• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penilaian Fungsi Fisik Pada Penderita Rematik Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Periode Juni – November 2011

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Penilaian Fungsi Fisik Pada Penderita Rematik Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Periode Juni – November 2011"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

PENILAIAN FUNGSI FISIK PADA PENDERITA REMATIK

DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK

PERIODE JUNI – NOVEMBER 2011

Oleh :

REVATHI SUBRAMANIAM

080100258

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini dilakukan adalah untuk menilai kondisi fungsi fisik pada penderita rematik yang berobat ke Poliklinik Rematologi Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUP HAM).

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan desain cross-sectional. Sampel pada penelitian ini diambil dengan menggunakan teknik consecutive sampling. Perkiraan jumlah sampel pada penelitian ini diambil berdasarkan rumus estimasi proporsi dan diperoleh jumlah sampel sebanyak 97 orang. Hasil penelitian ini dikategorikan menjadi tiga, yaitu fungsi fisik responden tidak terbatas, fungsi fisik responden sedikit terbatas dan fungsi fisik responden terbatas.

Pada akhir penelitian ini, hasil yang diperoleh adalah, lebih dari separuh dari total responden mengalami kesulitan dan keterbatasan ketika melakukan aktivitas seperti jongkok di kamar mandi (64 orang), menaiki 5 anak tangga (64 orang), bekerja di luar rumah (54 orang) dan menggerakkan benda yang berat (57 orang). Ketika melakukan aktivitas seperti berdiri antri selama 15 menit (50 orang), mengangkat benda yang berat (47 orang), dan membungkuk untuk mengambil kain dari lantai (45 orang), kejadian kesulitan atau adanya keterbatasan adalah hampir sama jumlahnya dengan kejadian tidak ada keterbatasan. Lebih dari satu per empat dari total responden mengalami kesulitan dan keterbatasan ketika melakukan aktivitas seperti membuka botol yang belum pernah dibuka (28 orang), berjalan di luar rumah pada tanah yang datar (36 orang), menukar sprai tempat tidur (28 orang), membuka baju/ mengikat tali sepatu (22 orang), dan naik dan turun dari tempat tidur (38 orang). Sementara, hampir semua responden tidak mengalami apa-apa kesulitan ketika melakukan aktivitas seperti menyapu rumah (80 orang), mencuci rambut (90 orang), dan mandi dan keringkan tubuh dengan handuk 87 orang).

Berdasarkan hasil penelitian, didapati bahwa kondisi fungsi fisik pada pasien RSUP HAM adalah sedang.

(3)

ABSTRACT

This research was done to assess the condition of physical function in patients with rheumatic disease who takes treatment in Rheumatology Clinic of Haji Adam Malik Hospital (RSUP HAM).

This research is a descriptive research done with cross-sectional design. The sampel for this research is chosen using the consecutive sampling technique. Total number of samples was counted using the proportion estimation formula. Hence, the total sample needed for this research was 96 people. The results of this research were categorised to 3 categories, which were, respondants physical function is not limited, respondants physical function is slightly limited and respondants physical function is limited.

At the end of this research, the results obtained were, more than half of the total number of respondents had limitations when squatting in the toilet (64 people), climbing up 5 steps (64 people), doing outside work (54 people) and moving heavy object (57 people). The incident of having difficulties and being able to do without difficulty was equal in patients in doing activities such as waiting in a line for 15 minutes (50 people), lifting heavy objects (47 people), and bending down to pick up clothing from the ground (45 people). More than one quarter of total respondents had limitations opening a previously unopened jar (28 people), walking outdoors on flat ground (36 people), change the bedding (28 people), dressing themselves/tying shoelaces (22 people) and getting in and out of bed (38 people). Meanwhile, most respondents did not have any difficulties in doing activities such as sweeping the floor (80 people), shampooing their hair (90 people), and washing and drying their body (87 people).

Based on the research’s results, it is known that physical condition of patients with rheumatic disease in RSUP HAM is moderate.

Key Words: Rheumatic Disease, Physical Function, Osteoarthritis, Rheumatoid

(4)

DAFTAR ISI

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL…... 21

3.1. Kerangka Konsep Penelitian………... 21

3.2. Definisi Operasional….………... 21

BAB 4 METODE PENELITIAN……… 22

4.1. Jenis Penelitian……… 22

4.2. Waktu dan Lokasi Penelitian………... 22

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian………... 23

4.4. Teknik Pengumpulan Data………….………... 24

4.5. Pengolahan dan Analisa Data……….………... 25

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……… 26

(5)

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Responden……… 26

5.1.3. Hasil Analisa Data……….. 28

5.2. Pembahasan……….. 29

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN……….. 33

6.1. Kesimpulan……….... 33

6.2. Saran……….. 33

(6)

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini dilakukan adalah untuk menilai kondisi fungsi fisik pada penderita rematik yang berobat ke Poliklinik Rematologi Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUP HAM).

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan desain cross-sectional. Sampel pada penelitian ini diambil dengan menggunakan teknik consecutive sampling. Perkiraan jumlah sampel pada penelitian ini diambil berdasarkan rumus estimasi proporsi dan diperoleh jumlah sampel sebanyak 97 orang. Hasil penelitian ini dikategorikan menjadi tiga, yaitu fungsi fisik responden tidak terbatas, fungsi fisik responden sedikit terbatas dan fungsi fisik responden terbatas.

Pada akhir penelitian ini, hasil yang diperoleh adalah, lebih dari separuh dari total responden mengalami kesulitan dan keterbatasan ketika melakukan aktivitas seperti jongkok di kamar mandi (64 orang), menaiki 5 anak tangga (64 orang), bekerja di luar rumah (54 orang) dan menggerakkan benda yang berat (57 orang). Ketika melakukan aktivitas seperti berdiri antri selama 15 menit (50 orang), mengangkat benda yang berat (47 orang), dan membungkuk untuk mengambil kain dari lantai (45 orang), kejadian kesulitan atau adanya keterbatasan adalah hampir sama jumlahnya dengan kejadian tidak ada keterbatasan. Lebih dari satu per empat dari total responden mengalami kesulitan dan keterbatasan ketika melakukan aktivitas seperti membuka botol yang belum pernah dibuka (28 orang), berjalan di luar rumah pada tanah yang datar (36 orang), menukar sprai tempat tidur (28 orang), membuka baju/ mengikat tali sepatu (22 orang), dan naik dan turun dari tempat tidur (38 orang). Sementara, hampir semua responden tidak mengalami apa-apa kesulitan ketika melakukan aktivitas seperti menyapu rumah (80 orang), mencuci rambut (90 orang), dan mandi dan keringkan tubuh dengan handuk 87 orang).

Berdasarkan hasil penelitian, didapati bahwa kondisi fungsi fisik pada pasien RSUP HAM adalah sedang.

(7)

ABSTRACT

This research was done to assess the condition of physical function in patients with rheumatic disease who takes treatment in Rheumatology Clinic of Haji Adam Malik Hospital (RSUP HAM).

This research is a descriptive research done with cross-sectional design. The sampel for this research is chosen using the consecutive sampling technique. Total number of samples was counted using the proportion estimation formula. Hence, the total sample needed for this research was 96 people. The results of this research were categorised to 3 categories, which were, respondants physical function is not limited, respondants physical function is slightly limited and respondants physical function is limited.

At the end of this research, the results obtained were, more than half of the total number of respondents had limitations when squatting in the toilet (64 people), climbing up 5 steps (64 people), doing outside work (54 people) and moving heavy object (57 people). The incident of having difficulties and being able to do without difficulty was equal in patients in doing activities such as waiting in a line for 15 minutes (50 people), lifting heavy objects (47 people), and bending down to pick up clothing from the ground (45 people). More than one quarter of total respondents had limitations opening a previously unopened jar (28 people), walking outdoors on flat ground (36 people), change the bedding (28 people), dressing themselves/tying shoelaces (22 people) and getting in and out of bed (38 people). Meanwhile, most respondents did not have any difficulties in doing activities such as sweeping the floor (80 people), shampooing their hair (90 people), and washing and drying their body (87 people).

Based on the research’s results, it is known that physical condition of patients with rheumatic disease in RSUP HAM is moderate.

Key Words: Rheumatic Disease, Physical Function, Osteoarthritis, Rheumatoid

(8)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penyakit rematik (rheumatism) merupakan suatu kondisi yang menyakitkan, yang mengefek berjutaan orang. Terdapat lebih dari 100 jenis penyakit rematik,

antaranya adalah, osteoartritis, rheumatoid artritis, spondiloartritis, gout, lupus

eritematosus sistemik, skleroderma, fibromialgia, dan lain-lain lagi. Penyakit ini

menyebabkan inflamasi, kekakuan, pembengkakan, dan rasa sakit pada sendi, otot,

tendon, ligamen, dan tulang. Berdasarkan penelitian oleh Centers for Disease Control and Prevention, menunjukkan bahwa 33% (69.9 juta) daripada populasi Amerika Serikat mengeluhkan penyakit artritis atau penyakit sendi (Cush, J.J. dan

Lipsky, P.E., 2005).

