• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Kemitraan Dan Dampaknya Terhadap Efisiensi Teknis Usaha Ternak Ayam Broiler Di Kabupaten Limapuluh Kota Sumatera Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model Kemitraan Dan Dampaknya Terhadap Efisiensi Teknis Usaha Ternak Ayam Broiler Di Kabupaten Limapuluh Kota Sumatera Barat"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL KEMITRAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP

EFISIENSI TEKNIS USAHA TERNAK AYAM BROILER

DI KABUPATEN LIMAPULUH KOTA SUMATERA BARAT

DIRA ASRI PRAMITA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Model Kemitraan dan Dampaknya terhadap Efisiensi Teknis Usaha Ternak Ayam Broiler di Kabupaten Limapuluh Kota Sumatera Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

DIRA ASRI PRAMITA. Model Kemitraan dan Dampaknya terhadap Efisiensi Teknis Usaha Ternak Ayam Broiler di Kabupaten Limapuluh Kota Sumatera Barat. Dibimbing oleh NUNUNG KUSNADI dan HARIANTO.

Peternakan ayam broiler di Indonesia sebagian besar merupakan peternakan rakyat sehingga diperlukan sistem pengembangan yang efisien. Salah satunya dengan melakukan integrasi vertikal antara perusahaan dengan peternak yaitu kemitraan. Pola kemitraan antara perusahaan dan peternak mempunyai bentuk kerja sama yang bervariasi yaitu pola kemitraan sistem kontrak dan pola kemitraan sistem bagi hasil. Perbedaan kedua pola kemitraan ini terdapat pada perjanjian kerja samanya sehingga berdampak pada produksi dan pada akhirnya tingkat efisiensi.

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Menganalisis tingkat efisiensi teknis usaha ternak ayam broiler pola kemitraan sistem kontrak dan kemitraan sistem bagi hasil, dan (2) Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi usaha ternak ayam broiler. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat. Sampel terdiri atas dua kelompok sistem kemitraan, yaitu peternak kemitraan sistem kontrak dan peternak kemitraan sistem bagi hasil. Proses pengambilan sampel peternak ayam broiler sistem kontrak dan bagi hasil diperoleh secara purposive. Sampel untuk peternak kemitraan sistem kontrak berjumlah 50 orang, sedangkan peternak kemitraan sistem bagi hasil berjumlah 37 orang. Sehingga jumlah sampel dalam penelitian ini sebesar 87 orang. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2015 sampai bulan September 2015. Metode analisis tingkat efisiensi menggunakan fungsi produksi stochastic frontier Cobb-Douglas dan faktor sosial ekonomi menggunakan regresi biasa.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola kemitraan pada peternak dengan sistem kontrak lebih efisien dibandingkan pola kemitraan sistem bagi hasil. Rata-rata tingkat efisiensi teknis peternak kemitraan sistem kontrak sebesar 95% lebih tinggi dari rata-rata tingkat efisiensi teknis peternak kemitraan sistem bagi hasil sebesar 79%. Adanya kemitraan sistem kontrak memberikan peternak pada kepastian pasokan input, akses pasar, pembagian risiko, akses teknologi, dan akses manajerial. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat efisiensi peternak ayam broiler adalah umur dan pengalaman beternak. Umur berpengaruh negatif terhadap efisiensi, sebaliknya pengalaman beternak berpengaruh positif terhadap efisiensi. Pada hasil tersebut diperoleh bahwa kemitraan sistem kontrak dapat mengurangi inefisiensi dan disarankan dapat mengurangi efek negatif dari pertambahan umur peternak.

(5)

SUMMARY

DIRA ASRI PRAMITA.Lease Arrangement Model and Its Impact on Technical Efficiency of Broiler Production in Limapuluh Kota District of West Sumatera. Supervised by NUNUNG KUSNADI and HARIANTO.

Broiler production in Indonesia is a major farm of small and medium scale animal production and this necessitates the development of an efficient system. One of such system involves the vertical integration between large companies and farmers known as lease arrangement. A lease arrangement between companies and farmers have varying forms of cooperation that is lease arrangement the contract system and the profit sharing system. The difference in this types of lease arrangement is in the forms of agreement which in turn influence production and the level of efficiency.

This study aims to: (1) analyze the level of technical efficiency of broiler farms with the contract system and the profit sharing system, and (2) to identify the basic determinants of the technical efficiency, as well as the socio-ecomic variables that affect business performance. Cross section data was collected from Limapuluh Kota district in West Sumatera between July to September 2015. The purposive sampling technique was used to identify 87 farmers of which 50 were involved in the contract system arrangement while 37 were involved in the profit sharing arrangement. The data was analyzed using the Cobb-Douglas Stochastic Production Frontier.

The results showed that a lease arrangement with the contract system is more efficient than the profit sharing system. The average level of technical efficiency of farmers in contract system lease arrangement was 95% which was higher than the average level of technical efficiency of farmers in profit sharing system lease arrangement at 79%. With the contract system farmers have the certainty of input supply, market access, risk sharing, access to technology, and access to extension services. Factors that affect the level of efficiency of broiler producers are age and experience. While age has negative effect on efficiency, experience positively affects efficiency. This implies from the results, the contract system is recommended as it has the potential to reduce the inefficiency or negative effect of farmer age.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

MODEL KEMITRAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP

EFISIENSI TEKNIS USAHA TERNAK AYAM BROILER DI

KABUPATEN LIMAPULUH KOTA SUMATERA BARAT

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(8)
(9)
(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga dapat menyelesaikan tesis ini. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah mengenai Model Kemitraan dan Dampaknya terhadap Efisiensi Teknis Usaha Ternak Ayam Broiler di Kabupaten Limapuluh Kota Sumatera Barat. Tesis ini disusun sebagai tugas akhir dari tugas belajar pada Program Magister Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadari bahwa tesis ini dapat diselesaikan dengan baik karena bimbingan, arahan, curahan ilmu, masukan, dan dorongan dari komisi pembimbing dan bantuan serta masukan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, penulis menghaturkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Dr Ir Nunung Kusnadi, MS sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Dr Ir Harianto, MS sebagai Anggota Pembimbing yang selalu meluangkan waktunya untuk memberikan koreksi dan masukan serta sebagai sumber inspirasi bagi penulis dalam penyusunan tesis.

2. Prof Dr Ir Sri Hartoyo, MS., selaku penguji Luar Komisi dan Dr Meti Ekayani, S.Hut, MSc., selaku penguji Wakil Komisi Program Studi atas semua pertanyaan, masukan dan saran untuk perbaikan yang diberikan kepada penulis.

3. Prof Dr Ir Sri Hartoyo, MS., selaku ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian yang telah banyak memberikan bantuan selama penulis menempuh pendidikan.

4. Seluruh dosen Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian atas segala ilmu yang telah diberikan selama masa perkuliahan.

5. Dirjen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia atas kesempatan dan dukungan beasiswa BPPDN pendidikan Program Magister di IPB.

6. Penghargaan yang tinggi penulis sampaikan kepada keluarga yaitu orang tua penulis Ayahanda Asrul dan Ibunda Yuneti, Adinda Danar Pratama, Delvi Asrul dan Annisa Asri atas doa dan dorongan serta semangat yang diberikan selama studi.

7. Teman-teman di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Angkatan 2013 yang telah berbagi ilmu, berdiskusi dan belajar bersama selama mengikuti kuliah. 8. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu yang telah

membantu terlaksananya penelitian dan penyusunan tesis ini.

Segala kekurangan yang terdapat pada tesis ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis. Semoga tesis ini bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama menjadi referensi bagi peneliti selanjutnya untuk kepentingan yang lebih baik.

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN vii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian 4

2 TINJAUAN PUSTAKA 4

Teori Integrasi Vertikal 4

Efisiensi Usahatani 7

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Efisiensi Usahatani dan Faktor yang

Mempengaruhi Produksi Usahatani 10

3 KERANGKA TEORITIS 12

Kerangka Teori 12

Tipologi Integrasi Usaha 12

Kemitraan Usaha Ayam Broiler 16

Faktor –Faktor Produksi Peternakan Ayam Broiler 18 Konsep Fungsi Produksi dan Fungsi Produksi Frontier 19

Konsep Efisiensi 22

Konsep Teori Efisiensi Teknis Orientasi Input-Output 23

Kerangka Pemikiran Penelitian 24

Hipotesis Penelitian 25

4 METODE PENELITIAN 25

Lokasi dan Waktu Penelitian 25

Jenis dan Sumber Data 26

Metode Pengambilan Sampel 26

Metode dan Analisis Data 26

5 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 28

Gambaran Umum dan Geografis 28

Karakteristik Peternak Ayam Broiler 29

Deskripsi Usaha Ternak Ayam Broiler Kemitraan Sistem Kontrak dan

Kemitraan Sistem Bagi Hasil 33

6 HASIL DAN PEMBAHASAN 35

Kemitraan Usaha Ternak Ayam Broiler 35

Perbandingan Penggunaan Faktor Produksi dan Analisis Usaha Ternak

Ayam Broiler 46

Analisis Fungsi Produksi Usaha Ternak Ayam Broiler di Kabupaten

(12)

7 SIMPULAN DAN SARAN 55

Simpulan 55

Saran 55

DAFTAR PUSTAKA 56

(13)

