ABSTRAK
UPAYA PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN MODUS MEMECAHKAN KACA MOBIL
(Studi di Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung)
Oleh
AHMAD DENNI IFFANDI
Pencurian merupakan suatu tindakan kejahatan yang terjadi di masyarakat dengan target berupa bangunan, seperti rumah, kantor, atau tempat umum lainnya seperti pencurian peralatan di dalam mobil dengan modus memecahkan kaca mobil yang terjadi sejak awal tahun 2009 sampai tahun 2011 berjumlah 85 kasus. Adapun permasalahan dalam skripsi ini yaitu bagaimanakah upaya penanggulangan tindak pidana pencurian dengan modus memecahkan kaca mobil di Kota Bandar dan apakah yang menjadi faktor-faktor penghambat dalam upaya penanggulangan tindak pidana pencurian dengan modus memecahkan kaca mobil di Kota Bandar Lampung (Studi Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung).
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan masalah yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan, teori-teori, dan konsep-konsep yang berhubungan dengan penulisan penelitian ini. Sedangkan pendekatan empiris adalah dengan mengadakan penelitian lapangan, yaitu dengan melihat fakta-fakta yang ada dalam praktik dan mengenai pelaksanaannya.
Hasil penelitian dan pembahasan, maka upaya penanggulangan tindak pidana pencurian dengan modus memecahkan kaca mobil (Studi di Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung) adalah dengan cara upaya pr-emtif, preventif dan represif. Upaya Pre-emtif : membuat spanduk/banner tentang himbauan terhadap masyarakat untuk selalu ingat akan keamanan diri, harta benda yang dimiliki yang dipasang di sudut-sudut jalan, mall-mall/pusat perbelanjaan dan tempat-tempat parkir serta melakukan penyuluhan kepada masyarakat. Upaya preventif : Melakukan razia yang termasuk dalam operasi kepolisian, mengedepankan fungsi
Intelijen sebagai deteksi dini untuk memperoleh informasi dan melakukan pendataan terhadap residivis yang baru keluar dari lembaga pemasyarakatan, dari segi masyarakat untuk lebih berhati-hati dan tidak meninggalkan barang-barang berharganya di dalam kendaraan dan dari segi kepolisian dapat lebih ditekankan dengan kehadiran polisi di tempat-tempat rawan terjadinya tindak pidana pencurian dengan modus memecahkan kaca mobil seperti kegiatan penjagaan dan kegiatan patroli. Upaya represif : tahap penyidikan, penuntutan dan persidangan. Tahap penyidikan, dimulai dari penyelidikan yaitu olah TKP, mencari dan mengumpulkan keterangan, petunjuk yang dapat dijadikan sebagai barang bukti, identitas tersangka, dan memperoleh keterangan ataupun informasi dari korban maupun saksi yang berada di TKP yang dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), dilakukan penangkapan dan penyidikan lebih lanjut. Tahap penuntutan, jaksa penuntut umum untuk membuat surat dakwaan nya terhadap terdakwa. Tahap persidangan, hakim untuk memeriksa dan memutuskan perkara dengan mempertimbangkan aspek yuridis atau fakta-fakta yang terungkap di persidangan. Faktor-faktor penghambat dalam upaya penanggulangan tindak pidana pencurian dengan modus memecahkan kaca mobil di Kota Bandar Lampung, seperti tidak sesuai dengan ancaman hukuman yang tertera di dalam undang-undang, aparat penegak hukum dinilai masih sangat kurang dalam hal pendidikan yang dimiliki oleh kepolisian dan tidak seimbang dengan jumlah penduduk yang ada di kota Bandar Lampung, masih kurangnya sarana mobilitas, transportasi, telekomunikasi dan dana anggaran BBM dalam pelaksanaan kegiatan patroli, masyarakat merasa enggan dan kurang aktif/keterlambatan dalam memberikan informasi dan melaporkan setiap terjadinya tindak pidana pencurian, tindakan main hakim sendiri yang dilakukan oleh masyarakat.
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pencurian merupakan suatu tindakan kejahatan yang terjadi di masyarakat dengan target
berupa bangunan, seperti rumah, kantor, atau tempat umum lainnya seperti pencurian
peralatan di dalam mobil dengan modus memecahkan kaca mobil. Meningkatnya pencurian
yang terjadi menimbulkan keresahan bagi warga masyarakat. Keresahan yang muncul di
masyarakat bukan tanpa alasan, hal ini disebabkan oleh intensitas tindakan kejahatan
pencurian yang begitu tinggi. Contohnya saja, kasus pencurian dengan modus memecahkan
kaca mobil yang sering terjadi di Kota Bandar Lampung disebabkan oleh beberapa hal.
Adapun sebab-sebab yang melatarbelakangi pelaku tindak pidana pencurian adalah dari
faktor ekonomi dan sosial, rendahnya tingkat pendidikan, meningkatnya pengangguran,
kurangnya kesadaran hukum, serta lingkungan kehidupan para pelaku tindak pidana
pencurian.
Berdasarkan hasil Pra-research di Polresta Bandar Lampung, bahwa sejak awal tahun 2009
sampai tahun 2011 bahwa pencurian dengan modus memecahkan kaca mobil yang terjadi di
Bandar Lampung berjumlah 85 kasus. Dimana pada tahun 2009 kasus pencurian pecah kaca
mobil sebanyak 15 kasus, sedangkan pada di tahun 2010 sebanyak 26 kasus dan pada tahun
2011 sebanyak 44 kasus.1
Pencurian dengan modus memecahkan kaca mobil di Kota Bandar Lampung pada tahun
2009-2011 mengalami peningkatan, sehingga perlu operasional penanggulangannya yang di
1
tingkatkan dengan mengikuti pengalaman-pengalaman upaya penanggulangannya yang
pernah dilakukan dan tingkat keberhasilannya, bahkan melibatkan instansi penegak hukum
lainnya seperti Pihak Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan Negeri dan Rumah Tahanan Negara
(Rutan) dan bila perlu melibatkan dunia akademisi untuk mengatasi kejahatan jenis ini.
Meningkatnya pencurian dengan modus memecahkan kaca mobil yang terjadi di Kota
Bandar Lampung, merupakan salah satu kasus yang menjadi pusat perhatian bagi aparat
penegak hukum, khususnya aparat Kepolisian Polresta Bandar Lampung. Dalam kaitannya
dengan upaya penanggulangan tindak pidana kejahatan pada umumnya, dan khususnya
kejahatan pencurian dengan modus memecahkan kaca mobil di Kota Bandar Lampung telah
di upayakan tindakan penanggulangannya, baik yang bersifat pre-emtif, preventif, represif,
maupun treatment dan rehabilitasi yang dilakukan oleh Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan
dan Rumah Tahanan Negara (Rutan).