Penyakit rematik ini merupakan suatu sebab sering terjadinya keterbatasan

aktivitas jika dibandingkan dengan penyakit jantung, kanker atau diabetes. Menurut

Eustice (2007), berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Centers for Disease Control and Prevention (2007), 38% (17 juta) penderita penyakit rematik di Amerika Serikat mengeluhkan keterbatasan fungsi fisik akibat daripada

penyakitnya. Sementara, berdasarkan hasil penelitian terakhir dari Qing, Y.Z.,

(2008) prevalensi nyeri rematik di beberapa negara asean adalah, 26.3%

Bangladesh, 18.2% India, 23.6-31.3% Indonesia, 16.3% Filipina, dan 14.9%

Vietnam. Dari data yang didapati ini, bisa dikatakan bahwa, negara Indonesia

mempunyai prevalensi nyeri rematik yang cukup tinggi dimana keadaan seperti ini

dapat menurunkan produktivitas negara akibat daripada keterbatasan fungsi fisik

penderita yang mengefek kualitas hidupnya.

Keterbatasan fungsi fisik adalah suatu kondisi dimana seseorang tidak dapat

atau mengalami kesukaran untuk melakukan aktivitas hariannya (AHRQ).

Keterbatasan fungsi fisik yang sering terjadi pada penderita rematik adalah pada

(9)

antara istirahat dan olahraga menjadi sangat penting untuk mempertahankan kondisi

fungsi fisik yang optimal. Kondisi fungsi fisik penderita rematik seharusnya dinilai

dengan menghitung skor kuesioner yang diisi oleh pasien sebelum memasuki ruang

pemeriksaan pada setiap kunjungan. Walau bagaimanapun, kebanyakkan ahli

rematologi tidak melakukan hal ini akibat daripada kesibukkan praktek rematologi

klinis. (Bruce, B., et al., 2009)

Menurut Pincus dan Tugwell (2007), pengamatan dalam perawatan klinis

oleh seorang individu atau satu kelompok kecil dokter dalam permulaan penyakit

rematik, dapat menunjukkan disabilitas kerja dan mortalitas prematur, ketiadaan

remisi jangka panjang dan status pasien yang lebih baik. Laporan dari perawatan

klinis standar adalah sangat tinggi oleh data kuantitatif, yang dikumpul oleh calon

dan digunakan untuk analisis kemudiannya untuk memberikan bukti. Maka,

pendekatan paling pragmatis untuk memperkenalkan penilaian kuantitatif dalam

perawatan rematologi standard adalah dengan menyuruh setiap pasien untuk

mengisi kuesioner pada setiap kunjungan.

1.2. Rumusan Masalah

Bagaimanakah keadaan atau kondisi fungsi fisik pada penderita rematik?

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Untuk menilai fungsi fisik pada penderita rematik yang berobat ke

Poliklinik Rematologi Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUP

HAM).

1.3.2. Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:

(10)

2. Mengidentifikasi karakteristik penyakit rematik (sendi-sendi yang

terlibat, manifestasi klinis, kondisi yang memperburuk penyakit dan

fungsi fisik pasien).

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk:

1. Dapat memberikan pengalaman, pengetahuan dan informasi yang lebih

mendalam tentang penyakit rematik.

2. Diharapkan pihak responden dapat mengetahui keadaan atau kondisi

fungsi fisik akibat penyakit yang diderita.

3. Diharapkan hasil penelitian dapat digunakan untuk penelitian

selanjutnya tentang penyakit rematik.

4. Diharapkan dapat membantu dalam penanganan dan peningkatan

(11)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penyakit Rematik

Penyakit rematik meliputi cakupan luas dari penyakit yang

dikarakteristikkan oleh kecenderungan untuk mengefek tulang, sendi, dan jaringan

lunak (Soumya, 2011). Penyakit rematik dapat digolongkan kepada 2 bagian, yang

pertama diuraikan sebagai penyakit jaringan ikat karena ia mengefek rangka

pendukung (supporting framework) tubuh dan organ-organ internalnya. Antara penyakit yang dapat digolongkan dalam golongan ini adalah osteoartritis, gout, dan

fibromialgia. Golongan yang kedua pula dikenali sebagai penyakit autoimun karena

ia terjadi apabila sistem imun yang biasanya memproteksi tubuh dari infeksi dan

penyakit, mulai merusakkan jaringan-jaringan tubuh yang sehat. Antara penyakit

yang dapat digolongkan dalam golongan ini adalah rheumatoid artritis,

spondiloartritis, lupus eritematosus sistemik dan skleroderma. (NIAMS, 2008)

2.1.1. Osteoartritis

Osteoartritis (OA) merupakan suatu penyakit yang berkembang dengan

perlahan tetapi merupakan penyakit aktif degenerasi kartilago artikular yang

berhubungan dengan simptom-simptom seperti nyeri sendi, kekakuan, dan

keterbatasan pergerakkan (Dubey, S., & Adebajo, A., 2008). OA membutuhkan

pertimbangan dari 3 area yang bertumpang tindih, yaitu, perubahan patologis,

ciri-ciri radiologi dan konsekwensi klinis. Secara patologis, terjadi perubahan dalam

struktur kartilago, secara radilogi, terdapat osteofit dan terjadi penyempitan ruang

sendi, dan secara klinis pula terjadi ketidakmampuan dan nyeri. (Kumar, P., &

Clark, M., 2005) OA dapat terjadi pada semua sendi dalam tubuh, tetapi paling

(12)

Epidemiologi

OA merupakan penyakit dengan prevalensi yang tertinggi dalam kelompok

masyarakat kita dan penyebab kedua tersering dalam ketidakmampuan pada orang

tua di negara-negara barat. Prevalensi OA meningkat dengan usia karena kondisi

yang tidak reversible. Pada usia kurang dari 45 tahun, laki-laki lebih rentan kena

penyakit ini jika dibandingkan dengan wanita, tetapi wanita lebih rentan kena OA

pada usia lebih dari 55 tahun. Pada dekad seterusnya, didapati kasus OA akan

semakin meningkat akibat daripada peningkatan orang usia lanjut, obesitas, dan

kurangnya kebiasaan berolahraga. (Dubey, S., Adebajo, A., 2008).

Etiologi

OA primer penyebabnya tidak diketahui. OA sekunder pula penyebabnya

adalah karena kerusakan sendi yang ada sebelumnya (artritis rematik, gout, artritis

sepsis, penyakit Paget, spondiloartropati seronegatif), penyakit metabolik

(kondrokalsinosis, hemokromatosis bawaan, akromegali) dan penyakit sistemik

(hemofilia, hemoglobinopati, neuropati). (Kumar, P., & Clark, M., 2005)

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis yang sering dapat dilihat adalah, nyeri sendi, kekakuan

sendi selepas tidak bergerak (terutamanya pada waktu pagi), sendi yang tidak stabil,

kehilangan fungsi, kelembutan pada sendi (joint tenderness), krepitus pada pergerakkan, pergerakkan terbatas, tahap inflamasi yang bervariasi, dan

pembengkakan tulang. (Kumar, P., & Clark, M., 2005)

Diagnosis

Diagnosis OA biasanya berdasarkan tanda-tanda klinis dan radiogafi. Pada

tahap awal, radiografinya bisa normal tetapi penyempitan ruang sendi tampak nyata

apabila kartilago artikuler semakin menghilang. Selain itu, karakteristik yang dapat

(13)

Tetapi, biasanya dapat ditemukan perbedaan yang besar diantara tingkat keparahan

radiografi, tingkat keparahan simptom, dan abilitas fungsional.

Pemeriksaan laboratorium biasanya tidak digunakan untuk mendiagnosa

OA, tetapi pemeriksaan ini dapat membantu untuk menentukan penyebab OA

sekunder. Oleh karena OA primer bukan sistemik, laju endap darah, serum kimia,

dan urinalisis adalah normal. Analisa cairan sinovial dapat membantu

menyingkirkan kemungkinan lain seperti gout atau artritis sepsis. Pemeriksaan MRI

dan ultrasonografi tidak digunakan untuk mendiagnosa OA ataupun untuk

pemantauan perkembangan penyakit. (Fauci, A.S., & Langford, C.A., 2006)

Penatalaksanaan

Tujuan utama dalam penatalaksanaan OA adalah untuk mengurangkan

nyeri, memperbaiki mobilitas, dan meminimalkan disabilitas. Pada penderita

dengan OA ringan, proteksi sendi dan pengambilan analgesik sekali-kali menjadi

cukup; tetapi untuk pasien dengan OA berat, gabungan terapi non-farmakologi dan

suplemen analgesik dan/atau obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) adalah lebih

sesuai. Walau bagaimanapun, terapi non-farmakologis merupakan penatalaksanaan

yang paling penting, malah lebih penting dari terapi dengan obat-obatan.

Non-farmakologi

Secara non-farmakologi, tatalaksana yang dapat dilakukan adalah dengan

cara mengurangkan beban pada sendi (memperbaiki postur tubuh yang salah, beban

berlebihan pada sendi yang terlibat harus dihindarkan, pasien OA pinggul/lutut

harus hindarkan berdiri lama, berlutut dan jongkok, dan istirahat secukupnya tanpa

imobilisasi total). Selain itu, dilakukan modalitas termis dengan aplikasi panas pada

sendi OA atau mandi dengan air hangat. Pasien juga disuruh berolahraga. Untuk

OA pada ekstremitas bawah, dilakukan olahraga sedang 3 hari per minggu.

