• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Penderita Apendisitis Perforata Umur 0-14 Tahun di RSUP H. Adam Malik Tahun 2006-2009

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Gambaran Penderita Apendisitis Perforata Umur 0-14 Tahun di RSUP H. Adam Malik Tahun 2006-2009"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN PENDERITA APENDISITIS PERFORATA UMUR 0-14TAHUN

DI RSUP H. ADAM MALIK TAHUN 2006-2009

Oleh :

KATERIN NAULIBASA 070100380

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2010

(2)

KARYA TULIS ILMIAH

Karya Tulis ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran

Oleh :

KATERIN NAULIBASA 070100380

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Gambaran Penderita Apendisitis Perforata Umur 0-14 Tahun di RSUP H. Adam Malik Tahun 2006-2009

NAMA : KATERIN NAULIBASA

NIM : 070100380

Pembimbing, Penguji 1,

(dr. Mahyono, Sp.B, Sp.BA) (dr. Aliandri, Sp. THT-KL)

NIP. 140161421 NIP. 19660309 200012 1 007

Penguji 2,

(dr. Yunilda A, MKT) NIP. 19790603 200312 2 001

Medan, 30 November 2010 Universitas Sumatera Utara

Fakultas Kedokteran Dekan

(4)

ABSTRAK

Apendisitis akut merupakan keadaan yang sering terjadi pada anak dan membutuhkan operasi kegawatan perut. Diagnosis apendisitis akut sulit pada anak, tetapi dapat memberikan angka perforata 30-60%. Lima puluh persen anak dengan apendisitis perforata diketahui oleh dokter sebelum didiagnosis. Risiko untuk perforata terbanyak pada umur 1-4 tahun (70-75%) dan terendah pada remaja 30-40%.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran penderita apendisitis perforata umur 0-14 tahun di RSUP H. Adam Malik tahun 2006-2009. Penelitian ini menggunakan desain deskriptif dengan pendekatan secara retrospektif, yaitu untuk mengevaluasi peristiwa yang sudah berlangsung. Subyek penelitian ini adalah seluruh penderita apendisitis perforata. Dengan melihat gambaran karakteristik, manifestasi klinis, pemeriksaan laboratorium beserta pemeriksaan radiologi. Selanjutnya, data dianalisis dengan metode deskriptif. Sampel yang didapatkan pada penelitian ini sebanyak 9 sampel.

Perempuan (55,5%) lebih banyak ditemukan daripada laki-laki daripada penderita apendisitis perforata. Pada umur 5-10 tahun (55,6%) lebih banyak ditemukan pada penderita apendisitis perforata. Nyeri viseral merupakan manifestasi klinis yang paling banyak ditimbulkan pada penderita apendisitis perforata yang kemudian diikuti dengan muntah (55,6%), mual (33,3%), demam (55,6%), mencret (11,1%) dan berak darah (11,1%). Leukositosis (66,7%) merupakan hasil pemeriksaan laboratorium darah yang paling banyak ditemui oleh penderita apendisitis perforata. Jumlah eritrosit (44,4%) dan leukosit (55.6%) yang normal yang paling banyak didapati pada penderita apendisitis perforata. Banyak penderita yang tidak melakukan pemeriksaan radiologi karena bukan merupakan suatu pemeriksaan yang bersifat diagnostik.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, gambaran yang paling sering ditemukan pada penderita apendisitis perforata adalah nyeri viseral dan leuko sitosis. Pemeriksaan radiologi buka n merupakan pemeriksaan yang harus dilakukan pada penderita apendisitis perforata.

(5)

ABSTRACT

Acute appendicitis is a situation that often happened to the children and needs an emergency abdominal surgery. The diagnosis of acute appendicitis is difficult in children, but 30-60% acute appendicitis could be perforated appendicitis. Fifty percent children with perforated appendicitis is known by doctor before being diagnosed. The risk of perforated appendicitis is mostly found in 1-4 years aged children (70-75%) and the lowest is in the adolescent (30-40%).

This research aimed to know the description of perforated appendicitis in 0-14 year aged children at RSUP H. Adam Malik in 2006-2009. The research used a descriptive retrospective study which was used to evaluate the incident that had taken place. The subject of this research were all patient with perforated appendicitis. By seeing the description of the characteristics, clinical feature, laboratory examination, and radiology examination in appendectomy. Further, the data was analysed with descriptive method. Total samples that was collected in this research were 9 samples.

Woman (55.5%) were found more with perforated appendicitis often did than men. Children with 5-10 years aged (55,6%) were more often suffered perforated appendicitis. Viseral pain was clinical feature that often found in patient with perforated appendicitis, followed by vomitting (55,6%), nausea (33,3%), fever (55,6%), diarrhea (11,1%) and melena (11,1%). Leucocytosis (66,7%) was the result of laboratory examination often found in patient with perforated appendicitis. Normal value of eritrosit (44,4%) and leucocytes (55,6%) mostly found in patient with perforated appendicitis. Many patient didn’t do any radiology examination because this examination was not a diagnostic examination.

Based on result of the research, the description of perforated appendicitis were viseral pain and leucocytosis. Radiology examination was not always done in patient with perforated appendicitis.

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Yesus Kristus yang telah melimpahkan kasih dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini dengan judul Gambaran Penderita Apendisitis Perforata Umur 0-14 Tahun di RSUP H. Adam Malik Tahun 2006-2009 sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran (S. Ked) pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Proses penelitian Karya Tulis Ilmiah ini tidak terlepas dari bimbingan, bantuan, dukungan dan doa dari berbagai pihak, dalam kehormatan ini ucapan terima kasih yang tidak terhingga saya sampaikan kepada:

1. Prof. Dr. Gontar A. Siregar, Sp.PD-KGEH, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Mahyono, Sp.B, Sp.BA selaku pembimbing Karya Tulis Ilmiah yang selalu memberikan waktu untuk membimbing dan memberikan saran kepada penulis dalam menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini.

3. Seluruh staf pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan pengajaran kepada penulis selama mengikuti pendidikan. 4. Seluruh staf bagian Litbang dan Tata Usaha di RSUP H. Adam Malik Medan

yang telah memberikan ijin dalam pengambilan data penelitian.

5. Seluruh staf bagian Rekam Medik di RSUP H. Adam Malik Medan yang telah membantu dalam pengambilan data penilitian.

6. Rekan-rekan mahasiswa Fakultas Kedokteran Sumatera Utara angkatan 2007. 7. Keluarga yang tercinta, orangtua penulis Bapak Esron Nainggolan dan Ibu

Romauli Aritonang serta saudara/i yang telah memberikan dukugan doa, semangat dan materil selama penulis menjalani pendidikan.

8. Teman-teman penulis (Margareth, Silvia, Septi, Benjamin, Amelia, Charles, Christine) yang telah membantu penulis dalam pengambilan data di RSUP H. Adam Malik Medan.

(7)

Penulis sadar bahwa dalam penulisan Karya Tulis Ilmiah ini masih banyak terdapat kekurangan, oleh karena itu saran dan kritik sangat diharapkan. Akhir kata, penulis ucapkan terima kasih atas semua dan apapun yang telah diberikan kepada penulis. Semoga Tuhan selalu membalas semua kebaikan yang selama ini diberikan kepada penulis dan melimpahkan rahmat-Nya.

Medan, 30 November 2010

Penulis,

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

Lembar Pengesahan ... ii

Abstrak ... iii

Abstract ... iv

Kata Pengantar ... v

Daftar Isi ... vii

Daftar Tabel ... ix

Daftar Lampiran ... x

BAB 1 PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 2

1.3. Tujuan Penelitian ... 2

1.3.1.Tujuan Umum ... 2

1.3.2.Tujuan Khusus ... 2

1.4. Manfaat Penelitian ... 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1. Anatomi dan Histologi Apendiks ... 4

2.2. Fisiologi Apendiks ... 5

2.3. Apendisitis ... 6

2.3.1. Definisi ... 6

2.3.2. Etiologi ... 6

2.3.3. Patofisiologi ... 7

2.3.4. Manifestasi klinis ... 8

2.3.5. Diagnosis ... 10

2.3.6. Pemeriksaan ... 11

2.3.6. Pemeriksaan... 11

2.3.6.1. Pemeriksaan Fisik ... 11

2.3.6.2. Pemeriksaan Penunjang ... 13

2.3.6.2.1. Pemeriksaan Laboratorium ... 13

2.3.6.2.2. Pemeriksaan Radiologi ... 13

2.3.7. Penatalaksanaan ... 15

2.3.8. Komplikasi ... 17

2.3.9. Prognosis ... 18

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL... 19

3.1. Kerangka Konsep Penelitian ... 19

(9)

