ekspor, Tingkat Bunga Kredit, Harga
Relatif, Produk Domestik Bruto berkontribusi terhadap kurs itu sendiri?
6. Apakah net ekspor tahun sebelumnya, Inflasi, Cadangan Devisa, Excess
Reserve Bank, Suku Bunga Pasar Uang, Kurs, Tingkat Bunga Kredit, Harga
Relatif, Produk Domestik Bruto berkontribusi terhadap net ekspor itu sendiri?
7. Apakah tingkat bunga kredit tahun sebelumnya, Inflasi, Cadangan Devisa,
Excess Reserve Bank, Suku Bunga Pasar Uang, Kurs, Net Ekspor, Harga
Relatif, Produk Domestik Bruto berkontribusi terhadap tingkat bunga kredit
itu sendiri?
8. Apakah harga relatif tahun sebelumnya, Inflasi, Cadangan Devisa, Excess
Kredit, Produk Domestik Bruto berkontribusi terhadap harga relatif itu
sendiri?
9. Apakah Produk Domestik Bruto tahun sebelumnya, Inflasi, Cadangan Devisa,
Excess Reserve Bank, Suku Bunga Pasar Uang, Kurs, Net Ekspor, Tingkat
Bunga Kredit, Harga Relatif, berkontribusi terhadap Produk Domestik Bruto
itu sendiri?
1.3. Tujuan Penelitian
1. Untuk menganalisis inflasi tahun sebelumnya, cadangan devisa, excess
reserve bank, Suku Bunga Pasar Uang, kurs, net ekspor, tingkat bunga kredit,
harga relatif, Produk Domestik Bruto berkontribusi terhadap inflasi itu sendiri.
2. Untuk menganalisis cadangan devisa tahun sebelumnya, inflasi, excess
reserve bank, Suku Bunga Pasar Uang, kurs, net ekspor, tingkat bunga kredit,
harga relatif, Produk Domestik Bruto berkontribusi terhadap cadangan devisa
itu sendiri.
3. Untuk menganalisis excess reserve bank tahun sebelumnya, inflasi, cadangan
devisa, Suku Bunga Pasar Uang, kurs, net ekspor, tingkat bunga kredit, harga
relatif, Produk Domestik Bruto berkontribusi terhadap excess reserve bank itu
sendiri.
4. Untuk menganalisis Suku Bunga Pasar Uang tahun sebelumnya inflasi,
harga relatif, Produk Domestik Bruto berkontribusi terhadap Suku Bunga
Pasar Uang itu sendiri.
5. Untuk menganalisis kurs tahun sebelumnya, inflasi, cadangan devisa, excess
reserve bank, Suku Bunga Pasar Uang, net ekspor, tingkat bunga kredit, harga
relatif, Produk Domestik Bruto berkontribusi terhadap kurs itu sendiri.
6. Untuk menganalisis net ekspor tahun sebelumnya, inflasi, cadangan devisa,
excess reserve bank, Suku Bunga Pasar Uang, kurs, tingkat bunga kredit,
harga relatif, Produk Domestik Bruto berkontribusi terhadap net ekspor itu
sendiri.
7. Untuk menganalisis tingkat bunga kredit tahun sebelumnya, inflasi, cadangan
devisa, excess reserve bank, Suku Bunga Pasar Uang, kurs, net ekspor, harga
relatif, PDB berkontribusi terhadap tingkat bunga kredit itu sendiri.
8. Untuk menganalisis harga relatif tahun sebelumnya, inflasi, cadangan devisa,
excess reserve bank, Suku Bunga Pasar Uang, kurs, net ekspor, tingkat bunga
kredit, Produk Domestik Bruto berkontribusi terhadap harga relatif itu sendiri.
9. Untuk menganalisis Produk Domestik Bruto tahun sebelumnya, inflasi,
cadangan devisa, excess reserve bank, Suku Bunga Pasar Uang, kurs, net
ekspor, tingkat bunga kredit, harga relatif, berkontribusi terhadap Produk
1.4. Manfaat Penelitian
1. Secara umum, penelitian ini bertujuan menganalisis respon beberapa variabel
ekonomi makro terhadap Inflation Targeting Framework (ITF) untuk
pengendalian inflasi di Indonesia.
