• Tidak ada hasil yang ditemukan

Chrysanthemum B Carlavirus (CVB) Yang Menginfeksi Krisan Di Indonesia Karakterisasi Dan Pengembangan Metode Deteksi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Chrysanthemum B Carlavirus (CVB) Yang Menginfeksi Krisan Di Indonesia Karakterisasi Dan Pengembangan Metode Deteksi"

Copied!
123
0
0

Teks penuh

(1)

DAN PENGEMBANGAN METODE DETEKSI

I GEDE RAI MAYA TEMAJA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Chrysanthemum B Carlavirus (CVB) yang Menginfeksi Krisan di Indonesia: Karakterisasi dan Pengembangan Metode Deteksi adalah karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun pada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, September 2008

(3)

ABSTRAK

I GEDE RAI MAYA TEMAJA. Chrysanthemum B Carlavirus (CVB) yang Menginfeksi Krisan di Indonesia: Karakterisasi dan Pengembangan Metode Deteksi. Dibimbing oleh GEDE SUASTIKA, SRI HENDRASTUTI HIDAYAT, dan UTOMO KARTOSUWONDO.

Chrysanthemum B Carlavirus (CVB) dilaporkan telah menginfeksi krisan di berbagai negara. Gejala belang (mottle) ringan, pemucatan tulang daun (vein-clearing) dan mosaik (mosaic) ringan pada daun; dan pecah warna (color breaking) pada bunga berhasil ditemukan pada tanaman krisan di Cianjur, Jawa Barat, Indonesia. Berdasarkan deteksi serologi (DAS-ELISA) menggunakan antiserum spesifik CVB diketahui bahwa gejala tersebut berasosiasi dengan CVB. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap sifat-sifat biologi dan molekuler CVB isolat Indonesia (CVB-Ina) serta mengembangkan teknik serologi untuk deteksi cepat dan akurat.

Analisis mikroskop elektron dan reaksi serologi membuktikan CVB-Ina memiliki karakter yang mirip dengan CVB isolat lainnya. Namun demikian, hasil bioesei menunjukkan bahwa CVB-Ina mengakibatkan munculnya gejala penebalan tulang daun, pemucatan tulang daun, mosaik ringan dan belang ringan pada daun krisan; mampu menginfeksi tanaman Nicotiana benthamiana; dan memiliki efesiensi yang relatif lebih tinggi dalam penularan melalui kutudaun Macrosiphoniella sanborni. Hal tersebut berbeda dengan CVB isolat lainnya yang umumnya tidak mampu menimbulkan gejala pada tanaman krisan, tidak menginfeksi N. benthamiana, dan ditularkan dengan efisensi rendah melalui kutudaun M. sanborni. Karakter molekuler protein selubung CVB-Ina menunjukkan beberapa perbedaan pada runutan asam aminonya. Hal ini kemungkinan yang menyebabkan karakter biologi CVB-Ina agak berbeda.

Antiserum yang diproduksi memiliki sensitifitas yang tinggi untuk mendeteksi CVB menggunakan teknik I-ELISA dan TBIA. TBIA mempunyai kelebihan yaitu biayanya lebih murah, lebih mudah dan cepat, blotting sampel dapat dilakukan di lapangan, kemudian membran disimpan untuk proses selanjutnya di laboratorium, oleh karena itu TBIA dapat disarankan sebagai metode deteksi untuk survei CVB skala besar.

(4)

ABSTRACT

I GEDE RAI MAYA TEMAJA. Chrysanthemum B Carlavirus (CVB) that Infected Chrysanthemum in Indonesia: Characterization and Development of Detection Methode. Under direction of GEDE SUASTIKA, SRI HENDRASTUTI HIDAYAT, and UTOMO KARTOSUWONDO.

Infection of chrysanthemum B Carlavirus (CVB) in chrysanthemum has been reported from many countries where the plants were cultivated. In a survey of chrysanthemum growing fields (and greenhouses) in Cianjur regency, West Java, Indonesia, some chrysanthemum cultivars exhibited a variety of symptoms ranging from mild mottle, vein-clearing and mild mosaic of leaves; and color breaking of flowers. Through DAS-ELISA, the sap extracted from diseased plant samples were found to be positively reacted with serum anti-CVB. The virus isolate was then designed as CVB Indonesian isolate. The objectives of this research are to study biological and molecular characters of CVB Indonesian isolate and to develop serological technique for raphid and accurate virus detection.

An isolate of CVB obtained from chrysanthemum (Dendranthema grandiflora) plantation in Indonesia was characterized and found to be unique. The virus isolate, shared similar characters with other CVB isolates based on electron microscopy analysis and serological reaction. However, the result of bioassay showed that Indonesian isolate was very distinct from most CVB isolates reported earlier. The virus isolate induced vein banding, vein clearing, mild mosaic and mild mottle on the leaves of chrysanthemum plants, could infect Nicotiana benthamiana, and was transmitted by chrysanthemum-colonized aphid, Macrosiphoniella sanborni. In contrast, most CVB isolates were not able to induce any symptoms on chrysanthemum leaves, were not able to infect N. benthamiana, and were transmitted in low efficiency by aphid. Furthermore, molecular characterization of coat protein gene exhibited some differences in amino acid sequences. This might explained distinct biological characters of CVB Indonesian isolate.

The antiserum produced had high sensitivity for detection of CVB when examined by I-ELISA and TBIA. Besides its low cost, TBIA allows the samples to be blotted on the nitrocellulose membranes in the field and storage of the membranes for later processing in the laboratory. This feature makes it the metode of choice for large-scale CVB surveying.

(5)

RINGKASAN

I GEDE RAI MAYA TEMAJA. Chrysanthemum B Carlavirus (CVB) yang Menginfeksi Krisan di Indonesia: Karakterisasi dan Pengembangan Metode Deteksi. Dibimbing oleh GEDE SUASTIKA, SRI HENDRASTUTI HIDAYAT, dan UTOMO KARTOSUWONDO

Krisan (Dendranthema grandiflora Kitam.) adalah salah satu jenis bunga yang banyak diminati oleh masyarakat dunia karena daya tarik warna, bentuk, dan ukurannya yang beranekaragam. Chrysanthemum B Carlavirus (CVB) adalah virus utama yang menginfeksi krisan dan dilaporkan telah tersebar pada pertanaman krisan di berbagai negara. Infeksi CVB pada tanaman krisan menyebabkan gejala belang atau pemucatan tulang daun yang sangat ringan pada daun, serta penurunan kualitas bunga. Namun demikian lebih sering kultivar yang terinfeksi virus ini tidak menunjukkan gejala (symptomless).

Perdagangan krisan di pasar dunia mensyaratkan bahan tanaman bebas virus. Sertifikasi bahan tanaman krisan bebas virus membutuhkan metode deteksi yang cepat dan akurat. Tantangan ini mendorong penelitian yang mengarah pada penyediaan metode deteksi CVB yang diperlukan dan dapat diterapkan untuk pemenuhan kebutuhan sertifikasi.

Di Indonesia, belum ada informasi lengkap mengenai penyakit pada tanaman krisan yang disebabkan oleh CVB dan keragamannya. Oleh karena itu penelitian mengenai status penyakit di lapangan, karakter biologi dan molekuler CVB isolat Indonesia serta teknik identifikasi cepat dan akurat sangat penting dilakukan dalam usaha menemukan pengendalian CVB pada tanaman krisan. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap sifat-sifat biologi dan molekuler CVB-Ina serta mengembangkan teknik serologi untuk deteksi cepat dan akurat.

Pengamatan gejala infeksi dilakukan pada areal pertanaman krisan di Brastagi kabupaten Karo (Sumatera Utara); Cibadak dan Cipanas kabupaten Cianjur (Jawa Barat); Kota Batu dan Pujon kabupaten Malang (Jawa Timur); dan Baturiti kabupaten Tabanan dan Pancasari kabupaten Buleleng (Bali). Kejadian penyakit ditentukan berdasarkan reaksi sampel terhadap antiserum CVB pada metode ELISA. Uji kisaran inang dilakukan menggunakan 26 spesies tanaman dari famili Solanaceae, Leguminosae, Cucurbitaceae, Chenopodiaceae, Cruciferae dan Amaranthaceae. Kajian penularan melalui kutudaun diawali dengan identifikasi kutudaun dan dilanjutkan dengan uji efisiensi penularan menggunakan masing-masing 1, 7, 14, 21 kutudaun setiap tanaman.

Identifikasi karakter molekuler CVB meliputi kegiatan pemurnian virus, pengamatan morfologi virus dengan mikroskop elektron, analisis protein selubung dengan SDS-PAGE dan Western blot, perunutan DNA virus melalui tahapan ekstraksi RNA, amplifikasi DNA, perunutan DNA dan analisis filogenetika.

Pengembangan teknik serologi untuk deteksi cepat dan akurat dimulai dengan pembuatan antiserum, selanjutnya dilakukan pengamatan spesifisitas reaksi antiserum dengan protein selubung CVB melalui analisis Western blot dan ISEM, dan pengembangan metode serologi TBIA dan ELISA untuk deteksi CVB.

(6)

ringan, mosaik ringan, pemucatan tulang daun dan penebalan tulang daun pada daun, dan terjadi malformasi daun yaitu ukuran daun lebih kecil, tebal dan menggulung ke atas. Pada bunga menunjukkan gejala pecah warna.

Hasil pengkajian kisaran inang menggunakan 26 spesies tanaman membuktikan bahwa CVB memiliki kisaran inang yang terbatas, yaitu hanya menginfeksi Nicotiana benthamiana, N. clevelandii, N. tabacum var. White Burley, N. tabacum var. Havana, Petunia hybrida, Chenopodium amaranticolor dan C. quinoa. Pada penelitian ini ditemukan bahwa CVB isolat Indonesia menginfeksi tanaman N. benthamiana dan menimbulkan gejala pemucatan tulang daun dan belang ringan. Belum ada laporan CVB isolat lainnya menginfeksi tanaman N. benthamiana. CVB-Ina terbukti dapat ditularkan oleh kutudaun Macrosiphoniella sanborni. Efisiensi penularannya lebih tinggi dibandingkan dengan CVB isolat Jepang (CVB-S). Empat belas individu kutudaun setiap tanaman sudah mampu menularkan CVB-Ina, sedangkan CVB-S baru bisa ditularkan menggunakan 21 individu kutudaun setiap tanaman.