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 21

4.1. Desain Penelitian ... 21

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian ... 21

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian... 21

4.4. Teknik Pengumpulan Data ... 21

4.5. Pengolahan dan Analisis Data ... 21

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 22

5.1. Hasil Penelitian ... 22

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 22

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Sampel ... 22

5.1.3. Deskripsi Manifestasi klinis Sampel ... 23

5.1.4. Deskripsi Gambaran Laboratorium Sampel ... 25

5.1.5. Deskripsi Gambaran Radiologi Sampel ... 27

5.2. Pembahasan ... 27

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 30

6.1. Kesimpulan... 30

6.2. Saran ... 30

DAFTAR PUSTAKA ... 32

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Tabel Halaman

Tabel 5.1 Distribusi Sampel Menurut Umur Tahun

2006-2009……….……….…….… 23

Tabel 5.2 Distribusi Sampel Menurut Jenis Kelamin………... 23 Tabel 5.3 Distribusi Sampel Menurut Manifestasi klinis

Nyeri Viseral……….……..….……..…….... 23

Tabel 5.4 Distribusi Sampel Menurut Manifestasi klinis

Muntah……….…... 24 Tabel 5.5 Distribusi Sampel Menurut Manifestasi klinis

Mual……….……….…….……... 24

Tabel 5.6 Distribusi Sampel Menurut Manifestasi klinis

Demam……….……….…….……. 24

Tabel 5.7 Distribusi Sampel Menurut Manifestasi klinis

Mencret……….……….…….………... 25

Tabel 5.8 Distribusi Sampel Menurut Manifestasi klinis

Berak Darah……….……….…….……. 25

Tabel 5.9 Distribusi Sampel Menurut Gambaran

Laboratorium Leukosit Darah……….... 25

Tabel 5.10 Distribusi Sampel Menurut Gambaran

Laboratorium Eritrosit Urin………... 26

Tabel 5.11 Distribusi Sampel Menurut Gambaran

Laboratorium Leukosit Urin……….….. 26

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Judul

1 Daftar Riwayat Hidup

2 Ethical Clearance

3 Surat Ijin Penelitian

(12)

ABSTRAK

Apendisitis akut merupakan keadaan yang sering terjadi pada anak dan membutuhkan operasi kegawatan perut. Diagnosis apendisitis akut sulit pada anak, tetapi dapat memberikan angka perforata 30-60%. Lima puluh persen anak dengan apendisitis perforata diketahui oleh dokter sebelum didiagnosis. Risiko untuk perforata terbanyak pada umur 1-4 tahun (70-75%) dan terendah pada remaja 30-40%.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran penderita apendisitis perforata umur 0-14 tahun di RSUP H. Adam Malik tahun 2006-2009. Penelitian ini menggunakan desain deskriptif dengan pendekatan secara retrospektif, yaitu untuk mengevaluasi peristiwa yang sudah berlangsung. Subyek penelitian ini adalah seluruh penderita apendisitis perforata. Dengan melihat gambaran karakteristik, manifestasi klinis, pemeriksaan laboratorium beserta pemeriksaan radiologi. Selanjutnya, data dianalisis dengan metode deskriptif. Sampel yang didapatkan pada penelitian ini sebanyak 9 sampel.

Perempuan (55,5%) lebih banyak ditemukan daripada laki-laki daripada penderita apendisitis perforata. Pada umur 5-10 tahun (55,6%) lebih banyak ditemukan pada penderita apendisitis perforata. Nyeri viseral merupakan manifestasi klinis yang paling banyak ditimbulkan pada penderita apendisitis perforata yang kemudian diikuti dengan muntah (55,6%), mual (33,3%), demam (55,6%), mencret (11,1%) dan berak darah (11,1%). Leukositosis (66,7%) merupakan hasil pemeriksaan laboratorium darah yang paling banyak ditemui oleh penderita apendisitis perforata. Jumlah eritrosit (44,4%) dan leukosit (55.6%) yang normal yang paling banyak didapati pada penderita apendisitis perforata. Banyak penderita yang tidak melakukan pemeriksaan radiologi karena bukan merupakan suatu pemeriksaan yang bersifat diagnostik.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, gambaran yang paling sering ditemukan pada penderita apendisitis perforata adalah nyeri viseral dan leuko sitosis. Pemeriksaan radiologi buka n merupakan pemeriksaan yang harus dilakukan pada penderita apendisitis perforata.

(13)

ABSTRACT

Acute appendicitis is a situation that often happened to the children and needs an emergency abdominal surgery. The diagnosis of acute appendicitis is difficult in children, but 30-60% acute appendicitis could be perforated appendicitis. Fifty percent children with perforated appendicitis is known by doctor before being diagnosed. The risk of perforated appendicitis is mostly found in 1-4 years aged children (70-75%) and the lowest is in the adolescent (30-40%).

This research aimed to know the description of perforated appendicitis in 0-14 year aged children at RSUP H. Adam Malik in 2006-2009. The research used a descriptive retrospective study which was used to evaluate the incident that had taken place. The subject of this research were all patient with perforated appendicitis. By seeing the description of the characteristics, clinical feature, laboratory examination, and radiology examination in appendectomy. Further, the data was analysed with descriptive method. Total samples that was collected in this research were 9 samples.

Woman (55.5%) were found more with perforated appendicitis often did than men. Children with 5-10 years aged (55,6%) were more often suffered perforated appendicitis. Viseral pain was clinical feature that often found in patient with perforated appendicitis, followed by vomitting (55,6%), nausea (33,3%), fever (55,6%), diarrhea (11,1%) and melena (11,1%). Leucocytosis (66,7%) was the result of laboratory examination often found in patient with perforated appendicitis. Normal value of eritrosit (44,4%) and leucocytes (55,6%) mostly found in patient with perforated appendicitis. Many patient didn’t do any radiology examination because this examination was not a diagnostic examination.

Based on result of the research, the description of perforated appendicitis were viseral pain and leucocytosis. Radiology examination was not always done in patient with perforated appendicitis.

(14)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Apendisitis akut merupakan keadaan yang sering terjadi dan membutuhkan operasi kegawatan perut pada anak. Diagnosis apendisitis akut sulit pada anak, tetapi dapat memberikan angka perforata 30-60%. Lima puluh persen anak dengan apendisitis perforata diketahui oleh dokter sebelum didiagnosis. Risiko untuk perforata terbanyak pada umur 1-4 tahun (70-75%) dan terendah pada remaja 30-40% (Hartman, 2000).

Individu memiliki risiko sekitar 7% untuk apendisitis selama hidup mereka. Insidensi apendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di negara berkembang. Walaupun alasan untuk perbedaan ini tidak diketahui, faktor risiko yang potensial adalah diet rendah serat dan tinggi gula, riwayat keluarga, serta infeksi (Mazziotti, 2008).

Sekitar 80.000 anak pernah menderita apendisitis di Amerika Serikat setiap tahun, di mana terjadi 4 per 1000 anak di bawah 14 tahun. Kejadian apendisitis meningkat dengan bertambahnya umur, memuncak pada remaja, dan jarang terjadi pada anak kurang dari 1 tahun (Hartman, 2000).

Berdasarkan World Health Organization (2002), angka mortalitas akibat apendisitis adalah 21.000 jiwa, di mana populasi laki-laki lebih banyak dibangdingkan perempuan. Angka mortalitas apendisitis sekitar 12.000 jiwa pada laki-laki dan pada perempuan sekitar 10.000 jiwa.

Menurut Craig (2010), apendisitis perforata sering terjadi pada umur di bawah 18 tahun ataupun di atas 50 tahun. Insidensi apendisitis pada laki-laki lebih besar 1,4 kali dari perempuan. Rasio laki-laki dan wanita sekitar 2:1.

(15)

kebiasaan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi menaikkan tekanan intrasekal, menyebabkan sumbatan fungsional apendiks, dan meningkatkan pertumbuhan flora kolon. Semuanya ini akan mempermudah timbulnya apendisitis akut (Pieter, 2005).

Untuk kejadian apendisitis di Indonesia khususnya di Medan, penulis tidak menemui referensi valid yang menyatakan jumlah maupun perbandingan penderita apendisitis, terkhusus apendsitis perforata di kelompok umur 0 tahun sampai 14 tahun.

1.2. Rumusan Masalah

Bagaimana gambaran penderita apendisitis perforata umur 0-14 tahun di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2006-2009?

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui gambaran penderita apendisitis perforata umur 0-14 tahun di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2006-2009.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui karakteristik penderita apendisitis perforata, berupa umur dan jenis kelamin.

2. Untuk mengetahui manifestasi klinis pada penderita apendisitis perforata.

3. Untuk mengetahui gambaran pemeriksaan laboratorium pada penderita apendisitis perforata berupa nilai leukosit pada pemeriksaan darah beserta nilai leukosit dan eritrosit pada pemeriksaan urinalisis.

(16)

1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Bagi Peneliti

1. Untuk memahami gambaran karakteristik, manifestasi klinis, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan radiologi pada apendisitis perforata.

