• Tidak ada hasil yang ditemukan

UPAYA PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN MODUS MEMECAHKAN KACA MOBIL (Studi di Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "UPAYA PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN MODUS MEMECAHKAN KACA MOBIL (Studi di Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung)"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

UPAYA PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN MODUS MEMECAHKAN KACA MOBIL

(Studi di Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung)

Oleh

AHMAD DENNI IFFANDI

Pencurian merupakan suatu tindakan kejahatan yang terjadi di masyarakat dengan target berupa bangunan, seperti rumah, kantor, atau tempat umum lainnya seperti pencurian peralatan di dalam mobil dengan modus memecahkan kaca mobil yang terjadi sejak awal tahun 2009 sampai tahun 2011 berjumlah 85 kasus. Adapun permasalahan dalam skripsi ini yaitu bagaimanakah upaya penanggulangan tindak pidana pencurian dengan modus memecahkan kaca mobil di Kota Bandar dan apakah yang menjadi faktor-faktor penghambat dalam upaya penanggulangan tindak pidana pencurian dengan modus memecahkan kaca mobil di Kota Bandar Lampung (Studi Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung).

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan masalah yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan, teori-teori, dan konsep-konsep yang berhubungan dengan penulisan penelitian ini. Sedangkan pendekatan empiris adalah dengan mengadakan penelitian lapangan, yaitu dengan melihat fakta-fakta yang ada dalam praktik dan mengenai pelaksanaannya.

Hasil penelitian dan pembahasan, maka upaya penanggulangan tindak pidana pencurian dengan modus memecahkan kaca mobil (Studi di Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung) adalah dengan cara upaya pr-emtif, preventif dan represif. Upaya Pre-emtif : membuat spanduk/banner tentang himbauan terhadap masyarakat untuk selalu ingat akan keamanan diri, harta benda yang dimiliki yang dipasang di sudut-sudut jalan, mall-mall/pusat perbelanjaan dan tempat-tempat parkir serta melakukan penyuluhan kepada masyarakat. Upaya preventif : Melakukan razia yang termasuk dalam operasi kepolisian, mengedepankan fungsi

(2)

Intelijen sebagai deteksi dini untuk memperoleh informasi dan melakukan pendataan terhadap residivis yang baru keluar dari lembaga pemasyarakatan, dari segi masyarakat untuk lebih berhati-hati dan tidak meninggalkan barang-barang berharganya di dalam kendaraan dan dari segi kepolisian dapat lebih ditekankan dengan kehadiran polisi di tempat-tempat rawan terjadinya tindak pidana pencurian dengan modus memecahkan kaca mobil seperti kegiatan penjagaan dan kegiatan patroli. Upaya represif : tahap penyidikan, penuntutan dan persidangan. Tahap penyidikan, dimulai dari penyelidikan yaitu olah TKP, mencari dan mengumpulkan keterangan, petunjuk yang dapat dijadikan sebagai barang bukti, identitas tersangka, dan memperoleh keterangan ataupun informasi dari korban maupun saksi yang berada di TKP yang dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), dilakukan penangkapan dan penyidikan lebih lanjut. Tahap penuntutan, jaksa penuntut umum untuk membuat surat dakwaan nya terhadap terdakwa. Tahap persidangan, hakim untuk memeriksa dan memutuskan perkara dengan mempertimbangkan aspek yuridis atau fakta-fakta yang terungkap di persidangan. Faktor-faktor penghambat dalam upaya penanggulangan tindak pidana pencurian dengan modus memecahkan kaca mobil di Kota Bandar Lampung, seperti tidak sesuai dengan ancaman hukuman yang tertera di dalam undang-undang, aparat penegak hukum dinilai masih sangat kurang dalam hal pendidikan yang dimiliki oleh kepolisian dan tidak seimbang dengan jumlah penduduk yang ada di kota Bandar Lampung, masih kurangnya sarana mobilitas, transportasi, telekomunikasi dan dana anggaran BBM dalam pelaksanaan kegiatan patroli, masyarakat merasa enggan dan kurang aktif/keterlambatan dalam memberikan informasi dan melaporkan setiap terjadinya tindak pidana pencurian, tindakan main hakim sendiri yang dilakukan oleh masyarakat.

(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pencurian merupakan suatu tindakan kejahatan yang terjadi di masyarakat dengan target

berupa bangunan, seperti rumah, kantor, atau tempat umum lainnya seperti pencurian

peralatan di dalam mobil dengan modus memecahkan kaca mobil. Meningkatnya pencurian

yang terjadi menimbulkan keresahan bagi warga masyarakat. Keresahan yang muncul di

masyarakat bukan tanpa alasan, hal ini disebabkan oleh intensitas tindakan kejahatan

pencurian yang begitu tinggi. Contohnya saja, kasus pencurian dengan modus memecahkan

kaca mobil yang sering terjadi di Kota Bandar Lampung disebabkan oleh beberapa hal.

Adapun sebab-sebab yang melatarbelakangi pelaku tindak pidana pencurian adalah dari

faktor ekonomi dan sosial, rendahnya tingkat pendidikan, meningkatnya pengangguran,

kurangnya kesadaran hukum, serta lingkungan kehidupan para pelaku tindak pidana

pencurian.

Berdasarkan hasil Pra-research di Polresta Bandar Lampung, bahwa sejak awal tahun 2009

sampai tahun 2011 bahwa pencurian dengan modus memecahkan kaca mobil yang terjadi di

Bandar Lampung berjumlah 85 kasus. Dimana pada tahun 2009 kasus pencurian pecah kaca

mobil sebanyak 15 kasus, sedangkan pada di tahun 2010 sebanyak 26 kasus dan pada tahun

2011 sebanyak 44 kasus.1

Pencurian dengan modus memecahkan kaca mobil di Kota Bandar Lampung pada tahun

2009-2011 mengalami peningkatan, sehingga perlu operasional penanggulangannya yang di

1

(4)

tingkatkan dengan mengikuti pengalaman-pengalaman upaya penanggulangannya yang

pernah dilakukan dan tingkat keberhasilannya, bahkan melibatkan instansi penegak hukum

lainnya seperti Pihak Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan Negeri dan Rumah Tahanan Negara

(Rutan) dan bila perlu melibatkan dunia akademisi untuk mengatasi kejahatan jenis ini.

Meningkatnya pencurian dengan modus memecahkan kaca mobil yang terjadi di Kota

Bandar Lampung, merupakan salah satu kasus yang menjadi pusat perhatian bagi aparat

penegak hukum, khususnya aparat Kepolisian Polresta Bandar Lampung. Dalam kaitannya

dengan upaya penanggulangan tindak pidana kejahatan pada umumnya, dan khususnya

kejahatan pencurian dengan modus memecahkan kaca mobil di Kota Bandar Lampung telah

di upayakan tindakan penanggulangannya, baik yang bersifat pre-emtif, preventif, represif,

maupun treatment dan rehabilitasi yang dilakukan oleh Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan

dan Rumah Tahanan Negara (Rutan).

Kasus pencurian dengan modus memecahkan kaca mobil yang telah diungkap oleh aparat

Kepolisian di Kota Bandar Lampung, yaitu :

1. Pencurian dengan modus memecahkan kaca mobil kembali terulang. Korbannya adalah

Heru Sutahyo (50), warga Jl. Sisingamaraja, Tanjung Karang Barat (TKB). Peristiwa itu

terjadi di Rumah Makan Dahlia, Jl. Sam Ratulangi, TKB, Kemarin (22/3). Sebelumnya,

peristiwa serupa dialami Kaswanto (47), warga Budi Utomo, Margorejo, Metro Selatan,

Metro, sekitar pukul 13.00 WIB Jum’at (19/3). Mobil yang dibawa Wakil Kepala

SMAN 1 Metro ini dibobol saat di parkir di Jl. Teuku Umar, Kedaton. Peristiwa yang

dialami Heru terjadi saat ia hendak menuju rumahnya. Sebelumnya, Heru baru saja

pulang dari Bank Utomo, Jl. Kartini. Dalam perjalanan, ia dan rekannya mampir di

(5)

Max BE 2617 BR yang baru dikendarainya pecah. Tidak hanya itu, tas berisi dokumen

penting yang dibawanya juga hilang.2

2. Kawanan pencuri dengan memecahkan kaca mobil dibekuk Unit Reskrim Polsekta

Tanjung Karang Timur (TKT). Dua tersangka, M. Jefri alias Jaka (19) dan Sunarto alias