2. Secara khusus, penelitian ini bertujuan sebagai informasi ilmiah dan
menambah wawasan ilmu pengetahuan peneliti tentang analisis respon
variable ekonomi makro terhadap kebijakan Inflation Targeting Framework
(ITF) di Indonesia.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Kebijakan Moneter
Kebijakan moneter yang dilakukan oleh bank Indonesia dalam mewujudkan
stabilitas ekonomi makro terdiri dari kerangka strategis dan kerangka operasional.
Kerangka strategis umumnya terkait dengan pencapaian tujuan akhir kebijakan
moneter (stabilitas harga, pertumbuhan ekonomi, dan perluasan kesempatan kerja)
serta strategi untuk mencapainya (exchange Rate targeting, monetary targeting,
Inflation targeting, implicit but not explicit anchor) (Perry Warjiyo dan Solikin,
2004). Sejak tahun 2000, Bank Indonesia menerapkan pola kebijakan moneter yang
diformulasikan dalam rangka mencapai sasaran tingkat inflasi yang ditargetkan.
Landasan hukum kebijakan Bank Indonesia ini adalah UU No. 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia. Dalam undang-undang tersebut diungkapkan bahwa sasaran
laju inflasi merupakan sasaran akhir kebijakan moneter Indonesia. Pola kebijakan ini
dikenal juga dengan nama Inflation Targeting Framework.
Inflation Targeting Framework (ITF) merupakan suatu kerangka kerja
kebijakan moneter yang mempunyai ciri-ciri utama adanya pernyataan resmi dari
bank sentral dan dikuatkan dengan undang-undang bahwa tujuan akhir dari kebijakan
moneter adalah mencapai dan menjaga tingkat inflasi yang rendah, dan
mengumumkan target inflasi kepada publik. Perlunya mencapai dan menjaga tingkat
2004), yaitu adanya biaya sosial yang harus ditanggung oleh masyarakat akibat
terjadinya laju inflasi yang tinggi, serta adanya temuan empiris yang menunjukkan
bahwa dalam jangka menengah-panjang, kebijakan moneter hanya akan berpengaruh
terhadap inflasi, bukan pada pertumbuhan ekonomi, walaupun belum terdapat
kesepakatan tentang pengaruh kebijakan moneter dalam jangka pendek terhadap
pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek.
Indikator kebijakan moneter terdiri dari:
1. Dalam merumuskan kebijakan moneter, Bank Indonesia akan selalu melakukan
analisis dan mempertimbangkan berbagai indikator ekonomi, khususnya
prakiraan inflasi, pertumbuhan ekonomi, besaran-besaran moneter dan
perkembangan sektor ekonomi dan keuangan secara keseluruhan.
2. Demikian pula, Bank Indonesia akan selalu dan terus memperhatikan
langkah-langkah kebijakan ekonomi yang ditempuh Pemerintah. Langkah-langkah-langkah
koordinasi kebijakan yang selama ini telah berlangsung baik akan terus diperkuat
dan ditingkatkan.
3. Analisis dan prakiraan berbagai variabel ekonomi tersebut dipertimbangkan untuk
mengarahkan agar prakiraan inflasi ke depan sejalan dengan kisaran sasaran
Indikator kebijakan moneter di atas diikuti oleh:
1. Tujuan dan bentuk respon kebijakan moneter, yaitu:
a. Respon (stance) kebijakan moneter ditetapkan untuk menjamin agar
pergerakan inflasi dan ekonomi ke depan tetap berada pada jalur pencapaian
sasaran inflasi yang telah ditetapkan (konsistensi).
b. Respon kebijakan moneter dinyatakan dalam kenaikan, penurunan, atau tidak
berubahnya BI Rate.
c. Perubahan (kenaikan atau penurunan) BI Rate dilakukan secara konsisten dan
bertahap.