2. Untuk memenuhi syarat dalam mencapai derajat Sarjana Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.

1.4.2. Manfaat Bagi Tenaga Kesehatan, Institusi Akademis, dan Peneliti Lain

(17)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Histologi Apendiks

Apendiks merupakan suatu evaginasi dari sekum yang ditandai dengan sebuah lumen kecil, sempit, dan tidak teratur. Struktur tersebut disebabkan oleh folikel limfoid yang banyak pada apendiks (Junqueira dan Carneiro, 2007).

Apendiks memiliki panjang sekitar 3-15 cm dan diameter 0,5-1 cm. Pada bagian proksimal, lumen apendiks sempit dan melebar di bagian distal. Pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, di mana bagian pangkal melebar dan semakin menyempit ke arah ujung. Hal ini merupakan salah satu faktor insidensi apendisitis yang rendah pada umur tersebut (Pieter, 2005).

Sekitar 65% apendiks terletak di intraperitoneal. Kedudukan ini menyebabkan apendiks dapat bergerak sesuai dengan panjang mesoapendiks yang menggantungnya. Apendiks juga dapat terletak di retroperitoneal, yaitu di belakang sekum, di belakang kolon asendens, atau di tepi lateral kolon asendens. Letak apendiks dapat menentukan manifestasi klinis apendisitis (Pieter, 2005).

Appendiks tampak pertama kali saat minggu ke-8 perkembangan embriologi yaitu bagian ujung protuberans sekum. Pada saat antenatal dan postnatal, pertumbuhan dari sekum yang berlebih akan menjadi apendiks, kemudian berpindah dari medial menuju katup ileosekal (Pieter, 2005).

Apendiks memiliki 4 lapisan yaitu, mukosa, submukosa, muskularis eksterna/propria (otot longitudinal dan sirkuler), dan serosa. Apendiks dapat tidak terlihat karena membran Jackson yang (lapisan peritoneum) menyebar dari bagian lateral abdomen ke ileum terminal, menutup sekum dan apendiks. Lapisan mukosa terdiri dari satu lapis epitel bertingkat dan crypta lieberkuhn. Dinding dalam (inner circular layer) berhubungan dengan sekum dan dinding luar (outer longitudinal muscle) dilapisi oleh pertemuan ketiga taenia coli pada pertemuan

(18)

submukosa terdiri dari jaringan ikat longgar dan jaringan elastik yang membentuk jaringan saraf, pembuluh darah dan limfe (Pieter, 2005).

Persarafan parasimpatis apendiks berasal dari cabang n. vagus yang mengikuti a. mesenterika superior dan a. apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari n. torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula di sekitar umbilikus. Pendarahan apendiks berasal dari a. apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena trombosis pada infeksi, apendiks akan mengalami gangren (Pieter, 2005).

2.2. Fisiologi Apendiks

Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada patogenesis apendisitis (Pieter, 2005).

Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks,

ialah IgA. Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi system imun tubuh karena jumlah jaringan limfe disini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan diseluruh tubuh (Pieter, 2005).

(19)

2.3. Apendisitis 2.3.1. Definisi

Apendiks adalah ujung seperti jari-jari yang kecil panjangnya kira-kira 10cm (4 inci), melekat pada sekum tepat dibawah katup ilosekal (Smeltzer dan Bare, 2002).

Apendisitis adalah peradangan dari apendiks dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering (Mansjoer dkk., 2000).

Apendisitis akut adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan rongga abdomen, dan bedah abdomen darurat (Smeltzer dan Bare, 2002).

2.3.2. Etiologi

Pada penelitian, ligasi (obstruksi) apendiks menyebabkan peningkatan mencolok tekanan intralumen, yang dengan cepat melebihi tekanan darah sistolik. Pada awalnya kongesti darah vena menjelek menjadi trombosis, nekrosis dan perforata. Secara klinis, obstruksi lumen merupakan penyebab utama apendisitis. Obstruksi ini disebabkan oleh pengerasan bahan tinja (fekolit). Fekalit merupakan penyebab tersering dari obstruksi apendiks. Bahan yang mengeras ini bisa mengapur, terlihat dalam foto rontgen sebagai apendikolit (15-20%). Obstruksi akibat dari edema mukosa dapat disertai dengan infeksi virus atau bakteri (Yersinia, Salmonella, Shigella) sistemik. Mukus yang tidak normal terkesan sebagai penyebab meningkatnya insidens apendisitis pada anak dengan kistik fibrosis. Tumor karsinoid, benda asing, dan ascaris jarang menjadi penyebab apendisitis (Hartman, 2000).

(20)

kuman flora kolon biasa. Semuanya akan mempermudah terjadinya apendisits akut (Pieter, 2005).

2.3.3. Patofisiologi

Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur pada fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma (Mansjoer dkk., 2000).

Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian proksimal. Selanjutnya, terjadi peningkatan sekresi normal dari mukosa apendiks yang distensi secara terus menerus karena multiplikasi cepat dari bakteri. Obstruksi iga menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa terbendung. semakin lama, mukus tersebut semakin banyak. Namun, elastisitas dinding apendiks terbatas sehingga meningkatkan tekanan intralumen. Kapasitas lumen apendiks normal hanya sekitar 0,1 ml (Schwartz, 2000).

Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks mengalami hipoksia, hambatan aliran limfe, ulserasi mukosa, dan invasi bakteri. Infeksi memperberat pembengkakan apendiks (edema). Trombosis pada pembuluh darah intramural (dinding apendiks) menyebabkan iskemik. Pada saat ini, terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium (Mansjoer dkk., 2000).

Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang meluas dan mengenai peritoneum setempat menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut (Mansjoer dkk., 2000).

(21)

apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforata (Mansjoer dkk., 2000).

Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrat apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang (Mansjoer dkk., 2000).

Infiltrat apendikularis merupakan tahap patologi apendisitis yang dimulai di mukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-48 jam pertama. Ini merupakan usaha pertahanan tubuh yang membatasi proses radang melalui penutupan apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa. Akibatnya, terbentuk massa periapendikular. Di dalamnya, dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforata. Jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan massa periapendikular akan menjadi tenang, dan selanjutnya akan mengurai diri secara lambat (Pieter, 2005).

Pada anak-anak, perforata mudah terjadi karena omentum lebih pendek, apendiks lebih panjang, dinding apendiks lebih tipis, dan daya tahan tubuh yang masih kurang. Pada orang tua, perforata mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer dkk., 2000).

Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi membentuk jaringan parut dan menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitar. Perlengketan ini menimbulkan keluhan berulang diperut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan mengalami eksaserbasi akut (Pieter, 2005).

2.3.4. Manifestasi klinis

(22)

malaise, demam yang tidak terlalu tinggi, konstipasi, kadang-kadang diare, mual dan muntah. Namun dalam beberapa jam nyeri abdomen kanan bawah akan semakin progresif (Mansjoer dkk., 2000).

Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang mendadak apendiks yang memberikan tanda setempat, disertai maupu n tidak disertai rangsang peritoneum lokal. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke titik McBurney. Di sini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan somatik setempat. Kadang tidak ada nyeri epigastrium tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan itu dianggap berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforata. Bila terdapat perangsangan peritoneum biasanya pasien mengeluh sakit perut bila berjalan atau batuk (Pieter, 2005).

Bila letak apendiks retrosekal di luar rongga perut, karena letaknya terlindung sekum maka tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi kanan atau nyeri timbul pada saat berjalan, karena kontraksi otot psoas mayor yang menegang dari dorsal (Pieter, 2005).

Apendiks yang terletak di rongga pelvis, bila meradang, dapat menimbulkan gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga peristaltik meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang. Jika apendiks tadi menempel ke kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kencing, karena rangsangan dindingnya (Pieter, 2005).

Penjelekan sejak mulainya gejala sampai perforata biasanya terjadi setelah 36-48 jam. Jika diagnosis terlambat setelah 36-48 jam, angka perforata menjadi 65% (Hartman, 2000).

(23)

rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa nyerinya dalam beberapa jam kemudian akan timbul muntah-muntah dan anak akan menjadi lemah dan letargik. Karena gejala yang tidak khas tadi, sering apendisitis diketahui setelah perforata. Pada bayi, 80-90 % apendisitis baru diketahui setelah terjadi perforata (Pieter, 2005).

