• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Kurkumin terhadap Skleroderma dan Fibrosis Paru-paru Akibat Aplikasi Bleomisin pada Mencit (Mus musculus)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Kurkumin terhadap Skleroderma dan Fibrosis Paru-paru Akibat Aplikasi Bleomisin pada Mencit (Mus musculus)"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH KURKUMIN TERHADAP SKLERODERMA DAN

FIBROSIS PARU-PARU AKIBAT APLIKASI BLEOMISIN

PADA MENCIT (

Mus musculus

)

ANNISA RAHMI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengaruh Kurkumin terhadap Skleroderma dan Fibrosis Paru-paru Akibat Aplikasi Bleomisin pada Mencit (Mus musculus) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

ANNISA RAHMI. Pengaruh Kurkumin terhadap Skleroderma dan Fibrosis Paru-paru Akibat Aplikasi Bleomisin pada Mencit (Mus musculus). Dibimbing oleh AGUS SETIYONO dan VETNIZAH JUNIANTITO.

Kurkumin merupakan bahan aktif utama dari tanaman kunyit (Curcuma longa), yang diketahui memiliki aktivitas sebagai antioksidan dan antiinflamasi. Bleomisin merupakan obat antikanker yang dapat menginduksi skleroderma serta fibrosis paru-paru pada manusia dan hewan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efek kurkumin terhadap skleroderma dan fibrosis paru-paru akibat aplikasi bleomisin pada mencit berdasarkan pendekatan patomorfologi.

Setiap kelompok perlakuan terdiri dari 4-6 ekor mencit jantan galur ddy, kelompok perlakuan tersebut antara lain: (i) kontrol, diinjeksikan secara subkutan (SC) 100 µl aquadest steril di kulit bagian dorsal, (ii) bleomisin (BLM), diinjeksikan SC 100 µl bleomisin konsentrasi 1 mg/ml di kulit bagian dorsal, (iii) kurkumin (CMN), diinjeksikan secara intraperitoneal (IP) 100 mg/kg BB kurkumin dalam 0.5% carboxymethylcellulose (CMC) dan SC 100 µl aquadest steril di kulit bagian dorsal, dan (iv) BLM+CMN, diinjeksikan SC 100 µl bleomisin dengan 1 mg/ml dan IP 100 mg/kg BB kurkumin dalam 0.5% CMC. Perlakuan diberikan setiap hari selama 4 minggu. Setelah masa perlakuan berakhir, mencit diterminasi dengan menggunakan ketamin overdosis. Kulit bagian punggung dan paru-paru dikoleksi dan difiksasi dalam 10% buffered neutral formalin (BNF). Evaluasi histopatogi jaringan dilakukan dengan mengamati preparat jaringan yang telah diwarnai dengan pewarnaan hematoksilin-eosin (HE) dan Masson’s trichrome (MT).

Hasil menunjukkan bahwa pada organ kulit kelompok BLM memiliki jumlah dan luas folikel rambut yang lebih rendah secara signifikan jika dibandingkan dengan kelompok kontrol. Selain itu, kelompok ini memiliki nilai luas area jaringan ikat dan jumlah sel radang (makrofag dan limfosit) lebih besar secara signifikan jika dibandingkan dengan kelompok kontrol. Sedangkan pada organ paru-paru, kelompok BLM memiliki nilai luas area jaringan ikat dan tebal dinding alveol yang lebih besar secara signifikan jika dibandingkan dengan kelompok kontrol. Selain itu, pemberian kurkumin pada dapat meningkatkan jumlah dan luas folikel rambut, menurunkan luas area jaringan ikat kulit dan jumlah sel radang, serta menurunkan luas area jaringan ikat paru-paru dan tebal dinding alveol secara signifikan pada mencit yang mendapatkan perlakuan BLM. Dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian ini terapi kurkumin dapat menghambat fibrogenesis pada skleroderma dan fibrosis paru-paru akibat aplikasi bleomisin.

(5)

SUMMARY

ANNISA RAHMI. The effects of curcumin on bleomycin-induced scleroderma and pulmonary fibrosis in mice (Mus musculus). Supervised by AGUS SETIYONO and VETNIZAH JUNIANTITO.

Curcumin is an curcuminoid compound of turmeric. Curcumin has been demonstrated to have anti-oxidant and anti-inflammatory properties. Bleomycin (BLM) is an anti-cancer drug which induced scleroderma and pulmonary fibrosis in human and animals. Here we investigate biological effects of curcumin on bleomycin-induced scleroderma and pulmonary fibrosis in mice through pathomorphological assesment.

In this study, each group consisted of 4-6 mice ddy strain, that groups namely (i) control, mice were subcutaneously (SC) injected with 100 µl sterilized aquadest in dorsal skin, (ii) bleomisin (BLM) group, injected with 100 µl of 1 mg/ml BLM SC in dorsal skin, (iii) curcumin (CMN) group, mice were intraperitoneally (IP) injected with 100 mg/kg body weight (BW) curcumin dissolved in 0.5% carboxymethylcellulose (CMC) and injected with 100 µl sterilized aquadest SC, (iv) BLM+CMN group, injected with 100 µl of BLM 1 mg/ml SC and injected with 100 mg/kg BW CMN in 0.5% CMC IP. Injections of PBS, BLM, CMN were performed daily for four weeks period. The mice were euthanized with overdosed ketamine, and afterwards the dorsal skin and lung samples were collected and fixed in 10% buffered neutral formalin (BNF). Histopathological evaluation was performed with hematoxylin-eosin (HE) and Masson’s trichrome (MT) stains.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Biomedis Hewan

PENGARUH KURKUMIN TERHADAP SKLERODERMA DAN

FIBROSIS PARU-PARU AKIBAT APLIKASI BLEOMISIN

PADA MENCIT (

Mus musculus

)

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(8)
(9)

Judul Tesis :

Nama : Annisa Rahmi NRP : B351130011

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

drh Agus Setiyono, MS PhD APVet Ketua

drh Vetnizah Juniantito, PhD APVet Anggota

Diketahui oleh Ketua Program Studi

Ilmu Biomedis Hewan

drh Agus Setiyono, MS PhD APVet

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr

Tanggal Ujian: 8 Juli 2015 Tanggal Lulus:

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2014 ini ialah potensi kurkumin sebagai inhibitor fibrogenesis, dengan judul Pengaruh Kurkumin terhadap Skleroderma dan Fibrosis Paru-paru Akibat Aplikasi Bleomisin pada Mencit (Mus musculus).

Terima kasih penulis ucapkan kepada drh Agus Setiyono, MS PhD APVet selaku Ketua Program Studi Ilmu Biomedis Hewan sekaligus Ketua Komisi Pembimbing. Terimakasih yang sebesarnya kepada drh Vetnizah Juniantito, PhD APVet selaku anggota komisi pembimbing. Terimakasih juga penulis ucapkan pada Dr drh Eva Harlina, MSi APVet selaku dosen penguji luar komisi dalam sidang tesis. Berkat arahan dan bantuan dari komisi pembimbing dan penguji luar komisi, tulisan ini menjadi lebih baik. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh dosen dan staf Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor atas bantuannya selama pendidikan dan penelitian berlangsung. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, seluruh keluarga, serta teman-teman atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(11)

DAFTAR ISI

Material Penginduksi Skleroderma dan Fibrosis Paru-paru 7

Kurkumin 7

Persentase Luas Jaringan Ikat Paru-paru 24

Tebal Dinding Alveol 26

5 SIMPULAN DAN SARAN 28

Simpulan 28

(12)

DAFTAR PUSTAKA 28

LAMPIRAN 34

(13)

DAFTAR TABEL

1 Data bobot badan mencit setiap kelompok perlakuan 12 2 Perbandingan jumlah makrofag dan limfosit pada setiap kelompok

perlakuan 20

DAFTAR GAMBAR

1 Struktur kimia kurkuminoid (a) curcumin, (b) demethoxycurcumin, (c)

bisdemethoxycurcumin 5

2 Bagan alur penelitian pada setiap kelompok perlakuan 8 3 Perbandingan ukuran mencit pada setiap kelompok perlakuan 12 4 Foto mikrografi kulit dengan pewarnaan HE: (A) Kontrol, struktur

normal kulit dengan jaringan lemak intradermal; (B) BLM, struktur abnormal kulit dengan peningkatan jumlah sel radang dan hilangnya adnexa di dermis bagian bawah; (C) CMN, struktur kulit termasuk normal dengan jaringan lemak intradermal; (D) BLM+CMN, struktur kulit dengan lemak intradermal dan akumulasi sel radang 14 5 Foto mikrografi kulit dengan pewarnaan MT: (A) Kontrol, struktur

normal jaringan ikat kulit dengan lemak intradermal; (B) BLM, struktur lemak intradermal digantikan kolagen; (C) CMN, struktur normal jaringan ikat kulit dengan lemak intradermal; (D) BLM+CMN, beberapa bagian lemak intradermal digantikan kolagen 15 6 Jumlah folikel rambut. Superscripts berbeda menunjukkan perbedaan

signifikan (p<0.05). Error bar menunjukkan standar deviasi 16 7 Luas folikel rambut. Superscripts berbeda menunjukkan perbedaan

signifikan (p<0.05). Error bar menunjukkan standar deviasi 17 8 Jumlah makrofag. Superscripts berbeda menunjukkan perbedaan

signifikan (p<0.05). Error bar menunjukkan standar deviasi 18 9 Jumlah limfosit. Superscripts berbeda menunjukkan perbedaan

signifikan (p<0.05). Error bar menunjukkan standar deviasi 19 10 Persentase luas jaringan ikat kulit. Superscripts berbeda menunjukkan

perbedaan nyata (p<0.05). Error bar menunjukkan standar deviasi 21 11 Foto mikrografi paru-paru dengan pewarnaan HE; (A) Kontrol; (B)