Kasus pencurian dengan modus memecahkan kaca mobil yang telah diungkap oleh aparat
Kepolisian di Kota Bandar Lampung, yaitu :
1. Pencurian dengan modus memecahkan kaca mobil kembali terulang. Korbannya adalah
Heru Sutahyo (50), warga Jl. Sisingamaraja, Tanjung Karang Barat (TKB). Peristiwa itu
terjadi di Rumah Makan Dahlia, Jl. Sam Ratulangi, TKB, Kemarin (22/3). Sebelumnya,
peristiwa serupa dialami Kaswanto (47), warga Budi Utomo, Margorejo, Metro Selatan,
Metro, sekitar pukul 13.00 WIB Jum’at (19/3). Mobil yang dibawa Wakil Kepala
SMAN 1 Metro ini dibobol saat di parkir di Jl. Teuku Umar, Kedaton. Peristiwa yang
dialami Heru terjadi saat ia hendak menuju rumahnya. Sebelumnya, Heru baru saja
pulang dari Bank Utomo, Jl. Kartini. Dalam perjalanan, ia dan rekannya mampir di
Max BE 2617 BR yang baru dikendarainya pecah. Tidak hanya itu, tas berisi dokumen
penting yang dibawanya juga hilang.2
2. Kawanan pencuri dengan memecahkan kaca mobil dibekuk Unit Reskrim Polsekta
Tanjung Karang Timur (TKT). Dua tersangka, M. Jefri alias Jaka (19) dan Sunarto alias
Ato, warga Plaju, Palembang, Sumatera Selatan, dihadiahi timah panas masing-masing
dibetis kiri. Seorang lagi adalah Dobi Julfian (20), warga Jalan Pangeran Tirtayasa,
Sukabumi. Keberhasilan polisi bermula dari tertangkapnya Dobi dan jaka sekitar pukul
17.30 WIB Jum’at (15/1) di Jl. Anggrek, Rawalaut, TKT. Saat itu, keduanya kedapatan
tengah memecahkan kaca mobil Toyota Camry B 8395 FS milik Yeni Ekawati. Dari
dalam mobil PNS yang tinggal di Jl. Flamboyan, Pahoman, Teluk Betung Utara (TBU)
tersebut, keduanya mendapatkan dompet coklat berisi uang sekitar Rp. 1 juta dan
surat-surat berharga. Saat itu keduanya mencoba kabur dengan motor yamaha Vega R yang
dibawa Dobi. Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari pelaku tindak pidana
pencurian, teknik yang digunakan para pelaku pencurian pecah kaca mobil ini relatif
sederhana, yaitu dengan menggunakan busi bekas sepeda motor yang dilempar ke arah
kaca. Setelah pecah, kaca kemudian didorong dan para pelaku dengan bebas mengambil
barang-barang yang berada di dalam mobil tanpa terdeteksi oleh alarm keamanan yang
ada pada kendaraan tersebut.3
Terkait dengan contoh kasus di atas, bahwa tindak pidana pencurian pecah kaca mobil yang
terjadi akhir-akhir ini di Kota Bandar Lampung membuat masyarakat merasa resah dan takut
dalam memarkirkan kendaraannya terutama kendaraan beroda empat/mobil dengan
2
“Lagi, Pencurian dengan Modus Pecah Kaca Terjadi”,Radar Lampung, tanggal 23 Maret 2010. 3
meninggalkan barang-barang di dalam kendaraan yang di parkir di tepi jalan ataupun di
tempat-tempat parkir lainnya seperti di mall, swalayan, rumah makan dan perkantoran.
Sehingga dari pihak instansi kepolisian harus lebih ekstra bekerja keras untuk memberantas
tindak pidana pencurian pecah kaca mobil ini yang tergolong dalam klasifikasi tindak pidana
pencurian yang disertai pemberatan dalam lingkup masyarakat dikarenakan modus yang
digunakan oleh para pelaku dalam melakukan aksinya cukup mudah dan cepat, tanpa
diketahui oleh para pemilik kendaraan dan tidak terdeteksi oleh alarm yang terpasang pada
kendaraan tersebut saat kaca mobil itu pecah akibat busi bekas motor yang dilemparkan para
pelaku.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis tertarik melakukan
penelitian dan skripsi dengan judul “Upaya penanggulangan tindak pidana pencurian dengan modus memecahkan kaca mobil (Studi di Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung)”.
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka dirumuskan permasalahan
dalam rangka penelitian ini yaitu :
a. Bagaimanakah upaya penanggulangan tindak pidana pencurian dengan modus
memecahkan kaca mobil di Kota Bandar Lampung? (Studi Kepolisian Resor Kota
b. Apakah yang menjadi faktor-faktor penghambat dalam upaya penanggulangan
tindak pidana pencurian dengan modus memecahkan kaca mobil di Kota Bandar
Lampung? (Studi Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung)
2. Ruang Lingkup
Agar penulisan ini tidak terlalu luas maka penulis membatasi ruang lingkup dalam
penelitian ini adalah pada kajian bidang hukum pidana. Adanya permasalahan tersebut
diperlukan data dan pembahasan, maka subjek penelitian ini pada upaya
penanggulangan kejahatan tindak pidana pencurian dengan modus memecahkan kaca
mobil dengan lokasi penelitian di Polresta Bandar Lampung.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui upaya penanggulangan terhadap tindak pidana pencurian dengan
modus memecahkan kaca mobil di wilayah hukum Kota Bandar Lampung.
b. Untuk mengetahui faktor-faktor penghambat dalam upaya penanggulangan terhadap
tindak pidana pencurian dengan modus memecahkan kaca mobil di wilayah hukum
Kota Bandar Lampung.
2. Kegunaan Penelitian
a. Secara teoritis, untuk mengembangkan ilmu hukum khususnya ilmu hukum pidana
yang berkaitan dengan upaya penanggulangan tindak pidana pencurian.
b. Secara praktek, penulisan ini diharapkan dapat berguna bagi masyarakat dan bagi
aparatur penegak hukum dalam memperluas serta memperdalam ilmu hukum
khususnya ilmu hukum pidana dan juga dapat bermanfaat bagi masyarakat pada
umumnya dan bagi aparatur penegak hukum pada khususnya menambah wawasan
dalam berpikir dan dapat dijadikan sebagai masukan dalam rangka meminimalisir
pencurian dengan modus memecahkan kaca mobil.
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis adalah kerangka acuan yang pada dasarnya mengadakan identifikasi
terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti dan merupakan
abstraksi-abstraksi dari hasil pemikiran.4
Barda Nawawi Arief, menerangkan upaya atau kebijakan untuk melakukan pencegahan
dan penanggulangan kejahatan termasuk bidang kebijakan kriminal (criminal policy).5 Kebijakan kriminal ini pun tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas yaitu kebijakan
sosial (social policy) yang terdiri dari kebijakan/upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial
(social policy). Dengan demikian, sekiranya kebijakan penanggulangan kejahatan
(criminal policy) dilakukan dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana), maka
kebijakan hukum (penal policy), khususnya pada tahap kebijakan yudikatif/aplikatif
4
Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2007), hlm. 124-125. 5
(penegakan hukum pidana in concreto) harus memperhatikan dan mengarah pada
tercapainya tujuan dari kebijakan sosial itu, berupasocial welfare dansocial defence.Jadi
kejadian yang dilakukan oleh kepolisian dalam penanggulangan tindak pidana dengan
modus memecahkan kaca mobil dilakukan dengan sarana penal yaitu upaya
penanggulangan kejahatan lebih menitik beratkan kepada sifat repsessive
(penindasan/penangkalan/penumpasan) sesudah kejahatan terjadi dan sarana non penal
adalah upaya menitik beratkan pada sifat preventife
(pencegahan/penangkalan/pengendalian) sebelum kejahatan terjadi.
Berdasarkan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian adalah segala hal-ihwal yang
berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Fungsi Kepolisian (Pasal 2) adalah salah satu fungsi pemerintahan negara
dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,
perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
Wewenang Polri dalam pelaksanaan penegakan hukum dengan melakukan
tindakan-tindakan sebagai berikut :
1. Bersifat Represif adalah meliputi serangkaian kegiatan yang berupa penindakan yang dijatuhkan untuk pengungkapan terhadap kasus kejahatan;
2. Bersifat Preventif adalah meliputi serangkaian kegiatan yang ditujukan untuk mencegah secara langsung kasus kejahatan;
3. Bersifat Pre-emtif adalah berupa serangkaian kegiatan yang ditujukan untuk menangkal atau menghilangkan faktor-faktor kriminogen pada tahap sedini mungkin.6
Upaya penanggulangan tindak pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari kebijakan
integral dari upaya perlindungan masyarakat. Upaya penanggulangan tindak pidana
6
diperlukan adanya keterpaduan antara penanggulangan tindak pidana dengan sarana penal
dan non penal, oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tujuan utama dari politik kriminal
adalah perlindungan masyarakat untuk kesejahteraan masyarakat.
Penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide tentang keadilan,
kepastian hukum dan kemanfaatan hukum sosial menjadi kenyataan. Proses perwujudan
itulah yang merupakan hakikat dari penegakan hukum.7
Penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan,
walaupun di dalam kenyataan di Indonesia kecenderungannya adalah demikian, sehingga
pengertian “Law Enforcement” begitu populer. Selain itu, ada kecenderungan yang kuat
untuk mengartikan penegakan hukum sebagai pelaksanaan keputusan-keputusan hakim.