Manifestasi klinis apendisitis akut (Pieter, 2005) :

• tanda awal

nyeri mulai di epigastrium atau regio umbilikus disertai mual dan anoreksi

• nyeri pindah ke kanan bawah dan menunjukkan tanda rangsangan peritoneum lokal di titik McBurney

o nyeri tekan o nyeri lepas o defans muskuler

• nyeri rangsangan peritoneum tidak langsung

o nyeri tekan bawah pada tekanan kiri (Rovsing)

o nyeri kanan bawah bila tekanan di sebelah kiri dilepaskan (Blumberg)

o nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak seperti nafas dalam, berjalan, batuk, mengedan

2.3.5. Diagnosis

Menurut Kartono (1995), massa apendiks dengan proses radang aktif ditandai dengan:

1. Keadaan umum pasien masih terlihat sakit, suhu tubuh masih tinggi; 2. Pemeriksaan lokal pada abdomen kuadran kanan bawah masih jelas

terdapat tanda-tanda peritonitis;

(24)

Sedangkan, massa apendiks dengan proses radang yang telah reda ditandai dengan:

1. Pasien berumur 5 tahun atau lebih.

2. Keadaan umum telah membaik, sakit, dan suhu tubuh tidak tinggi lagi. 3. Pemeriksaan lokal abdomen tenang, tanpa tanda-tanda peritonitis, dan

massa dengan berbatas jelas dengan nyeri tekan ringan. 4. Laboratorium hitung lekosit dan hitung jenis normal.

Riwayat klasik apendisitis akut, yang diikuti massa yang nyeri di regio iliaka kanan dan demam, mengarahkan diagnosis pada massa atau abses apendikuler. Diagnosis didukung dengan pemeriksaan fisik maupun penunjang. Kesalahan diagnosis lebih sering pada perempuan dibanding laki-laki. Hal ini terjadi karena perempuan, terutama yang masih muda, sering mengalami gangguan yang mirip apendisitis akut. Keluhan dapat berasal dari genitalia interna karena ovulasi, menstruasi, radang di pelvis atau penyakit. Untuk menurunkan angka kesalahan diagnosis yang meragukan dilanjutkan dengan observasi penderita di rumah sakit, dengan pengamatan setiap 1-2 jam (Pieter, 2005).

2.3.6. Pemeriksaan 2.3.6.1. Pemeriksaan Fisik

Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,5°C. Bila suhu lebih tinggi, mungkin sudah terjadi perforata. Bisa terdapat perbedaan suhu aksilar dan rektal sampai 1°C. Pada inspeksi perut tidak ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi perforata. Appendisitis infiltrat atau adanya abses apendikuler terlihat dengan adanya penonjolan di perut kanan bawah (Pieter, 2005).

(25)

mengintepretasi tanda fisik dalam menentukan strategi pengobatan (Pieter, 2005).

Pemeriksaan fisik harus dimulai dengan inspeksi tingkah laku anak dan keadaan perutnya. Anak dengan apendisitis sering bergerak perlahan dan terbatas, membungkuk kedepan, dan sering dengan sedikit pincang. Anak tersebut akan memegang kuadran kanan bawah dengan tangan dan enggan untuk naik ke meja periksa. Apendisitis dini perut rata. Perubahan warna dan bekas luka memar harus dipikirkan trauma perut. Perut kembung menunjukkan suatu komplikasi seperti perforata atau obstruksi. Auskultasi bisa menunjukkan suara usus normal atau hiperaktif pada apendisitis dini diganti dengan suara usus hipoaktif ketika menjelek menjadi perforata (Hartman, 2000).

Palpasi abdomen harus dilakukan dengan lembut setelah pelaporan dan dibantu dengan selingan pembicaraan atau bantuan orangtua. Kuadran kanan bawah (titik Mcburney) harus dipalpasi terakhir setelah pemeriksa telah mempunyai kesempatan mempertimbangkan respons terhadap pemeriksaan kuadran yang seharusnya tidak nyeri. Titik Mcburney adalah perpotongan lateral dan duapertiga dari garis ysng

menghubungkan spina iliaka superior anterior kanan dan umbilikus. Tanda fisik yang paling penting pada apendisitis adalah nyeri tekan menetap pada saat palpasi dan kekakuan lapisan otot rektus. Jika anak takut atau agitasi saat pemeriksaan sebelumnya, maka otot perut mungkin tegang keseluruhan, membuat interpretasi temuan ini tidak dimungkinkan (Hartman, 2000).

(26)

Peristalsis usus sering normal, peristalsis dapat hilang karena ileus paralitik pada peritonitis generalisata akibat apendisitis perforata. Pemeriksaan colok dubur menyebabkan nyeri bila daerah infeksi bisa dicapai dengan jari telunjuk, misalnya pada apendisitis pelvika (Pieter, 2005).

Pada apendisitis pelvika tanda perut sering meragukan, maka kunci diagnosis adalah nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur. Colok dubur pada anak tidak dianjurkan. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator merupakan pemeriksaan yang lebih ditujukan untuk mengetahui letak apendiks. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan m. psoas lewat hiperekstensi atau fleksi aktif. Bila apendiks yang meradang menempel di m. psoas, tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Uji obturator digunakan untuk melihat apakah apendiks yang meradang kontak dengan m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil. Dengan gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang, pada apendisitis pelvika akan menimbulkan nyeri (Pieter, 2005).

2.3.6.2. Pemeriksaan Penunjang 2.3.6.2.1. Pemeriksaan Laboratorium

Pada darah lengkap didapatkan leukosit ringan umumnya pada apendisitis sederhana. Lebih dari 13.000/mm3 umumnya pada apendisitis perforata. Tidak adanya leukositosis tidak menyingkirkan apendisitis. Hitung jenis leukosit terdapat pergeseran kekiri. Pada pemeriksaan urin, sedimen dapat normal atau terdapat leukosit dan eritrosit lebih dari normal bila apendiks yang meradang menempel pada ureter atau vesika (Kartono, 1995).

2.3.6.2.2. Pemeriksaan Radiologi

(27)

Temuan apendisitis pada foto perut meliputi apendikolit yang mengalami kalsifikasi, usus halus yang distensi atau obstruksi, dan efek massa jaringan lunak (Hartman, 2000)

Menurut Darmawan Kartono, 1995 foto polos abdomen dikerjakan apabila hasil anamnesa atau pemeriksaan fisik meragukan. Tanda-tanda peritonitis kuadran kanan bawah. Gambaran perselubungan mungkin terlihat ”ileal atau caecal ileus” (gambaran garis permukaan air-udara disekum atau ileum).

Foto polos pada apendisitis perforata:

1. gambaran perselubungan lebih jelas dan dapat tidak terbatas di kuadran kanan bawah

2. penebalan dinding usus disekitar letak apendiks, sperti sekum dan ileum.

3. Garis lemak pra peritoneal menghilang 4. Skoliosis ke kanan

5. Tanda-tanda obstruksi usus seperti garis-garis permukaan cairan-cairan akibat paralisis usus-usus lokal di daerah proses infeksi.

(28)

evaluasi apendisitis dengan sensitivitas dan spesifisitas unggul, tingkat usus buntu negatif pada anak-anak belum menunjukkan penurunan signifikan secara statistik (Katz, 2009).

Temuan pada barium enema adalah temuan pengaruh massa pada sekum karena proses radang dan lumen apendiks tidak terisi atau terisi sebagian (Hartman, 2000).

2.3.7. Penatalaksanaan

Menurut Mansjoer dkk. (2000), penatalaksanaan apendisitis terdiri dari: a. Sebelum operasi

1. Pemasangan sonde lambung untuk dekompresi 2. Pemasangan kateter untuk kontrol produksi urin 3. Rehidrasi

4. Antibiotik dengan spektrum luas, dosis tinggi dan diberikan secara intravena

5. Obat – obatan penurun panas, phenergan sebagai anti mengigil, largaktil untuk membuka pembuluh – pembuluh darah perifer diberikan setelah rehidrasi tercapai

6. Bila demam, harus diturunkan sebelum diberi anestesi

b. Operasi

1. Apendiktomi

2. Apendiks dibuang, jika apendiks mengalami perforata bebas, maka abdomen dicuci dengan garam fisiologis dan antibiotika 3. Abses apendiks diobati dengan antibiotika IV, massa mungkin

(29)

c. Pasca Operasi

1. Observasi Tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya perdarahan di dalam, syok, hipertermia atau gangguan pernafasan. 2. Angkat sonde lambung bila pasien telah sadar sehingga aspirasi

cairan lambung dapat dicegah

3. Baringkan pasien dalam posisi semi fowler

4. Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan, selam pasien dipuasakan

5. Bila tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforata, puasa dilanjutkan sampai fungsi usus kembali normal.

6. Berikan minum mulai 15 ml/jam selama 4 – 5 jam lalu naikkan menjadi 30 ml/jam. Keesokan harinya berikan makanan saring dan hari berikutnya diberikan makanan lunak

7. Satu hari pascar operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak di tempat tidur selama 2x30 menit

8. Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk di luar kamar 9. Hari ke-7 jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang

Apendiktomi harus dilakukan dalam beberapa jam setelah diagnosis ditegakkan (Pieter, 2005).