Ato, warga Plaju, Palembang, Sumatera Selatan, dihadiahi timah panas masing-masing

dibetis kiri. Seorang lagi adalah Dobi Julfian (20), warga Jalan Pangeran Tirtayasa,

Sukabumi. Keberhasilan polisi bermula dari tertangkapnya Dobi dan jaka sekitar pukul

17.30 WIB Jum’at (15/1) di Jl. Anggrek, Rawalaut, TKT. Saat itu, keduanya kedapatan

tengah memecahkan kaca mobil Toyota Camry B 8395 FS milik Yeni Ekawati. Dari

dalam mobil PNS yang tinggal di Jl. Flamboyan, Pahoman, Teluk Betung Utara (TBU)

tersebut, keduanya mendapatkan dompet coklat berisi uang sekitar Rp. 1 juta dan

surat-surat berharga. Saat itu keduanya mencoba kabur dengan motor yamaha Vega R yang

dibawa Dobi. Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari pelaku tindak pidana

pencurian, teknik yang digunakan para pelaku pencurian pecah kaca mobil ini relatif

sederhana, yaitu dengan menggunakan busi bekas sepeda motor yang dilempar ke arah

kaca. Setelah pecah, kaca kemudian didorong dan para pelaku dengan bebas mengambil

barang-barang yang berada di dalam mobil tanpa terdeteksi oleh alarm keamanan yang

ada pada kendaraan tersebut.3

Terkait dengan contoh kasus di atas, bahwa tindak pidana pencurian pecah kaca mobil yang

terjadi akhir-akhir ini di Kota Bandar Lampung membuat masyarakat merasa resah dan takut

dalam memarkirkan kendaraannya terutama kendaraan beroda empat/mobil dengan

2

“Lagi, Pencurian dengan Modus Pecah Kaca Terjadi”,Radar Lampung, tanggal 23 Maret 2010. 3

(6)

meninggalkan barang-barang di dalam kendaraan yang di parkir di tepi jalan ataupun di

tempat-tempat parkir lainnya seperti di mall, swalayan, rumah makan dan perkantoran.

Sehingga dari pihak instansi kepolisian harus lebih ekstra bekerja keras untuk memberantas

tindak pidana pencurian pecah kaca mobil ini yang tergolong dalam klasifikasi tindak pidana

pencurian yang disertai pemberatan dalam lingkup masyarakat dikarenakan modus yang

digunakan oleh para pelaku dalam melakukan aksinya cukup mudah dan cepat, tanpa

diketahui oleh para pemilik kendaraan dan tidak terdeteksi oleh alarm yang terpasang pada

kendaraan tersebut saat kaca mobil itu pecah akibat busi bekas motor yang dilemparkan para

pelaku.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis tertarik melakukan

penelitian dan skripsi dengan judul “Upaya penanggulangan tindak pidana pencurian dengan modus memecahkan kaca mobil (Studi di Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung)”.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka dirumuskan permasalahan

dalam rangka penelitian ini yaitu :

a. Bagaimanakah upaya penanggulangan tindak pidana pencurian dengan modus

memecahkan kaca mobil di Kota Bandar Lampung? (Studi Kepolisian Resor Kota

(7)

b. Apakah yang menjadi faktor-faktor penghambat dalam upaya penanggulangan

tindak pidana pencurian dengan modus memecahkan kaca mobil di Kota Bandar

Lampung? (Studi Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung)

2. Ruang Lingkup

Agar penulisan ini tidak terlalu luas maka penulis membatasi ruang lingkup dalam

penelitian ini adalah pada kajian bidang hukum pidana. Adanya permasalahan tersebut

diperlukan data dan pembahasan, maka subjek penelitian ini pada upaya

penanggulangan kejahatan tindak pidana pencurian dengan modus memecahkan kaca

mobil dengan lokasi penelitian di Polresta Bandar Lampung.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan Penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui upaya penanggulangan terhadap tindak pidana pencurian dengan

modus memecahkan kaca mobil di wilayah hukum Kota Bandar Lampung.

b. Untuk mengetahui faktor-faktor penghambat dalam upaya penanggulangan terhadap

tindak pidana pencurian dengan modus memecahkan kaca mobil di wilayah hukum

Kota Bandar Lampung.

2. Kegunaan Penelitian

(8)

a. Secara teoritis, untuk mengembangkan ilmu hukum khususnya ilmu hukum pidana

yang berkaitan dengan upaya penanggulangan tindak pidana pencurian.

b. Secara praktek, penulisan ini diharapkan dapat berguna bagi masyarakat dan bagi

aparatur penegak hukum dalam memperluas serta memperdalam ilmu hukum

khususnya ilmu hukum pidana dan juga dapat bermanfaat bagi masyarakat pada

umumnya dan bagi aparatur penegak hukum pada khususnya menambah wawasan

dalam berpikir dan dapat dijadikan sebagai masukan dalam rangka meminimalisir

pencurian dengan modus memecahkan kaca mobil.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah kerangka acuan yang pada dasarnya mengadakan identifikasi

terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti dan merupakan

abstraksi-abstraksi dari hasil pemikiran.4

Barda Nawawi Arief, menerangkan upaya atau kebijakan untuk melakukan pencegahan

dan penanggulangan kejahatan termasuk bidang kebijakan kriminal (criminal policy).5 Kebijakan kriminal ini pun tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas yaitu kebijakan

sosial (social policy) yang terdiri dari kebijakan/upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial

(social policy). Dengan demikian, sekiranya kebijakan penanggulangan kejahatan

(criminal policy) dilakukan dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana), maka

kebijakan hukum (penal policy), khususnya pada tahap kebijakan yudikatif/aplikatif

4

Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2007), hlm. 124-125. 5

(9)

(penegakan hukum pidana in concreto) harus memperhatikan dan mengarah pada

tercapainya tujuan dari kebijakan sosial itu, berupasocial welfare dansocial defence.Jadi

kejadian yang dilakukan oleh kepolisian dalam penanggulangan tindak pidana dengan

modus memecahkan kaca mobil dilakukan dengan sarana penal yaitu upaya

penanggulangan kejahatan lebih menitik beratkan kepada sifat repsessive

(penindasan/penangkalan/penumpasan) sesudah kejahatan terjadi dan sarana non penal

adalah upaya menitik beratkan pada sifat preventife

(pencegahan/penangkalan/pengendalian) sebelum kejahatan terjadi.

Berdasarkan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian adalah segala hal-ihwal yang

berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan

perundang-undangan. Fungsi Kepolisian (Pasal 2) adalah salah satu fungsi pemerintahan negara

dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,

perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

Wewenang Polri dalam pelaksanaan penegakan hukum dengan melakukan

tindakan-tindakan sebagai berikut :

1. Bersifat Represif adalah meliputi serangkaian kegiatan yang berupa penindakan yang dijatuhkan untuk pengungkapan terhadap kasus kejahatan;

2. Bersifat Preventif adalah meliputi serangkaian kegiatan yang ditujukan untuk mencegah secara langsung kasus kejahatan;

3. Bersifat Pre-emtif adalah berupa serangkaian kegiatan yang ditujukan untuk menangkal atau menghilangkan faktor-faktor kriminogen pada tahap sedini mungkin.6

Upaya penanggulangan tindak pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari kebijakan

integral dari upaya perlindungan masyarakat. Upaya penanggulangan tindak pidana

6

(10)

diperlukan adanya keterpaduan antara penanggulangan tindak pidana dengan sarana penal

dan non penal, oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tujuan utama dari politik kriminal

adalah perlindungan masyarakat untuk kesejahteraan masyarakat.

Penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide tentang keadilan,

kepastian hukum dan kemanfaatan hukum sosial menjadi kenyataan. Proses perwujudan

itulah yang merupakan hakikat dari penegakan hukum.7

Penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan,

walaupun di dalam kenyataan di Indonesia kecenderungannya adalah demikian, sehingga

pengertian “Law Enforcement” begitu populer. Selain itu, ada kecenderungan yang kuat

untuk mengartikan penegakan hukum sebagai pelaksanaan keputusan-keputusan hakim.

Pengertian sempit tersebut mempunyai kelemahan-kelemahan, apabila

perundang-undangan atau keputusan-keputusan hakim tersebut justru mengganggu kedamaian dalam

pergaulan hidup.8

Menurut Soerjono Soekanto, bahwa masalah pokok dari penegakan hukum sebenarnya

terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya.9 Faktor-faktor tersebut, adalah sebagai berikut:

1) Faktor hukumnya sendiri (Undang-Undang).