Pengertian sempit tersebut mempunyai kelemahan-kelemahan, apabila
perundang-undangan atau keputusan-keputusan hakim tersebut justru mengganggu kedamaian dalam
pergaulan hidup.8
Menurut Soerjono Soekanto, bahwa masalah pokok dari penegakan hukum sebenarnya
terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya.9 Faktor-faktor tersebut, adalah sebagai berikut:
1) Faktor hukumnya sendiri (Undang-Undang).
2) Faktor Penegak Hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan
hukum.
7
Sadjipto,Masalah Penegakan Hukum,(Jakarta: Gunung Agung, 1987), hlm. 15. 8
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 7-8.
9
3) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4) Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku dan diterapkan.
5) Faktor Kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada
karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Upaya penegakan hukum secara sistematik haruslah memperhatikan ketiga aspek itu
secara simultan, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan itu sendiri secara
internal dapat diwujudkan secara nyata.
Uraian di atas menjelaskan penegakan hukum itu kurang lebih upaya yang dilakukannya
untuk menjadikan hukum, baik dalam arti formil maupun arti materiil, sebagai pedoman
perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subjek hukum yang bersangkutan,
maupun oleh aparatur penegak hukum untuk menjamin berfungsinya norma-norma
hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Pembahasan permasalahan dalam skripsi ini penulis mengadakan pendekatan dengan
teori sosiologi yang mempelajari sebab akibat kejahatan dan penanggulangan kejahatan
sebagai gejala sosial. Dalam mencari sebab-sebab kejahatan pencurian dengan modus
pecah kaca mobil memfokuskan perhatian kepada hubungan timbal balik (interaksi)
antara kejahatan pencurian dengan modus pecah kaca mobil dengan perkembangan
kehidupan kemasyarakatan. Faktor ekonomi dan faktor kelas sosial, sehingga pusat
perhatiannya adalah sejauh mana pengaruh faktor-faktor kebutuhan hidup manusia di
dalam masyarakat terhadap timbulnya kriminalitas.
Konseptual merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep
khusus yang ingin atau akan diteliti. Konsep merupakan kumpulan dari arti-arti yang
berkaitan dengan istilah.10
Adapun kerangka konsep pengertian-pengertian dari istilah yang digunakan dalam
penulisan skripsi ini adalah :
a) Upaya Penanggulangan
Adalah suatu upaya-upaya atau metode yang diperlukan atau digunakan oleh pihak
kepolisian dalam mengenai suatu tindak pidana, antara lain seperti tindakan refrensif,
preventif dan pre-emtif.11 b) Tindak Pidana
Adalah Kelakuan/handeling yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan
hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang
mampu bertanggung jawab.12 c) Pencurian
Adalah mengambil barang atau sesuatu atau seluruhnya kepunyaan orang lain dengan
maksud untuk memiliki secara melawan hukum.13
d) Modus
Adalah cara atau teknik yang berciri khusus dari seorang penjahat dalam melakukan
perbuatan jahatnya.14
10
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2007), hlm. 132. 11
Romli Atmasasmita,Bunga rampai kriminologi. (Jakarta: Rajawali, 1984), hlm. 24. 12
Moeljatno,Asas-Asas Hukum pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm. 56. 13
e) Memecahkan
Adalah merusakkan dan sebagainya hingga pecah.15
f) Kaca
Adalah Amorf (non kritalin) material padat yang bening dan transparan (tembus
pandang), biasanya rapuh.16 g) Mobil
Adalah kendaraan darat yang digerakkan oleh tenaga mesin, beroda empat atau lebih
(selalu genap), biasanya menggunakan bahan bakar minyak untuk menghidupkan
mesinnya.17
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini memuat uraian secara keseluruhan yang akan disajikan dengan
tujuan agar pembaca dapat dengan mudah memahami dan memperoleh gambaran
menyeluruh tentang skripsi ini. Sistematika penulisan tersebut dapat dirinci sebagai berikut :
I. PENDAHULUAN
Menguraikan tentang latar belakang penulisan skripsi, kemudian menarik
permasalahan-permasalahan yang dianggap penting dan membatasi ruang lingkup
14
“artikel definisi modus”,www.artikata.com/arti-268393-modus.html, diakses tanggal 25 Juli 2012. 15
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Jakarta: Balai Pustaka, 2007), hlm. 840.
16
“Pengetahuan Tentang Kaca”,http://id.m.wikipedia.org/wiki/Kaca, diakses tanggal 17 April 2012. 17
penulisan, juga menuntut tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teoritis dan
konseptual serta sistematika penulisan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Berisikan tinjauan pustaka yang merupakan pengantar dalam pemahaman dan
pengertian umum tentang pokok bahasan mengenai pengertian tindak pidana,
pengertian pencurian dan unsur-unsur tindak pidana pencurian, teori penanggulangan
kejahatan dan faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum.
III. METODE PENELITIAN
Menjelaskan tentang metode penulisan skripsi berupa langkah-langkah yang
digunakan dalam masalah, sumber data dan jenis data, pengumpulan populasi dan
sampel, prosedur pengelolaan data serta analisis data yang telah didapat.
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Merupakan penjelasan dan pembahasan tentang permasalahan yang ada yaitu
pembahasan tentang upaya tentang penanggulangan yang dilakukan oleh kepolisian
terhadap tindak pidana pencurian dengan modus memecahkan kaca mobil di wilayah
Bandar Lampung dan faktor-faktor penghambat dalam upaya penanggulangan tindak
pidana pencurian dengan modus memecahkan kaca mobil di Kota Bandar Lampung.
V. PENUTUP
Merupakan bab akhir yang berisikan kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan
dan kemudian ditarik beberapa saran yang dapat membantu serta berguna bagi pihak
I. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Tindak Pidana
Pemahaman tentang tindak pidana tidak terlepas dari pemahaman tentang pidana itu sendiri.
Untuk itu sebelum memahami tentang pengertian tindak pidana terlebih dahulu harus
dipahami pengertian pidana. Istilah pidana tidak terlepas dari masalah pemidanaan. Secara
umum pemidanaan merupakan bidang dari pembentukan undang-undang, karena adanya
asas legalitas. Asas ini tercantum dalam Pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang
berbunyi nullum delictum nulla poena sine praevia poenali yang artinya tiada ada suatu
perbuatan tindak pidana, tiada pula dipidana, tanpa adanya undang-undang hukum pidana
terlebih dahulu.
Ketentuan Pasal 1 KUHP menunjukkan hubungan yang erat antara suatu tindak pidana,
pidana dan undang-undang (hukum pidana) terlebih dahulu. Pembentuk undang-undang
akan menetapkan perbuatan apa saja yang dapat dikenakan pidana dan pidana yang
bagaimanakah yang dapat dikenakan. Dengan memperhatikan keterkaitan antara suatu
tindak pidana, pidana dan ketentuan undang-undang hukum pidana, maka pengertian pidana
haruslah dipahami secara benar. Menurut Roeslan Saleh, pidana adalah reaksi atas delik dan
ini. Dengan demikian, pemidanaan adalah pemberian nestapa yang dengan sengaja
dilakukan oleh negara kepada pembuat delik.1
Tindak Pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana (yuridis normatif).
Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminalogis. Kejahatan
atau perbuatan dalam arti yuridis normatif adalah perbuatan seperti yang terwujud
in-abstracto dalam peraturan pidana. Sedangkan kejahatan dalam arti kriminalogis adalah
perbuatan manusia yang menyalahi norma yang hidup dimasyarakat secara konkrit.2
Hukum pidana kita mengenal beberapa rumusan pengertian tindak pidana atau istilah tindak
pidana sebagai pengganti istilah "Strafbaar Feit". Sedangkan dalam perundang-undangan
negara kita istilah tersebut disebutkan sebagai peristiwa pidana, perbuatan pidana atau delik.
Melihat apa yang dimaksud diatas, maka pembentuk undang-undang sekarang sudah
konsisten dalam pemakaian istilah tindak pidana. Akan tetapi para sarjana hukum pidana
mempertahankan istilah yang dipilihnya sendiri. Adapun pendapat itu diketemukan oleh :
Prof. Moeljatno, S.H., D. Simons, Van Hamel, WPJ. Pompe dan Wiryono Projodikoro.