Seterunya diberikan edukasi pada pasien (edukasi tentang manejemen diri,

(14)

sendi yang terlibat). Operasi artroskopi pula dilakukan jika tidak ada manfaat

daripada terapi farmakologi.

Farmakologi

Obat yang sering diresepkan untuk pasien OA adalah OAINS untuk

mengurangkan nyeri dan memperbaiki mobilitas dalam OA, N-Acetyl-P-Aminophenol (APAP) sebagai anlagesik untuk nyeri OA ringan sampai sedang (efektivitas sama seperti OAINS), dan inhibitor selektif COX-2 jika terjadi efek

samping gastrointestinal dengan penggunaan OAINS. Injeksi glukokortikoid

diinjeksi intra/ periartikuler untuk kelegaan simptomatis untuk beberapa minggu

hingga bulan. Opiod diberikan pada nyeri OA akut. Diberi opioid lemah (kodein

peroral) jika APAP atau OAINS tidak memberikan manfaat dan dapat juga

digunakan untuk nyeri OA kronis. Rubefacient/Capsaicin merupakan obat topical

pada sendi dan otot yang nyeri yang memberikan bahang local. Operasi ortopedik

yaitu operasi penggantian sendi dilakukan pada OA tahap lanjut dimana terapi

agresif gagal. Selain itu, bisa juga dilakukan artoplasti sendi total atau osteotomi.

Regenerasi kartilago adalah perbaikan kartilago dengan sel mesenchymal

(efektivitas belum dibuktikan). (Fauci, A.S., & Langford, C.A., 2006)

2.1.2. Reumatoid Artritis

Reumatoid artritis (RA) merupakan suatu penyakit autoimun dimana

etiologinya tidak diketahui dan biasanya mengefek sendi kecil dan besar. (Dubey,

S., & Adebajo, A., 2008).

Epidemiologi

Kira-kira 20% dari pasien, onset RA adalah akut. Beberapa pasien akan rasa

tidak enak untuk beberapa bulan, tetapi yang lain mengalami disabilitas yang parah.

Remisi spontan bisa terjadi, tetapi jika penyakit berlanjutan lebih dari 2 tahun, maka

(15)

Etiologi

RA mungkin merupakan suatu manifestasi dari respon terhadap suatu agen

infeksi dalam individu yang rentan terkena secara genetik (genetically susceptible host). Agen-agen yang mungkin menjadi penyebab adalah Mycoplasma, virus Epstein-Barr (EBV), cytomegalovirus, parvovirus, dan rubella. (Fauci, A.S., &

Langford, C.A., 2006)

Manifestasi Klinis

Tanda-tanda kardinal pada penyakit RA adalah nyeri, pembengkakan,

kekakuan pagi (biasanya lebih dari satu jam), hangat, kemerahan, dan keterbatasan

fungsi. Tanda-tanda tambahan pula adalah malaise, kelelahan, nodul rheumatoid,

dan nyeri pada waktu malam. Apabila penyakit RA ini berlanjutan, tanda-tanda

sinovitis kronis menjadi lebih dominan. Sinovitis kronis dengan proliferasi sinovial

atenden dan efusi sendi dapat membawa kepada instabilitas sendi. Pada masa yang

sama, pannus destruktif memusnahkan kartilago dan tulang subkondral yang

menyebabkan terjadinya deformitas sendi. (Dubey, S., Adebajo, A., 2008).

Diagnosis

RA didiagnosis berdasarkan kombinasi dari penyajian sendi yang terlibat,

karakteristik kekakuan sendi pada pagi hari, adanya faktor darah artritis, serta

temuan nodul reumatoid dan perubahan radiografi (sinar-X). Dalam RA, sendi kecil

tangan, pergelangan tangan, kaki, dan lutut biasanya meradang dalam distribusi

simetris. Deteksi nodul reumatoid pula paling sering sekitar siku dan jari. Antibodi

abnormal yang disebut “faktor rematik”, dapat ditemukan pada 80% pasien.

Antibodi lain yang disebut “antibodi citrulline” dan “antibodi antinuklear” (ANA)

juga sering ditemukan pada orang dengan RA. Biasanya tes darah yang dilakukan

adalah laju sedimentasi (Tingkat sed). Tingkat sed biasanya lambat selama

remisi. Tes darah lain yang digunakan adalah untuk mengukur tingkat hadir

peradangan dalam tubuh dengan protein C-reaktif . Tes darah juga dapat

(16)

peradangan kronis. Apabila penyakit berlanjutan sinar-X dapat memperlihatkan

erosi tulang yang khas dari RA pada sendi. (Shiel, W.C., 2010)

Penatalaksanaan

Pengobatan yang optimal adalah kombinasi obat, istirahat, latihan penguatan

sendi, perlindungan sendi, dan edukasi pasien (dan keluarga). Obat yang digunakan

untuk mengobati RA ada 2 jenis, yaitu obat lini pertama yang cepat bertindak

seperti aspirin dan kortison (kortikosteroid) digunakan untuk mengurangi rasa sakit

dan peradangan. Obat lini kedua yang lambat bertindak (juga disebut sebagai

disease-modifying antirheumatic drugs atau DMARDs) seperti emas, metotrexete, dan hidrokloroquine, dapat mempromosikan remisi penyakit dan mencegah

terjadinya kerusakan sendi yang progresif. (Shiel, W.C., 2010)

2.1.3. Spondiloartritis

Spondiloartritis (atau spondiloartropati) adalah nama keseluruhan suatu

penyakit rematik dengan peradangan yang dapat mempengaruhi tulang belakang

dan sendi, ligamen dan tendon. Penyakit tersebut dapat menyebabkan kelelahan dan

nyeri atau kekakuan di punggung, leher, tangan, lutut, dan pergelangan kaki serta

peradangan mata, kulit, paru-paru, dan katup jantung. Penyakit yang termasuk

dalam spondiloartritis dapat mencakup, ankilosing spondilitis, reaktif artritis, artritis

psoriatis dan spondilitis psoriasis, dan artritis atau spondilitis yang berkaitan dengan

penyakit inflamasi usus, kolitis ulseratif dan Crohn's disease. (Reveille, J.D., 2010)

Epidemiologi

Spondiloartritis cenderung berdampak mereka yang remaja dan 20-an, dan

pria muda dua sampai tiga kali lebih sering daripada wanita muda. Anggota

keluarga pasien dengan spondiloartritis mempunyai risiko tertinggi tertular penyakit

(17)

Etiologi

Penyebab pasti spondiloartritis tidak diketahui. Namun, para peneliti

menunjukkan bahwa faktor keturunan memainkan peranan penting karena penyakit

ini cenderung terjadi lebih sering pada anggota keluarga pasien yang mempunyai

spondiloartritis. Orang yang biasanya terdampak penyakit ini mempunyai penanda

genetik umum yang disebut HLA-B27, yang terjadi pada sekitar tujuh persen dari

populasi. Infeksi seperti klamidia (yang dapat menyebabkan uretritis atau rasa

terbakar saat buang air kecil) dan bakteri yang menyebabkan disentri usus (seperti

salmonella, shigella, dll), bisa memicu beberapa jenis artritis reaktif yang

merupakan bentuk spondiloartritis. (Reveille, J.D., 2010)

Manifestasi Klinis

Penyakit ini bermula dengan nyeri pinggul atau nyeri punggung bawah yang

tidak menetap dan memburuk di malam hari, di pagi hari, atau setelah tidak

aktif. Nyeri punggung tersebut mungkin mulai pada sendi sakroiliaka (antara

panggul dan tulang belakang) dan melibatkan semua atau sebagian tulang

belakang. Nyeri dapat hilang dengan membungkuk dan pasien mungkin tidak dapat

mengembangkan dada sepenuhnya karena keterlibatan sendi antara tulang

rusuk. Gejala spesifik termasuk, pembungkukkan yang kronis untuk meredakan

gejala, peradangan mata, kelelahan, tumit kaki sakit, nyeri dan kekakuan pinggang,

rasa sakit dan bengkak pada sendi bahu, lutut, dan pergelangan kaki, kehilangan

nafsu makan, sakit leher, dan demam. (Reveille, J.D., 2010)

Diagnosis

Diagnosa dibuat berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik pada nyeri

punggung yang terinflamasi atau artritis sendi kaki karena ia berbeda dari artritis

jenis lain seperti RA. Pengujian tambahan seperti sinar-X dari sendi sakroiliaka dan

tulang belakang dapat mengkonfirmasi kehadiran spondilitis. Jika gejala dan

tanda-tanda menunjukkan spondiloartritis, dokter juga akan memeriksa keberadaan gen

(18)

Penatalaksanaan

Seperti berbagai bentuk artritis, terapi fisik dan olahraga rekreasi minimal 30

menit per hari secara signifikan dapat memperbaiki rasa sakit dan

kekakuan. Latihan tambahan untuk punggung setidaknya lima hari per minggu juga

akan memperbaiki rasa sakit dan fungsi pada pasien dengan ankilosing spondilitis.