2) Faktor Penegak Hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan

hukum.

7

Sadjipto,Masalah Penegakan Hukum,(Jakarta: Gunung Agung, 1987), hlm. 15. 8

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 7-8.

9

(11)

3) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

4) Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku dan diterapkan.

5) Faktor Kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada

karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Upaya penegakan hukum secara sistematik haruslah memperhatikan ketiga aspek itu

secara simultan, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan itu sendiri secara

internal dapat diwujudkan secara nyata.

Uraian di atas menjelaskan penegakan hukum itu kurang lebih upaya yang dilakukannya

untuk menjadikan hukum, baik dalam arti formil maupun arti materiil, sebagai pedoman

perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subjek hukum yang bersangkutan,

maupun oleh aparatur penegak hukum untuk menjamin berfungsinya norma-norma

hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Pembahasan permasalahan dalam skripsi ini penulis mengadakan pendekatan dengan

teori sosiologi yang mempelajari sebab akibat kejahatan dan penanggulangan kejahatan

sebagai gejala sosial. Dalam mencari sebab-sebab kejahatan pencurian dengan modus

pecah kaca mobil memfokuskan perhatian kepada hubungan timbal balik (interaksi)

antara kejahatan pencurian dengan modus pecah kaca mobil dengan perkembangan

kehidupan kemasyarakatan. Faktor ekonomi dan faktor kelas sosial, sehingga pusat

perhatiannya adalah sejauh mana pengaruh faktor-faktor kebutuhan hidup manusia di

dalam masyarakat terhadap timbulnya kriminalitas.

(12)

Konseptual merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep

khusus yang ingin atau akan diteliti. Konsep merupakan kumpulan dari arti-arti yang

berkaitan dengan istilah.10

Adapun kerangka konsep pengertian-pengertian dari istilah yang digunakan dalam

penulisan skripsi ini adalah :

a) Upaya Penanggulangan

Adalah suatu upaya-upaya atau metode yang diperlukan atau digunakan oleh pihak

kepolisian dalam mengenai suatu tindak pidana, antara lain seperti tindakan refrensif,

preventif dan pre-emtif.11 b) Tindak Pidana

Adalah Kelakuan/handeling yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan

hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang

mampu bertanggung jawab.12 c) Pencurian

Adalah mengambil barang atau sesuatu atau seluruhnya kepunyaan orang lain dengan

maksud untuk memiliki secara melawan hukum.13

d) Modus

Adalah cara atau teknik yang berciri khusus dari seorang penjahat dalam melakukan

perbuatan jahatnya.14

10

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2007), hlm. 132. 11

Romli Atmasasmita,Bunga rampai kriminologi. (Jakarta: Rajawali, 1984), hlm. 24. 12

Moeljatno,Asas-Asas Hukum pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm. 56. 13

(13)

e) Memecahkan

Adalah merusakkan dan sebagainya hingga pecah.15

f) Kaca

Adalah Amorf (non kritalin) material padat yang bening dan transparan (tembus

pandang), biasanya rapuh.16 g) Mobil

Adalah kendaraan darat yang digerakkan oleh tenaga mesin, beroda empat atau lebih

(selalu genap), biasanya menggunakan bahan bakar minyak untuk menghidupkan

mesinnya.17

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini memuat uraian secara keseluruhan yang akan disajikan dengan

tujuan agar pembaca dapat dengan mudah memahami dan memperoleh gambaran

menyeluruh tentang skripsi ini. Sistematika penulisan tersebut dapat dirinci sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Menguraikan tentang latar belakang penulisan skripsi, kemudian menarik

permasalahan-permasalahan yang dianggap penting dan membatasi ruang lingkup

14

“artikel definisi modus”,www.artikata.com/arti-268393-modus.html, diakses tanggal 25 Juli 2012. 15

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Jakarta: Balai Pustaka, 2007), hlm. 840.

16

“Pengetahuan Tentang Kaca”,http://id.m.wikipedia.org/wiki/Kaca, diakses tanggal 17 April 2012. 17

(14)

penulisan, juga menuntut tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teoritis dan

konseptual serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Berisikan tinjauan pustaka yang merupakan pengantar dalam pemahaman dan

pengertian umum tentang pokok bahasan mengenai pengertian tindak pidana,

pengertian pencurian dan unsur-unsur tindak pidana pencurian, teori penanggulangan

kejahatan dan faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum.

III. METODE PENELITIAN

Menjelaskan tentang metode penulisan skripsi berupa langkah-langkah yang

digunakan dalam masalah, sumber data dan jenis data, pengumpulan populasi dan

sampel, prosedur pengelolaan data serta analisis data yang telah didapat.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Merupakan penjelasan dan pembahasan tentang permasalahan yang ada yaitu

pembahasan tentang upaya tentang penanggulangan yang dilakukan oleh kepolisian

terhadap tindak pidana pencurian dengan modus memecahkan kaca mobil di wilayah

Bandar Lampung dan faktor-faktor penghambat dalam upaya penanggulangan tindak

pidana pencurian dengan modus memecahkan kaca mobil di Kota Bandar Lampung.

V. PENUTUP

Merupakan bab akhir yang berisikan kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan

dan kemudian ditarik beberapa saran yang dapat membantu serta berguna bagi pihak

(15)
(16)

I. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Tindak Pidana

Pemahaman tentang tindak pidana tidak terlepas dari pemahaman tentang pidana itu sendiri.

Untuk itu sebelum memahami tentang pengertian tindak pidana terlebih dahulu harus

dipahami pengertian pidana. Istilah pidana tidak terlepas dari masalah pemidanaan. Secara

umum pemidanaan merupakan bidang dari pembentukan undang-undang, karena adanya

asas legalitas. Asas ini tercantum dalam Pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang

berbunyi nullum delictum nulla poena sine praevia poenali yang artinya tiada ada suatu

perbuatan tindak pidana, tiada pula dipidana, tanpa adanya undang-undang hukum pidana

terlebih dahulu.

Ketentuan Pasal 1 KUHP menunjukkan hubungan yang erat antara suatu tindak pidana,

pidana dan undang-undang (hukum pidana) terlebih dahulu. Pembentuk undang-undang

akan menetapkan perbuatan apa saja yang dapat dikenakan pidana dan pidana yang

bagaimanakah yang dapat dikenakan. Dengan memperhatikan keterkaitan antara suatu

tindak pidana, pidana dan ketentuan undang-undang hukum pidana, maka pengertian pidana

haruslah dipahami secara benar. Menurut Roeslan Saleh, pidana adalah reaksi atas delik dan

(17)

ini. Dengan demikian, pemidanaan adalah pemberian nestapa yang dengan sengaja

dilakukan oleh negara kepada pembuat delik.1

Tindak Pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana (yuridis normatif).

Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminalogis. Kejahatan

atau perbuatan dalam arti yuridis normatif adalah perbuatan seperti yang terwujud

in-abstracto dalam peraturan pidana. Sedangkan kejahatan dalam arti kriminalogis adalah

perbuatan manusia yang menyalahi norma yang hidup dimasyarakat secara konkrit.2

Hukum pidana kita mengenal beberapa rumusan pengertian tindak pidana atau istilah tindak

pidana sebagai pengganti istilah "Strafbaar Feit". Sedangkan dalam perundang-undangan

negara kita istilah tersebut disebutkan sebagai peristiwa pidana, perbuatan pidana atau delik.

Melihat apa yang dimaksud diatas, maka pembentuk undang-undang sekarang sudah

konsisten dalam pemakaian istilah tindak pidana. Akan tetapi para sarjana hukum pidana

mempertahankan istilah yang dipilihnya sendiri. Adapun pendapat itu diketemukan oleh :

Prof. Moeljatno, S.H., D. Simons, Van Hamel, WPJ. Pompe dan Wiryono Projodikoro.

Menurut Moeljatno, tentang Perbuatan Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu

aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi

barang siapa yang melanggar larangan tersebut.3 Dapat dikatakan juga bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal

saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan, yaitu suatu keadaan

1

A. Hamzah dan Siti Rahayu, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2000), hlm. 24.

2

Tri Andrisman,Hukum Pidana : Asas-Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia, (Bandar Lampung : Universitas Lampung, 2011), hlm. 69-70.