Jika apendiks telah perforata, terutama dengan peritonitis menyeluruh, resusitasi cairan yang cukup dan antibiotik spektrum luas mungkin diperlukan beberapa jam sebelum apendiktomi. Pengisapan nasogastrik harus digunakan jika ada muntah yang berat atau perut kembung. Antibiotik harus mencakup organisme yang sering ditemukan (Bacteroides, Escherichia coli, Klebsiella, dan pseudomonas spesies). Regimen yang sering digunakan secara intravena adalah

(30)

Massa apendiks terjadi bila terjadi apendisitis gangrenosa atau mikroperforata ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan atau lekuk usus halus. Pada massa periapendikular yang pendidingannya belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus keseluruh rongga peritoneum jika perforata diikuti peritonitis purulenta generalisata. Oleh karena itu, massa periapendikular yang masih bebas disarankan segera dioperasi untuk mencegah penyulit tersebut. Selain itu, operasi lebih mudah. Pada anak, dipersiapkan untuk operasi dalam waktu 2-3 hari saja. Bila sudah tidak ada demam, massa periapendikular hilang, dan leukosit normal, penderita boleh pulang dan apendiktomi elektif dapat dikerjakan 2-3 bulan kemudian agar perdarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi perforata, akan terbentuk abses apendiks. Hal ini ditandai dengan kenaikan suhu dan frekuensi nadi, bertambahnya nyeri, dan teraba pembengkakan massa, serta bertambahnya angka leukosit (Pieter, 2005).

Terapi sementara untuk 8-12 minggu adalah konservatif saja. Pada anak kecil, wanita hamil, dan penderita umur lanjut, jika secara konservatif tidak membaik atau berkembang menjadi abses, dianjurkan operasi secepatnya (Pieter, 2005).

2.3.8. Komplikasi

Komplikasi apendisitis terjadi pada 25-30% anak dengan apendisitis, terutama komplikasi yang dengan perforata (Hartman, 2000).

Menurut Smeltzer dan Bare (2002), komplikasi potensial setelah apendiktomi antara lain:

1. Peritonitis

Observasi terhadap nyeri tekan abdomen, demam, muntah, kekakuan abdomen, dan takikardia. Lakukan penghisapan nasogastrik konstan. Perbaiki dehidrasi sesuai program. Berikan preparat antibiotik sesuai program.

2. Abses pelvis atau lumbal

(31)

3. Abses Subfrenik (abses dibawah diafragma)

Kaji pasien terhadap adanya menggigil, demam, diaforesis. Siapkan untuk pemeriksaan sinar-x. Siapkan drainase bedah terhadap abses.

4. Ileus

Kaji bising usus. Lakukan intubasi dan pengisapan nasogastrik. Ganti cairan dan elektrolit dengan rute intravena sesuai program. Siapkan untuk pembedahan, bila diagnosis ileus mekanis ditegakkan.

2.3.9. Prognosis

Prognosis baik bila dilakukan diagnosis dini sebelum ruptur, dan diberi

(32)

Kejadian Apendisitis perforata pada Anak umur 0 – 14 tahun

BAB 3

KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah :

3.2. Defenisi Operasional

Sesuai dengan kerangka penelitian, maka yang menjadi definisi operasional sebagai berikut :

a. Apendisitis perforata merupakan peradangan dinding apendiks yang disertai perforata. Informasi mengenai hal ini diperoleh dari penjelasan pada rekam medis penderita yang didiagnosis apendisitis perforata.

b. Gambaran merupakan hal – hal yang berkaitan dengan penyebab pelaksanaan suatu kejadian. Informasi mengenai hal ini dapat diperoleh dari penjelasan pada rekam medis.

c. Karakteristik penderita dapat menjadi salah satu gambaran terjadinya apendisitis perforata. Pada penelitian ini, karakteristik penderita berupa umur dan jenis kelamin. Karakteristik penderita didapat dari data rekam medis penderita apendisitis perforata.

Gambaran:

1. Berdasarkan karakteristik 2. Berdasarkan manifestasi klinis 3. Berdasarkan pemeriksaan

laboratorium

(33)

Skala: nominal.

d. manifestasi klinis penderita merupakan suatu tanda ataupun gejala yang diperhatikan agar pemeriksa mengetahui hal yang menjadi pertanda bahwa pasien tersebut menderita apendisitis perforata. Manifestasi klinis didapat dari data rekam medis penderita apendisitis perforata.

Skala: nominal.

e. Pemeriksaan laboratorium digunakan untuk menegakkan diagnosa pasti tentang penyakit suatu pasien. Pada penderita apendisitis perforata, nilai leukosit darah lebih diperhitungkan. Nilai normal lekosit darah adalah 4,8-10,8 x 103 sel/μL (Sacher dan McPherson, 2004). Nilai leukosit ini didapat dari data rekam medis penderita apendisitis perforata. Kemudian pada pemeriksaan urin diperiksa sel eritrosit dan leuko sit. Nilai normal eritrosit urin adalah 0-3/Lapangan Pandang Besar sedangkan hitung jenis leukosit adalah 0-5/Lapangan Pandang Besar (Sacher dan McPherson, 2004).

Skala: nominal.

f. Pemeriksaan radiologi digunakan sebagai pemeriksaan penunjang guna memastikan bahwa diagnosa yang sudah dibuat menjadi lebih pasti. Foto polos biasanya digunakan pada penderita apendisitis guna mendapatkan gambaran mengenai lokasi apendisitis. Hasil foto polos didapat dari data rekam medis penderita yang didiagnosa apendisitis perforata.

(34)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain deskriptif dengan pendekatan secara retrospektif, yaitu untuk mengevaluasi peristiwa yang sudah berlangsung.

4.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan mulai dari bulan Agustus 2010 sampai Oktober 2010.

4.3. Populasi dan Sampel

Populasi penelitian ini ialah seluruh penderita apendisitis perforata umur

0-14 tahun yang berobat di RSUP H. Adam Malik Medan mulai tanggal 1 Januari 2006 hingga 31 Desember 2009. Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik total sampling yaitu seluruh populasi digunakan sebagai sampel.

4.4. Teknik Pengumpulan Data

Data yang digunakan berupa data sekunder yaitu rekam medis anak yang penderita apendisitis perforata. Hal yang diperlukan dalam penelitian ini dikhususkan pada penderita apendisitis perforata. Data yang diperlukan tersebut dicatat dan diuraikan berdasarkan kebutuhan peneliti.

4.5. Pengolahan dan Analisa Data

(35)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Instalasi Rekam medis RSUP H. Adam Malik Medan. Rumah sakit ini berlokasi di Jalan Bunga Lau No. 17, kelurahan Kemenangan Tani, kecamatan Medan Tuntungan, kota Medan 20136. Bagian rekam medis terletak di lantai dasar tepat dibelakang poliklinik Obstetri Ginekologi RSUP H. Adam Malik Medan.

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 355/Menkes/SK/VII/1990, RSUP H. Adam Malik Medan merupakan rumah sakit kelas A. Selain itu, RSUP H. Adam Malik Medan adalah rumah sakit pusat rujukan wilayah pembangunan A, yang meliputi provinsi Sumatera Utara, Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, dan Riau.

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 502/Menkes/SK/IX/1991, RSUP H. Adam Malik Medan dijadikan sebagai rumah sakit pendidikan.

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Sampel

Sampel penelitian ini adalah seluruh penderita apendisitis perforata umur 0-14 tahun yang berobat di RSUP H. Adam Malik Medan mulai tanggal 1 Januari 2006 hingga 31 Desember 2009. Total sampel adalah 9 orang. Karakteristik sampel dideskripsikan berdasarkan umur dan jenis kelamin.

5.1.2.1. Karakteristik Berdasarkan Umur

Tabel 5.1 Distribusi Sampel Menurut Umur Tahun 2006-2009 Umur (tahun) Frekuensi Persentase (%)

0 - 4 5 - 10

1 5

11,1 55,6 11 - 14 3 33,3

(36)

Dari tabel 5.1 dapat diketahui bahwa sampel dengan apendisitis perforata mayoritas berumur antara 5 – 10 tahun dengan jumlah 5 orang (55,6%).

5.1.2.2. Karakteristik Berdasarkan Jenis Kelamin

Tabel 5.2 Distribusi Sampel Menurut Jenis Kelamin Jenis Kelamin Frekuensi Persentase (%)

Laki – laki 4 44,4 Perempuan 5 55,6

Total 9 100,0

Dari tabel 5.2 dapat diketahui bahwa jumlah sampel yang mengalami apendisitis perforata yang berjenis kelamin laki-laki adalah sebanyak 4 orang (44,4%), sedangkan yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 5 orang (55,6%).