Ada banyak pilihan pengobatan untuk spondiloartropati, dimulai dengan

OAINS seperti naproxen, diklofenak, ibuprofen atau indometasin yang diberikan

pada gejala awal penyakit. DMARD seperti sulfasalazine dan methotrexate telah

terbukti efektif dalam mengobati artritis di lengan atau kaki, tetapi tidak untuk

artritis tulang belakang atau sendi sakroiliaka. Suntikan obat depo-steroid ke dalam

sendi atau selubung tendon sering digunakan oleh dokter untuk mengurangi

gejala-gejala flare lokal.

Antibiotika seperti siprofloksasin, diberikan selama tiga bulan saja, segera

setelah bermulanya penyakit, mungkin memiliki efek yang menguntungkan pada

prognosis artritis reaktif, terutama bila dipicu olehChlamydia trachomatis,tapi bukan untuk spondiloartritis jenis lain. TNF alfa bloker telah terbukti cukup efektif

dalam mengobati kedua-dua gejala sendi perifer dan tulang belakang dari

spondiloartritis, serta masalah lain seperti psoriasis dan peradangan usus. Ada tiga

jenis yaitu, infliximab, etanercept, dan adalimumab. Oleh karena efek samping

anti-TNF, OAINS dan terapi DMARD dicoba terlebih dahulu.

Bagi mereka dengan ankilosing spondilitis, penggantian panggul total

adalah yang paling umum. Fusi bedah tulang belakang mungkin diperlukan jika

fungsi tulang belakang atau fungsi saraf terganggu. Osteotomi pula adalah koreksi

bedah dari deformitas tulang belakang yang dapat terjadi dengan ankilosing

spondilitis. (Reveille, J.D., 2010)

2.1.4. Gout

Gout adalah penyakit yang berhasil dari kelebihan asam urat dalam tubuh.

(19)

sendi, ia menyebabkan serangan berulang dari peradangan sendi (artritis). Biasanya

endapan kristal asam urat terjadi dalam cairan sendi (cairan sinovial) dan lapisan

sendi (lapisan sinovial). Gout dianggap sebagai penyakit kronis dan progresif. Gout

kronis juga bisa menyebabkan endapan gumpalan keras asam urat dalam jaringan,

khususnya di dan sekitar sendi dan dapat menyebabkan kerusakan sendi, penurunan

fungsi ginjal, dan batu ginjal (nefrolisiasis).

Epidemiologi

Lebih sering terjadi pada pria dibandingkan wanita. Hal ini terutama

menyerang pria setelah pubertas, dengan usia puncak 75. Pada wanita, serangan

gout biasanya terjadi setelah menopause. Banyak pasien dengan hyperuricemia

tidak mengembangkan gout (hyperuricemia asimtomatik), sementara beberapa

pasien dengan serangan gout berulang mempunyai kadar asam urat darah yang

normal atau rendah. Di antara penduduk laki-laki di Amerika Serikat, sekitar 10%

memiliki hyperuricemia. Namun, hanya sebagian kecil dari mereka yang

benar-benar akan mengembangkan gout.

Etiologi

Penyakit gout sering berhubungan dengan kelainan yang diwarisi dalam

kemampuan tubuh untuk memproses asam urat. Asam urat merupakan produk

rincian purin yang merupakan bagian dari makanan yang kita makan. Kelainan

dalam menangani asam urat dapat menyebabkan serangan artritis yang menyakitkan

(serangan gout), batu ginjal, dan penyumbatan pada penyaringan tubulus ginjal

dengan kristal asam urat, menyebabkan gagal ginjal.

Manifestasi klinis

Sendi kecil di pangkal jempol kaki adalah situs yang paling umum dari

serangan artritis gout akut yang disebut sebagai podagra. Sendi lain yang umumnya

terkena termasuk pergelangan kaki, lutut, pergelangan tangan, jari, dan siku.

(20)

terkena diikuti oleh kehangatan, pembengkakan, perubahan warna kemerahan, dan

kelembutan. Pasien dapat mengembangkan demam dengan serangan gout

akut. Serangan-serangan yang menyakitkan biasanya mereda dalam beberapa jam

ke hari, dengan atau tanpa pengobatan. Kebanyakan pasien dengan gout akan

mengalami serangan berulang dari arthritis selama bertahun-tahun. Dalam kronis

(tophaceous) gout, massa nodular kristal asam urat (tofi) mengendap di daerah jaringan lunak tubuh yang berbeda. Meskipun yang paling sering ditemukan sebagai

nodul keras di sekitar jari-jari, di ujung siku, di telinga, dan sekitar jempol kaki,

nodul tofi dapat muncul di mana saja di tubuh. Ketika tofi muncul di jaringan,

kondisi gout mewakili kelebihan beban asam urat dalam tubuh.

Diagnosis

Gout dicurigai ketika pasien melaporkan riwayat serangan artritis yang

menyakitkan, terutama di dasar jari-jari kaki. Gout biasanya menyerang satu sendi

pada satu waktu, sementara kondisi artritis lainnya, seperti lupus sistemik dan

reumatoid artritis, biasanya menyerang sendi secara bersamaan. Tes yang paling

diandalkan untuk gout adalah penemuan kristal asam urat dalam sampel dari cairan

sendi yang diperoleh melalui aspirasi sendi (arthrocentesis). Diagnosis gout juga dapat dibuat dengan menemukan kristal-kristal asam urat dari bahan diaspirasi dari

nodular tofi. Sinar-X kadang-kadang bisa membantu dan bisa menunjukkan

pengendapan tofi-kristal dan kerusakan tulang sebagai akibat serangan berulang

dari peradangan. Sinar-X juga dapat membantu untuk memantau dampak gout

kronis pada sendi.

Penatalaksanaan

Menjaga asupan cairan yang cukup membantu mencegah serangan gout akut

dan menurunkan resiko pembentukan batu ginjal pada pasien dengan

gout. Pengurangan konsumsi alkohol, penurunan berat badan, perubahan pola

(21)

yaitu dengan menghambat ekskresi asam urat dari ginjal serta dengan menyebabkan

dehidrasi, yang keduanya memberikan kontribusi pada pengendapan kristal asam

urat pada sendi dengan mengefek metabolisme asam urat.

Ada tiga aspek untuk pengobatan asam urat dengan obat-obatan. Pertama,

penghilang rasa sakit seperti asetaminofen (Tylenol) atau analgesik lain yang lebih

kuat digunakan untuk mengatasi rasa sakit. Kedua, agen anti-inflamasi

seperti OAINS, colchicine , dan kortikosteroid digunakan untuk mengurangi

peradangan sendi. Akhirnya, obat dipertimbangkan untuk mengelola kekacauan

metabolisme kronis yang menyebabkan hiperurisemia dan asam urat. Probenesid

(Benemid) dan sulfinpirazone (Anturane) adalah obat-obat yang biasa digunakan

untuk mengurangi kadar asam urat darah dengan meningkatkan ekskresi asam urat

ke dalam urin. Tetapi, obat penurun asam urat seperti alopurinol dan febuxostat

umumnya tidak dimulai pada pasien yang mengalami serangan akut gout karena

dapat memperburuk peradangan akut. Obat intravena baru yang digunakan untuk

menurunkan kadar asam urat darah pada pasien tertentu dengan gout kronis adalah

pegylated uricase. Obat infus ini harus dipertimbangkan hanya untuk pasien-pasien dengan gout yang telah gagal pengobatan dengan obat-obat penurunan asam urat

konvensional karena dapat menyebabkan reaksi anafilaksis dan reaksi infus. (Shiel,

W.C., 2010)

2.1.5. Lupus Eritematosus Sistemik (LES)

Lupus adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan peradangan akut dan

kronis dari berbagai jaringan tubuh. Orang dengan lupus memproduksi antibodi

abnormal dalam darah mereka yang menargetkan jaringan dalam tubuh mereka

sendiri daripada agen infeksi asing. Karena antibodi dan sel-sel yang menyertai

peradangan dapat mempengaruhi jaringan di mana saja di tubuh, lupus memiliki

potensi untuk mempengaruhi berbagai area. Lupus dapat menyebabkan penyakit

hati, kulit, sistem paru-paru, ginjal, sendi, dan/atau sistem saraf. Ketika hanya kulit

yang terlibat, kondisi ini disebut dermatitis lupus atau lupus eritematosus kulit.