3

(18)

atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedangkan ancaman pidana ditujukan

kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.

Menurut D. Simons, menerangkan bahwa Strafbaar Feit adalah kelakuan (Hendeling) yang

diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan

kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.4

Menurut Van Hamel, merumuskan bahwa Strafbaar Feit adalah kelakuan orang (menselijke

gedraging) yang dirumuskan dalam WET, yang bersifat melawan hukum, yang patut

dipidana (strafwaarding) dan dilakukan dengan kesalahan.5

Menurut W.P.J. Pompe, memberikan pengertian tindak pidana menjadi 2 (dua) definisi,

yaitu :

1. Definisi menurut teori adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.

2. Definisi menurut hukum positif adalah suatu kejadian/feit yang oleh peraturan undang-undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.6

Menurut VOS, tindak pidana adalah “suatu kelakukan manusia yang diancam pidana oleh peraturan undang-undang, jadi suatu kelakuan yang pada umumnya dilarang dengan

ancaman pidana.7

Menurut Wirjono Prodjodikoro, menyatakan tindak pidana berarti suatu perbuatan yang

pelakunya dapat dikenai hukuman pidana. Dan, pelakunya ini dapat dikatakan merupakan

4

Moeljatno,Asas-Asas Hukum pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm. 56. 5

Moeljatno,Asas-Asas Hukum pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm. 56. 6

Tri Andrisman, Hukum Pidana : Asas-Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia, (Bandar Lampung : Universitas Lampung, 2011), hlm. 70.

7

(19)

subjek tindak pidana.8 Tindak pidana pada dasarnya harus ada subyek dan oarang itu melakukannya dengan kesalahan. Dengan perkataan lain jika dikatakan telah terjadi suatu

tindak pidana, hal itu berarti bahwa ada orang sebagai subyeknya dan pada orang itu

terdapat kesalahan, sebaliknya jika seseorang telah melakukan suatu tindakan yang

memenuhi unsur sifat melawan hukum, tindakan yang dilarang serta diancam dengan pidana

oleh undang-undang dan faktor-faktor lainnya, tanpa adanya unsur kesalahan, berarti telah

terjadi suatu tindak pidana.

Tindak pidana, pada dasarnya harus ada subjek dan orang itu melakukannya dengan

kesalahan. Dengan perkataan lain jika dikatakan telah terjadi suatu tindak pidana, hal itu

berarti bahwa ada orang sebagai subjeknya dan pada orang itu terdapat kesalahan.

Sebaliknya jika seseorang telah melakukan suatu tindakan yang memenuhi unsur sifat

melawan hukum, tindakan yang dialarang serta diancam dengan pidana oleh undang-undang

dan faktor-faktor lainnya, tanpa ada unsur kesalahan, berarti tidak telah terjadi suatu tindak

pidana, melainkan yang terjadi hanya suatu peristiwa pidana.

B. Pengertian Pencurian dan Unsur-unsur Tindak Pidana Pencurian

1. Pengertian Pencurian

Tindak pidana pencurian merupakan salah satu tindak pidana yang berkaitan dengan

tindak pidana terhadap harta kekayaan orang. Tindak pidana pencurian ini diatur dalam

BAB XXII Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang dirumuskan sebagai

tindakan mengambil barang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan tujuan

memliki secara melanggar hukum.

8

(20)

Tindak pidana ini oleh Pasal 362 KUHP dirumuskan sebagai berikut: mengambil

barang, seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan tujuan memilikinya secara

melawan hukum. Unsur pertama dari tindak pidana pencurian adalah perbuatan

mengambil barang. Kata mengambil (wegnemen) dalam arti sempit terbatas pada

menggerakkan tangan dan jari-jari, memegang barangnya, dan mengalihkannya ke

tempat lain.9

R. Soesilo mengatakan bahwa pencurian dapat dikatakan selesai jika barang yang dicuri

sudah pindah tempat. Pengertian pencurian menurut hukum beserta unsur-unsurnya

dirumuskan dalam Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, adalah berupa

rumusan pencurian dalam bentuk pokoknya yang menyebutkan :

Barang siapa mengambil sesuatu benda yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain dengan maksud untuk memiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 900,- (sembilan ratus rupiah).

Unsur-unsur tindak pidana pencurian yang diatur dalam Pasal 362 dibagi menjadi 2

(dua), yaitu unsur-unsur obyektif dan unsur-unsur subyektif sebagai berikut :

a. Unsur-unsur obyektif terdiri dari :

1) Perbuatan mengambil

2) Suatu benda

3) Sifat dari benda itu haruslah :

a. Seluruhnya kepunyaan orang lain atau

b. Sebagian kepunyaan orang lain

9

(21)

4) Secara melawan hak

b. Unsur-unsur subyektifnya, terdiri dari :

1) maksud

2) untuk menguasai benda itu sendiri

Suatu perbuatan atau peristiwa baru dapat dikualifikasikan sebagai pencurian apabila

terdapat terdapat unsur-unsur tersebut diatas.

a. Unsur Obyektif

1) Perbuatan mengambil

Perbuatan mengambil yang menjadi unsur subyektif di dalam delik pencurian

seharusnya ditafsirkan setiap perbuatan untuk membawa sesuatu benda di

bawah kekuasannya yang nyata dan mutlak. Jadi di dalam delik pencurian

dianggap sudah selesai jika pelaku melakukan perbuatan “mengambil” atau

setidaknya ia sudah memindahkan suatu benda dari tempat semula. Dalam

praktek sehari-hari dapat terjadi seorang mengambil suatu benda, akan tetapi

karena diketahui oleh orang lain kemudian barang tersebut dilepaskan, keadaan

seperti ini sudah digolongkan perbuatan mengambil.

2) Benda

Pengertian benda yang dimaksud di dalam Pasal 362 KUHP adalah benda

berwujud yang menurut sifatnya dapat dipindahkan. Di dalam kenyataan yang

menjadi obyek pencurian tidak hanya benda berwujud yang sifatnya dapat

dipindahkan oleh karena itu pengertian benda tersebut berkembang meliputi

(22)

berupa benda-benda berwujud maupun tidak berwujud dan benda-benda yang

tergolong res nullius dalam batas-batas tertentu.

3) Seluruhnya atau sebagian “kepunyaan” orang lain

Benda tersebut tidak perlu seluruhnya milik orang lain cukup sebagian saja.

Siapakah yang diartikan dengan orang lain dalam unsur sebagian atau

seluruhnya milik orang lain. Orang lain itu diartikan sebagai bukan petindak.

Dengan demikian maka pencurian dapat terjadi terhadap benda-benda milik

badan hukum, misalnya milik negara.

b. Unsur Subyektif

1) Maksud

Maksud untuk memiliki terdiri dari dua unsur, yakni unsur maksud

(kesengajaan sebagai maksud), berupa unsur kesalahan dalam pencurian dan

unsur memiliki, kedua unsur ini dapat dibedakan dan tidak terpisahkan.

Maksud dari perbuatan mengambil barang milik orang lain itu ditujukan untuk

memilikinya. Dari penggabungan dua unsur itulah yang menunjukan bahwa

dalam tindak pidana pencurian, pengertian memiliki tidak mensyaratkan

beralihnya hak milik atas barang yang dicuri ke tangan petindak, dengan alasan

pertama tidak dapat mengalihkan hak milik dengan perbuatan melawan hukum,

kedua yang menjadi unsur pencurian ini adalah maksudnya (subyektif) saja.

(23)

Pengertian menguasai bagi dirinya sendiri yang terdapat pada Pasal 362 KUHP

maksudnya adalah “menguasai sesuatu benda seakan-akan ia pemilik dari

benda tersebut”. Pengertian seakan-akan di dalam penjelasan tersebut memliki

arti bahwa pemegang dari benda itu tidak memiliki hak seluas hak yang

dimiliki benda yang sebenarnya.

Tindak pidana pencurian adalah suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan

dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggung

jawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dapat dinyatakan

sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.10

2. Unsur-unsur Tindak Pidana Pencurian

Tindak pidana pencurian dalam Pasal 362 KUHP dirumuskan sebagai mengambil

barang, seluruhnya atau sebagian kepunyaan atau milik orang lain dengan tujuan

memiliki barang tersebut secara melawan hukum. Yang menjadi unsur-unsur dari tindak

pidana pencurian tersebut adalah :

a. Barangsiapa (Subyek Hukum)

Yang termasuk barangsiapa disini adalah subyek hukum. Adapun yang dimaksud

dengan subyek hukum adalah “segala sesuatu yang dapat memperoleh hak dan

kewajiban dari hukum”.11 Yang dapat memperoleh hak dan kewajiban dari hukum hanyalah manusia atau orang. Jadi, manusia atau orang merupakan subyek hukum.