Sifat-sifat virus seperti morfologi dan ukuran partikel, ukuran protein selubung, karakter biologi dan urutan asam nukleatnya menunjukkan kesesuaian dengan karakter CVB yang berasal dari lokasi geografi lain. CVB-Ina memiliki partikel berbentuk batang agak lurus dan lentur dengan ukuran panjang 685 nm dan lebar 12 nm, dengan berat molekul protein selubung 34 kDa. Karakter molekuler CVB dikaji berdasarkan susunan nukleotida fragmen DNA yang diperoleh dari perunutan hasil amplifikasi fragmen DNA. Amplifikasi fragmen DNA CVB dengan teknik RT-PCR berhasil mendapatkan fragmen berukuran 739 bp dari sampel daun asal Medan, Cianjur, Malang dan Bali, sesuai dengan ukuran fragmen yang diharapkan berdasarkan analisis runutan primer di Plant Virus GenBank, Soul Women’s University. Analisis filogenetik menggunakan data hasil perunutan fragmen DNA tersebut menunjukkan bahwa isolat-isolat Indonesia berada dalam satu kelompok dan termasuk dalam kelompok yang sama dengan CVB-S dan memiliki jarak genetik terdekat yaitu 0,23–0,25. Isolat CVB Indonesia memiliki tingkat kesamaan runutan nukleotida yang sangat tinggi dengan jarak genetik antara 0,01–0,05, namun demikian isolat-isolat Indonesia tersebut terbagi lagi menjadi dua sub kelompok. Isolat CVB Cianjur dan Medan termasuk satu sub kelompok, dan isolat CVB Bali dan Malang pada sub kelompok lainnya. Analisis runutan asam amino protein selubung empat isolat CVB Indonesia dan isolat CVB-S menunjukkan bahwa isolat-isolat tersebut memiliki tingkat kesamaan runutan asam amino yang cukup tinggi (86-90%). Walaupun demikian ada beberapa bagian pada runutan asam amino yang menunjukkan perbedaan. Perbedaan pada runutan asam amino ini yang kemungkinan menyebabkan karakter biologi CVB Indonesia agak berbeda dari isolat CVB lainnya.

(7)

Antiserum yang tidak diserap maupun yang diserap mempunyai titer 1/50.000, sedangkan antiserum murni mempunyai titer 1/100.000. Kajian spesifisitas reaksi antiserum dengan protein selubung CVB, dilakukan melalui analisis Western blot dan ISEM. Analisis Western blot terhadap protein selubung virus menggunakan antiserum yang sudah dimurnikan menunjukkan bahwa pita protein berukuran 34 kDa yang diduga sebagai protein selubung CVB pada uji SDS-PAGE, bereaksi positif dengan antiserum. Protein 34 kDa yang terdeteksi pada analisis Western blot sesuai dengan berat molekul protein selubung CVB yang digunakan untuk imunisasi pada hewan percobaan. Pengamatan partikel CVB pada mikroskop elektron dengan metode ISEM menggunakan antiserum yang diproduksi pada penelitian ini memberikan hasil partikel berbentuk panjang agak lentur nampak lebih jelas pada grid yang sebelumnya dicelupkan pada suspensi antiserum, dibandingkan pada siapan virus murni tanpa antiserum. Hal ini menunjukkan bahwa antiserum yang dihasilkan memberikan reaksi yang spesifik terhadap protein selubung virus.

Antiserum CVB yang berhasil diperoleh digunakan dalam penelitian selanjutnya yaitu pengembangan metode deteksi. Dalam kegiatan penelitian tersebut dilakukan kajian terhadap metode TBIA dan ELISA. Sensitifitas I-ELISA dalam mendeteksi CVB cukup tinggi dan virus masih terdeteksi pada pengenceran cairan perasan tanaman terinfeksi 1/256. Pengenceran sampel cairan perasan tanaman terinfeksi 1/16 masih menunjukkan reaksi positif sampai pada pengenceran antiserum 1/100.000. Pada penelitian ini TBIA terbukti cukup sensitif untuk mendeteksi keberadaan CVB pada tanaman krisan. Reaksi positif masih nampak pada pengenceran antiserum 1/10.000.

Menangani sampel jumlah besar, uji serologi secara TBIA lebih menguntungkan dibandingkan dengan teknik ELISA. Metode TBIA lebih mudah dan cepat, biayanya lebih murah karena hanya diperlukan bahan pereaksi yang lebih sedikit dan dapat menguji sampel lebih banyak. Di samping itu, bloting sampel pada membran dilakukan beberapa menit dan dapat dikerjakan di lapangan, untuk kemudian membran disimpan untuk proses selanjutnya di laboratorium.

Berdasarkan hasil penelitian terhadap kajian sifat-sifat biologi dan molekuler CVB-Ina dapat disimpulkan bahwa CVB sudah menginfeksi tanaman krisan di Indonesia. CVB-Ina memiliki karakter biologi yang khusus, yakni mengakibatkan muncul variasi gejala pada tanaman krisan, mampu menginfeksi tanaman N. benthamiana, dan memiliki efesiensi yang lebih tinggi dalam penularan melalui kutudaun M. sanborni. Kemungkinan perbedaan karakter biologi tersebut disebabkan beberapa perbedaan pada runutan asam amino protein selubungnya. TBIA merupakan metode deteksi CVB yang memenuhi persyaratan sensitifitas, massal dan ekonomis.

(8)

©Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(9)

CHRYSANTHEMUM B CARLAVIRUS (CVB) YANG

MENGINFEKSI KRISAN DI INDONESIA: KARAKTERISASI

DAN PENGEMBANGAN METODE DETEKSI

I GEDE RAI MAYA TEMAJA

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Entomologi dan Fitopatologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Nurhayati H.S. Arifin, M.Sc.

(11)

Judul Disertasi : Chrysanthemum B Carlavirus (CVB) yang Menginfeksi Krisan di Indonesia: Karakterisasi dan Pengembangan Metode Deteksi

Nama : I Gede Rai Maya Temaja

NIM : A461050011

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Gede Suastika, M.Sc. Ketua

Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc. Anggota

Prof. Dr. Ir. Utomo Kartosuwondo, MS. Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Entomologi/Fitopatologi

Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc.

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.

(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Badung, 9 Oktober 1962. Penulis merupakan anak ke

delapan di antara sepuluh bersaudara dari pasangan I Ketut Rideg dan Ni Nengah

Kelepon. Penulis menikah dengan Ir. Ni Luh Komang Kusumawati dan dikaruniai

dua putera yaitu I Gede Andy Andika Parahita (15 tahun) dan I Made Bayu

Puradipa (13 tahun).

Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan,

Fakultas Pertanian, Universitas Udayana, lulus pada tahun 1986. Pendidikan

sarjana strata 2 ditempuh di Program Studi Fitopatologi, Program Pascasarjana,

Universitas Gadjah Mada, lulus pada tahun 1994. Sejak tahun 2005 penulis

terdaftar sebagai mahasiswa program doktor (strata 3) pada Program Studi

Entomologi dan Fitopatologi, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Sejak tahun 1987 penulis diangkat sebagai staf pengajar tetap pada Jurusan

Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Udayana

Denpasar.

Satu artikel bagian dari disertasi ini yaitu dengan judul “Deteksi

Chrysanthemum B Carlavirus (CVB) pada Tanaman Krisan di Indonesia” telah

dipublikasikan pada Jurnal Agritrop 26 (1): 6-12, 2007, diterbitkan oleh Fakultas

Pertanian, Universitas Udayana. Dua artikel sedang diusulkan untuk diterbitkan

yaitu pada jurnal internasional Acta Horticulturae dengan judul “Characterization

of a Severe Strain of Chrysanthemum B Carlavirus (CVB) Isolated from

Chrysanthemum in Indonesia” dan pada Jurnal Hama dan Penyakit Tanaman

Tropika, Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas

Lampung dengan judul “Karakter Molekuler Chrysanthemum B Carlavirus

(CVB) Isolat Krisan (Dendranthema grandiflora Kitam.) di Indonesia” (in press).

Bagian dari penelitian ini telah disampaikan pada tiga pertemuan ilmiah

internasional yaitu pada: (1) The Third Asian Conference on Plant Pathology di

Yogyakarta dengan judul “First Report on Occurrence of Chrysanthemum B

Carlavirus (CVB) on Chrysanthemum in Indonesia”, (2) Plant Science Meeting

for Graduate Students in Utsunomiya di Utsunomiya Jepang dengan judul “Study

(13)

International Symposium on Virus Diseases of Ornamental Plants di Harleem

Belanda dengan judul “Characterization of a Severe Strain of Chrysanthemum B

(14)

PRAKATA

Penulis mengucapkan syukur kehadirat Hyang Widhi - Tuhan Yang

Mahaesa karena atas perkenan-Nya disertasi yang berjudul “Chrysanthemum B

Carlavirus (CVB) yang Menginfeksi Krisan di Indonesia: Karakterisasi dan

Pengembangan Metode Deteksi” dapat diselesaikan.

Penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada Dr. Ir.

Gede Suastika, M.Sc., Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc., dan Prof. Dr. Ir.

Utomo Kartosuwondo, MS. atas segala kesabaran dan bimbingan, kritik, saran,

serta dukungan moral yang sangat besar peranannya dalam terselesaikannya

disertasi ini.