[image:36.595.156.517.661.721.2]

5.1.3. Deskripsi Manifestasi klinis Sampel 5.1.3.1. Nyeri Viseral

Tabel 5.3 Distribusi Sampel Menurut Manifestasi klinis Nyeri Viseral

Nyeri Viseral Jumlah Persentase (%)

Ya 9 100,0 Tidak 0 0,0

Total 9 100,0

Dari hasil tabulasi, sampel yang mengalami gejala klinis nyeri viseral adalah seluruh sampel dengan jumlah 9 orang (100%)

5.1.3.2. Muntah

Tabel 5.4 Distribusi Sampel Menurut Manifestasi klinis Muntah Muntah Jumlah Persentase (%)

Ya 5 55,6 Tidak 4 44,4

(37)

Dari hasil tabulasi, sampel yang mengalami gejala klinis muntah sebanyak 5 orang (55,6%) dan yang tidak mengalami muntah sebanyak 4 orang (44,4%).

5.1.3.3. Mual

Tabel 5.5 Distribusi Sampel Menurut Manifestasi klinis Mual Mual Jumlah Persentase (%)

Ya 3 33,3 Tidak 6 66,7

Total 9 100,0

Dari hasil tabulasi, sampel yang mengalami gejala klinis mual dari seluruh data sampel sebanyak 3 orang (33,3%) dan yang tidak mengalami mual sebanyak 6 orang (66,7%).

5.1.3.4. Demam

Tabel 5.6 Distribusi Sampel Menurut Manifestasi klinis Demam

Demam Jumlah Persentase (%)

Ya 5 55,6 Tidak 4 44,4

Total 9 100,0

Dari hasil tabulasi, sampel yang mengalami gejala klinis demam sebanyak 5 orang (55,6%) dan yang tidak mengalami demam sebanyak 4 orang (44,4%).

5.1.3.5. Mencret

Tabel 5.7 Distribusi Sampel Menurut Manifestasi klinis Mencret Mencret Jumlah Persentase (%)

Ya 1 11,1 Tidak 8 88,9

(38)

Dari hasil tabulasi, sampel yang mengalami gejala klinis mencret sebanyak 1 orang (11,1%) dan yang tidak mengalami mencret sebanyak 8 orang (88,9%).

5.1.3.6. Berak Darah

Tabel 5.8 Distribusi Sampel Menurut Manifestasi klinis Berak Darah

Berak Darah Jumlah Persentase (%)

Ya 1 11,1 Tidak 8 88,9

Total 9 100,0

Dari hasil tabulasi, sampel yang mengalami gejala klinis berak darah 1 orang (11,1%) dan yang tidak mengalami berak darah sebanyak 8 orang (88,9%).

5.1.4. Deskripsi Gambaran Laboratorium Sampel 5.1.4.1. Pemeriksaan Darah Leukosit

Tabel 5.9 Distribusi Sampel Menurut Gambaran Laboratorium Leukosit Darah

Leukosit Jumlah Persentase (%)

Normal 3 33,3 Tinggi 6 66,7

Total 9 100,0

(39)

5.1.4.2. Pemeriksaan Urin

Tabel 5.10 Distribusi Sampel Menurut Gambaran Laboratorium Eritrosit Urin

Eritrosit Jumlah Persentase (%)

Normal 4 44,4 Tinggi 1 11,1 Tidak dilakukan 4 44,4

Total 9 100,0

Dari hasil tabulasi, pemeriksaan laboratorium yang dilakukan,

sampel dengan nilai normal didapati sebanyak 4 orang (44,4%). Sampel dengan nilai eritrosit urin di atas normal sebanyak 1 orang (11,1%) dan pasien yang tidak melakukan pemeriksaan sebanyak 4 orang (44,4%). Nilai eritrosit urin yang normal ialah 0-3/Lapangan Pandang Besar (Sacher dan McPherson, 2004).

Tabel 5.11 Distribusi Sampel Menurut Gambaran Laboratorium Leukosit Urin

Leukosit Jumlah Persentase (%)

Normal 5 55,6 Tinggi 1 11,1 Tidak dilakukan 3 33,3

Total 9 100,0

(40)

5.1.5. Deskripsi Gambaran Radiologi Sampel

Tabel 5.12 Distribusi Sampel Menurut Gambaran Radiologi Gambaran Radiologi Jumlah Persentase (%)

Appendicolins 1 11,1 Dilatasi usus halus, penebalan

dinding usus dan multiple air fluid level

1 11,1

Tidak tampak gambaran ileus 1 11,1 Tidak dilakukan 6 66,7

Total 9 100,0

Dari 9 sampel, ada 1 orang (11,1%) yang mendapatkan gambaran appendicolins. Yang mendapatkan gambaran dilatasi usus halus, penebalan dinding usus dan multiple air fluid level ada 1 orang (11,1%). Sampel yang mendapatkan hasil berupa gambaran ileus yang tidak tampak ada 1 orang (11,1%). Kemudian, didapati 6 sampel (66,7%) yang tidak dilakukan pemerikasaan radiologi.

5.2. Pembahasan

Dari hasil penelitian, pasien yang mengalami apendisitis perforata paling banyak berumur 5-10 tahun, yaitu sebanyak 5 orang (55,6%). Di Amerika, anak yang lebih muda memiliki kecenderungan perforata yang lebih tinggi, yaitu sebesar 50-85% (Santacocre dan Craig, 2006). Persentase perforata berhubungan dengan umur, di mana paling tinggi terdapat pada anak yang sangat muda 40% -57%, di mana terjadi diagnosis yang terlambat ditegakkan karena gejala yang tidak khas dan mirip dengan penyakin lain, seperti: kelainan ginekologi, divertikulosis, batu ureter, sehingga tatalaksana terlambat dilakukan. Anak-anak dengan omentum yang lebih pendek, apendiks yang lebih panjang dan dinding apendiks yang lebih tipis, serta daya tahan tubuh yang masih kurang, memudahkan terjadinya perforata (Birnbaum dan Wilson, 2000).

(41)

dilakukan. Keterlambatan diagnosis menyebabkan penyulit perforata dengan segala akibatnya (Kartono, 1995). Menurut asumsi penulis, hal ini mungkin disebabkan oleh jumlah sampel yang sedikit didapati oleh penulis sehingga hasil yang didapat belum tentu menggambarkan keseluruhan populasi.

Dari hasil frekuensi distribusi berdasarkan manifestasi klinis nyeri, didapati bahwa seluruh sampel mengalami nyeri viseral. Nyeri diawali pada periumbilikal kemudian menyebar ke kuadaran kanan bawah. Nyeri bersifat viseral dan berasal dari kontraksi apendikeal atau distensi dari lumen. Biasanya, nyeri disertai dengan adanya rasa ingin defekasi atau flatus. Nyeri biasanya ringan, seringkali disertai kejang, dan jarang menjadi somatik, berlokasi di kuadran kanan bawah (Silen W, 2005). Gejala ini ditemukan pada 80% kasus. Biasanya pasien berbaring melakukan fleksi pada pinggang, serta mengangkat lututnya untuk mengurangi pergerakan dan menghindari nyeri yang semakin berat (Santacocre, 2006). Pada perforata nyeri menjadi menyeluruh (Hartman, 2000). Selanjutnya, dapat terjadi episode mual, muntah bersamaan dengan mencret pada anak-anak (Schwartz, 2000). Pada penelitian ini didapatkan hasil distribusi sampel dengan manifestasi klinis muntah sebanyak 5 orang (55,6%), mual sebanyak 3 orang (33,3%), dan mencret sebanyak 1 orang (11,1%). Mual dan muntah terjadi pada 50-60% kasus, tetapi muntah biasanya bersifat self limited (Silen W, 2005). Sampel dengan manifestasi klinis demam didapatkan sebanyak 5 orang (55,6%). Demam tidak terlalu tinggi jika belum terjadi perforata dengan peritonitis (Hartman, 2000). Sampel dengan manifestasi klinis berak darah sebanyak 1 orang (11,1%). Pada teori ataupun penelitian sebelumnya tidak ditemukan adanya gejala berak darah pada penderita apendisitis perforata, tetapi pada penelitian ini ditemukan 1 pasien yang memiliki gejala tersebut dari 9 pasien.

(42)

pemeriksaan urinalisa. Yang dilihat pada pemeriksaan darah adalah nilai leukosit, sedangkan pada pemeriksaan urinalisa adalah nilai eritrosit dan leukosit. Dari hasil distribusi pemeriksaan laboratorium darah, didapati sampel dengan jumlah leukosit yang tinggi sebanyak 6 orang (66,7%). Pada hasil distribusi pemeriksaan urinalisa, didapatkan sampel dengan nilai eritrosit urin yang normal sebanyak 4 orang (44,4%), sampel dengan nilai eritrosit yang tinggi sebanyak 1 orang (11,1%), dan ada 4 orang (44,4%) tidak melakukan pemeriksaan. Sedangkan nilai leukosit urin, hasil yang didapat ialah 5 orang (55,6%) dengan nilai yang normal, 1 orang (11,1%) dengan nilai yang tinggi, dan 3 orang (33,3%) yang tidak melakukan pemeriksaan. Dari hasil distribusi sampel menurut pemeriksaan radiologi, didapati 1 orang (11,1%) dengan gambaran appendicolins, 1 orang (11,1%) dengan gambaran dilatasi usus, penebalan dinding usus, dan multiple air fluid level. Terdapat 1 orang (11,1%) dengan hasil gambaran ileus yang tidak

(43)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dlakukan mengenai Gambaran Penderita Apendisitis Perforata Umur 0-14 Tahun di RSUP H. Adam Malik Tahun 2006-2009 diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Apendisitis perforata lebih banyak ditemukan pada kategori umur 5-10 tahun sebanyak 55,6%.