Menurut Moeljatno, tentang Perbuatan Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu
aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi
barang siapa yang melanggar larangan tersebut.3 Dapat dikatakan juga bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal
saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan, yaitu suatu keadaan
1
A. Hamzah dan Siti Rahayu, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2000), hlm. 24.
2
Tri Andrisman,Hukum Pidana : Asas-Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia, (Bandar Lampung : Universitas Lampung, 2011), hlm. 69-70.
3
atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedangkan ancaman pidana ditujukan
kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.
Menurut D. Simons, menerangkan bahwa Strafbaar Feit adalah kelakuan (Hendeling) yang
diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan
kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.4
Menurut Van Hamel, merumuskan bahwa Strafbaar Feit adalah kelakuan orang (menselijke
gedraging) yang dirumuskan dalam WET, yang bersifat melawan hukum, yang patut
dipidana (strafwaarding) dan dilakukan dengan kesalahan.5
Menurut W.P.J. Pompe, memberikan pengertian tindak pidana menjadi 2 (dua) definisi,
yaitu :
1. Definisi menurut teori adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.
2. Definisi menurut hukum positif adalah suatu kejadian/feit yang oleh peraturan undang-undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.6
Menurut VOS, tindak pidana adalah “suatu kelakukan manusia yang diancam pidana oleh peraturan undang-undang, jadi suatu kelakuan yang pada umumnya dilarang dengan
ancaman pidana.7
Menurut Wirjono Prodjodikoro, menyatakan tindak pidana berarti suatu perbuatan yang
pelakunya dapat dikenai hukuman pidana. Dan, pelakunya ini dapat dikatakan merupakan
4
Moeljatno,Asas-Asas Hukum pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm. 56. 5
Moeljatno,Asas-Asas Hukum pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm. 56. 6
Tri Andrisman, Hukum Pidana : Asas-Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia, (Bandar Lampung : Universitas Lampung, 2011), hlm. 70.
7
subjek tindak pidana.8 Tindak pidana pada dasarnya harus ada subyek dan oarang itu melakukannya dengan kesalahan. Dengan perkataan lain jika dikatakan telah terjadi suatu
tindak pidana, hal itu berarti bahwa ada orang sebagai subyeknya dan pada orang itu
terdapat kesalahan, sebaliknya jika seseorang telah melakukan suatu tindakan yang
memenuhi unsur sifat melawan hukum, tindakan yang dilarang serta diancam dengan pidana
oleh undang-undang dan faktor-faktor lainnya, tanpa adanya unsur kesalahan, berarti telah
terjadi suatu tindak pidana.
Tindak pidana, pada dasarnya harus ada subjek dan orang itu melakukannya dengan
kesalahan. Dengan perkataan lain jika dikatakan telah terjadi suatu tindak pidana, hal itu
berarti bahwa ada orang sebagai subjeknya dan pada orang itu terdapat kesalahan.
Sebaliknya jika seseorang telah melakukan suatu tindakan yang memenuhi unsur sifat
melawan hukum, tindakan yang dialarang serta diancam dengan pidana oleh undang-undang
dan faktor-faktor lainnya, tanpa ada unsur kesalahan, berarti tidak telah terjadi suatu tindak
pidana, melainkan yang terjadi hanya suatu peristiwa pidana.
B. Pengertian Pencurian dan Unsur-unsur Tindak Pidana Pencurian
1. Pengertian Pencurian
Tindak pidana pencurian merupakan salah satu tindak pidana yang berkaitan dengan
tindak pidana terhadap harta kekayaan orang. Tindak pidana pencurian ini diatur dalam
BAB XXII Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang dirumuskan sebagai
tindakan mengambil barang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan tujuan
memliki secara melanggar hukum.
8
Tindak pidana ini oleh Pasal 362 KUHP dirumuskan sebagai berikut: mengambil
barang, seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan tujuan memilikinya secara
melawan hukum. Unsur pertama dari tindak pidana pencurian adalah perbuatan
mengambil barang. Kata mengambil (wegnemen) dalam arti sempit terbatas pada
menggerakkan tangan dan jari-jari, memegang barangnya, dan mengalihkannya ke
tempat lain.9
R. Soesilo mengatakan bahwa pencurian dapat dikatakan selesai jika barang yang dicuri
sudah pindah tempat. Pengertian pencurian menurut hukum beserta unsur-unsurnya
dirumuskan dalam Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, adalah berupa
rumusan pencurian dalam bentuk pokoknya yang menyebutkan :
Barang siapa mengambil sesuatu benda yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain dengan maksud untuk memiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 900,- (sembilan ratus rupiah).
Unsur-unsur tindak pidana pencurian yang diatur dalam Pasal 362 dibagi menjadi 2
(dua), yaitu unsur-unsur obyektif dan unsur-unsur subyektif sebagai berikut :
a. Unsur-unsur obyektif terdiri dari :
1) Perbuatan mengambil
2) Suatu benda
3) Sifat dari benda itu haruslah :
a. Seluruhnya kepunyaan orang lain atau
b. Sebagian kepunyaan orang lain
9
4) Secara melawan hak
b. Unsur-unsur subyektifnya, terdiri dari :
1) maksud
2) untuk menguasai benda itu sendiri
Suatu perbuatan atau peristiwa baru dapat dikualifikasikan sebagai pencurian apabila
terdapat terdapat unsur-unsur tersebut diatas.
a. Unsur Obyektif
1) Perbuatan mengambil
Perbuatan mengambil yang menjadi unsur subyektif di dalam delik pencurian
seharusnya ditafsirkan setiap perbuatan untuk membawa sesuatu benda di
bawah kekuasannya yang nyata dan mutlak. Jadi di dalam delik pencurian
dianggap sudah selesai jika pelaku melakukan perbuatan “mengambil” atau
setidaknya ia sudah memindahkan suatu benda dari tempat semula. Dalam
praktek sehari-hari dapat terjadi seorang mengambil suatu benda, akan tetapi
karena diketahui oleh orang lain kemudian barang tersebut dilepaskan, keadaan
seperti ini sudah digolongkan perbuatan mengambil.
2) Benda
Pengertian benda yang dimaksud di dalam Pasal 362 KUHP adalah benda
berwujud yang menurut sifatnya dapat dipindahkan. Di dalam kenyataan yang
menjadi obyek pencurian tidak hanya benda berwujud yang sifatnya dapat
dipindahkan oleh karena itu pengertian benda tersebut berkembang meliputi
berupa benda-benda berwujud maupun tidak berwujud dan benda-benda yang
tergolong res nullius dalam batas-batas tertentu.
3) Seluruhnya atau sebagian “kepunyaan” orang lain
Benda tersebut tidak perlu seluruhnya milik orang lain cukup sebagian saja.
Siapakah yang diartikan dengan orang lain dalam unsur sebagian atau
seluruhnya milik orang lain. Orang lain itu diartikan sebagai bukan petindak.
Dengan demikian maka pencurian dapat terjadi terhadap benda-benda milik
badan hukum, misalnya milik negara.
b. Unsur Subyektif
1) Maksud
Maksud untuk memiliki terdiri dari dua unsur, yakni unsur maksud
(kesengajaan sebagai maksud), berupa unsur kesalahan dalam pencurian dan
unsur memiliki, kedua unsur ini dapat dibedakan dan tidak terpisahkan.
Maksud dari perbuatan mengambil barang milik orang lain itu ditujukan untuk
memilikinya. Dari penggabungan dua unsur itulah yang menunjukan bahwa
dalam tindak pidana pencurian, pengertian memiliki tidak mensyaratkan
beralihnya hak milik atas barang yang dicuri ke tangan petindak, dengan alasan
pertama tidak dapat mengalihkan hak milik dengan perbuatan melawan hukum,
kedua yang menjadi unsur pencurian ini adalah maksudnya (subyektif) saja.
Pengertian menguasai bagi dirinya sendiri yang terdapat pada Pasal 362 KUHP
maksudnya adalah “menguasai sesuatu benda seakan-akan ia pemilik dari
benda tersebut”. Pengertian seakan-akan di dalam penjelasan tersebut memliki
arti bahwa pemegang dari benda itu tidak memiliki hak seluas hak yang
dimiliki benda yang sebenarnya.
Tindak pidana pencurian adalah suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan
dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggung
jawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dapat dinyatakan
sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.10
2. Unsur-unsur Tindak Pidana Pencurian
Tindak pidana pencurian dalam Pasal 362 KUHP dirumuskan sebagai mengambil
barang, seluruhnya atau sebagian kepunyaan atau milik orang lain dengan tujuan
memiliki barang tersebut secara melawan hukum. Yang menjadi unsur-unsur dari tindak
pidana pencurian tersebut adalah :
a. Barangsiapa (Subyek Hukum)
Yang termasuk barangsiapa disini adalah subyek hukum. Adapun yang dimaksud
dengan subyek hukum adalah “segala sesuatu yang dapat memperoleh hak dan
kewajiban dari hukum”.11 Yang dapat memperoleh hak dan kewajiban dari hukum hanyalah manusia atau orang. Jadi, manusia atau orang merupakan subyek hukum.
10
P.A.F. Lamintang,Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia,(Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hlm. 185.
11
Dalam hukum pidana yang menjadi subyek hukum adalah mereka yang melakukan
suatu tindak pidana baik dilakukan oleh dua orang atau lebih.
Selanjutnya disebutkan dalam Pasal 55 KUHP yang dapat dihukum sebagai orang
yang melakukan tindak pidana dibagi menjadi 4 macam, yaitu:12 1) Pelaku (pleger)
Orang yang melakukan sendiri perbuatan yang memenuhi rumusan delik.
2) Orang yang menyuruh melakukan (doenpleger)
Orang yang menyuruh melakukan perbuatan dengan perantaraan orang lain,
sedang perantara ini hanya diumpamakan sebagai alat. Dengan demikian ada
dua pihak yang pada menyuruh melakukan (doenpleger) yaitu pembuat
langsung (onmiddelijke dader, auctor physicus, manus ministra) dan pembuat
tidak langsung(middelijke dader, doepleger, auctorintellectius moralis,, manus
domina).
3) Orang yang turut melakukan (medepleger)
Orang yang turut serta melakukan (medepleger) ialah orang yang dengan
sengaja turut berbuat atau turut mengerjakan terjadinya sesuatu.
4) Penganjur (Uitlokker)
Penganjur ialah orang yang menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu
tindak pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang ditentukan oleh
undang-undang.
12
Orang itu dengan sengaja menghasut orang lain, sedangkan hasutannya harus
memakai salah satu dari cara-cara seperti dengan pemberian upah, perjanjian,
salah memakai kekuasaan atau martabat dan sebagainya yang disebutkan dalam
pasal itu, artinya memakai cara lain. Seperti halnya dengan “menyuruh
melakukan”, pelakunya paling sedikit harus ada dua orang, yakni orang yang
menghasut dan orang yang dihasut, hanya bedanya pada”menghasut supaya
melakukan”, orang yang dihasut itu dapat juga dihukum sebagai pelaku,
sedangkan pada “menyuruh melakukan” orag yang disuruh itu tidak dapat
dihukum.
b. Perbuatan mengambil
Yang dimaksud dengan mengambil dalam Pasal 362 KUHP adalah “memindahkan
penguasaan nyata terhadap suatu barang ke dalam penguasaan nyata sendiri dan
penguasaan nyata orang lain”.13 Kata mengambil dalam arti sempit terbatas pada menggerakkan tangan dan jari-jari, memegang barang dan mengalihkannya ke
tempat lain. Mengambil untuk dikuasainya, maksudnya pada waktu pencuri
mengambil barang itu, barang tersebut belum ada dalam kekuasaannya.
Pengambilan atau pencurian itu sudah dapat dikatakan selesai, apabila barang
tersebut sudah berpindah tempat, maka orang tersebut belum dapat dikatakan
mencuri, akan tetapi ia baru akan melakukan percobaan mengambil tidak haya
terbatas pada membawa atau mengalihkan dengan sentuhan tangan, tetapi
mengalihkan dan memindahkan barang dengan berbagai cara.
13
c. Yang diambil baru sesuatu barang.
Yang dimaksud dengan barang pada tindak pidana ini adalah setiap benda bergerak
yang mempunyai nilai ekonomi, karena jika tidak ada nilai ekonominya, sukar
dapat diterima akal bahwa seseorang akan membentuk kehendaknya untuk
mengambil sesuatu barang yang memiliki nilai ekonomi.14 Sesuatu barang yaitu segala sesuatu yang berwujud termasuk binatang (manusia tidak termasuk)
misalnya uang, baju dan sebagainya.15
Adapun tindak pidana ini barang dapat dibedakan antara barang bergerak dan
barang yang tidak bergerak. Barang bergerak dapat dibagi menjadi :
1) Barang bergerak yang ada pemiliknya.
Barang bergerak yang ada pemiliknya berarti itu berada di bawah kekuasaan
orang lain. Barang seperti inilah yang menjadi objek dari tindak pidana ini.
Mengenai pemiliknya dapat terjadi secara bersama-sama atau oleh seseorang
atau yang dimilikinya oleh negara.
2) Barang bergerak yang tidak ada pemiliknya (res nullius)
Mengenai barang bergerak yang tidak ada pemiliknya, seperti batu dipinggir
sungai, pasir di pinggir laut tidak merupakan obyek dari tindak pidana ini.
3) Barang bergerak yang sudah dibuang/tidak dipakai lagi
14
S.R. Sianturi, Tindak Pidana di Kitab Undang-undang Hukum Pidana Menurut Uraiannya, (Jakarta : Ahaem Petehaem, 1983), Pasal 362.
15
Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang dimaksud
dengan barang atau benda bergerak adalah suatu barang yang dihabiskan atau
tidak dapat dihabiskan, dikatakan dapat habis apabila karena apabila dipakai
menjadi habis.
Barang bergerak karena sifatnya atau karena ditentukan oleh undang-undang
ialah barang yang tidak tergabung dengan tanah atau dimaksudkan untuk
mengikuti tanah atau bangunan, barang perabotan rumah.16
Barang yang tidak bergerak dapat dibagi menjadi :
1) Barang yang tidak bergerak karena sifatnya
Barang yang tidak bergerak karena sifatnya ialah tanah, termasuk segala sesuatu
yang secara langsung atau tidak langsung, digabungkan secara erat menjadi satu
dengan tanah.
2) Barang yang tidak bergerak karena tujuan pemakaiannya
Barang yang tidak bergerak karena tujuan pemakaiannya ialah segala apa yang
meskipun tidak secara sungguh-sungguh digabungkan dengan tanah atau
bangunan dimaksudkan untuk mengikuti tanah atau bangunan dimaksudkan
untuk mengikuti tanah atau bangunan itu untuk waktu yang lama.
3) Barang yang tidak bergerak karena memang demikian ditentukan oleh
undang-undang
Barang yang tidak bergerak karena memang demikian ditentukan oleh
undang-undang ialah segala hak atau penagihan yang mengenai suatu barang atau benda
yang tak bergerak.
16
4) Barang itu harus seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain
Yang dimaksud seluruh atau sebagian kepunyaan orang lain adalah seluruhnya
kepunyaan obyek itu atau sebagian obyek itu sedangkan sebagian lainnya
kepunyaan si pelaku atau kepunyaan pihak ketiga.
5) Pengambilan itu harus dilakukan dengan maksud untuk memiliki barang itu
dengan melawan hukum (melawan hak)
Pengambilan barang tersebut harus dilakukan dengan sengaja dan dengan
maksud ingin memiliki barang tersebut. Yang dimaksud dengan memiliki
adalah melakukan perbuatan apa saja terhadap barang itu seperti halnya seorang
pemilik, apakah itu akan dijual, diubah bentuknya dan sebagainya. Melawan
hukum atau melawan hak dalam bahasa Belanda disebut wederrchtejilk yang
artinya bertentangan dengan hukum, tanpa sesuatu hak bertentangan dengan hak
orang lain. Apabila seseorang keliru mengambil barang orang lain itu tidak
termasuk pencurian. Seseorang menemukan barang di jalan kemudian
mengambilnya, bila waktu mengambil itu sedah ada maksud untuk memliki
barang itu, ini termasuk pencurian.