2. Fungsi BI Rate sebagai sinyal kebijakan
a. BI Rate adalah suku bunga instrumen sinyaling Bank Indonesia yang
ditetapkan pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) triwulan untuk berlaku selama
triwulan berjalan (satu triwulan), kecuali ditetapkan berbeda oleh Rapat
Dewan Gubernur bulanan dalam triwulan yang sama. Dengan demikian,
rata-rata tertimbang hasil lelang SBI pada setiap kali lelang SBI tidak lagi
diinterpretasikan oleh stakeholders sebagai sinyal kebijakan moneter Bank
Indonesia.
b. BI Rate diumumkan ke publik segera setelah ditetapkan dalam RDG sebagai
sinyal stance kebijakan moneter (yang lebih jelas dan tegas) dalam merespon
prospek pencapaian sasaran inflasi ke depan.
c. BI Rate digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan operasi pengendalian
bulan hasil lelang OPT (suku bunga instrumen liquidity adjustment) berada
di sekitar BI Rate. Selanjutnya suku bunga SBI 1 bulan diharapkan
mempengaruhi suku bunga PUAB dan suku bunga jangka yang lebih panjang.
3. Proses penetapan respon kebijakan moneter
a. Penetapan respon kebijakan moneter dilakukan dalam RDG triwulanan.
b. Respon kebijakan moneter ditetapkan untuk periode satu triwulan ke depan.
c. Penetapan respon kebijakan moneter dilakukan dengan memperhatikan efek
tunda (lag) kebijakan moneter dalam mempengaruhi inflasi.
d. Dalam kondisi yang luar biasa, penetapan respon kebijakan moneter dapat
dilakukan dalam RDG bulanan.
4. Dasar pertimbangan penetapan respon kebijakan
a. BI Rate merupakan respon bank sentral terhadap tekanan inflasi ke depan agar
tetap berada pada sasaran yang telah ditetapkan. Perubahan BI Rate dilakukan
terutama jika deviasi proyeksi inflasi terhadap targetnya (inflation gap)
dipandang telah bersifat permanen dan konsisten dengan informasi dan
indikator lainnya.
b. BI Rate ditetapkan oleh Dewan Gubernur secara diskresi dengan
mempertimbangkan:
i. Rekomendasi BI Rate yang dihasilkan oleh fungsi reaksi kebijakan dalam
ii. Berbagai informasi lainnya seperti leading indicators, survei, informasi
anekdotal, variabel informasi, expert opinion, asesmen fakto resiko dan
ketidakpastian serta hasil-hasil riset ekonomi dan kebijakan moneter.
5. Respon kebijakan moneter dinyatakan dalam perubahan BI Rate (SBI tenor 1
bulan) secara konsisten dan bertahap dalam kelipatan 25 basis points (bps).
Dalam kondisi untuk menunjukkan intensi Bank Indonesia yang lebih besar
terhadap pencapaian sasaran inflasi, maka perubahan BI Rate dapat dilakukan
lebih dari 25 bps dalam kelipatan 25 bps.
Indikator kebijakan moneter di atas diikuti oleh operasi pengendalian
moneter, yaitu:
1. Berbeda dengan pelaksanaan selama ini yang menggunakan uang primer, sasaran
operasional pengendalian moneter adalah BI Rate. Dengan langkah ini, sinyal
kebijakan moneter diharapkan dapat lebih mudah dan lebih pasti dapat ditangkap
oleh pelaku pasar dan masyarakat, dan karenanya diharapkan pula dapat
meningkat efektivitas kebijakan moneter.
2. Pengendalian moneter dilakukan dengan menggunakan instrumen: (i) operasi
pasar terbuka (OPT), (ii) instrumen likuiditas otomatis (standing facilities),
(iii) Intervensi di pasar valas, (iv) penetapan giro wajib minimum (GWM), dan
(v) Himbauan moral (moral suassion).
3. Pengendalian moneter diarahkan pula agar perkembangan suku bunga PUAB
meningkatkan efektivitas pengendalian likuiditas sekaligus untuk memperkuat
sinyal kebijakan moneter yang ditempuh Bank Indonesia.