DAFTAR TABEL

1 Karakteristik peternak kemitraan sistem kontrak dan kemitraan sistem bagi hasil di Kabupaten Limapuluh Kota tahun 2015 30 2 Keaktifan peternak responden kemitraan sistem kontrak dan

kemitraan sistem bagi hasil dalam mengikuti penyuluhan 32 3 Usaha ternak ayam broiler kemitraan sistem kontrak dan

kemitraan sistem bagi hasil 33

4 Kesepakatan harga sapronak PT. Multi Sentosa 39 5 Harga kesepakatan ayam hidup PT. Multi Sentosa 39 6 Harga jual sapronak kepada plasma PT. Menara Pratama 41 7 Harga beli ayam hidup dari plasma (standard) 41 8 Harga beli berdasarkan selisih FCR PT. Menara Pratama 41

9 Hak dan kewajiban pelaku kemitraan 43

10 Manajemen usaha ternak ayam broiler pola kemitraan sistem

kotrak dibanding sistem bagi hasil 45

11 Rata-rata penggunaan faktor produksi per 100 ekor pada usaha ternak ayam broiler kemitraan sistem kontrak dan bagi hasil di

Kabupaten Limapuluh Kota 46

12 Analisis usaha ternak ayam broiler kemitraan sistem kontrak dan usaha ternak ayam broiler sistem bagi hasil (1000 ekor ayam) di

Kabupaten Limapuluh Kota 48

13 Hasil pendugaan stochastic frontier production function usaha ternak ayam broiler di Kabupaten Limapuluh Kota 49 14 Sebaran nilai efisiensi teknis usaha ternak ayam broiler di

Kabupaten Limapuluh Kota antara peternak kemitraan kontrak

dan peternak kemitraan bagi hasil 51

15 Hasil dugaan efek inefisiensi teknis usaha ternak ayam broiler dengan model stochastic frontier di Kabupaten Limapuluh Kota 52 16 Sebaran responden berdasarkan tingkat efisiensi teknis usaha

ternak ayam broiler menurut umur peternak 54

DAFTAR GAMBAR

1 Kurva Model Marshallian 14

2 Kondisi efisiensi teknis integrasi vertikal sempurna dan tidak

sempurna 15

3 Pengukuran efisiensi teknis orientasi input-output 23

4 Kerangka pemikiran 25

5 Hubungan antara efisiensi teknis dengan umur peternak

responden 54

DAFTAR LAMPIRAN

(14)

2 Uji statistik perbandingan penggunaan input rata-rata antara peternak kontrak dan peternak bagi hasil usaha ternak ayam broiler di Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat. 63 3 Pendugaan efisiensi teknis peternak ayam broiler di Kabupaten

(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Usaha peternakan ayam broiler banyak berkembang di masyarakat. Kelebihan yang dimiliki di antaranya perputaran modal yang cepat, (Azizah et al. 2013). Ayam broiler dapat tumbuh dengan cepat dan dipanen dalam waktu yang singkat serta memiliki keunggulan genetik yang mampu menampilkan performa produksi yang optimal. Selain itu, daging ayam broiler lebih disukai masyarakat dibandingkan ternak unggas lainnya, karena harganya relatif murah. Kelebihan-kelebihan tersebut merupakan daya tarik peternak untuk melakukan usaha peternakan ayam broiler.

Peternakan ayam broiler di Indonesia sebagian besar merupakan peternakan rakyat (Burhani 2014). Oleh karena itu, diperlukan suatu sistem pengembangan yang efisien. Salah satunya pengelolaan usaha ayam brolier dengan melakukan integrasi vertikal antara perusahaan dengan peternak yaitu kemitraan. Sistem kemitraan menjadi salah satu solusi dalam menjawab tantangan bisnis dalam budi daya ayam ras saat ini. Key dan Runsten (1999) menjelaskan manfaat dengan sistem kemitraan yaitu pengembangan akses pasar, kredit dan teknologi, manajemen resiko yang lebih baik, memberikan kesempatan kerja yang lebih baik. Di lain pihak, perusahaan yang bermitra dapat mengurangi biaya investasi perusahaan dan dapat memfokuskan diri pada usaha menembus pasar modern dan pasar global.

Kemitraan di Indonesia diatur dalam Keppres No. 22 tahun 1990 berisi tentang kebijaksanaan pembinaan usaha peternakan ayam ras dengan mengatur bahwa usaha ayam ras diutamakan untuk usaha peternakan rakyat yaitu perorangan, kelompok dan koperasi, sedangkan untuk swasta nasional dalam usaha budi daya peternakan ayam ras harus bekerja sama dengan peternakan rakyat. Hal ini mengindikasikan sistem kemitraan menjadi salah satu solusi dalam menjawab tantangan bisnis dalam budi daya ayam ras saat ini. Apalagi sebagian besar peternak ayam ras adalah peternak rakyat kecil. Mereka memiliki keterbatasan dalam banyak hal seperti modal, teknologi, maupun sumber daya. Di lain pihak, perusahaan memiliki kelebihan di bidang tersebut. Kemitraan dalam usaha budi daya ayam broiler mempunyai tujuan utama untuk saling berbagi sumber daya dalam mengoptimalkan nilai tambah dari input, proses produksi, maupun output.

Kemitraan usaha peternakan di Indonesia dikembangkan sejak tahun 1984 melalui pola Perusahaan Inti Rakyat dalam perunggasan. Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 472/1996 menyebutkan bahwa perusahaan inti adalah perusahaan peternakan yang berkewajiban menyediakan lahan, penyedia sarana produksi ternak (sapronak), bimbingan teknis, manajemen, menampung, mengolah, memasarkan hasil produksi, serta mengusahakan permodalan. Melalui aturan ini, maka peternak yang berperan sebagai plasma hanya berkewajiban melakukan budi daya ternak sebaik-baiknya sehingga hasil produksi mencapai target (Suharno 2002).

(16)

2

saling mempercayai antara pihak yang bermitra. Hafsah (2000) berpendapat bahwa dengan adanya pola kemitraan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi sekaligus mendorong pemerataan kesejahteraan serta pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Kehadiran kemitraan sangat membantu peternak dalam penyediaan input, peningkatan akses terhadap produksi dan pemasaran serta adanya kepastian harga. Dengan demikian, kemitraan diharapkan mampu meningkatkan efisiensi usaha ternak ayam broiler. Sebagaimana penelitian Ramaswami et al. (2005) mengemukakan bahwa kontrak produksi adalah lebih efisien dibandingkan produksi non kontrak.

Pola kemitraan antara perusahaan dan peternak mempunyai bentuk kerja sama yang bervariasi, di antaranya pola kemitraan sistem kontrak dan pola kemitraan sistem bagi hasil. Hal ini dapat dilihat dari salah satu daerah sentra produksi ayam broiler di Indonesia yaitu Provinsi Sumatera Barat (Kementerian Pertanian 2013). Pelaksanaan kemitraan di Provinsi Sumatera Barat khususnya Kabupaten Limapuluh Kota terjadi dalam dua pola kemitraan yaitu kemitraan sistem kontrak dan kemitraan sistem bagi hasil. Kedua pola kemitraan ini terdapat perjanjian kerja sama yang berbeda.

Perbedaan kedua pola kemitraan ini terdapat pada perjanjian kerja samanya. Implementasi kerja sama diduga dapat meningkatkan efisiensi melalui bimbingan penyuluhan serta manfaat baik berupa peningkatan pendapatan, meningkatkan kualitas sumberdaya peternak, adanya kemudahan atau aksessibilitas yang diperoleh peternak, serta peningkatan skala usaha bagi pihak perusahaan dan pihak peternak. Disamping itu, menurut Murthy dan Madhuri (2013) sistem kerja sama pola kemitraan juga mempunyai kelemahan bagi peternak, di antaranya penentuan perjanjian kontrak, manipulasi input, kontrak yang tidak menguntungkan peternak. Dengan demikian, perbedaan pola kemitraan yang ada dilapangan juga mempengaruhi efisiensi produksi pada pola kemitraan tersebut.

Perumusan Masalah

Kemitraan yang dilakukan peternak terkait kondisi di lapangan, dimana peternak ayam broiler belum mampu melakukan usaha yang optimal karena tingginya biaya operasional (DOC, pakan, vaksin, vitamin dan obat-obatan) serta teknologi budi daya yang makin modern. Kurang baiknya manajemen pemeliharaan (budi daya) ayam broiler di tingkat peternak, sehingga menyebabkan kerugian bagi peternak. Permasalahan tersebut berdampak pada produksi ayam boiler kurang efisien, karena biaya produksi yang tinggi dan terbatasnya teknologi yang dimiliki peternak.

(17)

3 dengan sistem bagi hasil, tidak ada kriteria yang harus dipenuhi secara mutlak oleh peternak.

Kemitraan sistem kontrak merupakan kerja sama perusahaan dengan peternak yang memiliki ikatan kerja sama tertulis berupa perjanjian kontrak kerja sama. Sedangkan kemitraan sistem bagi hasil merupakan kerja sama poultry shop ataupun pemilik modal dengan peternak yang tidak memiliki ikatan kerja sama tertulis. Perjanjian tertulis pada kemitraan sistem kontrak berisi tentang kesepakatan harga sapronak, harga jual ayam hidup dan bonus pasar yang telah ditetapkan oleh pihak perusahaan. Kemitraan sistem bagi hasil dalam hal harga sapronak dan ayam hidup mengikuti harga pasar.

Secara ringkas, terdapat perbedaan perjanjian pada kedua pola kemitraan yaitu input produksi dan harga jual. Kemitraan kontrak dengan kepastian input dan harga pasar akan memberikan jaminan terhadap akses input dan mengurangi risiko pasar sebaliknya kemitraan bagi hasil di mana input dan harga jualnya mengikuti harga pasar memberikan kerugian bagi peternak terkait risiko harga input maupun output. Implikasi dari pelaksanaan pola kemitraan yang berbeda berdampak pada produksi dan pada akhirnya tingkat efisiensi. Penelitian ini akan mengkaji apakah benar kemitraan kontrak lebih efisien dibandingkan bagi hasil.

Masalah lain dalam penerapan kemitraan adalah apakah peternak telah mampu mengalokasikan input produksinya secara efisien. Kemampuan mengalokasikan input secara efisien selain ditentukan oleh kondisi internal (kemampuan manajerial) juga ditentukan faktor ekternal peternak. Untuk itu perlu dikaji faktor-faktor apa saja yang memengaruhi efisiensi usaha ayam broiler dengan pola kemitraan. Penelusuran faktor ini menjadi penting terkait pelaksanaan kemitraan di tingkat peternak. Untuk itu, perlu dilakukan penelitian mengenai efisiensi usaha peternakan ayam broiler pada pola kemitraan, dimana pola kemitraan yang diteliti dilokasi penelitian yaitu pola kemitraan sistem kontrak dan pola kemitraan sistem bagi hasil serta faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi efisiensi usaha ternak ayam broiler di Kabupaten Limapuluh Kota. Berdasarkan uraian tersebut, permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini sebagai berikut :

1. Apakah usaha ternak ayam broiler pola kemitraan sistem kontrak lebih efisien dari kemitraan sistem bagi hasil?

2. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat efisiensi pada usaha ternak ayam broiler pola kemitraan?

Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah :

1. Menganalisis tingkat efisiensi teknis usaha teknis ayam broiler pola kemitraan sistem kontrak dan kemitraan sistem bagi hasil.

(18)

4

Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada salah satu wilayah yang mengembangkan usaha ternak ayam broiler pola kemitraan sistem kontrak dan sistem bagi hasil, yaitu di Kabupaten Limapuluh Kota Provinsi Sumatera Barat. Penelitian ini menggunakan data cross section yang mencakup faktor-faktor produksi dan output usaha peternakan ayam broiler yang dihitung dalam jangka waktu satu kali periode usaha yaitu 35-40 hari.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Teori Integrasi Vertikal

Melihat perkembangan industri ayam ras (broiler) di Indonesia, kegiatan ekonomi dalam bisnis ini diselenggarakan oleh dua golongan penguasaan yaitu peternak rakyat dan perusahaan ayam ras. Dalam perkembangan usahanya kedua golongan tersebut sering mengalami masalah. Peternak rakyat biasanya memiliki usaha berskala kecil sering mengahadapi permasalahan seperti rendahnya kepemilikan modal, peralatan yang masih sederhana dan teknologi terbatas serta sulitnya aspek pemasaran. Bagi perusahaan besar, investasi yang dibutuhkan sangat besar dan resiko yang dihadapi juga besar. Oleh sebab itu, untuk menjaga kuantitas, kualitas, waktu penyaluran yang tepat dan kontinuitas, perusahaan besar umumnya membina suatu kerja sama dengan peternak rakyat melalui sistem kontrak (contract farming) (Daryanto 2011).

Kontrak dalam pengertian umum dan lengkap ditemukan pada pertanian dimana dalam bentuk yang sangat heterogen (Wright 1989 dalam Rehber 2007). Contract farming atau kontrak produksi, bagaimanapun harus dibedakan dari keragaman pemasaran sederhana atau kontrak tenaga kerja. Secara khusus contract farming memerlukan hubungan antara petani keluarga dan suatu pengolahan, ekspor atau unit pembelian (Rehber 2007). Dalam suatu proses produksi ada beberapa tahap yang harus dilalui mulai dari pengumpulan bahan baku sampai memprosesnya menjadi barang setengah jadi dan kemudian menjadi barang jadi. Kemudian proses produksi dilanjutkan dengan distribusi barang atau jasa dari distributor sampai pada konsumen akhir. Tahapan yang dilalui tersebut adalah suatu rangkaian produksi yang meliputi unit usaha di hulu sampai dengan hilir. Setiap tahap yang dilalui dalam proses produksi dan distribusi mengandung margin antara harga dengan biaya produksi.

(19)

5 akhir. Di negara-negara maju, hubungan dan transaksi antara sektor ini dapat diwujudkan dengan cara yang berbeda.

Integrasi vertikal adalah terbaik dilindungi untuk integrasi kepemilikan dimana dua atau lebih tahap dalam proses produksi dan pemasaran yang efektif dikendalikan oleh manajemen tunggal. Sebuah perusahaan dapat digambarkan sebagai terintegrasi secara vertikal jika mencakup dua single-output proses produksi dimana seluruh output dari proses pertama digunakan sebagai bagian atau seluruh kuantitas satu input antara atau dalam proses kedua atau seluruh yang kuantitas input antara dalam tahap kedua diperoleh dari sebagian atau seluruh output dari tahap pertama (Rehber 2007). Integrasi vertikal merupakan perjanjian yang terjadi antara beberapa pelaku usaha yang berada pada tahapan produksi/operasi dan atau distribusi yang berbeda namun saling terkait. Bentuk perjanjian yang terjadi dapat berupa penggabungan beberapa atau seluruh kegiatan operasi yang berurutan dalam sebuah rangkaian produksi/operasi.

Integrasi vertikal diatur dalam UU No. 5 Tahun 1999 diatur dalam pasal 14 sebagai berikut : “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat”.

Mekanisme hubungan kegiatan usaha yang bersifat integrasi vertikal dapat dilihat pada skema produksi yang menggambarkan hubungan dari atas ke bawah, yang sering disebut juga dengan istilah dari hulu (upstream) ke hilir (downstream). Suatu kegiatan usaha yang dikategorikan sebagai integrasi vertikal ke belakang atau ke hulu yaitu apabila kegiatan tersebut mengintegrasikan beberapa kegiatan yang mengarah pada penyediaan bahan baku dari produk utama. Sedangkan kegiatan usaha yang dikategorikan sebagai integrasi vertikal ke hilir adalah apabila kegiatan tersebut mengintegrasikan beberapa kegiatan yang mengarah pada penyediaan produk akhir.

(20)

6

menyesatkan (meminimalkan bahaya dengan mengendalikan pemasok secara langsung) dan mengendalikan produksi sehingga dapat menghindari biaya tambahan dari pemasok. Hal ini sesuai dengan gagasan “lembaga organisasi ekonomi memiliki sumber biaya transaksi”. Dengan melakukan integrasi vertikal, biaya transaksi tersebut dapat diminimalisir sehingga perusahaan dapat melakukan penghematan biaya. Penghematan biaya transaksi muncul dari penghematan biaya ekonomi dalam mencari pasokan bahan baku, melakukan negosiasi, kontrak dan pengawasan terhadap pemasok atau distributor.

Efisiensi juga bisa muncul dari pengurangan marjin ganda yang dilakukan oleh pelaku-pelaku usaha berada pada tingkatan produksi atau distribusi yang saling terkait. Margin ganda muncul ketika perusahaan pada tiap tingkatan produksi dan distribusi yang berbeda menerapkan marjin untuk memkasimumkan keuntungan. Dengan adanya integrasi vertikal margin ganda dapat dihilangkan dimana marjin hanya diterapkan oleh satu unit bisnis yang telah melakukan integrasi vertikal. Efisiensi yang dihasilkan dari kegiatan integrasi vertikal ini berdampak pada biaya produksi dan biaya organisasi yang lebih rendah, sehingga pelaku usaha dapat memproduksi barang dan jasa dengan kualitas yang lebih baik dan biaya yang ditanggung menjadi lebih rendah.

Alasan yang kedua adalah kepastian bahan baku dan peningkatan akses ke konsumen. Pelaku usaha memutuskan untuk melakukan integrasi vertikal ke hulu dengan maksud untuk mengontrol kepastian pasokan bahan baku. Alasan ketiga yaitu pelaku usaha dapat melakukan transfer pricing. Transfer pricing adalah saat pelaku usaha memberikan harga yang lebih rendah kepada perusahaan yang terintegrasi dibawahnya dengan tujuan membuat biaya produksi lebih rendah sehingga akan mengakibatkan harga jual yang lebih rendah dibanding pesaingnya karena biaya produksi yang relatif lebih rendah. Alasan keempat adalah mengurangi atau menghilangkan pesaing di pasar. Integrasi vertikal ditujukan untuk menghasilkan penghematan biaya maupun upaya untuk meminimalkan ketidakpastian. Dalam persaingan, perusahaan yang melakukan integrasi vertikal akan lebih mudah mendapatkan kekuatan pasar (market power) karena lebih efisien serta dapat menjadikan harga barang/jasa lebih murah dan adanya jaminan distribusi.

Menurut Koch (1980), integrasi vertikal memiliki dampak positif yang dihasilkan dari efisiensi dan dampak negatif yang dihasilkan dari perilaku anti persaingan. Dampak anti persaingan yang muncul dari integrasi vertikal dapat dibedakan atas tiga dampak yaitu (1) dampak yang berasal dari tindakan yang dilakukan perusahaan yang terintegrasi vertikal untuk membatasi kemampuan pesaing untuk bersaing melalui penutupan akses di pasar hulu (upstream market) ataupun di pasar hilir (downstream market), (2) dampak yang terjadi karena perusahaan yang terintegrasi vertikal memfasilitasi koordinasi harga atau output sebagai bagian dari upaya kerja sama baik di pasar hulu bersangkutan maupun di pasar hilir bersangkutan, dan (3) dengan adanya integrasi vertikal risiko produksi yang dihadapi perusahaan dapat diminimalisirkan.

(21)

7 perunggasan nasional perlu dikembangkan kemitraan melalui integrasi vertikal, melihat kondisi struktur peternakan nasional masih didominasi oleh peternakan rakyat berskala kecil bahwa koordinasi vertikal lebih sesuai untuk dijalankan karena dapat mengurangi biaya, meningkatkan keuntungan serta memberikan arus keuntungan yang lebih stabil, pertumbuhan tetap, pemasokan bahan mentah secara tetap atau salah satu kemungkinan memperoleh keuntungan ekonomis lainnya.

Integrasi dibidang pertanian yang mengaitkan antara perusahaan pengadaan input dan perusahaan pemakai inputberdampak positif bagi peningkatan efisiensi produksi. Dengan adanya integrasi, perusahaan pemakai input dapat memperoleh input yang dibutuhkan dengan tepat waktu, tepat jumlah, maupun tepat kualitasnya. Dalam penelitian ini kemitraan antara perusahaan inti dan peternak dapat dikategorikan sebagai bentuk integrasi vertikal, sehingga aspek-aspek positif dari integrasi juga diharapkan muncul dalam bentuk peningkatan efisiensi usaha.

Efisiensi Usahatani

Efisiensi merupakan pengalokasian sejumlah barang dalam jumlah tertentu dalam suatu ekonomi pertukaran disebut efisien apabila lewat realokasi barang-barang tidak ada seorang individu pun dapat memperoleh kesejahteraan tanpa mengurangi kesejahteraan individu lain. Suatu pengalokasian disebut efisien jika kondisi-kondisi secara jelas dan pasti tidak dapat dibuat lebih baik lagi (Nicholson 1990). Efisiensi sesuai dengan prinsip ilmu ekonomi bahwa dengan input produksi tertentu akan dapat dihasilkan output semaksimal mungkin atau untuk memproduksi output tertentu dengan input dan biaya seminimal mungkin. Jika efisiensi tersebut diterapkan dalam suatu produksi komoditas pertanian maka petani akan berupaya mencapai suatu efisiensi dalam menggunakan input produksi (Weesink et al. 1990 dalam Lubis 2014). Dalam usahatani, peranan hubungan input atau faktor produksi dengan output merupakan hal yang penting untuk diperhatikan. Peranan input bukan saja dapat dilihat dari segi macamnya atau tersedianya dalam waktu yang tepat, tetapi juga dapat ditinjau dari segi efisiensi penggunaan faktor produksi tersebut. Petani yang rasional akan bersedia menambah input tertentu selama nilai tambah yang dihasilkan oleh tambahan input tersebut sama atau lebih besar dibandingkan dengan tambahan biaya yang diakibatkan oleh penambahan sejumlah input tersebut (Puspitasari 2013).

(22)

8

aplikasinya juga banyak menggunakan metode linear goal programming. Pendekatan parametrik mengacu pada setiap metode frontier yang dikonstruksi adalah parametrik, misalnya fungsi produksi frontier Cobb-Douglas atau translog.

Beberapa hasil penelitian kisaran tingkat efisiensi relatif beragam pada berbagai komoditi. Seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Lubis (2014) dengan komoditas nanas di Kabupaten Subang dengan tujuan mengkaji efisiensi produksi nanas menggunakan Stochastic Frontier Analysis (SFA) memiliki rata-rata efisiensi teknis sebesar 0.34. Selanjutnya dengan metoda Data Envelopment Analysis (DEA) untuk estimasi efisiensi teknis sebesar 0.55 (Constant Return to Scale) serta 0.62 (Variable Return to Scale), hal ini menunjukkan petani nanas masih inefisien secara teknis. Sedangkan nilai efisiensi alokatif cukup rendah yaitu 0.74 dan efisiensi ekonomi sebesar 0.41. Kusnadi et al. (2011), menganalisis tingkat efisiensi teknis produksi padi di beberapa provinsi sentra produksi padi nasional telah efisien dengan hasil rata-rata efisiensi teknis sebesar 91.86 persen. Peningkatan efisiensi akan memberikan hasil lebih baik jika diarahkan ke luar Jawa. Penelitian Susanti (2014), yang bertujuan untuk menduga tingkat efisiensi teknis usahatani cabai merah keriting di Kabupaten Bogor dengan pendekatan Stochastic Production Frontier, didapatkan bahwa petani cabai belum efisien secara teknis dengan rata-rata efisien teknis sebesar 0.483. Berdasarkan analisis hubungan efisiensi teknis dengan produktivitas, diketahui bahwa semakin tinggi tingkat efisiensi teknis yang dicapai, produktivitas yang dihasilkan juga semakin tinggi.

Selain komoditi pertanian, penelitian efisiensi juga bisa dilakukan pada komoditi peternakan. Yunus (2014), dengan pendekatan Stochastic Frontier Analysis (SFA) mengukur tingkat efisiensi teknis, alokasi dan ekonomi usaha penggemukan ternak domba. Hasil penelitian menunjukkan bahwa usaha penggemukan ternak domba sudah efisien secara teknis baik pada peternak mitra maupun peternak nonmitra, dengan nilai rata-rata masing-masing yaitu 0.79 dan 0.86. Akan tetapi belum efisien secara alokasi dan ekonomi yaitu kurang dari 0.70 baik pada peternak mitra maupun non mitra. Hal tersebut mengindikasikan bahwa peternak nonmitra lebih efisien dalam menjalankan usahanya dibandingkan peternak mitra. Berbeda dengan penelitian Ningsih (2014), dengan menggunakan model fungsi produksi Cobb-Douglas pada usaha ternak ayam ras petelur, hasil penilaian efisiensi harga untuk penggunaan setiap input (faktor produksi) menunjukkan bahwa alokasi penggunaan input di Desa Bettet Kecamatan Kota Pamekasan masih belum efisien. Hal ini dapat dilihat dari nilai t hitung masing-masing input yang lebih besar dari t tabel dengan α = 0.05 dan derajat bebas 19 (df = 19). Penelitian Ojo (2003) mengenai produktivitas dan efisiensi teknis produksi telur unggas di Nigeria dengan pendekatan stochastic frontier production function didapatkan nilai efisiensi teknis rata-rata sebesar 0.763. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi telur unggas berada pada daerah rasional produksi (tahap II).

(23)

9 tidak sepenuhnya efisien secara ekonomi sehingga masih ada peluang untuk meningkatkan efisiensi ekonomi produsen broiler sebesar 31 persen tanpa mengubah batas keuntungan. Selain itu pada penelitian Ali et al. (2014) terhadap komoditas ayam broiler di Punjab Pakistan, bahwa tingkat efisiensi teknis (TE) ayam broiler tergolong tinggi dengan tingkat efisiensi teknis sebesar 0.880 dengan rata-rata antara 0.440 – 0.985. Yunus (2009) menganalisis efisiensi produksi usaha peternakan ayam ras pedaging pola kemitraan dan mandiri di Kota Palu Provinsi Sulawesi Tengah dengan melihat perbedaan pendapatan rata-rata peternak, dimana peternak ayam ras pedaging mandiri memiliki nilai R/C ratio sebesar 1.26 lebih tinggi dibanding peternak pola kemitraan yang hanya sebesar 1.06. Analisis efisiensi teknis yang dicapai peternak ayam ras pedaging secara keseluruhan adalah sebesar 0.868. Efisiensi alokatif dan ekonomis pada peternak pola kemitraan sebesar 1.816 dan 1.587, sedangkan efisiensi alokatif peternak mandiri adalah sebesar 1.838 dan efisiensi ekonomis sebesar 1.593. Secara keseluruhan masih perlu adanya upaya-upaya peternak untuk mengalokasikan faktor-faktor produksi lebih efisien agar bisa mencapai hasil produksi yang optimum. Penelitian Vukelic et al. (2013) mengukur efisiensi ekonomi peternakan ayam broiler di wilayah Vojvodina dengan menggunakan pendekatan nonparametrik Data Envelpoment Analysis (DEA). Hasil penelitian menunjukkan bahwa efisiensi rata-rata dibawah Constant Return to Scale (CRS) dengan nilai 73.55 persen dan nilai Variable Return to Scale (VRS) sebesar 95.97 persen. Hal ini berarti peternakan ayam broiler masih belum efisien.

Penelitian Ezeh et al. (2012) pada produksi ayam broiler bahwa nilai efisiensi teknis di wilayah Umuahia, Abia State, Nigeria relatif tinggi. Tingkat nilai efisiensi teknisnya antara 80 persen dan 90 persen dengan rata-rata 75 persen. Hal ini menunjukkan bahwa peluang masih ada untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani broiler dalam penelitian. Faktor penentu sosial ekonomi efisiensi teknis adalah kontak ekstensi, ukuran rumah tangga, usia dan jenjang pendidikan. Tetapi penelitian Udoh et al. (2009), mengukur tingkat efisiensi produksi broiler di Uyo, Akwa Ibom State, Nigeria, dimana diperoleh indeks efisiensi rata-rata sebesar 0.62, menyiratkan output dari produksi broiler dapat ditingkatkan sebesar 38 persen dengan menggunakan teknologi yang tersedia. Berbeda dengan penelitian Ningsih et al. (2013), menggunakan pendekatan regresi berganda untuk melihat kontribusi pendapatan dan efisiensi ekonomi usaha ayam niaga pedaging, bahwa faktor kepemilikan ternak dan lama beternak berpengaruh sangat nyata terhadap kontribusi pendapatan usaha ayam niaga pedaging, sedangkan jumlah anggota keluarga dan pendidikan peternak tidak berpengaruh terhadap kontribusi pendapatan usaha ayam niaga pedaging. Untuk faktor sosial ekonomi terhadap efisiensi ekonomi, faktor jumlah kepemilikan ternak berpengaruh sangat nyata terhadap efisensi ekonomi, faktor pendidikan berpengaruh nyata terhadap efisiensi ekonomi, namun faktor jumlah anggota keluarga dan lama beternak berpengaruh tidak nyata terhadap efisiensi ekonomi.

(24)

10

pendekatan tingkat pendapatan usaha ternak dan efisiensi usaha, menelusuri komponen faktor produksi yang digunakan dalam pengelolaan usaha dan pendapatan bersih yang dapat diperoleh pada setiap tingkatan skala usaha serta tingkat efisiensinya. Hasil menunjukkan bahwa manfaat dan keuntungan dapat diperoleh pada skala usaha yang lebih besar dengan melihat perbedaan pendapatan pada setiap tingkatan skala usaha. Semakin besar skala usaha yang dilakukan maka semakin besar pula tingkat efisiensinya.

Merujuk pada penelitian terdahulu, sebagian besar peneliti menggunakan metode atau pendekatan SFA (Stochastic Frontier Analysis) untuk menganalisis efisiensi produksi usahatani. Pendekatan ini merupakan pendekatan parametrik yang dapat menjelaskan efisiensi produksi usahatani dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi usahatani tersebut sehingga dihasilkan modelnya. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka penulis melakukan penelitian dengan mengukur tingkat efisiensi teknis, alokatif dan ekonomi usaha peternakan ayam broiler dengan menggunakan pendekatan SFA yang dilakukan pada lokasi dan kurun waktu yang berbeda dengan penelitian sebelumnya.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Efisiensi Usahatani dan Faktor yang Mempengaruhi Produksi Usahatani

Berbagai studi telah dilakukan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi produksi. Sumaryanto (2003) dalam Lubis (2014) menyatakan bahwa terdapat faktor internal dan ekternal sehingga petani tidak dapat mencapai efisiensi tertinggi. Faktor internal merupakan kemampuan teknis dan manajerial petani dalam usahatani meliputi luas dan penguasaan lahan, pendidikan, umur, pendapatan, pengalaman, penguasaan teknologi serta kemampuan petani mengolah informasi untuk meningkatkan produksinya. Faktor eksternal meliputi hal-hal diluar kendali petani seperti bencana alam, iklim, harga, penyakit dan hama tumbuhan dan lainnya. Salsinha (2005) dalam Sari (2010) menunjukkan bahwa produksi dan efisiensi produksi usahatani padi sawah dipengaruhi oleh faktor luas lahan, benih, pupuk urea, pupuk TSP dan tenaga kerja. Sama halnya dengan penelitian Sari (2010) bahwa faktor produksi luas lahan, pupuk urea, pupuk SP36 dan pupuk KCl berpengaruh nyata terhadap produksi padi ladang, sedangkan faktor benih, pestisida dan tenaga kerja berpengarug tidak nyata terhadap produksi padi ladang.

(25)

11 secara statistik tidak signifikan.Penelitian Yunus (2009) hasil uji terhadap faktor produksi menunjukkan bahwa variabel bibit ayam (DOC) dan pakan berpengaruh nyata (significant) pada α = 1 % dan berhubungan positif dengan produksi, sedangkan variabel vaksin, obat dan vitamin menunjukkan hubungan yang negatif terhadap produksi. Berbeda dengan penelitian Hapsari (2013) yang menganalisis efisiensi faktor yang mempengaruhi produksi ayam ras pedaging pola kemitraan dan mandiri menggunakan pendekatan Ordinary Least Square (OLS), menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi produksi ayam ras pedaging pada kedua pola peternak adalah pakan dan pemanas. Faktor-faktor produksi yang berpengaruh nyata pada peternak kemitraan selain pakan dan pemanas adalah sekam, kepadatan kandang dan mortalitas. Pada peternak mandiri faktor-faktor produksi yang berpengaruh nyata hanya pakan dan pemanas. Peternak mandiri penggunaan pakan lebih responsif dari peternak kemitraan, sedangkan pada peternak kemitraan penggunaan pemanas lebih responsif dari peternak mandiri.

Ezeh et al. (2012) menyatakan bahwa karakteristik sosial ekonomi rata-rata peternak ayam broiler pada tingkat pendidikan, pengalaman beternak dan jumlah anggota keluarga tidak hanya meningkatkan efisiensi dan produktivitas tetapi juga meningkatkan kemampuannya untuk memahami dan mengevaluasi teknologi produksi baru. Dibandingkan dengan penelitian Dziwornu et al. (2014) faktor-faktor yang menjelaskan variasi dalam efisiensi ekonomi pada produsen broiler skala kecil adalah usia, ekstensi kontak layanan (penyuluhan), usia pasar ayam broiler dan akses kredit. Usia produsen broiler berpengaruh negatif terhadap efisiensi ekonomi dimana semakin usia peternak maka semakin tidak efisien secara ekonomi. Sebaliknya koefisien ekstensi kontak layanan (penyuluh) berpengaruh positif, tetapi usia pasar ayam broiler berpengaruh negatif. Untuk akses kredit berpengaruh positif terhadap efisiensi ekonomi produsen broiler. Tetapi pada penelitian Yunus (2014), usia peternak, jumlah tanggungan keluarga, pendidikan nonformal akses terhadap modal dan penggunaan atap kandang mempengaruhi efisiensi teknis usaha penggemukan domba secara signifikan. Sementara itu faktor lainnya seperti pengalaman beternak domba, lama penggemukan, dan derajat kemitraan tidak berpengaruh signifikan, namun berpengaruh positif terhadap efisiensi teknis usaha penggemukan domba.

(26)

12

negatif dan signifikan terhadap inefisiensi ekonomi. Variabel penyuluhan tidak signifikan mempengaruhi inefisensi teknis, alokatif dan ekonomi. Pada penelitian Susanti (2014), faktor umur, pendidikan, pengalaman usahatani, penyuluhan dan penggunaan mulsa plastik berpengaruh tidak nyata pada taraf α 15 persen terhadap efisiensi teknis pada proses produksi cabai merah keriting di Kabupaten Bogor.

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, maka penulis perlu melakukan penelitian dengan melihat pengaruh faktor-faktor produksi terhadap hasil produksi pada usaha peternakan ayam broiler serta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap inefisiensi yaitu umur, pendidikan, pengalaman beternak, kegiatan penyuluhan, status usaha dan kemitraan yang dilakukan pada lokasi penelitian dalam kurun waktu yang berbeda dengan penelitian sebelumnya.

3

KERANGKA TEORITIS

Kerangka Teori Tipologi Integrasi Usaha

Contract farming merupakan hubungan kontrak antara petani dengan perusahaan, dimana setiap petani mempunyai identitas yang terpisah tetapi keputusan produksi maupun pemasaran berada dibawah kendali perusahaan. Alasan utama dilakukannnya contract farming adalah terjadinya ketidaksempurnaan pasar yang dapat menghasilkan insentif untuk lebih dekat pada koordinasi vertikal termasuk persaingan yang tidak sempurna selain ketidaksempurnaan yang disebabkan oleh ekternalitas dan tidak sempurna atau asimetris informasi. Dari kerangka biaya transaksi, ketidaksempurnaan pasar terbatas karena mengabaikan biaya transaksi. Oleh sebab itu alasan utama integrasi vertikal adalah untuk menurunka biaya transaksi tersebut (Rehber 2007).

Ketidakpastian dan mengurangi risiko memiliki implikasi koordinasi yang signifikan. Salah satu risiko utama adalah harga input dan output. Koordinasi melalui kontrak atau integrasi akan mengurangi risiko harga sampai batas tertentu. Faktanya teknologi produksi telah meningkat secara cepat. Kegagalan pasar dalam menyampaikan informasi tentang kualitas adalah salah satu motif untuk meningkatkan koordinasi vertikal. Contract farming dipandang sebagai cara yang sehat untuk mendorong inovasi teknologi dan memberikan produksi yang lebih efisien. Contract farming sebagai cara komersialisasi dan industrialisasi di bidang pertanian terutama untuk negara-negara berkembang dan negara-negara kurang berkembang (Moore 1994 dalam Rehber 2007). Sebagian besar pertaniannya dalam skala usaha kecil. Hal ini membuktikan bahwa pertanian keluarga dalam skala kecil yang berpotensi menjadi sumber penting pertumbuhan produksi pertanian dan memiliki beberapa keuntungan sosial ekonomi (Rehber 1996 dalam Rehber 2007).

Contract farming dibedakan atas 2 macam menurut pengaruh keputusan, berbagi risiko dan ketentuan kontrak yang dikemukakan oleh Rehber (2007), yaitu :

(27)

13 Pada kontrak ini, petani menerima beberapa input, dimana input yang diperoleh sesuai dengan perjanjian kontrak.

2. Kontrak manajemen penuh

Dalam hal ini, petani dan perusahaan melakukan kontrak berdasarkan jumlah tertentu. Pada jenis kontrak ini petani harus mengikuti beberapa ketentuan yang diterapkan dalam perjanjian. Perusahaan menyediakan pasar dan menjamin risiko.

Selain itu Kohls dan Uhl (1985) juga mengklasifikasikan kontrak menjadi tiga kategori yaitu :

1. Kontrak spesifikasi pasar

Petani hanya menentukan kualitas produk sesuai permintaan pasar, sedangkan perusahaan menjamin pembeli (menyediakan pasar).

2. Kontrak dengan penyediaan sumber daya

Pada tipe ini perusahaan menyediakan sumber daya produksi, bantuan manajemen, sedangkan pasar dan pendapatan ditentukan oleh perusahaan. 3. Kontrak dengan manajemen dan penjaminan pendapatan

Pada jenis kontrak ini semua kegiatan produksi hingga pemasaran petani diatur oleh perusahaan.

Berdasarkan uraian diatas, kemitraan usaha ayam broiler termasuk pada kontrak manajemen terbatas, karena peternak melakukan kontrak berdasarkan jumlah produksi yang ditetapkan oleh perusahaan. Perusahaan dan peternak memiliki manajemen yang berbeda, dimana perusahaan berada pada daerah hulu (upstream) dan peternak berada pada daerah hilir (downstream), tetapi perusahaan menjamin pemasaran produk akhir (ayam broiler). Berdasarkan klasifikasi kontrak, kemitraan usaha ayam broiler termasuk pada kategori “kontrak dengan penyediaan sumber daya”, dimana perusahaan menyediakan modal sarana produksi ternak dan menjamin pemasaran sedangkan peternak menyediakan kandang dan tempat pakan, selain itu peternak mendapat arahan manajemen dari perusahaan. Hal tersebut dapat dijelaskan pada Gambar 1, kurva model Marshallian.

Konsekuensi bermitra dapat dilihat pada kurva Marshallian dan juga pada teori keuntungan maksimum yang dikemukakan oleh Doll dan Orazem (1984). Pada kurva dapat dijelaskan untuk L diasumsikan sebagai Landlord (pemilik modal) sedangkan untuk T diasumsikan sebagai Tenant (peternak). Didaerah penelitian, ditemukan ada beberapa tipe kemitraan, dua di antaranya yaitu kemitraan sistem kontrak dan kemitraan sistem bagi hasil. Pada Gambar 1, akan dilihat bagaimana sistem kemitraan bagi hasil, dimana secara teori kemitraan sistem bagi hasil tidak efisien jika landlord dan peternak melakukan kerja sama (bagihasil). Hubungan antara pemilik lahan dan peternak ini bisa juga diasumsikan hubungan antara perusahaan inti dengan peternak plasma dalam kemitraan usaha ternak ayam broiler. Secara teoritis, hubungan antara perusahaan dan peternak digambarkan pada Gambar 1, dimana terdapat 4 konsekuensi atau 4 titik dalam menjalankan kerja sama usaha tersebut.

(28)

14

usaha ternak ayam broiler mempunyai satu kurva fungsi produksi yaitu sepanjang kurva L. Apabila penggunaan input sebesar x1, maka produksi (output) yang

dihasilkan sebesar y1. Jika diasumsikan dilakukan kemitraan sistem bagi hasil

pada usaha ternak ayam broiler tersebut artinya outputnya (produksi) dibagi dua. Jika outputnya dibagi dua, maka titik-titik penggunaan inputnya dipotong sehingga membentuk kurva sepanjang T. Titik-titik yang membagi dua fungsi produksi pada Gambar 1 tersebut bukan fungsi produksi baru. Titik-titik itu (kurva T) dimana jumlah produksi yang diterima oleh petani atau fungsi yang seolah-olah dihadapi oleh petani.

Keuntungan maksimum suatu perusahaan akan tercapai apabila terjadi keseimbangan antara dx/dy = Px/Py. Pada Gambar 1, price ratio (rasio harga) ditunjukkan dengan garis Px/Py. Saat perusahaan tidak melakukan kontrak atau kerja sama bagi hasil dengan peternak, maka keuntungan maksimum yang diperoleh berada pada titik A (dx/dy = Px/Py). Pada kondisi ini, keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan berada sepanjang sumbu y yaitu sebesar 0H dan biaya yang dikeluarkan sebesar Y1H. Setelah perusahaan melakukan kerja sama dengan

peternak maka keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan bergeser ke titik C dan keuntungan yang diperoleh oleh peternak berada di titik D.

Gambar 1 Kurva Model Marshallian J

H

B Y1

L

T

X A

0 X

2 X1

y x p p dx dy

y x p p Y

D C

I

(29)

15 Hal ini tentunya tidak diinginkan oleh perusahaan karena keuntungan yang diperolehnya menurun dari titik A ke titik C. Karena keuntungan yang diperoleh menurun dari 0H menjadi 0I dan biaya yang dikeluarkan makin bertambah dari Y1H menjadi Y1I. Keuntungan maksimum yang seharusnya diperoleh oleh

peternak berada di titik D, pada titik ini juga merupakan kondisi dx/dy = Px/Py bagi peternak, tetapi tidak keuntungan maksimum bagi perusahaan. Pada kondisi dititik D, keuntungan yang diperoleh oleh peternak sebesar 0J dan biaya yang dibayarkan sebesar Y2J. Jika keputusan produksi mengikuti kriteria maksimum

perusahaan dititik B, maka keuntungan yang diperoleh oleh peternak semakin menurun yaitu dari 0J menjadi 0K dan biaya yang dibayarkan semakin besar yaitu dari Y2J menjadi Y2K, walaupun produksi yang dihasilkan kelihatan lebih besar.

Maka dari itu diduga bahwa kemitraan sistem bagi hasil pada usaha ternak ayam broiler tidak efisien.

Integrasi vertikal juga dapat dilihat dari hasil kerja sama antar perusahaan dalam mengubah input menjadi output. Pada Gambar 2 dapat diilustrasikan jika integrasi vertikal terjadi dengan sempurna (seolah-olah seperti satu perusahaan), maka dengan input X1, dapat dihasilkan output sebesar Y1. Dengan adanya

integrasi vertikal yang sempurna diharapkan input tersebut dapat menghasilkan output yang maksimum. Integrasi vertikal yang lanjut menjamin tersedianya input tepat waktu, jumlah dan kualitas. Integrasi vertikal yang sempurna juga menjamin proses produksi dijalankan sesuai dengan kaidah teknis yang tepat (benar). Sebaliknya jika integrasi vertikal tidak terjadi dengan sempurna, maka output yang dihasilkan oleh input X1 hanyalah sebesar Y1*. Pada penelitian ini integrasi

vertikal yang sempurna (lanjut) diwakili oleh sistem kontrak. Sedangkan integrasi vertikal yang relatif longgar (belum lanjut) diwakili oleh sistem bagi hasil. Itu

Gambar 2 Kondisi efisiensi teknis integrasi vertikal sempurna dan tidak sempurna

x y

X1

Y1*

Y1

(30)

16

sebabnya penelitian ini menghipotesiskan kemitraan usaha ternak ayam broiler sistem kontrak lebih efisien secara teknis daripada kemitraan sistem bagi hasil.

Kemitraan Usaha Ayam Broiler

Kemitraan merupakan suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan. Karena merupakan suatu strategi bisnis maka keberhasilan kemitraan sangat ditentukan oleh adanya kepatuhan di antara yang bermitra dalam menjalankan etika bisnis. Kemitraan merupakan suatu jawaban untuk meningkatkan kesempatan berkiprahnya pengusaha kecil dalam percaturan perekonomian nasional sekaligus meningkatkan kesejahteraan rakyat serta mengurangi kesenjangan sosial (Hafsah 2000).

Menurut UU No. 9 Tahun 1995, kemitraan merupakan kerja sama antara usaha kecil dengan usaha menengah atau dengan usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan yang berkelanjutan oleh usaha menengah atau usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan.

Jenis pola kemitraan yang banyak dilaksanakan yaitu (Hafsah 2000) : a. Pola Inti Plasma

Kemitraan di lingkup pertanian maka pola inti plasma merupakan pola hubungan kemitraan antara kelompok mitra usaha sebagai plasma dengan perusahaan inti yang bermitra. Salah satu contoh kemitraan ini adalah pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR), dimana perusahaan inti menyediakan lahan, sarana produksi, bimbingan teknis, manajemen, menampung, mengolah dan memasarkan hasil produksi kebutuhan perusahaan. Sedangkan kelompok mitra usaha memenuhi kebutuhan perusahaan sesuai dengan persyaratan yang telah disepakati sehingga hasil diciptakan harus mempunyai daya kompetitif dan nilai jual yang tinggi.

b. Pola Subkontrak

Pola subkontrak merupakan pola hubungan kemitraan antara perusahaan mitra usaha dengan kelompok mitra usaha yang memproduksi kebutuhan yang diperlukan oleh perusahaan sebagai bagian dari komponen produksinya. Ciri khas dari bentuk kemitraan subkontrak adalah membuat kontrak bersama yang mencantumkan volume, harga dan waktu.

c. Pola Dagang Umum

Menurut Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1997, pola dagang umum merupakan pola hubungan kemitraan mitra usaha yang memasarkan hasil dengan kelompok usaha yang mensuplai kebutuhan yang diperlukan oleh perusahaan.

d. Pola Keagenan

(31)

17 e. Waralaba

Pola waralaba merupakan pola hubungan kemitraan antara kelompok mitra usaha dengan perusahaan mitra usaha yang memberikan hak lisensi, merek dagang saluran distribusi perusahaannya kepada kelompok mitra usaha sebagai penerima waralaba yang disertai dengan bantuan bimbingan manajemen.

Dalam usaha peternakan rakyat khususnya untuk budi daya ayam ras kebijakan yang ditempuh adalah mengutamakan usaha budi daya bagi peternakan rakyat, perorangan, kelompok maupun koperasi sesuai dengan Keppres No. 22 Tahun 1990. Dalam kawasan industri peternakan rakyat telah dikembangkan model usaha kerja sama di bidang ayam ras, model-model tersebut antara lain (Soehadji 1992 dalam Hafsah 2000) :

a. KINAK – PRA (Kawasan Industri Peternakan-Peternakan Rakyat Agribisnis) Model ini mengacu pada usaha peternakan rakyat yang telah ada.Dalam model ini peternak sebagai plasma menjalin kemitraan dengan perusahaan yang bertindak sebagai penghela yang menjamin plasma untuk suplai sarana produksi dan pemasaran hasil. Kemitraan dalam model ini belum begitu sempurna karena belum ada keterkaitan antara hulu dan hilir.

b. KINAK-PIR (Kawasan Industri Peternakan-Perusahaan Inti Rakyat)

Model kemitraan KINAK-PIR lebih maju dari model KINAK-PRA, karena telah ada keterkaitan antara hulu dan hilir. Peternak sebagai plasma melaksanakan budi daya dalam satu kawasan tertentu sedangkan perusahaan inti membantu plasma dalam hal sarana produksi budi daya, pemasaran hasil, bimbingan teknis dan permodalan.

c. KINAK SUPER (Kawasan Industri Peternakan-Sentra Usaha Peternakan Ekspor)

Berbeda dengan model sebelumnya, kemitraan dalam model ini mengususkan menjual produksinya ke luar negeri. Dalam model ini perusahaan inti dapat melakukan budi daya untuk keperluan ekspor namun sebagian besar produksinya dikerja samakan dengan plasma. Peternak dalam kemitraan ini juga merupakan peternak binaan terutama dalam hal teknologi khusus untuk ekspor.

Manfaat yang dirasakan oleh petani peternak dengan adanya pola kemitraan ini adalah :

1. Jaminan pengadaan sarana produksi oleh perusahaan inti, seperti DOC, obat-obatan, pakan ternak yang pembayarannya akan diperhitungkan pada penentuan total biaya setelah panen.

2. Meningkatkan pengetahuan petani peternak karena mendapat bimbingan teknis dan manajemen tentang cara berusaha tani ternak ayam broiler dari perusahaan inti.

3. Jaminan pemasaran hasil dari perusahaan inti

4. Jaminan pendapatan tambahan petani plasma dari harga kesepakatan apabila harga pasar di atas harga kesepakatan, dan apabila harga pasar di bawah harga kesepakatan maka harga tetap sesuai dengan harga kesepakatan.

(32)

18

1. Terjadinya stabilitas produksi yang menjamin kontinuitas suplai ayam broiler ke pasaran

2. Meningkatkan efisiensi dan kinerja perusahaan, baik tenaga kerja maupun permodalan dalam berusaha tani ternak ayam broiler.

3. Menciptakan perluasan pasar terhadap produk sarana produksi yang dihasilkan oleh perusahaan, seperti DOC, pakan, obat-obatan.

4. Dapat menghasilkan ayam ras pedaging dengan kualitas dan harga yang kompetitif.

Suatu pola kemitraan yang ideal mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : (1) Pola kemitraan tersebut mampu mengakomodasi kepentingan ekonomi peternak rakyat dan inti melalui kerja sama, (2) Pola kemitraan mampu menghargai upaya efisiensi secara progresif, (3) pola kemitraan mampu mencapai efisiensi dan perbaikan kinerja sistem secara keseluruhan, dan (4) mampu meredam gejolak yang bersumber dari faktor eksternal dan mengelola resiko yang mungkin timbul serta mampu memanfaatkan peluang-peluang yang ada.

Faktor –Faktor Produksi Peternakan Ayam Broiler

Produksi merupakan pembuatan suatu barang atau produk. Faktor produksi merupakan barang atau jasa untuk mempermudah suatu proses produksi dan menentukan keberhasilan suatu usaha (Bruce et al. 1994) dalam Murni (2006). Pengelolaan suatu usaha memerlukan faktor produksi yang disebut dengan kobanan produksi untuk menghasilkan produk. Menurut Yunus (2009), faktor-faktor yang mempengaruhi produksi ayam broiler adalah DOC, pakan, vaksin dan obat-obatan, tenaga kerja, listrik, bahan bakar, dan luas kandang.

Day Old Chick (DOC)

Menurut Rahardi et al. (2003), bibit memegang peranan penting untuk menghasilkan produk. Ketersediaan bibit harus tersedia untuk menjamin kelangsungan produksi. Usaha peternakan ayam ras pedaging memerlukan pasokan DOC secara kontinu untuk setiap periode produksi. Pedoman dalam memilih DOC yaitu anak ayam harus berasal dari induk yang sehat agar tidak membawa penyakit bawaan, bobot ayam sekitar 35 sampai 40 gram, anak ayam memiliki mata cerah dan bercahaya, aktif serta tampak tegar, tidak memperlihatkan cacat fisik seperti kaki bengkok dan tidak ada lekatan tinja di duburnya.

Pakan

(33)

19 Vaksin, Obat-obatan dan Vitamin

Yunus (2009) menyatakan vaksinasi perlu diberikan untuk menanggulangi dan mencegah penyakit menular, tetapi minimnya pengetahuan akan berpengaruh pada proses vaksinasi. Obat (antibiotik) dapat didefinisikan sebagai antibakteri yang diperoleh dari metabolit fungsi dan bakteri, sedangkan vitamin merupakan komponen organik yang berperan penting dalam metabolisme tubuh. Menurut Mulyantini (2010), manajemen pengendalian penyakit merupakan salah satu manajemen yang sangat penting dalam pemeliharaan ternak untuk mendapatkan produksi yang optimal dan secara ekonomi dapat menguntungkan.

Tenaga Kerja

Pada bidang peternakan tenaga kerja dibagi atas tiga bagian (Rasyaf 1999), yaitu : (1) tenaga kerja tetap adalah pekerja yang sehari-hari berada di peternaka dan yang menentukan keberhasilan suatu peternakan. Umumnya tenaga kerja tetap adalah staf teknis atau peternak itu sendiri; (2) tenaga kerja harian, tenaga ini umumnya sebagai tenaga kerja kasar pelaksana kandang; (3) tenaga kerja harian lepas dan kotrak, tenaga ini hanya untuk menyelesaikan suatu pekerjaan dan setelah itu tidak ada ikatan lagi. Menurut Rahardi et al. (2003), tenaga kerja dalam usaha peternakan dapat berasal dari tenaga kerja sendiri seperti tenaga kerja diri sendiri (peternak) dan keluarga, sedangkan tenaga kerja dari luar merupakan tenaga kerja yang secara sengaja diambil dari luar dengan memberikan kompensasi upah atau gaji.

Kandang

Rahardi et al. (2003) mengemukakan dalam usaha peternakan komersial, kandang menjadi salah satu faktor produksi yang harus diperhatikan dengan baik. Kandang pada dasarnya berfungsi untuk mempermudah tata laksana pemeliharaan dan pengontrolan ternak. Konstruksi kandang harus mendukung kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan ternak, seperti cahaya, suhu, dan sirkulasi udara tercukupi.

Konsep Fungsi Produksi dan Fungsi Produksi Frontier

Fungsi produksi merupakan hubungan teknis yang mentransformasikan input (sumber daya) menjadi output. Fungsi produksi merupakan konsep utama dalam penelaahan ekonomi produksi. Sejumlah input diperlukan untuk memproduksi sejumlah output. Walaupun ukuran produsen bervariasi, tetapi semuanya menggunakan masukan dan mengubahnya menjadi segala sesuatu yang berguna yang disebut keluaran (produk). Konsep fungsi produksi ini dapat diterapkan untuk menjelaskan hubungan produksi input output (Debertin 1986).

(34)

20

Y = f(X1, X2, ...Xi ... , Xn) ... (1)

Y = Output atau hasil produksi X = Input atau faktor produksi i, n = faktor produksi ke-i, ke-n

Fungsi produksi memperlihatkan jumlah maksimum sebuah barang yang dapat diproduksi dengan menggunakan kombinasi alternatif antara modal (K) dan tenaga kerja (L) (Nicholson 1994). Beattie dan Taylor (1994) dalam Kalangi (2014) mendefinisikan fungsi produksi sebagai output maksimum yang dapat dicapai dari penggunaan sejumlah input dan teknologi tertentu. Fungsi produksi yang umum dibahas oleh para peneliti adalah fungsi produksi Cobb Douglas. Sebagian besar penelitian yang dilakukan menggunakan fungsi produksi Cobb Douglas.

Menurut Debertin (2012) model fungsi produksi Cobb Douglas mempunyai tiga karakteristik yang dapat dilihat pada saat diperlukan, yaitu:

1. Fungsi ini homogen derajat 1 yang berpengaruh dengan beberapa input, yang konsisten dengan ekonomi dimana menekankan bahwa fungsi produksi untuk sosial harus memiliki Constant Returns to Scale (CRS).

2. Fungsi tersebut juga menjelaskan semakin berkurangnya marjinal modal atau tenaga kerja, ketika input yang lainnya diperlakukan sebagai input tetap, sehingga hukum proporsi variabel dilakukan. Parameter yang dianggap mewakili teknologi dari sosial yang dihasilkan pada pengamatan dimana parameternya merupakan fungsi yang diestimasi.

3. Fungsi ini mudah diestimasi dengan alat. Kedua sisi fungsi bisa ditransformasikan ke logaritma dalam 10 dasar atau dasar logaritma asli.

Menurut Debertin (1986), penggunaan fungsi produksi Cobb-Doglas memiliki beberapa keterbatasan yang didasarkan atas pertimbangan : (1) secara metodologis lebih representatif dibandingkan dengan fungsi keuntungan, misalnya karena variabel bebas yang dimasukkan adalah kuantitas dari input, data cross section akan lebih tepat dianalisis dengan fungsi produksi dibandingkan dengan fungsi keuntungan, (2) dalam penerapan secara empiris lebih sederhana dan lebih mudah karena nilai parameter dugaan sekaligus juga menunjukkan elastisitas produksi dan ekonomi skala usaha, dan (3) dari fungsi tersebut dapat diturunkan fungsi permintaan input.

Bentuk umum model fungsi produksi Cobb-Douglas disajikan pada persamaan (2).

Y = jumlah produksi yang diestimasi

0 = intersep

n = parameter penduga variabel ke-i dan merupakan elastisitas

Xi = faktor produksi yang digunakan (i = 1, 2, 3, ..., n)

(35)

21 Pada fungsi produksi pendugaan akan lebih mudah dilakukan jika persamaan diubah menjadi bentuk linear berganda dengan cara melogaritmakan persamaan tersebut. Logaritma dari persamaan (2) dapat ditulis seperti persamaan berikut :

log Y = log 0 + 1 log X1 + 2 log X2 + 3 log X3+ ... + n log Xn +

u ... (3)

atau dapat ditulis dalam bentuk logaritma natural (ln) seperti persamaan (4). lnY = ln 0 + 1 ln X1 + 2 ln X2 + 3 ln X3 + ... + n ln Xn +

u ... (4)

Nilai 1, 2, 3, ..., n pada fungsi produksi Cobb Douglas adalah sekaligus

menunjukkan elastisitas X terhadap Y.

Secara teori, fungsi produksi terbagi dalam dua persamaan yaitu persamaan fungsi produksi tradisional dan persamaan fungsi produksi batas (frontier). Pada fungsi produksi tradisional memiliki error term tunggal (dampak faktor eksternal dan inefisiensi tidak dapat dibedakan), sedangkan pada fungsi produksi batas (fronier) error term dibedakan menjadi peubah acak yang tidak dapat dikendalikan berkaitan dengan faktor eksternal (perubahan cuaca atau iklim, serangan hama penyakit) dan error term yang dapat dikendalikan yang berkaitan dengan inefisiensi teknis (berkaitan dengan kapabilitas manajerial petani) (Susanti, 2014).

Farel (1957) menyatakan bahwa produksi frontier sebagai best practise frontier. Fungsi produksi frontier memiliki keunggulan dari fungsi produksi lainnya yaitu mampu menganalisis keefisienan dan ketidakefisienan teknik suatu proses produksi. Hal ini bisa terjadi karena ke dalam model dimasukkan suatu kesalahan baku yang mempresentasikan efisiensi teknik ke dalam suatu model yang telah ada kesalahan bakunya.

Doll dan Orazem (1984) menjelaskan fungsi produksi frontier adalah fungsi produksi yang menggambarkan fungsi produksi maksimal yang dapat diperoleh dari variasi kombinasi faktor produksi pada tingkat pengetahuan dan teknologi tertentu. Jika suatu kegiatan usahatani berada pada titik di fungsi produksi frontier artinya usahatani tersebut efisien secara teknis. Apabila fungsi produksi frontier telah diketahui maka dapat dilakukan estimasi inefisiensi teknis melalui perbandingan posisi aktual relatif terhadap frontiernya. Coelli et al. (1998) menyatakan bahwa fungsi produksi frontier merupakan fungsi produksi yang menggambarkan output maksimum yang dapat dicapai dari setiap tingkat penggunaan input.

(36)

22

(non-negative random variable), ui, sehingga diperoleh bentuk umum persamaan

stochastic frontier seperti pada persamaan (5) :

lnYi = Xi + (vi– ui); dimana i = 1,2, 3, .... n ... (5)

Pada random error, vi, pada model fungsi produksi stochastic frontier

Cobb-Douglas merupakan variabel spesific error term dari observasi ke i yang berguna untuk menghitung ukuran kesalahan dan faktor acak lainnya yang termasuk diluar kontrol petani (faktor eksternal) seperti kondisi cuaca dan lainnya. Variabel vi merupakan variabel acak yang bebas dan secara identik terdistribusi

normal dengan rataan bernilai nol dan ragamnya konsta 2

vatau ζ (0, 2v).

Variabel ui berfungsi untuk menangkap inefisiensi yang merefleksikan

komponen galat (error) yang sifatnya internal (dapat dikendalikan petani) dan berkaitan dengan kemampuan petani dalam mengelola usahataninya. Variabel ui

merupakan variabel acak non negatif dengan sebaran asimetris yaitu ui ≥ 0.

Konsep Efisiensi

Menurut Ali dan Chaudhry (1990) dalam Bifarin et al. (2010) efisiensi merupakan faktor yang sangat penting untuk meningkatkan produktivitas, terutama dalam pengembangan ekonomi pertanian dimana sumber daya yang tidak cukup dan peluang untuk mengembangkan dan mengadopsi teknologi yang semakin berkurang. Menurut Farrell (1957) dalam Coelli et al. (1998) mengemukakan bahwa efisiensi sebuah perusahaan terdiri dari dua komponen, yaitu efisiensi teknis dan alokatif. Efisiensi teknis (technical efficiency/TE) merupakan kemampuan suatu unit usaha untuk dapat berproduksi sepanjang kurva isokuan yaitu menghasilkan output seoptimal mungkin dengan kombinasi input dan teknologi tertentu. Efisiensi alokatif (allocative efficiency/AE) merefleksikan kemampuan suatu unit usaha menggunakan input dalam proporsi yang optimal, sesuai dengan harganya masing-masing dan teknologi produksi. Kedua pengukuran ini kemudian dikombinasikan untuk mengukur total efisiensi ekonomi.

Gambar

Gambar 1 Kurva Model Marshallian
Gambar 2 Kondisi efisiensi teknis integrasi vertikal sempurna dan
Gambar 4 Kerangka pemikiran
Tabel 1 Karakteristik peternak kemitraan sistem kontrak dan kemitraan sistem
+6

Referensi

Dokumen terkait

Namun pada penelitian Pinto (2011) menyatakan bahwa risiko yang terjadi pada peternakan ayam broiler milik Bapak Restu di Desa Cijayanti, Kab.Bogor adalah risiko

1) Analisis kelayakan non finansial usaha peternakan ayam broiler peternakan Agus Suhendar dengan sistem kemitraan pola inti plasma bersama CV. Tunas Mekar Farm

bersih dan Efesiensi biaya produksi pada peternak ayam Broiler sistim kemitraan dan. non kmitraan adalah 0,005, 0,000

Tujuan dari penelitian ini adalahuntuk mengetahui besarnyapendapatan usaha peternakan ayam broiler,untuk mengetahui profitabilitas usaha ayam

Oleh karena itu Dinas Peternakan Provinsi Sumatera Barat sebagai pengendali harga perlu dibantu untuk mengidentifikasi pola fluktuasi harga ayam broiler di lima

Usaha peternakan ayam broiler bapak Arjo Saragi adalah salah satu. peternakan yang berdiri dalam suatu kemitraan yang terletak

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui besarnya pendapatan yang diperoleh usaha peternakan ayam broiler, mengetahui pengaruh faktor skala usaha, harga jual

Berdasarkan persentase skor yang diperoleh, maka respons peternak terhadap sistem kemitraan pada usaha peternakan ayam broiler dapat diklasifikasikan sebagai berikut: a Positif, bila