(22)

disebut lupus discoid. Ketika organ-organ internal yang terlibat, kondisi ini disebut

sebagai LES. (Shiel, W.C., 2010)

Epidemiologi

Baik lupus diskoid dan sistemik adalah lebih umum pada wanita dibanding

pria (sekitar delapan kali lebih umum). Penyakit ini dapat mempengaruhi semua

umur namun paling sering dimulai 20-45 tahun.Statistik menunjukkan bahwa lupus

agak lebih sering pada Amerika Afrika dan orang-orang keturunan Cina dan

Jepang. (Shiel, W.C., 2010)

Etiologi

Alasan yang tepat untuk autoimun yang abnormal yang menyebabkan lupus

masih belum diketahui. Tetapi diduga gen yang diwariskan, virus, sinar ultraviolet,

dan obat tertentu mungkin memainkan peran. Beberapa ilmuwan percaya bahwa

sistem imun pada lupus lebih mudah distimulasi oleh faktor eksternal seperti virus

atau sinar ultraviolet. Kadang-kadang, gejala lupus dapat dipercepat atau diperburuk

hanya dengan periode singkat paparan sinar matahari. Hal ini juga diketahui bahwa

beberapa wanita dengan LES dapat mengalami perburukan gejala sebelum mereka

menstruasi. Fenomena ini, bersama dengan dominasi LES pada wanita,

menyarankan bahwa hormon-hormon wanita memainkan peran penting dalam

ekspresi dari LES. Baru-baru ini, penelitian telah menunjukkan bukti bahwa suatu

kunci kegagalan enzim untuk membuang sel-sel mati dapat berkontribusi pada

pengembangan LES. Enzim DNase1, umumnya mengeliminasi apa yang disebut

“sampah DNA” dan puing-puing sel-sel lainnya dengan menjadikannya

fragmen-fragmen kecil untuk memudahkan pembuangan. Jadi, mutasi genetik dalam gen

yang dapat mengganggu pembuangan limbah selular tubuh mungkin terlibat dalam

(23)

Manifestasi klinis

Hampir semua orang dengan LES mempunyai nyeri sendi dan

bengkak. Beberapa pasien mengembangkan artritis. Sering sendi yang terkena

adalah jari-jari, tangan, pergelangan tangan, dan lutut. Gejala umum lainnya

termasuk nyeri dada saat mengambil napas dalam, kelelahan, demam tanpa

penyebab lain, ketidaknyamanan, kegelisahan, atau perasaan sakit (malaise), rambut

rontok, sensitivitas terhadap sinar matahari, pembesaran kelenjar getah bening, dan

ruam kulit yang tampak seperti "kupu-kupu" pada pipi dan jembatan hidung

mempengaruhi sekitar setengah dari orang dengan LES. Ruam ini semakin

memburuk di sinar matahari juga dapat meluas. Gejala lain tergantung pada bagian

tubuh apa yang terkena. Jika otak dan sistem saraf yang terkena maka gejalanya

adalah sakit kepala, kelainan kognitif, parastesia atau nyeri di lengan atau kaki,

perubahan kepribadian, psikosis, risiko stroke, kejang, dan permasalahan

penglihatan. Jika saluran pencernaan, nyeri perut, mual, dan muntah. Pada jantung,

irama jantung akan menjadi abnormal (aritmia). LES pada ginjal meyebabkan darah

dalam urin. Jika pada paru-paru, batuk darah dan kesulitan bernafas akan terjadi.

Pada kulit, warna kulit merata dan jari-jari berubah warna saat dingin (fenomena

Raynaud’s). (Borigini, M.J., 2010)

Diagnosis

Diagnosis LES adalah berdasarkan pada ciri khas dari penyakit. Pasien

harus ada paling tidak 4 dari 11 ciri khas dari penyakit. Biasanya akan diauskultasi

untuk mendengarkan suara heart friction rub atau pleural friction rub. Selain itu, ujian neurologis juga akan dilakukan. Tes yang digunakan untuk mendiagnosa LES

dapat meliputi tes antibodi (ANA panel, Anti-double strand (ds) DNA, Antiphospholipid antibody, dan Anti-Smith antibody), dan CBC (complete blood count) untuk menunjukkan jumlah sel darah putih, hemoglobin, atau platelet. Selain itu, sinar-X dada untuk menunjukkan pleuritis atau perikarditis. Juga dilakukan

biopsy ginjal dan pemeriksaan urin untuk menunjukkan darah atau protein dalam

(24)

Penatalaksanaan

Tidak ada obat untuk LES tetapi pengobatan ditujukan untuk mengontrol

gejala berdasarkan gejala individual. Penyakit ringan yang melibatkan ruam, sakit

kepala, demam, artritis, pleuritis, dan perikarditis tidak memerlukan terapi banyak.

Biasanya OAINS digunakan untuk mengobati rematik dan pleuritis. Krim

kortikosteroid digunakan untuk mengobati ruam kulit. Obat antimalaria

(hidroksiklorokuin) dan kortikosteroid dosis rendah kadang-kadang digunakan

untuk gejala kulit dan artritis. Kortikosteroid atau obat untuk mengurangi respon

sistem kekebalan tubuh mungkin diresepkan untuk mengontrol gejala lain. Obat

sitotoksik (obat yang menghambat pertumbuhan sel) digunakan untuk mengobati

orang yang tidak merespon dengan baik terhadap kortikosteroid, atau yang tidak

dapat berhenti mengkonsumsi kortikosteroid tanpa gejala mereka semakin buruk.

Secara non farmakologi, pasien disuruh memakai pakaian pelindung, kacamata

hitam, dan tabir matahari ketika di bawah sinar matahari. (Borigini, M.J., 2010)

2.1.6. Fibromialgia

Fibromialgia dikarakteristikan dengan nyeri muskuloskeletal kronis,

kekakuan, parastesia, gangguan tidur dan cepat lelah yang terdistribusi dengan luas

dan simetris. Fibromialgia mengefek wanita dengan rasio 9 dibanding 1. Penyakit

ini ditemukan pada kebanyakkan negara, kebanyakkan suku, dan di semua jenis

iklim.

Penyakit ini didiagnosis dengan riwayat nyeri muskuloskeletal yang ada

paling tidak selama 3 bulan dan mempunyai kelembutan atau nyeri pada 11

daripada 18 area kelembutan sewaktu palpasi digital dilakukan. Langkah awal

dalam penatalaksanaan adalah untuk memperbaiki kualitas tidur pasien. Kemudian

depresi dan anxietas diobati dengan serotonin/ norepinephrine reuptake inhibitor.

Terapi lain seperti hipnoterapi dan manegemen stress turut membantu pasien.

(25)

2.1.7. Skleroderma

Skleroderma merupakan penyakit kronis multisistem dimana etiologinya

masih belum diketahui. Secara klinis, dikarakteristikkan dengan penebalan kulit

yang disebabkan oleh akumulasi jaringan ikat dan abnormalitas struktur dan

fungsional pada organ viseral, termasuk saluran pencernaan, paru-paru, jantung, dan

ginjal. Antara manifestasi klinis yang terdapat pada penyakit ini adalah fenomenon

Raynaud, penebalan kulit, kalsinosis subkutan, artralgias, miopati, dismotilitas

esofageal, fibrosis pulmonal, gagal jantung kongestif, dan krisis renal.

Penyakit skleroderma mempunyai distribusi di seluruh dunia dan mengefek

semua suku kaum. Onset bagi penyakit ini biasanya pada masa anak-anak dan pria

usia muda. Insidensi semakin meningkat pada usia lanjut, dimana puncak

maksimumnya ada pada usia 30-50 tahun. Wanita, secara keseluruhan terkena

penyakit ini 3 kali lebih sering jika dibanding dengan pria. Penyakit ini biasanya

didiagnosis berdasarkan gejala-gejalanya. Pada beberapa pasien, monoklonal IgG

dapat dideteksi. Selain itu, biopsi juga turut dilakukan untuk membedakan dengan

penyakit rematik lain.

Walaupun penyakit ini tidak dapat disembuhkan, penanganan organ-organ

yang terlibat dapat mengurangkan simptom-simptom dan memperbaiki fungsi. Efek

terapi obat untuk penyakit ini, menjadi susah untuk dievaluasi karena penyebabnya

yang bervariasi dan keparahan penyakit yang berbeda. Pasien dengan skleroderma

kutan yang terbatas, mempunyai prognosis yang baik, tetapi prognosis pada pasien

tahap awal menjadi susah untuk diprediksi. (Fauci, A.S., & Langford, C.A., 2006)

2.2. Fungsi Fisik

Fungsi fisik merupakan kemampuan untuk melaksanakan tugas sehari-hari

dengan kewaspadaan dan semangat, tanpa kelelahan dan dengan cadangan energi

yang cukup untuk memenuhi keadaan darurat. (Mosby, 2004) Manakala status

fungsional mengacu pada tingkat kinerja pasien dalam aktivitas hidup

sehari-hari. Meskipun status fungsional jelas sangat penting untuk pasien dan profesional

(26)

pencitraan lain maka belum pernah diukur secara formal dalam pengaturan

perawatan medis tradisional. Pada dekad terakhir ini, beberapa instrumen kuesioner

telah dipelajari secara ekstensif untuk menilai status fungsional pasien dalam

penelitian klinis, uji klinis, dan praktek klinis. Pengembangan kuesioner ini adalah

berdasarkan pada metode ilmiah dan menyediakan pengetahuan baru tentang

kondisi jangka panjang berbagai penyakit rematik. Persyaratan metodologi yang

dibutuhkan dalam suatu kuesioner status fungsional meliputi evaluasi kuantitatif

terhadap tingkat basis fungsi pasien untuk perbandingan dari waktu ke waktu dalam

uji klinis atau praktek klinis, diskriminasi antara individu (atau kelompok) sesuai

dengan komponen yang diberikan atau kriteria status fungsional, dan prediksi dari

suatu tingkat fungsional berikutnya pada pasien berisiko untuk kompromi

fungsional di masa depan. Kuesioner status fungsional berhubungan baik dengan

titik akhir evaluasi tradisional dalam penyakit rematik, seperti menghitung sendi,

temuan radiografi, dan hasil laboratorium. Selain itu, kuesioner dapat memberikan

informasi yang berguna mengenai sejumlah gejala klinis yang penting yang telah

sulit atau tidak mungkin untuk diukur dengan langkah-langkah tradisional. Ini

meliputi:

a. Dokumentasi dan prediksi penurunan fungsional jangka panjang dan

disabilitas kerja yang terkait dengan penyakit rematik.

b. Prediksi mortalitas pada pasien dengan reumatoid artritis, termasuk

identifikasi pasien dengan proyeksi survival 5-tahun pada kisaran 50%,

seperti pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler dan neoplastik.

c. Identifikasi pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh pasien dengan penyakit

rematik.

d. Deteksi perubahan status klinis pada pasien yang terdaftar dalam uji klinis,

yang sama efektitivitasnya dengan pemeriksaan fisik atau

laboratorium. Meskipun penggunaan kuesioner ini telah sebagian besar

(27)

Beberapa kuesioner telah dikembangkan untuk mengukur berbagai aspek

status fungsional pada pasien dengan penyakit rematik. Antaranya adalah, Health Assessment Questionnaire (HAQ), Modified Health Assessment Questionnaire (MHAQ), Arthritis Impact Measurement Scale (AIMS), MACTAR Patient Preference Disability Questionnaire,dan lain-lain lagi. (Pincus, T., & MacKenzie, R., 2000)

2.2.1. Keterbatasan Fungsi Fisik

Keterbatsan fungsi fisik adalah suatu kondisi dimana seseorang tidak dapat

atau mengalami kesukaran untuk melakukan aktivitas hariannya dengan

kewaspadaan, tanpa kelelahan, dan energi yang secukupnya.

2.2.2. Keterbatasan Fungsi Fisik pada Penderita Rematik

Ahli rematologi mengklasifikasikan status fungsional pasien rematik sebagai

berikut:

a. Kelas I: benar-benar mampu melakukan kegiatan biasa hidup sehari-hari

b. Kelas II: mampu melakukan perawatan diri sendiri biasa dan kegiatan

kerja tapi terbatas pada kegiatan di luar pekerjaan (misalnya olahraga

bermain, pekerjaan rumah tangga)

c. Kelas III: mampu melakukan kegiatan mandiri perawatan biasa tapi

terbatas pada pekerjaan dan kegiatan lain

d. Kelas IV: terbatas dalam kemampuan untuk melakukan perawatan diri

biasa, pekerjaan, dan kegiatan lainnya

Keterbatasan fungsi fisik yang biasanya terjadi pada penderita penyakit

rematik adalah pada hal-hal seperti berjalan 1 atau 2 kilometer, menaik 1 atau 2

tangga, membuka penutup botol yang belum dibuka, membersihkan rumah, bekerja

di kebun, mengangkat barang-barang yang berat, mencuci rambut, berdiri dari suatu

kerusi yang tegak lurus, turun dari tempat tidur, mengangkat segelas air yang terisi

penuh, mengeringkan badan selepas mandi dan lain-lain lagi. (Wolfe, F., Michaud,

(28)

BAB 3

KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian diatas maka kerangka konsep dalam

penelitian ini adalah:

Penderita penyakit rematik Penilaian fungsi fisik

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

3.2. Definisi Operasional

a) Penderita Penyakit Rematik

Semua pasien yang menderita penyakit rematik yang telah didiagnosa

oleh dokter spesialis di Poliklinik Rematologi RSUP HAM.

b) Fungsi Fisik pada Penderita Rematik

Suatu kondisi dimana seseorang dapat melakukan aktivitas hariannya

tanpa rasa sakit atau nyeri akibat dari penyakit mereka.

i) Cara Pengukuran

Pengukuran dilakukan dengan metode wawancara.

ii) Alat Ukur

Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner.

iii) Hasil Pengukuran

Hasil pengukuran dinyatakan dalam bentuk yang dikategorikan

menjadi:

a. Fungsi fisik responden tidak terbatas bila jawapannya adalah bisa

b. Fungsi fisik responden sedikit terbatas bila jawapannya adalah agak

sulit

c. Fungsi fisik responden terbatas bila jawapannya adalah tidak bisa

(29)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan desain cross-sectional. Dengan pengamatan yang dilakukan satu kali saja dalam satu waktu tertentu, dapat diperoleh tingkat keterbatasan fisik pada penderita rematik melalui

data primer yang didapatkan melalui pengisian kuesioner yang diedarkan.

4.2. Waktu dan Lokasi Penelitian 4.2.1. Waktu Penelitian

Penelitian ini mulai dirancang pada bulan Februari 2011 dengan penelusuran

daftar pustaka yang meliputi sumber dari buku, jurnal serta artikel dari internet,

pembuatan serta penyusunan proposal penelitian yang diikuti dengan konsultasi

dengan dosen pembimbing. Pembentangan proposal di seminar proposal dilanjutkan

kemudiannya pada bulan Mei 2011 serta diteruskan dengan penelitian lapangan

yang dimulai dari pengumpulan data sehingga penulisan laporan tentang hasil yang

telah mengambil masa selama 6 bulan, yaitu dari bulan Juni 2011 sehingga bulan

(30)

Tabel 4.1 Gambaran Waktu Penelitian (Timeline)

Lokasi yang dipilih untuk melakukan penelitian adalah di Poliklinik

Rematologi RSUP HAM.

4.3. Populasi Dan Sampel Penelitian 4.3.1. Populasi

Populasi target dalam penelitian ini merupakan pasien yang berobat ke

Poliklinik Rematologi RSUP HAM periode Juni – November 2011.

Populasi terjangkau dalam penelitian ini merupakan penderita rematik yang

(31)

4.3.2. Sampel

Sampel pada penelitian ini diambil dengan menggunakan teknik consecutive sampling dengan kriteria inklusi seluruh pasien yang menderita penyakit rematik yang telah didiagnosa oleh dokter spesialis di Poliklinik Rematologi RSUP HAM

serta kriteria eksklusi, pasien dengan kelainan tulang bawaan dan non-rematik.

Perkiraan jumlah sampel yang minimal pada penelitian ini diambil berdasarkan

rumus estimasi proporsi pada populasi, dimana tingkat kepercayaan yang

dikehendaki sebesar 95% dan tingkat ketepatan relatif 10% (Sastroasmoro dan

Ismael, 2008). Maka diperoleh sampel sebesar 96.

n = Zα² PQ

Keterangan rumus:

n : jumlah/ besar sampel

α : tingkat kemaknaan yang ditetapkan peneliti. Dalam penelitian ini, peneliti menentukan α = 0,05 sehingga Zα penelitian ini sebesar 1,96

P : proporsi keadaan yang akan dicari (ditetapkan peneliti) = 0,5

Q : 1-P = 0,5

d : tingkat ketepatan absolut yang dikehendaki peneliti. Dalam penelitian ini,

peneliti menetapkan = 0,1

Angka-angka di atas di masukkan kembali ke rumus besar sampel:

n = (1,96)² x 0,5 x 0,5

(0,1)²

= 96,04 ≈ 96 orang

4.4. Teknik Pengumpulan Data. 4.4.1. Data Primer

Data yang digunakan untuk penelitian ini merupakan data primer yang

(32)

diadaptasi dari HAQ-II yang telah diuji validitas serta reliabilitas sebagai instrumen

penelitian.

4.4.1.1. Uji Validitas Dan Reliabilitas

Kuesioner yang telah disusun, diuji validitas content dan reliabilitasnya oleh seorang expertisdalam bagian rematologi.

4.4.2. Instrumen Penelitian

Menurut Notoatmodjo (2005), instrumen adalah alat-alat yang akan

digunakan untuk pengumpulan data. Instrumen penelitian ini berupa kuesioner

sebagai alat bantu dalam pengumpulan data yang terdiri dari pertanyaan-pertanyaan

untuk mengumpulkan data mengenai keterbatasan fungsi fisik pada penderita

rematik.

4.4.3. Teknik Skoring dan Skala

Dalam penelitian ini, kuesioner yang digunakan adalah kuesioner penelitian

keterbatasan fungsi fisik pada penderita rematik. Pengukuran penggolongan

keterbatasan fungsi fisik diperoleh dari hasil pengukuran jumlah kuesioner yang

diberikan bagi mengetahui kondisi fisik responden dan dikategorikan pada tingkat

sangat terbatas, sedikit terbatas dan tidak terbatas.

4.4.3.1. Kategori Penelitian Pengukuran

Sedangkan dalam penentuan kategori penelitian dinilai dengan

menggunakan presentasi sebagai berikut:

a. Fungsi fisik responden tidak terbatas bila jawapannya adalah bisa.

b. Fungsi fisik responden sedikit terbatas bila jawapannya adalah agak sulit.