Terima kasih saya sampaikan kepada Dr. Ir. Nurhayati H.S.Arifin, M.Sc.

dan Prof. Dr. Ir. Made Sudana, MS. yang bersedia menjadi penguji luar komisi

pada sidang tertutup dan terbuka. Terima kasih atas saran yang diberikan untuk

perbaikan disertasi ini.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Rektor Universitas

Udayana, Denpasar, Dekan Fakultas Pertanian dan Ketua Jurusan Hama dan

Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Udayana, atas ijin yang

diberikan kepada penulis untuk mengikuti program doktor (S3) di program studi

Entomologi dan Fitopatologi, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Ucapan yang sama disampaikan kepada Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan

Sekolah Pascasarjana, IPB, Ketua dan seluruh staf pengajar program studi

Entomologi dan Fitopatologi, Ketua dan seluruh staf pengajar dan administrasi

Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB. Ucapan terima kasih

disampaikan juga pada tim manajemen Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS)

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional yang

telah memberikan dana untuk mengikuti program doktor.

Terima kasih kepada ketua dan staf Laboratorium Imunologi FKH IPB

atas bantuannya dalam percobaan produksi antiserum. Penulis juga

menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan kepada teman-teman

Laboratorium Virologi, Tuti Susanti Legiastuti, Dr.Ir. Noor Aidawati, Dr.Ir. Eliza

S. Rusli, Latifah, Mas Khamdan, Pak Irwan, Ibu Ifa Manzila, Ibu Sukendah,

(15)

Edi, serta Pak Mpud. Hal yang sama juga disampaikan pada seluruh rekan-rekan

mahasiswa program studi Entomologi dan Fitopatologi dan, teman-teman di

Punhawacana Bali, dan adik-adik di Brahmacarya (Asrama Bali Cikuray).

Terima kasih kepada keluarga tercinta Ir. Ni Luh Komang Kusumawati,

I Gede Andy Andika Parahita dan I Made Bayu Puradipa atas doa tulus,

pengorbanan, pengertian, ketabahan, dan dorongan semangat yang tiada pernah

putus. Mohon maaf selama tiga tahun terakhir tidak dapat memberikan kasih

sayang yang utuh kepada kalian. Semoga apa yang bapak lakukan ini dapat

menjadi teladan bagi kalian.

Akhirnya penulis berharap bahwa apa yang telah dihasilkan ini dapat

bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan di masa yang akan datang.

Bogor, September 2008

(16)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 4

Hipotesis ... 4

Alur penelitian ... 4

TINJAUAN PUSTAKA ... 7

Krisan (Dendranthema grandiflora Kitam.) ... 7

Chrysanthemum B Carlavirus (CVB) ... 10

BAHAN DAN METODE ... 19

Karakter Biologi Chrysanthemum B Carlavirus (CVB) ... 19

Karakter Molekuler Chrysanthemum B Carlavirus (CVB) ... 24

Uji Serologi Chrysanthemum B Carlavirus (CVB) ... 31

HASIL ... 34

Karakter Chrysanthemum B Carlavirus (CVB) ... 34

Deteksi Serologi Chrysanthemum B Carlavirus (CVB) ... 55

PEMBAHASAN ... 65

SIMPULAN DAN SARAN .... 75

Simpulan ... 75

Saran ... 75

DAFTAR PUSTAKA ... 76

(17)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Frekuensi infeksi CVB pada sampel tanaman krisan dari sentra produksi krisan di Indonesia ... 35

2. Frekuensi infeksi virus pada sampel tanaman krisan bergejala dari berbagai lokasi berdasarkan ELISA ... 37

3. Respon berbagai tanaman indikator terhadap infeksi CVB-Ina ... 39

4. Hasil Penularan CVB melalui kutudaun M. sanborni ... 43

5. Tingkat kesamaan isolat CVB yang berasal dari geografi berbeda berdasarkan runutan gen protein selubung ... 52

6. Tingkat kesamaan empat isolat CVB Indonesia dan isolat CVB-S berdasarkan runutan asam amino protein selubung ... 54

7. Reaksi antiserum terhadap cairan perasan tanaman terinfeksi CVB pada uji serologi dengan metode I-ELISA ... 62

(18)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Alur Penelitian karakterisasi dan pengembangan metode deteksi CVB Indonesia ...

6

2. Skema organisasi genom CVB ... 13

3. Kondisi pertanaman krisan saat pengambilan sampel di beberapa lokasi ... 19

4. Perbanyakan kutudaun pada tanaman krisan dalam kurungan kedap serangga ... 23

5. Perbanyakan virus pada tanaman N. benthamiana ... 25

6. Gejala infeksi CVB pada tanaman krisan ... 34

7. Variasi gejala CVB pada beberapa tanaman ... 40

8. Imago kutudaun M. sanborni ... 41

9. Gambar mikroskopi kutudaun yang dapat menyerang krisan ... 42

10. Bentuk kepala M. sanborni berkembang sempurna, dan bentuk kepala B. helichrysi, A. gossypii dan C. rufomaculata yang tidak berkem-bang ... 42

11. Kauda M. sanborni berbentuk lidah, kauda B. helichrysi berbentuk helm, kauda A. gossypii agak mengecil pada bagian tengah, dan kauda C. rufomaculata berbentuk kerucut ... 42

12. Sifunkuli M. sanborni meruncing ke arah ujung, sifunkuli B. helichry-si meruncing dengan bibir pada ujungnya, helichry-sifunkuli A. gossypii meruncing dari pangkal sampai bagian tengah dan hampir lurus dari bagian tengah sampai ke ujung, dan sifunkuli C. rufomaculata membengkak didekat ujung dengan bibir pada bagian ujungnya ... 43

13. Hasil pemurnian virus dengan pemisahan virus melalui ultrasenrifu-gasi dengan gradien kepekatan sesium sulfat ... 44

14. Profil spektrofotometri siapan virus murni ... 45

15. Jumlah tanaman N. benthamiana, N. clevelandii, N. tabacum var. White Burley, N. tabacum var. Havana, P. hybrida, C. amaranticolor dan C. quinoa yang menunjukkan titer virus tinggi ... 47

(19)

17. Hasil analisis SDS-PAGE dan Western blot ... 49

18. Hasil amplifikasi DNA CVB isolat Indonesia dengan metode RT-PCR menggunakan sepasang primer CVB 5 dan CVB 3... 49

19. Perbandingan hasil perunutan DNA yang berasal dari 4 isolat CVB-Indonesia ... 51

20. Filogenetika kekerabatan 4 isolat CVB Indonesia terhadap isolat CVB dari lokasi geografi lain yang ada di GeneBank ... 53

21. Perbandingan hasil perunutan asam amino empat isolat CVB Indonesia (Ina) dan isolat CBB S Jepang (Jpn) ... 54

22. Nilai absorbansi antiserum pada panjang gelombang 280 ... 56

23. Titer antiserum tidak diserap, antserum diserap dan antiserum murni berdasarkan ELISA ... 58

24. Nilai absorbansi antiserum tidak diserap, diserap dan antiserum murni pada uji ELISA terhadap isolat CVB dari berbagai lokasi (Cianjur, Medan, Malang dan Bali) ... 59

25. Hasil analisis western blot protein selubung CVB menggunakan antiserum yang diproduksi ... 60

26. Partikel CVB pada pengamatan dengan mikroskop elektron ... 61

27. Reaktivitas antiserum pada pengenceran 1/100, 1/500, 1/1000, 1/5000 dan 1/10.000 terhadap isolat CVB dari berbagai lokasi dibandingkan dengan kontrol negatif pada uji serologi dengan TBIA ... 63

(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Nilai absorbansi (405 nm) sampel pada reaksi ELISA dengan menggunakan beberapa antiserum ... 84

(21)

Latar Belakang

Krisan (Dendranthema grandiflora Kitam.) adalah salah satu jenis

tanaman bunga yang banyak diminati oleh masyarakat mancanegara karena daya

tarik warna, bentuk, dan ukurannya yang beranekaragam. Di Indonesia, krisan

banyak dibudidayakan dalam skala kecil oleh petani maupun dalam skala besar

oleh perusahaan agribisnis terutama di daerah sejuk di provinsi Jawa Barat, Jawa

Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Sulawesi Utara dan Bali. Disamping untuk

memenuhi kebutuhan dalam negeri, krisan diproduksi terutama untuk memenuhi

kebutuhan luar negeri seperti negara-negara Eropa, Jepang, dan negara Asia

lainnya. Ekspor krisan Indonesia dalam bentuk bunga potong dan stek batang.

Permintaan bunga potong dan tanaman krisan pot di pasar dalam negeri

(domestik) maupun pasar internasional makin meningkat dari tahun ke tahun.

Situasi ini memberi peluang bagi petani produsen dan pengusaha bunga krisan

untuk meningkatkan kuantitas, kualitas dan kontinuitas produksi bunga krisan

yang sesuai dengan permintaan pasar (Marwoto, 2000). Pada tahun 2004 luas

panen krisan di Indonesia mencapai 154,3 Ha dengan produksi 27.683.449

tangkai, yang sebagian besar ditanam di provinsi Jawa Barat yaitu dengan luas

panen 105,6 Ha dengan produksi 23.386.679 tangkai (Direktorat Jenderal Bina

Produksi Hortikultura, 2005).

Di samping bunga potong, krisan juga diperdagangkan dalam bentuk bibit

yaitu stek pucuk. Produksi bibit krisan dalam negeri meningkat dari 1,7 juta bibit

pada tahun 2005 menjadi 5,9 juta bibit di tahun 2006 dan 6,5 juta bibit di tahun

2007. Walaupun terjadi peningkatan produksi bibit krisan, impor bibit tersebut

juga mengalami peningkatan dari tahun 2005 ke tahun 2006 dan tahun 2007. Hal

ini disebabkan karena kebutuhan bibit krisan meningkat lebih cepat dibanding

kemampuan produksi bibit di dalam negeri (Direktorat Jenderal Hortikultura,

2008).

Salah satu kendala dalam budidaya tanaman krisan adalah serangan

patogen. Penyakit-penyakit utama tanaman krisan adalah penyakit karat hitam

(22)

chrysanthemi Allesch dan S. leucanthemi Sacc. et Speg.), tepung oidium (Oidium

chrysanthemi Rab.), kapang kelabu (Botrytis cenerea Pers.), layu cendawan

(Fusarium oxysporum Schlecht. ex Fr. dan Verticillium alboatrum Reinke et

Bert.), dan penyakit-penyakit yang disebabkan oleh chrysanthemun stunt viroid

(CSVd), chrysanthemun mild mosaic virus (CMMV) atau chrysanthemum B

carlavirus (CVB) (Pirone, 1978; Semangun, 1991).