2.2. Inflation Targeting Framework (ITF)
Inflation Targeting Framework (ITF) merupakan suatu kerangka kerja
kebijakan moneter yang mempunyai ciri-ciri utama adanya pernyataan resmi dari
bank sentral dan dikuatkan dengan undang-undang bahwa tujuan akhir dari kebijakan
moneter adalah mencapai dan menjaga tingkat inflasi yang rendah, dan
mengumumkan target inflasi kepada publik. Perlunya mencapai dan menjaga tingkat
inflasi yang rendah dan stabil didasarkan oleh dua hal (Perry Warjiyo dan Solikin,
2004), yaitu adanya biaya sosial yang harus ditanggung oleh masyarakat akibat
terjadinya laju inflasi yang tinggi, serta adanya temuan empiris yang menunjukkan
bahwa dalam jangka menengah-panjang, kebijakan moneter hanya akan berpengaruh
terhadap inflasi, bukan pada pertumbuhan ekonomi, walaupun belum terdapat
kesepakatan tentang pengaruh kebijakan moneter dalam jangka pendek terhadap
pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek.
ITF merupakan sebuah kerangka kebijakan moneter yang ditandai dengan
pengumuman kepada publik mengenai target inflasi yang hendak dicapai dalam
beberapa periode ke depan. Secara eksplisit dinyatakan bahwa inflasi yang rendah
dan stabil merupakan tujuan utama dari kebijakan moneter. Sesuai definisi di atas,
sebagai "Inflation Targeting lite countries". Alasan pemilihan Inflation Targeting
Framework adalah:
1. Pemilihan kerangka kerja kebijakan moneter Inflation Targeting didasarkan atas
beberapa pertimbangan sebagai berikut:
i. Memenuhi prinsip-prinsip kebijakan moneter yang sehat (sound).
ii. Sesuai dengan amanat UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana
telah diubah dengan UU No. 3/2004.
iii. Hasil riset menunjukkan semakin sulit pengendalian besaran moneter.
iv. Pengalaman empiris negara lain menunjukkan bahwa negara yang
menerapkan ITF berhasil menurunkan inflasi tanpa meningkatkan volatilitas
output.
v. Dapat meningkatkan kredibilitas BI sebagai pengendali inflasi melalui
komitmen pencapaian target.
2. Penerapan ITF bukan berarti bahwa bank sentral hanya menaruh perhatian pada
inflasi saja, dan tidak lagi memperhatikan pertumbuhan ekonomi maupun
kebijakan dan perkembangan ekonomi secara keseluruhan. Juga, ITF bukanlah
suatu kaidah yang kaku (rule) tetapi sebagai kerangka kerja menyeluruh
(framework) untuk perumusan dan pelaksanaan kebijakan moneter. Fokus ke
inflasi tidak berarti membawa perekonomian kepada kondisi yang sama sekali
tanpa inflasi (zero inflation).
3. Inflasi rendah dan stabil dalam jangka panjang, justru akan mendukung
karena tingkat inflasi berkorelasi positif dengan fluktuasinya. Manakala inflasi
tinggi, fluktuasinya juga meningkat, sehingga masyarakat merasa tidak pasti
dengan laju inflasi yang akan terjadi di masa mendatang. Akibatnya, suku bunga
jangka panjang akan meningkat karena tingginya premi risiko akibat inflasi.
Perencanaan usaha menjadi lebih sulit, dan minat investasi pun menurun.
Ketidakpastian inflasi ini cenderung membuat investor lebih memilih investasi
asset keuangan jangka pendek ketimbang investasi riil jangka panjang. Itulah
sebabnya, otoritas moneter seringkali berargumentasi bahwa kebijakan yang anti
inflasi sebenarnya adalah justru kebijakan yang pro pertumbuhan.
Empat elemen mendasar dalam langkah-langkah penguatan kerangka kerja
kebijakan moneter yang baru mulai Juli 2005 agar konsisten dengan penerapan
Inflation Targeting Framework:
1. Penggunaan suku bunga (disebut BI Rate) sebagai reference Rate dalam
pengendalian moneter, sebagai pengganti sasaran operasional uang primer.
2. Penguatan proses perumusan kebijakan moneter dengan strategi antisipatif
(forward looking strategy) dalam mengarahkan respon kebijakan moneter saat ini
untuk pencapaian sasaran inflasi ke depan.
3. Strategi komunikasi yang lebih transparan untuk memperkuat sinyal kebijakan
moneter kepada pasar dan upaya pembentukan ekspektasi inflasi.