Pencurian diklasifikasikan dalam KUHP. Pengklasifikasian pencurian dalam KUHP terdiri
atas :
1) Pencurian biasa yang diatur dalam Pasal 362 KUHP
2) Pencurian dengan pemberatan yang diatur dalam Pasal 363 KUHP
3) Pencurian ringan yang diatur dalam Pasal 364 KUHP
5) Pencurian dalam keluarga yang diatur dalam Pasal 367 KUHP
Klasifikasi pencurian menurut KUHP dimaksudkan untuk memudahkan pemberian
kategorisasi terhadap tindak pidana yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang.
C. Tindak Pidana Pencurian dengan Pemberatan
Menurut P.A.F. Lamintang, bahwa tindak pidana pencurian dengan pemberatan
(gequalificeerde diefstal) adalah pencurian yang mempunyai unsur-unsur dari perbuatan
pencurian di dalam bentukntya yang pokok, yang karena ditambah dengan lain-lain unsur,
sehingga ancaman hukumannya menjadi diperberat.17
M. Sudradjat Bassar mengatakan, bahwa pencurian yang diatur dalam Pasal 363 KUHP
termasuk “pencurian istimewa” maksudnya suatu pencurian dengan cara tertentu atau dalam keadaan tertentu, sehingga bersifat lebih berat.
Kata pencurian di dalam rumusan tindak pidana pencurian dengan kualifikasi seperti yang
diatur dalam Pasal 363 KUHP tersebut mempunyai arti yang sama dengan kata pencurian
sebagai pencurian dalam bentuk pokok. Pencurian dengan Pemberatan atau Pencurian
Khusus atau Pencurian dengan Kualifikasi (gequalificeerde deifstal) diatur dalam KUHP
Pasal 363. Yang dimaksud dengan pencurian dengan pemberatan adalah pencurian biasa
yang dalam pelaksanaannya disertai oleh keadaan tertentu yang memberatkan.
Keadaan tertentu yang dimaksud adalah salah satu dari keadaan:
17
1) Barang yang dicuri adalah hewan. Yang dimaksud ‘hewan’ di sini adalah binatang memamah biak (sapi, kerbau, kambing), berkuku satu (kuda, keledai), dan babi.
Pencurian terhadap hewan-hewan tersebut dianggap berat sebab hewan-hewan tersebut
adalah harta penting bagi seorang petani.
2) Dilakukan pada waktu kebakaran, letusan, banjir, gempa bumi atau gempa laut, letusan
gunng api, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara,
pemberontakan atau kesengsaraan di masa perang. Pencurian yang dilakukan pada situasi
demikian diancam dengan hukuman lebih berat, karena situasi tersebut adalah keadaan
dimanan orang-orang sedang ribut, kacau, dan barang-barang dalam keadaan tidak
terjaga. Dan orang yang melakukan kejahatan terhadap orang yang sedang mengalami
musibah adalah orang yang berbudi rendah.
3) Dilakukan pada malam hari terhadap rumah atau pekarangan tertutup yang ada
rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang ada di situ tidak diketahui atau tidak
dikehendaki oleh yang berhak.
4) Dilakukan oleh 2 orang bersama-sama atau lebih dengan bersekutu.
5) Dilakukan dengan cara membongkar, merusak, memanjat atau dengan jalan memakai
kunci palsu, perintah palsu atau seragam palsu.
Pengertian membongkar, menurut penafsiran Satauchid Kartanegara adalah perbuatan
perusakan terhadap suatu benda, yang menimbulkan kerusakan lebih besar. Sedangkan
perbuatan merusak itu hanya menimbulkan kerusakan yang kecil.
Mengenai memanjat, terdapat pengaturannya dalam Pasal 99 KUHP. Menurut arti kata
menggunakan atau tanpa sesuatu alat seperti tangga, tali, dan alat-alat lain yang dipakai
untuk membawa diri ke atas. Tetapi dalam Pasal 99 KUHP memanjat termasuk pula :
1. Masuk ke dalam rumah melalui lubang yang telah ada yang sedianya tidak untuk jalan
masuk atau jalan keluar;
2. Masuk ke dalam rumah melalui lubang dalam tanah yang sengaja digali;
3. Masuk ke dalam rumah melalui selokan atau parit yang gunanya sebagai penutup jalan.
Mengenai kunci palsu, terdapat pengaturannya dalam Pasal 100 KUHP. Pengertian anak
kunci palsu ialah segala macam anak kunci yang tidak diperuntukkan membuka kunci dari
sesuatu barang yang dapat dikunci, seperti almari, peti dan sebagainya, oleh yang berhak
atas barang itu. Demikian juga anak kunci duplikat yang penggunaannya bukan oleh yang
berhak, dapat dikatakan anak kunci palsu.
Pengertian perintah palsu ialah perintah yang dibuat sedemikian rupa, seolah-olah perintah
itu asli dan dikeluarkan oleh yang berwajib, padahal tidak asli. Dimisalkan disini, seorang
pencuri mengaku dirinya sebagai pegawai PLN dan membawa surat keterangan dari petinggi
PLN, akhirnya ia dapat masuk ke dalam rumah, padahal sebenarnya itu adalah perintah
palsu.
Seragam palsu ialah seragam yang dikenakan oleh orang yang tidak berhak untuk itu,
misalnya seorang pencuri yang mengenakan pakaian seragam polisi, dapat masuk ke dalam
rumah seseorang kemudian mencuri barang, yang dimaksudkan pakaian palsu di sini tidak
saja pakaian jabatan pemerintah, tetapi boleh juga pakaian seragam perusahaan swasta.
Berdasarkan Pasal 363 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), orang yang
lama 7 tahun. Hal ini tak lain karena selain memenuhi unsur-unsur pencurian biasa dalam
Pasal 362 KUHP, juga disertai dengan hal yang memberatkan, yakni dilakukan dalam
kondisi tertentu atau dengan cara tertentu.
Dengan demikian hukuman itu bisa menjadi lebih berat, yakni maksimal 9 tahun penjara,
bila pencurian dilakukan pada malam hari terhadap sebuah rumah atau pekarangan yang
tertutup yang ada rumahnya, serta :
a) Dilakukan oleh 2 orang/lebih secara bersama-sama, atau
b) Dilakukan dengan cara merusak, membongkar, memecah, memotong atau memanjat
atau dengan jalan memakai kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.
Selanjutnya terhadap tindak pidana pencurian dengan modus memecahkan kaca mobil dalam
subtansinya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak ada peraturan yang khusus
mengaturnya. Tetapi dapat ditafsirkan sebagai kejahatan pencurian, karena pencurian
dengan modus memecahkan kaca mobil memiliki unsur-unsur dalam Pasal 363 KUHP
tersebut.
D. Teori Penanggulangan Kejahatan
Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakekatnya juga merupakan
bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pidana). Oleh karena itu
sering pula dikatakan bahwa politik/kebijakan hukum pidana merupakan bagian pula dari
kebijakan penegakan hukum (Law Enforecement Policy). Disamping itu, usaha
penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang-undang (hukum) pidana pada
hakikatnya juga merupakan bagian dari integral dari upaya perlindungan masyarakat (social
bagian integral dari kebijakan politik sosial (social policy). Kebijakan sosial (social policy)
dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat
dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Jadi didalam pengertian “social policy”, sekaligus tercakup didalamnya “social welfare policy” dan “social defence policy”.18 Oleh karena itu, kebijakan penanggulangan dan pencegahan kejahatan adalah sebagai berikut :
1. Menggunakan Hukum Pidana (Penal)
Menurut Sudarto, yang dimaksud dengan upaya represif adalah segala tindakan yang
dilakukan oleh aparat penegak hukum sesudah terjadinya kejahatan atau tindak pidana,
termasuk upaya represif adalah penyelidikan, penuntutan sampai dilakukannya pidana.19
Menurut G. P. Hoefnagels yang dikutip oleh Barda Nawawi Arief, upaya
penanggulangan kejahatan lewat jalur “penal” lebih menitik beratkan pada sifat
“repressive” (penindasan/pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahatan terjadi.20
2. Non Penal
Sarana non penal menitik beratkan pada sifat Preventive yaitu upaya penanggulangan
kejahatan yang bersifat pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya
adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor
kondusif itu antara lain, berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang
secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan kejahatan. Dengan demikian,
dilihat dari sudut politik kriminal secara makro dan global, maka upaya-upaya non penal
18
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 28.