BLM; (C) CMN; dan (D) BLM+CMN 23

12 Fotomikrografi jaringan paru-paru dengan pewarnaan MT; (A) Kontrol, struktur normal paru dengan dinding alveol tipis; (B) BLM, struktur abnormal paru dengan peningkatan jumlah jaringan ikat kolagen (warna biru); (C) CMN, struktur normal paru dengan dinding alveol tipis; (D) BLM+CMN, struktur kulit dengan beberapa jaringan ikat kolagen

(warna biru) 24

13 Persentase luas jaringan ikat paru-paru. Superscripts berbeda menunjukkan perbedaan signifikan (p<0.05). Error bar menunjukkan

standar deviasi 25

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Persetujuan atas perlakuan etik (ethical approval) 34

(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Skleroderma merupakan penyakit kronis yang menyebabkan terjadinya penebalan dan pengerasan kulit. Penyakit ini dicirikan dengan lesio fibrotik yang menimbulkan deposisi kolagen secara berlebihan serta berakibat pada kehilangan komponen kulit (Charles et al. 2006). Prevalensi penyakit skleroderma dilaporkan oleh Ranque & Mouthon (2010) sekitar 3 sampai 24 kasus per 100 ribu populasi per tahun di Amerika Utara. Nikpour et al. (2012) melaporkan prevalensi penyakit ini di berbagai belahan dunia, diantaranya di Australia Selatan sebanyak 22.8 kasus per juta penduduk per tahun, Spanyol sebanyak 23 kasus per juta penduduk per tahun, dan sebanyak 19.3 kasus per juta penduduk per tahun di Detroit US. Studi yang telah dilakukan di Amerika Serikat menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kasus skleroderma dalam 60 tahun terakhir. Di Indonesia belum ada laporan mengenai prevalensi penyakit ini, akan tetapi terdapat gambaran mengenai kasus penyakit ini di situs www.sclerodermaindonesia.com.

Skleroderma merupakan penyakit kronis, sulit untuk disembuhkan, dan dapat mulai terjadi pada usia produktif, bahkan dibeberapa kasus dapat terjadi pada anak-anak. Penyakit ini menyebabkan produktivitas penderitanya menurun, karena dapat menyebabkan kesulitan bergerak. Skleroderma dapat disebabkan oleh faktor genetik (terutama faktor autoimunitas) dan paparan terhadap bahan kimia maupun biologis tertentu (Kimura et al. 2007). Salah satu bahan yang dapat menginduksi terjadinya skleroderma yaitu bleomisin (Yamamoto & Katayama 2011). Bleomisin merupakan antitumor antibiotik yang digunakan untuk terapi pada berbagai kanker (Yamamoto & Nishioka 2001). Penggunaan bleomisin belakangan ini diketahui memiliki efek samping, yaitu menimbulkan lesio fibrotik pada kulit yang mencirikan skleroderma serta fibrosis paru-paru. Abnormalitas kulit yang terjadi pada penggunaan bleomisin seperti hiperpigmentasi, infiltrasi plak dan nodul (Kim et al. 1996; Yamamoto & Katayama 2011).

Skleroderma diawali dengan terjadinya peradangan (Kimura et al. 2007: Matsushita et al. 2008). Yamamoto & Katayama (2011) menyatakan bahwa bleomisin dapat menstimulasi sel endothelial, makrofag, dan fibroblast untuk menginduksi mediator peradangan (sitokin proinflamasi dan fibrogenik), apoptosis, dan radikal bebas. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya skleroderma yaitu dengan menghindari terjadinya peradangan (Kimura et al. 2007). Cara untuk menghindari terjadinya peradangan yaitu dengan menggunakan sediaan yang bersifat sebagai antiinflamasi (Prakash et al. 2008; Kardena & Winaya 2011), atau menggunakan bahan yang dapat menghambat keluarnya faktor-faktor peradangan (Kimura et al. 2007). Salah satu sediaan yang memiliki efek antiinflamasi adalah kurkumin (Chainani-Wu 2003; Prakash et al. 2008; Kardena & Winaya 2011).

(16)

2

molekul pleiotropik tinggi yang mampu berinteraksi dan berikatan dengan sebagian besar target molekul peradangan (Jurenka 2009). Berdasarkan uraian di atas, aktivitas kurkumin sebagai antiradang atau antiinflamasi diduga dapat mencegah terjadinya skleroderma dan fibrosis paru-paru yang diakibatkan oleh aplikasi bleomisin.

Perumusan Masalah

Skleroderma merupakan salah satu jenis fibrosis pada kulit. Fibrosis dicirikan dengan adanya akumulasi jaringan ikat yang berlebihan. Kejadian fibrosis pada kulit dan paru-paru diawali dengan terjadinya suatu peradangan. Peradangan berkembang menjadi proliferasi sel myofibroblast, dan diakhiri dengan pembentukan jaringan ikat persisten. Induksi bleomisin dapat memicu terjadinya peradangan khususnya di daerah kulit dan paru-paru, sehingga dapat menciptakan keadaan skleroderma dan fibrosis paru-paru. Salah satu cara untuk mencegahnya yaitu dengan menggunakan bahan yang bersifat antiinflamasi, supaya penyakit ini tidak berkembang menjadi stadium pembentukan jaringan ikat persisten yang sulit untuk diobati. Selain itu, antioksidan dapat mencegah dan mengurangi kerusakan jaringan akibat paparan zat toksik. Studi literatur menunjukkan bahwa kurkumin diketahui memiliki efektivitas sebagai antioksidan dan antiinflamasi. Berdasarkan deskripsi di atas, pemberian kurkumin diduga dapat mencegah atau mengurangi keparahan skleroderma dan fibrosis paru-paru akibat aplikasi bleomisin. Patomorfologi skleroderma pada kulit dipelajari melalui histopatologi dengan pewarnaan rutin hematoksilin-eosin (HE) serta pewarnaan khusus Masson’s trichrome (MT).

Tujuan Penelitian

Mempelajari efek kurkumin terhadap skleroderma dan fibrosis paru-paru akibat aplikasi bleomisin pada mencit (Mus musculus).

Manfaat Penelitian

Memberikan informasi bahwa kurkumin dapat digunakan sebagai obat alternatif untuk mencegah skleroderma dan fibrosis paru-paru akibat aplikasi bleomisin pada mencit dan sebagai informasi dasar pengembangan terapi skleroderma dan fibrosis paru-paru di masa depan.

Hipotesis Penelitian

H0: Pemberian kurkumin dapat mencegah atau mengurangi keparahan skleroderma dan fibrosis paru-paru akibat aplikasi bleomisin pada mencit. H1: Pemberian kurkumin tidak dapat mencegah atau mengurangi keparahan

(17)

3

2

TINJAUAN PUSTAKA

Skleroderma

Skleroderma merupakan penyakit kronis yang menyebabkan terjadinya penebalan dan pengerasan kulit yang dicirikan dengan lesio fibrotik oleh deposisi kolagen berlebihan, hingga mengakibatkan kehilangan komponen kulit (Charles et al. 2006). Matsushita et al. (2008) menyatakan skleroderma merupakan suatu kondisi fibrosis yang dicirikan dengan adanya abnormalitas pada sistem imun, kerusakan vaskular, dan peningkatan akumulasi protein matriks ekstraseluler pada kulit. Etiologi skleroderma hingga saat ini belum dapat dijelaskan secara rinci, walaupun secara umum pada kejadian skleroderma tubuh memproduksi protein matriks ekstraseluler secara berlebihan melalui aktivasi fibroblast. Proses aktivasi fibroblast ini dihasilkan dari ketidakseimbangan antara sintesis dan degradasi jaringan ikat (Yamamoto 2002; Charles et al. 2006; Kimura et al. 2007: Matsushita et al. 2008).

Penyakit pada kulit yang serupa seperti skleroderma (scleroderma-like illness) pernah dilaporkan pada pasien manusia yang menerima pengobatan atau terpapar bahan kimia seperti vinil klorida, pentazosin intramuskular, L-triptofan peroral, dan bleomisin (Haustein & Ziegler 1985; Owens & Medsger 1998; Kerr & Spiera 1992). Induksi skleroderma secara kimiawi pada hewan model sangat berguna dalam mempelajari patogenesis skleroderma serta investigasi metode terapi skleroderma di masa depan. Jenis hewan yang paling sering digunakan sebagai hewan model skleroderma adalah mencit dan tikus (Yamamoto & Nishioka 2001).

Inisiasi dari kejadian skleroderma secara patomorfologi adalah adanya infiltrasi sel radang di dermis, yang berkorelasi dengan peningkatan ekspresi kolagen dan sintesis molekul matriks ekstraseluler disekitar fibroblast yang teraktivasi (Yamamoto 2002; Matsushita et al. 2008). Studi sebelumnya oleh Kovacs & DiPietro (1994) mendukung bahwa keberadaan komponen sel radang merupakan sumber dari pelepasan sitokin, yang menstimulasi diproduksinya growth factor seperti transforming growth factor-beta (TGF- ), growth factor jaringan penunjang, dan inisiasi kejadian fibrosis. Juniantito et al. (2013) melaporkan bahwa terjadi perubahan struktur kulit seperti peningkatan deposisi kolagen dan jumlah sel radang, serta hilangnya adnexa pada jaringan dermis tikus yang diinduksi 100 µL/hari/ekor bleomisin 1 mg/mL selama 4 minggu.

(18)

4

Bleomisin

Bleomisin merupakan antitumor antibiotik yang digunakan untuk terapi pada berbagai kanker (Yamamoto & Nishioka 2001). Bleomisin merupakan turunan antibiotik glikopeptida yang diisolasi dari fungi Streptomyces verticillus (Yamamoto 2010). Bleomisin memiliki aktivitas antitumor yang kuat. Secara klinis bleomisin digunakan sebagai terapi kasus tumor seperti squamous cell carcinoma di daerah kepala dan leher (termasuk pada mulut, lidah, tonsil, nasofaring, orofaring, sinus, palatum, bibir, mukosa buccal, gusi, epiglotis, dan laring), malignant lymphoma, testicular carcinoma, dan malignant pleural effusion (Galm et al. 2004).

Cara kerja bleomisin yaitu membentuk ion kompleks dengan Fe+2 di dalam darah, kemudian di dalam sel teroksidasi menjadi Fe+3 menghasilkan oksigen untuk radikal bebas. Radikal bebas menyebabkan kerusakan DNA yang kemudian akan menyebabkan kematian pada sel tumor. Bleomisin sering digunakan sebagai perangkat biokimia, untuk memblokir siklus sel pada G2, membelah DNA untai tunggal maupun ganda, dan memotong RNA. Selain itu, bleomisin menghasilkan radikal bebas yang menginduksi apoptosis (Yamamoto 2006a).

Secara in vivo dan in vitro efek pemberian bleomisin pada sel-sel kulit menyebabkan pengaktifan fibroblast, keratinosit, dan sel pertahanan tubuh (Yamamoto 2006b). Induksi bleomisin secara in vitro dapat meregulasi kolagen

dan ekspresi transforming growth factor beta-1 (TGF- 1) mRNA pada kultur jaringan paru-paru tikus dan fibroblast kulit manusia (Clark et al. 1980; Yamamoto et al. 2000a). Mekanisme induksi fibrosis oleh bleomisin disebabkan

oleh peningkatan ekspresi gen protein matriks ekstraseluler karena pengaruh sitokin fibrogenik yang dilepaskan makrofag, sel endotel, dan fibroblast (Clark et al. 1980).

Matsushita et al. (2008) menyatakan bahwa efek samping dari penggunaan bleomisin belakangan ini diketahui dapat memicu fibrosis paru-paru. Penggunaan bleomisin dapat menyebabkan abnormalitas pada kulit seperti hiperpigmentasi, infiltrasi plak dan nodul. Kasus pada manusia pernah dilaporkan bahwa penggunaan bleomisin menyebabkan terjadinya perubahan kulit yang mencirikan skleroderma, seperti sklerodaktili (skleroderma di daerah ekstremitas) yaitu di daerah tangan, kaki, dan lengan bawah (Kim et al. 1996).

Mountz et al. (1983) melaporkan bahwa pada tikus yang diinjeksi berulang dengan bleomisin dosis sublethal selama lebih dari 58 minggu, menyebabkan dermal fibrosis parah seperti yang ditemukan pada kasus skleroderma di manusia. Pada keadaan ini ditemukan abnormalitas struktur serabut kolagen. Disisi lain, injeksi lokal bleomisin selama 4 minggu dapat menyebabkan skleroderma pada murine (Yamamoto & Nishioka 2001; Matsushita et al. 2008). Kimura et al. (2007) melaporkan bahwa induksi bleomisin selama 3 hari pada kulit dapat menyebabkan skleroderma akut dan induksi selama 3 minggu dapat menyebabkan skleroderma lokal kronis.

(19)

5 et al. 2008). Injeksi lokal subkutan bleomisin dengan konsentrasi 1 mg/mL sebanyak 100 µL/hari selama 3 minggu dapat menginduksi terjadinya skleroderma pada mencit (Yamamoto & Nishioka 2002). Yamamoto et al. (2000b)

melaporkan bahwa injeksi subkutan 1 mg/ml bleomisin dalam phosphate buffer saline (PBS) steril secara lokal dapat menyebabkan terjadinya skleroderma pada berbagai jenis mencit, seperti Balb/c, C3H/He, C57BL/6J, DBA/2, A/J, dan B10.

Kurkumin

Kurkumin [1·7-bis(4-hydroxy-3-methoxyphenyl)-1·6-heptadiene-3·5-dione] (Gambar 1) merupakan komponen kimia utama bahan aktif kunyit, yang didapatkan dari akar tanaman Curcuma longa. Secara farmakologi, kurkumin sudah digunakan selama lebih dari 6000 tahun sebagai obat dalam ilmu pengobatan Ayurveda (India kuno) (Beevers & Huang 2011). Kunyit selama ini telah digunakan sebagai bumbu dapur, pewarna masakan dan minuman. Selain itu, rimpang kunyit digunakan secara tradisional untuk menambah nafsu makan, peluruh batu empedu, obat gatal dan luka, obat sesak nafas, antiradang, antidiare, dan dapat juga sebagai obat masuk angin (Winarto 2003).

Kurkumin merupakan produk alami hidrofobik yang terdiri dari dua cincin fenolik, masing-masing diganti dengan sebuah metoksi fungsi eter di orto-posisi (Gambar 1) (Beevers & Huang 2011). Kedua cincin fenolik bergabung melalui alifatik tak jenuh linker heptan di para-posisi yang juga mengandung fungsi diketonik α dan pada karbon -3 dan -5. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa fungsi diketon dapat menjalani tautomerisasi reversibel antara bentuk enolik dan etonik (Payton et al. 2007). Tautomerisasi kurkumin tergantung pada pH, dengan didominasi bentuk bis-keto dalam larutan asam dan netral, dan bentuk enol dalam larutan basa. Sementara itu, dalam bentuk bis-keto, karbon-4 dari heptan linker dapat berfungsi sebagai donor proton sangat kuat, sedangkan fungsi bentuk enol terutama sebagai donor elektron (Sharma et al. 2005). Oleh karena itu kurkumin bersifat sebagai antioksidan. Bahkan, sifat antioksidan dari kurkumin beberapa kali lebih kuat daripada vitamin E (Shishodia et al. 2005).

Kunyit relatif aman walaupun diberikan dalam dosis yang besar. Chainani-Wu (2003) melaporkan bahwa kunyit selain mempunyai khasiat sebagai

(a) (b)

(c)

(20)

6

antiinflamasi, pemberian ekstrak kunyit dalam bentuk serbuk dengan dosis sampai 2.5 g/hari pada orang dewasa tidak bersifat toksik. Letal dosis (LD50) kurkumin

yang diberikan secara oral pada mencit ditemukan lebih dari 2 g/kg BB (Kohli 2005). Kandungan bioaktif kunyit yaitu kurkumin telah terbukti bersifat antioksidatif dan antiinflamasi. Beberapa ilmuwan telah melakukan penelitian tentang khasiat dari kunyit. Duvoix et al. (2005) melaporkan bahwa selain mempunyai efek antikanker, kunyit juga memberikan efek yang baik sebagai antioksidan dan antiinflamasi. Senyawa bioaktif kunyit mempunyai efek protektif terhadap sel hati terhadap paparan zat kimia yang bersifat toksik seperti karbon tetraklorida (CCl4) (Prakash et al. 2008; Kardena & Winaya 2011). Secara umum,

kandungan kurkumin pada kunyit mencapai 3.14 % (w/w) (Tayyem et al. 2006) Wilken et al. (2011) menyatakan bahwa kurkumin memiliki aktivitas antiproliferatif pada berbagai kanker yang menghambat faktor transkripsi. Kurkumin mempengaruhi berbagai reseptor faktor pertumbuhan dan molekul adhesi sel termasuk dalam pertumbuhan tumor, angiogenesis, dan metastasis. Kohli et al. (2004) melaporkan bahwa kurkumin dapat menghambat metabolisme asam arakidonat, siklooksigenase, lipooksigenase, dan sitokin. Selain itu kurkumin dilaporkan dapat menstabilkan membran lisosom yang menyebabkan pelepasan fosforilasi oksidatif. Disamping itu, juga memiliki aktivitas sebagai pemangsa radikal bebas yang kuat sehingga responsif sebagai agen antiinflamasi.

Kurkumin merupakan salah satu antioksidan yang berasal dari rempah kunyit. Biasanya kurkumin digunakan sebagai salah satu obat alternatif untuk berbagai kasus radang di India dan China (Zhang et al. 2011). Pemberian kurkumin dapat secara signifikan menekan peradangan paru-paru serta deposisi kolagen pada fibrosis paru yang diinduksi dengan bleomisin (Smith et al. 2010). Yu et al. (2011) melaporkan bahwa pemberian kurkumin sebanyak 50 mg/kg BB/hari secara intraperitoneal selama 6 hari dapat mengurangi kerusakan jaringan pankreas dan organ lainnya pada hewan mencit yang diinduksi caerulein, yaitu dengan cara menghambat pelepasan mediator peradangan yaitu sitokin TNF-α. Punithavathi et al. (2000) melaporkan bahwa pemberian kurkumin secara peroral sebanyak 300 mg/kg BB selama 10 hari sebelum dan 10 hari sesudah induksi tunggal bleomisin secara intratrakeal dapat mengurangi fibrosis pada paru-paru tikus secara signifikan.

Hewan Model Mencit

(21)

7 dan rumah yang dihuni oleh manusia, dengan berat badan bervariasi 18 sampai 20 gram pada umur empat minggu (Smith & Mangkoewidjojo 1988).

Penggunaan mencit sebagai hewan model skleroderma sudah banyak dilakukan. Yamamoto (2002) melaporkan injeksi lokal bleomisin 10 µg/mL yang berulang dapat menginduksi dermal sklerosis pada mencit Balb/c setelah 4 minggu. Hasil pemeriksaan histologi jaringannya menunjukkan adanya deposisi kolagen dan material homogen, serta akumulasi sel-sel radang yang menyerupai gambaran histologi pada kasus skleroderma di manusia. Yamamoto & Nishioka (2001) melaporkan injeksi setiap hari 100 µL bleomisin 100 µg/mL pada mencit C3H dapat menginduksi terjadinya skleroderma. Yamamoto et al. (2000b)

mencobakan hewan model skleroderma yang diinduksi blomisin pada berbagai strain mencit, kesimpulan yang didapatkan adalah mencit strain C3H/He dan B10·A merupakan hewan model yang sangat cocok untuk penelitian ini.

3

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2014 sampai Maret 2015, bertempat di Unit Pengelola Hewan Laboratorium (UPHL), Fakultas Kedokteran Hewan- Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Histopatologi, Bagian Patologi FKH-IPB.

Hewan Percobaan

Penelitian ini menggunakan hewan coba mencit jantan galur ddy, umur 4 minggu, dengan bobot badan 20-25 gram yang diperoleh dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM, Jakarta, Indonesia). Setiap kelompok perlakuan terdiri atas 4-6 ekor hewan coba.

Material Penginduksi Skleroderma dan Fibrosis Paru-paru

Bleocin (Bleomisin hidroklorida 15 mg, Kalbe Farma, Jakarta, Indonesia) dilarutkan dalam 15 ml aquadest steril hingga konsentrasinya menjadi 1 mg/ml, dan sebanyak 100 µL diinjeksikan secara subkutan (SC) setiap hari selama 4 minggu (Juniantito et al. 2013; Ould-Ali et al. 2012).

Kurkumin

Bahan aktif kurkumin (Biopurify, Chengdu, China) dilarutkan dalam 0.5% carboxymethylcellulose (CMC), diberikan dengan dosis 100 mg/kg bobot badan

(22)

8

Desain Penelitian

Semua metode yang dilakukan dalam penelitian ini sudah mendapatkan persetujuan atas perlakuan etik (ethical approval) dari Komisi Etik Hewan Institut Pertanian Bogor Nomor 25-2014 IPB. Penelitian ini terbagi menjadi 3 tahap, yaitu masa pemeliharaan, perlakuan, dan pengamatan histopatologi kulit.

Mencit yang baru datang diadaptasikan dengan kandang baru selama seminggu. Kemudian dilanjutkan dengan pemberian obat-obatan praperlakuan (pre-enrichment) berupa dosis tunggal anthelmintik Combantrin 10 mg/kg BB, antibiotik Claneksi 25 mg/kg BB selama 5 hari berturut-turut, dan antiprotozoa Flagyl 30 mg/kg BB selama 3 hari berturut-turut. Setelah itu, dilanjutkan dengan pencukuran rambut dan pemberian tanda di daerah punggung dengan menggunakan spidol permanen. Penandaan ini berfungsi sebagai tanda tempat akan diaplikasikannya bleomisin setiap hari. Setelah masa pemeliharaan selesai, dilanjutkan dengan masa perlakuan. Masa perlakuan ini berlangsung selama 4 minggu. Sebanyak 16 ekor mencit dibagi menjadi 4 kelompok. Kelompok-kelompok tersebut antara lain:

1. Kelompok kontrol, menerima injeksi 100 μL/ekor/hari aquadest steril (SC) di kulit bagian punggung.

2. Kelompok BLM, menerima injeksi 100 µL/hari bleomisin 1 mg/mL (SC) di kulit bagian punggung.

3. Kelompok CMN, menerima injeksi 100 μL/ekor/hari aquadest steril (SC) di kulit bagian punggung dan 100 mg/kg/hari kurkumin dalam 0.5% CMC (IP). 4. Kelompok BLM+CMN, menerima injeksi 100 µL/hari bleomisin 1 mg/mL

(SC) di kulit bagian punggung dan 100 mg/kg/hari kurkumin dalam 0.5% CMC (IP).

Berikut adalah bagan alur penelitian kelompok perlakuan (Gambar 2).

Setelah masa perlakuan berakhir, mencit diterminasi dengan cara diberikan Ketamin HCl overdosis sebanyak 0.2 ml/hewan (AVMA 2013). Kemudian dilakukan pengambilan sampel kulit bagian punggung dan paru-paru. Sampel kemudian dimasukan ke dalam botol berisi larutan 10% buffered neutral formalin (BNF) dan diberi nomor keterangan pengambilan organ.

(23)

9

Pembuatan Preparat Histopatologi

Organ kulit dan paru-paru dipotong dengan ketebalan kurang lebih 3 mm dengan menggunakan cutter kemudian dimasukkan ke dalam tissue cassette. Selanjutnya tissue cassette dimasukkan ke dalam automatic tissue processor untuk proses dehidrasi, clearing dan infiltrasi. Proses dehidrasi dimulai dengan merendam organ ke dalam etanol 70%, 80%, 90%, 96%, 96%, etanol absolut I, etanol absolut II, etanol absolut III, clearing pada larutan xylene I, xylene II, dan infiltrasi pada parafin I, dan parafin II yang bersuhu 58 ºC. Setiap perendaman dilakukan selama kurang lebih 2 jam. Potongan organ kemudian dimasukkan ke dalam cetakan yang berisi sedikit parafin cair dengan menggunakan paraffin embedding console. Letak potongan organ diatur agar tetap berada di tengah-tengah cetakan. Parafin cair ditambahkan ke dalam cetakan sampai terisi penuh, kemudian dibiarkan hingga terbentuk blok parafin. Organ yang terdapat dalam blok parafin dipotong dengan mikrotom putar dengan ketebalan 3 sampai 5 μm. Hasil potongan diletakkan di atas waterbath bersuhu 46 ºC. Potongan diangkat menggunakan gelas objek kemudian dimasukkan ke dalam inkubator pada suhu 50 sampai 60 ºC selama 1 hari.

Pewarnaan Hematoksilin-Eosin

Pewarnaan dimulai dengan melakukan prosedur deparafinisasi. Gelas objek kemudian dicuci dengan aquadest selama 1 menit. Selanjutnya gelas objek direndam ke dalam pewarna Mayer’s Hematoxylin selama 8 menit kemudian dibilas dengan air mengalir selama 30 detik. Gelas objek kemudian dimasukkan ke dalam litium karbonat selama 15 sampai 30 detik kemudian dibilas dengan air mengalir selama 2 menit. Selanjutnya gelas objek dimasukkan ke dalam pewarna eosin selama 2 sampai 3 menit kemudian dibilas dengan air selama 30 sampai 60 detik. Proses berikutnya adalah dehidrasi dengan alkohol 95% dan alkohol absolut I masing-masing sebanyak 10 celupan, dilanjutkan dengan merendam dalam alkohol absolut II selama 2 menit. Kemudian, dilanjutkan dengan clearing dengan xylene I dan II masing-masing selama 2 menit. Gelas objek diberi Permount® dan ditutup dengan gelas penutup. Preparat yang telah diwarnai kemudian diamati dengan menggunakan mikroskop untuk melihat gambaran struktur organ secara umum.

Pewarnaan Masson’s Trichrome

Pewarnaan dimulai dengan melakukan prosedur deparafinisasi. Gelas objek kemudian dicuci dengan aquadest selama beberapa detik. Selanjutnya gelas objek direndam dalam larutan mordat selama 40 menit, dan dicuci dengan aquadest selama beberapa detik. Selanjutnya gelas objek direndam ke dalam pewarna

Carrazi’s Hematoxylin selama 40 menit, kemudian direndam dalam pewarna

(24)

10

digoyangkan. Preparat kemudian direndam di dalam larutan phosphotungstic acid 2.5% selama 10 menit, kembali direndam dalam asam asetat 1% selama beberapa detik. Gelas objek kemudian direndam di dalam pewarna aniline blue selama 15 menit, dan kembali direndam di dalam larutan asam asetat 1% selama beberapa detik. Selanjutnya preparat direndam di dalam alkohol 95% selama 3 menit. Proses berikutnya adalah dehidrasi, kemudian gelas objek diberi Permount® dan ditutup dengan gelas penutup. Preparat yang telah diwarnai kemudian diamati dengan menggunakan mikroskop untuk melihat struktur kolagen yang terbentuk. Warna biru kehijauan menunjukkan kolagen (jaringan ikat), warna merah menunjukkan otot dan elastin, sedangkan warna ungu menunjukkan adanya fibrin dan akumulasi kalsium.

Parameter dalam Penelitian

Bobot Badan Selama masa perlakuan dilakukan pengamatan terhadap bobot badan. Penimbangan bobot badan dilakukan setiap 4 hari selama masa perlakuan berlangsung. Penimbangan bobot badan dimulai pada hari ke-0 sampai hari ke-28 perlakuan.

Jumlah Folikel Rambut Secara kuantitatif jumlah folikel rambut dihitung

dengan menggunakan perangkat lunak Image J analisis gambar untuk program komputer (http://imagej.nih.gov//ij/), yaitu dengan menganalisis slide jaringan yang telah diwarnai dengan pewarnaan HE. Data didapatkan dengan menghitung jumlah folikel rambut pada 30 lapang pandang untuk setiap kelompok perlakuan dengan perbesaran 10× lensa objektif. Luas setiap lapang pandang adalah 1122.81×898.25 µm2.

Luas Folikel Rambut Secara kuantitatif luas folikel rambut dihitung dengan menggunakan perangkat lunak Image J, yaitu dengan menganalisis slide jaringan yang telah diwarnai dengan pewarnaan HE. Dengan menggunakan perbesaran 10× lensa objektif, sebanyak 15 folikel per kelompok perlakuan dipilih secara acak dengan menggunakan kamera video (Indomikro HDMI camera) yang ditampilkan pada layar monitor berwarna. Luas setiap lapang pandang adalah 1122.81×898.25 µm2. Selanjutnya dengan menggunakan menu freehand selections folikel rambut yang akan dihitung luasnya dilingkari dan perangkat lunak akan mengukur secara otomatis.

Jumlah Sel Radang Jenis sel radang yang dihitung adalah makrofag dan limfosit. Secara kuantitatif luas folikel rambut dihitung dengan menggunakan perangkat lunak Image J, yaitu dengan menganalisis slide jaringan yang telah diwarnai dengan pewarnaan HE. Penghitungan jumlah sel-sel tersebut dilakukan pada 30 lapang pandang untuk setiap kelompok perlakuan dengan perbesaran 20× lensa objektif. Luas setiap lapang pandang adalah 547.01×437.61 µm2.

Luas Jaringan Ikat Kulit Luas jaringan ikat kulit secara kuantitatif dihitung

(25)

11 menggunakan perbesaran 10× lensa objektif, sebanyak 20 lapang pandang per kelompok perlakuan dipilih secara acak dengan menggunakan kamera video (Indomikro HDMI camera) yang ditampilkan pada layar monitor berwarna. Luas setiap lapang pandang adalah 1122.81×898.25 µm2. Selanjutkan gambar disesuaikan tingkat kontras, pencahayaan, dan warna threshold. Program analisis gambar akan mendeteksi area berwarna biru yang menandakan area kolagen pada setiap lapang pandang dan menyajikannya dalam bentuk persentase.

Luas Jaringan Ikat Paru-paru Luas jaringan ikat paru-paru secara kuantitatif

dihitung dengan menggunakan perangkat lunak dengan cara yang sama dengan penghitungan luas jaringan ikat pada kulit. Slide jaringan yang dianalisis telah diwarnai dengan modifikasi pewarnaan Masson trichrome (Suvik & Effendy 2012). Dengan menggunakan perbesaran 40× lensa objektif, sebanyak 20 lapang pandang per kelompok perlakuan dipilih secara acak. Luas setiap lapang pandang adalah 326.40×184.00 µm2.

Tebal Dinding Alveol Ketebalan dinding alveol secara kuantitatif dihitung

dengan menganalisis slide jaringan yang telah diwarnai dengan pewarnaan hematoksilin-eosin. Dengan menggunakan perbesaran 40× lensa objektif, sebanyak 20 lapang pandang per kelompok perlakuan dipilih secara acak dengan menggunakan kamera video yang ditampilkan pada layar monitor berwarna. Luas setiap lapang pandang adalah 326.40×184.00 µm2. Tebal dinding alveol diukur sebanyak 10 kali setiap lapang pandang dengan cara menarik garis antar alveol, kemudian panjang garis tersebut secara otomatis akan diukur oleh perangkat lunak Image J dan disajikan dalam satuan mikrometer. Data hasil pengukuran disajikan dalam bentuk rataan. Pemilihan dinding alveol yang diukur berdasarkan teknik menghitung jumlah sel darah putih.

Catatan: seluruh parameter mikroskopis dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan perangkat lunak Image J®, hal ini dilakukan untuk mengurangi subjektivitas metode skoring (Gibson –Corley et al. 2013).

Analisis Data

Seluruh data kuantitatif dianalisis dengan menggunakan perangkat lunak SAS 1.9, yaitu metode analisis ragam ANOVA dan disajikan dalam bentuk rataan dan standar deviasi. Selanjutnya digunakan uji lanjut Duncan untuk mengetahui adanya perbedaan yang signifikan (p<0.05) antar kelompok perlakuan.

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bobot Badan

(26)

12

terjadinya penurunan bobot badan secara signifikan mulai pada perlakuan di hari ke-12. Pada kelompok CMN terjadi peningkatan bobot badan yang terus menerus pada setiap hari perlakuan, peningkatan yang terjadi signifikan jika dibandingkan dengan kelompok kontrol mulai pada perlakuan hari ke-8. Kelompok BLM+CMN mengalami fluktuasi dalam bobot badan dan secara signifikan berbeda dengan kelompok kontrol maupun BLM pada perlakuan hari-28. Perbandingan ukuran tubuh mencit pada masing-masing kelompok perlakuan dapat dilihat pada Gambar 3, sedangkan rataan bobot badan disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Data bobot badan mencit setiap kelompok perlakuan

Hari ke- Kelompok Perlakuan

Kontrol BLM CMN BLM+CMN

0 29.75±2.01 a 29.25±2.05 a 29.94±2.07 a 29.54±2.03 a

4 30.75±2.36 a 29.00±2.16 a 32.75±3.20 a 30.00±2.45 a

8 31.25±1.50 a 28.25±2.50 a 36.00±3.37 b 30.50±2.65 a

12 32.00±1.41 a 28.00±2.16 b 37.00±3.16 c 28.50±2.08 ab

16 32.25±1.89 a 27.75±2.22 b 37.50±2.38 c 29.00±2.16 ab

20 32.50±2.52 a 27.75±2.06 b 38.25±2.63 c 31.25±3.30 ab

24 33.25±2.50 a 27.00±2.16 b 38.75±2.63 c 32.25±2.87 a

28 33.75±1.71 a 25.50±1.91 b 40.00±2.71 c 29.75±2.63 d

Perbedaan huruf superscripts pada baris yang sama menunjukkan perbedaan signifikan (p<0.05)

Penurunan bobot badan yang signifikan dilaporkan oleh Yamamoto & Nishioka (2004) pada nude mice yang diberi induksi bleomisin selama 6 minggu. Penurunan bobot badan ini disebabkan oleh aktivitas bleomisin yang menyebabkan stimulasi apoptosis dan radikal bebas atau ROS (Yamamoto & Katayama 2011). Tidak sebandingnya antara jumlah radikal bebas dengan antioksidan di dalam tubuh menimbulkan akumulasi radikal bebas, sehingga terjadi aktivasi neuron pro-opiomelanokortin (POMC) (Diano et al. 2011). Neuron POMC merupakan komponen dari rangkaian yang memediasi rasa kenyang atau menekan nafsu makan (Huang et al. 2011). Bleomisin menyebabkan aktivasi neuron POMC, sehingga terjadi penekanan nafsu makan. Penekanan nafsu makan secara terus-menerus menyebabkan kehilangan bobot badan. Diano et al. (2011) menyatakan bahwa level radikal bebas di hipotalamus secara langsung maupun tidak langsung menekan nafsu makan pada tikus obesitas.

(27)

13 Hipotalamus memegang peranan kunci pada pengaturan makan dan berat badan. Pada hipotalamus, rangsangan yang ada akan melibatkan daerah yang berperan dalam respon nafsu makan, yaitu nucleus ventromedial hypothalamus dan nucleus lateral hypothalamus. Bagian ventomedial hipotalamus dinamakan sebagai pusat kenyang (satiety system), sedangkan bagian lateral hipotalamus dinamakan pusat lapar atau pusat makan (feeding system). Rangsangan terhadap hipotalamus menyebabkan disekresikannya beberapa neuropeptida, seperti neuropeptide-Y (NPY) yang berperan dalam rasa lapar dan glucagon like peptide-1 (GLP-1) yang berperan dalam rasa kenyang (Guyton & Hall 1997).

Hipotalamus juga berhubungan dengan pengaturan hormon tubuh. Kadar glukosa tubuh akan menyebabkan hipotalamus melepaskan impuls ke batang otak untuk melepaskan hormon yang mempengaruhi respon makan. Salah satu hormon yang disekresikan untuk mempengaruhi respon makan adalah leptin. Leptin merupakan hormon yang disintesis oleh sel adiposit sebagai penghantar signal pada otak untuk kontrol makan. Pada medial hipotalamus, leptin akan mengaktifkan sel syaraf anorectic yang akan melepaskan neuropeptida yang menekan nafsu makan (seperti POMC). Pada saat yang sama, leptin akan menghambat kelompok sel syaraf lain yang sensitif terhadap leptin yang disebut orexigenic yang akan melepaskan neuropeptida yang mengatur nafsu makan (seperti NPY). Leptin juga dikenal sebagai cytokine-like hormone dengan efek pleiotropik dalam modulasi respon imun dengan mengaktivasi sel monosit, dendritik dan makrofag serta menstimulasi sel tersebut memproduksi sitokin (Lam & Lu 2007; Lago et al. 2008).

Pemberian kurkumin secara signifikan mampu meningkatkan bobot badan mencit mulai hari ke-8. Kurkumin diketahui dapat meningkatkan nafsu makan dengan cara memperlancar produksi cairan empedu, yang akhirnya dapat meningkatkan aktivitas pencernaan makanan. Dengan adanya peningkatan penyerapan makanan oleh tubuh, maka kebutuhan zat nutrisi untuk perkembangan dapat terpenuhi (Rahmat & Setianingrum 2008). Radikal bebas dan apoptosis yang distimulasi oleh bleomisin akan ditekan oleh aktifitas antioksidan dari kurkumin. Asouri et al. (2013) menjelaskan bahwa kurkumin merupakan antioksidan yang digunakan untuk meminimalisir atau mencegah pembentukan produk oksidasi yang toksik di dalam tubuh, bahkan kurkumin memiliki aktivitas sebagai antioksidan yang sama kuatnya dengan asam askorbat.

Histopatologi Organ Kulit

(28)

14

Penemuan lesio patologi di atas serupa dengan Yamamoto & Nishioka (2004), yaitu didapatkan penebalan kolagen yang homogen di bagian dermis pada mencit yang diberi perlakuan BLM. Selain peningkatan deposisi kolagen, lesio skleroderma juga disertai dengan reaksi peradangan dan hilangnya adnexa di bagian bawah dermis (Juniantito et al. 2013). Juniantito et al. (2013) melaporkan bahwa terdapat deposisi kolagen, atrofi folikel rambut, dan peningkatan jumlah makrofag pada kulit tikus yang diinduksi bleomisin. Yamate et al. (2002) melaporkan bahwa makrofag mampu memproduksi sejumlah besar TGF- 1 di lokasi luka dan area fibrotik. Makrofag CD68+ menginduksi myofibroblast melalui TGF- 1 (Yamamoto & Nishioka β00β). Myofibroblast akan menghasilkan kolagen dan menyebabkan terjadinya fibrosis (Hinz et al. 2007) Kisseleva & Brenner 2008).

Pewarnaan Masson’s trichrome bertujuan untuk mengetahui deposisi kolagen pada jaringan kulit. Pada kelompok kontrol (Gambar 5A) dan CMN (Gambar 5C) ditemukan struktur histologi jaringan ikat di kulit normal. Akan tetapi, pada kelompok BLM (Gambar 5B) terlihat warna biru yang mendominasi hampir keseluruhan struktur kulit. Hal ini menandakan bahwa hampir keseluruhan

(29)

15 dari jaringan kulit digantikan oleh stuktur jaringan ikat kolagen. Pada kelompok BLM+CMN (Gambar 5D) terlihat sedikit akumulasi jaringan ikat kolagen di daerah lemak intradermal, akan tetapi tidak separah pada kelompok BLM.

Yamamoto et al. (2000b) menyatakan bahwa pewarnaan jaringan dengan

Masson’s trichrome pada kulit mencit yang diinduksi skleroderma dengan bleomisin menunjukkan terjadinya peningkatan kepadatan deposisi kolagen di daerah dermis, sesuai dengan perkembangan kejadian skleroderma. Keberadaan kolagen pada jaringan yang diwarnai dengan modifikasi pewarnaan Masson’s trichrome akan divisualisasikan dengan warna biru (Kremer et al. 1999; Laxer et al. 1999; Berkman et al. 2001). Hasil pewarnaan jaringan kulit pada setiap kelompok perlakuan dapat dilihat pada Gambar 5.

Jumlah Folikel Rambut

Jumlah folikel rambut pada kelompok kontrol (25.90±5.39)/mm2 dan CMN (26.93±6.10)/mm2 tidak berbeda secara signifikan. Akan tetapi, kelompok BLM (7.27±2.50)/mm2 memiliki jumlah folikel rambut yang lebih sedikit dan berbeda signifikan (p<0.05) jika dibandingkan dengan kelompok kontrol. Pada kelompok BLM+CMN (16.77±4.28)/mm2, jumlah folikel rambutnya lebih banyak dan berbeda signifikan jika dibandingkan dengan kelompok BLM. Jumlah folikel

(30)

16

rambut menjadi salah satu parameter dari kejadian skleroderma karena induksi bleomisin menyebabkan apoptosis dari sel-sel folikel rambut, sehingga jumlah folikel rambut menjadi berkurang. Jumlah folikel rambut pada setiap kelompok perlakuan disajikan pada Gambar 6.

Pada kelompok kontrol dan CMN tidak terdapat perbedaan jumlah folikel rambut yang signifikan. Hal ini menandakan bahwa kurkumin tidak menyebabkan apoptosis pada folikel rambut. Sebaliknya, kelompok BLM memiliki jumlah folikel rambut yang lebih sedikit dan berbeda signifikan jika dibandingkan kelompok kontrol. Hal ini disebabkan oleh paparan bleomisin secara terus-menerus menginduksi apoptosis pada sel-sel di kulit, termasuk folikel rambut. Injeksi bleomisin secara lokal dapat menginduksi terjadinya apoptosis pada folikel rambut, sehingga menyebabkan kematian sel-sel rambut dan terjadi alopesia (Yamamoto & Nishioka 2004; Yamamoto 2006a). Bleomisin merupakan salah

satu agen kemoterapi yang menghambat proses mitosis pada fase anagen atau fase pertumbuhan folikel rambut (Yamamoto 2006a). Selain itu, bleomisin menjadi

stimulus pelepasan sitokin yang menstimulaai produksi TGF- (Kovacs & DiPietro 1994). Soma et al. (1998) menyatakan TGF- menginduksi fase katagen (apoptosis) dalam siklus rambut pada manusia.

Berdasarkan Gambar 6 diketahui bahwa kelompok BLM+CMN memiliki jumlah folikel rambut yang lebih banyak dan berbeda signifikan jika dibandingkan dengan kelompok BLM. Hal ini membuktikan bahwa kurkumin dapat menghambat kejadian apoptosis folikel rambut pada kulit yang dipapar bleomisin. Chainani-Wu (2003) melaporkan bahwa kurkumin menghambat beberapa molekul yang terlibat dalam peradangan, seperti fosfolipase, lipooksigenase, siklooksigenase-2, leukotrien, tromboksan, prostaglandin, nitrit oksida, kolagenase, elastase, hyaluronidase, dan MCP-1. Selain itu, kurkumin dapat penghambat pelepasan sitokin, interleukin-1, interleukin-6, dan TNF-α (Sordillo & Helson 2015). Penghambatan pelepasan mediator peradangan ini

(31)

17 menyebabkan tingkat peradangan dapat ditekan, sehingga keparahan skleroderma dapat diturunkan.

Kurkumin dapat menghambat kerja reseptor TGF- tipe 1 dan 2 (Li et al. 2013), sehingga produksi TGF- diturunkan. Soma et al. (1998) menyatakan TGF- akan menginduksi fase katagen (apoptosis) dalam siklus rambut pada manusia. Oleh karena itu, dimungkinkan bahwa kurkumin dapat menghambat fase katagen (apoptosis) pada siklus rambut dengan cara menghambat produksi TGF- . Sehingga mencit yang dipapar bleomisin akan memproduksi TGF- akibat stimulasi dari sitokin (Kovacs & DiPietro 1994), kurkumin akan menghambat kerja reseptor TGF- tersebut untuk menghambat produksi TGF- . Berdasarkan uraian di atas, ketika TGF- dihambat, maka induksi terhadap fase katagen folikel rambut akibat bleomisin dapat dihambat pula.

Luas Folikel Rambut

Luas folikel rambut per 15 folikel rambut pada kelompok kontrol (11679.00±3112.64 µm2) dan CMN (10188.26±2070.48 µm2) tidak berbeda secara signifikan. Akan tetapi pada kelompok BLM (3870.24±1713.98 µm2), luas folikel rambut lebih kecil dan berbeda signifikan (p<0.05) jika dibandingkan dengan kelompok kontrol. Selain itu, kelompok BLM+CMN (8124.29±2256.48 µm2) memiliki luas folikel rambut yang lebih besar dan berbeda signifikan jika dibandingkan dengan kelompok BLM. Luas folikel rambut pada setiap kelompok perlakuan disajikan pada Gambar 7.

Aplikasi BLM secara lokal pada kulit selain menyebabkan penurunan jumlah folikel rambut secara signifikan, juga menyebabkan penurunan luas folikel rambut. Atrofi folikel rambut disebabkan oleh aktivitas bleomisin yang menstimulasi produksi TGF- , yang kemudian akan menginduksi fase katagen atau fase apoptosis dalam siklus rambut (Kovacs & DiPietro 1994; Soma et al. Gambar 7 Luas folikel rambut. Superscripts berbeda menunjukkan perbedaan

(32)

18

2002). Terdapat 3 fase dalam siklus rambut, yaitu: (i) anagen, fase regenerasi folikel dengan pertumbuhan rambut aktif; (ii) telogen, fase istirahat; dan (iii) katagen, fase apoptosis (Jain et al. 2012).

Pemberian kurkumin terbukti dapat menghambat kerja reseptor TGF- untuk memproduksi TGF- (Soma et al. 1998). Penghambatan produksi TGF- akan menghambat percepatan fase katagen pada folikel rambut (Yamamoto & Nishioka 2004; Yamamoto 2006a). Penghambatan fase katagen akan menghambat

percepatan apoptosis sel-sel folikuler, sehingga kematian sel-sel folikuler menjadi berkurang. Dengan demikian, kurkumin terbukti dapat menghambat apoptosis folikel rambut akibat bleomisin.

Jumlah Sel Radang

Makrofag

Terdapat jumlah makrofag yang lebih banyak dan berbeda signifikan (p<0.05) pada kelompok BLM (66.27±5.24)/mm2 jika dibandingkan dengan kontrol (14.97±3.63)/mm2. Selain itu, kelompok CMN (7.00±2.59)/mm2 memiliki jumlah makrofag yang lebih sedikit dan berbeda signifikan jika dibandingkan dengan kontrol. Pemberian kurkumin dapat menghambat jumlah makrofag pada mencit yang diberi bleomisin, terbukti bahwa kurkumin dapat menurunkan jumlah makrofag secara signifikan pada kelompok BLM+CMN (28.77±4.20)/mm2 jika dibandingkan dengan kelompok BLM. Jumlah makrofag pada setiap kelompok perlakuan disajikan pada Gambar 8.

Peningkatan jumlah sel-sel radang disebabkan apoptosis folikel rambut oleh aktivitas bleomisin (Kovacs & DiPietro 1994; Soma et al. 1998). Apoptosis sel folikuler selanjutnya menyebabkan keluarnya mediator peradangan (Matsushita et al. 2008), yang kemudian disusul dengan perekrutan dan fagositosis oleh makrofag (Messmer & Pfeilschifter 2000). Makrofag muncul di dalam dan sekitar folikel rambut yang mengalami apoptosis (Juniantito et al. 2013). Peningkatan jumlah makrofag dimulai pada minggu ke-1 dan terus meningkat secara signifikan Gambar 8 Jumlah makrofag. Superscripts berbeda menunjukkan perbedaan

(33)

19 hingga minggu ke-4. Pada minggu ke-1 makrofag CD68+ (cluster of differentiation 68+) adalah jenis makrofag yang paling dominan dibandingkan jenis lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa jenis makrofag ini merupakan makrofag yang memfagosit sel debris pada awal kejadian inflamasi.

Limfosit

Terdapat trend yang serupa pada jumlah limfosit dengan jumlah makrofag, yaitu terdapat jumlah limfosit yang lebih banyak dan berbeda signifikan (p<0.05) pada kelompok BLM (22.37±4.9/mm2) jika dibandingkan dengan kontrol (7.43±1.56/mm2). Selain itu, pada kelompok CMN (4.5±1.14/mm2) jumlah limfosit juga lebih sedikit dan berbeda signifikan jika dibandingkan dengan kontrol. Pemberian kurkumin dapat menghambat jumlah limfosit pada mencit yang diberi bleomisin. Hal ini terbukti dari kelompok BLM+CMN (12.63±3.39/mm2) memiliki jumlah limfosit yang lebih sedikit dan berbeda secara signifikan jika dibandingkan dengan kelompok BLM. Jumlah makrofag pada setiap kelompok perlakuan disajikan pada Gambar 9.

Perubahan yang terjadi pada kulit akibat induksi bleomisin relatif terlokalisasi pada daerah di sekitar suntikan, tidak pada keseluruhan bagian kulit (Yamamoto 2002). Gambaran histologi pada awal kejadian skleroderma adalah infiltrasi sel mononuklear. Hal ini kemudian menyebabkan terstimulasinya mediator peradangan sitokin untuk memproduksi matriks ekstraselular yang berlebihan (Fleischmajer et al. 1977). Selain itu infiltrasi sel limfosit T, yang didominasi CD4 merupakan limfosit utama yang terlibat dalam kejadian skleroderma. Sama seperti pada kejadian sistemik skleroderma di manusia, pada hewan coba juga terjadi peningkatan jumlah sel-sel radang seperti sel T, makrofag, dan sel mast di jaringan yang terkena skleroderma.

Bersadarkan hasil penghitungan jumlah makrofag dan limfosit, diketahui bahwa terdapat trend yang sama pada setiap kelompok perlakuan. Persamaan tersebut adalah sel radang makrofag secara signifikan lebih mendominasi dibandingkan limfosit pada kasus skleroderma akibat bleomisin. Perbandingan jumlah makrofag dan limfosit pada setiap kelompok perlakuan disajikan pada Tabel 2.

(34)

20

Berdasarkan Gambar 8 dan 9 diketahui terdapat peningkatan jumlah sel radang makrofag dan limfosit secara signifikan pada kelompok BLM. Kunci gambaran kejadian skleroderma adalah hilangnya kemampuan pembuluh darah untuk berkontriksi dan berdilatasi (Abraham & Varga 2005), sehingga menyebabkan terjadinya iskemia. Terdapat dua cara endotelium untuk memperbaiki diri sendiri atau membentuk pembuluh darah baru dalam menanggapi iskemia jaringan. Cara pertama adalah angiogenesis, yaitu endothelium akan meregenerasi diri sendiri untuk membentuk pembuluh darah baru. Cara kedua adalah vaskulogenesis, perbaikan endotelium dan pembentukan pembuluh darah baru yang dimediasi oleh derivat sel progenitor sumsum tulang. Derivat sel progenitor ini bersirkulasi di dalam darah dan akan berdiferensiasi menjadi sel-sel endotel (Hristov & Weber 2004). Kerusakan pembuluh darah menyebabkan terjadinya aktivasi sel endotel dan disfungsi permeabilitas kapiler. Hal ini kemudian diikuti dengan peningkatan ekspresi adhesi molekul, yang menyebabkan sel mononuklear menyusup di jaringan kulit (Yamamoto & Katayama 2011).

Tabel 2 Perbandingan jumlah makrofag dan limfosit pada setiap kelompok perlakuan

Keterangan: superscripts berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan signifikan (p<0.05)

Metabolisme asam arakhidonat pada membran sel memainkan peranan penting dalam respon peradangan yaitu dengan cara menghasilkan eikosanoid (Steele et al. 2003). Membran fosfolipid dihidrolisis oleh phospholipase-A2 (PLA2) kemudian akan melepaskan asam arakidonat. Asam arakidonat ini akan dimetabolisme oleh cyclooxygenase (COX) untuk membentuk prostaglandin dan tromboksan, atau dapat pula dimetabolisme oleh lipooxygenase (LOX) untuk membentuk leukotriens. Kurkumin diketahui dapat menghambat PLA2, COX-2, dan 5-LOX pada kultur sel (Hong et al. 2004). Kurkumin secara langsung menghambat aktivitas katalisis 5-LOX, mencegah fosforilasi PLA2, dan menghambat transkripsi COX-2. NFк adalah faktor transkripsi yang mengikat DNA dan meningkatkan transkripsi gen COX-2 dan gen-gen proinflamasi lainnya seperti inducible nitric oxide syntase (iNOS). Pada sel-sel radang seperti makrofag, iNOS akan mengkatalisis nitrit oksida yang dapat bereaksi dengan superoksida membentuk peroksinitrit. Peroksinitrit merupakan spesies nitrogen reaktif yang dapat merusak protein dan DNA. Kurkumin diketahui dapat menghambat NFк , induksi COX-2, dan iNOS pada kultur sel hewan (Plummer et al. 1999).

(35)

21 berkontribusi terhadap fibrosis melalui aksi beberapa mediator peradangan dan sitokin, karena sel mast sangat kaya akan sitokin dan mediator yang mampu mengaktifkan fibroblast dan sel endotel (Gruber 1995).

Jumlah makrofag secara signifikan lebih banyak dibandingkan jumlah limfosit (Tabel 2). Hal ini disebabkan oleh pada jaringan kulit terdapat makrofag yang menetap disebut dengan histiosit. Histiosit sering disebut klasmatosit atau makrofag tetap, sebagai sel fusiform yang teregang di sepanjang serat kolagen. Histiosit bersama dengan fibroblast selalu terdapat pada jaringan ikat longgar. Ketika terjadi peradangan, maka makrofag yang berasal dari monosit di sirkulasi akan masuk ke jaringan. Selain makrofag, akan berdatangan sel radang lainnya seperti limfosit. Limfosit akan hadir saat peradangan sudah berlangsung secara kronis. Oleh karena itu pada kejadian skleroderma akibat bleomisin dilakukan penghitungan kedua sel radang ini.

Persentase Luas Jaringan Ikat Kulit

Skleroderma dicirikan dengan terbentuknya akumulasi kolagen yang berlebihan. Terbukti pada penelitian ini, persentase luas jaringan ikat yang terbentuk pada kelompok BLM (37.84±4.2)% lebih tinggi dan signifikan (p<0.05) jika dibandingkan dengan kelompok kontrol (21.98±2.63)%. Pada kelompok perlakuan CMN (15.26±2.2)% terdapat persentase luas jaringan ikat yang lebih rendah dan signifikan jika dibandingkan dengan kelompok kontrol. Sedangkan pada kelompok BLM+CMN (24.95±4.71)% memiliki persentase luas jaringan ikat lebih rendah dan signifikan jika dibandingkan dengan kelompok BLM. Data persentase luas jaringan ikat disajikan pada Gambar 10.

Peningkatan luas jaringan ikat pada kelompok perlakuan BLM disebabkan oleh peradangan akibat induksi bleomisin. Yamamoto & Nishioka (2002) menemukan bahwa pada kulit yang diinduksi bleomisin mengalami peningkatan Gambar 10 Persentase luas jaringan ikat kulit. Superscripts berbeda menunjukkan

(36)

22

α-smooth muscle actin (α-SMA) yang signifikan. Pemberian antiTGF- mampu menurunkan jumlah α-SMA secara signifikan hingga 50%, sehingga dapat menurunkan kejadian skleroderma. TGF- dilepaskan oleh berbagai jenis sel, seperti makrofag, limfosit, dan fibroblast. Beberapa aksi dari TGF- antara lain kemotaktik makrofag dan fibroblast, menstimulasi proliferasi fibroblast, meningkatkan sintesis matriks ekstraseluler, menurunkan regulasi proteinase matriks ektraseluler, dan meningkatkan regulasi inhibitor proteinase (Yamamoto & Nishioka 2004). Bleomisin meningkatkan regulasi kolagen tipe-1, fibronektin, dan ekspresi mRNA dari TGF- pada kultur fibroblast kulit normal. Bleomisin dapat memodulasi ekspresi gen protein matriks ekstraseluler dalam dermal fibroblast. Efek ini dimediasi oleh TGF- dan connective tissue growth factor (CTGF) (Yamamoto et al. 2000a). Juniantito et al. (2013) melaporkan bahwa

terjadi perkembangan lesio fibrotik terutama di daerah dermis pada kelompok yang mendapatkan perlakuan bleomisin.

Perbaikan jaringan melibatkan rekonstitusi jaringan ikat dari fibroblast menjadi myofibroblast (Tomasek et al. 2002). Myofibroblast dicirikan dengan adanya ekspresi protein prokontraktil yaitu α-SMA. Lesio fibrotik sebagian besar dihuni oleh myofibroblast, termasuk pada kasus skleroderma (Chen et al. 2005). Pada jaringan kulit yang dipapar bleomisin terdapat ekspresi connective tissue growth factor (CTGF/CCN2) yang merupakan marker dan mediator fibrosis. Sel-sel yang mengekspresikan CCN2 tersebut juga mengekspresikan α-SMA (Liu et al. 2010)

Myofibroblast merupakan komponen utama dalam proses fibrosis atau penyembuhan luka. Myofibroblast memproduksi matriks ektraseluler, sehingga menyebabkan terjadinya akumulasi protein matriks ekstraseluler. Studi yang telah dilakukan oleh Desmouliere et al. (1993) menunjukkan bahwa TGF- merupakan sitokin yang presentatif untuk menginduksi diferensiasi fibroblast menjadi sel myofibroblast. Beberapa aksi dari TGF- dapat menstimulasi proliferasi fibroblast dan produksi protein matriks ekstraseluler, seperti kolagen. Oleh karena itu keberadaan TGF- berkaitan erat dengan patogenesis skleroderma. Penelitian menunjukkan bahwa blokade terhadap TGF- dengan menggunakan antibodi spesifik terhadap TGF- , dapat menghambat fibrosis jaringan pada hewan model (Yamamoto et al. 1999; Wang et al. 1999).