4. Penguatan koordinasi kebijakan dengan Pemerintah untuk meminimalkan tekanan
inflasi dari kenaikan administered prices dan volatile foods maupun untuk sinergi
5. Sejak Juli 2005, Bank Indonesia menggunakan ITF sebagai kerangka kebijakan
Moneter.
6. Inflation Targeting Framework (ITF) merupakan kerangka kerja kebijakan
moneter yang secara transparan dan konsisten diarahkan untuk mencapai sasaran
inflasi beberapa tahun ke depan yang secara eksplisit ditetapkan dan diumumkan.
Empat prinsip pokok rezim kebijakan moneter dengan Inflation Targeting
Framework yaitu:
1. Memiliki sasaran utama, yaitu Sasaran Inflasi, yang dijadikan sebagai prioritas
pencapaian (overriding objective) dan acuan (nominal anchor) kebijakan moneter.
2. Bersifat antisipatif (preemptive atau forward looking) dengan mengarahkan
respon kebijakan moneter saat ini untuk pencapaian sasaran inflasi ke depan.
3. Mendasarkan pada analisis, prakiraan, dan kaidah kebijakan tertentu dalam
menetapkan pertimbangan respon kebijakan moneter (constrained discretion).
4. Sesuai dengan prinsip-prinsip tata kelola yang sehat (good governance), yaitu
berkejelasan tujuan, konsisten, transparan, dan berakuntabilitas.
Rancangan rencana Strategis dalam pengendalian inflasi yang telah dirancang
oleh bank Indonesia ini lebih populer disebut dengan Inflation Targetting Framework
Gambar 2.1. Kerangka Kerja ITF
Dalam implementasi dari kerangka kerja ITF tersebut, sejak tahun 2000 Bank
Indonesia telah menetapkan dan mengumumkan sasaran inflasi yang akan dicapai
melalui kebijakan moneternya. Kebijakan ini dituangkan dalam kerangka kebijakan
yang dilakukan dengan menggunakan uang primer sebagai sasaran antaranya.
Kebijakan semacam ini popular disebut kerangka kebijakan dengan pendekatan
kuantitas (quantity based approach). Namun sejak tahun 2004, BI mengubah
pendekatan yang digunakannya menjadi kerangka kebijakan dengan pendekatan
harga. Salah satu sebab mengapa BI mengubah pendekatan ini adalah kesulitan yang
dihadapi Bank Indonesia dalam mengendalikan variabel uang primer yang merupakan
uang kartal yang merupakan kebutuhan masyarakat akan alat pembayaran (pada
dasarnya tidak dapat dikendalikan secara langsung oleh Bank Indonesia)” (Iskandar
Simorangkir, 2005). Lebih lanjut, dia menerangkan bahwa BI hanya bertumpu pada
pengendalian cadangan/giro bank di Bank Indonesia, yang nilainya mendekati 30%
dari M0 (uang primer).
2.3. Inflasi dan Teori Inflasi
Pada dasarnya, inflasi didefinisikan sebagai gejala kenaikan harga secara
umum. Hera, M. Ikhsan dan Widyanti (2000) mendefinisikan inflasi sebagai
“kenaikan harga umum secara terus-menerus dan persisten dari suatu perekonomian”,
sedangkan Mankiw (2002) menyatakan “Economist use the term inflation to describe
a situation in which the economy’s overall price level is rising”. Sedangkan untuk
mengukur tingkat inflasi suatu negara, bisa digunakan tiga indikator (Ikhsan dan
Widyanti, 2000), yaitu:
1. Perubahan Indek Harga Konsumen (IHK) atau Indek Biaya Hidup (IBH).
2. Perubahan Indek Harga Perdagangan Besar (IHPB).
3. Perubahan Deflator GDP/GDY.
Masing-masing indikator punya kelebihan dan kekurangan, namun yang
utama adalah bagaimana kita menggunakan jenis indikator sesuai dengan kebutuhan
dan tujuan pengukuran. Di Indonesia, indikator yang sering digunakan untuk
Beberapa teori tentang inflasi adalah (1) Teori Kuantitas, yaitu teori yang
menyatakan bahwa proses inflasi itu terjadi karena 2 hal, yaitu jumlah uang beredar
dan psikologi (harapan) masyarakat mengenai kenaikan harga-harga (expectations).