19
Sudarto,Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 118. 20
menduduki posisi kunci dan stategis dalam menanggulangi sebab-sebab dan
kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan.21
Upaya-upaya non penal dapat ditempuh dengan menyehatkan masyarakat lewat
kebijakan sosial dan dengan menggali berbagai potensi yang ada di dalam masyarakat itu
sendiri maupun dari berbagai sumber lainnya yang mempunyai potensi efek-preventif
dari aparat penegak hukum. Menurut Sudarto dikutip dari Barda Nawawi Arief
mengemukakan, bahwa kegiatan patroli dari polisi yang dilakukan secara kontinu
termasuk upaya non penal yang mempunyai pengaruh preventif bagi penjahat (pelanggar
hukum) potensial.22
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa upaya pencegahan dan
penanggulangan kejahatan sebagai berikut :
1) Pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus menunjang tujuan (goal),
kesejahteraan masyarakat (social welfare), dan perlindungan masyarakat (social
defence).
2) Pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus dilakukan dengan pendekatan integral
yaitu ada keseimbangan antara upaya preventif (non penal) dan upaya represif (penal).
3) Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan upaya represif (penal) merupakan
“penal policy” atau “penal Law Enforcement Policy” yang
fungsionalisasi/operasionalisasinya melalui beberapa tahap :
a) Tahap formulasi (kebijakan legislatif)
21
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 42.
22
b) Tahap aplikasi (kebijakan yudikatif)
c) Tahap eksekusi (kebijakan eksekutif)
Sudarto sebagaimana dikutip dari Barda Nawawi Arief, mengemukakan tiga arti mengenai
kebijakan kriminal, yaitu :23
a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dari reasksi
terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;
b. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk
didalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi.
c. Dalam arti luas (yang beliau ambil dari Jorgen Jepsen), ialah keseluruhan kebijakan,
yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, bertujuan untuk
menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.
E. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
Masalah penegakan hukum secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum
terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam
kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai
tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan
hidup. Penegakan hukum sebagai suatu proses, pada hakikatnya merupakan penerapan
diskresi yang menyangkut pembuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah
hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi.24
23
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 1.
24
Sadjipto Raharjo dalam bukunya yang berjudul “Masalah Penegakan Hukum” menyatakan bahwa penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide tentang
kepastian hukum, kemanfaatan hukum sosial dan keadilan menjadi kenyataan.25 Proses perwujudan ide-ide itulah yang merupakan hakikat dari penegakan hukum.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan, bahwa gangguan terhadap penegak hukum
mungkin terjadi, apabila ada ketidak serasian antara nilai-nilai yang berpasangan, yang
menjelma di dalam kaidah-kaidah yang bersimpang siur, dan pola perilaku tidak terarah
yang menggangu kedamaian pergaulan hidup.
Sehubungan dengan pandangan diatas menurut Soerjono Soekanto ada beberapa faktor yang
mempengaruhi penegakan hukum yaitu :26 a. Faktor hukumnya sendiri;
b. Faktor penegak hukum;
c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;
d. Faktor masyarakat; dan
e. Faktor kebudayaan.
Kelima faktor diatas dapat dijadikan sebagai pedoman dalam kebijakan penanggulangan
Kepolisian terhadap tindak pidana pencurian dengan modus memecahkan kaca mobil, dan
akan dijabarkan sebagai berikut :
a. Faktor Hukum (Undang-Undang)
25
Sadjipto Raharjo,Masalah Penegakan Hukum, (Jakarta: Gunung Agung, 1987), hlm. 13. 26
Gangguan terhadap penegakan hukum yang berasal dari undang-undang disebabkan,
karena :
1) Tidak diikutinya asas-asas berlakunya undang-undang,
2) Belum adanya peraturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkan untuk menerapkan
undang-undang,
3) Ketidakjelasan arti kata-kata yang dipergunakan di dalam undang-undang terkait
perumusan pasal-pasal tertentu, yang mengakibatkan kesimpangsiuran di dalam
penafsiran serta penerapannya.27
b. Faktor Penegak Hukum
Penegak hukum mencakup secara langsung dan tidak langsung di bidang penegakan
hukum. Penegak hukum dibatasi pada kalangan yang secara langsung dalam bidang
penegakan hukum yang tidak hanya mencakuplaw enforcement, akan tetapi juga peace
maintenance. Bahwa kalangan tersebut mencakup mereka yang bertugas di
bidang-bidang kehakiman, kejaksaan, kepolisian, kepengacaraan, dan pemasyarakatan.
Penegak hukum lebih tertuju pada diskresi yang menyangkut pengambilan keputusan
yang tidak sangat terikat oleh hukum, dimana penilaian pribadi juga memegang
peranan.28
c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum
Sarana dan fasilitas mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil,
organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya.
27
Soerjono Soekanto,Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 17-18.
28
Jika hal-hal tersebut tidak terpenuhi, maka penegakan hukum tidak akan mencapai
tujuannya.
Dengan demikian, bahwa sarana atau fasilitas mempunyai peranan yang sangat penting
di dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut tidak akan
mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang
aktual.29
d. Faktor masyarakat
Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di
dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu, maka masyarakat
dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut.30
Setiap warga masyarakat atau sekelompok, pasti mempunyai permasalahan hukum
seperti taraf kepatuhan hukum yang tinggi, sedang atau rendah. Sebagaimana diketahui,
kesadaran hukum merupakan suatu proses yang mencakup pengetahuan hukum, sikap
hukum dan perilaku hukum.
e. Faktor Kebudayaan
Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari
hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai
apa yang dianggap baik dan yang buruk. Nilai-nilai tersebut, lazimnya merupakan
pasangan nilai-nilai yang mencerminkan dua keadaan ekstrim yang harus diserasikan.
29
Soerjono Soekanto,Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 44.
30
Pasangan nilai yang berperanan dalam hukum adalah :
1) Nilai ketertiban dan nilai ketentraman,
2) Nilai jasmaniah/kebendaan dan nilai rohaniah/keakhlakan,
3) Nilai kelanggengan/konservatisme dan nilai kebaruan/inovatisme.31
Kelima faktor tersebut merupakan faktor-faktor yang terkait dengan satu sama lain dan
merupakan inti dari sistem penegakan hukum. Jika kelima faktor tersebut ditelaah akan
dapat terungkapkan hal yang berpengaruh terhadap sistem penegakan hukum yang dapat
berdiri sendiri dan saling berhubungan satu dengan lainnya sehingga kebijakan yang
dilakukan oleh aparat penegak hukum dan kesadaran dari masyarakat tentang hukum
dapat berjalan efektif sehingga tindak pidana pencurian dengan modus memcahkan kaca
mobil khususnya di Kota Bandar Lampung dapat dicegah dan tingkat kejahatan
pencurian pecah kaca mobil dapat berkurang.
31
I. METODELOGI PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan
yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan
masalah yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan, teori-teori, dan
konsep-konsep yang berhubungan dengan penulisan penelitian ini. Sedangkan pendekatan empiris
adalah dengan mengadakan penelitian lapangan, yaitu dengan melihat fakta-fakta yang ada
dalam praktik dan mengenai pelaksanaannya.
B. Sumber dan Jenis Data
Sumber data dalam penulisan skripsi ini diperoleh dari dua sumber, yaitu data lapangan dan
kepustakaan dengan jenis data :
1. Data Primer
Data empiris yang diperoleh langsung dari sumber data. Sumber data yang dimaksud
dalam penelitian empiris yaitu lokasi penelitian atau tempat dilakukannya penelitian
peristiwa hukum yang terjadi dilokasi penelitian dan responden yang memberikan
informasi kepada peneliti. Data yang diperoleh dari responden-responden yang dalam
hal ini adalah Polresta Bandar Lampung dan Akademisi Hukum dalam hal ini adalah
Dosen Fakultas Hukum Unila.
adalah data yang diperoleh dengan menelusuri literatur-literatur maupun
peraturan-peratuan dan norma-norma yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas dalam
skripsi ini. Data sekunder dalam penulisan skripsi ini terdiri dari :
a. Bahan Hukum Primer, yaitu :
a) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1986 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun
1958 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
b) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP).
c) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu :
Bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer dan dapat
membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer yaitu : Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana dan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
c. Bahan Hukum Tersier, yaitu :
Bahan hukum penunjang yang mencakup bahan hukum yang memberikan petunjuk
dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang terdiri dari :
hasil-hasil penelitian para sarjana yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang
dibahas dalam skripsi ini.