Infeksi virus yang bersifat sistemik akan terbawa pada turunan tanaman

krisan yang diperbanyak secara vegetatif. Pengaruh infeksi virus pada tanaman

hias, khususnya krisan dapat menyebabkan penurunan kualitas maupun kuantitas.

Horst et al. (1977) melaporkan bahwa pengaruh infeksi CVB dapat

mengakibatkan kerusakan tanaman rata-rata mencapai 80%. Survei yang

dilakukan Verma et al. (2003) di Himachal Pradesh (India) menemukan bahwa

CVB menginfeksi tanaman krisan dengan kejadian penyakit mencapai 94,66%.

CVB yang merupakan salah satu penyebab penyakit utama pada tanaman

krisan menginduksi berbagai macam gejala. Belang atau pemucatan tulang daun

yang sangat ringan adalah gejala yang paling umum (Hollings, 1957; Hollings &

Stones, 1972). Beberapa varietas krisan terinfeksi menunjukkan penurunan

kualitas bunga dibandingkan dengan tanaman yang bebas virus. Penurunan

kualitas bunga terutama karena pada tanaman terinfeksi warna mahkota bunga

terputus-putus (pecah warna), mengalami distorsi dan berukuran lebih kecil dari

normal. Kadang-kadang pada krisan terinfeksi CVB berkembang gejala garis

nekrotik pada bunga, dan sering kali tanaman terinfeksi tidak menunjukkan gejala

(symptomless).

CVB dapat ditularkan melalui inokulasi mekanik dan penyambungan,

walaupun secara alami virus ini ditularkan secara non persisten oleh kutudaun

Myzus persicae, Macrosiphum euphorbiae, Aulacorthum solani, Coloradoa

rufomaculata dan Macrosiphoniella sanborni (Hollings & Stones, 1972).

Penyebaran jarak jauh CVB terjadi terutama melalui bahan perbanyakan vegetatif

tanaman. Hal inilah yang menyebabkan negara-negara pengimpor krisan

menerapkan aturan ketat terhadap semua bahan tanaman krisan yaitu harus bebas

(23)

Indonesia sebagai salah satu komunitas dunia, bila ingin produk krisannya

diterima di pasar dunia, harus mengikuti aturan perdagangan internasional

terutama perlakuan karantina tumbuhan. Sertifikasi bahan tanaman krisan bebas

virus membutuhkan metode deteksi yang cepat dan akurat. Tantangan ini

mendorong penelitian yang akan dilakukan mengarah pada penyediaan metode

deteksi CVB yang diperlukan dan dapat diterapkan untuk pemenuhan kebutuhan

sertifikasi. Sertifikasi yang didukung metode deteksi yang handal diharapkan

dapat menyelamatkan ekspor krisan Indonesia.

Pada tahun 2005, pengamatan penulis di daerah pertanaman krisan di

Cipanas, Cianjur, Jawa Barat menemukan gejala penyakit belang ringan dan

pemucatan tulang daun, mirip gejala yang disebabkan oleh infeksi CVB. Penyakit

ini diduga disebabkan oleh virus. Berdasarkan gejalanya yang mirip dengan

serangan CVB, maka perlu dilakukan karakterisasi melalui pengujian sifat-sifat

suatu virus meliputi deskripsi gejala virus pada tanaman krisan, reaksi sampel

terhadap serum anti-CVB, mengamati bentuk dan ukuran partikel virus, ukuran

protein selubung virus, respon tanaman indikator terhadap infeksi virus, kajian

penularan CVB melalui kutudaun, amplifikasi dan perunutan fragmen gen

protein selubung virus.

Kajian serologi CVB dengan menggunakan antiserum CVB pada metode

ELISA untuk mendeteksi dan mengidentifikasi virus telah dilakukan di India

terhadap kultivar krisan berbeda (Verma et al. 2003; Ram et al. 2005) dan di

Jepang untuk mendeteksi CVB pada tanaman Gymnaster savatieri (Suastika et al.

1997).

Sekarang ini, metode deteksi yang didasarkan pada analisis asam nukleat

virus telah banyak digunakan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi CVB atau

genus carlavirus. Sebagai contoh teknik reverse transcriptase-polymerase chain

reaction (RT-PCR) dengan menggunakan primer spesifik telah terbukti dapat

digunakan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi CVB dari tanaman yang

berbeda dan tempat yang berbeda (Verma et al. 2003; Ram et al. 2005).

Deteksi carlavirus dengan menggunakan teknik RT-PCR yang dilanjutkan

(24)

antara virus yang termasuk genus carlavirus (Lee et al. 2003; Chen et al. 2002;

Zang et al. 1998; Choi & Ryu, 2003).

Di Indonesia, belum ada informasi lengkap mengenai penyakit pada

tanaman krisan yang disebabkan oleh CVB dan keragamannya. Oleh karena itu

penelitian mengenai status penyakit di lapangan, identifikasi virus penyebab

penyakit melalui pengujian sifat-sifat biologi, deteksi dan identifikasi virus

melalui kajian serologi, dan kajian karakter molekuler virus dengan RT-PCR dan

perunutan nukleotida sangat penting dilakukan dalam usaha menemukan

pengendalian CVB pada tanaman krisan.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap sifat-sifat biologi dan

molekuler CVB isolat Indonesia serta mengembangkan teknik serologi untuk

deteksi CVB cepat dan akurat pada tanaman krisan.

Hipotesis

1. CVB isolat Indonesia mempunyai karakter biologi dan molekuler khusus,

yang berbeda dari isolat-isolat CVB lain.

2. Metode deteksi cepat dan akurat dapat dikembangkan untuk CVB isolat

Indonesia.

Alur Penelitian

Penelitian dilakukan melalui survei di lapangan, percobaan di rumah kaca

dan laboratorium, yang terdiri atas:

1. Determinasi karakter biologi CVB pada tanaman krisan, meliputi: a) pengamatan keragaman gejala virus pada tanaman krisan; b) reaksi

sampel terhadap antiserum virus yang menginfeksi krisan; c) respon tanaman indikator terhadap infeksi CVB; dan d) kajian penularan CVB dengan serangga vektor kutudaun.

2. Determinasi karakter molekuler CVB, meliputi: a) pemurnian virus; b) karakterisasi virus murni dengan spektrofotometri; c) pengamatan bentuk

(25)

sodiom dodecyl sulphate-polyacrylamide gel electrophoresis (SDS-PAGE) dan Western blot; dan e) penentuan keragaman molekuler CVB isolat Indonesia, meliputi ; ekstraksi RNA, amplifikasi DNA (RT-PCR), perunutan fragmen gen protein selubung CVB, dan analisis filogenetika.

3. Kajian serologi, meliputi: a) produksi antiserum; b) uji ELISA dan TBIA); dan c) pengujian metode serologi untuk deteksi sampel.

(26)

Gambar 1. Alur penelitian karakterisasi dan pengembangan metode deteksi CVB Indonesia Identiikasi CVB 

dengan RT‐PCR 

Perunutan  isolat‐isolat CVB 

Analisis keragaman  isolat‐isolat CVB 

Kisaran inang CVB:  • Keragaman 

gejala  • Kisaran inang 

Kajian penularan  CVB melalui 

kutudaun 

Pemurnian CVB

• Karakter morfologi  dengan mikroskop  elektron 

•Analisis protein  selubung 

Produksi antiserum  CVB 

Pengembangan  metode deteksi  CVB: 

(27)

TINJAUAN PUSTAKA

Krisan (Dendranthema grandiflora Kitam.)

Sejarah Tanaman Krisan

Krisan yang merupakan tanaman hias bunga berupa perdu dengan sebutan

lain seruni atau bunga emas (golden flower) berasal dari Cina. Tanaman ini sudah

ditanam 500 tahun sebelum Masehi, yang semula hanya digemari oleh masyarakat

Cina. Sekitar abad ke-8 Masehi krisan dibawa dan dibudidayakan di Jepang.

Kebanggaan terhadap bunga krisan menyebabkan bunga ini dijadikan sebagai

simbol kekaisaran Jepang dengan sebutan Queen of The East. Tanaman krisan

diintroduksi ke kawasan Eropa pada abad ke-17. Tanaman krisan pun menyebar di

kawasan Eropa, kemudian ke Asia. Pada tahun 1753 Karl Linnaeus, ahli botani

Swedia, mengkombinasikan kata Latin chrysos yang berarti emas dengan kata

anthemon yang berarti bunga, untuk menamakan tanaman krisan. Jenis atau

varietas krisan modern diduga mulai ditemukan pada abad ke-17

(http//www.mums.org).

Krisan mulai dikoleksi di Indonesia pada tahun 1800an dan

dikembangkan secara komersial sejak tahun 1940an. Krisan merupakan salah satu

jenis tanaman hias bunga yang sangat diminati dan memiliki nilai ekonomi yang

relatif tinggi di Indonesia serta mempunyai prospek pemasaran cerah, terutama

dijual berupa bunga potong dan tanaman hias bunga pot. Sentra produksi krisan di

Indonesia antara lain: Bandung, Cianjur, Sukabumi, Lembang, Bogor dan Garut

(Jawa Barat), Semarang, Magelang, Karanganyar dan Sukoharjo (Jawa Tengah),

Malang dan Pasuruan (Jawa Timur), dan Brastagi (Sumatera Utara). Jenis atau

varietas krisan yang dikembangkan di Indonesia umumnya krisan hibrida yang

berasal dari Belanda, Amerika Serikat dan Jepang (Rukmana & Mulyana, 1997).

Budidaya Tanaman Krisan

Krisan tumbuh baik di dataran tinggi antara 600 -1000 m dpl, dapat

tumbuh hampir di semua jenis tanah dengan aerasi dan drainase baik, memiliki

tingkat kesuburan yang tinggi dengan kandungan unsur hara dalam jumlah

(28)

15,5°C dan suhu siang 32°C (Kofranek, 1992). pH optimum tanah untuk

pertumbuhan krisan adalah 5,5-6,7 (Carter, 1992; Konfranek, 1992).

Tanaman ini sangat responsif terhadap lama waktu penyinaran cahaya atau

fotoperiode. Agar tanaman dapat berbunga dengan baik, kebanyakan varietas

memerlukan hari pendek selama fase pembungaan (Janick, 1972; Kofranek,

1992). Tanaman yang ditanam untuk tujuan produksi bunga diberi penyinaran

sekitar 14,5 jam per hari dengan tujuan merangsang pertumbuhan vegetatif

dan mencapai panjang batang tertentu sebelum terjadi pembungaan. Untuk

daerah tropis, tambahan penyinaran 2,5 jam per hari cukup untuk

mempertahankan fase vegetatif dan penghentian penyinaran akan mendorong

pembentukan bunga.

Perbanyakan tanaman krisan dapat dilakukan dengan stek pucuk dari

tanaman induk dan anakan (Genders, 1961; Crater, 1992). Panjang stek pucuk

yang ideal adalah 5 cm dan biasanya sudah memiliki 3 helai daun yang

membuka penuh. Anakan bisa diperoleh langsung dari tanaman produksi

dengan cara mencabut bersama akarnya. Pembibitan diperlukan jika digunakan

stek pucuk dalam perbanyakan tanaman (Kofranek, 1992).

Jarak tanam yang biasa digunakan pada penanaman krisan potong

yaitu 10 cm x 10 cm atau 20 cm x 20 cm (Rukmana & Mulyana, 1997). Cara

yang paling praktis untuk memulai penanaman yaitu dengan memasang jaring

penegak lebih dahulu di atas bedengan. Dengan demikian jarak tanam dapat

mengikuti pola kotak-kotak pada jaring yang ukurannya sudah tertentu.

Menurut Laurie & Ries (1950) pemupukan dan drainase sangat

berpengaruh pada awal pertumbuhan. Krisan tidak memerlukan pemupukan

lebih lanjut bila telah membentuk kuncup bunga berdiameter lebih dari 1,0-1,5

cm. Tahap ini dicapai saat tanaman berumur 10-12 minggu setelah tanam

(Kofranek, 1992).

Merangsang pertumbuhan cabang-cabang lateral dengan tujuan mendapat

tanaman krisan dengan tipe banyak bunga per tangkai (tipe spray), dilakukan

dengan pembuangan titik tumbuh (soft pinch) (Crater, 1992). Pembuangan titik

tumbuh umumnya dilakukan pada saat tanaman berumur 10-14 hari setelah

(29)

besar pertangkai (tipe standard), dilakukan pembuangan kuncup lateral

(Kofranek, 1992; Greensill, 1970).

Di daerah beriklim tropis krisan membutuhkan waktu sekitar 3-4

bulan sejak bibit ditanam sampai menghasilkan bunga. Saat panen yang tepat

adalah ketika bunga setengah mekar atau 3-4 hari sebelum mekar penuh.

Biasanya pada saat ini bunga telah mencapai ukuran penuh, intensitas warna

hampir mencapai puncaknya, dan bunga masih kuncup (Rukmana & Mulyana,

1997).

Hama dan Penyakit pada Tanaman Krisan

Kendala utama pada budidaya tanaman krisan adalah gangguan hama dan

penyakit. Hama-hama penting yang menyerang tanaman krisan adalah Ostrinia

nubilalis (Lepidoptera: Pyralidae); Thrips sp. (Thysanoptera: Thripidae);

Liriomyza trifolii (Diptera: Agromyzidae); Aphis gossypii (Homoptera:

Aphididae) (Elzingga, 1978; Pirone, 1978; Blackman & Eastop, 1984). Pirone

(1978) melaporkan bahwa selain A. gossypii¸ tanaman krisan juga dapat diserang

oleh kutudaun yang lain seperti Macrosiphoniella sanborni dan Myzus persicae.

Penyakit-penyakit utama tanaman krisan adalah penyakit bercak daun

septoria (Septoria chrysanthemi dan S. leucanthemi), karat hitam (Puccinia

chrysanthemi), karat putih (P. horiana), tepung oidium (Oidium chrysanthemi),

kapang kelabu (Botrytis cenerea), dan layu cendawan (Fusarium oxysporum dan

Verticillium alboatrum (Pirone, 1978; Semangun, 1991).

Beberapa virus dilaporkan menginfeksi tanaman krisan, yang terpenting

antara lain Tomato aspermy cucumovirus (TAV) dan Cucumber mosaic

cucumovirus (CMV); Chrysanthemum B carlavirus (CVB); dan Tomato spotted

wilt tospovirus (TSWV) (Bouween & Zaayen, 1995). Beberapa virus lainnya yang

dapat menginfeksi krisan adalah Turnip mosaic potyvirus (TuMV) (Chen et al.

2000), Tobacco mosaic tobamovirus (TMV), Potato Y potyvirus (PVY), dan

Potato X potexvirus (PVX) (Navalinskiene & Samuitiene, 1996).

Selain dari jenis cendawan dan virus, krisan juga terinfeksi oleh viroid.

Ada dua jenis viroid yang menginfeksi tanaman krisan yaitu Chrysanthemum

stunt viroid (CSVd) dan Chrysanthemum chlorotic mottle viroid (CChMVd)

(30)

Chrysanthemum B Carlavirus (CVB)

Kisaran Inangdan Gejala Infeksi

CVB atau nama lainnya adalah Chrysanthemum mild mosaic virus,

Chrysanthemum virus B, Chrysanthemum Q virus, Chrysanthemum dwarf mottle,

Chrysanthemum necrotic mottle, Gynura latent virus, dan Chrysanthemum vein

mottle virus adalah virus dari genus carlavirus (Hollings & Stone, 1972; Hakkart

& Maat, 1974).

CVB mempunyai kisaran inang yang sempit, menginfeksi tanaman krisan

dan sekitar 10 spesies pada 5 famili dikotiledon (Hollings, 1957). Pada penelitian

Verma et al. (2003), dari 22 spesies tanaman yang diinokulasi untuk uji kisaran

inang, hanya 5 spesies yang terinfeksi, yaitu N. clevelandii, N. glutinosa, N.

rustika, Petunia hybrida dan Vicia faba. Sedangkan penelitian Suastika et al.

(1997) menemukan bahwa CVB mampu menginfeksi tanaman Gymnaster

savateri, N. clevelandii, N. occidentalis, P. hybrida, Helichrysum bracteatum,

Zinnia elegans, C. amaranticolor, C. quinoa, Sesamum indicum dan Tetragonia

expansa. Sedangkan 13 spesies tanaman lainnya dari 7 famili yang diuji, tidak

terinfeksi.

Hollings (1957) melaporkan bahwa beberapa spesies tanaman yang sesuai

untuk penyebaran CVB antara lain Aster amellus, Chrysanthemum carinatum,

C. morifolium, N. clevelandii, N. glutinosa, N. rustika, N. affinis. Sedangkan yang

bukan inang CVB antara lain Datura stramonium, C. amaranticolor, C. quinoa,

Gomphrena globosa, Capsicum annuum, Cucumis sativus, Licopersicon

esculentum.

Walaupun memiliki inang yang terbatas, tetapi CVB dilaporkan tersebar

pada pertanaman krisan di seluruh dunia. Infeksi virus ini pada tanaman krisan

menyebabkan perubahan fisiologi tanaman, yang berakibat gejala belang daun

atau pemucatan tulang daun yang sangat ringan pada beberapa kultivar. Namun

demikian sering kultivar yang terinfeksi virus ini tidak menunjukkan gejala

(symptomless) (Hollings & Stone, 1972). Beberapa varietas terinfeksi

(31)

bebas virus. Penurunan kualitas bunga terutama karena pada tanaman terinfeksi

warna mahkota bunga terputus-putus (pecah warna), mengalami distorsi dan

berukuran lebih kecil dari normal. Kadang-kadang pada krisan terinfeksi CVB

berkembang gejala garis nekrotik pada bunga (Hollings & Stones, 1972).

Survey Verma et al. (2003) di Himachal Pradesh (India) menemukan

bahwa tanaman krisan terserang CVB dengan gejala penebalan tulang daun,

mosaik, belang, dan pemucatan tulang daun yang ringan. Pada tanaman dengan

daun menunjukkan gejala mosaik yang keras, bunganya juga mengalami

malformasi. Pengamatan Suastika et al. (1997) pada tanaman G. savateri

menemukan bahwa CVB menyebabkan gejala belang ringan pada daun dan pecah

warna pada bunga. Menurut deskripsi Noordam (1972) kisaran inang dan gejala

yang ditimbulkan oleh virus CVB antara lain :

1. P. hybrida menunjukkan gejala bercak kuning lokal setelah 2-5

minggu, beberapa isolat virus dari krisan menyebabkan gejala

nekrotik atau bercak hijau atau cincin kuning.

2. N. glutinosa menunjukkan gejala bercak klorotik lokal setelah 2-3,5

minggu, dan gejala infeksinya non sistemik.

3. N. clevelandii menunjukkan gejala belang ringan dan pemucatan

tulang daun setelah 3 minggu.

4. T. expansa menunjukkan gejala bercak klorotik lokal memanjang

dengan diameter ± 3 mm setelah 2-5 minggu dan infeksinya tidak

sistemik.

Penularan CVB

Semua anggota genus Carlavirus diketahui dapat ditularkan secara

mekanis, dan sebagian besar juga ditularkan secara non persisten melalui

kutudaun (Foster, 1992), walaupun ada yang ditularkan oleh kutu kebul (Bemisia

tabaci) yaitu Cowpea mild mottle virus (CPMMV) (Badge et al.1996; Hull, 2002).

CPMMV juga dapat ditularkan melalui benih, seperti halnya Pea strike virus

(PeSV) dan Red clover vein mosaic virus (RCVMV) (Hull, 2002).

CVB bisa ditularkan secara non persisten oleh kutudaun, melalui

(32)

tidak dapat ditularkan melalui kontak antar tanaman dan melalui benih. Di lapang

virus ini dapat ditularkan oleh kutudaun Myzus persicae, Macrosiphum

euphorbiae, Aulacorthum solani, Coloradoa rufomaculata, Macrosiphoniella

sanborni dan Aphis gossypii (Hollings & Stone, 1972; Hollings, 1957; Ohkawa et

al. 2007). Hollings & Stone (1972) melaporkan bahwa periode makan akuisisi

kutudaun 30-45 menit dan periode puasanya hingga 1 jam. Frekuensi penularan

virus meningkat setelah serangga dilaparkan 3 jam sebelum periode makan

akuisisi.

Morfologi dan Taksonomi CVB

CVB adalah virus yang mempunyai partikel berbentuk batang agak lurus

dan lentur, dengan ukuran 680-685 nm x 12-13 nm. Partikel lebih lurus dan

kelihatan kurang lentur dibandingkan Carnation latent virus (CLV), dan

cenderung terputus-putus bila dilakukan pengecatan dengan phosphotungstate

(Hollings & Stone, 1972; Suastika et al. 1997; Foster, 1992; Verma et al. 2003).

Menurut Hull (2002), CVB termasuk ke dalam genus mengambang

(floating genera), karena genus-genus pada kelompok ini tidak bisa dimasukkan

dalam famili. Sampai saat ini ada 20 genus virus tanaman yang dimasukkan dalam

floating genera ini dengan karakterisasi mempunyai asam nukleat ribonukleat

dalam bentuk utas tunggal (single strand (ss) RNA) positive-sense dan tidak

memenuhi syarat untuk dikelompokkan pada familia tertentu.

Carlavirus yang anggotanya dicirikan dengan tipe CLV, mempunyai

partikel bentuk batang agak lentur dengan ukuran panjang 610-700 nm dan

diameter 12-15 nm. Virion mengandung molekul RNA tunggal linier dalam

bentuk positive-sense utas tunggal (positive-sense ssRNA), panjangnya 7,4-8,5

nm, dan memiliki polyadenyl (poly A) pada ujung 3’. Asam nukleatnya

diselubungi oleh sub unit-sub unit protein selubung sejenis dengan berat

masing-masing 31-36 kDa (Hull, 2002; Lee et al. 2003; Zavriev et al. 1991; Foster, 1992;

Lawrence et al. 1995).

Lebih dari 35 spesies virus tergolong dalam genus carlavirus, beberapa

diantaranya sudah dilaporkan runutan lengkap nukleotidanya yaitu Actonitum

latent virus (AcoLV), Blueberry scorch virus (BlScV), Garlic latent virus

(33)

(PVM) dan CVB (Cohen et al. 2000; Chen et al. 2002; Fuji et al. 2002; Hataya et

al. 2000; Zavriev et al. 1991; Ohkawa et al. 2007). Beberapa spesies dari

carlavirus sudah dirunut pada daerah terminal 3’nya, termasuk diantaranya PVS,

HeLVS, CLV, LSV, CVB, CPMMV dan Daphne Virus S (DVS) (Badge et al.

1996; Foster & Mills, 1992; Lee et al. 2003). Semuanya menunjukkan organisasi

genom yang mirip, dengan kemiripan ukuran open reading frame (ORF), dan

tingkat homologi yang tinggi pada runutan asam amino diantara protein

padanannya.

RNA dengan poly A pada ujung 3’, memiliki 6 ORF yaitu ORF1

menyandi polipeptida (223 kDa) yang merupakan replikase virus; ORF2 (25

kDa), ORF3 (12 kDa) dan ORF4 (7 kDa) membentuk triple gene block (TGB)

yang berperan dalam pergerakan virus dari sel ke sel; ORF5 menyandi protein

selubung (34 kDa) dan ORF6 (11-16 kDa) menyandi protein cystein-rich yang

belum diketahui fungsinya (Gambar 2).

Gambar 2. Skema organisasi genom CVB (Sumber : Ohkawa et al. 2007). RNA memiliki 6 ORF dengan poly A pada ujung 3’

Identifikasi dan Deteksi CVB

Bioassay. Identifikasi virus secara biologis (bioesei) dapat dilakukan

melalui uji kisaran inang dan atau melalui uji hubungan virus dan serangga

vektornya. Cara tersebut telah dilakukan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi

CVB (Hollings & Stones, 1972; Ram et al. 2005; Verma et al. 2003; Suastika et

al. 1997).

Uji serologi. Teknik serologi merupakan salah satu cara deteksi dan

identifikasi suatu patogen dalam suatu inang, yang memanfaatkan reaksi spesifik

antara antigen dan antiserum (Crowther, 1995). Metode ini, telah mengalami

perkembangan yang sangat pesat dan aplikasinya di bidang penyakit tumbuhan

sudah sangat umum digunakan, yaitu untuk mendeteksi suatu patogen khususnya

(34)

menentukan konsentrasi virus dalam jaringan tumbuhan, mendeteksi virus

tumbuhan dalam tubuh serangga vektor dan untuk mengetahui hubungan

kekerabatan antar virus (Agrios, 1997). Deteksi dan identifikasi secara serologi

sudah umum diaplikasikan untuk berbagai virus. Ada beberapa cara yang

digunakan untuk deteksi serologi antara lain immunosorbent electron microscopy

(ISEM) (Dykstra, 1992; Flager et al. 1993), immunoflourescent staining

(Hampton et al. 1990), gel double-diffusion test, dot-blot immunobinding assay

(DIBA), tissue-blot immunoassay (TBIA), western blot (Harlow & Lane 1999;

Lin et al. 1990), agarose gel presipitation test (AGPT) (Mahmood et al. 1997)

dan enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) (Harlow & Lane 1999; Kumari

et al. 2006).

Metode serologi yang telah berhasil dikembangkan untuk mendeteksi virus

tumbuhan diantaranya yaitu ELISA dan western blot untuk mendeteksi beberapa

protein selubung dari genus Begomovirus (Abouzid et al. 2002), DIBA

digunakan untuk mendeteksi Zuccini yellow mosaic virus (ZYMV) (Somowiyarjo

et al. 1989), metode ISEM telah berhasil digunakan untuk deteksi dan identifikasi

bentuk partikel Tomato yellow leaf curl virus (TYLCV) oleh Attathom et al.

(1990). Deteksi partikel virus menggunakan antiserum dengan metode immune

electron microscopy (IEM) dilakukan oleh Sharma et al. (2005) terhadap virus

CMV, Lily mottle virus (LMoV) dan LSV pada tanaman lily. Deteksi dengan

metode immunoflourescent staining juga telah berhasil dilakukan oleh Sudarshana

et al. (1997) untuk mengetahui dinamika pergerakan Bean dwarf mosaic

geminivirus (BDMV) dari sel ke sel pada Phaseolus vulgaris. Pengujian

presipitasi dengan memanfaatkan reaksi difusi antara antigen dan antibodi telah

berhasil dilakukan oleh Mahmood et al. (1997) untuk mendeteksi Wheat streak

mosaic tritimovirus (WSMV).

TBIA digunakan untuk mengamati keberadaan Chickpea chlorotic dwarf

virus (CpCDV) pada jaringan tanaman (Kumari et al. 2006), dan juga cukup

sensitif untuk mendeteksi Florida hibiscus virus (Kamenova & Adkins, 2004).

TBIA pertama kali dikerjakan oleh Lin et al. (1990) untuk mendeteksi beberapa

virus dan mycoplasmalike organism. Teknik TBIA memiliki beberapa kelebihan

(35)

distribusi virus pada bagian terinfeksi; 2) pengerjaan deteksi lebih cepat dan lebih

sedikit membutuhkan tenaga kerja, sebab membran dapat diblot dalam beberapa

menit, sehingga dapat diterapkan dalam skala besar; 3) blotting dapat dilakukan di

lapangan dan kemudian dikirim ke laboratorium untuk pengerjaan selanjutnya;

dan 4) membran dapat disimpan dalam suhu ruang selama 10 hari tanpa

kehilangan sensitivitasnya.

Deteksi CVB secara serologi dilaporkan telah dipakai untuk mendeteksi

CVB pada tanaman krisan dengan metode double antibody sandwich-ELISA

(DAS-ELISA) (Ram et al. 2005; Verma et al. 2003). Verma et al. (2003) juga

menggunakan antiserum CVB untuk melihat partikel virus pada kajian IEM. Pada

tanaman G. savatieri antiserum CVB digunakan untuk deteksi virus secara

serologi dengan metode indirect-ELISA (I-ELISA) dan untuk ISEM (Suastika

et al. 1997).

Keberhasilan dan ketelitian teknik serologi untuk mendeteksi dan

mengidentifikasi virus sangat tergantung pada ketersediaan pereaksi diagnostik

seperti antiserum dengan kualitas yang baik (Kumari et al. 2006). Antiserum

adalah serum yang mengandung antibodi (Noordam, 1973). Antibodi adalah

molekul imunoglobulin yang dihasilkan oleh sistem imun dari hewan sebagai

tanggapan terhadap suatu rangsangan molekul asing (antigen) (Crowther, 1995).

Antibodi banyak dimanfaatkan dalam kajian imunologi untuk mengidentifikasi

suatu patogen. Ikatan antigen dengan antibodi sangat spesifik, suatu molekul

antigen mempunyai kemampuan untuk bereaksi atau berikatan dengan suatu

molekul imunoglobulin (Sambrook et al., 1989). Antigen pada umumnya terdiri

atas makromolekul yaitu berupa protein, nukleoprotein ataupun polisakarida

yang mempunyai berat molekul lebih dari 10.000 dan akan bereaksi spesifik

apabila diinjeksikan ke dalam tubuh hewan percobaan. Molekul dengan berat

molekul lebih rendah dari 5000 biasanya tidak efektif sebagai imunogen

(Crowther, 1995). Virus mempunyai berbagai macam gen yang masing-masing

akan menyandikan pembentukan suatu protein. Untuk membuat antibodi dari

suatu virus tumbuhan pada umumnya digunakan protein selubung partikel virus.

Sambrook et al. (1989) membagi antibodi berdasarkan reaksinya terhadap

(36)

suatu antigen, yang disebut dengan antibodi poliklonal. (2) Antibodi yang

bereaksi terhadap epitop spesifik disebut dengan antibodi monoklonal. (3)

Antibodi yang bereaksi terhadap protein dalam bentuk terdenaturasi. Antibodi ini

dapat bersifat monoklonal maupun poliklonal. Antibodi poliklonal dibentuk oleh

sejumlah klon limfosit B yang dirangsang oleh banyak epitop dari suatu antigen

sehingga variabilitas antibodi tinggi. Antibodi monoklonal, sangat spesifik karena

hanya dibentuk oleh satu macam epitop. Produksi antibodi poliklonal lebih mudah

dan murah dibandingkan antibodi monoklonal.

Beberapa jenis hewan berdarah panas yang sering digunakan untuk

memproduksi antibodi antara lain kelinci, marmut, ayam, mencit, domba dan

kuda. Marmut sering menjadi hewan pilihan karena hanya memerlukan sedikit

antigen untuk imunisasi, volume serumnya relatif banyak, mudah

pemeliharaannya, dan menghasilkan antiserum yang baik kualitasnya. Menurut

Rollin & Kesel (1995), marmut adalah sumber komplemen serum yang sangat

baik.

Potensi antigen untuk menimbulkan respon kekebalan sangat dipengaruhi

oleh berat molekul, struktur dan kompleksitasnya, sedangkan kualitas antibodi

dipengaruhi oleh konsentrasi antigen dan cara imunisasi. Respon kekebalan

dapat ditingkatkan melalui modifikasi antigen dengan mencampur menggunakan

bahan tambahan seperti adjuvant (Duncan, 1980). Antigen dapat memicu respon

kekebalan paling kuat apabila diinjeksikan langsung pada kelenjar getah bening

poplitea (Sambrook et al., 1989), tetapi memerlukan keterampilan khusus untuk

melakukan injeksi. Terdapat berbagai cara imunisasi hewan percobaan yang

umum dilakukan yaitu dengan cara menginjeksikan antigen melalui otot paha

(intramuscular), pembuluh darah vena (intravenous), di bawah kulit (sub

cutaneous), dan rongga perut (intraperitoneal) (Svendsen & Hau, 1994;

Sambrook et al., 1989). Imunisasi secara berulang dengan selang waktu tertentu

dapat meningkatkan respon kekebalan suatu individu.

RT-PCR. Karakterisasi virus tanaman dapat dilakukan juga melalui sifat

asam nukleat virus tersebut. Saat ini metode deteksi dan identifikasi virus yang

akurat banyak dilakukan berbasis pada pengetahuan biologi molekuler yang telah

(37)

mengamplifikasi DNA secara invitro, sangat berguna dalam mengidentifikasi

virus yang menginfeksi tanaman, hewan dan manusia. Identifikasi virus dengan

teknik PCR didasarkan pada sifat primer yang spesifik (Sambrook et al. 1989).

Oleh karena itu penentuan primer sangat menentukan spesifisitas hasil deteksi.

Identifikasi, studi keragaman dan analisis filogenetika kelompok carlavirus

seringkali menggunakan primer yang disusun berdasarkan informasi gen protein

selubung dan ujung 3’ untranslated region (UTR) (Badge et al. 1996; Foster &

Mills, 1992; Lee et al. 2003).

Modifikasi teknik PCR yaitu teknik RT-PCR dengan menggunakan primer

spesifik terbukti dapat digunakan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi CMV,

LMoV, LSV dan Strawberry latent ringspot virus (SLRSV) pada tanaman lily

(Sharma et al. 2005; Choi & Ryu, 2003). Identifikasi molekuler dengan teknik

RT-PCR juga telah digunakan untuk mengkarakterisasi Daphne virus S (DVS)

pada tanaman Daphne spp. (Lee et al. 2003); Garlic latent virus (GarLV), Onion

yellow dwarf virus (OYDV) dan Leek yellow stripe virus (LYSV) pada tanaman

bawang putih; Shallot yellow stripe virus (SYSV) pada tanaman Allium fistulosum

var. caespitosum; dan LMoV pada tanaman lily (Chen et al. 2002).

Analisis asam nukleat CVB dengan teknik RT-PCR dilakukan oleh Levay

& Zavriev pada tahun 1991. Ram et al. (2005) pada penelitiannya memproduksi

tanaman krisan bebas CVB menggunakan teknik RT-PCR untuk mendeteksi dan

mengkarakterisasi CVB dari tanaman yang berbeda dan tempat yang berbeda.

Keunggulan masing-masing metode deteksi sangat ditentukan oleh

berbagai faktor. Identifikasi virus dengan kajian biologis memerlukan waktu yang

cukup lama karena harus mempersiapkan tanaman indikator, tetapi biaya yang

dikeluarkan tidak banyak. Metode serologi dan RT-PCR adalah metode yang lebih

dapat dipercaya dan lebih sensitif sebagai metode pendeteksi virus atau indexing,

dibandingkan dengan kajian biologi. Sering terjadi bahwa virus tidak terdeteksi

pada kajian biologi, tetapi menunjukkan hasil posistif dengan metode serologi dan

RT-PCR yang dapat mendeteksi virus pada konsentrasi rendah (Ram et al. 2005).

Namun demikian ELISA dan RT-PCR harus ditunjang dengan laboratorium yang

(38)

Pemurnian Virus

Kajian suatu virus penyebab penyakit tumbuhan, khususnya untuk

mengetahui morfologi, pengamatan bentuk dan ukuran partikel serta pembuatan

antiserum membutuhkan tersedianya virus murni. Sehingga untuk tujuan itu,

pemurnian virus merupakan salah satu langkah penting. Berbagai metode dan

modifikasi pemurnian suatu virus telah diketahui yang disesuaikan dengan sifat

dan jenis virusnya (Matthews 1992). Secara umum pemurnian virus dilakukan

melalui beberapa tahapan yaitu: 1) perbanyakan virus pada inang yang sedikit

mengandung atau tidak mengandung zat inhibitor, 2) mengurangi aktivitas enzim

inhibitor melalui pemilihan media homogenisasi yang tepat dengan cara

menggunakan penyangga pada molaritas dan pH larutan yang tepat, serta

penambahan bahan aditif seperti antioksidan atau bahan pengkelat , 3) penjernihan

ekstrak tanaman yang terinfeksi virus dengan tujuan untuk menghilangkan

molekul makro seperti mitokondria, ribosom, polisom, polisakarida dengan cara

menambahkan bahan pelarut organik misalnya eter, kloroform, atau butanol yang

dapat mendenaturisasi lemak dan protein tanpa merusak struktur virusnya, dan 4)

pemisahan virus dari komponen tanaman dengan presipitasi partikel

menggunakan polyethyleneglycole (PEG), dengan cara ultrasentrifugasi dengan

gradien kepekatan sukrosa atau sesium sulfat yang dapat memisahkan partikel

virus berdasarkan bentuk, ukuran dan berat jenisnya.

Beberapa penelitian sudah berhasil memurnikan carlavirus antara lain

adalah CVB, Elderberry carlavirus, DVS dan Nerine latent virus (NLV)

menggunakan gradien sukrose (Suastika et al. 1997; Van Lent et al. 1980; Lee et

al. 2003; Maat et al. 1978); dan CVB dan LSV menggunakan gradien sesium

sulfat (Verma et al. 2003; Sharma et al. 2005). Sedangkan Hollings et al. (1970)

memurnikan CVB menggunakan metode pemisahan virus dengan satu atau

beberapa siklus sentrifugasi diferensial (10.000 g selama 15 menit; 80.000 selama

(39)

TINJAUAN PUSTAKA

Krisan (Dendranthema grandiflora Kitam.)

Sejarah Tanaman Krisan

Krisan yang merupakan tanaman hias bunga berupa perdu dengan sebutan

lain seruni atau bunga emas (golden flower) berasal dari Cina. Tanaman ini sudah

ditanam 500 tahun sebelum Masehi, yang semula hanya digemari oleh masyarakat

Cina. Sekitar abad ke-8 Masehi krisan dibawa dan dibudidayakan di Jepang.

Kebanggaan terhadap bunga krisan menyebabkan bunga ini dijadikan sebagai

simbol kekaisaran Jepang dengan sebutan Queen of The East. Tanaman krisan

diintroduksi ke kawasan Eropa pada abad ke-17. Tanaman krisan pun menyebar di

kawasan Eropa, kemudian ke Asia. Pada tahun 1753 Karl Linnaeus, ahli botani

Swedia, mengkombinasikan kata Latin chrysos yang berarti emas dengan kata

anthemon yang berarti bunga, untuk menamakan tanaman krisan. Jenis atau

varietas krisan modern diduga mulai ditemukan pada abad ke-17

(http//www.mums.org).

Krisan mulai dikoleksi di Indonesia pada tahun 1800an dan

dikembangkan secara komersial sejak tahun 1940an. Krisan merupakan salah satu

jenis tanaman hias bunga yang sangat diminati dan memiliki nilai ekonomi yang

relatif tinggi di Indonesia serta mempunyai prospek pemasaran cerah, terutama

dijual berupa bunga potong dan tanaman hias bunga pot. Sentra produksi krisan di

Indonesia antara lain: Bandung, Cianjur, Sukabumi, Lembang, Bogor dan Garut

(Jawa Barat), Semarang, Magelang, Karanganyar dan Sukoharjo (Jawa Tengah),

Malang dan Pasuruan (Jawa Timur), dan Brastagi (Sumatera Utara). Jenis atau

varietas krisan yang dikembangkan di Indonesia umumnya krisan hibrida yang

berasal dari Belanda, Amerika Serikat dan Jepang (Rukmana & Mulyana, 1997).

Budidaya Tanaman Krisan

Krisan tumbuh baik di dataran tinggi antara 600 -1000 m dpl, dapat

tumbuh hampir di semua jenis tanah dengan aerasi dan drainase baik, memiliki

tingkat kesuburan yang tinggi dengan kandungan unsur hara dalam jumlah

(40)

15,5°C dan suhu siang 32°C (Kofranek, 1992). pH optimum tanah untuk

pertumbuhan krisan adalah 5,5-6,7 (Carter, 1992; Konfranek, 1992).

Tanaman ini sangat responsif terhadap lama waktu penyinaran cahaya atau

fotoperiode. Agar tanaman dapat berbunga dengan baik, kebanyakan varietas

memerlukan hari pendek selama fase pembungaan (Janick, 1972; Kofranek,

1992). Tanaman yang ditanam untuk tujuan produksi bunga diberi penyinaran

sekitar 14,5 jam per hari dengan tujuan merangsang pertumbuhan vegetatif

dan mencapai panjang batang tertentu sebelum terjadi pembungaan. Untuk

daerah tropis, tambahan penyinaran 2,5 jam per hari cukup untuk

mempertahankan fase vegetatif dan penghentian penyinaran akan mendorong

pembentukan bunga.

Perbanyakan tanaman krisan dapat dilakukan dengan stek pucuk dari

tanaman induk dan anakan (Genders, 1961; Crater, 1992). Panjang stek pucuk

yang ideal adalah 5 cm dan biasanya sudah memiliki 3 helai daun yang

membuka penuh. Anakan bisa diperoleh langsung dari tanaman produksi

dengan cara mencabut bersama akarnya. Pembibitan diperlukan jika digunakan

stek pucuk dalam perbanyakan tanaman (Kofranek, 1992).

Jarak tanam yang biasa digunakan pada penanaman krisan potong

yaitu 10 cm x 10 cm atau 20 cm x 20 cm (Rukmana & Mulyana, 1997). Cara

yang paling praktis untuk memulai penanaman yaitu dengan memasang jaring

penegak lebih dahulu di atas bedengan. Dengan demikian jarak tanam dapat

mengikuti pola kotak-kotak pada jaring yang ukurannya sudah tertentu.

Menurut Laurie & Ries (1950) pemupukan dan drainase sangat

berpengaruh pada awal pertumbuhan. Krisan tidak memerlukan pemupukan

lebih lanjut bila telah membentuk kuncup bunga berdiameter lebih dari 1,0-1,5

cm. Tahap ini dicapai saat tanaman berumur 10-12 minggu setelah tanam

(Kofranek, 1992).

Merangsang pertumbuhan cabang-cabang lateral dengan tujuan mendapat

tanaman krisan dengan tipe banyak bunga per tangkai (tipe spray), dilakukan

dengan pembuangan titik tumbuh (soft pinch) (Crater, 1992). Pembuangan titik

tumbuh umumnya dilakukan pada saat tanaman berumur 10-14 hari setelah

(41)

besar pertangkai (tipe standard), dilakukan pembuangan kuncup lateral

(Kofranek, 1992; Greensill, 1970).

Di daerah beriklim tropis krisan membutuhkan waktu sekitar 3-4

bulan sejak bibit ditanam sampai menghasilkan bunga. Saat panen yang tepat

adalah ketika bunga setengah mekar atau 3-4 hari sebelum mekar penuh.

Biasanya pada saat ini bunga telah mencapai ukuran penuh, intensitas warna

hampir mencapai puncaknya, dan bunga masih kuncup (Rukmana & Mulyana,

1997).

Hama dan Penyakit pada Tanaman Krisan

Kendala utama pada budidaya tanaman krisan adalah gangguan hama dan

penyakit. Hama-hama penting yang menyerang tanaman krisan adalah Ostrinia

nubilalis (Lepidoptera: Pyralidae); Thrips sp. (Thysanoptera: Thripidae);

Liriomyza trifolii (Diptera: Agromyzidae); Aphis gossypii (Homoptera:

Aphididae) (Elzingga, 1978; Pirone, 1978; Blackman & Eastop, 1984). Pirone

(1978) melaporkan bahwa selain A. gossypii¸ tanaman krisan juga dapat diserang

oleh kutudaun yang lain seperti Macrosiphoniella sanborni dan Myzus persicae.

Penyakit-penyakit utama tanaman krisan adalah penyakit bercak daun

septoria (Septoria chrysanthemi dan S. leucanthemi), karat hitam (Puccinia

chrysanthemi), karat putih (P. horiana), tepung oidium (Oidium chrysanthemi),

kapang kelabu (Botrytis cenerea), dan layu cendawan (Fusarium oxysporum dan

Verticillium alboatrum (Pirone, 1978; Semangun, 1991).

Beberapa virus dilaporkan menginfeksi tanaman krisan, yang terpenting

antara lain Tomato aspermy cucumovirus (TAV) dan Cucumber mosaic

cucumovirus (CMV); Chrysanthemum B carlavirus (CVB); dan Tomato spotted

wilt tospovirus (TSWV) (Bouween & Zaayen, 1995). Beberapa virus lainnya yang

dapat menginfeksi krisan adalah Turnip mosaic potyvirus (TuMV) (Chen et al.

2000), Tobacco mosaic tobamovirus (TMV), Potato Y potyvirus (PVY), dan

Potato X potexvirus (PVX) (Navalinskiene & Samuitiene, 1996).

Selain dari jenis cendawan dan virus, krisan juga terinfeksi oleh viroid.

Ada dua jenis viroid yang menginfeksi tanaman krisan yaitu Chrysanthemum

stunt viroid (CSVd) dan Chrysanthemum chlorotic mottle viroid (CChMVd)

(42)

Chrysanthemum B Carlavirus (CVB)

Kisaran Inangdan Gejala Infeksi

CVB atau nama lainnya adalah Chrysanthemum mild mosaic virus,

Chrysanthemum virus B, Chrysanthemum Q virus, Chrysanthemum dwarf mottle,

Chrysanthemum necrotic mottle, Gynura latent virus, dan Chrysanthemum vein

mottle virus adalah virus dari genus carlavirus (Hollings & Stone, 1972; Hakkart

& Maat, 1974).

CVB mempunyai kisaran inang yang sempit, menginfeksi tanaman krisan

dan sekitar 10 spesies pada 5 famili dikotiledon (Hollings, 1957). Pada penelitian

Verma et al. (2003), dari 22 spesies tanaman yang diinokulasi untuk uji kisaran

inang, hanya 5 spesies yang terinfeksi, yaitu N. clevelandii, N. glutinosa, N.

rustika, Petunia hybrida dan Vicia faba. Sedangkan penelitian Suastika et al.

(1997) menemukan bahwa CVB mampu menginfeksi tanaman Gymnaster

savateri, N. clevelandii, N. occidentalis, P. hybrida, Helichrysum bracteatum,

Zinnia elegans, C. amaranticolor, C. quinoa, Sesamum indicum dan Tetragonia

expansa. Sedangkan 13 spesies tanaman lainnya dari 7 famili yang diuji, tidak

terinfeksi.

Hollings (1957) melaporkan bahwa beberapa spesies tanaman yang sesuai

untuk penyebaran CVB antara lain Aster amellus, Chrysanthemum carinatum,

C. morifolium, N. clevelandii, N. glutinosa, N. rustika, N. affinis. Sedangkan yang

bukan inang CVB antara lain Datura stramonium, C. amaranticolor, C. quinoa,

Gomphrena globosa, Capsicum annuum, Cucumis sativus, Licopersicon

esculentum.

Walaupun memiliki inang yang terbatas, tetapi CVB dilaporkan tersebar

pada pertanaman krisan di seluruh dunia. Infeksi virus ini pada tanaman krisan

menyebabkan perubahan fisiologi tanaman, yang berakibat gejala belang daun

atau pemucatan tulang daun yang sangat ringan pada beberapa kultivar. Namun

demikian sering kultivar yang terinfeksi virus ini tidak menunjukkan gejala

(symptomless) (Hollings & Stone, 1972). Beberapa varietas terinfeksi

Gambar

Gambar 2. Skema organisasi genom CVB (Sumber : Ohkawa et al. 2007). RNA  memiliki 6 ORF dengan poly A pada ujung 3’
Gambar 2. Skema organisasi genom CVB (Sumber : Ohkawa et al. 2007). RNA  memiliki 6 ORF dengan poly A pada ujung 3’
Gambar 3. Kondisi pertanaman krisan saat pengambilan sampel di beberapa lokasi.    A: Cibadak, Jawa Barat;  B: Cipanas, Jawa Barat; C: Pancasari, Bali;   D : Baturiti, Bali
Gambar 4. Perbanyakan kutudaun pada tanaman krisan dalam kurungan kedap serangga.
+7

Referensi

Dokumen terkait

c) Terdapat berbagai kendala umum yang muncul dalam rangka pemanfaatan laut wilayah nusantara untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, terkait dengan fungsi dan

[r]

Kemampuan yang diharapkan dari mahasiswa setelah perkuliahan ini ialah bahwa mahasiswa dapat memahami konsep normalitas dan abnormalitas dalam proses perkembangan,

• Diharapkan rencana kampanye mengenai pola asuh dan komunikasi antara orang tua dan anak dapat direalisasikan agar kesadaran orang tua untuk menjadi orang tua yang. lebih

prokrastinasi akademik di SMAN 1 Gunung Tuleh Pasaman Barat. Tujuan penelitian untuk mendeskripsikan: 1) Prokrastinasi akademik dilihat dari penundaan tugas akademik,

contoh kepada siswa untuk berperilaku jujur, guru Aqidah Akhlaq bersikap2. sabar saat siswa datang terlambat agar siswa jujur

Selain itu kita tidak perlu lagi untuk membuka buku fiqih setiap kali ada yang ingin menghitung zakat karena aturan-aturan yang mengatur tentang zakat telah disimpan didalam

The PPy-DS modified-Au electrode can be electrochemically prepared by cyclic voltammetry technique in the aqueous solution contains pyrrole, HDS dopant, and KNO 3