(33)

4.5. Pengolahan dan Analisis Data

Data dianalisa secara statistik deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel

distribusi frekuensi. Analisa statistik dilakukan dengan bantuan komputer yaitu

(34)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

RSUP HAM yang umumnya dikenal dengan sebutan RSUP H Adam Malik

merupakan Rumah Sakit Umum Kelas A yang berada di kota Medan. RSUP HAM

juga digunakan sebagai rumah sakit pendidikan bagi calon dokter dan calon dokter

spesialis dari Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Divisi Rematologi merupakan salah satu bagian dari Departemen Ilmu

Penyakit Dalam (IPD). Pelayanan bagi pasien rematologi diberikan di poliklinik

divisi remotologi pada setiap hari Senin dan Rabu mulai jam 0900 hingga jam 1500.

Pasien-pasien rematologi merupakan pasien rujukan antara departemen IPD dan

juga rujukan dari departemen-departemen lain.

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Responden

Dalam penelitian ini, karakteristik yang diamati pada responden meliputi jenis

kelamin, umur, dan jenis penyakit rematik responden.

Tabel 5.1 Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin

Jenis Kelamin Frekuensi Persentase(%)

Lelaki Perempuan

28 69

28.9 71.1

Total 97 100.0

Dari tabel 5.1, diketahui bahwa sebanyak 28 orang (28.9%) responden yang

menderita penyakit rematik adalah laki-laki dan 69 orang (71.1%) responden yang

(35)

Tabel 5.2 Karakteristik responden berdasarkan umur

Umur Frekuensi Persentase (%)

11-20 2 2.1

21-30 1 1.0

31-40 2 2.1

41-50 14 14.4

51-60 26 26.8

61-70 32 33.0

71-80 20 20.6

Total 97 100.0

Dari tabel 5.2, diketahui bahwa frekuensi penyakit rematik adalah lebih tinggi

pada responden yang berumur lebih dari 40 tahun, dimana responden dari kelompok

umur 61-70 tahun mempunyai frekuensi yang paling tinggi yaitu sebanyak 32 orang

(33.0%).

Tabel 5.3 Karakteristik responden berdasarkan jenis penyakit rematik Jenis Penyakit Rematik Frekuensi Persentase (%)

OA 50 51.5

RA 30 30.9

Spondiloartritis 15 15.5

Gout 1 1.0

LES 1 1.0

Total 97 100.0

Dari tabel 5.3, diketahui bahwa penyakit OA diderita paling banyak oleh

responden-responden jika dibandingkan dengan jenis penyakit rematik yang lain.

Berdasarkan tabel 5.3, frekuensi responden yang menderita penyakit OA ini adalah

(36)

5.1.3. Hasil Analisa Data

Jongkok di kamar mandi 33 46 18 97

Menaiki 5 anak tangga 33 55 9 97

Membuka botol yang belum pernah dibuka

69 13 15 97

Menyapu rumah 80 16 1 97

Jalan diluar rumah pada tanah datar 61 28 8 97

Berdiri antri 15 menit 47 42 8 97

Bekerja di luar rumah 43 37 17 97

Mengangkat benda berat 50 27 20 97

Gerakkan benda berat 40 29 28 97

Tukar sprai tempat tidur 69 25 3 97

Buka baju/ikat tali sepatu 75 20 2 97

Mencuci rambut 90 6 1 97

Naik & turun tempat tidur 59 36 2 97

Mandi & keringkan tubuh dengan

(37)

kamar mandi, menaiki 5 anak tangga, bekerja di luar rumah dan menggerakkan

benda yang berat. Ketika melakukan aktivitas seperti berdiri antri selama 15 menit,

mengangkat benda yang berat, dan membungkuk untuk mengambil kain dari lantai,

kejadian kesulitan atau adanya keterbatasan adalah hampir sama jumlahnya dengan

kejadian tidak ada keterbatasan. Lebih dari satu per empat dari total responden

mengalami kesulitan dan keterbatasan ketika melakukan aktivitas seperti membuka

botol yang belum pernah dibuka, berjalan di luar rumah pada tanah yang datar,

menukar sprai tempat tidur, membuka baju/ mengikat tali sepatu, dan naik dan

turun dari tempat tidur. Sementara, hampir semua responden tidak mengalami

apa-apa kesulitan ketika melakukan aktivitas seperti menyapu rumah, mencuci rambut,

dan mandi dan keringkan tubuh dengan handuk.

5.2. Pembahasan

Berdasarkan tabel frekuensi jenis kelamin (Tabel 5.1), penyakit rematik lebih

rentan diderita oleh wanita (69 orang) jika dibandingkan dengan lelaki (28 orang).

Hal ini dudukung oleh teori-teori berdasarkan epidemiologi dimana wanita lebih

rentan terkena kebanyakkan daripada penyakit rematik, contohnya seperti OA, RA,

LES dan lain-lain lagi. Selain itu, hormon-hormon wanita juga dikatakan turut

memainkan peranan dalam hal jenis kelamin sebagai salah satu faktor risiko

(Dubey, 2008). Berdasarkan penelitian Salaffi (2009), didapati bahwa pasien yang

mengikuti penelitian kebanyakkan adalah perempuan, sama seperti dalam penelitian

ini. Secara umum perempuan mempunyai keadaan kesehatan yang lebih buruk

dibandingkan dengan lelaki. Hal ini tidak hanya terjadi pada pasien rematik saja,

tetapi juga terjadi pada kelompok control.

Dari hasil analisa tabel frekuensi umur (Tabel 5.2), didapati frekuensi

penderita penyakit rematik semakin meningkat pada usia lebih dari 40 tahun.

Berdasarkan teori, prevalensi penyakit rematik semakin meningkat dengan usia

karena kondisinya yang tidak reversibel. Walaupun beberapa penyakit seperti RA,

LES dan spondiloartritis bisa terjadi pada semua usia, tetapi prevalensi meningkat

pada usia lebih dari 40 tahun (Dubey, 2008). Hal yang sama juga terjadi dalam

(38)

lebih banyak pada usia yang lebih tua. Turut dinyatakan bahwa keadaan kesehatan

pasien semakin buruk dengan meningkatnya usia pasien dalam semua kategori

penyakit rematik yang dinilai dalam penelitiannya.

Berdasarkan tabel frekuensi jenis penyakit rematik (Tabel 5.3), kejadian yang

paling tinggi adalah OA jika dibandingkan dengan penyakit rematik lain. Hal ini

didukung oleh teori yang dibahas dalam Bab 2, dimana penyakit OA merupakan

penyakit dengan prevalensi yang tertinggi dalam kelompok masyarakat kita dan

penyebab kedua tersering dalam ketidakmampuan pada orang tua di negara-negara

barat (Dubey, 2008). Berdasarkan penelitian oleh Moskowitz (2009) juga

dinyatakan bahwa OA merupakan penyakit arthritis yang paling umum terjadi

dimana 27 juta orang dewasa Amerika Serikat menderita penyakit ini. Berdasarkan

penelitian Salaffi (2009), dalam kategori penyakit rematik autoimun, penyakit RA

mempunyai frekuensi paling tinggi. Hal ini sama seperti hasil penelitian peneliti

dimana penyakit RA mempunyai frekuensi yang paling tinggi jika dibandingkan

dengan penyakit rematik autoimun yang lain.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan, ternyata mayoritas

responden yang menderita penyakit rematik mengalami keterbatasan fungsi fisik

apabila melakukan aktivitas-aktivitas pada pertanyaan nomor 1, 2, 7 dan 9. Jelas

terlihat bahwa pada kebanyakkan pasien rematik terjadi keterbatasan dalam

melakukan aktivitas yang melibatkan tungkai bawah tubuh. Hal ini mungkin terjadi

karena sendi-sendi yang terlibat pada kebanyakkan pasien adalah sendi pinggul,

lutut dan kaki, maka ketidakmampuan dalam melakukan aktivitas yang melibatkan

sendi-sendi ini terjadi. Selain itu, juga didapati bahwa pada pasien OA, sendi-sendi

yang sering terlibat adalah sendi-sendi pinggul, lutut dan kaki (Kumar,2005) dan

berdasarkan tabel 5.3, didapati bahwa penyakit OA mempunyai total responden

yang paling banyak yaitu sebanyak 50 orang.

Dari hasil analisa diketahui bahwa kejadian tidak ada keterbatasan dan

kejadian adanya kesulitan dan keterbatasan pada responden, terjadi pada jumlah

(39)

sendi punggung terlibat pada penyakit rematik seperti LES dan RA, tetapi paling

sering pada spondiloartritis karena berdasarkan teori, pada penyakit spondiloartritis,

bagian yang paling umum terefek adalah bagian punggung, tulang belakang, leher,

tangan dan lutut (Reveille, 2010). Oleh karena total responden untuk penyakit

spondiloartritis adalah sebanyak 15 orang, RA sebanyak 30 orang dan LES

sebanyak 1 orang (berdasarkan tabel 5.3) maka kejadian tidak ada keterbatasan dan

adanya keterbatasan adalah hampir sama.

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa hampir semua responden tidak

mengalami keterbatasan apabila melakukan aktivitas pada pertanyaan nomor 4, 12,

dan 14. Didapati bahwa aktivitas-aktivitas ini membutuhkan penggunaan

sendi-sendi kecil seperti sendi-sendi jari tangan dan pergelangan tangan. Pada kebanyakkan

penyakit rematik seperti OA, RA dan spondiloartritis, sendi-sendi besar sering

terlibat, maka kebanyakkan responden tidak mengalami kesulitan ketika melakukan

aktivitas yang melibatkan sendi-sendi kecil. Tetapi berdasarkan teori, pada RA,

sendi-sendi kecil seperti sendi tangan, kaki, pergelangan tangan dan/atau

pergelangan kaki juga akan terefek (Dubey, 2008), ini menunjukkan mengapa

hanya sebagian kecil responden mengalami kesulitan dan keterbatasan dalam

melakukan aktivitas ini. Hal yang sama terjadi ketika melakukan aktivitas pada

pertanyaan nomor 3, 5, 10, 11, dan 13 dimana lebih dari satu per empat dari total

responden mengalami kesulitan dan keterbatasan dalam melakukan

aktivitas-aktivitas pada pertanyaan ini. Jelas terlihat bahwa aktivitas-aktivitas-aktivitas-aktivitas ini

membutuhkan penggunaan sendi kecil seperti jari kaki dan tangan, serta

pergelangan kaki dan tangan.

Berdasarkan penelitian Rugine (2009), pasien RA dan LES mempunyai

hampir sama halnya dalam mengalami nyeri dan keterbatasan aktivitas.

Berdasarkan penelitian ini, dikatakan terjadinya hal ini karena adanya pengaruh

emosional yang kuat bagi pasien dan penyakit rematik inflamasi. Dalam penelitian

Salaffi (2009), yang menilai tentang kualitas hidup (quality of life, QOL) pasien RA dan spondiloartritis, menyatakan bahwa pasien RA mempunyai QOL yang paling

(40)

fungsi fisik dan nyeri. Dalam penelitian ini juga dikatakan bahwa kesehatan

emosional pasien sangat mempengaruhi kondisi fungsi fisik dan nyeri. Dalam

penelitian juga dikatakan bahwa penyakit penyerta lain (comorbidity) juga menjadi salah satu faktor utama yang mempengaruhi kondisi fisik pasien. Pada pasien

spondiloartritis, terjadi progress yang lebih cepat dalam ketidakmampuan

fungsional pada usia lebih tua dan perokok (Ward, 2011). Dari hasil

penelitian-penelitian ini, pada pendapat peneliti, didapati bahwa penyakit RA, spondiloartritis,

dan LES merupakan penyakit autoimun, maka lebih banyak jaringan tubuh yang

akan mengalami kelainan. Hal ini mengakibatkan kondisi fisik pasien yang

menderita penyakit-penyakit ini menjadi lebih buruk.

Berdasarkan hasil pembahasan didapati antara faktor-faktor yang

mempengaruhi kondisi fisik adalah hal-hal seperti umur, jenis kelamin, jenis

(41)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

1. Berdasarkan hasil penelitian, didapati bahwa kondisi fungsi fisik pada

pasien rematik di RSUP HAM adalah sedang.

2. Kekuatan pada penelitian ini adalah, hasil penelitian dapat berguna kepada

kedua-dua pihak dokter dan pasien dalam mengetahui kondisi fisik pasien karena di

Poliklinik Rematolgi RSUP HAM tidak dilakukan penilaian kondisi fisik pasien

dengan menggunakan kuesioner baku seperti yang dilakukan dalam penelitian ini.

3. Kelemahannya pula adalah tidak dapat mengakses diagnosa pasti jenis

penyakit rematik pasien karena adanya hambatan untuk mengakses status pasien.

6.2. Saran

Berdasarkan hasil penelitian, terdapat beberapa saran yang ingin saya berikan,

diantaranya:

1. Diharapkan pasien yang menderita penyakit rematik dapat melakukan

olahraga secara konsisten dan mengambil israhat yang secukupnya untuk

memperbaiki kondisi fungsi fisik mereka.

2. Selain itu pasien rematik juga harus mengamalkan cara hidup yang sehat

dengan mengkonsumsi makanan dengan diet yang benar.

3. Diharapkan bahwa dokter dapat mengedukasi pasien menghindari stress,

dan menjelaskan hal-hal yang dapat memperburukan kondisi fungsi fisik

pasien supaya QOL dapat ditingkatkan.

4. Penggunaan kuesioner penilaian ketidakmampuan fungsional dalam praktek

harus dijadikan suatu kebiasaan karena pihak dokter dapat menggunakan

alat ini sebagai bantuan dalam pengambilan keputusan secara klinis.

5. Pada penelitian selanjutnya, diharapkan supaya peneliti lain dapat menilai

kondisi fisik pasien dengan memasukkan kriteria tingkat keparahan dan

(42)

DAFTAR PUSTAKA

Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ). Staying Healthy Through Education and Prevention (STEP). U.S. Department of Health & Human Services.

Borigini, M.J., 2010. Systemic Lupus Erythematosus. Available from: http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000435.htm [Accessed 29

April 2011]

Bruce, B., Fries, J.F., Ambrosini, D., Lingala, B., Gandek, B., Rose, M., et al., 2009. Better Assessment of Physical Function: item improvement is neglected but essential. Arthritis Research & Therapy, 10.1186/ar2890

Cush, J.J., and Lipsky, P.E., 2005. Approach to Articular and Muskuloskeletal

Disorders. In: Harrison, T.R., Principles of Internal Medicine. McGraw-Hill Medical Publishing Division.

Dubey, S. and Adebajo, A.O., 2008. Historical and Current Perspectives on

Management of Osteoarthritis and Rheumatoid Arthritis. In: Reid, D.M. and Miller, C.G.,Clinical Trials in Rheumatoid Arthritis and Osteoarthritis. Springer Science + Business Media.

Eustice, C., 2007. Arthritis Affects Daily Living Activities. Available from: http://arthritis.about.com/od/inthehomedailyliving/ss/dailyactivities.htm

[Accessed 4 March 2011]

(43)

Kumar, P. and Clarke, M., 2005. Rheumatology and Bone Disease. In: Kumar, P. and Clark, M., Clinical Medicine. Elsevier Saunders.

Mosby, 2004. Physical Fitness. In: Mosby, Dental Dictionary. Reed Elsevier.

Moskowitz, R., 2009. The Burden of Osteoarthritis: Clinical and Quality of Life

Issues. Am J Manag Care, 15: S223-S229

National Institute of Arthritis and Muskuloskeletal and Skin Disease (NIAMS),

2008. Questions and Answers about Arthritis and Rheumatic Disease. National Institute of Health, United States: 02-4999.

Notoatmojo, S., 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta.

Pincus, T., & MacKenzie, R., 2000. Measuring Functional Status in Rheumatic

Disease. In: Paget, S.A., Gibofsky, A. & Beary, J.F., Manual of Rheumatology and Outpatient Orthopedic Disorders (LB Spiral Manuals).Lippincott Williams & Wilkins.

Pincus, T. and Tugwell, P., 2007. Shoudn’t Standard Rheumatology Clinical Care Be Evidence-Based Rather Than Eminence-Based or Elegance-Based? The Journal of Rheumatology, 319:1618

Qing, Y.Z., 2008. Rheumatic Disease in China. Arthritis Research & Therapy, 10.1186/ar2368

Reveille, J.D., 2010. Spondyloarthritis (Spondyloarthropathy). Available from: http://www.rheumatology.org/practice/patients/disease_and_conditions/spondylo

Gambar

Tabel 4.1 Gambaran Waktu Penelitian (Timeline)
Tabel 5.1 Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin
Tabel 5.2 Karakteristik responden berdasarkan umur
Tabel 5.4 Pertanyaan-pertanyaan kuesioner

Referensi

Dokumen terkait

Sehubungan hal tersebut di atas, maka Pokja akan melakukan verifikasi terhadap semua data dan informasi yang ada dalam formulir isian kualifikasi dengan memperlihatkan dokumen

3.3 Mengenal teks buku harian tentang kegiatan anggota keluarga dan dokumen milik keluarga dengan bantuan guru atau teman dalam bahasa Indonesia lisan dan tulis yang dapat

Surat undangan ini disamping dikirimkan melalui e-mail juga akan ditempatkan dalam pojok berita website LPSE Provinsi Jawa Tengah, oleh karenanya Pokja 3 ULP Provinsi

Dimana diajukan lima variabel bebas dan satu variabel terikat, yaitu bukti fisik, keandalan, daya tanggap, jaminan dan empati sebagai variabel bebas dan

Menganalis is Sistem Pengendali an intern pemberian kredit suatu bank Jenis Penelitia n yang berbeda yaitu kuantita tif, alat analisis yang berbeda dan Populasi penelitia

Masalah yang difokuskan dalam penelitian ini adalah bagaimana proses komunikasi yang terjadi dalam komunikasi kelompok dan gejala groupthink yang terjadi di GAMADIKSI USU

FOTO MAKET STUDI PERANCANGAN HOTEL.. Universitas

tindak lanjut dari permintaan yang belum dipenuhi, penolakan permintaan informasi publik disertai dengan alasan penolakannya dan waktu yang diperlukan dalam memenuhi