Ada 2 hal penting dari teori Kuantitas ini, adalah bahwa, pertama, laju inflasi terjadi
jika ada penambahan volume uang beredar. Kedua, laju inflasi oleh harapan
masyarakat mengenai kenaikan harga di masa yang akan datang (Boediono, 2000).
(2) Teori Keynes, yaitu teori yang menerangkan bahwa proses inflasi terjadi karena
permintaan masyarakat akan barang-barang selalu melebihi jumlah barang-barang
yang tersedia. Hal ini yang disebut juga dengan inflationary gap. Inflationary gap
terjadi apabila jumlah dari permintaan-permintaan efektif dari semua golongan
tersebut, pada tingkat harga yang berlaku melebihi jumlah maksimum dari
barang-barang yang dihasilkan oleh masyarakat. Harga-harga akan naik, karena permintaan
total melebihi jumlah barang yang tersedia. Adanya kenaikan harga-harga tersebut
berarti bahwa kegiatan rencana pembelian barang dari golongan-golongan tersebut
tidak terpenuhi, selanjutnya mereka akan berusaha untuk memperoleh dana yang
lebih besar lagi, baik golongan pemerintah melalui pencetakan uang baru, atau para
pengusaha swasta melalui kredit dari bank, atau pekerja kenaikan tingkat upah yang
lebih besar. Proses inflasi akan terus berlangsung selama jumlah permintaan efektif
dari semua golongan masyarakat melebihi jumlah output yang bisa dihasilkan pada
2.4. Cadangan Devisa
Pengertian Cadangan Devisa atau Foreign Reserve Currencies adalah mata
uang asing, misalnya dolar Amerika yang dipegang oleh pemerintah atau bank sentral
setiap negara yang pada umumnya digunakan sebagai cadangan internasional
(Lipsey, 2000). Cadangan devisa juga disebut stok emas dan mata uang asing yang
dimiliki suatu negara yang sewaktu-waktu digunakan untuk transaksi atau
pembayaran internasional (Nilawati, 2000).
Cadangan devisa (Bahasa Inggris: foreign exchange reserves) adalah
simpanan mata uang asing oleh bank sentral dan otoritas moneter. Simpanan ini
merupakan asset bank sentral yang tersimpan dalam beberapa mata uang cadangan
(reserve currency) seperti dolar, euro, atau yen, dan digunakan untuk menjamin
kewajibannya, yaitu mata uang lokal yang diterbitkan, dan cadangan berbagai bank
yang disimpan di bank sentral oleh pemerintah atau lembaga keuangan (Wikipedia,
2009).
Menurut Nosihin (2003), dikatakan bahwa penerimaan yang diterima
pemerintah dalam bentuk valuta asing yang kemudian ditukarkan dengan rupiah,
maka dalam proses pertukaran ini, akan meningkatkan cadangan aktiva Bank
Indonesia dan jumlah uang beredar bertambah dengan jumlah uang yang sama. Jadi
antara cadangan devisa dan jumlah uang beredar hubungannya cukup erat, di mana
jumlah cadangan devisa yang ditukarkan menambah jumlah uang beredar dalam
Cadangan Devisa suatu negara yang menipis dapat berakibat pada suatu
negara akan kesulitan mengimpor barang-barang yang dibutuhkannya dari luar
negeri, dan juga memerosotkan kredibilitas mata uangnya. Kurs mata uangnya
di pasar valuta asing akan mengalami depresiasi. Apabila posisi cadangan devisa itu
terus menipis dan semakin menipis, maka dapat terjadi rush terhadap valuta asing
di dalam negeri. Apabila telah demikian keadaannya, sering terjadi pemerintah negara
yang bersangkutan akhirnya terpaksa melakukan devaluasi (Dumairy, 1996).
Makin menipisnya cadangan devisa juga merupakan salah satu penyebab
tingginya tingkat kerentanan ekonomi Indonesia yaitu makin memperburuk kondisi
perekonomian nasional. Tahun 1998 cadangan devisa Indonesia mencapai 23,90
triliun rupiah, akan tetapi akibat krisis ekonomi jumlah tersebut merosot, hingga
bulan September 1999 berkisar 16,01 milyar dollar AS (Tulus T.H. Tambunan,
2000).
Menurut Arief (1999), dijelaskan bahwa ketergantungan impor dan transfer
neto yang tinggi membahayakan neraca pembayaran yakni defisit transaksi berjalan
dan defisit modal yang terus menerus meningkat. Akibatnya cadangan devisa menjadi
semu, artinya banyak mengandung dan bahkan didominasi oleh komponen utang luar
negeri. Cadangan devisa tidak lagi diperoleh dari surplus ekspor, tetapi dari pinjaman
luar negeri. Sebagian besar pinjaman luar negeri digunakan untuk menutup defisit
transaksi berjalan dan membayar angsuran pokok utang luar negeri (Tulus T.H.
Cadangan valuta asing yang terbatas atau kecil akibat dari pendapatan ekspor
yang lebih kecil daripada pembiayaan impor. Keterbatasan cadangan valuta asing ini
menyebabkan kemampuan untuk mengimpor barang-barang baik bahan baku; input
antara; maupun barang modal yang sangat dibutuhkan untuk pembangunan sektor
industri menjadi terbatas pula. Belum lagi ditambah dengan adanya demonstration
effect yang dapat menyebabkan perubahan pola konsumsi masyarakat. Akibat dari
lambatnya laju pembangunan sektor industri, seringkali menyebabkan laju
pertumbuhan supply barang tidak dapat mengimbangi laju pertumbuhan permintaan.
Intervensi bank sentral terhadap nilai tukar mata uang mempengaruhi
penawaran uang dari penjualan cadangan internasional atau international reserves
bank sentral pada pasar internasional. Dampak penjualan cadangan internasional
terhadap nilai tukar mata uang dapat dianalisis dari perubahan neraca bank sentral.
Misalkan bank sentral menjual USD 3 juta aktiva luar negeri untuk menarik Rp 30
miliar mata uang rupiah dari peredaran. Pembelian mata uang rupiah oleh bank
sentral mempunyai dua efek. Pertama, penjualan aktiva atau cadangan internasional
bank sentral akan mengurangi cadangan internasional sebesar USD 3 juta. Kedua,
pembelian mata uang rupiah berarti mengurangi sirkulasi mata uang rupiah dalam
peredaran sebesar Rp. 30 miliar. Rekening-T dari bank sentral adalah sebagai berikut:
Tabel 2.1. Model Rekening-T Bank Sentral untuk Menggambarkan Cadangan Devisa dan Sirkulasi Mata Uang
Aktiva Kewajiban
Aktiva Luar Negeri atau
Cadangan Internasional -Rp 30 miliar
Sirkulasi Mata uang -Rp 30 miliar
Uang inti atau monetary base adalah sirkulasi mata uang rupiah ditambah
cadangan internasional. Penurunan sirkulasi mata uang menunjukkan bahwa uang inti
turun Rp. 30 miliar. Masyarakat atau lembaga keuangan yang membeli aktiva luar
negeri membayar dengan check bank domestik, kemudian bank sentral mengurangi
Rp. 30 miliar dari perkiraan deposit yang ada pada bank sentral. Transaksi deposit
pada bank sentral dan cadangan internasional berkurang Rp. 30 miliar. Dari
rekening-T ditunjukkan bahwa penjualan aktiva luar negeri sama dengan pembelian deposit
lembaga keuangan domestik. Dengan kata lain disimpulkan bahwa pembelian mata
uang domestik dengan cara menjual aktiva luar negeri bank sentral mengurangi
cadangan internasional dan uang inti dengan jumlah yang sama.
Tabel 2.2. Model Rekening-T Bank Sentral untuk Menggambarkan Cadangan Devisa dan Deposit
Aktiva Kewajiban
Aktiva Luar Negeri atau
Cadangan Internasional -Rp 30 milyar
Deposit -Rp 30 milyar
Sumber: Buku Pasar Keuangan & Lembaga Keuangan Bank dan Bukan Bank (2003)
Penjualan aktiva luar negeri oleh bank sentral tidak berbeda dengan operasi
penjualan sekuritas pemerintah atau bank sentral pada operasi pasar terbuka.
Penjualan sekuritas pemerintah atau bank sentral melalui operasi pasar terbuka akan
mengurangi jumlah peredaran uang inti, dengan kata lain penjualan aktiva luar negeri
juga akan mengurangi jumlah peredaran uang inti. Dengan alasan yang sama,
pembelian aktiva luar negeri dengan cara menjual deposit lembaga keuangan pada
bank sentral akan meningkatkan jumlah peredaran uang inti dengan jumlah yang
membeli aktiva luar negeri pada pasar uang internasional akan meningkatkan
cadangan internasional dan uang inti dengan jumlah yang sama.
Intervensi ini menjelaskan bahwa pembelian dan penjualan mata uang
domestik oleh bank sentral mempengaruhi jumlah peredaran uang inti dan kemudian
penawaran uang dalam arti luas atau broad money. Intervensi nilai tukar mata uang
dengan cara menjual atau membeli matauang domestik disebut intervensi taksteril
atau unsterilized foreign exchange intervention. Bagaimana jika bank sentral tidak
ingin membeli atau menjual mata uang domestik untuk mempengaruhi jumlah
peredaran uang inti atau penawaran uang? Bank sentral akan melawan efek intervensi
nilai tukar mata uang luar negeri dengan cara operasi pasar terbuka pada pasar
sekuritas pemerintah atau bank sentral. Misalkan dalam kasus pembelian Rp. 30
miliar dan penjualan USD 3 juta aset luar negeri, bank sentral melakukan pembelian
Rp. 30 miliar sekuritas pemerintah atau bank sentral dari operasi pasar terbuka, dan
pembelian sekuritas pemerintah atau bank sentral ini akan menambah jumlah
peredaran uang inti dengan jumlah yang sama. Hasil rekening-T dari intervensi nilai
tukar mata uang luar negeri dengan penutupan atau offsetting operasi pasar terbuka
tidak merubah jumlah uang inti beredar, yaitu:
Tabel 2.3. Model Rekening–T Bank Sentral untuk Menggambarkan Cadangan Devisa dan Sekuritas Pemerintah
Aktiva Kewajiban
Aktiva Luar Negeri atau
Cadangan Internasional -Rp 30 milyar Sekuritas Pemerintah +Rp 30 miliar
Matauang dalam Sirkulasi
dan Cadangan Rp 0 milyar
Intervensi nilai tukar mata uang luar negeri dengan penutupan pada operasi
pasar terbuka disebut intervensi nilai tukar mata uang luar negeri steril atau sterilized
foreign exchange intervention. Sekarang diketahui bahwa ada dua tipe intervensi nilai
tukar mata uang luar negeri, yaitu intervensi nilai tukar mata uang tak steril atau
unsterilized dan steril atau sterilized.
2.5. Suku Bunga dan Excess Reserve Bank
Menurut Nopirin (2000) suku bunga adalah biaya yang harus dibayar oleh
peminjam atas pinjaman yang diterima dan merupakan imbalan bagi pemberi
pinjaman atas investasinya. Suku bunga mempengaruhi keputusan individu terhadap
pilihan membelanjakan uang lebih banyak atau menyimpan uangnya dalam bentuk
tabungan. Suku bunga juga merupakan sebuah harga yang menghubungkan masa kini
dengan masa depan, sebagaimana harga lainnya maka tingkat suku bunga ditentukan
oleh interaksi antara permintaan dan penawaran.
Suku bunga dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) Suku Bunga Nominal. Suku
bunga nominal adalah Rate yang dapat diamati pasar. (2) Suku Bunga Riil. Suku
bunga riil adalah konsep yang mengukur tingkat bunga yang sesungguhnya setelah
suku bunga nominal dikurangi dengan laju inflasi yang diharapkan.
Suku bunga yang tinggi di satu sisi, akan meningkatkan hasrat masyarakat
untuk menabung sehingga jumlah dana perbankan akan meningkat (Pohan, 2008).
Tingkat suku bunga juga digunakan pemerintah untuk mengendalikan tingkat harga.