10

P.A.F. Lamintang,Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia,(Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hlm. 185.

11

(24)

Dalam hukum pidana yang menjadi subyek hukum adalah mereka yang melakukan

suatu tindak pidana baik dilakukan oleh dua orang atau lebih.

Selanjutnya disebutkan dalam Pasal 55 KUHP yang dapat dihukum sebagai orang

yang melakukan tindak pidana dibagi menjadi 4 macam, yaitu:12 1) Pelaku (pleger)

Orang yang melakukan sendiri perbuatan yang memenuhi rumusan delik.

2) Orang yang menyuruh melakukan (doenpleger)

Orang yang menyuruh melakukan perbuatan dengan perantaraan orang lain,

sedang perantara ini hanya diumpamakan sebagai alat. Dengan demikian ada

dua pihak yang pada menyuruh melakukan (doenpleger) yaitu pembuat

langsung (onmiddelijke dader, auctor physicus, manus ministra) dan pembuat

tidak langsung(middelijke dader, doepleger, auctorintellectius moralis,, manus

domina).

3) Orang yang turut melakukan (medepleger)

Orang yang turut serta melakukan (medepleger) ialah orang yang dengan

sengaja turut berbuat atau turut mengerjakan terjadinya sesuatu.

4) Penganjur (Uitlokker)

Penganjur ialah orang yang menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu

tindak pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang ditentukan oleh

undang-undang.

12

(25)

Orang itu dengan sengaja menghasut orang lain, sedangkan hasutannya harus

memakai salah satu dari cara-cara seperti dengan pemberian upah, perjanjian,

salah memakai kekuasaan atau martabat dan sebagainya yang disebutkan dalam

pasal itu, artinya memakai cara lain. Seperti halnya dengan “menyuruh

melakukan”, pelakunya paling sedikit harus ada dua orang, yakni orang yang

menghasut dan orang yang dihasut, hanya bedanya pada”menghasut supaya

melakukan”, orang yang dihasut itu dapat juga dihukum sebagai pelaku,

sedangkan pada “menyuruh melakukan” orag yang disuruh itu tidak dapat

dihukum.

b. Perbuatan mengambil

Yang dimaksud dengan mengambil dalam Pasal 362 KUHP adalah “memindahkan

penguasaan nyata terhadap suatu barang ke dalam penguasaan nyata sendiri dan

penguasaan nyata orang lain”.13 Kata mengambil dalam arti sempit terbatas pada menggerakkan tangan dan jari-jari, memegang barang dan mengalihkannya ke

tempat lain. Mengambil untuk dikuasainya, maksudnya pada waktu pencuri

mengambil barang itu, barang tersebut belum ada dalam kekuasaannya.

Pengambilan atau pencurian itu sudah dapat dikatakan selesai, apabila barang

tersebut sudah berpindah tempat, maka orang tersebut belum dapat dikatakan

mencuri, akan tetapi ia baru akan melakukan percobaan mengambil tidak haya

terbatas pada membawa atau mengalihkan dengan sentuhan tangan, tetapi

mengalihkan dan memindahkan barang dengan berbagai cara.

13

(26)

c. Yang diambil baru sesuatu barang.

Yang dimaksud dengan barang pada tindak pidana ini adalah setiap benda bergerak

yang mempunyai nilai ekonomi, karena jika tidak ada nilai ekonominya, sukar

dapat diterima akal bahwa seseorang akan membentuk kehendaknya untuk

mengambil sesuatu barang yang memiliki nilai ekonomi.14 Sesuatu barang yaitu segala sesuatu yang berwujud termasuk binatang (manusia tidak termasuk)

misalnya uang, baju dan sebagainya.15

Adapun tindak pidana ini barang dapat dibedakan antara barang bergerak dan

barang yang tidak bergerak. Barang bergerak dapat dibagi menjadi :

1) Barang bergerak yang ada pemiliknya.

Barang bergerak yang ada pemiliknya berarti itu berada di bawah kekuasaan

orang lain. Barang seperti inilah yang menjadi objek dari tindak pidana ini.

Mengenai pemiliknya dapat terjadi secara bersama-sama atau oleh seseorang

atau yang dimilikinya oleh negara.

2) Barang bergerak yang tidak ada pemiliknya (res nullius)

Mengenai barang bergerak yang tidak ada pemiliknya, seperti batu dipinggir

sungai, pasir di pinggir laut tidak merupakan obyek dari tindak pidana ini.

3) Barang bergerak yang sudah dibuang/tidak dipakai lagi

14

S.R. Sianturi, Tindak Pidana di Kitab Undang-undang Hukum Pidana Menurut Uraiannya, (Jakarta : Ahaem Petehaem, 1983), Pasal 362.

15

(27)

Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang dimaksud

dengan barang atau benda bergerak adalah suatu barang yang dihabiskan atau

tidak dapat dihabiskan, dikatakan dapat habis apabila karena apabila dipakai

menjadi habis.

Barang bergerak karena sifatnya atau karena ditentukan oleh undang-undang

ialah barang yang tidak tergabung dengan tanah atau dimaksudkan untuk

mengikuti tanah atau bangunan, barang perabotan rumah.16

Barang yang tidak bergerak dapat dibagi menjadi :

1) Barang yang tidak bergerak karena sifatnya

Barang yang tidak bergerak karena sifatnya ialah tanah, termasuk segala sesuatu

yang secara langsung atau tidak langsung, digabungkan secara erat menjadi satu

dengan tanah.

2) Barang yang tidak bergerak karena tujuan pemakaiannya

Barang yang tidak bergerak karena tujuan pemakaiannya ialah segala apa yang

meskipun tidak secara sungguh-sungguh digabungkan dengan tanah atau

bangunan dimaksudkan untuk mengikuti tanah atau bangunan dimaksudkan

untuk mengikuti tanah atau bangunan itu untuk waktu yang lama.

3) Barang yang tidak bergerak karena memang demikian ditentukan oleh

undang-undang

Barang yang tidak bergerak karena memang demikian ditentukan oleh

undang-undang ialah segala hak atau penagihan yang mengenai suatu barang atau benda

yang tak bergerak.

16

(28)

4) Barang itu harus seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain

Yang dimaksud seluruh atau sebagian kepunyaan orang lain adalah seluruhnya

kepunyaan obyek itu atau sebagian obyek itu sedangkan sebagian lainnya

kepunyaan si pelaku atau kepunyaan pihak ketiga.

5) Pengambilan itu harus dilakukan dengan maksud untuk memiliki barang itu

dengan melawan hukum (melawan hak)

Pengambilan barang tersebut harus dilakukan dengan sengaja dan dengan

maksud ingin memiliki barang tersebut. Yang dimaksud dengan memiliki

adalah melakukan perbuatan apa saja terhadap barang itu seperti halnya seorang

pemilik, apakah itu akan dijual, diubah bentuknya dan sebagainya. Melawan

hukum atau melawan hak dalam bahasa Belanda disebut wederrchtejilk yang

artinya bertentangan dengan hukum, tanpa sesuatu hak bertentangan dengan hak

orang lain. Apabila seseorang keliru mengambil barang orang lain itu tidak

termasuk pencurian. Seseorang menemukan barang di jalan kemudian

mengambilnya, bila waktu mengambil itu sedah ada maksud untuk memliki

barang itu, ini termasuk pencurian.

Pencurian diklasifikasikan dalam KUHP. Pengklasifikasian pencurian dalam KUHP terdiri

atas :

1) Pencurian biasa yang diatur dalam Pasal 362 KUHP

2) Pencurian dengan pemberatan yang diatur dalam Pasal 363 KUHP

3) Pencurian ringan yang diatur dalam Pasal 364 KUHP

(29)

5) Pencurian dalam keluarga yang diatur dalam Pasal 367 KUHP

Klasifikasi pencurian menurut KUHP dimaksudkan untuk memudahkan pemberian

kategorisasi terhadap tindak pidana yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang.

C. Tindak Pidana Pencurian dengan Pemberatan

Menurut P.A.F. Lamintang, bahwa tindak pidana pencurian dengan pemberatan

(gequalificeerde diefstal) adalah pencurian yang mempunyai unsur-unsur dari perbuatan

pencurian di dalam bentukntya yang pokok, yang karena ditambah dengan lain-lain unsur,

sehingga ancaman hukumannya menjadi diperberat.17

M. Sudradjat Bassar mengatakan, bahwa pencurian yang diatur dalam Pasal 363 KUHP

termasuk “pencurian istimewa” maksudnya suatu pencurian dengan cara tertentu atau dalam keadaan tertentu, sehingga bersifat lebih berat.

Kata pencurian di dalam rumusan tindak pidana pencurian dengan kualifikasi seperti yang

diatur dalam Pasal 363 KUHP tersebut mempunyai arti yang sama dengan kata pencurian

sebagai pencurian dalam bentuk pokok. Pencurian dengan Pemberatan atau Pencurian

Khusus atau Pencurian dengan Kualifikasi (gequalificeerde deifstal) diatur dalam KUHP

Pasal 363. Yang dimaksud dengan pencurian dengan pemberatan adalah pencurian biasa

yang dalam pelaksanaannya disertai oleh keadaan tertentu yang memberatkan.

Keadaan tertentu yang dimaksud adalah salah satu dari keadaan:

17

(30)

1) Barang yang dicuri adalah hewan. Yang dimaksud ‘hewan’ di sini adalah binatang memamah biak (sapi, kerbau, kambing), berkuku satu (kuda, keledai), dan babi.

Pencurian terhadap hewan-hewan tersebut dianggap berat sebab hewan-hewan tersebut

adalah harta penting bagi seorang petani.

2) Dilakukan pada waktu kebakaran, letusan, banjir, gempa bumi atau gempa laut, letusan

gunng api, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara,

pemberontakan atau kesengsaraan di masa perang. Pencurian yang dilakukan pada situasi

demikian diancam dengan hukuman lebih berat, karena situasi tersebut adalah keadaan

dimanan orang-orang sedang ribut, kacau, dan barang-barang dalam keadaan tidak

terjaga. Dan orang yang melakukan kejahatan terhadap orang yang sedang mengalami

musibah adalah orang yang berbudi rendah.

3) Dilakukan pada malam hari terhadap rumah atau pekarangan tertutup yang ada

rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang ada di situ tidak diketahui atau tidak

dikehendaki oleh yang berhak.

4) Dilakukan oleh 2 orang bersama-sama atau lebih dengan bersekutu.

5) Dilakukan dengan cara membongkar, merusak, memanjat atau dengan jalan memakai

kunci palsu, perintah palsu atau seragam palsu.

Pengertian membongkar, menurut penafsiran Satauchid Kartanegara adalah perbuatan

perusakan terhadap suatu benda, yang menimbulkan kerusakan lebih besar. Sedangkan

perbuatan merusak itu hanya menimbulkan kerusakan yang kecil.

Mengenai memanjat, terdapat pengaturannya dalam Pasal 99 KUHP. Menurut arti kata

(31)

menggunakan atau tanpa sesuatu alat seperti tangga, tali, dan alat-alat lain yang dipakai

untuk membawa diri ke atas. Tetapi dalam Pasal 99 KUHP memanjat termasuk pula :

1. Masuk ke dalam rumah melalui lubang yang telah ada yang sedianya tidak untuk jalan

masuk atau jalan keluar;

2. Masuk ke dalam rumah melalui lubang dalam tanah yang sengaja digali;

3. Masuk ke dalam rumah melalui selokan atau parit yang gunanya sebagai penutup jalan.

Mengenai kunci palsu, terdapat pengaturannya dalam Pasal 100 KUHP. Pengertian anak

kunci palsu ialah segala macam anak kunci yang tidak diperuntukkan membuka kunci dari

sesuatu barang yang dapat dikunci, seperti almari, peti dan sebagainya, oleh yang berhak

atas barang itu. Demikian juga anak kunci duplikat yang penggunaannya bukan oleh yang

berhak, dapat dikatakan anak kunci palsu.

Pengertian perintah palsu ialah perintah yang dibuat sedemikian rupa, seolah-olah perintah

itu asli dan dikeluarkan oleh yang berwajib, padahal tidak asli. Dimisalkan disini, seorang

pencuri mengaku dirinya sebagai pegawai PLN dan membawa surat keterangan dari petinggi

PLN, akhirnya ia dapat masuk ke dalam rumah, padahal sebenarnya itu adalah perintah

palsu.

Seragam palsu ialah seragam yang dikenakan oleh orang yang tidak berhak untuk itu,

misalnya seorang pencuri yang mengenakan pakaian seragam polisi, dapat masuk ke dalam

rumah seseorang kemudian mencuri barang, yang dimaksudkan pakaian palsu di sini tidak

saja pakaian jabatan pemerintah, tetapi boleh juga pakaian seragam perusahaan swasta.

Berdasarkan Pasal 363 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), orang yang

(32)

lama 7 tahun. Hal ini tak lain karena selain memenuhi unsur-unsur pencurian biasa dalam

Pasal 362 KUHP, juga disertai dengan hal yang memberatkan, yakni dilakukan dalam

kondisi tertentu atau dengan cara tertentu.

Dengan demikian hukuman itu bisa menjadi lebih berat, yakni maksimal 9 tahun penjara,

bila pencurian dilakukan pada malam hari terhadap sebuah rumah atau pekarangan yang

tertutup yang ada rumahnya, serta :

a) Dilakukan oleh 2 orang/lebih secara bersama-sama, atau

b) Dilakukan dengan cara merusak, membongkar, memecah, memotong atau memanjat

atau dengan jalan memakai kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.

Selanjutnya terhadap tindak pidana pencurian dengan modus memecahkan kaca mobil dalam

subtansinya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak ada peraturan yang khusus

mengaturnya. Tetapi dapat ditafsirkan sebagai kejahatan pencurian, karena pencurian

dengan modus memecahkan kaca mobil memiliki unsur-unsur dalam Pasal 363 KUHP

tersebut.

D. Teori Penanggulangan Kejahatan

Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakekatnya juga merupakan

bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pidana). Oleh karena itu

sering pula dikatakan bahwa politik/kebijakan hukum pidana merupakan bagian pula dari

kebijakan penegakan hukum (Law Enforecement Policy). Disamping itu, usaha

penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang-undang (hukum) pidana pada

hakikatnya juga merupakan bagian dari integral dari upaya perlindungan masyarakat (social

(33)

bagian integral dari kebijakan politik sosial (social policy). Kebijakan sosial (social policy)

dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat

dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Jadi didalam pengertian “social policy”, sekaligus tercakup didalamnya “social welfare policy” dan “social defence policy”.18 Oleh karena itu, kebijakan penanggulangan dan pencegahan kejahatan adalah sebagai berikut :

1. Menggunakan Hukum Pidana (Penal)

Menurut Sudarto, yang dimaksud dengan upaya represif adalah segala tindakan yang

dilakukan oleh aparat penegak hukum sesudah terjadinya kejahatan atau tindak pidana,

termasuk upaya represif adalah penyelidikan, penuntutan sampai dilakukannya pidana.19

Menurut G. P. Hoefnagels yang dikutip oleh Barda Nawawi Arief, upaya

penanggulangan kejahatan lewat jalur “penal” lebih menitik beratkan pada sifat

“repressive” (penindasan/pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahatan terjadi.20

2. Non Penal

Sarana non penal menitik beratkan pada sifat Preventive yaitu upaya penanggulangan

kejahatan yang bersifat pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya

adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor

kondusif itu antara lain, berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang

secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan kejahatan. Dengan demikian,

dilihat dari sudut politik kriminal secara makro dan global, maka upaya-upaya non penal

18

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 28.

19

Sudarto,Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 118. 20

(34)

menduduki posisi kunci dan stategis dalam menanggulangi sebab-sebab dan

kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan.21

Upaya-upaya non penal dapat ditempuh dengan menyehatkan masyarakat lewat

kebijakan sosial dan dengan menggali berbagai potensi yang ada di dalam masyarakat itu

sendiri maupun dari berbagai sumber lainnya yang mempunyai potensi efek-preventif

dari aparat penegak hukum. Menurut Sudarto dikutip dari Barda Nawawi Arief

mengemukakan, bahwa kegiatan patroli dari polisi yang dilakukan secara kontinu

termasuk upaya non penal yang mempunyai pengaruh preventif bagi penjahat (pelanggar

hukum) potensial.22

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa upaya pencegahan dan

penanggulangan kejahatan sebagai berikut :

1) Pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus menunjang tujuan (goal),

kesejahteraan masyarakat (social welfare), dan perlindungan masyarakat (social

defence).

2) Pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus dilakukan dengan pendekatan integral

yaitu ada keseimbangan antara upaya preventif (non penal) dan upaya represif (penal).

3) Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan upaya represif (penal) merupakan

“penal policy” atau “penal Law Enforcement Policy” yang

fungsionalisasi/operasionalisasinya melalui beberapa tahap :

a) Tahap formulasi (kebijakan legislatif)

21

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 42.

22

(35)

b) Tahap aplikasi (kebijakan yudikatif)

c) Tahap eksekusi (kebijakan eksekutif)

Sudarto sebagaimana dikutip dari Barda Nawawi Arief, mengemukakan tiga arti mengenai

kebijakan kriminal, yaitu :23

a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dari reasksi

terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;

b. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk

didalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi.

c. Dalam arti luas (yang beliau ambil dari Jorgen Jepsen), ialah keseluruhan kebijakan,

yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, bertujuan untuk

menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.

E. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

Masalah penegakan hukum secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum

terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam

kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai

tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan

hidup. Penegakan hukum sebagai suatu proses, pada hakikatnya merupakan penerapan

diskresi yang menyangkut pembuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah

hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi.24

23

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 1.

24

(36)

Sadjipto Raharjo dalam bukunya yang berjudul “Masalah Penegakan Hukum” menyatakan bahwa penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide tentang

kepastian hukum, kemanfaatan hukum sosial dan keadilan menjadi kenyataan.25 Proses perwujudan ide-ide itulah yang merupakan hakikat dari penegakan hukum.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan, bahwa gangguan terhadap penegak hukum

mungkin terjadi, apabila ada ketidak serasian antara nilai-nilai yang berpasangan, yang

menjelma di dalam kaidah-kaidah yang bersimpang siur, dan pola perilaku tidak terarah

yang menggangu kedamaian pergaulan hidup.

Sehubungan dengan pandangan diatas menurut Soerjono Soekanto ada beberapa faktor yang

mempengaruhi penegakan hukum yaitu :26 a. Faktor hukumnya sendiri;

b. Faktor penegak hukum;

c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;

d. Faktor masyarakat; dan

e. Faktor kebudayaan.

Kelima faktor diatas dapat dijadikan sebagai pedoman dalam kebijakan penanggulangan

Kepolisian terhadap tindak pidana pencurian dengan modus memecahkan kaca mobil, dan

akan dijabarkan sebagai berikut :

a. Faktor Hukum (Undang-Undang)

25

Sadjipto Raharjo,Masalah Penegakan Hukum, (Jakarta: Gunung Agung, 1987), hlm. 13. 26

(37)

Gangguan terhadap penegakan hukum yang berasal dari undang-undang disebabkan,

karena :

1) Tidak diikutinya asas-asas berlakunya undang-undang,

2) Belum adanya peraturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkan untuk menerapkan

undang-undang,

3) Ketidakjelasan arti kata-kata yang dipergunakan di dalam undang-undang terkait

perumusan pasal-pasal tertentu, yang mengakibatkan kesimpangsiuran di dalam

penafsiran serta penerapannya.27

b. Faktor Penegak Hukum

Penegak hukum mencakup secara langsung dan tidak langsung di bidang penegakan

hukum. Penegak hukum dibatasi pada kalangan yang secara langsung dalam bidang

penegakan hukum yang tidak hanya mencakuplaw enforcement, akan tetapi juga peace

maintenance. Bahwa kalangan tersebut mencakup mereka yang bertugas di

bidang-bidang kehakiman, kejaksaan, kepolisian, kepengacaraan, dan pemasyarakatan.

Penegak hukum lebih tertuju pada diskresi yang menyangkut pengambilan keputusan

yang tidak sangat terikat oleh hukum, dimana penilaian pribadi juga memegang

peranan.28

c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum

Sarana dan fasilitas mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil,

organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya.

27

Soerjono Soekanto,Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 17-18.

28

(38)

Jika hal-hal tersebut tidak terpenuhi, maka penegakan hukum tidak akan mencapai

tujuannya.

Dengan demikian, bahwa sarana atau fasilitas mempunyai peranan yang sangat penting

di dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut tidak akan

mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang

aktual.29

d. Faktor masyarakat

Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di

dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu, maka masyarakat

dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut.30

Setiap warga masyarakat atau sekelompok, pasti mempunyai permasalahan hukum

seperti taraf kepatuhan hukum yang tinggi, sedang atau rendah. Sebagaimana diketahui,

kesadaran hukum merupakan suatu proses yang mencakup pengetahuan hukum, sikap

hukum dan perilaku hukum.

e. Faktor Kebudayaan

Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari

hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai

apa yang dianggap baik dan yang buruk. Nilai-nilai tersebut, lazimnya merupakan

pasangan nilai-nilai yang mencerminkan dua keadaan ekstrim yang harus diserasikan.

29

Soerjono Soekanto,Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 44.

30

(39)

Pasangan nilai yang berperanan dalam hukum adalah :

1) Nilai ketertiban dan nilai ketentraman,

2) Nilai jasmaniah/kebendaan dan nilai rohaniah/keakhlakan,

3) Nilai kelanggengan/konservatisme dan nilai kebaruan/inovatisme.31

Kelima faktor tersebut merupakan faktor-faktor yang terkait dengan satu sama lain dan

merupakan inti dari sistem penegakan hukum. Jika kelima faktor tersebut ditelaah akan

dapat terungkapkan hal yang berpengaruh terhadap sistem penegakan hukum yang dapat

berdiri sendiri dan saling berhubungan satu dengan lainnya sehingga kebijakan yang

dilakukan oleh aparat penegak hukum dan kesadaran dari masyarakat tentang hukum

dapat berjalan efektif sehingga tindak pidana pencurian dengan modus memcahkan kaca

mobil khususnya di Kota Bandar Lampung dapat dicegah dan tingkat kejahatan

pencurian pecah kaca mobil dapat berkurang.

31

(40)

I. METODELOGI PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan

yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan

masalah yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan, teori-teori, dan

konsep-konsep yang berhubungan dengan penulisan penelitian ini. Sedangkan pendekatan empiris

adalah dengan mengadakan penelitian lapangan, yaitu dengan melihat fakta-fakta yang ada

dalam praktik dan mengenai pelaksanaannya.

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber data dalam penulisan skripsi ini diperoleh dari dua sumber, yaitu data lapangan dan

kepustakaan dengan jenis data :

1. Data Primer

Data empiris yang diperoleh langsung dari sumber data. Sumber data yang dimaksud

dalam penelitian empiris yaitu lokasi penelitian atau tempat dilakukannya penelitian

peristiwa hukum yang terjadi dilokasi penelitian dan responden yang memberikan

informasi kepada peneliti. Data yang diperoleh dari responden-responden yang dalam

hal ini adalah Polresta Bandar Lampung dan Akademisi Hukum dalam hal ini adalah

Dosen Fakultas Hukum Unila.

(41)

adalah data yang diperoleh dengan menelusuri literatur-literatur maupun

peraturan-peratuan dan norma-norma yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas dalam

skripsi ini. Data sekunder dalam penulisan skripsi ini terdiri dari :

a. Bahan Hukum Primer, yaitu :

a) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1986 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun

1958 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

b) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP).

c) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik

Indonesia.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu :

Bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer dan dapat

membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer yaitu : Peraturan

Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana dan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia

Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu :

Bahan hukum penunjang yang mencakup bahan hukum yang memberikan petunjuk

dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang terdiri dari :

(42)

hasil-hasil penelitian para sarjana yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang

dibahas dalam skripsi ini.

C. Penentuan Populasi dan Sampel

Populasi adalah seluruh obyek atau seluruh individu atau gejala atau seluruh kejadian yang

akan diteliti. Karena populasi biasanya sangat besar dan sangat luas, maka tidak mungkin

untuk meneliti seluruh populasi itu. Dalam suatu penelitian sebenarnya tidak perlu untuk

meneliti semua obyek atau semua unit tersebut untuk dapat memberikan gambaran yang

tepat dan benar mengenai keadaan populasi itu, tetapi cukup diambil sebagian saja untuk

diteliti sebagai sampel.1 Populasi dalam penelitian ini adalah anggota polisi di Polresta Bandar Lampung.