2. Apendisitis perforata lebih banyak ditemukan pada perempuan sebanyak 55,6%.

3. Apendisitis perforata memiliki manifestasi klinis nyeri viseral yang paling banyak ditimbulkan, sebanyak 100%. Kemudian, diikuti dengan muntah, mual, demam, mencret dan berak darah.

4. Leukositosis sebanyak 66,7% merupakan hasil pemeriksaan laboratorium darah yang paling banyak ditemukan pada penderita apendisitis perforata. Sedangkan, pada pemeriksaan urinalisis didapati mayoritas jumlah eritrosit yang normal sebanyak 44,4% dan leukosit normal sebanyak 55,6%.

5. Banyak penderita yang tidak melakukan pemeriksaan radiologi sebayak 66,7%, karena bukan merupakan suatu pemeriksaan yang bersifat diagnostik.

6.2 Saran

Dari seluruh proses penelitian yang telah dijalani oleh penulis dalam menyelesaikan penelitian ini, maka dapat diungkapkan beberapa saran yang mungkin dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berperan dalam penelitian ini. Adapun saran tersebut, yaitu:

1. Bagi masyarakat

(44)

dimulai dengan meningkatkan kepedulian terhadap kebersihan keluarga sendiri maupun lingkungan.

2. Bagi peneliti

Perlu dilakukan penelitian lanjut, tahun penelitian sudah 4 tahun berlalu. Untuk itu, penelitian epidemiologi pada tahun yang lebih baru dan rentang waktu yang lebih lama masih dapat dilakukan dengan jumlah sampel yang lebih banyak.

3. Bagi institusi pelayanan (Dinas Kesehatan Kota Medan)

(45)

DAFTAR PUSTAKA

Birnbaum and Wilson S. Appendicitis At the Millenium. 2006. Available from:

30th, 2010].

Craig, S., 2010. Acute Appendicitis. Available from:

[Accessed on

April, 29th 2010].

Ghazali, M. V., Sastromihardjo, S., Soedjarwo, S. R., Soelaryo, T., dan Pramulyo, H.S., 2010. Studi Cross-Sectional. In: Sastroasmoro, S. and Ismael, S. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi 3. Jakarta: Sagung Seto, 112-126.

Hartman, G. E., 2000. Apendisitis Akut. In: Nelson, W.E., Behrman, R.E., Kliegman, R.M., and Arvin, A.M., ed. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol. 2. Edisi 15. Jakarta: EGC, 1364-1366.

Itskowits, M. S., and Jones, S. M., 2010. Appendicitis. Available from:

May, 7th 2010].

Junqueira, L. C. and Carneiro, J., 2007. Histologi Dasar Teks dan Atlas. Edisi 10. Jakarta: EGC.

Kartono. D., 1995. Apendisitis Akuta. In: Reksoprodjo, S., dkk., ed. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta: Binarupa Aksara, 109-113.

Katz, M. S., dkk., 2009. Appendicitis. Medscape. Available from:

[Accessed on

April, 29th 2010].

Mansjoer, A., Suprohaita, Wardhani, W. I., and Setiowulan, W., 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius.

Mazziotti, M. V., dkk., 2008. Appendicitis: Surgery Perspective. Available from:

7th 2010].

Pieter, J., 2005. Usus Halus, Apendiks, Kolon, dan Anorektum. In: Sjamsuhidajat, R. and De Jong, W., ed. Buku-Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: EGC, 639-645.

(46)

Santacroce R, Craig S. 2007. Appendicitis. Available from:

Schwartz, S. I., dkk., 2000. Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah. Edisi 6. Jakarta: EGC.

Silent W. Acute Appendicitis and Peritonitis. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, editors. Harrison’s Prinsiple of Internal Medicine. 16th ed. New York: The Mc Graw-Hill Companies, 2005. P. 1806-1807.

Smeltzer, S.C. and Bare, B. G., 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner dan Suddarth Vol. 2. Edisi 8. Jakarta: EGC.

(47)

LAMPIRAN 1

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Katerin Naulibasa

Tempat / Tanggal Lahir : Medan / 28 Mei 1989

Agama : Kristen Protestan

Alamat : Jl. AR. Hakim Gg. Kantil no.48, Medan

Riwayat Pendidikan : 1. Sekolah Dasar Methodist-7 ( 1995-2001)

2. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Immanuel Medan ( 2001-2004 )

3. Sekolah Menengah Atas Immanuel Medan ( 2004-2007 )

4. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara ( 2007-Sekarang )

Riwayat Pelatihan : Peserta Workshop Jurnalistik BEM PEMA FK USU 2008

(48)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.3. Latar Belakang

Apendisitis akut merupakan keadaan yang sering terjadi dan membutuhkan operasi kegawatan perut pada anak. Diagnosis apendisitis akut sulit pada anak, tetapi dapat memberikan angka perforata 30-60%. Lima puluh persen anak dengan apendisitis perforata diketahui oleh dokter sebelum didiagnosis. Risiko untuk perforata terbanyak pada umur 1-4 tahun (70-75%) dan terendah pada remaja 30-40% (Hartman, 2000).

Individu memiliki risiko sekitar 7% untuk apendisitis selama hidup mereka. Insidensi apendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di negara berkembang. Walaupun alasan untuk perbedaan ini tidak diketahui, faktor risiko yang potensial adalah diet rendah serat dan tinggi gula, riwayat keluarga, serta infeksi (Mazziotti, 2008).

Sekitar 80.000 anak pernah menderita apendisitis di Amerika Serikat setiap tahun, di mana terjadi 4 per 1000 anak di bawah 14 tahun. Kejadian apendisitis meningkat dengan bertambahnya umur, memuncak pada remaja, dan jarang terjadi pada anak kurang dari 1 tahun (Hartman, 2000).

Berdasarkan World Health Organization (2002), angka mortalitas akibat apendisitis adalah 21.000 jiwa, di mana populasi laki-laki lebih banyak dibangdingkan perempuan. Angka mortalitas apendisitis sekitar 12.000 jiwa pada laki-laki dan pada perempuan sekitar 10.000 jiwa.

Menurut Craig (2010), apendisitis perforata sering terjadi pada umur di bawah 18 tahun ataupun di atas 50 tahun. Insidensi apendisitis pada laki-laki lebih besar 1,4 kali dari perempuan. Rasio laki-laki dan wanita sekitar 2:1.

(49)

kebiasaan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi menaikkan tekanan intrasekal, menyebabkan sumbatan fungsional apendiks, dan meningkatkan pertumbuhan flora kolon. Semuanya ini akan mempermudah timbulnya apendisitis akut (Pieter, 2005).

Untuk kejadian apendisitis di Indonesia khususnya di Medan, penulis tidak menemui referensi valid yang menyatakan jumlah maupun perbandingan penderita apendisitis, terkhusus apendsitis perforata di kelompok umur 0 tahun sampai 14 tahun.

1.4. Rumusan Masalah

Bagaimana gambaran penderita apendisitis perforata umur 0-14 tahun di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2006-2009?

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui gambaran penderita apendisitis perforata umur 0-14 tahun di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2006-2009.

1.3.2. Tujuan Khusus

5. Untuk mengetahui karakteristik penderita apendisitis perforata, berupa umur dan jenis kelamin.

6. Untuk mengetahui manifestasi klinis pada penderita apendisitis perforata.

7. Untuk mengetahui gambaran pemeriksaan laboratorium pada penderita apendisitis perforata berupa nilai leukosit pada pemeriksaan darah beserta nilai leukosit dan eritrosit pada pemeriksaan urinalisis.

(50)

1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Bagi Peneliti

3. Untuk memahami gambaran karakteristik, manifestasi klinis, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan radiologi pada apendisitis perforata.

4. Untuk memenuhi syarat dalam mencapai derajat Sarjana Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.

1.4.2. Manfaat Bagi Tenaga Kesehatan, Institusi Akademis, dan Peneliti Lain

Memberi informasi mengenai gambaran penderita apendisitis perforata umur 0-14 tahun di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2006-2009 kepada tenaga kesehatan, institusi akademis, dan peneliti lain pada apendisitis perforata, terutama mengenai gambaran karakteristik, manifestasi klinis, laboratorium, dan radiologi. Data penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan atau referensi pada penelitian-penelitian selanjutnya.

(51)

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Histologi Apendiks

Apendiks merupakan suatu evaginasi dari sekum yang ditandai dengan sebuah lumen kecil, sempit, dan tidak teratur. Struktur tersebut disebabkan oleh folikel limfoid yang banyak pada apendiks (Junqueira dan Carneiro, 2007).

Apendiks memiliki panjang sekitar 3-15 cm dan diameter 0,5-1 cm. Pada bagian proksimal, lumen apendiks sempit dan melebar di bagian distal. Pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, di mana bagian pangkal melebar dan semakin menyempit ke arah ujung. Hal ini merupakan salah satu faktor insidensi apendisitis yang rendah pada umur tersebut (Pieter, 2005).

Sekitar 65% apendiks terletak di intraperitoneal. Kedudukan ini menyebabkan apendiks dapat bergerak sesuai dengan panjang mesoapendiks yang menggantungnya. Apendiks juga dapat terletak di retroperitoneal, yaitu di belakang sekum, di belakang kolon asendens, atau di tepi lateral kolon asendens. Letak apendiks dapat menentukan manifestasi klinis apendisitis (Pieter, 2005).

Appendiks tampak pertama kali saat minggu ke-8 perkembangan embriologi yaitu bagian ujung protuberans sekum. Pada saat antenatal dan postnatal, pertumbuhan dari sekum yang berlebih akan menjadi apendiks, kemudian berpindah dari medial menuju katup ileosekal (Pieter, 2005).

Apendiks memiliki 4 lapisan yaitu, mukosa, submukosa, muskularis eksterna/propria (otot longitudinal dan sirkuler), dan serosa. Apendiks dapat tidak terlihat karena membran Jackson yang (lapisan peritoneum) menyebar dari bagian lateral abdomen ke ileum terminal, menutup sekum dan apendiks. Lapisan mukosa terdiri dari satu lapis epitel bertingkat dan crypta lieberkuhn. Dinding dalam (inner circular layer) berhubungan dengan sekum dan dinding luar (outer longitudinal muscle) dilapisi oleh pertemuan ketiga taenia coli pada pertemuan

(52)

submukosa terdiri dari jaringan ikat longgar dan jaringan elastik yang membentuk jaringan saraf, pembuluh darah dan limfe (Pieter, 2005).

Persarafan parasimpatis apendiks berasal dari cabang n. vagus yang mengikuti a. mesenterika superior dan a. apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari n. torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula di sekitar umbilikus. Pendarahan apendiks berasal dari a. apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena trombosis pada infeksi, apendiks akan mengalami gangren (Pieter, 2005).

2.2. Fisiologi Apendiks

Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada patogenesis apendisitis (Pieter, 2005).

Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks,

ialah IgA. Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi system imun tubuh karena jumlah jaringan limfe disini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan diseluruh tubuh (Pieter, 2005).

(53)

2.3. Apendisitis 2.3.1. Definisi

Apendiks adalah ujung seperti jari-jari yang kecil panjangnya kira-kira 10cm (4 inci), melekat pada sekum tepat dibawah katup ilosekal (Smeltzer dan Bare, 2002).

Apendisitis adalah peradangan dari apendiks dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering (Mansjoer dkk., 2000).

Apendisitis akut adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan rongga abdomen, dan bedah abdomen darurat (Smeltzer dan Bare, 2002).

2.3.2. Etiologi

Pada penelitian, ligasi (obstruksi) apendiks menyebabkan peningkatan mencolok tekanan intralumen, yang dengan cepat melebihi tekanan darah sistolik. Pada awalnya kongesti darah vena menjelek menjadi trombosis, nekrosis dan perforata. Secara klinis, obstruksi lumen merupakan penyebab utama apendisitis. Obstruksi ini disebabkan oleh pengerasan bahan tinja (fekolit). Fekalit merupakan penyebab tersering dari obstruksi apendiks. Bahan yang mengeras ini bisa mengapur, terlihat dalam foto rontgen sebagai apendikolit (15-20%). Obstruksi akibat dari edema mukosa dapat disertai dengan infeksi virus atau bakteri (Yersinia, Salmonella, Shigella) sistemik. Mukus yang tidak normal terkesan sebagai penyebab meningkatnya insidens apendisitis pada anak dengan kistik fibrosis. Tumor karsinoid, benda asing, dan ascaris jarang menjadi penyebab apendisitis (Hartman, 2000).

(54)

kuman flora kolon biasa. Semuanya akan mempermudah terjadinya apendisits akut (Pieter, 2005).

2.3.3. Patofisiologi

Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur pada fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma (Mansjoer dkk., 2000).

Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian proksimal. Selanjutnya, terjadi peningkatan sekresi normal dari mukosa apendiks yang distensi secara terus menerus karena multiplikasi cepat dari bakteri. Obstruksi iga menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa terbendung. semakin lama, mukus tersebut semakin banyak. Namun, elastisitas dinding apendiks terbatas sehingga meningkatkan tekanan intralumen. Kapasitas lumen apendiks normal hanya sekitar 0,1 ml (Schwartz, 2000).

Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks mengalami hipoksia, hambatan aliran limfe, ulserasi mukosa, dan invasi bakteri. Infeksi memperberat pembengkakan apendiks (edema). Trombosis pada pembuluh darah intramural (dinding apendiks) menyebabkan iskemik. Pada saat ini, terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium (Mansjoer dkk., 2000).

Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang meluas dan mengenai peritoneum setempat menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut (Mansjoer dkk., 2000).

(55)

apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforata (Mansjoer dkk., 2000).

Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrat apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang (Mansjoer dkk., 2000).

Infiltrat apendikularis merupakan tahap patologi apendisitis yang dimulai di mukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-48 jam pertama. Ini merupakan usaha pertahanan tubuh yang membatasi proses radang melalui penutupan apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa. Akibatnya, terbentuk massa periapendikular. Di dalamnya, dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforata. Jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan massa periapendikular akan menjadi tenang, dan selanjutnya akan mengurai diri secara lambat (Pieter, 2005).

Pada anak-anak, perforata mudah terjadi karena omentum lebih pendek, apendiks lebih panjang, dinding apendiks lebih tipis, dan daya tahan tubuh yang masih kurang. Pada orang tua, perforata mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer dkk., 2000).

Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi membentuk jaringan parut dan menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitar. Perlengketan ini menimbulkan keluhan berulang diperut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan mengalami eksaserbasi akut (Pieter, 2005).

2.3.4. Manifestasi klinis

(56)

malaise, demam yang tidak terlalu tinggi, konstipasi, kadang-kadang diare, mual dan muntah. Namun dalam beberapa jam nyeri abdomen kanan bawah akan semakin progresif (Mansjoer dkk., 2000).

Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang mendadak apendiks yang memberikan tanda setempat, disertai maupu n tidak disertai rangsang peritoneum lokal. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke titik McBurney. Di sini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan somatik setempat. Kadang tidak ada nyeri epigastrium tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan itu dianggap berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforata. Bila terdapat perangsangan peritoneum biasanya pasien mengeluh sakit perut bila berjalan atau batuk (Pieter, 2005).

Bila letak apendiks retrosekal di luar rongga perut, karena letaknya terlindung sekum maka tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi k

Gambar

Tabel 5.3 Distribusi Sampel Menurut Manifestasi klinis
Tabel 5.3 Distribusi Sampel Menurut Manifestasi klinis
GAMBARAN INDIKASI APENDIKTOMI PADA PENDERITA APENDISITIS PERFORATA UMUR 0-14 TAHUN

Referensi

Dokumen terkait

Untuk karakteristik penderita skabies berdasarkan asal daerah, didapati yang berasal dari daerah medan paling banyak kasusnya yaitu 183 kasus (81%), sedangkan yang

Dari penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa gambaran IMS yang ditemukan adalah kondiloma akuminata sebagai jenis terbanyak, dimana IMS paling sering terjadi pada responden

Adapun hasil dan kesimpulan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa gambaran penderita Hirschsprung pada anak usia 0-14 tahun adalah Sampel berjenis kelamin laki-laki sebanyak

Dari hasil penelitian, terlihat bahwa angka appendiktomi pada penderita appendisitis tanpa perforasi umur 0-14 tahun dari tahun 2006 sampai dengan tahun. 2009 sebanyak 8 pasien,

Dari Tabel 2 diperoleh gambaran laring yang paling banyak dijumpai adalah keganasan yaitu sebanyak 21 penderita (19,6%) diikuti oleh parese/paralisa pita suara sebanyak 18

Farhat pada tahun 2004 di Medan mendapatkan hasil yang berbeda yaitu keluhan terbanyak pada penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas adalah hidung berbau

Sebanyak 140 sampel yaitu penderita mioma uteri yang telah dirawat di RSUP Haji Adam Malik pada tahun 20141. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien yang kelompok umur

Hasil : Hasil penelitian yang diperoleh adalah penderita tonsilitis kronis yang paling sering ditemukan adalah dari kelompok umur 16-30 yaitu sebanyak 28 orang (35,0%).. Jenis