C. Penentuan Populasi dan Sampel
Populasi adalah seluruh obyek atau seluruh individu atau gejala atau seluruh kejadian yang
akan diteliti. Karena populasi biasanya sangat besar dan sangat luas, maka tidak mungkin
untuk meneliti seluruh populasi itu. Dalam suatu penelitian sebenarnya tidak perlu untuk
meneliti semua obyek atau semua unit tersebut untuk dapat memberikan gambaran yang
tepat dan benar mengenai keadaan populasi itu, tetapi cukup diambil sebagian saja untuk
diteliti sebagai sampel.1 Populasi dalam penelitian ini adalah anggota polisi di Polresta Bandar Lampung.
Penentuan sampel dalam penelitian ini adalah metode purposive sampling, yaitu suatu
metode pengambilan sampel yang dalam penentuan dan pengambilan anggota sampel
berdasarkan atas pertimbangan maksud dan tujuan penulis yang telah ditetapkan.
Berdasarkan metode sampling di atas, maka yang menjadi responden dalam penelitian ini
sebanyak 5 (lima) orang dengan rincian sebagai berikut :
1) Kasat Reskrim Polresta Bandar Lampung : 1 orang
2) Penyidik Reskrim Polresta Bandar Lampung : 2 orang
3) Dosen Bagian Pidana Fakultas Hukum Unila : 2 orang +
Jumlah : 5 orang
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data
1
1. Pengumpulan data
Pengumpulandata yang digunakan adalah berupa stidi kepustakaan dan studi lapangan.
a. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder, yaitu melakukan
serangkaian studi dokumentasi, dengan cara membaca, mencatat dan mengutip
buku-buku atau referensi yang berhubungan dengan penegakan hukum Pidana terhadap
tindak pidana Pencurian.
b. Studi Lapangan
Studi lapangan dilakukan untuk mendapatkan data primer. Adapun cara
mendapatkan data primer dilakukan dengan cara wawancara (indepth interview)
yang bertujuan untuk memperoleh pendapat dan pemikiran para pihak yang terkait
yang menjadi narasumber dalam penelitian ini, dengan mengajukan pertanyaan yang
telah disiapkan terlebih dahulu dengan mengacu pada masalah yang akan dikaji dan
dilakukan secara langsung dengan responden.
2. Pengolahan Data
a. Editing, yaitu data yang diperoleh dari penelitian diperiksa dan diteliti kembali
mengenai kelengkapan, kejelasan dan kebenarannya, sehingga terhindar dari
kekurangan dan kesalahan;
b. Tabulating, yaitu memuat data yang diperoleh melalui sebuah rangkaian tabel sesuai
dengan data yang diperoleh;
c. Interpretasi, yaitu menghubungkan, membandingkan dan menguraikan data serta
d. Sistematisasi, yaitu penyusunan data secara sistematis sesuai dengan pokok
permasalahan, sehingga memudahkan analisis data.
E. Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelitian ini di analisis dengan menggunakan analisis kualitatif,
yaitu menggambarkan kenyataan-kenyataan yang ada berdasarkan hasil penelitian dengan
menguraikan secara sistematis untuk memperoleh kejelasan dan memudahkan pembahasan.
Selanjutnya berdasarkan hasil analisis data tersebut kemudian ditarik kesimpulan dengan
menggunakan metode induktif, yaitu suatu metode penarik data yang didasarkan pada
fakta-fakta yang bersifat khusus untuk kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat umum guna
I. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan diatas, maka penulis
dapat menarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Upaya penanggulangan tindak pidana pencurian dengan modus memecahkan kaca mobil
(Studi di Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung) adalah dengan cara yaitu :
a. Upaya Pre-emtif
1) Membuat spanduk/banner yang dipasang di sudut-sudut jalan, mall-mall/pusat
perbelanjaan dan tempat-tempat parkir.
2) Melakukan penyuluhan kepada masyarakat dan jug perpolisian masyarakat.
b. Upaya Preventif
1) Melakukan razia yang termasuk dalam operasi kepolisian yang secara terjadwal
dan kontinyu terus dilakukan oleh kepolisian secara lengkap diantaranya fungsi
Sabhara, Intelijen, Binamitra, Lantas dan Reserse.
2) Mengedepankan fungsi Intelijen sebagai deteksi dini dan melakukan pendataan
terhadap residivis yang baru keluar dari lembaga pemasyarakatan.
3) Dari segi masyarakat untuk lebih berhati-hati dan tidak meninggalkan
ditekankan dengan kehadiran polisi di tempat-tempat rawan seperti kegiatan
penjagaan dan kegiatan patroli.
c. Upaya Represif
1) Tahap Penyidikan : dimulai dari penyelidikan yaitu olah TKP, mencari dan
mengumpulkan keterangan, barang bukti, identitas tersangka, dan memperoleh
keterangan/informasi dari korban/saksi di TKP, Berita Acara Pemeriksaan
(BAP) dan dilakukan penangkapan dan penyidikan lebih lanjut.
2) Tahap Penuntutan : Jaksa penuntut umum untuk membuat surat dakwaan nya
terhadap terdakwa yang akan diajukan sebagai tuntutan dalam persidangan.
3) Tahap persidangan : Hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara dengan
mempertimbangkan aspek yuridis atau fakta-fakta yang terungkap di
persidangan.
2. Faktor-faktor penghambat dalam upaya penanggulangan tindak pidana pencurian dengan
modus memecahkan kaca mobil di Kota Bandar Lampung, seperti :
a. Faktor hukumnya sendiri : tidak sesuai dengan ancaman hukuman yang tertera di
dalam undang-undang.
b. Faktor penegak hukum :
1) Aspek kualitas, aparat penegak hukum dinilai masih sangat kurang dalam hal
pendidikan yang dimiliki oleh kepolisian.
2) Aspek Kuantitas, aparat penegak hukum tidak seimbang dengan jumlah
penduduk yang ada di kota Bandar Lampung.
d. Faktor sarana atau fasilitas : masih kurangnya sarana mobilitas, transportasi,
e. Faktor masyarakat : masyarakat merasa enggan dan kurang aktif/keterlambatan
dalam memberikan informasi dan melaporkan setiap terjadinya tindak pidana
pencurian.
f. Faktor kebudayaan : tindakan main hakim sendiri yang dilakukan oleh masyarakat.
B. Saran
1. Pihak kepolisian
a) Agar pihak Kepolisian meningkatkan program sosialisasi kepada masyarakat
mengenai tindak pidana pencurian dengan modus memecahkan kaca mobil.
b) Agar dilakukan kegiatan patroli terpusat dan penambahan personil maupun pos polisi
terhadap daerah-daerah rawan kejahatan pada tempat-tempat keramaian masyarakat
dan tempat-tempat parkir di pusat perbelanjaan.
c) Benar-benar melakukan tindakan yang tegas terhadap pelaku yang diduga melakukan
kejahatan, khususnya kejahatan pencurian pecah kaca mobil.
d) Agar memperhatikan faktor-faktor penghambat dalam upaya penanggulangan tindak
pidana pencurian dengan modus memecahkan kaca mobil di wilayah Polresta Bandar
Lampung
2. Masyarakat
a) Agar masyarakat turut membantu dan bekerja sama dengan pihak kepolisian dalam
menangani kasus yang ditangani pihak Kepolisian.
b) Diharapkan kesadaran dan kerjasama yang baik pada waktu terjadi tindak pidana
UPAYA PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN MODUS MEMECAHKAN KACA MOBIL
(Studi di Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung) (Skripsi )
AHMAD DENNI IFFANDI 0542011017
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG