PENGARUH KEPERCAYAAN KEPADA PEMIMPIN
TERHADAP
WORK ENGAGEMENT
SKRIPSI
Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi
Oleh :
RANI DIAN SARI
091301096
FAKULTAS PSIKOLOGI
SKRIPSI
PENGARUH KEPERCAYAAN KEPADA PEMIMPIN
TERHADAP
WORK ENGAGEMENT
Dipersiapkan dan disusun oleh:
RANI DIAN SARI
091301096
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji
Pada tanggal 21 Desember 2013
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Psikologi
Prof. Dr. Irmawati, Psikolog
NIP. 195301311980032001
Tim Penguji
1. Vivi Gusrini R Pohan, MA, Psikolog Penguji I/Pembimbing
NIP. 197808162003122002
2. Zulkarnain, Ph.D, Psikolog Penguji II
NIP. 197312142000121001
3. Siti Zahreni, M.Psi, Psikolog Penguji III
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya
bahwa skripsi saya yang berjudul :
Pengaruh Kepercayaan Kepada Pemimpin Terhadap Work Engagement adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh
gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.
Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari
hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan
norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.
Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi
ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera
Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Medan, 21 Desember 2013
Rani Dian Sari
Pengaruh Kepercayaan Kepada Pemimpin Terhadap Work Engagement
Rani Dian Sari dan Vivi G. R. Pohan
ABSTRAK
Beberapa tahun terakhir, engagement merupakan topik yang sedang hangat diantara perusahaan konsultan dan media-media bisnis terkenal. Hasil-hasil
penelitian sebelumnya menemukan bahwa work engagement berhubungan dengan hasil yang positif bagi karyawan dan organisasi. Penelitian ini bertujuan untuk
menguji pengaruh kepercayaan kepada pemimpin terhadap work engagement pada karyawan. Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah 141 karyawan
swasta yang bekerja di PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) yang diambil dengan
metode accidental sampling. Data penelitian dikumpulkan dengan menggunakan skala kepercayaan kepada pemimpin (rxx’ = 0,978) dan skala work engagement (rxx’ = 0,901).Metode analisis data yang digunakan adalah regresi sederhana. Hasil analisis data menunjukkan bahwa ada pengaruh positif kepercayaan kepada
pemimpin terhadap work engagement. Pengaruh ini mengindikasikan bahwa kepercayaan kepada pemimpin meningkatkan work engagement. Kepercayaan kepada pemimpin memberikan sumbangan sebesar 32,6% dalam meningkatkan
work engagement.
The Influence of Trust in Leader Towards Work Engagement
Rani Dian Sari and Vivi G. R. Pohan
ABSTRACT
For several years, engagement has become a hot topic among consulting firm and popular business press. Previous research has shown that work engagement is associated with positive outcomes for the employee and the organization. This research was aimed to investigate the effect of trust in leader
toward work engagement among employees. Subjects of this research were 141
employees of Chevron Pasific Indonesia (CPI) in Duri-Riau, which collected by
accidental sampling method. The data were collected by using trust in leader scale
(rxx’ = 0,978) and work engagement scale (rxx’ = 0,901).The data were analyzed by using simple regression method. The statistical analysis showed that trust in leader
significantly influence toward work engagement among employees. The influence
indicated that trust in leader contributed in increasing level work engagement of
employees. Trust in leader contributed 32,6% towards improving work
engagement among employees.
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih,
atas berkat dan karunia-Nya yang telah memampukan saya dalam menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Pengaruh Kepercayaan kepada Pemimpin terhadap Work Engagement” guna memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan
di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara serta meraih gelar Strata 1 (S1).
Keberhasilan penulisan skripsi ini dapat terwujud berkat bantuan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, saya ingin menyampaikan rasa hormat dan
ucapan terima kasih setulus-tulusnya kepada berbagai pihak yang telah membantu
saya selama proses penyelesaian skripsi ini dan juga selama menempuh
pendidikan di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, yaitu kepada:
1. Prof. Dr. Irmawati, psikolog selaku dekan Fakultas Psikologi yang telah
memberikan dukungan yang terbaik untuk kesuksesan seluruh mahasiswa
Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Vivi Gusrini R. Pohan, Msc.MA, Psi selaku dosen pembimbing yang
telah sabar memberikan ilmu, masukan, arahan yang sangat bermanfaat
dan bersedia meluangkan waktu untuk membimbing saya sehingga saya
dapat menyelesaikan skripsi ini.
3. Pak Zulkarnain, Ph.D, psikolog dan Kak Siti Zahreni, M.Psi, Psi selaku
Terima kasih telah memberikan saran-saran yang membangun untuk
kesempurnaan hasil penelitian saya
4. Ibu Meutia Nauly, M.Si, selaku dosen pembimbing akademik yang telah
memberikan saran dan motivasi selama masa perkuliahan si Fakultas
Psikologi
5. Dosen-dosen pengajar di Fakultas Psikologi yang tidak mungkin saya
sebutkan namanya satu per satu. Terima kasih telah memberikan ilmu
yang bermanfaat untuk saya.
6. Orang tua saya yang selalu setia memberikan saya dukungan, semangat
yang tiada henti-hentinya dan terutama selalu menyebut nama saya di
dalam doa. Kalian orang tua yang luar biasa. Kelulusan saya ini pertama
sekali saya persembahkan buat kalian.
7. Saudara-saudara saya yang tercinta, abang Ari, Kak Tasya, Kak Olive, dan
adekku Gabriel, terima kasih buat doa, semangat dan dukungannya.
8. Pihak perusahaan PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) atas izin yang diberikan dalam melakukan pengambilan data di perusahaan.
9. Sahabat-sahabat saya terkasih, Catriin yang selalu memberikan semangat
dan setia menemani saya refreshing di tengah-tengah kepenatan mengerjakan skripsi, Ory si nona rocker, Rebekka yang juga selalu
memotivasi saya untuk terus menyelesaikan skripsi secepatnya dan
memberikan banyak masukan, Mbag Tina, dan Mamlia. Terima kasih atas
pertemanan dan persaudaraan kita selama empat tahun lebih ini. Terima
10.Teman-teman seperjuangan skripsi satu bimbingan saya, Mimi, Vina, dan
Nana. Terima kasih buat kebersamaan kita selama skripsi, dan juga buat
motivasi serta dukungannya. Semangat terus buat kita semua.
11.Kelompok kecil Yesyurun, terima kasih untuk kak Pipin, RanKet, Reffoni
dan Rebekka buat dukungan dan doa nya.
12.Teman-teman seperjuangan, angkatan 2009, kita telah melalui empat tahun
ini besama-sama, terima kasih untuk kebersamaannya dan untuk setiap
momen yang berkesan yang akan selalu saya ingat.
Saya menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak terdapat kekurangan
dalam penulisan skripsi ini. Namun, sumbangan pemikiran yang peneliti
sampaikan mudah-mudahan bermanfaat bagi pembaca.
Medan, 21 Desember 2013
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK
KATA PENGANTAR...…………...………...i
DAFTAR ISI...iv
DAFTAR TABEL...viii
DAFTAR LAMPIRAN...x
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...1
B. Rumusan Masalah...12
C. Tujuan Penelitian...12
D. Manfaat Penelitian...12
E. Sistematika Penulisan...13
BAB II LANDASAN TEORI A. Work Engagement...15
1. Definisi Work Engagement ...16
3. Konsep-Konsep yang Berkaitan dengan
Work Engagement...21
4. Faktor-Faktor Work Engagement...23
B. Kepercayaan kepada Pemimpin...27
1. Definisi Kepercayaan kepada Pemimpin...29
2. Aspek Kepercayaan kepada Pemimpin...32
C. Hubungan antara Kepercayaan kepada Pemimpin dengan Work Engagement……...36
D. Hipotesis Penelitian...39
BAB III METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel...40
B. Definisi Operasional Variabel...40
1. Work Engagement ………...40
2. Kepercayaan kepada Pemimpin...41
C. Lokasi Penelitian...41
D. Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel...42
1. Populasi...42
2. Sampel Penelitian...42
3. Teknik Pengambilan Sampel...43
E. Metode Pengumpulan Data...43
1. Kolom Isian Data Pribadi...43
2. Skala Work Engagement...44
F. Uji Validitas dan Reliabilitas...48
1. Validitas Alat Ukur...48
2. Uji Daya Beda Aitem...48
3. Reliabilitas Alat Ukur...50
4. Hasil Uji Coba Alat Ukur...50
G. Prosedur Penelitian ...55
1. Tahap Persiapan Penelitian...55
2. Tahap Pelaksanaan Penelitian...56
3. Tahap Pengolahan Data...56
H. Metode Analisa Data...56
1. Uji Normalitas...57
2. Uji Linearitas……...57
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Subjek Penelitian...58
1. Gambaran Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin...58
2. Gambaran Subjek Berdasarkan Usia...59
3. Gambaran Subjek Berdasarkan Masa Kerja...60
4. Gambaran Subjek Berdasarkan Suku...61
B. Hasil Penelitian...61
1. Hasil Uji Asumsi...62
2. Hasil Utama Penelitian...64
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan...77
B. Saran...78
1. Saran Metodologis...78
2. Saran Praktis...79
DAFTAR PUSTAKA.....80
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Blue Print Skala Work Engagement Sebelum Uji Coba...45
Tabel 2. Blue Print Skala Kepercayaan kepada Pemimpin Sebelum Uji Coba………...47
Tabel 3. Distribusi Aitem-Aitem Hasil Uji Coba Skala Work Engagement...54
Tabel 4. Distribusi Aitem-Aitem Hasil Uji Coba Skala Kepercayaan Kepada Pemimpin...51
Tabel 5. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin...58
Tabel 6. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia...59
Tabel 7. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Masa Kerja...60
Tabel 8. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Suku...61
Tabel 9. Normalitas Sebaran Variabel Work Engagement dan Kepercayaan Kepada Pemimpin...62
Tabel 11. Hasil Analisis Regresi...64
Tabel 12. Hasil Uji Nilai F...64
Tabel 13. Koefisien Regresi...65
Tabel 14. Nilai Empirik dan Nilai Hipotetik Kepercayaan
kepada Pemimpin...64
Tabel 15. Nilai Empirik dan Nilai Hipotetik Work Engagement...67
Tabel 16. Kategorisasi Data Hipotetik Kepercayaan
kepada Pemimpin...68
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A. Uji Validitas Isi
Lampiran B. Skala Uji Coba
Lampiran C. Uji Daya Beda dan Reliabilitas Aitem
Lampiran D. Skala Penelitian
Lampiran E. Hasil Olah Data Penelitian
Pengaruh Kepercayaan Kepada Pemimpin Terhadap Work Engagement
Rani Dian Sari dan Vivi G. R. Pohan
ABSTRAK
Beberapa tahun terakhir, engagement merupakan topik yang sedang hangat diantara perusahaan konsultan dan media-media bisnis terkenal. Hasil-hasil
penelitian sebelumnya menemukan bahwa work engagement berhubungan dengan hasil yang positif bagi karyawan dan organisasi. Penelitian ini bertujuan untuk
menguji pengaruh kepercayaan kepada pemimpin terhadap work engagement pada karyawan. Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah 141 karyawan
swasta yang bekerja di PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) yang diambil dengan
metode accidental sampling. Data penelitian dikumpulkan dengan menggunakan skala kepercayaan kepada pemimpin (rxx’ = 0,978) dan skala work engagement (rxx’ = 0,901).Metode analisis data yang digunakan adalah regresi sederhana. Hasil analisis data menunjukkan bahwa ada pengaruh positif kepercayaan kepada
pemimpin terhadap work engagement. Pengaruh ini mengindikasikan bahwa kepercayaan kepada pemimpin meningkatkan work engagement. Kepercayaan kepada pemimpin memberikan sumbangan sebesar 32,6% dalam meningkatkan
work engagement.
The Influence of Trust in Leader Towards Work Engagement
Rani Dian Sari and Vivi G. R. Pohan
ABSTRACT
For several years, engagement has become a hot topic among consulting firm and popular business press. Previous research has shown that work engagement is associated with positive outcomes for the employee and the organization. This research was aimed to investigate the effect of trust in leader
toward work engagement among employees. Subjects of this research were 141
employees of Chevron Pasific Indonesia (CPI) in Duri-Riau, which collected by
accidental sampling method. The data were collected by using trust in leader scale
(rxx’ = 0,978) and work engagement scale (rxx’ = 0,901).The data were analyzed by using simple regression method. The statistical analysis showed that trust in leader
significantly influence toward work engagement among employees. The influence
indicated that trust in leader contributed in increasing level work engagement of
employees. Trust in leader contributed 32,6% towards improving work
engagement among employees.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Saat ini, dunia persaingan bisnis global sudah semakin pesat dan ketat. Di
Indonesia saja, banyak sekali perusahaan-perusahaan baru baik perusahaan dari
investor dalam negeri maupun oleh investor asing yang tumbuh dan berkembang.
Tantangan bisnis yang dihadapi perusahaanpun semakin kompleks sehingga
berdampak pada persoalan sumber daya manusia (SDM) yang semakin banyak
(Nurhayati, 2001). Untuk dapat mengatasi persaingan bisnis ini, perusahaan perlu
meningkatkan pemberdayaan terhadap sumber daya yang salah satunya adalah
individu-individu sebagai sumber daya esensial dalam perusahaan itu sendiri.
Karyawan sebagai SDM memiliki peran yang sangat dominan dalam
organisasi, karena merupakan motor penggerak paling utama dalam suatu
organisasi, sehingga pengelolaan SDM sebagai faktor penentu keberhasilan sangat
diperlukan (Widarsono, 2004). SDM berperan memberikan nilai tambah bagi
organisasi agar lebih efektif dan kompetitif melalui penurunan biaya, berorientasi
pada pelanggan, meningkatnya poduktifitas serta komiten kerja, dan lain-lain
(Fryzel & Wang, 1994; Nurhayati, 2001). Menciptakan pekerja yang engaged
sebagai sumber daya esensial merupakan tantangan bagi organisasi (Gaddi, 2004)
terlebih lagi pada masa krisis global ini.
Untuk menjawab tantangan tersebut, dibutuhkan cara-cara atau strategi
yang terbaik bagi perusahaan. Manajemen SDM memegang peranan dan bagian
penting dalam hal ini. Penting bagi fungsi-fungsi dalam organisasi, seperti
manajemen SDM untuk berkolaborasi dan bermitra dalam membangun dan
mengimplementasikan strategi perusahaan (Worley, Hitchin, & Ross, 1996).
Manajemen SDM harus memulai dengan fokus terhadap perkembangan sumber
yang paling bernilai yaitu karyawan (Sweem, 2009).
Untuk mempertahankan para karyawan, manajemen SDM harus aktif dan
membuat kebijakan bagi perbaikan karyawan sehingga karyawan akan puas
dengan organisasi dan bertahan dengan perusahaan dalam waktu yang panjang
(Gaddi, 2004). Efektivitas manajemen SDM setiap organisasi dianggap sebagai
karakteristik pembeda kesuksesan organisasi. Mengatur SDM secara efektif di
organisasi dalam perubahan lingkungan bisnis yang cepat ini merupakan hal yang
krusial bila organisasi ingin tetap bersaing (Airila, Hanaken, Punakallio, Lusa, &
Luukkonen, 2012).
Salah satu hal yang sebaiknya dilakukan manajemen SDM adalah
membuat strategi agar para karyawan dapat membawa keuntungan bagi organisasi
melalui komitmen dan dedikasi, discretionary effort, dan menggunakan talenta secara penuh, serta mendukung tujuan dan niai-nilai organisasi (Robertson &
Markwick, 2009). Inilah yang dikenal dengan istilah engagement. Engagement
menjadi salah satu topik yang cepat diserap dalam agenda Human Resource (HR), dimana engagement merupakan kunci tantangan yang menarik perhatian para
eksekutif dan professional seperti HR (HR Focus, 2006; Robertson & Markwick,
Hasil survey engagement yang dilakukan oleh Kenexa Institute (2012)
menemukan bahwa dari dua puluh delapan negara, yang salah satunya Indonesia,
hanya India saja yang skor engagementnya termasuk dalam kategori tinggi, yaitu 77%, sedangkan negara-negara lainnya kebanyakan termasuk dalam kategori
engagement yang moderate dan low-moderate. Indonesia memperoleh skor engagement 49% dan tergolong dalam kategori low-moderate. Dari data tersebut
dapat dilihat bahwa rata-rata engagement di berbagai negara masih rendah dan perlu ditingkatkan karena dengan adanya pegawai yang engaged tentunya akan dapat memberikan keuntungan bagi perusahaan.
Wagner & Harter (2011) menyatakan bahwa pegawai yang engaged dan bertalenta merupakan sumberdaya terbesar bagi perusahaan. Dengan pengelolaan
sumber daya yang baik, perusahaan dapat mencapai kinerja yang diharapkan serta
memiliki keunggulan kompetitif ketika orang-orang di dalamnya melakukan apa
yang terbaik dari dirinya. Untuk itulah, engagement dalam organisasi harus
ditingkatkan bila ingin sukses dalam persaingan bisnis. Rashid, Ashad dan Ashra
(2011; Sakovska, 2012) menyatakan bahwa engagement merupakan alat terbaik
dalam usaha perusahaan untuk menggali keuntungan kompetitif dan tetap
bersaing.
Hingga saat ini belum ada definisi yang konsisten dari engagement dimana
engagement dioperasionalisasikan dan diukur dalam banyak cara yang berbeda (Kular, Gatenby, Rees, Soane, & Truss, 2008). Kahn (1990) mendefinisikan
engagement sebagai memanfaatkan anggota-anggota organisasi untuk peran
diri mereka secara fisik, kognitif, dan emosional selama melakukan kinerjanya.
Menurut Gibbons (2006; Hughes & Eveline, 2008) engagement adalah hubungan emosional dan intelektual yang tinggi yang dimiliki oleh karyawan terhadap
pekerjaannya, organisasi, manajer, atau rekan kerja yang memberikan pengaruh
untuk menambah kebebasan menentukan upaya terbaik dalam pekerjaannya.
Konsep engagement juga banyak didefinisikan sebagai komitmen
emosional dan intelektual terhadap organisasi (Baumruk, 2004; Kular dkk, 2008).
Sedangkan Schaufeli, Salanova, Gonzales, dan Bakker (2002) mendefinisikan
work engagement sebagai keadaan motivasional yang positif yang
dikarakteristikkan oleh adanya vigor, dedikasi dan absorpsi. Vigor mengacu pada level energi yang tinggi dan resiliensi, kemauan untuk berusaha, tidak mudah
lelah dan gigih dalam menghadapi kesulitan. Dedikasi mengacu pada perasaan
penuh makna, antusias dan bangga dalam pekerjaan, dan merasa terinspirasi dan
tertantang olehnya. Absorpsi mengacu pada berkonsentrasi secara penuh dan
mendalam, tenggelam dalam pekerjaan.
Hasil-hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa work engagement
memberikan hasil yang positif bagi karyawan maupun organisasi. Dampak dari
adanya engagement pada kinerja bisnis dari beberapa studi,seperti penelitian oleh Corporate Leadership Council menemukan bahwa engagement menyumbangkan
40% bagi peningkatan kinerja, sementara karyawan yang berkomitmen tinggi
berusaha 57% lebih keras dalam pekerjaannya, performanya 80% lebih baik dan
87% kurang mungkin untuk meninggalkan perusahaan. Studi dari Watson Wyatt
dengan engagement yang tinggi mencapai kinerja finansial empat kali lebih besar
dibandingkan perusahaan dengan engagement yang rendah.
Hasil penelitian CIPD (2006) menunjukkan bahwa pegawai yang engaged kinerjanya lebih baik daripada yang lain, lebih mungkin untuk merekomendasikan
organisasi mereka ke yang lain, kemungkinan yang rendah untuk keluar,
mengalami kepuasan kerja yang meningkat dan lebih memiliki sikap dan emosi
yang positif terhadap pekerjaan. Hal ini memperlihatkan bahwa peningkatan level
engagement memberikan keuntungan bagi karyawan dan perusahaan.
Penelitian Schaufeli dan Bakker (2004) menunjukkan karyawan yang
engaged akan memiliki engagement yang kuat dengan organisasinya dan kecenderungan keluar yang rendah. Hasil penelitian Nusatria (2011) menunjukkan
bahwa engagement memiliki pengaruh yang positif terhadap kepuasan kerja dan komitmen organisasi. Menurut Gallup Organization (2004; Kular dkk, 2008),
Work Engagement Index (EEI) memiliki implikasi yang signifikan terhadap
kepuasan pelanggan, pertumbuhan yang berkelanjutan, kenaikan keuntungan,
kenaikan nilai saham, produktivitas dan retensi karyawan.
Dalam berbagai studi penelitian juga banyak diungkapkan faktor-faktor
yang menjadi pendorong karyawan untuk engaged. Pada tahun 2006, The Conference Board menerbitkan artikel “Work Engagement - Review Penelitian
Saat Ini dan Implikasinya” berdasarkan 12 studi besar yang dilakukan oleh
perusahaan riset seperti Gallup, Tower Perrin, Blessing White, dan lainnya.
kebanggaan terhadap perusahaan, pengembangan karyawan, keanggotaan dalam
tim, garis pandang antara kinerja pekerja dan kinerja perusahaan, hubungan
dengan manajer serta kepercayaan dan integritas (Siddhanta & Roy, 2010). Dalam
penelitian yang menyoroti engagement di China oleh Blessing White (2010) juga
menyebutkan bahwa kepercayaan dalam kepemimpinan merupakan salah satu
pendorong karyawan untuk terikat.
Sementara itu, Vazirani (2007) menyebutkan beberapa faktor yang
menjadi pendorong engagement, diantaranya adalah kepemimpinan. Margaretha dan Saragih (2008) mengungkapkan bahwa engagement bergantung kepada para
pemimpin dalam organisasi. Pemimpin harus berperan untuk menciptakan
lingkungan yang dapat membuat karyawan terikat secara emosional dan kognitif.
Jika tidak ada komitmen dan peran yang besar dari para pemimpin, sulit berharap
karyawan akan engaged.
Dalam kepemimpinan yang efektif, kepercayaan merupakan elemen yang
mendasar (Dirks & Skarlicki, 2004). Oleh karena itu, kepemimpinan berkaitan
erat dengan kepercayaan. Dalam kepemimpinan, kepercayaan berperan dalam
mempengaruhi hasil perilaku pengikut dari seorang pemimpin. Beberapa
organisasi juga menilai bahwa pemimpin dapat menciptakan kebudayaan
organisasi yang baik apabila difalisitasi oleh kepercayaan dari bawahan mereka
(Salam, 2000). Pemimpin memiliki otoritas untuk membuat keputusan yang
memiliki dampak signifikan pada pengikutnya (seperti bayaran, tugas-tugas
pekerjaan, dan promosi), sehinggga kepercayaan terhadap pemimpin merupakan
dalam hubungan antara pemimpin dan pengikutnya, kepercayaan sangat
dibutuhkan.
Matthai (1989; Astuti, 2005) mengatakan bahwa kepercayaan merupakan
perasaan percaya diri yang dimiliki oleh karyawan dimana ketika menghadapi
situasi yang tidak pasti atau beresiko, maka perilaku dan kata-kata pemimpin
menunjukkan konsistensi dan sangat membantu. McAllister (1997)
mengungkapkan kepercayaan didasarkan pada pengaruh terhadap kepemimpinan
dan didefinisikan sebagai ikatan emosional diantara pemimpin dan pengikutnya
yang dikarakteristikkan dengan adanya kepedulian dan perhatian dan kepercayaan
dalam kata-kata, tindakan, dan keputusan dari yang lain.
Tyler dan Kramer (1996; Hua 2004) berpendapat bahwa kepercayaan
merupakan hal yang kritis bagi bawahan karena pertama, bawahan tergantung
kepada supervisor sebagai pemimpin mereka untuk berbagai jenis sumber-sumber
organisasi yang kritis, seperti promosi, kenaikan gaji, dukungan staff, dan
sumber-sumber lain yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan seseorang. Bagi
bawahan, kepercayaan terhadap supervisor merupakan hal yang berarti karena
kebanyakan hasil yang mungkin mereka peroleh dari organisasi berhubungan
secara dekat dengan pemimpin mereka tersebut. Alasan kedua bahwa bawahan
bergantung pada supervisor untuk sumber-sumber psikologis, seperti penguatan
positif, empati, dan dukungan sosial.
Adanya kepercayaan dalam hubungan antara pemimpin dengan bawahan,
tentunya akan memberikan dampak positif. Costigan, Insinga, Berman, Iter,
kepercayaan tinggi terhadap pemimpin mereka akan menjadi lebih mau berusaha
dalam pekerjaannya dan lebih mungkin mengembangkan sikap inisiatif dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam pekerjaan, menunjukkan energi dan
memiliki motivasi instrinsik untuk melakukan sesuatu, mengambil resiko dan
mencoba ide-ide baru ataupun menjadi lebih kreatif. Kepercayaan karyawan
terhadap pemimpin juga akan berkorelasi dengan kinerja pekerjaan dan OCB
(Dirks dan Ferrin, 2002).
Mayer & Schoorman (1995) menyatakan bahwa semakin besar
kepercayaan antara pemimpin dan pekerjanya, maka pertukaran informasi
semakin akurat, pemahaman terhadap tujuan kinerja semakin baik dan kualitas
komunikasi yang berkembang semakin tinggi. Tidak adanya kepercayaan dari
bawahan, membuat seorang atasan sulit untuk dapat menyelesaikan
tugas-tugasnya. Hubungan pemimpin dengan bawahannya bisa berhasil jika ada
kepercayaan dan keterbukaan antara pemimpin dan bawahan (Argi, 2008).
Kepercayaan kepada pemimpin berarti karyawan merasakan bahwa pemimpin
dapat dipercaya dan dianggap bisa memberi manfaat kepada karyawan (Regiana,
Nurtjahjanti & Putra, 2007).
Sementara itu, Kaskivirta (2011) menyatakan dengan adanya kepercayaan
antara pemimpin dan bawahan, karyawan akan mampu bekerja pada level
tertinggi dan bahkan pencapaian lebih terhadap tugas dan tujuan mereka, sehingga
penting bagi organisasi untuk mempertahankan hubungan kepercayaan antara
pemimpin dan bawahan. Kepercayaan menjadi lem yang mengikat bersama,
bawahan menghasilkan hasil yang positif bagi organisasi dan individu itu sendiri.
Dalam hal ini, terlihat jelas bahwa kepercayaan dalam hubungan pemimpin dan
bawahan memainkan peranan besar dalam membangun kesuksesan organisasi.
Penelitian mengenai kepercayaan telah banyak dilakukan karena
kepercayaan merupakan elemen penting dalam suatu hubungan (Tan & Tan,
2000). Penelitian Long dan Siktin (2006; Berg, 2011) menunjukkan bahwa
elemen-elemen kunci untuk meningkatkan efektivitas organisasi adalah
tergantung pada usaha manajeruntuk membangun kepercayaan antara pekerja dan
organisasi. Ouchi (1981; Astuti, 2005) mengatakan bahwa kepercayaan
merupakan hal pertama yang harus dipahami karena kepercayaan dan
produktivitas berjalan beriringan. Adanya kepercayaan terhadap pemimpin akan
memberikan banyak manfaat, yaitu karyawan yang terikat, budaya kerja yang positif dan hasil-hasil yang sangat penting (Development Dimensions
International, 2000).
Wrebel (2009) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa kesetaraan,
integritas, ketersediaan, keterbukaan dan discreteness merupakan hal yang penting
bagi kepercayaan bawahan terhadap pemimpin dibandingkan dengan keadaan
lain. Kesetaraan akan membawa kepada kepercayaan dan kepercayaan akan
meningkatkan kemungkinan orang-orang akan mengambil resiko untuk menjadi
engaged (Schneider, Macey, Barbera, & Young, 2010).
Sementara, Chugtai dalam penelitiannya berpendapat bahwa pengukuran
kepercayaan dengan menggunakan karakteristik kepercayaan dari Mishra, yaitu
dengan pengukuran lainnya karena faktor kepercayaan dari Mishra paling sering
muncul pada literatur-literatur penelitian dan menjelaskan bagian lebih besar dari
sifat yang dapat dipercaya (Clark & Payne,1997; Chugtai, 2010). Apabila pekerja
yakin bahwa pemimpinnya peduli terhadap kesejahteraan mereka, memiliki
kepercayaan diri terhadap kemampuannya dan memperlakukan bawahannya
dengan hormat, mereka lebih mungkin untuk mengeluarkan energi yang lebih
besar, pengabdian dan minat terhadap pekerjaannya (Saks, 2006). Mishra (1996)
berpendapat bahwa keempat dimensi kepercayaannya tersebut mewakili
komponen-komponen dari seluruh konstruk kepercayaan. Skala kepercayaan dari
Mishra juga dapat digunakan untuk mengukur bentuk kepercayaan baik
interpersonal maupun impersonal.
Schneider dkk (2010) menyatakan bahwa jika ingin mendapat keuntungan
dari sumber kerja yang terikat, maka perusahaan harus bisa memunculkan hal-hal
yang dapat mempromosikan dan mempertahankan kepercayaan. Orang-orang
akan merasa terikat dalam bekerja sama dengan orang lain yang mereka percayai
(Schneider dkk., 2010). Bukti penelitian mengindikasikan bahwa iklim
kepercayaan membawa pada keuntungan yang luas dan berbeda bagi individu
yang engaged dalam organisasi. Studi-studi sebelumnya menunjukkan bahwa meningkatnya kepercayaan menghasilkan secara langsung atau tidak langsung
sikap dan perilaku positif di tempat kerja seperti komitmen organisasi dan
engagement (Hassan & Ahmed, 2011). Dengan adanya kepercayaan akan
Sebelumnya, telah ada penelitian yang terkait dengan engagement dan
kepercayaan yang dilakukan oleh Hasan & Ahmed (2011) pada pegawai bank di
Malaysia, yaitu penelitian mengenai “Authentic Leadership, Trust and Work Engagement”. Dalam studi ini peneliti menggunakan teori engagement dari
Schaufeli dan menggunakan dimensi kepercayaan dari Mayer, Davis dan
Schoorman (1995). Penelitian ini menelusuri isu mengenai kepemimpinan dari
beberapa perspektif dan menguji bagaimana kepemimpinan autentik berkontribusi
terhadap kepercayaan bawahan terhadap pemimpin dan juga bagaimana
kepercayaan memprediksi engagement bawahannya. Hasil studi menunjukkan
ketiga variabel saling berhubungan satu sama lain. Terdapat hubungan yang
positif diantara komponen-komponen dari kepercayaan interpersonal dengan work
engagement. Hubungan yang positif antara kepemimpinan autentik dengan kepercayaan interpersonal dan hubungan yang signifikan antara kepemimpinan
autentik dengan work engagement.
Oleh karena itu, berkenaan dengan hal-hal di atas, dapat dilihat bahwa
kepercayaan dalam suatu hubungan, khususnya hubungan antara pemimpin
dengan bawahan memang merupakan hal yang penting untuk mendorong work engagement diantara para pekerja. Penelitian sebelumnya menemukan bahwa terdapat hubungan antara kepercayaan dengan work engagement. Namun, karena
penelitian sebelumnya dilakukan pada perusahaan perbankan, maka peneliti
model dimensi kepercayaan yang berbeda, yaitu dimensi kepercayaan dari Mishra
(2008).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas pertanyaan yang harus dijawab dalam
penelitian ini adalah apakah ada pengaruh kepercayaan kepada pemimpin
terhadap work engagement?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan sebelumnya, maka
tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kepercayaan kepada
pemimpin terhadap work engagement.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan di bidang
psikologi, khususnya dalam Psikologi Industri dan Organisasi dalam aplikasinya
terutama mengenai pengaruh kepercayaan kepada pemimpin terhadap work engagement. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menguji teori yang
2. Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi mengenai work engagement dankepercayaan kepada pemimpinbagi perusahaan.
b. Bagi akademis, hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan bahan acuan
atau pertimbangan untuk dijadikan langkah awal bagi peneliti
selanjutnya yang ingin melengkapi penelitian ini dan mengembangkan
penelitian mengenai work engagement dan kepercayaan kepada pemimpin.
E. Sistematika Penulisan
Penelitian ini terdiri dari lima bab dan setiap bagiannya terdiri dari sub-sub
bab yaitu ;
Bab I : Pendahuluan berisikan uraian mengenai latar belakang penelitian,
perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan
sistematika penulisan.
Bab II : Landasan teori berisi tinjauan teoritis tentang work engagement dan
kepercayaan kepada pemimpin, hubungan antar variabel dan
hipotesa penelitian.
Bab III : Metode penelitian berisi uraian mengenai metode penelitian yang
digunakan, meliputi identifikasi variabel penelitian, definisi
operasional dari work engagement dan kepercayaan kepada
metode pengambilan data, uji coba alat ukur, prosedur pelaksanaan
penelitian dan metode analisa data.
Bab IV : Analisa data dan pembahasan mengenai laporan hasil penelitian
yang meliputi uji asumsi, yaitu uji normalitas dan linearitas, hasil
utama penelitian, dan pembahasan data-data penelitian ditinjau dari
teori-teori yang relevan.
Bab V : Kesimpulan dan saran berisi kesimpulan dari hasil penelitian dan
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Work Engagement
Saat ini, engagement merupakan salah satu topik yang hangat di antara perusahan konsultan dan media-media bisnis terkenal (Saks, 2006). Work
engagement menjadi istilah yang meluas dan populer (Robinson, Perryman & Hayday, 2004) dan beberapa menyebutkan engagement dengan istilah “anggur tua dalam botol yang baru” (Saks, 2004). Hasil survey dari 665 kepala eksekutif
karyawan di Amerika, Eropa, Jepang dan negara-negara lainnya menyebutkan
bahwa engagement merupakan salah satu dari lima tantangan teratas bagi
manajemen (Wah, 1999; Sakovska, 2012).
Penelitian-penelitian yang dilakukan menemukan banyak manfaat dan
keuntungan dari adanya work engagement. Para peneliti yakin bahwa organisasi
dengan level engagement yang tinggi memberikan hasil yang positif bagi organisasi (Kular, Gatenby, Rees, Soane, & Truss, 2008). Kahn (1990)
menyatakan bahwa level engagement yang tinggi membawa kepada hasil yang positif bagi individu (kualitas dari pekerjaan orang-orang dan pengalaman mereka
dalam melakukan pekerjaan) dan juga level organisasi (pertumbuhan dan
produktivitas organisasi). Work engagement memungkinkan individu untuk menanamkan diri sepenuhnya terhadap pekerjaan dengan meningkatkan self-efficacy dan berdampak positif pada kesehatan karyawan yang akan meningkatkan
1. Definisi Work Engagement
Telah banyak studi yang dilakukan mengenai engagement, tetapi sampai saat ini belum ada definisi yang konsisten dan universal mengenai engagement , begitu juga dalam hal operasionalisasi dan pengukurannya yang masih dalam cara
yang berbeda-beda (Kular, Gatenby, Rees, Soane, & Truss, 2008). Oleh karena itu
penggunaan istilah engagement yang dikemukakan oleh berbagai peneliti masih
berbeda-beda, ada yang menyebut dengan istilah employee engagement seperti Saks (2006) dan istilah work engagement, seperti Schaufeli, Salanova, Gonzalez-Roma, & Bakker (2002).
Murnianita (2012) menyatakan bahwa istilah employee engagement dengan work engagement seringkali digunakan bergantian, tetapi work
engagement dianggap lebih spesifik. Work engagement mengacu pada hubungan antara karyawan dengan pekerjaannya, sedangkan employee engagement terkait hubungan antara karyawan dengan organisasi (Schaufeli & Bakker, 2010).
Konsep engagement pertama sekali diperkenalkan oleh Kahn. Kahn (1990) mendefinisikan engagement sebagai penguasaan karyawan sendiri terhadap peran
mereka dalam pekerjaan, dimana mereka akan mengikat diri dengan
pekerjaannya, kemudian akan bekerja dan mengekspresikan diri secara fisik,
kognitif dan emosional selama memerankan performanya. Aspek kognitif
mengacu pada keyakinan pekerja terhadap organisasi, pemimpin dan kondisi
pekerjaan. Aspek emosional mengacu pada bagaimana perasaan pekerja apakah
mengenai energi fisik yang dikerahkan oleh karyawan dalam melaksanakan
perannya.
Kahn (1990) juga berpendapat bahwa engagement meliputi kehadiran baik secara psikologis maupun fisik saat menunjukkan peran organisasi. Menurut
Kahn, level-level ini secara signifikan dipengaruhi oleh tiga domain psikologis,
yaitu kebermaknaan, keamanan dan ketersediaan. Domain inilah yang akan
mempengaruhi bagaimana karyawan menerima dan melaksanakan peran mereka
di tempat kerja. Namun demikian, meskipun Kahn memberikan model teoritis
yang kompherensif dari kehadiran psikologis, ia tidak mengusulkan
operasionalisasi dari konstruk engagement ini. Selain itu, model engagement Kahn ini, belum teruji secara empiris di konteks yang berbeda dan diantara
kelompok – kelompok pekerjaan lainnya dan inilah yang menjadi salah satu
kelemahannya (Chugtai, 2010).
Pendekatan kedua mengenai konsep engagement berasal dari literatur
mengenai burnout (Maslach, Schaufeli, & Leiter (2001). Maslach dkk. (2001) mendefinisikan work engagement sebagai lawan dari burnout, dimana engagement sebagai keadaan emosional yang menetap (persisten),
dikarakteristikkan dengan adanya level yang tinggi dalam aktivasi dan
kesenangan. Maslach & Leiter (1997; Schaufeli & Bakker, 2003) berasumsi
bahwa engagement dan burnout membentuk kutub-kutub yang berlawanan dalam suatu kontinum kerja yang berkaitan dengan kesejahteraan, dimana burnout
operasionalisasi definisi engagement, asumsi mengenai burnout dan engagement
merupakan kutub-kutub yang saling berlawanan belum begitu diterima dan
penggunaan instrument tunggal, yaitu Maslach Burnout Index (MBI) untuk
membuktikan konsep tersebut masih dipertanyakan dalam penelitian lain (Lee,
2012).
Schaufeli, Salanova, Gonzalez-Roma, & Bakker (2002) menyediakan
pendekatan ketiga bagi engagement dengan memberikan perspektif yang berbeda mengenai teori kontinum engagement-burnout. Mereka mendefinisikan work engagement sebagai keadaan positif, pemenuhan, pandangan terhadap kondisi
kerja yang dikarakteristikkan dengan adanya vigor, dedication dan absorption. Vigor mengacu pada tingkat energi dan resiliensi mental yang tinggi ketika sedang
bekerja, kemauan berusaha sunguh-sunguh dalam pekerjaan dan gigih dalam
menghadapi kesulitan. Dedication mengacu pada perasaan yang penuh makna, antusias, inspirasi, kebanggan dan tantangan. Absorption dikarakteristikkan
dengan konsentrasi penuh, minat yang mendalam terhadap pekerjaan dimana
waktu terasa berlalu begitu cepat dan sulit melepaskan diri dari pekerjaan.
Schaufeli dkk. (2002) membedakan engagement dari konstruk-konstruk peran pekerjaan lainnya, dimana daripada keadaan sesaat dan spesifik,
engagement mengacu pada keadaan afektif-kognitif yang lebih menetap
(persisten) dan menyeluruh, yang tidak hanya fokus pada objek, kejadian, individu
atau perilaku tertentu.
dalam studi penelitian (Lee, 2012). Selain itu, model work engagement Schaufeli
dkk. (2002) memiliki dasar teori yang kuat dibandingkan teori engagement lain (Chugtai, 2010).
Berdasarkan uraian di atas, mengacu pada pendapat Schaufeli dkk. (2002),
maka definisi work engagement dalam penelitian ini adalah keadaan motivasional yang positif dan adanya pemenuhan diri dalam pekerjaan yang dikarakteristikkan
dengan adanya vigor (kekuatan), dedication (dedikasi), dan absorption (absorpsi).
2. Aspek- Aspek Work Engagement
Schaufeli, Salanova, Gonzales-Roma, dan Bakker (2002) mendefinisikan
work engagement sebagai keadaan motivasional positif, pemenuhan, pandangan
terhadap kondisi kerja yang dikarakteristikkan dengan adanya vigor, dedication dan absorption. Berdasarkan definisi ini, Schaufeli dan Bakker (2003) mengkonseptualisasikan aspek-aspek dari engagement, sebagai berikut :
a. Vigor (kekuatan)
Vigor mengacu pada level energi yang tinggi dan resiliensi, kemauan
untuk berusaha, tidak mudah lelah dan gigih dalam menghadapi kesulitan.
Biasanya orang-orang yang memiliki skor vigor yang tinggi memiliki energi, gelora semangat, dan stamina yang tinggi ketika bekerja, sementara
b. Dedication (dedikasi)
Dedication mengacu pada perasaan penuh makna, antusias dan bangga dalam pekerjaan, dan merasa terinspirasi dan tertantang olehnya.
Orang-orang yang memiliki skor dedication yang tinggi secara kuat
mengidentifikasi pekerjaan mereka karena menjadikannya pengalaman
berharga, menginspirasi dan menantang. Disamping itu, mereka biasanya
merasa antusias dan bangga terhadap pekerjaan mereka. Sedangkan skor
rendah pada dedication berarti tidak mengidentifikasi diri dengan pekerjaan karena mereka tidak memiliki pengalaman bermakna,
menginspirasi atau menantang, terlebih lagi mereka merasa tidak antusias
dan bangga terhadap pekerjaan mereka.
c. Absorption (absorpsi)
Absorption mengacu pada berkonsentrasi secara penuh dan mendalam, tenggelam dalam pekerjaan dimana waktu berlalu terasa cepat dan
kesulitan memisahkan diri dari pekerjaan, sehingga melupakan segala
sesuatu disekitarnya. Orang-orang yang memiliki skor tinggi pada
absorption biasanya merasa senang perhatiannya tersita oleh pekerjaan,
merasa tenggelam dalam pekerjaan dan memiliki kesulitan untuk
memisahkan diri dari pekerjaan. Akibatnya, apapun disekelilingnya
terlupakan dan waktu terasa berlalu cepat. Sebaliknya orang dengan skor
absorption yang rendah tidak merasa tertarik dan tidak tenggelam dalam
pekerjaan, tidak memiliki kesulitan untuk berpisah dari pekerjaan dan
3. Konsep-Konsep yang Berkaitan Dengan Work Engagement
Dalam literatur akademik, terdapat beberapa konsep yang dihubungkan
dengan engagement, tetapi konsep-konsep tersebut tidak sama dengan engagement (Saks, 2006), diantaranya :
a. Flow
Flow merupakan sensasi menyeluruh yang dirasakan seseorang ketika
mereka bertindak dengan penuh keterlibatan (Csikszentmihalyi, 1975;
May, Gilson, & Harter, 2008). Ketika seseorang berada dalam keadaan
flow dibutuhkan sedikit kontrol kesadaran untuk tindakan mereka. Individu
membatasi perhatian mereka kepada stimulus khusus. Mereka kehilangan
kesadaran mengenai diri mereka sendiri karena sudah terlarut dengan
aktivitas itu sendiri. Individu yang mengalami flow tidak membutuhkan reward eksternal atau tujuan untuk memotivasi mereka selama aktivitas tersebut menghadirkan tantangan-tantangan yang konstan. Jika konsep
flow semata dinilai sebagai keterlibatan kognitif dengan suatu aktivitas dan menghadirkan pengalaman puncak yang unik dari keterlarutan kognitif
menyeluruh (May dkk., 2004), engagement lebih digambarkan sebagai keadaan afektif-kognitif yang menetap dan tidak fokus pada objek,
kejadian, individu atau perilaku tertentu (Schaufeli dkk., 2002).
b. Workaholism
Pekerja yang engaged bekerja keras karena pekerjaannya menantang dan
menyenangkan, bukan karena mereka didorong oleh desakan kuat dari
c. Organizational Commitment
Work engagement juga sering didefinisikan sebagai komitmen emosional dan intelektual terhadap organisasi (Baumruk, 2005; Kular dkk, 2008).
Menurut Maslach dkk. (2001) komitmen organisasi merupakan sikap
seseorang dan kedekatan terhadap organisasi mereka, sedangkan work engagement bukanlah sikap, melainkan derajat dimana individu berminat
dan terserap dalam kinerja peran mereka. Disamping itu, komitmen fokus
pada organisasi, sedangkan work engagement fokus pada tugas-tugas.
d. Organizational Citizen Behavior
Saks (2006) menyatakan bahwa OCB melibatkan kesadaran dan perilaku
informal yang dapat menolong rekan kerja dan organisasi, sedangkan
fokus engagement adalah kinerja peran formal seseorang dibandingkan peran ekstra dan perilaku sadar. Selain itu, OCB fokus pada karakteristik
dan perilaku individu, dibandingkan organisasi.
e. Job Involvement
Work engagement juga berbeda pula dengan job involvement, dimana job involvement merupakan hasil dari penilaian kognitif mengenai kebutuhan
pemuasan kemampuan dari pekerjaan dan mengikat gambaran diri
seseorang, sedangkan work engagement melibatkan penggunaan secara
aktif emosi dan perilaku disamping kognisi (May, Gilson, & Harter, 2004;
4. Faktor- Faktor yang Mendorong Work Engagement
Berbagai penelitian telah meneliti faktor-faktor yang menjadi pendorong
work engagement. Berikut ini dirangkum beberapa faktor pendorong dari berbagai penelitian, diantaranya sebagai berikut :
a. Job Characteristic
Kahn (1990) mengungkapkan bahwa kebermaknaan psikologis dapat
dicapai dari karakteristik tugas yang menyediakan pekerjaan menantang,
bervariasi, membutuhkan berbagai keterampilan, kebebasan mengambil
keputusan sendiri dan kesempatan untuk membuat suatu kontribusi yang
penting. Hal ini sesuai dengan karakteristik pekerjaan dari Hackman dan
Oldham, yaitu skill variety, task identity, task significance, autonomy, dan
feedback. Menurut Kahn, pekerja akan lebih engaged apabila disediakan pekerjaan yang memiliki kelima karakteristik tersebut.
b. Perceived Organizational and Supervisor Support
Variabel yang penting dalam dukungan sosial adalah peresepsi terhadap
dukungan organisasi dan persepsi terhadap dukungan supervisor. POS
mengacu pada keyakinan umum bahwa organisasi menghargai kontribusi
mereka dan peduli akan kesejahteraan mereka. Dasar dari penelitian
dukungan organisasi adalah social exchange theory (SET). SET
merupakan norma timbal balik antara karyawan dengan perusahaan,
dimana ketika karyawan menerima sumber-sumber yang penting dari
organisasi, maka karyawan akan merasa berkewajiban untuk membayar
menciptakan sebuah kewajiban karyawan untuk peduli terhadap
kesejahteraan organisasi dan membantu organisasi mencapai tujuannya
sebagai balasannya organisasi akan menghargai kontribusi karyawannya
dan peduli terhadap kesejahteraan karyawannya. POS dapat membawa
pada hasil yang postitif yaitu melalui engagement. Dengan kata lain, karyawan yang memiliki POS yang tinggi, menjadi lebih engaged terhadap
pekerjaan dan organisasi mereka sebagai bagian dari norma timbal balik
dari SET sehingga membantu organisasi untuk mencapai tujuannya (Saks,
2006).
c. Reward and Recognition
Kahn (dalam Saks, 2006) mengungkapkan bahwa individu bervariasi
dalam engagement mereka sesuai dengan bagaimana fungsi mereka mempersepsikan keuntungan yang diterima dari perannya. Pekerja akan
lebih mungkin untuk engaged dalam pekerjaan sejauh mana mereka
mempersepsikan jumlah yang lebih besar dari rewards dan rekognisi bagi kinerja peran mereka
d. Distributive Justice-Procedural Justice
Distributive justice merupakan persepsi terhadap keadilan sebuah keputusan sedangkan procedural justice merupakan persepsi keadilan
terhadap proses yang digunakan dalam menentukan dan mendistribusikan
sumber daya yang ada. Ketika karyawan memiliki persepsi yang tinggi
wajib adil untuk berperforma dalam peran mereka dengan memberikan diri
mereka sendiri melalui tingkat engagement yang lebih besar (Saks, 2006). e. Keterlibatan dalam pembuatan keputusan, sejauh mana karyawan merasa
mampu menyuarakan ide mereka, manajer mendengar pandangan
karyawannya dan menghargai kontribusi dari karyawan, kesempatan
karyawan untuk mengembangkan pekerjaan mereka, dan sejauh mana
organisasi perhatian terhadap kesehatan dan kesejahteraan karyawan akan
meningkatkan engagement (Robinson, 2004). f. Komunikasi
Perusahan harus mengikuti kebijakan pintu terbuka. Harus ada komunikasi
ke atas dan ke bawah dengan jalur komunikasi yang tepat dalam
organisasi. Jika karyawan diizinkan dalam memberikan pembuatan
keputusan dan benar-benar di dengar oleh pemimpinnya, maka level
engagement akan tinggi (Vazirani, 2007).
g. Kepemimpinan
Organisasi yang sukses menghargai setiap kualitas dan kontribusi
karyawan tanpa menghiraukan level pekerjaan mereka (Vazirani, 2007).
Pemimpin yang efektif mampu mempengaruhi pengikutnya untuk dapat
mencapai tujuan organisasi. Pemimpin memiliki peran penting dalam
h. Health and Safety
Penelitian telah mengindikasikan bahwa level engagement rendah jika karyawan merasa tidak aman ketika bekerja. Oleh sebab itu, organisasi
seharusnya membuat metode dan sistem yang berkaitan dengan kesehatan
dan keselamatan karyawan (Vazirani, 2007).
i. Job Satisfaction
Hanya karyawan yang puas yang dapat menjadi karyawan yang engaged. Oleh sebab itu, sangat penting bagi organisasi untuk melihat pekerjaan
yang diberikan kepada karyawan dan membuat suatu tujuan karir dimana
hal tersebut akan membuat mereka menikmati pekerjaan mereka dan
otomatis akan puas dengan pekerjaannya (Vazirani, 2007).
j. Kepercayaan dan Integritas
Seorang manajer harus mengkomunikasikan dengan baik dan memegang
perkataannya (The Conference Board dalam Siddhanta & Roy, 2010).
Karyawan yang mempercayai pemimpin-pemimpin di organisasi karena
pemimpin yang mengatur irama dari kebudayaan organisasi dan
menginspirasi kinerja dan komitmen yang tinggi akan mendorong
engagement. Kepercayaan yang tinggi pada manajer dan pemimpin-pemimpin senior berhubungan dengan skor engagement yang tinggi
B. Kepercayaan kepada Pemimpin
Kepercayaan merupakan topik yang telah banyak dipeljari dan telah
diidentifikasi sebagai salah satu konstruk yang paling sering diteliti dalam literatur
organisasi (Burke, Sims, Lazzara & Salas, 2007). Gambetta (1988)
mendefinisikan kepercayaan organisasi sebagai evaluasi terhadap rasa percaya
pada organisasi yang dipersepsikan oleh karyawan, dimana karyawan memiliki
kepercayaan diri bahwa organisasi akan menunjukkan tindakan yang
menguntungkan dan tidak merugikan karyawannya. Costigan (2006) membagi
kepercayaan organisasi menjadi dua jenis, yaitu kepercayaan horizontal dan
kepercayaan vertikal. Kepercayaan horizontal merupakan kepercayaan diantara
sesama rekan kerja, sedangkan kepercayaan vertikal merupakan kepercayaan
antara atasan-bawahan ataupun pemimpin dengan bawahannya.
Beberapa dekade terakhir, kepercayaan kepada pemimpin menjadi konsep
yang penting dalam banyak disipilin ilmu, seperti psikologi organisasi
manajemen, administrasi publik, komunikasi organisasi dan sebagainya. Dalam
penelitian literatur perilaku organisasi, misalnya, kepercayaan diidentifikasi
sebagai bagian yang penting dalam teori kepemimpinan (Dirks & Sarlicki, 2000).
Tan & Tan (2000) menyatakan bahwa kepercayaan kepada pemimpin dan
organisasi merupakan variabel yang saling berhubungan. Pekerja bisa membuat
penilaian terhadap kepercayaan organisasi dengan membuat kesimpulan dari
interaksi dengan pemimpinnya. Ketika bawahan mempercayai pemimpin, mereka
dapat menyamaratakan kepercayaan tersebut ke keseluruhan organisasi karena
Pugh, 1994; Tan, 2000). Oleh karena itu, dapat dilihat bahwa dengan adanya
kepercayaan kepada pemimpin, akan lebih mudah bagi karyawan untuk
mengembangkan kepercayaan terhadap organisasi.
Laine (2008) menyebutkan ada dua alasan utama mengapa kepercayaan
dalam hubungan antara pemimpin atau atasan dengan bawahan itu penting. Alasan
pertama dihubungkan dengan cara berhubungan di tempat kerja, karena bagi
kebanyakan orang hubungan sosial di tempat kerja menjadi pusat dari interaksi
kehidupan mereka setiap hari. Kepercayaan dalam hubungan antara atasan dengan
bawahan berhubungan secara sosial karena atasan akan mempengaruhi
kesejahteraan karyawannya di tempat kerja. Alasan kedua karena sejauh ini masih
sedikit penelitian empiris mengenai kepercayaan dalam konteks kepemimpinan.
Padahal pemimpin memiliki peran penting dalam menentukan efektivitas
organisasi pada semua level (individu, tim, unit) yang ada dalam organisasi
(Burke, Sims, Lazzara, & Salas, 2007).
Dirks dan Ferrin (2001) menemukan dari hasil metanalisisnya bahwa
kepercayaan kepada pemimpin memiliki hubungan yang signifikan dengan
dengan outcome individu, seperti kinerja pekerjaan, OCB, turnover intentions, komitmen organisasi dan komitmen terhadap keputusan pemimpin. Studi-studi
sebelumnya juga telah menyoroti pentingnya kepercayaan bagi kesejahteraan
individu dalam lingkungan bisnis. Kepercayaan merupakan fondasi dari hubungan
yang bermanfaat dan sukses diantara individu maupun organisasi (Mayer, Davis,
1. Definisi Kepercayaan kepada Pemimpin
Definisi kepercayaan yang dikutip secara luas berasal dari definisi yang
dikemukakan oleh Mayer, Davis, & Schoorman (1995). Mayer dkk. (1995)
mendefinisikan kepercayaan sebagai kemauan seseorang untuk menjadi rentan
(vulnerable) terhadap tindakan pihak lain dengan mengharapkan hal yang positif dari tindakan pihak lain tersebut. Dua hal penting dari definisi ini adalah adanya
harapan positif dan kemauan untuk menjadi rentan, dalam arti, dimana rentan
merupakan resiko yang harus diambil dalam menghadapi ketidakpastian. Model
kepercayaan Mayer dkk. (1995) ketika diaplikasikan dalam hubungan antara
pemimpin dan pengikutnya, memperkirakan bahwa kepercayaan pada pemimpin
akan berfungsi khususnya pada ability, benevolence, dan integrity yang ada pada
pemimpin. Ability merupakan sekelompok keterampilan, kompetensi dan karakteristik yang memungkinkan suatu pihak memiliki pengaruh dalam domain
yang spesifik. Benevolence merupakan sejauh mana satu pihak (trustee) yakin
untuk melakukan hal yang baik terhadap pihak lain yang dipercaya (trustor). Integrity melibatkan persepsi trustor yang dilekati oleh trustee terhadap
seperangkat prinsip bahwa trustor menemukan penerimaan. Kelemahan konsep ini adalah belum mengungkapkan bagaimana harapan positif itu dapat dihasilkan
(Chugtai, 2010).
Kelemahan konsep kepercayaan dari Mayer dkk. (1995) diatasi oleh
konsep multidimensional kepercayaan yang dikemukakan oleh Mishra (1996).
rentan terhadap pihak lain berdasarkan keyakinan bahwa pihak lain tersebut
competen, reliable, openness, dan concern.
Mishra dan Mishra (2008) mengembangkan konsep kepercayaan dari
Mishra (1996) dengan mengemukakan definisi yang sama, namun dimensi peduli
(concern) berubah menjadi compassion, meskipun kedua konstruk tersebut sebenarnya memiliki makna yang sama. Konsep Mishra dan Mishra (2008)
dikenal dengan istilah ROCC trust (reliability, openness, competence dan compassion). ROCC trust menjadi kunci elemen yang mempengaruhi seseorang untuk dapat mempercayai pemimpinnya (Mishra & Mishra, 2008). Melalui
studi-studi penelitian selama hampir dua dekade, Mishra dan Mishra mengidentifikasi
empat fondasi kuat bagi individu untuk dapat mempercayai pemimpinnya ataupun
orang lain, yaitu didasarkan pada ROCC trust.
Definisi kepercayaan lainnya diungkapkan oleh McAllister (1997).
McAllister mengemukakan kepercayaan interpersonal sebagai keyakinan individu
dan kemauan untuk bertindak berdasarkan kata-kata, tindakan dan keputusan yang
lain. Perspektif ini menunjukkan bahwa kepercayaan melibatkan keintiman
dengan kepercayaan diri terhadap yang lain, yang dibawa oleh individu ke dalam
situasi ketergantungan yang beresiko. McAllister membagi kepercayaan menjadi
dua, yaitu cognition-based trust dan affect-based trust. Cognition based trust
berdasarkan keyakinan individu terhadap reliabilitas dan dependability. Affected-based trust berdasarkan saling peduli dan perhatian dalam suatu hubungan.
Kepercayaan terhadap pemimpin menurut Tan & Tan (2000) merupakan
yang perilaku dan tindakan tersebut tidak dapat dikontrolnya dan yang
bertanggung jawab untuk mengkomunikasikan kepada mereka tujuan dan
kebijakan yang telah ditentukan oleh manajemen atas. Persepsi mengenai
kepercayaan ini didasarkan pada karakter yang dimiliki oleh pemimpin.
Dirks & Ferrin (2002) menyatakan bahwa kepercayaan merupakan fitur
penting dalam hubungan yang dimiliki pemimpin dengan bawahan mereka dan
melalui kepercayaan bawahan dan respek dari pimpinan mereka, bawahan akan
termotivasi untuk berperforma melebihi dari yang diharapkan.
Dirks and Skarlicki (2004) menyatakan bahwa kepercayaan dengan
memperhatikan karakter pemimpin adalah penting karena pemimpin memiliki
otoritas untuk membuat keputusan yang signifikan yang berdampak terhadap
pengikutnya dan kemampuan pengikutnya untuk mencapai tujuan (seperti
promosi, bayaran, tugas pekerjaan, pemberhentian sementara).
Berdasarkan pendapat yang tersebar diantara peneliti dan para ahli bahwa
konsep kepercayaan Mishra memiliki kelebihan daripada konsep kepercayaan
lain, sehingga lebih sering digunakan (Chugtai, 2010). Karakteristik kepercayaan
dari Mishra paling sering muncul dalam berbagai literatur penelitian dan
selangkah lebih maju daripada konsep Mayer dkk (1995) karena Mishra secara
eksplisit menetapkan empat karakteristik dari trustee yang mana dapat
menimbulkan harapan positif dan mendorong trustor untuk mau mengambil resiko dengan meletakkan kesejahteraannya sendiri di tangan trustee.
Berdasarkan uraian di atas, definisi kepercayaan kepada pemimpin
hal ini adalah pemimpin) bedasarkan keyakinan bahwa pihak tersebut kompeten,
terbuka, peduli (compassion) dan reliabel.
2. Aspek- Aspek Kepercayaan
Mishra & Mishra (2008) mengkonseptualisasikan aspek-aspek dari
kepercayaan sebagai berikut :
a. Reliability
Seseorang dikatakan reliable ketika berperilaku dalam cara yang seimbang
dan konsisten. Bertanggung jawab melakukan apa yang dikatakan untuk
dilakukannya. Melakukan sesuatu ketika memiliki kemauan dan akan
menunjukkannya ketika ada keinginan dan juga dapat diandalkan.
Mengingat hal-hal yang penting bagi orang lain dan menjadi sumber
kenyamanan dan keseimbangan dalam kehidupan orang tersebut.
Kepercayaan tanpa aspek ini membuat orang lain tidak akan memberikan
kesempatan kedua. Reliability memerlukan kata-kata dan tindakan. Adanya ketidakkonsistenan antara kata-kata dan tindakan menurunkan
kepercayaan yang juga menyiratkan penjagaan komitmen seseorang.
Orang-orang akan lebih mungkin untuk mempercayai pemimpin yang
reliable karena itu dapat mengurangi ketidakpastian akan perilaku pemimpin.
b. Openness
Keterbukaan merupakan kemauan untuk jujur dan terbuka dalam
berhubungan dengan orang lain. Individu akan lebih mau mempercayai
jujur. Adanya keterbukaan dari diri sendiri juga akan mendorong orang
lain untuk lebih terbuka. Jika seseorang itu jujur dengan tetangga, rekan
kerja atau anggota keluarganya, maka orang lain akan lebih mau untuk
terbuka kepadanya. Menjadi terbuka juga termasuk berlaku wajar dan mau
berbagi informasi atau pandangan. Pemimpin menunjukkan openness dengan berbagi informasi dan jujur terhadap satu sama lain. Minimalnya,
menjadi terbuka berarti tidak berbohong kepada pihak lain. Sedangkan
dalam level terbesarnya, openness berarti penuh penyingkapan (disclosure). Sifat kepercayaan dalam istilah openness membutuhkan
waktu yang lebih lama untuk dikembangkan dibandingkan dengan
kepercayaan berdasarkan reliability karena tidak hanya melibatkan
perkataan akan kebenaran saja, tetapi juga pernyataan informasi mengenai
maksud dan harapan seseorang, dan bagi pemimpin hal ini dapat
melibatkan informasi sensitif yang tinggi. Komunikasi yang jujur dan
terbuka dapat mengurangi ketidakpastian dan ambiguitas karena membuat
tujuan, agenda dan sasaran lebih transparan. Openness sebagai konstruk
dari kepercayaan merupakan pertumbuhan informasi. Informasi dibagikan
untuk dapat menyelesaikan pekerjaan atau bersifat pribadi diantara trustee dan trustor.
c. Competence
Individu tidak ingin mempercayai orang lain sampai orang tersebut dapat
melakukan pekerjaan tersebut bahkan ketika sebelumnya orang tersebut
langsung dengan orang lain merupakan cara yang lebih meyakinkan untuk
memperlihatkan kompetensi yang dimiliki. Pemimpin menunjukkan
kompetensi mereka dengan menemukan dan melebihi harapan kinerja dan
memberikan hasil yang mendukung tujuan dan sasaran strategi organisasi.
Pengikut ingin tahu apakah mereka dapat bergantung pada pemimpin
mereka untuk menjadi kompeten dalam menyelesaikan masalah dan
mengarahkan mereka kepada solusi. Pengikut akan lebih mungkin untuk
merespon usaha yang dikembangkan oleh pemimpin apabila mereka
percaya bahwa pemimpin memiliki pengetahuan dan kemampuan yang
penting untuk mengasah bakat dan kekuatan mereka.
Competene mengacu pada kapabilitas dan keahlian individu untuk dapat
tampil dalam tugas-tugas yang spesifik. Perasaan mampu atau kompeten
merupakan pusat dari kepercayaan dalam hubungan pemimpin dan
pengikutnya karena pengikut tidak akan mungkin mengembangkan
kepercayaan terhadap pemimpin, kecuali jika mereka percaya bahwa
pemimpin mampu melaksanakan peran kepimimpinan (Whitener,
Korsgaard & Werner, 1998). Pemimpin juga dikarakteristikkan dengan
bagaimana pengikutnya mempercayai mereka untuk membuat keputusan
yang kompeten.
d. Compassion
Memiliki compassion terhadap orang lain berarti harus mau
mengesampingkan kepentingan priadi untuk bisa menjadi benar-benar
kepentingan orang lain sama atau di atas kepentingan sendiri. Compassion
memerlukan waktu yang lama untuk dapat ditunjukkan karena
membutuhkan pemahaman atau empati terhadap kebutuhan dan
kepentingan orang lain. Compassion dari pemimpin juga dapat
membangun hubungan positif dengan karyawannya. Pemimpin yang
menunjukkan compassion lebih mungkin untuk meningkatkan hubungan
yang membantu perkembangan individu dan pertumbuhan bersama.
Seorang individu yang memiliki compassion terhadap orang lain berarti ia harus memiliki kemauan untuk mengatur kepedulian diri sehingga bisa
benar-benar berempati terhadap orang lain. Percaya dalam hal concern berarti bahwa kepentingan diri tersebut seimbang dengan minat dalam
kesejahteraan orang lain (Mishra, 1996).
Aspek-aspek kepercayaan dari Mishra & Mishra (2008) merupakan
aspek-aspek yang akan digunakan sebagai pengukuran dalam penelitian ini. Review dari
literatur-literatur menyingkap bahwa aitem pada skala yang dikembangkan oleh
Mishra menyediakan penilaian yang reliabel dan valid dari komponen-komponen
kepercayaan yang diidentifikasi oleh Mishra. Selain itu juga karena pendapat yang
tersebar di antara peneliti dan ilmuwan menyetujui bahwa keempat faktor
kepercayaan dari Mishra (1996) sebelumnya, paling sering muncul pada
literatur-literatur penelitian dan menjelaskan bagian lebih besar dari sifat yang dapat
dipercaya (Ellis & Zalabak, 2001). Beberapa ilmuwan menganggap dimensi
kepercayaan Mishra tersebut sebagai faktor krusial dari kepercayaan (Chugtai,
Kekuatan lainnya dari model Mishra adalah konseptualisasi kepercayaan
sebagai konstruk yang multidimensional. Manfaat utama dari pandangan multi
dimensi kepercayaan ini yaitu memberikan wawasan yang lebih mendalam dari
kompleksitas hubungan kerja (Chugtai, 2010).
C. Hubungan antara Kepercayaan kepada Pemimpin dengan Work Engagement
Kepercayaan diantara pemimpin dan bawahan memampukan kedua bagian
untuk dapat tampil dalam level yang tinggi dan bahkan mencapai tugas-tugas dan
tujuan mereka (Kaskivirta, 2011).
Untuk dapat dipercaya, sesuai dengan teori yang diungkapkan oleh Mishra
& Mishra (2008), seorang pemimpin harus memiliki karakteristik reliability, openness, competence, dan compassion. Ketika karyawan yakin bahwa pemimpin memiliki kapabilitas untuk menyelesaikan tanggung jawab pekerjaannya secara
professional dan efisien, maka mereka lebih mungkin untuk merasa nyaman dan
lebih mau untuk memberikan energi mereka dan berusaha untuk menyelesaikan
pekerjaannya. Level energi dan usaha ini dapat memuncak dalam work engagement yang lebih besar.
Pekerja yang merasa bahwa pemimpin mereka tidak sukses dalam
memenuhi janji seperti dalam hal insentif, maka level kepercayaannya akan
berkurang dan mereka bisa mempersepsikannya sebagai pelanggaran kontrak
psikologis (Robinson, 1996). Dalam lingkup ini, pekerja dapat menjadi kurang
mungkin untuk mengurangi level energi, antusias dan keterlibatan mereka bahkan
dapat beralih kepada disengagement pada pekerjaan (Schaufeli & Salanova, 2007).
Apabila pekerja merasa bahwa pemimpin mengkomunikasikan isu-isu
organisasi secara terus terang, terbuka dan jujur, maka ketidakamanan dan
keraguan-keraguan akan rendah (Mishra & Sprietzer, 1998). Dalam keadaan
seperti ini, pekerja akan cenderung untuk tetap fokus menyelesaikan tujuan
pekerjaan mereka dibandingkan selalu sibuk memikirkan perasaan
ketidakpercayaan dan keragu-raguaan. Keterlibatan psikologis secara penuh
dalam pekerjaan dapat meningkatkan engagement dalam bekerja (Kahn, 1990). Apabila pekerja merasa bahwa mereka tidak dapat mengandalkan
pemimpin mereka untuk memberikan penghargaan secara adil bagi usaha mereka,
maka kemungkinan mereka akan merasa tidak puas dan akibatnnya dapat
menunjukkan berkurangnya antusias, keterikatan dalam pekerjaan mereka.
Sebaliknya, ketika karyawan yakin bahwa pemimpinnya memperlakukan mereka
secara adil, maka motivasi dan komitmen akan lebih mungkin untuk meningkat.
Dalam keadaan seperti ini, karyawan akan lebih mungkin untuk memberikan
jumlah yang lebih besar dari sumber mental dan fisik mereka terhadap performa
peran, yang selanjutnya akan menghasilkan work engagement yang lebih tinggi
(May, Gilson & Harter, 2004; Chugtai 2010).
Pekerja yang memiliki keyakinan bahwa pemimpinnya mampu dan
memandu mereka ketika mereka sedang berada dalam masalah yang berkaitan
dengan pekerjaan (Tan & Tan, 2000). Hal ini dapat meningkatkan rasa percaya
diri dan membawa kepada work engagement yang kuat.
Pekerja yang yakin bahwa pemimpinnya peduli (compassion) terhadap
kesejahteraan mereka, memiliki kepercayaan diri terhadap kemampuannya dan
memperlakukan bawahannya dengan hormat, mereka lebih mungkin untuk
mengeluarkan energi yang lebih besar, pengabdian dan minat terhadap
pekerjaannya (Saks, 2006).
Vazirani (2007) mengatakan bahwa kepemimpinan dan komunikasi
merupakan beberapa faktor yang mendorong munculnya engagement. Di dalam kepemimpinan dan komunikasi itu sendiri, kepercayaan merupakan unsur yang
penting. Krot & Lewicka (2012) mengungkapkan bahwa kepercayaan merupakan
elemen kunci bagi komunikasi yang efektif dan kerjasama tim antara rekan kerja,
antara manajer dan karyawannya, dan antara karyawa