(37)

23

Histologi Organ Paru-paru

Hasil pewarnaan jaringan paru-paru dengan menggunakan pewarnaan HE menunjukkan bahwa pada kelompok kontrol (Gambar 11A) dan kelompok CMN (Gambar 11C) adalah gambaran normal struktur jaringan paru-paru. Jaringan paru-paru pada kedua kelompok ini terlihat memiliki ketebalan dinding alveol yang tipis. Akan tetapi, pada kelompok BLM (Gambar 11B) terlihat adanya peningkatan ketebalan dinding alveol akibat bertambahnya sel-sel pada bagian interstisial, sehingga terjadi penyempitan pada bagian interalveolaris. Pada kelompok BLM+CMN (Gambar 11D) terlihat adanya sedikit penebalan pada dinding alveol, akan tetapi bagian interalveolaris masih terlihat normal. Gambar fotomikrografi paru-paru yang diwarnai dengan pewarnaan HE dapat dilihat pada Gambar 11.

Pada pewarnaan jaringan paru-paru dengan pewarnaan Masson’s trichrome terlihat struktur kolagen yang sangat tipis pada kelompok kontrol (Gambar 12A) dan CMN (Gambar 12C). Akan tetapi pada kelompok BLM (Gambar 12B) terlihat akumulasi kolagen yang hampir menyebar di keseluruhan gambar. Akumulasi kolagen ini divisualisasikan dengan warna biru (Suvik & Effendy 2013). Pada kelompok BLM+CMN (Gambar 12D) terlihat sedikit akumulasi kolagen yang divisualisaskan dengan warna biru. Fotomikrografi jaringan paru-paru yang diwarnai dengan Masson’s trichrome dapat dilihat pada Gambar 12. Gambar 11 Foto mikrografi paru-paru dengan pewarnaan HE; (A) Kontrol; (B)

(38)

24

Persentase Luas Jaringan Ikat Paru-paru

Rataan persentase luas jaringan ikat paru-paru pada kelompok kelompok BLM yaitu (15.03±2.45)% lebih tinggi dan signifikan (p<0.05) jika dibandingkan dengan kelompok kontrol (2.39±0.78)%. Selain itu, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok kontrol dengan kelompok CMN (1.5±0.61)%. Pada kelompok BLM+CMN (6.17 ±2.01)% memiliki persentase luas jaringan ikat lebih rendah dan signifikan jika dibandingkan dengan kelompok BLM. Rataan persentase jaringan ikat paru-paru pada setiap kelompok perlakuan disajikan pada Gambar 13.

(39)

25 bleomisin dapat menstimulasi endothelial sel, makrofag, dan fibroblast untuk menginduksi mediator peradangan (sitokin proinflamasi dan fibrogenik), apoptosis, dan radikal bebas.

Kejadian fibrosis pada paru-paru diawali dengan terjadinya suatu peradangan. Peradangan akan berkembang menjadi proliferasi sel myofibroblast, dan diakhiri dengan pembentukan jaringan ikat persisten (Sleijfer 2001). Mekanisme induksi fibrosis oleh bleomisin disebabkan oleh peningkatan ekspresi gen protein matriks ekstraseluler karena pengaruh sitokin fibrogenik yang dilepaskan makrofag, sel endotel, dan fibroblast (Clark et al. 1980). Selain itu, bleomisin menghasilkan radikal bebas yang dapat menginduksi apoptosis (Yamamoto 2006b).

Haston et al. (2002) menyatakan bahwa bleomisin secara in vivo akan mengalami detoksifikasi oleh enzim bleomycin-hydrolase. Enzim ini merupakan golongan aminopeptidase sitosol dengan kadar rendah pada kulit dan paru-paru. Oleh karena itu, efek bleomisin di paru-paru kurang dapat dinetralisir sehingga menyebabkan kejadian fibrosis paru-paru. Fibrosis paru-paru di bagian interstisial ditandai dengan perubahan komposisi seluler di daerah alveolar dengan komposisi kolagen yang berlebihan (Oury et al. 2001). Bleomisin menghasilkan radikal bebas yang dapat menyebabkan kerusakan DNA dan peningkatan sintesis kolagen di jaringan paru-paru (Sleijfer 2001). Penyempitan lumen alveol disebabkan oleh penebalan dinding alveol oleh akumulasi jaringan ikat di interstisial.

Penurunan luas jaringan ikat secara signifikan pada kelompok BLM+CMN kemungkinan disebabkan oleh dua hal. Pertama, kurkumin dapat langsung menginaktivasi kerja bleomisin sehingga tidak menimbulkan peradangan. Kedua, aktivitas antiinflamasi dari kurkumin menyebabkan peradangan yang terjadi menjadi lebih sedikit, sehingga kejadian fibrosis dapat ditekan. Dari kedua penyebab yang telah dipaparkan di atas, penyebab kedua dirasakan lebih

(40)

26

mendekati patogenesis penghambatan fibrosis oleh kurkumin. Hal ini disebabkan oleh pemberian induksi bleomisin dan terapi kurkumin dilakukan melalui dua jalur yang berbeda. Induksi bleomisin dilakukan secara subkutan, sedangkan terapi kurkumin dilakukan secara intraperitoneal. Kedua jalur ini akan berinteraksi secara sistemik di dalam tubuh, sehingga penurunan luas jaringan ikat paru-paru akibat bleomisin kemungkinan disebabkan oleh aktivitas antiinflamasi dari kurkumin.

Hal serupa dinyatakan oleh Smith et al. (2010) bahwa pemberian kurkumin dapat secara signifikan menekan peradangan paru-paru serta deposisi kolagen pada fibrosis paru yang diinduksi bleomisin. Kurkumin merupakan molekul pleiotropik tinggi yang mampu berinteraksi dan berikatan dengan sebagian besar target molekul peradangan (Jurenka 2009). Duvoix et al. (2005) melaporkan bahwa selain mempunyai efek antikanker, kunyit juga memberikan efek yang baik sebagai antioksidan dan antiinflamasi. Senyawa bioaktif kunyit mempunyai efek protektif terhadap sel hati yang terkena paparan zat kimia toksik seperti karbon tetraklorida (CCl4) (Prakash et al. 2008; Kardena dan Winaya 2011). Yu et al.

(2011) melaporkan bahwa pemberian kurkumin dapat mengurangi kerusakan jaringan pankreas dan organ lainnya akibat induksi caerulein, yaitu dengan cara menghambat pelepasan mediator peradangan sitokin TNF-α. Selain itu, kurkumin menyebabkan apoptosis pada scleroderma lung fibrosis (SLF) tanpa mempengaruhi fibroblast pada paru-paru normal (Tourkina et al. 2004).

Tebal Dinding Alveol

Pada kelompok kontrol (3.72±0.56 μm) dan CMN (3.39±0.54 μm) tidak terdapat perbedaan ketebalan dinding alveol yang signifikan. Akan tetapi, pada kelompok BLM (24.93±6.26 μm) memiliki nilai tebal dinding alveol yang lebih besar dan signifikan jika dibandingkan dengan kelompok kontrol. Kelompok BLM+CMN (9.95±2.60 μm) memiliki nilai tebal dinding alveol yang lebih rendah dan signifikan jika dibandingkan dengan kelompok BLM. Ketebalan dinding alveol pada setiap kelompok perlakuan disajikan pada Gambar 14.

Gambar

Tabel 1  Data bobot badan mencit setiap kelompok perlakuan
Gambar  4    Foto  mikrografi  kulit  dengan  pewarnaan  HE:  (A)  Kontrol,  struktur  normal  kulit  dengan  jaringan  lemak  intradermal;  (B)  BLM,  struktur  abnormal  kulit  dengan  peningkatan  jumlah  sel  radang  dan  hilangnya  adnexa  di  dermis
Gambar  5  Foto  mikrografi  kulit  dengan  pewarnaan  MT:  (A)  Kontrol,  struktur  normal  jaringan  ikat  kulit  dengan  lemak  intradermal;  (B)  BLM,  struktur  lemak  intradermal  digantikan  kolagen;  (C)  CMN,  struktur  normal jaringan ikat kulit
Gambar  13    Persentase  luas  jaringan  ikat  paru-paru.  Superscripts  berbeda  menunjukkan  perbedaan  signifikan  (p&lt;0.05)
+2

Referensi

Dokumen terkait

Kemudian dari hasil penelitian didapatkan jumlah sampel total 244 responden yang sudah melakukan imunisasi hepatitis B didapatkan HBsAg positif sebanyak 2 orang,

Dari hasil identifikasi sistem dihitung nilai kecocokan atau nilai fitness terhadap data keluaran yang sebenarnya untuk menghitungnya dengan mendapatkan nilai RMSE

32/ 2004 secara intinya menentukan bahwa: “Keputusan Pembatalan Peraturan daerah ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak

[r]

Setelah dilakukan penelitian mengenai zona hambat dari minyak atsiri sereh Cymbopogon citratus DC., diperoleh bahwa minyak atsiri tersebut lebih efektif dalam

Untuk itulah, penelitian ini dilakukan untuk mengembangkan Kecamatan Balaraja sebagai PKWp Kabupaten Tangerang berbasis industri namun tetap mempertahankan sektor

Kemudian kesimpulan yang dapat ditarik dari sub masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : (1) Kesulitan belajar siswa kelas XI IPS 1 pada mata pelajaran sosiologi di SMA

Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin banyak penggunaan tepung tempenya maka tekstur snack bars akan semakin kompak (keras) dan kadar abu, protein, lemak,