Penentuan sampel dalam penelitian ini adalah metode purposive sampling, yaitu suatu

metode pengambilan sampel yang dalam penentuan dan pengambilan anggota sampel

berdasarkan atas pertimbangan maksud dan tujuan penulis yang telah ditetapkan.

Berdasarkan metode sampling di atas, maka yang menjadi responden dalam penelitian ini

sebanyak 5 (lima) orang dengan rincian sebagai berikut :

1) Kasat Reskrim Polresta Bandar Lampung : 1 orang

2) Penyidik Reskrim Polresta Bandar Lampung : 2 orang

3) Dosen Bagian Pidana Fakultas Hukum Unila : 2 orang +

Jumlah : 5 orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1

(43)

1. Pengumpulan data

Pengumpulandata yang digunakan adalah berupa stidi kepustakaan dan studi lapangan.

a. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder, yaitu melakukan

serangkaian studi dokumentasi, dengan cara membaca, mencatat dan mengutip

buku-buku atau referensi yang berhubungan dengan penegakan hukum Pidana terhadap

tindak pidana Pencurian.

b. Studi Lapangan

Studi lapangan dilakukan untuk mendapatkan data primer. Adapun cara

mendapatkan data primer dilakukan dengan cara wawancara (indepth interview)

yang bertujuan untuk memperoleh pendapat dan pemikiran para pihak yang terkait

yang menjadi narasumber dalam penelitian ini, dengan mengajukan pertanyaan yang

telah disiapkan terlebih dahulu dengan mengacu pada masalah yang akan dikaji dan

dilakukan secara langsung dengan responden.

2. Pengolahan Data

a. Editing, yaitu data yang diperoleh dari penelitian diperiksa dan diteliti kembali

mengenai kelengkapan, kejelasan dan kebenarannya, sehingga terhindar dari

kekurangan dan kesalahan;

b. Tabulating, yaitu memuat data yang diperoleh melalui sebuah rangkaian tabel sesuai

dengan data yang diperoleh;

c. Interpretasi, yaitu menghubungkan, membandingkan dan menguraikan data serta

(44)

d. Sistematisasi, yaitu penyusunan data secara sistematis sesuai dengan pokok

permasalahan, sehingga memudahkan analisis data.

E. Analisis Data

Data yang diperoleh dari penelitian ini di analisis dengan menggunakan analisis kualitatif,

yaitu menggambarkan kenyataan-kenyataan yang ada berdasarkan hasil penelitian dengan

menguraikan secara sistematis untuk memperoleh kejelasan dan memudahkan pembahasan.

Selanjutnya berdasarkan hasil analisis data tersebut kemudian ditarik kesimpulan dengan

menggunakan metode induktif, yaitu suatu metode penarik data yang didasarkan pada

fakta-fakta yang bersifat khusus untuk kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat umum guna

(45)

I. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan diatas, maka penulis

dapat menarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Upaya penanggulangan tindak pidana pencurian dengan modus memecahkan kaca mobil

(Studi di Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung) adalah dengan cara yaitu :

a. Upaya Pre-emtif

1) Membuat spanduk/banner yang dipasang di sudut-sudut jalan, mall-mall/pusat

perbelanjaan dan tempat-tempat parkir.

2) Melakukan penyuluhan kepada masyarakat dan jug perpolisian masyarakat.

b. Upaya Preventif

1) Melakukan razia yang termasuk dalam operasi kepolisian yang secara terjadwal

dan kontinyu terus dilakukan oleh kepolisian secara lengkap diantaranya fungsi

Sabhara, Intelijen, Binamitra, Lantas dan Reserse.

2) Mengedepankan fungsi Intelijen sebagai deteksi dini dan melakukan pendataan

terhadap residivis yang baru keluar dari lembaga pemasyarakatan.

3) Dari segi masyarakat untuk lebih berhati-hati dan tidak meninggalkan

(46)

ditekankan dengan kehadiran polisi di tempat-tempat rawan seperti kegiatan

penjagaan dan kegiatan patroli.

c. Upaya Represif

1) Tahap Penyidikan : dimulai dari penyelidikan yaitu olah TKP, mencari dan

mengumpulkan keterangan, barang bukti, identitas tersangka, dan memperoleh

keterangan/informasi dari korban/saksi di TKP, Berita Acara Pemeriksaan

(BAP) dan dilakukan penangkapan dan penyidikan lebih lanjut.

2) Tahap Penuntutan : Jaksa penuntut umum untuk membuat surat dakwaan nya

terhadap terdakwa yang akan diajukan sebagai tuntutan dalam persidangan.

3) Tahap persidangan : Hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara dengan

mempertimbangkan aspek yuridis atau fakta-fakta yang terungkap di

persidangan.

2. Faktor-faktor penghambat dalam upaya penanggulangan tindak pidana pencurian dengan

modus memecahkan kaca mobil di Kota Bandar Lampung, seperti :

a. Faktor hukumnya sendiri : tidak sesuai dengan ancaman hukuman yang tertera di

dalam undang-undang.

b. Faktor penegak hukum :

1) Aspek kualitas, aparat penegak hukum dinilai masih sangat kurang dalam hal

pendidikan yang dimiliki oleh kepolisian.

2) Aspek Kuantitas, aparat penegak hukum tidak seimbang dengan jumlah

penduduk yang ada di kota Bandar Lampung.

d. Faktor sarana atau fasilitas : masih kurangnya sarana mobilitas, transportasi,

(47)

e. Faktor masyarakat : masyarakat merasa enggan dan kurang aktif/keterlambatan

dalam memberikan informasi dan melaporkan setiap terjadinya tindak pidana

pencurian.

f. Faktor kebudayaan : tindakan main hakim sendiri yang dilakukan oleh masyarakat.

B. Saran

1. Pihak kepolisian

a) Agar pihak Kepolisian meningkatkan program sosialisasi kepada masyarakat

mengenai tindak pidana pencurian dengan modus memecahkan kaca mobil.

b) Agar dilakukan kegiatan patroli terpusat dan penambahan personil maupun pos polisi

terhadap daerah-daerah rawan kejahatan pada tempat-tempat keramaian masyarakat

dan tempat-tempat parkir di pusat perbelanjaan.

c) Benar-benar melakukan tindakan yang tegas terhadap pelaku yang diduga melakukan

kejahatan, khususnya kejahatan pencurian pecah kaca mobil.

d) Agar memperhatikan faktor-faktor penghambat dalam upaya penanggulangan tindak

pidana pencurian dengan modus memecahkan kaca mobil di wilayah Polresta Bandar

Lampung

2. Masyarakat

a) Agar masyarakat turut membantu dan bekerja sama dengan pihak kepolisian dalam

menangani kasus yang ditangani pihak Kepolisian.

b) Diharapkan kesadaran dan kerjasama yang baik pada waktu terjadi tindak pidana

(48)
(49)

UPAYA PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN MODUS MEMECAHKAN KACA MOBIL

(Studi di Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung) (Skripsi )

AHMAD DENNI IFFANDI 0542011017

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

Referensi

Dokumen terkait

syarikat di Jerman kerana mereka memberi bantuan modal kepada syarikat- syarikat tersebut... Kesan Revolusi Perindustrian.. KESAN EKONOMI..

• Pemilih SBY lebih banyak yang kompeten, dan karena itu pilihan terhadapnya, dibanding pada tokoh yang lain, bukan karena “ditipu.” Mereka cukup mampu membuat pertimbangan

5 utama atau tokoh tambahan dalam cerita atau karya fiksi, dapat dilakukan dengan. berbagai cara dan pertimbangan,

kepala daerah untuk menghindari besarnya biaya penyelenggaraan pilkada Berapapun biaya yang akan di keluarkan, sangat penting bagi rakyat untuk memilih pemimpin

Hasil uji lanjut pada Tabel 2 menunjukkan bahwa pemberian GA 3 25 ppm dengan interval 4 hari sekali (E) memberikan pengaruh yang lebih baik dan lebih efisien

Cara menentukan tingkat (indeks) validitas kriterium ini ialah dengan menghitung koefisien korelasi antara alat evaluasi yang akan ditentukan validitasnya dengan

Tujuan penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan peningkatan keterampilan menulis puisi dengan pendekatan emotif- imajinatif melalui media audiovisual pada siswa kelas VII C SMP N 2

[r]