• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keberdayaan keluarga miskin di perkotaan dalam meningkatkan kesejahteraannya (kasus di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Keberdayaan keluarga miskin di perkotaan dalam meningkatkan kesejahteraannya (kasus di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi)"

Copied!
251
0
0

Teks penuh

(1)

AGUS SJAFARI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010

(2)

ii

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul: “Keberdayaan Keluarga Miskin di Perkotaan dalam Meningkatkan Kesejahteraannya (Kasus di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi)”, karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi di mana pun.

Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Agustus 2010

Agus Sjafari NRP: P061050101

(3)

iii

Development activity of urban areas growth together with the development in the region, increasingly become an attraction for local people to do tremendeous urbanization. The process of urbanization in the regional community without the knowledge and skill levels are adequate, would plunge them into a marginal life. This situation with the level of living is very high competition, most of whom live in poverty. Most of them live in the flood plain of times, under bridges, on the outskirts of railroad tracks and in other slum areas. These communities were classified, and categorized as poor. In most poor families who originated from conditions are also poor. This research aims are: (1) Describe and analyze the state of empowerment in North Jakarta and Bekasi, (2) Describe and analyze the influence of group characteristics and empowerment interventions to empower

poor families in North Jakarta and Bekasi in improving family welfare, (3) Describe and analyze the influence of individual characteristics, family

(4)

iv

Pembangunan wilayah perkotaan yang begitu pesat dibandingkan dengan pembangunan di daerah, semakin menjadi daya tarik masyarakat daerah untuk melakukan urbanisasi besar-besaran. Proses urbanisasi masyarakat daerah tanpa dibekali dengan tingkat pengetahuan dan keterampilan yang memadai, berpotensi menjerumuskan mereka kepada kehidupan yang marginal. Melalui tingkat persaingan hidup yang sangat tinggi di perkotaan, menyebabkan sebagian dari mayarakat tersebut hidup dalam garis kemiskinan. Sebagian dari keluarga miskin di perkotaan tinggal di bantaran kali, di bawah jembatan, di pinggiran rel kereta api serta di daerah-daerah kumuh lainnya. Masyarakat-masyarakat tersebut digolongkan dan dikategorikan sebagai keluarga miskin miskin di perkotaan. Pada sebagian masyarakat perkotaan yang tergolong miskin tersebut berawal dari kondisi keluarga yang tidak memiliki keberdayaan di dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Menjelaskan dan Menganalisis keberdayaan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi dalam meningkatkan kesejahteraan keluarganya; (2) Menjelaskan dan menganalisis pengaruh karakteristik kelompok dan intervensi pemberdayaan terhadap keberdayaan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi dalam meningkatkan kesejahteraan keluarganya; (3) Menjelaskan dan menganalisis pengaruh karakteristik individu, sumber daya keluarga, lingkungan sosial, dan intervensi pemberdayaan terhadap keberdayaan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi; (4) Menjelaskan dan menganalisis pengaruh keberdayaan keluarga terhadap tingkat kesejahteraan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi; dan (5) Merumuskan strategi pemberdayaan keluarga miskin dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi.

Penelitian dilaksanakan di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi, khususnya di kecamatan yang masyarakatnya terdapat kelompok keluarga miskin. Penelitian ini menggunakan kombinasi jenis penelitian eksplanatori-korelasional dan penelitian partisipatori. Penentuan sampel penelitian ini menggunakan penarikan sampel secara berkelompok atau Cluster Random Sampling sebanyak 306 orang. Dalam penelitian ini tehnik analisis data yang digunakan adalah path analysis (analisis jalur).

(5)

v

Tingkat kesejahteraan keluarga miskin di perkotaan ditandai dengan kemampuan mengelola keuangan keluarga (rataan 16), tingkat pendapatan keluarga (rataan 18), pemenuhan kebutuhan sekunder (rataan 26), pemenuhan kebutuhan tertier (rataan 27), pemenuhan kebutuhan dasar (rataan 28) termasuk dalam kategori rendah. Namun kesinambungan usaha keluarga miskin di perkotaan termasuk dalam kategori sedang dengan rataan sebesar 67.

Hasil perhitungan koeefisien regresi antara peubah kerakteristik individu terhadap keberdayaan keluarga menunjukkan hanya indikator pendidikan formal yang berpengaruh meningkatkan keberdayaan keluarga sebesar 0,12, sedangkan indikator lainnya seperti pendidikan non formal (0,02), usia (0,01), dan jumlah tanggungan keluarga (0,08) tidak berkontribusi dalam meningkatkan keberdayaan keluarga miskin di perkotaan.

Karakteristik kelompok menunjukkan pengaruh terhadap keberdayaan keluarga dengan nilai koefisien regresi sebesar 0,13. Artinya, semakin tinggi aktivitas yang ada pada kelompok memberikan kontribusi dalam meningkatkan keberdayaan keluarga miskin di perkotaan. Pada sisi lain intervensi pemberdayaan menunjukkan pengaruh terhadap keberdayaan keluarga miskin yaitu sebesar 0,14. Hal ini berarti bahwa semakin intensif aktivitas intervensi pemberdayaan terhadap keluarga miskin semakin meningkatkan keberdayaan keluarga miskin tersebut di perkotaan. Sumber daya keluarga (X3) menunjukkan pengaruh terhadap keberdayaan keluarga (Y1) yaitu sebesar 0,32. Hal ini berarti bahwa semakin besar sumber daya keluarga semakin besar pula keberdayaan keluarga di perkotaan.

Lingkungan sosial (X4) menunjukkan pengaruh terhadap keberdayaan keluarga (Y1) di perkotaan yaitu sebesar 0,15. Artinya bahwa semakin kondusif lingkungan sosial yang ada di sekitar keluarga miskin semakin pula keberdayaan keluarga miskin. Di kedua wilayah perkotaan tersebut (Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi), Keberdayaan keluarga (Y1) menunjukkan pengaruh terhadap tingkat kesejahteraan keluarga (Y2) yaitu sebesar 0,47; artinya, semakin besar keberdayaan keluarga miskin maka akan semakin meningkatkan kesejahteraan keluarga miskin.

(6)

vi

Utara dan Kota Bekasi tersebut juga dipengaruhi oleh lemahnya karakteristik individu, kurang kondusifnya lingkungan sosial, serta rendahnya sumber daya keluarga. Rendahnya karakteristik individu ditandai dengan kondisi antara lain: rendahnya tingkat pendidikan formal dan tingkat pendidikan non formal; Rata-rata usia responden sebanyak 65 persen berada pada usian 36 – 50 tahun; Jumlah tanggungan keluarga sebanyak 80 persen memiliki jumlah tanggungan sebanyak 3 – 6 orang. Kurang kondusifnya lingkungan sosial ditandai dengan kondisi antara lain: ketersediaan sumber daya ekonomi, peran media massa, peluang kemitraan, dukungan jaringan usaha dan pengaruh kultural dalam kategori rendah, sedangkan ketersediaan sumber daya sosial dan dampak negatif kebijakan dalam kategori sedang. Rendahnya sumber daya keluarga ditandai dengan rendahnya sumber daya fisik dan sumber daya non fisik keluarga.

(4) Rendahnya keberdayaan keluarga miskin di perkotaan mengakibatkan rendahnya tingkat kesejahteraan keluarga miskin. Rendahnya keberdayaan keluarga miskin ditandai dengan kondisi antara lain: tingkat adaptasi, tingkat pencapaian tujuan, dan tingkat latensi dalam kategori rendah, sedangkan tingkat integrasi pada kategori sedang. Rendahnya tingkat kesejahteraan keluarga miskin di perkotaan ditandai dengan rendahnya kemampuan mengelola keuangan keluarga, tingkat pendapatan keluarga, pemenuhan kebutuhan sekunder, pemenuhan kebutuhan tertier, pemenuhan kebutuhan dasar, sedangkan kesinambungan usaha dalam kategori sedang.

(7)

vii

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2010

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

Mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk Kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan Laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan Tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(8)

viii

MOTTO:

AL QUR AN SURAT 13 (AR RA’D) AYAT 11: ”sesungguhnya

Allah SWT akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka

merubah keadaan diri mereka sendiri.”

“ sebaik-baiknya manusia diantaramu adalah manusia yang

paling banyak memberikan manfaat kepada manusia yang lain.”

(HADIST RIWAYAT BUKHORI)

(9)

ix

AGUS SJAFARI

DISERTASI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)

x

NRP : P061050101

Program Studi : Ilmu Penyuluhan Pembangunan (PPN)

Disetujui Komisi Pembimbing

Ketua

Prof. Dr. Ir. H. Sumardjo, MS

Prof. Dr. Ir. H. Pang S. Asngari

Anggota Komisi Anggota Komisi

Prof. Dr.Ir. H. Darwis S. Gani, MA.

Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Penyuluhan Pembangunan

Dr.Ir.Hj.Siti Amanah,M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro,MS.

(11)

xi

disertasi ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang telah direncanakan. Berkat bimbingan dan arahan dari komisi pembimbing antara lain: Prof.Dr.Ir. Sumardjo, MS., Prof.Dr.Ir.H. Pang S. Asngari, serta Prof.Dr.Ir.H. Darwis S. Gani, MA, dengan tulus, sabar dan perhatian yang tiada terhingga dalam membimbing, sejak penyusunan rencana penelitian sampai dengan penyelesaian naskah disertasi ini, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga dan semoga semua kebaikan dan keikhlasan semua pembimbing menjadi amal baik, bernilai ibadah dan Allah SWT membalas dengan syurgaNya Amin. Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan pula kepada yang terhormat Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro,MS sebagai Dekan Sekolah Pascasarjana yang telah memberi kesempatan menempuh studi di IPB. Terimakasih dan hormat penulis yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS selaku Ketua Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia, dan Dr.Ir.Hj. Siti Amanah, M.Sc selaku Ketua Program Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan beserta staf yang telah banyak memberikan pelayanan administrasi akademik dan kemahasiswaan. Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada seluruh dosen di Program Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan yang telah membantu dan memberi kontribusi ilmu pengetahuan selama penulis menempuh pendidikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih banyak kepada Prof. Gindo S. Sitorus, MM., Prof. Dr. Soebagyo MPA, dan Dr. Sri Widji Mulyono, M.Sc. yang telah memberi rekomendasi kepada penulis untuk dapat belajar di Sekolah Pascasarjana IPB. Penulis juga menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Asnawi Syarbini, MPA yang juga memberikan rekomendasi kepada penulis untuk mendapatkan beasiswa (on going) dari Dikti sehingga sangat membantu menyelesaikan studi ini.

(12)

xii

terhingga yang telah menyiramkan doa kepada penulis sehingga penulis tetap tegar dan penuh keiklasan dalam menyelesaikan studi. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besar kepada kakanda tercinta Ir. Farid Poniman, M.Si yang penulis anggap sebagai orang tua yang telah memberikan semangat, motivasi, dan dukungan moral dalam penyelesaian studi ini.

Terima kasih yang sangat khusus kepada isteri tercinta Esti Rahayu, SH, serta anak-anak penulis tercinta: Zaidan Syawal Akbar dan Nisrina Nur Arifa yang selalu menjadi pendorong yang tak terhingga, dan menjadi sumber inspirasi keberhasilan penulis untuk menyelesaikan studi ini. Ayah hanya bisa sampaikan, “ terima kasih yang tak terhingga atas doa dan dorongan kalian, tanpa kalian ayah tidak akan berhasil.”

Terimakasih juga penulis sampaikan kepada seluruh kawan-kawan seperjuangan di Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan khususnya angkatan 2005, terutama Dr. M. Nur Sangadji, Dr. Suwignya Utama, dan Dr. Sumaryo, yang selalu memberikan semangat serta memberi kontribusi, teman diskusi sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini.

Akhirnya, dengan kerendahan hati dan keterbatasan penulis sampaikan pihak-pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Segala saran dan kritik yang konstruktif sangat diharapkan untuk menyempurnakan naskah disertasi ini. Semoga Allah SWT selalu memberikan rakhmat, dan HidayahNya kepada kita semua. Amin Ya Robbal Alamin..

Bogor, Agustus 2010

(13)

xiii

Penulis menikah dengan Esti Rahayu pada tahun 1996 dan dikarunia dua orang anak yaitu Zaidan Syawal Akbar (siswa SMP) dan Nisrina Nur Arifa (siswa SD).

Setelah menyelesaikan studi dari SMA Negeri 2 Pamekasan tahun 1989, penulis melanjutkan menempuh Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto lulus tahun 1995. Penulis melanjutkan menempuh Program Ilmu Administrasi di Program Pascasarjana Universitas Padjajaran Bandung dan lulus tahun 2001. Saat ini penulis menempuh Program Ilmu Penyuluhan Pembangunan (PPN) di IPB Bogor dengan Beasiswa BPPS Dikti mulai September 2005.

Penulis bekerja sebagai Staf Pengajar di Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Serang Banten sejak tahun 2005 sampai dengan sekarang. Penulis juga mengajar di Fakultas Ilmu Administrasi Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta serta beberapa Universitas swasta di Jakarta. Beberapa tahun terakhir penulis aktif menyumbangkan pikiran-pikiran sebagai kolomnis di beberapa surat kabar lokal Banten, beberapa Harian Ibukota Jakarta, serta beberapa surat kabar nasional. Beberapa penelitian yang pernah penulis lakukan antara lain penelitian Program Stranas Dikti tahun 2009 dengan judul “Pemberdayaan Keluarga Miskin Melalui Implementasi Program Pembangunan Masyarakat di Kota Serang Banten.” Pada tahun 2009, peneliti terlibat dalam penelitian Hibah Bersaing Dikti dengan judul: “Pemberdayaan Keluarga Miskin Melalui Program Bimbingan Usaha Kesejahteraan Sosial di Kota Serang Banten.

(14)

xiv

ABSTRACT………... iii

RINGKASAN………. iv

DAFTAR ISI……….. xiv

DAFTAR TABEL……….. xvii

DAFTAR GAMBAR………. xx

PENDAHULUAN……… 1

Latar Belakang………. 1

Masalah Penelitian ………. 4

Tujuan Penelitian……….. 7

Manfaat Penelitian……… 8

Novelty……….. 8

TINJAUAN PUSTAKA……… 9

Kemiskinan……… 9

Ukuran Kemiskinan……….. 12

Dimensi Kemiskinan………. 15

Kemiskinan di Perkotaan………. 17

Konsep Pemberdayaan ……….. 18

Konsep Kelompok………. 21

Pendekatan Kelompok……….. 25

Dinamika Kelompok………... 28

Konsep dan Unsur Dinamika Kelompok……… 30

Komunikasi antar Kelompok……… 33

Hubungan Penyuluhan dengan Kemiskinan……… 33

Konsep Keluarga……… 35

(15)

xv

Konsep Kesejahteraan Keluarga………. 45

Konsep Kepemimpinan……… 49

Konsep Motivasi………. 51

Karakteristik Individu………. 52

Usia………. 52

Pendidikan Formal………. 53

Pendidikan Non Formal………. 53

Konsep Strategi……….. 54

Strategi Program Penanggulangan Kemiskinan……… 55

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS ………. 57

Kerangka Berpikir……….. 57

Hipotesis ……… 64

METODE PENELITIAN………. 65

Desain Penelitian……….. 65

Populasi dan Sampel……… 65

Data dan Instrumentasi……… 68

Analisis Data……….. 71

Definisi Operasional dan Pengukuran Peubah Penelitian………. 72

HASIL DAN PEMBAHASAN……… 81

Lokasi Penelitian……….. 81

Karakteristik Individu……… 83

Karakteristik Kelompok……….. 90

Sumber Daya Keluarga………. 98

Lingkungan Sosial……… 103

(16)

xvi

Pengaruh Karakteristik Kelompok dan Intervensi pemberdayaan

Terhadap Keberdayaan Keluarga………. 150

Pengaruh Karakteristik Individu, Sumber Daya Keluarga, dan Pengaruh Lingkungan Sosial Terhadap Keberdayaan Keluarga……….. 168

Pengaruh Keberdayaan Keluarga Terhadap Tingkat Kesejahteraan Keluarga……… 173

Pengaruh Langsung dan Tidak Langsung Peubah Bebas Terhadap Keberdayaan Keluarga………. 175

Peran Penyuluhan dalam Pemberdayaan Keluarga miskin di Perkotaan………. 185

Strategi Program Penanggulangan Kemiskinan Keluarga Miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi……. ……… 188

KESIMPULAN DAN SARAN……… 202

Kesimpulan………. 202

Saran……….. 203

DAFTAR PUSTAKA……… 205

(17)

xvii

2. Paradigma Karakteristik Kelompok……… 60

3. Paradigma Keberdayaan Keluarga……… 62

4. Paradigma Intervensi Pemberdayaan……… 63

5. Paradigma Sumber Daya Keluarga……… 64

6. Matrik Kerangka Sampel Penelitian……… 67

7. Indikator dan Parameter Karakteristik Individu………. 72

8. Indikator dan Parameter Karakteristik Kelompok………. 73

9. Indikator dan Parameter Sumber Daya Keluarga……… 74

10. Indikator dan Parameter Lingkungan Sosial……….. 76

11. Indikator dan Parameter Intervensi Pemberdayaan………. 78

12. Indikator dan Parameter Indikator dan Parameter Keberdayaan Keluarga………. 79

13. Indikator dan Parameter Tingkat Kesejahteraan Keluarga……….. 80

14. Tingkat Pendidikan Formal Responden ...……….. 83

15. Tingkat Pendidikan Non Formal Responden ……..……….. 86

16. Usia Responden ……….……… ………. 88

17. Jumlah Tanggungan Keluarga Responden ……….…….……… 89

18. Kepemimpinan Kelompok ……….……….. 91

19. Kedinamisan Kelompok …………..………..…… 93

20. Intensitas Komunikasi Kelompok ………….……….. 95

21. Tipologi Kelompok……….. 98

22. Sumber Daya Fisik Keluarga……… 99

23. Sumber Daya Non Fisik Keluarga…………..………. 100

24. Persepsi Respondenterhadap Dampak Negatif Kebijakan Pemerintah .. 103

(18)

xviii

29. Persepsi Responden mengenai Peluang Kemitraan ……….. 116

30. Sebaran Persepsi Responden mengenai Pengaruh Kultural ……… 118

31. Proses Pemberdayaan Keluarga..………..……... 120

32. Tingkat Kewenangan Pemberdayaan ………..….……….. 123

33. Dukungan Fasilitasi ………..……… 125

34. Tingkat Adaptasi Keluarga ………..……….… 128

35. Kepemilikan Aset Keluarga……… 131

36. Tingkat Pencapaian Tujuan Keluarga…………..………... 132

37. Tingkat Integrasi Keluarga..……… ……….. 135

38. Tingkat Latensi keluarga………..……….. 136

39. Tingkat Pendapatan Keluarga ………..………. 138

40. Pemenuhan Kebutuhan Dasar ………..……… 139

41. Pemenuhan Kebutuhan Sekunder Keluarga…………..……….. 141

42. Pemenuhan Kebutuhan Tertier Keluarga……….……….. 143

43. Kesinambungan Usaha Keluarga ……….. 145

44. Pengelolaan Keuangan Keluarga………..………..……… 146

45. Rataan Peubah Penelitian……….……….. 147

46. Nilai Koefisien Regresi antara Karakteristik kelompok (X2) dan Intervensi Pemberdayaan (X5) terhadap Keberdayaan Keluarga (Y1)…. 149 47. Hubungan Peubah X dengan Peubah Y1 (Keberdayaan Keluarga)……… 161

48. Hubungan Peubah Y1 dengan Peubah Y2………. 162

49. Pengaruh Karakteristik Individu (X1) terhadap Keberdayaan Keluarga (Y1)……..……… 163

(19)

xix

Terhadap Keberdayaan Keluarga (Y1) Berdasarkan Analisis Jalur……… 177

53.Nilai pengaruh Langsung dan Tidak Langsung Terhadap Keberdayaan Keluarga (Y1) Berdasarkan Analisis Jalur ……….. 177

54. Perencanaan Program Pemberdayaan Keluarga Miskin..…………... 196

55. Implementasi Pemberdayaan Kelusrga…..………. 198

(20)

xx

2. Kerangka Berpikir penelitian………. 58 3. Keterkaitan Antar Peubah yang berpengaruh terhadap

Keberdayaan Keluarga Miskin dalam Meningkatkan

Kesejahteraannya……… 59 4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberdayaan Keluarga……….. 176 5. Implementasi Pogram Pemberdayaan Berbasis Pengembangan

(21)

xxi

1. Perincian Kerangka Sampling……… 212 2. Perhitungan Koefisien Regresi……… 213 3. Perhitungan Koefisien Regresi Pengaruh X1,X2,X3,X4, dan X5

(22)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pembangunan di suatu wilayah merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa terhindarkan. Setiap wilayah berkeinginan agar di wilayahnya terjadi pembangunan yang dapat dinikmati oleh masyarakat di wilayah tersebut. Artinya, bahwa pembangunan yang perlu dilakukan oleh pemerintah tidak hanya pembangunan fisik saja, melainkan pembangunan yang mengarah kepada pembangunan masyarakat (community development). Setiap kegiatan pembangunan masyarakat berkaitan dengan proses pemberdayaan masyarakat yang mampu memanfaatkan hasil pembangunan itu sendiri.

Kondisi tersebut ternyata sangat kontradiktif dengan kegiatan pembangunan di kota. Kondisi di kota selalu dituntut untuk mampu melakukan pembangunan, dengan maksud untuk melengkapi sarana dan prasarana kota tersebut yang memadai. Tuntutan pembangunan fisik serta penataan wilayah yang modern dan megah mengakibatkan termarginalisasikannya sekelompok masyarakat, khususnya masyarakat yang tidak memiliki tingkat pengetahuan dan keterampilan yang mamadai.

Melihat pembangunan wilayah perkotaan yang begitu pesat dibandingkan dengan pembangunan di daerah, semakin menjadi daya tarik masyarakat daerah untuk melakukan urbanisasi besar-besaran. Proses urbanisasi masyarakat daerah tanpa diiringi dengan tingkat pengetahuan dan keterampilan yang memadai, akan menjerumuskan mereka kepada kehidupan yang marginal. Adanya tingkat persaingan hidup yang sangat tinggi, terdapat sekelompok masyarakat yang hidup dalam garis kemiskinan. Masyarakat yang termasuk dalam kondisi miskin tersebut sebagian tinggal di bantaran kali, di bawah jembatan, di pinggiran rel kereta api, sedang masyarakat miskin lainnya tinggal di dalam wilayah kota yang tergolong kumuh. Masyarakat-masyarakat tersebut digolongkan dan dikategorikan sebagai masyarakat miskin. Pada sebagian besar masyarakat miskin berawal dari kondisi keluarga yang juga miskin.

(23)

untuk mengembangkan diri dan sebagainya. Faktor internal inilah yang sebenarnya merupakan faktor yang perlu mendapatkan perhatian yang besar di dalam mengubah kondisi masyarakat miskin tersebut menjadi lebih baik.

Pola kehidupan keluarga miskin di perkotaan ternyata sangat kompleks, dihadapkan kepada tekanan hidup yang sangat keras dan khas. Dikatakan sangat keras dikarenakan sebagian keluarga pada masyarakat tersebut dihimpit oleh kebutuhan hidup dengan tingkat pendapatan yang sangat rendah dan tidak memadai. Tingkat penghasilan yang mereka dapatkan sangat jauh untuk dapat memenuhi beban hidup tinggal di Jakarta yang sangat berat.

Dikategorikan sangat khas, dikarenakan kualitas hidup keluarga miskin di perkotaan terbelit oleh persoalan kemiskinan, keterbelakangan, dan kesulitan mengakses berbagai layanan publik. Dengan demikian kualitas hidup sebagian besar keluarga tersebut sangatlah memprihatinkan. Dengan lingkungan keluarga dan lingkungan di sekitar keluarga yang sangat kumuh sangatlah tidak menjamin adanya kesehatan serta keterpenuhan hidup yang layak bagi keluarga pada masyarakat tersebut.

Hasil survei pendahuluan yang dilakukan peneliti, khususnya di DKI Jakarta dan Bekasi menunjukkan bahwa nilai pendapatan keluarga perbulan rata-rata kurang lebih Rp.400 ribu hingga Rp. 750 ribu. Hal ini kalau dibandingkan dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) saat ini mencapai Rp.960 ribu. Hal tersebut sangatlah jauh dari cukup. Problem kecilnya pendapatan mereka salah satunya adalah bahwa sebagian dari mereka belum memiliki pekerjaan yang tetap yang mampu memberikan kontribusi kepada fixed income (pendapatan tetap) dalam keluarga. Melihat kondisi tersebut, maka sangatlah perlu untuk nengetahui lebih jauh faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap rendahnya kesejahteraan penduduk pada keluarga miskin tersebut.

(24)

Untuk wilayah Bekasi, data kemiskinan dilihat dari kemiskinan menunjukkan cukup tinggi dengan perincian: Kota Bekasi sebesar 42.878 KK dan Kabupaten Bekasi sebesar 170.507 KK (Rosmananda, 2007).

Berdasarkan data BPS DKI Jakarta pada tahun 2007 menunjukkan bahwa Kota Jakarta Utara merupakan wilayah yang tingkat kemiskinan penduduk dan keluarga adalah yang tertinggi dibandingkan dengan wilayah di Kota Jakarta lainnya. Pada tingkatan penduduk, jumlah penduduk miskin adalah sebesar 116.499 (34.499%). Pada tingkatan keluarga, jumlah keluarga miskin di Kota Jakarta Utara mencapai 37,886 (37.26 %) dari 101.674. keluarga.

Dari 2.001.899 orang total penduduk Kota Bekasi, 7,59 % atau sekitar 152.084 jiwa, hidup di bawah garis kemiskinan. Standar kemiskinan tersebut dilihat dari kemampuan belanja kebutuhan hidup yang kurang dari Rp163.385 per bulan, sedang untuk wilayah Kota Bekasi jumlah warga miskin meningkat dari 31.727 KK menjadi 38.109 KK pada tahun 2009. Data menurut Badan Pusat Statisk (BPS,2007) Kota Bekasi tersebut menyebutkan adanya peningkatan mencapai 7.500 KK.

Kondisi kemiskinan pada keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi tersebut tidak terlepas dari faktor fisik dan faktor non fisik di perkotaan tersebut misalnya panataan kota dan struktur sosial masyarakat. Adanya penataan kota yang kurang menguntungkan tersebut, semakin membuka potensi bagi masyarakat yang tidak mampu untuk tinggal di tempat-tempat kumuh. Bagi sebagian masyarakat Jakarta yang tidak mampu secara ekonomi untuk dapat bersaing dengan masyarakat lainnya, mereka akhirnya memilih lokasi-lokasi yang tergolong marginal tersebut, antara lain: di kolong jembatan, di pinggiran-pinggiran kali, di sekitar rel kereta api, di sekitar terminal dan sebagainya di wilayah Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi.

(25)

Masalah Penelitian

Keluarga miskin pada dasarnya terdiri dari keluarga yang tingkat pendapatan dan penghasilan ekonominya adalah relatif rendah. Berdasarkan indikator yang digunakan oleh BPS (2008), rendahnya tingkat penghasilan dan pendapatan ekonomi keluarga atau yang disebut dengan keluarga miskin tersebut dapat dilihat dari beberapa indikator: (1) Rumah yang tidak permanen, (2) Sempitnya luas tanah yang ditempati, (3) kualitas kesehatan yang sangat buruk, (4) lingkungan keluarga yang tidak sehat, (5) kualitas makanan/kalori yang

dikonsumsi tidak memadai dari sisi kesehatan, (6) Fasilitas air minum; (7) Fasilitas jamban/WC, (8) Aset keluarga, dan (9) Status tanah tempat tinggal.

Rendahnya pendapatan dan penghasilan ekonomi keluarga tersebut dikarenakan oleh masih rendahnya atau belum memiliki keberdayaan keluarga serta belum berkembangnya pola perilaku mencari nafkah kepala keluarga miskin tersebut. Rendahnya keberdayaan keluarga serta belum berkembangnya pola perilaku mencari nafkah kepala keluarga tersebut ditandai oleh: (1) tingkat pengetahuan yang rendah dikarenakan tingkat pendidikannya yang rendah, (2) Sikap mental masyarakatnya yang masih tradisional tanpa disertai oleh keinginan untuk maju dan berkembang, dan (3) Keterampilan yang tidak mamadai untuk dapat bersaing hidup di kota.

Kehidupan keluarga miskin, khususnya di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi di atas, mengakibatkan kehidupannya yang terasing baik secara sosial, ekonomi maupun politik. Secara sosial mereka tetap teridentifikasi sebagai masyarakat marginal (terpinggirkan) dan tidak memiliki modal sosial yang memadai untuk dapat bersaing dengan masyarakat lainnya yang memiliki modal sosial dan modal ekonomi yang besar di kota.

(26)

sangat kekurangan. Dengan demikian guna membangun kesejahteraan keluarga miskin kota tersebut, sangatlah perlu ditunjang oleh proses pemberdayaan yang intensif bagi anggota keluarga miskin tersebut.

Secara teoritis proses pemberdayaan bagi keluarga miskin secara umum sangat bergantung pada dua hal yaitu (1) kekuatan yang ada pada internal (anggota keluarga itu sendiri), dan (2) perlunya intervensi dari kekuatan ekternal yaitu kekuatan yang ada di luar dirinya tersebut. Kekuatan yang ada pada dirinya menyangkut segala potensi yang dimiliki oleh anggota keluarga tersebut misalnya tingkat motivasi, keterampilan, kebutuhan, pengetahuan, sikap mental, dan sebagainya. Kekuatan yang berasal dari luar dirinya terkait dengan adanya bantuan atau stimulus yang mendorong mereka untuk lebih berdaya antara lain bantuan uang, bantuan alat, sarana dan prasarana, kemampuan beradaptasi, kemampuan berorganisasi dan sebagainya.

Pola pemberdayaan yang selama ini dilakukan, baik oleh pihak pemerintah, pihak swasta ataupun oleh pihak-pihak lainnya lebih menekankan dan menitikberatkan kepada program charity (sumbangan, bantuan dan amal) atau lebih kepada program how to give something seperti halnya Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) oleh pemerintah, bantuan sarana dan prasarana, bantuan lahan dan perumahan. Di sisi lain masih jarang sekali program pemberdayaan keluarga miskin tersebut yang berwujud how to empowering keluarga miskin tersebut agar terbebas dari ketidakberdayaannya.

Pola-pola pemberdayaan dalam bentuk charity tersebut sangatlah memungkinkan untuk menuai kegagalan, dikarenakan akan menciptakan ketergantungan dari kalangan masyarakat miskin terhadap pihak-pihak tertentu. Dalam prakteknya pola tersebut hanya akan membantu keluarga miskin tersebut dalam jangka waktu pendek. Setelah bantuan tersebut habis maka mereka (keluarga miskin) akan kembali menjadi miskin dan tidak berdaya.

(27)

lebih tepatnya melalui kekuatan kelompok usaha bagi anggota keluarga miskin yang berkelanjutan tersebut, keluarga miskin akan memiliki potensi untuk memampukan dirinya sendiri di dalam memecahkan problematika hidup yang selama ini mereka hadapi.

Asumsi yang dibangun adalah melalui pendekatan kelompok yang kuat dan stabil akan lebih menciptakan keberdayaan keluarga miskin, khususnya keluarga miskin yang ada di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi. Melalui pendekatan kelompok inilah, program-program pemberdayaan bagi masyarakat miskin tersebut akan lebih terencana, terprogram dan memiliki tingkat efektivitas yang tinggi. Hal yang terpenting dalam pendekatan kelompok melalui kekuatan kelompok tersebut bahwa dalam melakukan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program pemberdayaan tersebut dilakukan secara mandiri oleh kelompok-kelompok yang dibentuk oleh anggota keluarga tersebut. Kelompok yang dimaksudkan dalam penelitian ini bukanlah kelompok yang dibentuk oleh pihak luar, melainkan kelompok tersebut sudah terbentuk dengan kesadaran dan kebutuhan mereka sendiri. Pihak luar berperan sebagai pendamping yang terus mengarahkan dan mengontrol agar kelompok yang ada tersebut menjadi lebih kuat dan memiliki daya tahan sosial yang tinggi.

Dalam kajian kelompok pada keluarga miskin, khususnya di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi, sangatlah ditentukan oleh adanya kekuatan kelompok tersebut. Di dalam menciptakan kekuatan kelompok tersebut, sangatlah ditentukan oleh aspek-aspek internal kelompok dan organisasional antara lain: kepemimpinan kelompok, dinamika kelompok yang tinggi, komunikasi kelompok yang intensif serta masih banyak lagi faktor lainnya yang menentukan karakteristik kelompok tersebut.

(28)

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :

(1) Seberapa besar keberdayaan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi dalam meningkatkan kesejahteraan keluarganya?

(2) Seberapa jauh karakteristik kelompok dan intervensi pemberdayaan berpengaruh terhadap keberdayaan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi dalam meningkatkan kesejahteraan keluarganya?

(3) Seberapa jauh karakteristik individu, sumber daya keluarga, dan lingkungan sosial, dan intervensi pemberdayaan berpengaruh terhadap keberdayaan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi?

(4) Seberapa jauh keberdayaan keluarga berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi?

(5) Bagaimanakah strategi program pemberdayaan keluarga miskin dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi?

Tujuan Penelitian

(1) Menjelaskan dan menganalisis keberdayaan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi dalam meningkatkan kesejahteraan keluarganya. (2) Menjelaskan dan menganalisis pengaruh karakteristik kelompok dan

intervensi pemberdayaan terhadap keberdayaan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi dalam meningkatkan kesejahteraan keluarganya

(3) Menjelaskan dan menganalisis pengaruh karakteristik individu, sumber daya keluarga, lingkungan sosial, dan intervensi pemberdayaan terhadap keberdayaan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi

(4) Menjelaskan dan menganalisis pengaruh keberdayaan keluarga terhadap tingkat kesejahteraan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi (5) Merumuskan strategi program pemberdayaan keluarga miskin dalam

(29)

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat:

(1) Bagi pemerintah Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sumbangan pemikiran dalam pengambilan kebijakan yang terkait dengan usaha memberdayakan keluarga miskin khususnya dalam meningkatkan kesejahteraan keluarganya.

(2) Bagi peneliti lain, sebagai masukan dan referensi terhadap kajian dan penelitian yang `sejenis.

Novelty

(30)

TINJAUAN PUSTAKA

Kemiskinan

Kemiskinan pada hakekatnya merupakan persoalan klasik yang telah ada sejak umat manusia ada. Kemiskinan merupakan persoalan kompleks dan tampaknya akan terus menjadi persoalan aktual dari masa ke masa. Meskipun sampai saat ini belum ditemukan suatu rumusan maupun formula penanganan kemiskinan yang dianggap paling jitu dan sempurna, penemu-kenalan konsep dan strategi penanganan kemiskinan harus terus menerus diupayakan (Suharto, 1997).

Kemiskinan merupakan masalah sosial laten yang senantiasa hadir di tengah-tengah masyarakat, khususnya di negara-negara berkembang. Kemiskinan senantiasa menarik perhatian berbagai kalangan, baik para akademisi maupun para praktisi. Berbagai teori, konsep dan pendekatan pun terus menerus dikembangkan untuk menyibak tirai dan mungkin “misteri” mengenai kemiskinan ini. Dalam konteks masyarakat Indonesia, masalah kemiskinan juga merupakan masalah sosial yang senantiasa relevan untuk dikaji secara terus menerus. Ini bukan saja karena masalah kemiskinan telah ada sejak lama, melainkan pula karena masalah ini masih hadir di tengah-tengah kita dan bahkan kini gejalanya semakin meningkat sejalan dengan krisis multidimensional yang masih dihadapi oleh bangsa Indonesia. Meskipun pembahasan kemiskinan pernah mengalami tahap kejenuhan sejak pertengahan 1980-an, upaya pengentasan kemiskinan kini semakin mendesak kembali untuk dikaji ulang. Beberapa alasan yang mendasari pendapat ini antara lain adalah:

Pertama, konsep kemiskinan masih didominasi oleh perspektif tunggal, yakni “kemiskinan pendapatan” atau “income-poverty” (Chambers, 1997). Pendekatan ini banyak dikritik oleh para pakar ilmu sosial sebagai pendekatan yang kurang bisa menggambarkan potret kemiskinan secara lengkap. Kemiskinan seakan-akan hanyalah masalah ekonomi yang ditunjukkan oleh rendahnya pendapatan seseorang atau keluarga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

(31)

sukses dalam mengentaskan kemiskinan, ternyata masalah kemiskinan kembali menjadi isu sentral di Tanah Air karena bukan saja jumlahnya yang kembali meningkat, melainkan dimensinya pun semakin kompleks seiring dengan menurunnya kualitas hidup masyarakaat akibat terpaan krisis ekonomi sejak tahun 1997.

Ketiga, kemiskinan mempunyai dampak negatif yang bersifat menyebar

(multiplier effects) terhadap tatanan kemasyarakatan secara menyeluruh. Berbagai peristiwa konflik di Tanah Air yang terjadi sepanjang krisis ekonomi, misalnya, menunjukkan bahwa ternyata persoalan kemiskinan bukanlah semata-mata mempengaruhi ketahanan ekonomi yang ditampilkan oleh rendahnya daya beli masyarakat, melainkan pula mempengaruhi ketahanan sosial masyarakat dan ketahanan nasional (Suharto, 1997).

Sadar bahwa isu kemiskinan merupakan masalah laten yang senantiasa aktual, pengkajian konsep kemiskinan merupakan upaya positif guna menghasilkan pendekatan dan strategi yang tepat dalam menanggulangi masalah krusial yang dihadapi Bangsa Indonesia dewasa ini.

(32)

Faktor Personal

Lewin (Blanchard, et al.1996) mengemukakan bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh interaksi faktor personal dan faktor situasional. Faktor persanal antara lain : motif, kebutuhan yang direfleksikan dalam sikap, kemampuan, sikap, kemampuan, perasaan, kepercayaan, kepribadian, sistem nilai dan kecenderungan untuk bertindak (Barata, 2003; Thoha, 1996). Menurut Hipocrates-Galenus terdapat empat tipologi kepribadian, yaitu : (1) kepribadian sanguinis, (2) kepribadian koleris, (3) kepribadian melankolis, dan (4) kepribadian plegmatis.

Faktor personal juga terkait dengan aspek psikologis (Mashoed, 2004). Menurut teori Freud (Suryabrata, 2001), struktur kepribadian terdiri dari: (1) Das Es (the id), yaitu aspek biologis, terkait dengan alam bawah sadar/tidak sadar (kesadaran magis); (2) Das Ich (the ego), yaitu aspek psikologis, terkait dengan alam prasadar (kesadaran naif); dan (3) Das uber ich (the super ego), yaitu aspek sosiologis, terkait dengan alam sadar (kesadaran kritis). Kesadaran magis dan kesadaran naif terkait dengan perspektif berpikir masyarakat di era pra-modern dan pra-modern, sedangkan perspektif berpikir masyarakat post pra-modern cenderung berada pada kesadaran kritis (Maksum dan Ruhendi, 2004).

Faktor Situasional

Faktor situasional adalah lingkungan yang berhubungan dengan faktor pribadi yang mempengaruhi perilaku antara lain: kondisi sosial, budaya, ekonomi, dan lingkungan alam/tataruang. Menurut Mubyarto (1998), kemiskinan merupakan persoalan situasional. Faktor situasional berasumsi bahwa kemiskinan yang melanda setiap individu/sekelompok masyarakat lebih diakibatkan oleh faktor yang berasal dari luar individu/sekelompok masyarakat tersebut. Dengan kalimat lain, penyebab kemiskinan terkait dengan faktor kultural, struktural, dan alamiah (Kartasasmita, 1996; Bappenas, 2002)

(33)

subyek. “Orang miskin bukan orang yang tidak memiliki apa-apa, melainkan orang yang memiliki sesuatu, walaupun serba seadanya” (Mubyarto: 2001).

Ukuran Kemiskinan

Beragam alternatif ukuran garis kemiskinan yang diajukan H.Esmara (Sajogyo, 1996 : 1) yang hanya menggunakan ukuan “di bawah rata-rata”, yaitu angka: (a) konsumsi beras (kg per orang), (b) konsumsi 9 bahan pokok, (c) pengeluaran rumah tangga (Rp/orang), dan (d) konsumsi kalori dan protein/orang/hari (secara terpisah) dengan membedakan nilai rata-rata menurut Jawa dan lain daerah, dan desa dan kota.

Sajogyo (1996:2-3) merinci garis kemiskinan dengan ciri-ciri: (a) spesifikasi atas tiga garis kemiskinan yang mencakup konsepsi “nilai ambang

kecukupan pangan” (food threshold); dan (b) menghubungkan tingkat pengeluaran rumah tangga dengan ukuran kecukupan pangan (kalori dan protein).

Penjelasan dari ciri-ciri di atas adalah sebagai berikut: garis kemiskinan ciri pertama dinyatakan dalam Rp/bulan, dalam bentuk “ekuivalen nilai tukar beras” (kg/orang/bulan) agar dapat saling dibandingkan nilai tukar antar daerah dan antar-jaman, sesuai dengan harga beras setempat.

Ciri yang kedua, memakai data tingkat pengeluaran rumah tangga dinilai lebih tepat karena: (a) dalam survei data ini dapat lebih tepat dilaporkan dibandingkan dengan angka “penghasilan”; (b) sudah mencakup penghasilan bukan uang, pemakaian tabungan masa lalu, pinjaman, pemberian barang modal yang “dimakan,” mekanisme transfer penghasilan di lingkungan masyarakat tersebut; (c) data dari BPS, mulai banyak tersedia (sampel besar). Dan lebih baik lagi jika mencakup data selama minimal satu tahun penuh.

(34)

Kebutuhan manusia sangat beraneka ragam yang juga berkaitan dengan dimensi-dimensi politis, kebudayaan dan sosial, sehingga setiap upaya menentukan garis batas kemiskinan obyektif seyogyanya juga mengacu pada multidimensionalitas tersebut.

Karena sifat multidimensional tersebut maka kemiskinan tidak hanya berurusan dengan kesejahteraan sosial (social well–being). Untuk mengejar seberapa jauh seseorang memerlukan kesejahteraan materi dapat diukur secara kuantitatif dan obyektif seperti dalam mengukur kemiskinan absolut yaitu ditunjukkan dengan angka rupiah. Namun untuk memahami besar nya kesejahteraan sosial yang harus dipenuhi seseorang ukurannya menjadi sangat relatif dan kualitatif, Menurut Ellis (Nugroho, 1995), dalam butir ini yang dipersoalkan bukan besarnya ukuran kemiskinan tetapi macam dimensi – dimensi yang terkait dalam gejala kemiskinan tersebut antara lain:

Pertama, yang paling jelas bahwa kemiskinan berdimensi ekonomi atau material. Dimensi ini menjelma dalam berbagai kebutuhan dasar manusia yang sifatnya material, yaitu seperti pangan, sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan dan lain-lain. Dimensi ini dapat diukur dalam rupiah meskipun harganya akan selalu berubah-ubah setiap tahunnya tergantung tingkat inflasi itu sendiri.

Kedua, kemiskinan berdimensi sosial budaya. Ukuran kuantitatif kurang dapat digunakan untuk memahami dimensi ini sehingga ukuran sangat bersifat kualitatif. Lapisan yang secara ekonomis miskin akan berbentuk kantong-kantong kebudayaan yang disebut budaya kemiskinan demi kelangsungan hidup. Budaya kemiskinan ini dapat ditunjukkan dengan terlembaganya nilai-nilai seperti apatis, apolitis, fatalistik, ketidakberdayaan dan lain-lain. Untuk itu, serangan terhadap kemiskinan sama artinya pula dengan pengikisan budaya ini. Apabila budaya ini tidak dihilangkan maka kemiskinan ekonomi juga sulit ditanggulangi.

(35)

pengentasan kemiskinan apabila ingin efektif juga harus mengatasi hambatan-hambatan yang sifatnya struktural dan politis.

Dimensi kemiskinan ini pada hakekatnya merupakan gambaran bahwa kemiskinan bukan hanya dalam artian ekonomi, tetapi memperhatikan prioritas, namun bersamaan dengan itu seyogyanya juga mengejar target mengatasi kemiskinan non-ekonomi. Ini sejalan dengan pergeseran strategi pembangunan nasional, bahwa yang dikejar bukan semata-mata pertumbuhan ekonomi tetapi juga pembangunan kualitas manusia seutuhnya (sosial, budaya dan politik).

Pemahaman terhadap inti dari masalah kemiskinan itu dari pandangan kelompok miskin itu sendiri masih kurang. Di kalangan pakar ilmu sosial yang berusaha memahami hakekat kemiskinan dari sudut pandang orang miskin itu sendiri adalah Robert Chambers, seorang ahli pembangunan pedesaan berkebangsaan Inggris.

Sesudah melakukan penelitian di kalangan orang miskin di beberapa Negara Asia Selatan dan Afrika, Chambers menyimpulkan bahwa inti dari masalah kemiskinan terletak pada sesuatu yang disebut sebagai deprivation trap atau jebakan kekurangan (Chambers, 1983). Selanjutnya dikatakan bahwa deprivation trap itu terdiri dari lima ketidakberuntungan yang melilit kehidupan keluarga miskin. Kelima ketidakberuntungan yang melilit kehidupan keluarga miskin itu adalah : (1) Kemiskinan itu sendiri, (2) Kelemahan fisik, (3) Keterasingan, (4) Kerentanan, dan (5) Ketidakberdayaan. Lima ketidakberuntungan itu saling berkait satu sama lain sehingga merupakan deprivation trap ini. Dari lima jenis ketidakberuntungan ini, Chambers menganjurkan agar dua jenis ketidakberuntungan yang dihadapi keluarga miskin diperhatikan, yaitu: (1) Kerentanan, dan (2) Ketidakberdayaan. Hal ini disebabkan dua jenis ketidakberuntungan itu sering menjadi sebab keluarga miskin menjadi lebih miskin.

(36)

Ketidakberdayaan keluarga miskin tercermin dalam kasus yakni elit dari komunitas dengan sengaja memfungsikan diri sebagai jaring yang menjaring bantuan yang sebenarnya diperuntukkan bagi orang miskin. Ketidakberdayaan keluarga miskin juga dimanifestasikan dalam hal seringnya keluarga miskin ditipu oleh orang yang mempunyai kekuasaan baik dalam bidang politik dan ekonomi, dan lemahnya keluarga miskin to bargaining. Ketidakberdayaan keluarga miskin inipun dapat menjadikan keluarga miskin secara cepat menjadi lebih miskin.

Ada satu masalah yang belum dijelaskan oleh Chambers yakni mengapa deprivation trap muncul ?. Adakah faktor eksternal yang menyebabkan timbulnya deprivation trap itu ?. Di sinilah pentingnya penggabungan studi tentang kebijaksanaan pembangunan pemerintah dan peranannya dalam menciptakan deprivation trap di kalangan keluarga miskin.

Dimensi Kemiskinan

Kemiskinan adalah ketidakmampuan individu dalam memenuhi kebutuhan dasar minimal untuk hidup layak (BPS dan Depsos, 2002 : 3). Kemiskinan merupakan sebuah kondisi yang berada di bawah garis nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non makanan, yang disebut garis kemiskinan (poverty line) atau batas kemiskinan (poverty threshold). Garis kemiskinan adalah sejumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk dapat membayar kebutuhan makanan setara 2100 kilo kalori per orang per hari dan kebutuhan non-makanan yang terdiri dari perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan, transportasi, serta aneka barang dan jasa lainnya (BPS dan Depsos, 2002:4).

Kemiskinan pada umumnya didefinisikan dari segi pendapatan dalam bentuk uang ditambah dengan keuntungan-keuntunan non-material yang diterima oleh seseorang. Menurut SMERU (Suharto dkk, 2004), secara luas kemiskinan meliputi kekurangan atau tidak memiliki pendidikan, keadaan kesehatan yang buruk, dan kekurangan transportasi yang dibutuhkan oleh masyarakat.

(37)

Kemiskinan adalah ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial. Menurut Friedman (Suharto, dkk.,2004:6), basis kekuasaan sosial meliputi: (a) modal produktif atau asset (tanah, perumahan, alat produksi, kesehatan), (b) sumber keuangan (pekerjaan, kredit), (c) organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama (koperasi, partai politik, organisasi sosial), (d) jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang, dan jasa, (e) pengetahuan dan keterampilan, dan (f) informasi yang berguna untuk kemajuan hidup.

Kemiskinan merupakan fenomena yang sangat kompleks (Suharto, dkk, 2004). David Cox (2004:1-6) membagi kemiskinan kedalam beberapa dimensi: (a) Kemiskinan yang diakibatkan globalisasi. Globalisasi menghasilkan

pemenang dan pengalah. Pemenang umumnya adalah negara-negara maju. Di negara-negara berkembang seringkali orang yang miskin semakin terpinggirkan oleh persaingan dan pasar bebas yang merupakan prasyarat globalisasi.

(b) Kemiskinan yang berkaitan dengan pembangunan. Kemiskinan subsisten (kemiskinan akibat rendahnya pembangunan), kemiskinan pedesaan (kemiskinan akibat peminggiran pedesaan dalam proses pembangunan), kemiskinan perkotaan (kemiskinan yang sebabkan oleh hakekat dan kecepatan pertumbuhan perkotaan).

(c) Kemiskinan sosial: Kemiskinan yang dialami oleh perempuan, anak-anak, dan kelompok minoritas.

(d) Kemiskinan konsekuensial: Kemiskinan yang terjadi akibat kejadian-kejadian lain atau faktor-faktor eksternal di luar si miskin, seperti konflik, bencana alam, kerusakan lingkungan, dan tingginya jumlah penduduk.

Menurut SMERU (Suharto, 2004), kemiskinan memiliki berbagai dimensi: (1) Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (pangan, sandang

dan papan).

(2) Tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi).

(3) Tidak adanya jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga).

(38)

(7) Tidak adanya akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan.

(8) Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental.

(9) Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak terlantar, wanita korban tindak kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil).

Kemiskinan di Perkotaan

Masalah kemiskinan di perkotaan disebabkan kedudukan kota-kota dalam masyarakat negara tersusun dalam jaringan yang bertingkat-tingkat dan merupakan pusat-pusat penguasaan atau pendominasian bagi pengaturan kesejahteraan, kehidupan masyarakat Negara. Sistem pendominasian yang berpusat di kota-kota bukan hanya melibatkan aspek–aspek ekonomi, sosial dan komunikasi, dan kebudayaan, namun dalam kenyataan sosial yang ada dalam masyarakat manapun di dunia ini, manusia cenderung untuk berorientasi ke kota atau dengan kata lain bahwa orang desalah yang berorientasi ke kota dan bukan orang kota yang berorientasi ke desa (Suparlan, 1995). Karena adanya orientasi pada kota, kota cenderung untuk tumbuh terus dan menjadi semakin kompleks karena kota mempunyai potensi atau kemampuan untuk menampung pendatang-pendatang baru dari pedesaan atau kota-kota dan tempat-tempat lainnya.

Adams (Suparlan, 1995) mengemukakan bahwa penambahan jumlah penduduk yang pesat dan tidak disertai dengan pesatnya peningkatan kemajuan ekonomi, telah menyebabkan tumbuhnya kemiskinan. Beban yang terlalu berat untuk dipikul di daerah pedesaan, yang alternatif-alternatifnya untuk memperoleh pekerjaan dan pendapatan ekonomi guna menyambung hidup amat terbatas, telah menyebabkan adanya penyerbuan-penyerbuan ke kota secara besar-besaran oleh penduduk desa untuk mencari nafkah dan hidup di kota.

(39)

sistem sosial, dan kebudayaan), tidak atau belum dapat dimanfaatkan untuk menciptakan alternatif-alternatif baru atau tidak dapat memberikan nafkah yang cukup memadai bagi sebagian besar para warganya. Kebudayaan yang ada dalam masyarakat perkotaan tersebut tidak mendorong untuk adanya kemungkinan-kemungkinan bagi pengembangan tingkat pemanfaatan sumberdaya-sumberdaya yang secara obyektif dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan taraf hidup ekonomi dan sosial pada warga masyarakatnya (Suparlan, 1995).

Konsep Pemberdayaan

Pemberdayaan adalah sebuah kata yang bersifat emotif dan menarik bagi beberapa orang. Istilah pemberdayaan mengandung suatu kekuatan yang diyakini oleh sebagian orang mampu mengubah kondisi menjadi lebih baik. Orang tertarik kepadanya karena tampaknya menawarkan sesuatu yang pada saat sekarang tidak ada tetapi mampu mengubah kehidupannya. Kata ini mengandung ide bahwa orang berada dalam pengendalian diri sendiri dan lingkungan mereka, yang memperluas kemampuan dan wawasan dan mengevaluasi diri sendiri sampai pada tingkat prestasi dan kepuasan yang lebih besar.

Akhir-akhir ini, istilah pemberdayaan sering digunakan sebagai terjemahan dari kata empowerment. Berdasarkan penelitian kepustakaan, terdapat beberapa definisi pemberdayaan baik dalam arti yang sempit maupun dalam arti yang luas. Terhadap pengertian konsep pemberdayaan tersebut, terjadi tindakan saling korektif dengan upaya mencari definisi pemberdayaan yang lebih aplikatif dan dapat diterima secara umum.

(40)
[image:40.595.102.513.123.785.2]

Guna memperjelas dan memaknai konsep pemberdayaan ini dapat dilihat dari beberapa sumber yang ada pada Tabel 1.

Tabel 1. Beberapa Definisi tentang Konsep Pemberdayaan

No. Sumber Definisi

1. Dharmawan (2002) Pemberdayaan adalah suatu proses pemenuhan energi yang cukup, sehingga masyarakat mampu untuk mengembangkan kemampuannya, memperoleh bargaining power yang lebih besar, membuat keputusan mereka sendiri, dan memperoleh akses yang lebih mudah terhadap sumber daya dalam rangka menuju kehidupan yang lebih baik

2. Bookman dan Morgen

(1988: 4)

Pemberdayaan sebagai konsep yang mengacu pada usaha usaha menumbuhkan keinginan pada seseorang untuk mengaktualisasikan diri, melakukan mobilitas ke atas, serta memberikan pengalaman psikologis yang membuat seseorang merasa berdaya.

3. Freire (1992) Konsep pemberdayaan sebagai metode yang mengubah persepsi sehingga memungkinkan individu beradaptasi dengan lingkungannya.

4. Soemodiningrat (1999) Pemberdayaan masyarakat mempunyai arti meningkatkan kemampuan atau meningkatkan kemandirian masyarakat. Pemberdayaan masyarakat bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat tetapi juga pranata-pranata sosialnya.

5. Molyneux (1986 : 280 ) Empowerment is a capacity in thought and action to address the condition and position of marginalization

6. Moeljarto dalam Prijono dan Pranarka (1996)

Pemberdayaan merupakan proses pematahan atau breakdown dari hubungan atau relasi antara subyek dengan obyek. Proses ini mementingkan adanya “pengakuan” subyek akan “kemampuan” atau “daya” (power) yang dimiliki obyek. Secara garis besar, proses ini melihat pentingnya mengalirnya daya (flow of power) dari subyek ke obyek

7. Jim Ife (1995) Pemberdayaan mengacu kepada kata

(41)

Dari beberapa konsep pemberdayaan yang telah disampaikan di atas, menurut penulis bahwa konsep pemberdayaan adalah sebuah proses yang dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan di dalam menumbuhkan dan mengembangkan kekuatan dan kekuasaan (power) bagi individu maupun kelompok sehingga tercipta kemandirian individu dan kelompok tersebut di dalam berprakarsa dan mengornisir dirinya dan kelompoknya serta terlibat secara langsung guna memecahkan permasalahan dirinya, keluarga, serta kelompoknya sehingga tercipta kondisi yang lebih baik.

Menurut Ife (1995), dalam membicarakan konsep pemberdayaan, tidak dapat dilepas-pisahkan dengan dua konsep sentral, yaitu konsep daya (power) dan konsep ketimpangan (disadvantage). Pengertian pemberdayaan yang terkait dengan konsep daya dapat ditelusuri dari beberapa perspektif, yaitu perspektif pluralis, elitis, strukturalis dan post-strukturalis:

(1) Pemberdayaan masyarakat ditinjau dari perspektif pluralis adalah suatu proses untuk mendorong kelompok-kelompok masyarakat dan individu yang kurang beruntung untuk bersaing secara lebih efektif dengan kepentingan-kepentingan lain dengan jalan menolong mereka untuk belajar, dan menggunakan keahlian dalam melobi, menggunakan media yang berhubungan dengan tindakan politik, dan memahami bagaimana bekerjanya system.

(2) Pemberdayaan masyarakat ditinjau dari perspektif elitis adalah suatu upaya untuk bergabung dan mempengaruhi para elitis, membentuk aliansi dengan elitis, melakukan konfrontasi dan mencari perubahan pada elitis. Masyarakat menjadi tak berdaya adanya power dan control yang besar sekali dari para elitis terhadap media, pendidikan, partai politik, kebijakan publik, birokrasi, parlemen, dan sebagainya.

(3) Pemberdayaan masyarakat ditinjau dari perspektif strukturalis adalah suatu agenda yang lebih menantang dan dapat dicapai apabila bentuk-bentuk ketimpangan struktural dieliminir. Masyarakat tak berdaya suatu bentuk atruktur dominant yang menindas masyarakat, seperti masalah kelas, gender, ras atau etnik.

(42)

aktivitas aksi pemberdayaan masyarakat adalah upaya pengembangan pengertian terhadap pengembangan pemikiran baru, analitis, dan pendidikan dari pada suatu usaha aksi.

Demikian juga menurut Payne (Hikmat, 2001), bahwa pemberdayaan memerlukan partisipasi aktif dalam langkah-langkah, identifikasi kebutuhan, identifikasi pilihan atau strategis, keputusan atau pilihan tindakan, mobilisasi sumber daya, serta tindakan itu sendiri, secara menyeluruh dengan intervensi minimal pihak luar komunitas. Pemberdayaan dan patisipasi merupakan strategi yang sangat potensial dalam rangka meningkatkan ekonomi, sosial dan transformasi budaya, sehingga pada proses ini, akhirnya akan dapat menciptakan pembangunan yang lebih berpusat pada rakyat.

Pengertian pemberdayaan masyarakat sebenarnya mengacu pada kata “empowering” yaitu “aktualisasi potensi masyarakat.” Jadi pendekatan pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan masyarakat miskin adalah penekanan pada pentingnya masyarakat lokal yang mandiri sebagai sistem yang mengorganisasi diri mereka sendiri.

Dalam rangka pembangunan nasional upaya pembangunan masyarakat dapat dilihat dari sudut pandang: Pertama, penciptaan suasana atau iklim yang memungkinkan masyarakat untuk berkembang; kedua, peningkatan kemampuan masyarakat dalam membangun dirinya melalui berbagai bantuan dana, pelatihan, pembangunan sarana dan prasarana baik fisik maupun sosial, serta pengembangan kelembagaan di daerah; dan ketiga, perlindungan melalui pemilihan kepada kaum yang lemah untuk menciptakan kemitraan yang saling menguntungkan dan mencegah persaingan yang tidak seimbang (Soemodiningrat ,1999).

Konsep Kelompok

(43)

Schermerhorn, Hunt, dan Osborn (1997 : 174) menyebut kelompok adalah “kumpulan dua orang atau lebih yang bekerja bersama satu dengan lainnya secara teratur untuk mencapai satu atau lebih tujuan bersama.” Pada kelompok yang sebenarnya, anggota bergantung satu sama lain untuk mengejar tujuan itu untuk suatu periode waktu.

Lau dan Shai (1992:121) mengaitkan kelompok dengan aspek identitasnya. Keduanya menyebut kelompok sebagai sebuah “ himpunan tiga orang atau lebih yang dapat mengidentifikasikan diri atau diidentifikasi oleh yang lain sebagai kelompok.” Dari perspektif perilaku keorganisasian, kelompok mereka definisikan sebagai kumpulan individu yang (1) mempunyai hubungan saling bergantung yang nyata satu sama lain, (2) memandang dirinya sebagai sebuah kelompok dan membedakan anggota dengan bukan anggota, (3) identitas kelompok diakui oleh bukan anggota, (4) sebagai anggota kelompok bertindak sendiri atau bersama mempunyai hubungan saling bergantung dengan kelompk yang lain, dan (5) peran-peran dalam kelompok merupakan fungsi harapan mereka sendiri, orang lain dalam kelompok, serta bukan anggota kelompok.

Beberapa pandangan menekankan tidak semua kumpulan manusia adalah kelompok. Cartwright dan Zander (1968) mengemukakan: “adalah tidak benar bahwa setiap kumpulan manusia merupakan suatu kelompok.” Suatu kumpulan orang hanya layak disebut sebagai kelompok bila mereka berhubungan satu dengan yang lainnya dengan pola yang jelas. Mardikanto (1993: 185) menyebut kelompok berbeda dengan kerumunan. Anggota kelompok memiliki interaksi kuat satu sama lain. Pada kerumunan, orang-orang secara fisik tampak bersatu, namun sebenarnya tidak ada hubungan atau interaksi antar individu yang ada di tempat itu.

(44)

Keberadaan kelompok terkait dengan harapan orang untuk memenuhi kebutuhan tak dapat dilakukannya sendiri (Haiman, 1950:79; dan Ruben,1988:338). Haiman menyebut alasan utama keberadaan kelompok adalah bahwa setiap anggota percaya bahwa dia akan dapat memenuhi sebagian kebutuhannya yang tak dapat ia penuhi sendiri dengan cara berkolaborasi dengan orang lain. Seseorang akan tetap berada dalam kelompok sepanjang ia masih percaya bahwa menjadi bagian dari kelomkpok tetap lebih menguntungkan disbanding meninggalkannya.

Berdasar kebutuhan tersebut, Haiman (1950:79) membagi kelompok menjadi “kelompok belajar” dan “kelompok bertindak.” Kelompok belajar adalah yang terbentuk berdasar kebutuhan untuk berbagi gagasan dan perasaan, dan juga untuk mendapat pengertian lebih dari orang-orang lain, sedangkan kelompok bertindak adalah kelompok yang berdasar kebutuhan untuk bekerja sama dalam membuat keputusan maupun kerja yang tak ditangani sendiri.

“Kita memerlukan kelompok untuk memenuhi banyak aspirasi serta kebutuhan psikologis, personal, maupun sosial” (Ruben,1988:338). Kelompok dibentuk guna menyelesaikan tugas seperti menorganisasikan acara, membangun rumah, dan melaksanakan program masyarakat. Kelompok juga dibentuk untuk orientasi personal dan sosial. Klub social, kelompok diskusi masuk dalam kategori ini. Kebanyakan kelompok disebut mempunyai kombinasi kedua orientasi tersebut.

Meskipun kelompok dibentuk untuk memenuhi kebutuhan, namun tujuan kelompok sering tak dinyatakan secara jelas. Ruben (1988:340) menyebut bahwa pada kebanyakan kelompok kecil, tujuan muncul secara alami untuk menjawab kebutuhan individu seperti kesetia-kawanan (Companionship) atau penyelesaian tugas. Pada kelompok kecil itu, tujuan biasanya tak dinyatakan secara tegas, anggota bahkan tidak dapat mengemukakan tujuan itu secara pasti.

(45)

Krueger (1994) menyebut bahwa kerancuan mengenai kelompok tak hanya menyangkut tujuan, melainkan juga proses dari interaksi kolektif. Berkaitan dengan proses interaksi dalam kelompok, Ruben (1988:341) menekankan pada aspek jaringan komunikasi dalam kelompok. Pada jaringan tersebut, sebagian orang berada pada titik pusat jaringan, sebagian lagi berada pada di peripheral. Terkadang ada juga anggota yang terisolasi dari yang lain dalam jaringan. Pola jaringan tersebut berubah seiring perjalanan waktu. Jaringan komunikasi tersebut adalah serupa dengan dipergunakan oleh Rogers dan Kincaid (1981) dalam konteks difusi inovasi.

Kelompok akan berkembang melalui tahapan tertentu. Pada kelompok yang berorientasi tugas, tahapan tersebut adalah: (1) fase orientasi, (2) fase konflik, (3) fase kebangkitan (emergence); serta (4) fase reinforcement. Fase pertama ditandai dengan pernyataan awal perundang-undangan, serta pembentukan keterkaitan (linkage) berhubungan dengan tugas. Bagitu kelompok berlanjut, pernyataan dengan sudut pandang berbeda akan mengalami polarisasi. Secara berangsur individu dan sub-kelompok yang berbeda pandangan tersebut akan melakukan akomodasi satu sama lain. Bersama dengan perkembangan penyelesaian tugas, kerjasama antar individu dalam jaringan akan meningkat. Setiap orang akan dituntut untuk aktif dalam tim, dalam hal tersebut dapat memberi akibat positif meupun negative bagi individu serta kelompok (Ruben, 1988:343).

Tahapan pengembangan kelompok juga dikemukakan Schemerhorn et al. (1997:178-9). Tahapan tersebut adalah pembentukan, pembadaian (storming), penormaan, penyelenggaraan (performing), dan istirahat (adjourning). Perhatian awal tertuju pada masuknya anggota ke dalam kelompok. Kebutuhan individu dan kemampuan kelompok untuk memenuhinya menjadi perhatian utama. Setelah tahap tersebut terlampaui, kelompok akan masuk pada tahap tekanan dan emosi tinggi di antara anggotanya. Pada tahap ini, setiap individu mulai mengenal karakter individu lain. Konflik acap terjadi pada tahap ini.

(46)

tugasnya, maka kelompokpun memasuki fase istirahat (Schemerhorn, Hunt, dan Osborn, 1997:178-9).

Ruben (1988:343) menyebut bahwa proses perkembangan tersebut relative sama pada setiap kelompok tugas. Namun kelompok tidak hanya berorientasi tugas. Kelompok dapat dikategorikan melalui berbagai pendekatan. Diantaranya adalah kelompok sosial dan tugas; formal dan informal; interaksim koaksi, dan cointeraction; primer dan sekunder; serta peguyuban (gemeinschaft) dan patembayan (geselschaft) (Mardikanto, 1993 186-8)

Hal yang banyak dikaitkan dengan kelompok adalah dinamika kelompok. Menurut Cartwright dan Zander (1968:7), dinamika kelompok mengandung tiga makna. Pertama, sebagai ideologi politis menyangkut cara kelompok diorganisasikan atau dikelola. Kedua, terkait dengan tehnik seperti observasi dan umpan balik dalam proses kelompok, atau mengenai keputusan kelompok. Ketiga, menyangkut kondisi alamiah kelompok, hukum-hukum yang berlaku dalam pengembangan kelompok, interaksi antar anggota dan sebagainya. Adapun unsure dinamika kelompok adalah tujuan kelompok, struktur kelompok, fungsi-tugas, pembinaan dan pemeliharaan, kekompakan kelompok, suasana kelompok, tekanan kelompok, efektivitas kelompok, serta agenda tersembunyi.

Kirst-Ashman (2000-231) mengemukakan tujuh aspek dinamika kelompok, yakni komunikasi, interaksi antar individu, norma, peran, kekompakan kelompok, kekuasaan dan status, serta kepemimpinan. Hughes, Kroehler, dan Vander Zanden (2002:103-10) mengaitkan dinamika kelompok dengan ukuran kelompok, kepemimpinan, kemalasan sosial (social loafing), dilema sosial, pikiran kelompok (group think), serta persesuaian (conformity).

Dinamika kelompok bukan satu-satunya pendekatan dalam pengkajian kelompok. Bertrand (1972:44) menyebut bahwa kelompok merupakan satuan sistem sosial yang paling kecil. Maka kajian terhadap kelompok dapat dilakukan melalui pendekatan sistem sosial.

Pendekatan Kelompok

(47)

dari keluarga miskin tersebut, baik secara individu (anggota keluarga miskin) maupun keluarga sebagai sebuah kelompok.

Adanya bantuan modal dalam bentuk charity hanya akan menciptakan ketergantungan dari keluarga miskin tersebut terhadap pihak-pihak yang memberikan bantuan modal tersebut baik pihak pemerintah maupun pihak swasta. Meskipun selama ini sering diberlakukan melalui metode bantuan bergulir, ternyata pemahaman keluarga miskin terhadap system bergulir ternyata tidak menjadikan keluarga miskin tersebut semakin berdaya. Kebanyakan bantuan yang diberikan secara bergulir tersebut, dihabiskan untuk kebutuhan konsumtif. Keluarga miskin tersebut belum memiliki kemampuan mengelola modal serta belum memiliki jaringan kerja dalam rangka memperluas pangsa pasar untuk menambah modal.

Salah satu model yang perlu untuk dilakukan didalam memberdayakan keluarga miskin di kota besar yaitu melalui pendekatan kelompok. Pendekatan kelompok pada dasarnya didasarkan kepada asumsi bahwa setiap keluarga pada dasarnya berkelompok antara keluarga yang satu dengan keluarga yang lain, baik berdasarkan kedaerahan (etnosentris), berdasarkan kelompok kerja, berdasarkan kepentingan dan kebutuhan, berdasarkan ikatan agama, serta berdasarkan ikatan-ikatan lainnya.

Keberadaan kelompok-kelompok tersebut pada dasarnya sangat potensial untuk dikembangkan dan dikelola. Pengembangan dan pengelolaan kelompok tersebut didasarkan manajemen kelompok dan spirit kebersamaan untuk membesarkan kelompok tersebut. Kekuatan yang ada dalam kelompok tersebut, pada dasarnya merupakan “social capital” (modal sosial) yang perlu dikembangkan dalam kelompok-kelompok pada keluarga miskin tersebut. Melalui kerja sama, interaksi, kebersamaan serta dinamika kelompok yang ada dalam kelompok tersebut akan semakin memudahkan bagi anggota kelompok untuk mengembangkan rencana, perluasan jaringan, serta perluasan kesempatan untuk meningkatkan usaha memperolah keuntungan yang lebih banyak.

(48)

keluarga miskin tersebut mampu mampu mengorganisir dirinya untuk menyelesaikan permasalahan kemiskinan yang mereka hadapi selama ini.

Mengutip pendapat Whitaker (1989), beberapa hal yang terkait dengan menggunakan kelompok untuk membantu masyarakat antara lain:

Pertama, Orientasi pengambilan keputusan untuk bekerja melalui

kelompok , dengan maksud : (1) pentingnya keputusan dan pembagian tugas ketika perencanaan kelompok dan pembentukan kelompok; dan (2) mengetahui karakter dari kelompok sebagai media untuk membantu anggota kelompoknya.

Bagi keluarga miskin sebagai anggota kelompok bekerja melalui kelompok akan melatih keluarga miskin tersebut untuk mengambil keputusan yang dianggap baik, khususnya terkait dengan bagaimana meningkatkan pendapatan dan penghasilan keluarga. Keputusan yang diambil secara bersama itu didasarkan atas tanggung jawab bersama untuk saling membantu di antara anggota kelompok itu sendiri. Misalnya saja terkait dengan jenis pekerjaan yang mampu meningkatkan taraf hidup anggota kelompok tersebut. Setelah keputusan tersebut dibuat, maka anggota kelompok tersebut diajarkan untuk melakukan pembagian tugas masing-masing guna mencapai tujuan dari kelompok itu sendiri.

Selain itu, setiap anggota kelompok dapat memahami dan menyosialisasikan karakter kelompok yang akan dibangun bersama tersebut. Karakter kelompok tersebut, merupakan sebuah “glue” (pengikat) di antara anggota kelompok tersebut. Melalui pemahaman dan komitmen yang kuat terhadap karakter kelompok tersebut menjadikan anggota kelompok tersebut untuk selalu mempertahankan karakter kelompok yang dibangun tersebut.

Kedua, membangun dinamika kelompok, mulai dari saling mendengar antar anggota, menguatkan kelompok, menyelesaikan masalah dan membangun kekuatan kelompok itu sendiri.

(49)

Ketiga, Membuat keputusan tentang pekerjaan yang akan dilakukan pada masa yang akan datang guna memperluas pengalaman.

Dalam konteks membantu keluarga miskin melalui pendekatan kelompok tersebut, adanya pengalaman yang telah dilakukan oleh anggota kelompok di dalam bekerja sama tersebut, maka pada tahap selanjutnya ketika anggota kelompok merasa saling membutuhkan terhadap kelompok yang dibentuk tersebut, maka kelompok akan selalu mencoba membuat keputusan yang akan dilakukan pada masa selanjutnya melalui kegiatan-kegiatan yang bermanfaat bagi anggota kelompok mapun pada kelompok itu sendirinya.

Dengan demikian melalui pendekatan kelompok, pada dasarnya akan memberikan pembelajaran dan pendidikan kepada anggota kelompok untuk selalui terlibat secara langsung, bekerja sama, berpartisipasi, belajar bersama di dalam menyelesaikan permasalahan kemiskinan yang dihadapi bersama. Melalui penyelesaian terhadap masalah kemiskinan secara bersama tersebut diharapkan dapat memberikan kesejahteraan yang labih baik bagi keluarga miskin di kota besar tersebut.

Dinamika Kelompok

Cartwright dan Zander (1968) menyatakan bahwa “ Group dynamics is a field of inquiry dedicatd to advancing kenowledge about the nature of groups, the laws of their development, and their interrelations with individuals, other groups and larger institutions. ”

Berdasarkan konsep di atas, pada dasarnya dinamika kelompok merupakan sebuah kondisi yang menggambarkan tentang keadaan kelompok, perkembangan kelompok tersebut, hubungan individu dalam kelompok tersebut serta hubungan dengan kelompok lain dalam konteks yang lebih luas. Artinya, bahwa dalam dinamika kelompok mengkaji semua aspek yang berkaitan dengan kelompok tersebut, baik aspek yang bersifat internal dalam kelompok maupun aspek eksternal dari kelompok tersebut, aspek individu dalam kelompok maupun aspek dari kelompok itu sendiri.

Cartwright dan Zander (1968 : 23) menyatakan bahwa terdapat beberapa asumsi dasar mengenai dinamika kelompok antara lain:

(50)

kelompok-kelompok baik kelompok-kelompok dalam ukuran besar maupun dalam ukuran kecil. Di sisi lain setiap manusia pasti akan berhadapan dan berurusan dengan kelompok, karena kelompok dapat mengatur setiap kebutuhan dan kepentingan dari setiap individu;

(2) Setiap kelompok akan mampu memobilisasi kekuatan yang mampu memberikan efek yang sangat penting bagi setiap individu. Setiap individu akan selalu mengidentifikasikan dengan kelompoknya, baik dalam keluarganya, pekerjaannya, lingkungan sosial dan sebagainya. Melalui kelompok, setiap individu akan meningkatkan kapasitas dan kualitas individunya agar dapat berkembang menjadi lebih baik.

(3) Setiap kelompok juga menciptakan sebuah konsekuensi yang baik maupun yang jelek. Kompleksitas yang ada dalam setiap kelompok tentunya memiliki konsekuensi terhadap hal-hal yang baik, tetapi di sisi lain juga membawa konsekuensi yang jelek. Misalnya saja dalam kelompok terdapat adanya interaksi, integrasi, konflik dan sebagainya. Melalui kepemimpinan dan koordinasi yang baik, kelompok tersebut mampu meminimalisasi hal-hal yang jelek dan memaksimalkan hal-hal yang pisitif.

(4) Melalui adanya pengertian yang baik dari dinamika kelompok membawa konsekuensi yang layak menjadikan kelompok tersebut menjadi lebih baik (kondusif). Melalui pengertian tentang dinamika kelompok , setiap kelompok memberikan pelayanan yang baik kepada anggotanya, selain itu melalui pengetahuan juga akan mampu merubah perilaku manusia bahkan lembaga-lembaga sosial. Artin

Gambar

Tabel 1. Beberapa Definisi tentang Konsep Pemberdayaan
Gambar 1: Profil Kemiskinan dan Pendekatan penyuluhan (Marzuki, 1997)
Gambar 2.  Kerangka Berpikir Penelitian
Gambar 3.  Keterkaitan antar peubah yang berpengaruh terhadap keberdayaan keluarga
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian yang terdahulu juga memilih tempat penelitian pada perusahaan yang besar dan go public , dikarenakan peneliti menambahkan variabel yang belum pernah diambil

Si selaku dekan Fakultas Psikologi dan selaku pembimbing I Universitas Muhammadiyah Malang yang telah banyak meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan dan

pembentukan energi atau dikenal sebagai fosforilasi oksidatif terdiri atas lima tahapan reaksi enzimatis yang melibatkan kompleks enzim yang terdapat pada membran bagian dalam

Untuk penyebaran kuesioner dilakukan kepada semua karyawan baik staff, mandor, pekerja lapangan, serta pekerjaan yang berhubungan dengan pengendalian kinerja dan

Matriks merupakan salah satu sub bahasan yang ada dalam matematika dasar dan definisi matriks itu sendiri adalah kumpulan bilangan-bilangan yang disusun secara khusus yakni dalam

Berdasarkan empat macam sifat nada tersebut di atas, membawa pengaruh terhadap rangkaian melodi gending gender wayang gaya Kayumas dengan gaya Sukawati sebagai

Tatag Yuli Eko Siswono, Penelitian Tindakan Kelas.. (Surabaya: Unesa

Pengaruh Pendidikan Kader dan Minat Berorganisasi terhadap Kepeminpinan Anggota di Perhimpunan Mahasiswa Bandung.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |