PENILAIAN FUNGSI FISIK PADA PENDERITA REMATIK
DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK
PERIODE JUNI – NOVEMBER 2011
Oleh :
REVATHI SUBRAMANIAM
080100258
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini dilakukan adalah untuk menilai kondisi fungsi fisik pada penderita rematik yang berobat ke Poliklinik Rematologi Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUP HAM).
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan desain cross-sectional. Sampel pada penelitian ini diambil dengan menggunakan teknik consecutive sampling. Perkiraan jumlah sampel pada penelitian ini diambil berdasarkan rumus estimasi proporsi dan diperoleh jumlah sampel sebanyak 97 orang. Hasil penelitian ini dikategorikan menjadi tiga, yaitu fungsi fisik responden tidak terbatas, fungsi fisik responden sedikit terbatas dan fungsi fisik responden terbatas.
Pada akhir penelitian ini, hasil yang diperoleh adalah, lebih dari separuh dari total responden mengalami kesulitan dan keterbatasan ketika melakukan aktivitas seperti jongkok di kamar mandi (64 orang), menaiki 5 anak tangga (64 orang), bekerja di luar rumah (54 orang) dan menggerakkan benda yang berat (57 orang). Ketika melakukan aktivitas seperti berdiri antri selama 15 menit (50 orang), mengangkat benda yang berat (47 orang), dan membungkuk untuk mengambil kain dari lantai (45 orang), kejadian kesulitan atau adanya keterbatasan adalah hampir sama jumlahnya dengan kejadian tidak ada keterbatasan. Lebih dari satu per empat dari total responden mengalami kesulitan dan keterbatasan ketika melakukan aktivitas seperti membuka botol yang belum pernah dibuka (28 orang), berjalan di luar rumah pada tanah yang datar (36 orang), menukar sprai tempat tidur (28 orang), membuka baju/ mengikat tali sepatu (22 orang), dan naik dan turun dari tempat tidur (38 orang). Sementara, hampir semua responden tidak mengalami apa-apa kesulitan ketika melakukan aktivitas seperti menyapu rumah (80 orang), mencuci rambut (90 orang), dan mandi dan keringkan tubuh dengan handuk 87 orang).
Berdasarkan hasil penelitian, didapati bahwa kondisi fungsi fisik pada pasien RSUP HAM adalah sedang.
ABSTRACT
This research was done to assess the condition of physical function in patients with rheumatic disease who takes treatment in Rheumatology Clinic of Haji Adam Malik Hospital (RSUP HAM).
This research is a descriptive research done with cross-sectional design. The sampel for this research is chosen using the consecutive sampling technique. Total number of samples was counted using the proportion estimation formula. Hence, the total sample needed for this research was 96 people. The results of this research were categorised to 3 categories, which were, respondants physical function is not limited, respondants physical function is slightly limited and respondants physical function is limited.
At the end of this research, the results obtained were, more than half of the total number of respondents had limitations when squatting in the toilet (64 people), climbing up 5 steps (64 people), doing outside work (54 people) and moving heavy object (57 people). The incident of having difficulties and being able to do without difficulty was equal in patients in doing activities such as waiting in a line for 15 minutes (50 people), lifting heavy objects (47 people), and bending down to pick up clothing from the ground (45 people). More than one quarter of total respondents had limitations opening a previously unopened jar (28 people), walking outdoors on flat ground (36 people), change the bedding (28 people), dressing themselves/tying shoelaces (22 people) and getting in and out of bed (38 people). Meanwhile, most respondents did not have any difficulties in doing activities such as sweeping the floor (80 people), shampooing their hair (90 people), and washing and drying their body (87 people).
Based on the research’s results, it is known that physical condition of patients with rheumatic disease in RSUP HAM is moderate.
Key Words: Rheumatic Disease, Physical Function, Osteoarthritis, Rheumatoid
DAFTAR ISI
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL…... 21
3.1. Kerangka Konsep Penelitian………... 21
3.2. Definisi Operasional….………... 21
BAB 4 METODE PENELITIAN……… 22
4.1. Jenis Penelitian……… 22
4.2. Waktu dan Lokasi Penelitian………... 22
4.3. Populasi dan Sampel Penelitian………... 23
4.4. Teknik Pengumpulan Data………….………... 24
4.5. Pengolahan dan Analisa Data……….………... 25
BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……… 26
5.1.2. Deskripsi Karakteristik Responden……… 26
5.1.3. Hasil Analisa Data……….. 28
5.2. Pembahasan……….. 29
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN……….. 33
6.1. Kesimpulan……….... 33
6.2. Saran……….. 33
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini dilakukan adalah untuk menilai kondisi fungsi fisik pada penderita rematik yang berobat ke Poliklinik Rematologi Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUP HAM).
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan desain cross-sectional. Sampel pada penelitian ini diambil dengan menggunakan teknik consecutive sampling. Perkiraan jumlah sampel pada penelitian ini diambil berdasarkan rumus estimasi proporsi dan diperoleh jumlah sampel sebanyak 97 orang. Hasil penelitian ini dikategorikan menjadi tiga, yaitu fungsi fisik responden tidak terbatas, fungsi fisik responden sedikit terbatas dan fungsi fisik responden terbatas.
Pada akhir penelitian ini, hasil yang diperoleh adalah, lebih dari separuh dari total responden mengalami kesulitan dan keterbatasan ketika melakukan aktivitas seperti jongkok di kamar mandi (64 orang), menaiki 5 anak tangga (64 orang), bekerja di luar rumah (54 orang) dan menggerakkan benda yang berat (57 orang). Ketika melakukan aktivitas seperti berdiri antri selama 15 menit (50 orang), mengangkat benda yang berat (47 orang), dan membungkuk untuk mengambil kain dari lantai (45 orang), kejadian kesulitan atau adanya keterbatasan adalah hampir sama jumlahnya dengan kejadian tidak ada keterbatasan. Lebih dari satu per empat dari total responden mengalami kesulitan dan keterbatasan ketika melakukan aktivitas seperti membuka botol yang belum pernah dibuka (28 orang), berjalan di luar rumah pada tanah yang datar (36 orang), menukar sprai tempat tidur (28 orang), membuka baju/ mengikat tali sepatu (22 orang), dan naik dan turun dari tempat tidur (38 orang). Sementara, hampir semua responden tidak mengalami apa-apa kesulitan ketika melakukan aktivitas seperti menyapu rumah (80 orang), mencuci rambut (90 orang), dan mandi dan keringkan tubuh dengan handuk 87 orang).
Berdasarkan hasil penelitian, didapati bahwa kondisi fungsi fisik pada pasien RSUP HAM adalah sedang.
ABSTRACT
This research was done to assess the condition of physical function in patients with rheumatic disease who takes treatment in Rheumatology Clinic of Haji Adam Malik Hospital (RSUP HAM).
This research is a descriptive research done with cross-sectional design. The sampel for this research is chosen using the consecutive sampling technique. Total number of samples was counted using the proportion estimation formula. Hence, the total sample needed for this research was 96 people. The results of this research were categorised to 3 categories, which were, respondants physical function is not limited, respondants physical function is slightly limited and respondants physical function is limited.
At the end of this research, the results obtained were, more than half of the total number of respondents had limitations when squatting in the toilet (64 people), climbing up 5 steps (64 people), doing outside work (54 people) and moving heavy object (57 people). The incident of having difficulties and being able to do without difficulty was equal in patients in doing activities such as waiting in a line for 15 minutes (50 people), lifting heavy objects (47 people), and bending down to pick up clothing from the ground (45 people). More than one quarter of total respondents had limitations opening a previously unopened jar (28 people), walking outdoors on flat ground (36 people), change the bedding (28 people), dressing themselves/tying shoelaces (22 people) and getting in and out of bed (38 people). Meanwhile, most respondents did not have any difficulties in doing activities such as sweeping the floor (80 people), shampooing their hair (90 people), and washing and drying their body (87 people).
Based on the research’s results, it is known that physical condition of patients with rheumatic disease in RSUP HAM is moderate.
Key Words: Rheumatic Disease, Physical Function, Osteoarthritis, Rheumatoid
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penyakit rematik (rheumatism) merupakan suatu kondisi yang menyakitkan, yang mengefek berjutaan orang. Terdapat lebih dari 100 jenis penyakit rematik,
antaranya adalah, osteoartritis, rheumatoid artritis, spondiloartritis, gout, lupus
eritematosus sistemik, skleroderma, fibromialgia, dan lain-lain lagi. Penyakit ini
menyebabkan inflamasi, kekakuan, pembengkakan, dan rasa sakit pada sendi, otot,
tendon, ligamen, dan tulang. Berdasarkan penelitian oleh Centers for Disease Control and Prevention, menunjukkan bahwa 33% (69.9 juta) daripada populasi Amerika Serikat mengeluhkan penyakit artritis atau penyakit sendi (Cush, J.J. dan
Lipsky, P.E., 2005).
Penyakit rematik ini merupakan suatu sebab sering terjadinya keterbatasan
aktivitas jika dibandingkan dengan penyakit jantung, kanker atau diabetes. Menurut
Eustice (2007), berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Centers for Disease Control and Prevention (2007), 38% (17 juta) penderita penyakit rematik di Amerika Serikat mengeluhkan keterbatasan fungsi fisik akibat daripada
penyakitnya. Sementara, berdasarkan hasil penelitian terakhir dari Qing, Y.Z.,
(2008) prevalensi nyeri rematik di beberapa negara asean adalah, 26.3%
Bangladesh, 18.2% India, 23.6-31.3% Indonesia, 16.3% Filipina, dan 14.9%
Vietnam. Dari data yang didapati ini, bisa dikatakan bahwa, negara Indonesia
mempunyai prevalensi nyeri rematik yang cukup tinggi dimana keadaan seperti ini
dapat menurunkan produktivitas negara akibat daripada keterbatasan fungsi fisik
penderita yang mengefek kualitas hidupnya.
Keterbatasan fungsi fisik adalah suatu kondisi dimana seseorang tidak dapat
atau mengalami kesukaran untuk melakukan aktivitas hariannya (AHRQ).
Keterbatasan fungsi fisik yang sering terjadi pada penderita rematik adalah pada
antara istirahat dan olahraga menjadi sangat penting untuk mempertahankan kondisi
fungsi fisik yang optimal. Kondisi fungsi fisik penderita rematik seharusnya dinilai
dengan menghitung skor kuesioner yang diisi oleh pasien sebelum memasuki ruang
pemeriksaan pada setiap kunjungan. Walau bagaimanapun, kebanyakkan ahli
rematologi tidak melakukan hal ini akibat daripada kesibukkan praktek rematologi
klinis. (Bruce, B., et al., 2009)
Menurut Pincus dan Tugwell (2007), pengamatan dalam perawatan klinis
oleh seorang individu atau satu kelompok kecil dokter dalam permulaan penyakit
rematik, dapat menunjukkan disabilitas kerja dan mortalitas prematur, ketiadaan
remisi jangka panjang dan status pasien yang lebih baik. Laporan dari perawatan
klinis standar adalah sangat tinggi oleh data kuantitatif, yang dikumpul oleh calon
dan digunakan untuk analisis kemudiannya untuk memberikan bukti. Maka,
pendekatan paling pragmatis untuk memperkenalkan penilaian kuantitatif dalam
perawatan rematologi standard adalah dengan menyuruh setiap pasien untuk
mengisi kuesioner pada setiap kunjungan.
1.2. Rumusan Masalah
Bagaimanakah keadaan atau kondisi fungsi fisik pada penderita rematik?
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum
Untuk menilai fungsi fisik pada penderita rematik yang berobat ke
Poliklinik Rematologi Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUP
HAM).
1.3.2. Tujuan Khusus
Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:
2. Mengidentifikasi karakteristik penyakit rematik (sendi-sendi yang
terlibat, manifestasi klinis, kondisi yang memperburuk penyakit dan
fungsi fisik pasien).
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk:
1. Dapat memberikan pengalaman, pengetahuan dan informasi yang lebih
mendalam tentang penyakit rematik.
2. Diharapkan pihak responden dapat mengetahui keadaan atau kondisi
fungsi fisik akibat penyakit yang diderita.
3. Diharapkan hasil penelitian dapat digunakan untuk penelitian
selanjutnya tentang penyakit rematik.
4. Diharapkan dapat membantu dalam penanganan dan peningkatan
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penyakit Rematik
Penyakit rematik meliputi cakupan luas dari penyakit yang
dikarakteristikkan oleh kecenderungan untuk mengefek tulang, sendi, dan jaringan
lunak (Soumya, 2011). Penyakit rematik dapat digolongkan kepada 2 bagian, yang
pertama diuraikan sebagai penyakit jaringan ikat karena ia mengefek rangka
pendukung (supporting framework) tubuh dan organ-organ internalnya. Antara penyakit yang dapat digolongkan dalam golongan ini adalah osteoartritis, gout, dan
fibromialgia. Golongan yang kedua pula dikenali sebagai penyakit autoimun karena
ia terjadi apabila sistem imun yang biasanya memproteksi tubuh dari infeksi dan
penyakit, mulai merusakkan jaringan-jaringan tubuh yang sehat. Antara penyakit
yang dapat digolongkan dalam golongan ini adalah rheumatoid artritis,
spondiloartritis, lupus eritematosus sistemik dan skleroderma. (NIAMS, 2008)
2.1.1. Osteoartritis
Osteoartritis (OA) merupakan suatu penyakit yang berkembang dengan
perlahan tetapi merupakan penyakit aktif degenerasi kartilago artikular yang
berhubungan dengan simptom-simptom seperti nyeri sendi, kekakuan, dan
keterbatasan pergerakkan (Dubey, S., & Adebajo, A., 2008). OA membutuhkan
pertimbangan dari 3 area yang bertumpang tindih, yaitu, perubahan patologis,
ciri-ciri radiologi dan konsekwensi klinis. Secara patologis, terjadi perubahan dalam
struktur kartilago, secara radilogi, terdapat osteofit dan terjadi penyempitan ruang
sendi, dan secara klinis pula terjadi ketidakmampuan dan nyeri. (Kumar, P., &
Clark, M., 2005) OA dapat terjadi pada semua sendi dalam tubuh, tetapi paling
Epidemiologi
OA merupakan penyakit dengan prevalensi yang tertinggi dalam kelompok
masyarakat kita dan penyebab kedua tersering dalam ketidakmampuan pada orang
tua di negara-negara barat. Prevalensi OA meningkat dengan usia karena kondisi
yang tidak reversible. Pada usia kurang dari 45 tahun, laki-laki lebih rentan kena
penyakit ini jika dibandingkan dengan wanita, tetapi wanita lebih rentan kena OA
pada usia lebih dari 55 tahun. Pada dekad seterusnya, didapati kasus OA akan
semakin meningkat akibat daripada peningkatan orang usia lanjut, obesitas, dan
kurangnya kebiasaan berolahraga. (Dubey, S., Adebajo, A., 2008).
Etiologi
OA primer penyebabnya tidak diketahui. OA sekunder pula penyebabnya
adalah karena kerusakan sendi yang ada sebelumnya (artritis rematik, gout, artritis
sepsis, penyakit Paget, spondiloartropati seronegatif), penyakit metabolik
(kondrokalsinosis, hemokromatosis bawaan, akromegali) dan penyakit sistemik
(hemofilia, hemoglobinopati, neuropati). (Kumar, P., & Clark, M., 2005)
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang sering dapat dilihat adalah, nyeri sendi, kekakuan
sendi selepas tidak bergerak (terutamanya pada waktu pagi), sendi yang tidak stabil,
kehilangan fungsi, kelembutan pada sendi (joint tenderness), krepitus pada pergerakkan, pergerakkan terbatas, tahap inflamasi yang bervariasi, dan
pembengkakan tulang. (Kumar, P., & Clark, M., 2005)
Diagnosis
Diagnosis OA biasanya berdasarkan tanda-tanda klinis dan radiogafi. Pada
tahap awal, radiografinya bisa normal tetapi penyempitan ruang sendi tampak nyata
apabila kartilago artikuler semakin menghilang. Selain itu, karakteristik yang dapat
Tetapi, biasanya dapat ditemukan perbedaan yang besar diantara tingkat keparahan
radiografi, tingkat keparahan simptom, dan abilitas fungsional.
Pemeriksaan laboratorium biasanya tidak digunakan untuk mendiagnosa
OA, tetapi pemeriksaan ini dapat membantu untuk menentukan penyebab OA
sekunder. Oleh karena OA primer bukan sistemik, laju endap darah, serum kimia,
dan urinalisis adalah normal. Analisa cairan sinovial dapat membantu
menyingkirkan kemungkinan lain seperti gout atau artritis sepsis. Pemeriksaan MRI
dan ultrasonografi tidak digunakan untuk mendiagnosa OA ataupun untuk
pemantauan perkembangan penyakit. (Fauci, A.S., & Langford, C.A., 2006)
Penatalaksanaan
Tujuan utama dalam penatalaksanaan OA adalah untuk mengurangkan
nyeri, memperbaiki mobilitas, dan meminimalkan disabilitas. Pada penderita
dengan OA ringan, proteksi sendi dan pengambilan analgesik sekali-kali menjadi
cukup; tetapi untuk pasien dengan OA berat, gabungan terapi non-farmakologi dan
suplemen analgesik dan/atau obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) adalah lebih
sesuai. Walau bagaimanapun, terapi non-farmakologis merupakan penatalaksanaan
yang paling penting, malah lebih penting dari terapi dengan obat-obatan.
Non-farmakologi
Secara non-farmakologi, tatalaksana yang dapat dilakukan adalah dengan
cara mengurangkan beban pada sendi (memperbaiki postur tubuh yang salah, beban
berlebihan pada sendi yang terlibat harus dihindarkan, pasien OA pinggul/lutut
harus hindarkan berdiri lama, berlutut dan jongkok, dan istirahat secukupnya tanpa
imobilisasi total). Selain itu, dilakukan modalitas termis dengan aplikasi panas pada
sendi OA atau mandi dengan air hangat. Pasien juga disuruh berolahraga. Untuk
OA pada ekstremitas bawah, dilakukan olahraga sedang 3 hari per minggu.
Seterunya diberikan edukasi pada pasien (edukasi tentang manejemen diri,
sendi yang terlibat). Operasi artroskopi pula dilakukan jika tidak ada manfaat
daripada terapi farmakologi.
Farmakologi
Obat yang sering diresepkan untuk pasien OA adalah OAINS untuk
mengurangkan nyeri dan memperbaiki mobilitas dalam OA, N-Acetyl-P-Aminophenol (APAP) sebagai anlagesik untuk nyeri OA ringan sampai sedang (efektivitas sama seperti OAINS), dan inhibitor selektif COX-2 jika terjadi efek
samping gastrointestinal dengan penggunaan OAINS. Injeksi glukokortikoid
diinjeksi intra/ periartikuler untuk kelegaan simptomatis untuk beberapa minggu
hingga bulan. Opiod diberikan pada nyeri OA akut. Diberi opioid lemah (kodein
peroral) jika APAP atau OAINS tidak memberikan manfaat dan dapat juga
digunakan untuk nyeri OA kronis. Rubefacient/Capsaicin merupakan obat topical
pada sendi dan otot yang nyeri yang memberikan bahang local. Operasi ortopedik
yaitu operasi penggantian sendi dilakukan pada OA tahap lanjut dimana terapi
agresif gagal. Selain itu, bisa juga dilakukan artoplasti sendi total atau osteotomi.
Regenerasi kartilago adalah perbaikan kartilago dengan sel mesenchymal
(efektivitas belum dibuktikan). (Fauci, A.S., & Langford, C.A., 2006)
2.1.2. Reumatoid Artritis
Reumatoid artritis (RA) merupakan suatu penyakit autoimun dimana
etiologinya tidak diketahui dan biasanya mengefek sendi kecil dan besar. (Dubey,
S., & Adebajo, A., 2008).
Epidemiologi
Kira-kira 20% dari pasien, onset RA adalah akut. Beberapa pasien akan rasa
tidak enak untuk beberapa bulan, tetapi yang lain mengalami disabilitas yang parah.
Remisi spontan bisa terjadi, tetapi jika penyakit berlanjutan lebih dari 2 tahun, maka
Etiologi
RA mungkin merupakan suatu manifestasi dari respon terhadap suatu agen
infeksi dalam individu yang rentan terkena secara genetik (genetically susceptible host). Agen-agen yang mungkin menjadi penyebab adalah Mycoplasma, virus Epstein-Barr (EBV), cytomegalovirus, parvovirus, dan rubella. (Fauci, A.S., &
Langford, C.A., 2006)
Manifestasi Klinis
Tanda-tanda kardinal pada penyakit RA adalah nyeri, pembengkakan,
kekakuan pagi (biasanya lebih dari satu jam), hangat, kemerahan, dan keterbatasan
fungsi. Tanda-tanda tambahan pula adalah malaise, kelelahan, nodul rheumatoid,
dan nyeri pada waktu malam. Apabila penyakit RA ini berlanjutan, tanda-tanda
sinovitis kronis menjadi lebih dominan. Sinovitis kronis dengan proliferasi sinovial
atenden dan efusi sendi dapat membawa kepada instabilitas sendi. Pada masa yang
sama, pannus destruktif memusnahkan kartilago dan tulang subkondral yang
menyebabkan terjadinya deformitas sendi. (Dubey, S., Adebajo, A., 2008).
Diagnosis
RA didiagnosis berdasarkan kombinasi dari penyajian sendi yang terlibat,
karakteristik kekakuan sendi pada pagi hari, adanya faktor darah artritis, serta
temuan nodul reumatoid dan perubahan radiografi (sinar-X). Dalam RA, sendi kecil
tangan, pergelangan tangan, kaki, dan lutut biasanya meradang dalam distribusi
simetris. Deteksi nodul reumatoid pula paling sering sekitar siku dan jari. Antibodi
abnormal yang disebut “faktor rematik”, dapat ditemukan pada 80% pasien.
Antibodi lain yang disebut “antibodi citrulline” dan “antibodi antinuklear” (ANA)
juga sering ditemukan pada orang dengan RA. Biasanya tes darah yang dilakukan
adalah laju sedimentasi (Tingkat sed). Tingkat sed biasanya lambat selama
remisi. Tes darah lain yang digunakan adalah untuk mengukur tingkat hadir
peradangan dalam tubuh dengan protein C-reaktif . Tes darah juga dapat
peradangan kronis. Apabila penyakit berlanjutan sinar-X dapat memperlihatkan
erosi tulang yang khas dari RA pada sendi. (Shiel, W.C., 2010)
Penatalaksanaan
Pengobatan yang optimal adalah kombinasi obat, istirahat, latihan penguatan
sendi, perlindungan sendi, dan edukasi pasien (dan keluarga). Obat yang digunakan
untuk mengobati RA ada 2 jenis, yaitu obat lini pertama yang cepat bertindak
seperti aspirin dan kortison (kortikosteroid) digunakan untuk mengurangi rasa sakit
dan peradangan. Obat lini kedua yang lambat bertindak (juga disebut sebagai
disease-modifying antirheumatic drugs atau DMARDs) seperti emas, metotrexete, dan hidrokloroquine, dapat mempromosikan remisi penyakit dan mencegah
terjadinya kerusakan sendi yang progresif. (Shiel, W.C., 2010)
2.1.3. Spondiloartritis
Spondiloartritis (atau spondiloartropati) adalah nama keseluruhan suatu
penyakit rematik dengan peradangan yang dapat mempengaruhi tulang belakang
dan sendi, ligamen dan tendon. Penyakit tersebut dapat menyebabkan kelelahan dan
nyeri atau kekakuan di punggung, leher, tangan, lutut, dan pergelangan kaki serta
peradangan mata, kulit, paru-paru, dan katup jantung. Penyakit yang termasuk
dalam spondiloartritis dapat mencakup, ankilosing spondilitis, reaktif artritis, artritis
psoriatis dan spondilitis psoriasis, dan artritis atau spondilitis yang berkaitan dengan
penyakit inflamasi usus, kolitis ulseratif dan Crohn's disease. (Reveille, J.D., 2010)
Epidemiologi
Spondiloartritis cenderung berdampak mereka yang remaja dan 20-an, dan
pria muda dua sampai tiga kali lebih sering daripada wanita muda. Anggota
keluarga pasien dengan spondiloartritis mempunyai risiko tertinggi tertular penyakit
Etiologi
Penyebab pasti spondiloartritis tidak diketahui. Namun, para peneliti
menunjukkan bahwa faktor keturunan memainkan peranan penting karena penyakit
ini cenderung terjadi lebih sering pada anggota keluarga pasien yang mempunyai
spondiloartritis. Orang yang biasanya terdampak penyakit ini mempunyai penanda
genetik umum yang disebut HLA-B27, yang terjadi pada sekitar tujuh persen dari
populasi. Infeksi seperti klamidia (yang dapat menyebabkan uretritis atau rasa
terbakar saat buang air kecil) dan bakteri yang menyebabkan disentri usus (seperti
salmonella, shigella, dll), bisa memicu beberapa jenis artritis reaktif yang
merupakan bentuk spondiloartritis. (Reveille, J.D., 2010)
Manifestasi Klinis
Penyakit ini bermula dengan nyeri pinggul atau nyeri punggung bawah yang
tidak menetap dan memburuk di malam hari, di pagi hari, atau setelah tidak
aktif. Nyeri punggung tersebut mungkin mulai pada sendi sakroiliaka (antara
panggul dan tulang belakang) dan melibatkan semua atau sebagian tulang
belakang. Nyeri dapat hilang dengan membungkuk dan pasien mungkin tidak dapat
mengembangkan dada sepenuhnya karena keterlibatan sendi antara tulang
rusuk. Gejala spesifik termasuk, pembungkukkan yang kronis untuk meredakan
gejala, peradangan mata, kelelahan, tumit kaki sakit, nyeri dan kekakuan pinggang,
rasa sakit dan bengkak pada sendi bahu, lutut, dan pergelangan kaki, kehilangan
nafsu makan, sakit leher, dan demam. (Reveille, J.D., 2010)
Diagnosis
Diagnosa dibuat berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik pada nyeri
punggung yang terinflamasi atau artritis sendi kaki karena ia berbeda dari artritis
jenis lain seperti RA. Pengujian tambahan seperti sinar-X dari sendi sakroiliaka dan
tulang belakang dapat mengkonfirmasi kehadiran spondilitis. Jika gejala dan
tanda-tanda menunjukkan spondiloartritis, dokter juga akan memeriksa keberadaan gen
Penatalaksanaan
Seperti berbagai bentuk artritis, terapi fisik dan olahraga rekreasi minimal 30
menit per hari secara signifikan dapat memperbaiki rasa sakit dan
kekakuan. Latihan tambahan untuk punggung setidaknya lima hari per minggu juga
akan memperbaiki rasa sakit dan fungsi pada pasien dengan ankilosing spondilitis.
Ada banyak pilihan pengobatan untuk spondiloartropati, dimulai dengan
OAINS seperti naproxen, diklofenak, ibuprofen atau indometasin yang diberikan
pada gejala awal penyakit. DMARD seperti sulfasalazine dan methotrexate telah
terbukti efektif dalam mengobati artritis di lengan atau kaki, tetapi tidak untuk
artritis tulang belakang atau sendi sakroiliaka. Suntikan obat depo-steroid ke dalam
sendi atau selubung tendon sering digunakan oleh dokter untuk mengurangi
gejala-gejala flare lokal.
Antibiotika seperti siprofloksasin, diberikan selama tiga bulan saja, segera
setelah bermulanya penyakit, mungkin memiliki efek yang menguntungkan pada
prognosis artritis reaktif, terutama bila dipicu olehChlamydia trachomatis,tapi bukan untuk spondiloartritis jenis lain. TNF alfa bloker telah terbukti cukup efektif
dalam mengobati kedua-dua gejala sendi perifer dan tulang belakang dari
spondiloartritis, serta masalah lain seperti psoriasis dan peradangan usus. Ada tiga
jenis yaitu, infliximab, etanercept, dan adalimumab. Oleh karena efek samping
anti-TNF, OAINS dan terapi DMARD dicoba terlebih dahulu.
Bagi mereka dengan ankilosing spondilitis, penggantian panggul total
adalah yang paling umum. Fusi bedah tulang belakang mungkin diperlukan jika
fungsi tulang belakang atau fungsi saraf terganggu. Osteotomi pula adalah koreksi
bedah dari deformitas tulang belakang yang dapat terjadi dengan ankilosing
spondilitis. (Reveille, J.D., 2010)
2.1.4. Gout
Gout adalah penyakit yang berhasil dari kelebihan asam urat dalam tubuh.
sendi, ia menyebabkan serangan berulang dari peradangan sendi (artritis). Biasanya
endapan kristal asam urat terjadi dalam cairan sendi (cairan sinovial) dan lapisan
sendi (lapisan sinovial). Gout dianggap sebagai penyakit kronis dan progresif. Gout
kronis juga bisa menyebabkan endapan gumpalan keras asam urat dalam jaringan,
khususnya di dan sekitar sendi dan dapat menyebabkan kerusakan sendi, penurunan
fungsi ginjal, dan batu ginjal (nefrolisiasis).
Epidemiologi
Lebih sering terjadi pada pria dibandingkan wanita. Hal ini terutama
menyerang pria setelah pubertas, dengan usia puncak 75. Pada wanita, serangan
gout biasanya terjadi setelah menopause. Banyak pasien dengan hyperuricemia
tidak mengembangkan gout (hyperuricemia asimtomatik), sementara beberapa
pasien dengan serangan gout berulang mempunyai kadar asam urat darah yang
normal atau rendah. Di antara penduduk laki-laki di Amerika Serikat, sekitar 10%
memiliki hyperuricemia. Namun, hanya sebagian kecil dari mereka yang
benar-benar akan mengembangkan gout.
Etiologi
Penyakit gout sering berhubungan dengan kelainan yang diwarisi dalam
kemampuan tubuh untuk memproses asam urat. Asam urat merupakan produk
rincian purin yang merupakan bagian dari makanan yang kita makan. Kelainan
dalam menangani asam urat dapat menyebabkan serangan artritis yang menyakitkan
(serangan gout), batu ginjal, dan penyumbatan pada penyaringan tubulus ginjal
dengan kristal asam urat, menyebabkan gagal ginjal.
Manifestasi klinis
Sendi kecil di pangkal jempol kaki adalah situs yang paling umum dari
serangan artritis gout akut yang disebut sebagai podagra. Sendi lain yang umumnya
terkena termasuk pergelangan kaki, lutut, pergelangan tangan, jari, dan siku.
terkena diikuti oleh kehangatan, pembengkakan, perubahan warna kemerahan, dan
kelembutan. Pasien dapat mengembangkan demam dengan serangan gout
akut. Serangan-serangan yang menyakitkan biasanya mereda dalam beberapa jam
ke hari, dengan atau tanpa pengobatan. Kebanyakan pasien dengan gout akan
mengalami serangan berulang dari arthritis selama bertahun-tahun. Dalam kronis
(tophaceous) gout, massa nodular kristal asam urat (tofi) mengendap di daerah jaringan lunak tubuh yang berbeda. Meskipun yang paling sering ditemukan sebagai
nodul keras di sekitar jari-jari, di ujung siku, di telinga, dan sekitar jempol kaki,
nodul tofi dapat muncul di mana saja di tubuh. Ketika tofi muncul di jaringan,
kondisi gout mewakili kelebihan beban asam urat dalam tubuh.
Diagnosis
Gout dicurigai ketika pasien melaporkan riwayat serangan artritis yang
menyakitkan, terutama di dasar jari-jari kaki. Gout biasanya menyerang satu sendi
pada satu waktu, sementara kondisi artritis lainnya, seperti lupus sistemik dan
reumatoid artritis, biasanya menyerang sendi secara bersamaan. Tes yang paling
diandalkan untuk gout adalah penemuan kristal asam urat dalam sampel dari cairan
sendi yang diperoleh melalui aspirasi sendi (arthrocentesis). Diagnosis gout juga dapat dibuat dengan menemukan kristal-kristal asam urat dari bahan diaspirasi dari
nodular tofi. Sinar-X kadang-kadang bisa membantu dan bisa menunjukkan
pengendapan tofi-kristal dan kerusakan tulang sebagai akibat serangan berulang
dari peradangan. Sinar-X juga dapat membantu untuk memantau dampak gout
kronis pada sendi.
Penatalaksanaan
Menjaga asupan cairan yang cukup membantu mencegah serangan gout akut
dan menurunkan resiko pembentukan batu ginjal pada pasien dengan
gout. Pengurangan konsumsi alkohol, penurunan berat badan, perubahan pola
yaitu dengan menghambat ekskresi asam urat dari ginjal serta dengan menyebabkan
dehidrasi, yang keduanya memberikan kontribusi pada pengendapan kristal asam
urat pada sendi dengan mengefek metabolisme asam urat.
Ada tiga aspek untuk pengobatan asam urat dengan obat-obatan. Pertama,
penghilang rasa sakit seperti asetaminofen (Tylenol) atau analgesik lain yang lebih
kuat digunakan untuk mengatasi rasa sakit. Kedua, agen anti-inflamasi
seperti OAINS, colchicine , dan kortikosteroid digunakan untuk mengurangi
peradangan sendi. Akhirnya, obat dipertimbangkan untuk mengelola kekacauan
metabolisme kronis yang menyebabkan hiperurisemia dan asam urat. Probenesid
(Benemid) dan sulfinpirazone (Anturane) adalah obat-obat yang biasa digunakan
untuk mengurangi kadar asam urat darah dengan meningkatkan ekskresi asam urat
ke dalam urin. Tetapi, obat penurun asam urat seperti alopurinol dan febuxostat
umumnya tidak dimulai pada pasien yang mengalami serangan akut gout karena
dapat memperburuk peradangan akut. Obat intravena baru yang digunakan untuk
menurunkan kadar asam urat darah pada pasien tertentu dengan gout kronis adalah
pegylated uricase. Obat infus ini harus dipertimbangkan hanya untuk pasien-pasien dengan gout yang telah gagal pengobatan dengan obat-obat penurunan asam urat
konvensional karena dapat menyebabkan reaksi anafilaksis dan reaksi infus. (Shiel,
W.C., 2010)
2.1.5. Lupus Eritematosus Sistemik (LES)
Lupus adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan peradangan akut dan
kronis dari berbagai jaringan tubuh. Orang dengan lupus memproduksi antibodi
abnormal dalam darah mereka yang menargetkan jaringan dalam tubuh mereka
sendiri daripada agen infeksi asing. Karena antibodi dan sel-sel yang menyertai
peradangan dapat mempengaruhi jaringan di mana saja di tubuh, lupus memiliki
potensi untuk mempengaruhi berbagai area. Lupus dapat menyebabkan penyakit
hati, kulit, sistem paru-paru, ginjal, sendi, dan/atau sistem saraf. Ketika hanya kulit
yang terlibat, kondisi ini disebut dermatitis lupus atau lupus eritematosus kulit.
disebut lupus discoid. Ketika organ-organ internal yang terlibat, kondisi ini disebut
sebagai LES. (Shiel, W.C., 2010)
Epidemiologi
Baik lupus diskoid dan sistemik adalah lebih umum pada wanita dibanding
pria (sekitar delapan kali lebih umum). Penyakit ini dapat mempengaruhi semua
umur namun paling sering dimulai 20-45 tahun.Statistik menunjukkan bahwa lupus
agak lebih sering pada Amerika Afrika dan orang-orang keturunan Cina dan
Jepang. (Shiel, W.C., 2010)
Etiologi
Alasan yang tepat untuk autoimun yang abnormal yang menyebabkan lupus
masih belum diketahui. Tetapi diduga gen yang diwariskan, virus, sinar ultraviolet,
dan obat tertentu mungkin memainkan peran. Beberapa ilmuwan percaya bahwa
sistem imun pada lupus lebih mudah distimulasi oleh faktor eksternal seperti virus
atau sinar ultraviolet. Kadang-kadang, gejala lupus dapat dipercepat atau diperburuk
hanya dengan periode singkat paparan sinar matahari. Hal ini juga diketahui bahwa
beberapa wanita dengan LES dapat mengalami perburukan gejala sebelum mereka
menstruasi. Fenomena ini, bersama dengan dominasi LES pada wanita,
menyarankan bahwa hormon-hormon wanita memainkan peran penting dalam
ekspresi dari LES. Baru-baru ini, penelitian telah menunjukkan bukti bahwa suatu
kunci kegagalan enzim untuk membuang sel-sel mati dapat berkontribusi pada
pengembangan LES. Enzim DNase1, umumnya mengeliminasi apa yang disebut
“sampah DNA” dan puing-puing sel-sel lainnya dengan menjadikannya
fragmen-fragmen kecil untuk memudahkan pembuangan. Jadi, mutasi genetik dalam gen
yang dapat mengganggu pembuangan limbah selular tubuh mungkin terlibat dalam
Manifestasi klinis
Hampir semua orang dengan LES mempunyai nyeri sendi dan
bengkak. Beberapa pasien mengembangkan artritis. Sering sendi yang terkena
adalah jari-jari, tangan, pergelangan tangan, dan lutut. Gejala umum lainnya
termasuk nyeri dada saat mengambil napas dalam, kelelahan, demam tanpa
penyebab lain, ketidaknyamanan, kegelisahan, atau perasaan sakit (malaise), rambut
rontok, sensitivitas terhadap sinar matahari, pembesaran kelenjar getah bening, dan
ruam kulit yang tampak seperti "kupu-kupu" pada pipi dan jembatan hidung
mempengaruhi sekitar setengah dari orang dengan LES. Ruam ini semakin
memburuk di sinar matahari juga dapat meluas. Gejala lain tergantung pada bagian
tubuh apa yang terkena. Jika otak dan sistem saraf yang terkena maka gejalanya
adalah sakit kepala, kelainan kognitif, parastesia atau nyeri di lengan atau kaki,
perubahan kepribadian, psikosis, risiko stroke, kejang, dan permasalahan
penglihatan. Jika saluran pencernaan, nyeri perut, mual, dan muntah. Pada jantung,
irama jantung akan menjadi abnormal (aritmia). LES pada ginjal meyebabkan darah
dalam urin. Jika pada paru-paru, batuk darah dan kesulitan bernafas akan terjadi.
Pada kulit, warna kulit merata dan jari-jari berubah warna saat dingin (fenomena
Raynaud’s). (Borigini, M.J., 2010)
Diagnosis
Diagnosis LES adalah berdasarkan pada ciri khas dari penyakit. Pasien
harus ada paling tidak 4 dari 11 ciri khas dari penyakit. Biasanya akan diauskultasi
untuk mendengarkan suara heart friction rub atau pleural friction rub. Selain itu, ujian neurologis juga akan dilakukan. Tes yang digunakan untuk mendiagnosa LES
dapat meliputi tes antibodi (ANA panel, Anti-double strand (ds) DNA, Antiphospholipid antibody, dan Anti-Smith antibody), dan CBC (complete blood count) untuk menunjukkan jumlah sel darah putih, hemoglobin, atau platelet. Selain itu, sinar-X dada untuk menunjukkan pleuritis atau perikarditis. Juga dilakukan
biopsy ginjal dan pemeriksaan urin untuk menunjukkan darah atau protein dalam
Penatalaksanaan
Tidak ada obat untuk LES tetapi pengobatan ditujukan untuk mengontrol
gejala berdasarkan gejala individual. Penyakit ringan yang melibatkan ruam, sakit
kepala, demam, artritis, pleuritis, dan perikarditis tidak memerlukan terapi banyak.
Biasanya OAINS digunakan untuk mengobati rematik dan pleuritis. Krim
kortikosteroid digunakan untuk mengobati ruam kulit. Obat antimalaria
(hidroksiklorokuin) dan kortikosteroid dosis rendah kadang-kadang digunakan
untuk gejala kulit dan artritis. Kortikosteroid atau obat untuk mengurangi respon
sistem kekebalan tubuh mungkin diresepkan untuk mengontrol gejala lain. Obat
sitotoksik (obat yang menghambat pertumbuhan sel) digunakan untuk mengobati
orang yang tidak merespon dengan baik terhadap kortikosteroid, atau yang tidak
dapat berhenti mengkonsumsi kortikosteroid tanpa gejala mereka semakin buruk.
Secara non farmakologi, pasien disuruh memakai pakaian pelindung, kacamata
hitam, dan tabir matahari ketika di bawah sinar matahari. (Borigini, M.J., 2010)
2.1.6. Fibromialgia
Fibromialgia dikarakteristikan dengan nyeri muskuloskeletal kronis,
kekakuan, parastesia, gangguan tidur dan cepat lelah yang terdistribusi dengan luas
dan simetris. Fibromialgia mengefek wanita dengan rasio 9 dibanding 1. Penyakit
ini ditemukan pada kebanyakkan negara, kebanyakkan suku, dan di semua jenis
iklim.
Penyakit ini didiagnosis dengan riwayat nyeri muskuloskeletal yang ada
paling tidak selama 3 bulan dan mempunyai kelembutan atau nyeri pada 11
daripada 18 area kelembutan sewaktu palpasi digital dilakukan. Langkah awal
dalam penatalaksanaan adalah untuk memperbaiki kualitas tidur pasien. Kemudian
depresi dan anxietas diobati dengan serotonin/ norepinephrine reuptake inhibitor.
Terapi lain seperti hipnoterapi dan manegemen stress turut membantu pasien.
2.1.7. Skleroderma
Skleroderma merupakan penyakit kronis multisistem dimana etiologinya
masih belum diketahui. Secara klinis, dikarakteristikkan dengan penebalan kulit
yang disebabkan oleh akumulasi jaringan ikat dan abnormalitas struktur dan
fungsional pada organ viseral, termasuk saluran pencernaan, paru-paru, jantung, dan
ginjal. Antara manifestasi klinis yang terdapat pada penyakit ini adalah fenomenon
Raynaud, penebalan kulit, kalsinosis subkutan, artralgias, miopati, dismotilitas
esofageal, fibrosis pulmonal, gagal jantung kongestif, dan krisis renal.
Penyakit skleroderma mempunyai distribusi di seluruh dunia dan mengefek
semua suku kaum. Onset bagi penyakit ini biasanya pada masa anak-anak dan pria
usia muda. Insidensi semakin meningkat pada usia lanjut, dimana puncak
maksimumnya ada pada usia 30-50 tahun. Wanita, secara keseluruhan terkena
penyakit ini 3 kali lebih sering jika dibanding dengan pria. Penyakit ini biasanya
didiagnosis berdasarkan gejala-gejalanya. Pada beberapa pasien, monoklonal IgG
dapat dideteksi. Selain itu, biopsi juga turut dilakukan untuk membedakan dengan
penyakit rematik lain.
Walaupun penyakit ini tidak dapat disembuhkan, penanganan organ-organ
yang terlibat dapat mengurangkan simptom-simptom dan memperbaiki fungsi. Efek
terapi obat untuk penyakit ini, menjadi susah untuk dievaluasi karena penyebabnya
yang bervariasi dan keparahan penyakit yang berbeda. Pasien dengan skleroderma
kutan yang terbatas, mempunyai prognosis yang baik, tetapi prognosis pada pasien
tahap awal menjadi susah untuk diprediksi. (Fauci, A.S., & Langford, C.A., 2006)
2.2. Fungsi Fisik
Fungsi fisik merupakan kemampuan untuk melaksanakan tugas sehari-hari
dengan kewaspadaan dan semangat, tanpa kelelahan dan dengan cadangan energi
yang cukup untuk memenuhi keadaan darurat. (Mosby, 2004) Manakala status
fungsional mengacu pada tingkat kinerja pasien dalam aktivitas hidup
sehari-hari. Meskipun status fungsional jelas sangat penting untuk pasien dan profesional
pencitraan lain maka belum pernah diukur secara formal dalam pengaturan
perawatan medis tradisional. Pada dekad terakhir ini, beberapa instrumen kuesioner
telah dipelajari secara ekstensif untuk menilai status fungsional pasien dalam
penelitian klinis, uji klinis, dan praktek klinis. Pengembangan kuesioner ini adalah
berdasarkan pada metode ilmiah dan menyediakan pengetahuan baru tentang
kondisi jangka panjang berbagai penyakit rematik. Persyaratan metodologi yang
dibutuhkan dalam suatu kuesioner status fungsional meliputi evaluasi kuantitatif
terhadap tingkat basis fungsi pasien untuk perbandingan dari waktu ke waktu dalam
uji klinis atau praktek klinis, diskriminasi antara individu (atau kelompok) sesuai
dengan komponen yang diberikan atau kriteria status fungsional, dan prediksi dari
suatu tingkat fungsional berikutnya pada pasien berisiko untuk kompromi
fungsional di masa depan. Kuesioner status fungsional berhubungan baik dengan
titik akhir evaluasi tradisional dalam penyakit rematik, seperti menghitung sendi,
temuan radiografi, dan hasil laboratorium. Selain itu, kuesioner dapat memberikan
informasi yang berguna mengenai sejumlah gejala klinis yang penting yang telah
sulit atau tidak mungkin untuk diukur dengan langkah-langkah tradisional. Ini
meliputi:
a. Dokumentasi dan prediksi penurunan fungsional jangka panjang dan
disabilitas kerja yang terkait dengan penyakit rematik.
b. Prediksi mortalitas pada pasien dengan reumatoid artritis, termasuk
identifikasi pasien dengan proyeksi survival 5-tahun pada kisaran 50%,
seperti pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler dan neoplastik.
c. Identifikasi pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh pasien dengan penyakit
rematik.
d. Deteksi perubahan status klinis pada pasien yang terdaftar dalam uji klinis,
yang sama efektitivitasnya dengan pemeriksaan fisik atau
laboratorium. Meskipun penggunaan kuesioner ini telah sebagian besar
Beberapa kuesioner telah dikembangkan untuk mengukur berbagai aspek
status fungsional pada pasien dengan penyakit rematik. Antaranya adalah, Health Assessment Questionnaire (HAQ), Modified Health Assessment Questionnaire (MHAQ), Arthritis Impact Measurement Scale (AIMS), MACTAR Patient Preference Disability Questionnaire,dan lain-lain lagi. (Pincus, T., & MacKenzie, R., 2000)
2.2.1. Keterbatasan Fungsi Fisik
Keterbatsan fungsi fisik adalah suatu kondisi dimana seseorang tidak dapat
atau mengalami kesukaran untuk melakukan aktivitas hariannya dengan
kewaspadaan, tanpa kelelahan, dan energi yang secukupnya.
2.2.2. Keterbatasan Fungsi Fisik pada Penderita Rematik
Ahli rematologi mengklasifikasikan status fungsional pasien rematik sebagai
berikut:
a. Kelas I: benar-benar mampu melakukan kegiatan biasa hidup sehari-hari
b. Kelas II: mampu melakukan perawatan diri sendiri biasa dan kegiatan
kerja tapi terbatas pada kegiatan di luar pekerjaan (misalnya olahraga
bermain, pekerjaan rumah tangga)
c. Kelas III: mampu melakukan kegiatan mandiri perawatan biasa tapi
terbatas pada pekerjaan dan kegiatan lain
d. Kelas IV: terbatas dalam kemampuan untuk melakukan perawatan diri
biasa, pekerjaan, dan kegiatan lainnya
Keterbatasan fungsi fisik yang biasanya terjadi pada penderita penyakit
rematik adalah pada hal-hal seperti berjalan 1 atau 2 kilometer, menaik 1 atau 2
tangga, membuka penutup botol yang belum dibuka, membersihkan rumah, bekerja
di kebun, mengangkat barang-barang yang berat, mencuci rambut, berdiri dari suatu
kerusi yang tegak lurus, turun dari tempat tidur, mengangkat segelas air yang terisi
penuh, mengeringkan badan selepas mandi dan lain-lain lagi. (Wolfe, F., Michaud,
BAB 3
KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian diatas maka kerangka konsep dalam
penelitian ini adalah:
Penderita penyakit rematik Penilaian fungsi fisik
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian
3.2. Definisi Operasional
a) Penderita Penyakit Rematik
Semua pasien yang menderita penyakit rematik yang telah didiagnosa
oleh dokter spesialis di Poliklinik Rematologi RSUP HAM.
b) Fungsi Fisik pada Penderita Rematik
Suatu kondisi dimana seseorang dapat melakukan aktivitas hariannya
tanpa rasa sakit atau nyeri akibat dari penyakit mereka.
i) Cara Pengukuran
Pengukuran dilakukan dengan metode wawancara.
ii) Alat Ukur
Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner.
iii) Hasil Pengukuran
Hasil pengukuran dinyatakan dalam bentuk yang dikategorikan
menjadi:
a. Fungsi fisik responden tidak terbatas bila jawapannya adalah bisa
b. Fungsi fisik responden sedikit terbatas bila jawapannya adalah agak
sulit
c. Fungsi fisik responden terbatas bila jawapannya adalah tidak bisa
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan desain cross-sectional. Dengan pengamatan yang dilakukan satu kali saja dalam satu waktu tertentu, dapat diperoleh tingkat keterbatasan fisik pada penderita rematik melalui
data primer yang didapatkan melalui pengisian kuesioner yang diedarkan.
4.2. Waktu dan Lokasi Penelitian 4.2.1. Waktu Penelitian
Penelitian ini mulai dirancang pada bulan Februari 2011 dengan penelusuran
daftar pustaka yang meliputi sumber dari buku, jurnal serta artikel dari internet,
pembuatan serta penyusunan proposal penelitian yang diikuti dengan konsultasi
dengan dosen pembimbing. Pembentangan proposal di seminar proposal dilanjutkan
kemudiannya pada bulan Mei 2011 serta diteruskan dengan penelitian lapangan
yang dimulai dari pengumpulan data sehingga penulisan laporan tentang hasil yang
telah mengambil masa selama 6 bulan, yaitu dari bulan Juni 2011 sehingga bulan
Tabel 4.1 Gambaran Waktu Penelitian (Timeline)
Lokasi yang dipilih untuk melakukan penelitian adalah di Poliklinik
Rematologi RSUP HAM.
4.3. Populasi Dan Sampel Penelitian 4.3.1. Populasi
Populasi target dalam penelitian ini merupakan pasien yang berobat ke
Poliklinik Rematologi RSUP HAM periode Juni – November 2011.
Populasi terjangkau dalam penelitian ini merupakan penderita rematik yang
4.3.2. Sampel
Sampel pada penelitian ini diambil dengan menggunakan teknik consecutive sampling dengan kriteria inklusi seluruh pasien yang menderita penyakit rematik yang telah didiagnosa oleh dokter spesialis di Poliklinik Rematologi RSUP HAM
serta kriteria eksklusi, pasien dengan kelainan tulang bawaan dan non-rematik.
Perkiraan jumlah sampel yang minimal pada penelitian ini diambil berdasarkan
rumus estimasi proporsi pada populasi, dimana tingkat kepercayaan yang
dikehendaki sebesar 95% dan tingkat ketepatan relatif 10% (Sastroasmoro dan
Ismael, 2008). Maka diperoleh sampel sebesar 96.
n = Zα² PQ
d²
Keterangan rumus:
n : jumlah/ besar sampel
α : tingkat kemaknaan yang ditetapkan peneliti. Dalam penelitian ini, peneliti menentukan α = 0,05 sehingga Zα penelitian ini sebesar 1,96
P : proporsi keadaan yang akan dicari (ditetapkan peneliti) = 0,5
Q : 1-P = 0,5
d : tingkat ketepatan absolut yang dikehendaki peneliti. Dalam penelitian ini,
peneliti menetapkan = 0,1
Angka-angka di atas di masukkan kembali ke rumus besar sampel:
n = (1,96)² x 0,5 x 0,5
(0,1)²
= 96,04 ≈ 96 orang
4.4. Teknik Pengumpulan Data. 4.4.1. Data Primer
Data yang digunakan untuk penelitian ini merupakan data primer yang
diadaptasi dari HAQ-II yang telah diuji validitas serta reliabilitas sebagai instrumen
penelitian.
4.4.1.1. Uji Validitas Dan Reliabilitas
Kuesioner yang telah disusun, diuji validitas content dan reliabilitasnya oleh seorang expertisdalam bagian rematologi.
4.4.2. Instrumen Penelitian
Menurut Notoatmodjo (2005), instrumen adalah alat-alat yang akan
digunakan untuk pengumpulan data. Instrumen penelitian ini berupa kuesioner
sebagai alat bantu dalam pengumpulan data yang terdiri dari pertanyaan-pertanyaan
untuk mengumpulkan data mengenai keterbatasan fungsi fisik pada penderita
rematik.
4.4.3. Teknik Skoring dan Skala
Dalam penelitian ini, kuesioner yang digunakan adalah kuesioner penelitian
keterbatasan fungsi fisik pada penderita rematik. Pengukuran penggolongan
keterbatasan fungsi fisik diperoleh dari hasil pengukuran jumlah kuesioner yang
diberikan bagi mengetahui kondisi fisik responden dan dikategorikan pada tingkat
sangat terbatas, sedikit terbatas dan tidak terbatas.
4.4.3.1. Kategori Penelitian Pengukuran
Sedangkan dalam penentuan kategori penelitian dinilai dengan
menggunakan presentasi sebagai berikut:
a. Fungsi fisik responden tidak terbatas bila jawapannya adalah bisa.
b. Fungsi fisik responden sedikit terbatas bila jawapannya adalah agak sulit.
4.5. Pengolahan dan Analisis Data
Data dianalisa secara statistik deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel
distribusi frekuensi. Analisa statistik dilakukan dengan bantuan komputer yaitu
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1. Hasil penelitian
5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
RSUP HAM yang umumnya dikenal dengan sebutan RSUP H Adam Malik
merupakan Rumah Sakit Umum Kelas A yang berada di kota Medan. RSUP HAM
juga digunakan sebagai rumah sakit pendidikan bagi calon dokter dan calon dokter
spesialis dari Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Divisi Rematologi merupakan salah satu bagian dari Departemen Ilmu
Penyakit Dalam (IPD). Pelayanan bagi pasien rematologi diberikan di poliklinik
divisi remotologi pada setiap hari Senin dan Rabu mulai jam 0900 hingga jam 1500.
Pasien-pasien rematologi merupakan pasien rujukan antara departemen IPD dan
juga rujukan dari departemen-departemen lain.
5.1.2. Deskripsi Karakteristik Responden
Dalam penelitian ini, karakteristik yang diamati pada responden meliputi jenis
kelamin, umur, dan jenis penyakit rematik responden.
Tabel 5.1 Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin
Jenis Kelamin Frekuensi Persentase(%)
Lelaki Perempuan
28 69
28.9 71.1
Total 97 100.0
Dari tabel 5.1, diketahui bahwa sebanyak 28 orang (28.9%) responden yang
menderita penyakit rematik adalah laki-laki dan 69 orang (71.1%) responden yang
Tabel 5.2 Karakteristik responden berdasarkan umur
Umur Frekuensi Persentase (%)
11-20 2 2.1
21-30 1 1.0
31-40 2 2.1
41-50 14 14.4
51-60 26 26.8
61-70 32 33.0
71-80 20 20.6
Total 97 100.0
Dari tabel 5.2, diketahui bahwa frekuensi penyakit rematik adalah lebih tinggi
pada responden yang berumur lebih dari 40 tahun, dimana responden dari kelompok
umur 61-70 tahun mempunyai frekuensi yang paling tinggi yaitu sebanyak 32 orang
(33.0%).
Tabel 5.3 Karakteristik responden berdasarkan jenis penyakit rematik Jenis Penyakit Rematik Frekuensi Persentase (%)
OA 50 51.5
RA 30 30.9
Spondiloartritis 15 15.5
Gout 1 1.0
LES 1 1.0
Total 97 100.0
Dari tabel 5.3, diketahui bahwa penyakit OA diderita paling banyak oleh
responden-responden jika dibandingkan dengan jenis penyakit rematik yang lain.
Berdasarkan tabel 5.3, frekuensi responden yang menderita penyakit OA ini adalah
5.1.3. Hasil Analisa Data
Jongkok di kamar mandi 33 46 18 97
Menaiki 5 anak tangga 33 55 9 97
Membuka botol yang belum pernah dibuka
69 13 15 97
Menyapu rumah 80 16 1 97
Jalan diluar rumah pada tanah datar 61 28 8 97
Berdiri antri 15 menit 47 42 8 97
Bekerja di luar rumah 43 37 17 97
Mengangkat benda berat 50 27 20 97
Gerakkan benda berat 40 29 28 97
Tukar sprai tempat tidur 69 25 3 97
Buka baju/ikat tali sepatu 75 20 2 97
Mencuci rambut 90 6 1 97
Naik & turun tempat tidur 59 36 2 97
Mandi & keringkan tubuh dengan
kamar mandi, menaiki 5 anak tangga, bekerja di luar rumah dan menggerakkan
benda yang berat. Ketika melakukan aktivitas seperti berdiri antri selama 15 menit,
mengangkat benda yang berat, dan membungkuk untuk mengambil kain dari lantai,
kejadian kesulitan atau adanya keterbatasan adalah hampir sama jumlahnya dengan
kejadian tidak ada keterbatasan. Lebih dari satu per empat dari total responden
mengalami kesulitan dan keterbatasan ketika melakukan aktivitas seperti membuka
botol yang belum pernah dibuka, berjalan di luar rumah pada tanah yang datar,
menukar sprai tempat tidur, membuka baju/ mengikat tali sepatu, dan naik dan
turun dari tempat tidur. Sementara, hampir semua responden tidak mengalami
apa-apa kesulitan ketika melakukan aktivitas seperti menyapu rumah, mencuci rambut,
dan mandi dan keringkan tubuh dengan handuk.
5.2. Pembahasan
Berdasarkan tabel frekuensi jenis kelamin (Tabel 5.1), penyakit rematik lebih
rentan diderita oleh wanita (69 orang) jika dibandingkan dengan lelaki (28 orang).
Hal ini dudukung oleh teori-teori berdasarkan epidemiologi dimana wanita lebih
rentan terkena kebanyakkan daripada penyakit rematik, contohnya seperti OA, RA,
LES dan lain-lain lagi. Selain itu, hormon-hormon wanita juga dikatakan turut
memainkan peranan dalam hal jenis kelamin sebagai salah satu faktor risiko
(Dubey, 2008). Berdasarkan penelitian Salaffi (2009), didapati bahwa pasien yang
mengikuti penelitian kebanyakkan adalah perempuan, sama seperti dalam penelitian
ini. Secara umum perempuan mempunyai keadaan kesehatan yang lebih buruk
dibandingkan dengan lelaki. Hal ini tidak hanya terjadi pada pasien rematik saja,
tetapi juga terjadi pada kelompok control.
Dari hasil analisa tabel frekuensi umur (Tabel 5.2), didapati frekuensi
penderita penyakit rematik semakin meningkat pada usia lebih dari 40 tahun.
Berdasarkan teori, prevalensi penyakit rematik semakin meningkat dengan usia
karena kondisinya yang tidak reversibel. Walaupun beberapa penyakit seperti RA,
LES dan spondiloartritis bisa terjadi pada semua usia, tetapi prevalensi meningkat
pada usia lebih dari 40 tahun (Dubey, 2008). Hal yang sama juga terjadi dalam
lebih banyak pada usia yang lebih tua. Turut dinyatakan bahwa keadaan kesehatan
pasien semakin buruk dengan meningkatnya usia pasien dalam semua kategori
penyakit rematik yang dinilai dalam penelitiannya.
Berdasarkan tabel frekuensi jenis penyakit rematik (Tabel 5.3), kejadian yang
paling tinggi adalah OA jika dibandingkan dengan penyakit rematik lain. Hal ini
didukung oleh teori yang dibahas dalam Bab 2, dimana penyakit OA merupakan
penyakit dengan prevalensi yang tertinggi dalam kelompok masyarakat kita dan
penyebab kedua tersering dalam ketidakmampuan pada orang tua di negara-negara
barat (Dubey, 2008). Berdasarkan penelitian oleh Moskowitz (2009) juga
dinyatakan bahwa OA merupakan penyakit arthritis yang paling umum terjadi
dimana 27 juta orang dewasa Amerika Serikat menderita penyakit ini. Berdasarkan
penelitian Salaffi (2009), dalam kategori penyakit rematik autoimun, penyakit RA
mempunyai frekuensi paling tinggi. Hal ini sama seperti hasil penelitian peneliti
dimana penyakit RA mempunyai frekuensi yang paling tinggi jika dibandingkan
dengan penyakit rematik autoimun yang lain.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan, ternyata mayoritas
responden yang menderita penyakit rematik mengalami keterbatasan fungsi fisik
apabila melakukan aktivitas-aktivitas pada pertanyaan nomor 1, 2, 7 dan 9. Jelas
terlihat bahwa pada kebanyakkan pasien rematik terjadi keterbatasan dalam
melakukan aktivitas yang melibatkan tungkai bawah tubuh. Hal ini mungkin terjadi
karena sendi-sendi yang terlibat pada kebanyakkan pasien adalah sendi pinggul,
lutut dan kaki, maka ketidakmampuan dalam melakukan aktivitas yang melibatkan
sendi-sendi ini terjadi. Selain itu, juga didapati bahwa pada pasien OA, sendi-sendi
yang sering terlibat adalah sendi-sendi pinggul, lutut dan kaki (Kumar,2005) dan
berdasarkan tabel 5.3, didapati bahwa penyakit OA mempunyai total responden
yang paling banyak yaitu sebanyak 50 orang.
Dari hasil analisa diketahui bahwa kejadian tidak ada keterbatasan dan
kejadian adanya kesulitan dan keterbatasan pada responden, terjadi pada jumlah
sendi punggung terlibat pada penyakit rematik seperti LES dan RA, tetapi paling
sering pada spondiloartritis karena berdasarkan teori, pada penyakit spondiloartritis,
bagian yang paling umum terefek adalah bagian punggung, tulang belakang, leher,
tangan dan lutut (Reveille, 2010). Oleh karena total responden untuk penyakit
spondiloartritis adalah sebanyak 15 orang, RA sebanyak 30 orang dan LES
sebanyak 1 orang (berdasarkan tabel 5.3) maka kejadian tidak ada keterbatasan dan
adanya keterbatasan adalah hampir sama.
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa hampir semua responden tidak
mengalami keterbatasan apabila melakukan aktivitas pada pertanyaan nomor 4, 12,
dan 14. Didapati bahwa aktivitas-aktivitas ini membutuhkan penggunaan
sendi-sendi kecil seperti sendi-sendi jari tangan dan pergelangan tangan. Pada kebanyakkan
penyakit rematik seperti OA, RA dan spondiloartritis, sendi-sendi besar sering
terlibat, maka kebanyakkan responden tidak mengalami kesulitan ketika melakukan
aktivitas yang melibatkan sendi-sendi kecil. Tetapi berdasarkan teori, pada RA,
sendi-sendi kecil seperti sendi tangan, kaki, pergelangan tangan dan/atau
pergelangan kaki juga akan terefek (Dubey, 2008), ini menunjukkan mengapa
hanya sebagian kecil responden mengalami kesulitan dan keterbatasan dalam
melakukan aktivitas ini. Hal yang sama terjadi ketika melakukan aktivitas pada
pertanyaan nomor 3, 5, 10, 11, dan 13 dimana lebih dari satu per empat dari total
responden mengalami kesulitan dan keterbatasan dalam melakukan
aktivitas-aktivitas pada pertanyaan ini. Jelas terlihat bahwa aktivitas-aktivitas-aktivitas-aktivitas ini
membutuhkan penggunaan sendi kecil seperti jari kaki dan tangan, serta
pergelangan kaki dan tangan.
Berdasarkan penelitian Rugine (2009), pasien RA dan LES mempunyai
hampir sama halnya dalam mengalami nyeri dan keterbatasan aktivitas.
Berdasarkan penelitian ini, dikatakan terjadinya hal ini karena adanya pengaruh
emosional yang kuat bagi pasien dan penyakit rematik inflamasi. Dalam penelitian
Salaffi (2009), yang menilai tentang kualitas hidup (quality of life, QOL) pasien RA dan spondiloartritis, menyatakan bahwa pasien RA mempunyai QOL yang paling
fungsi fisik dan nyeri. Dalam penelitian ini juga dikatakan bahwa kesehatan
emosional pasien sangat mempengaruhi kondisi fungsi fisik dan nyeri. Dalam
penelitian juga dikatakan bahwa penyakit penyerta lain (comorbidity) juga menjadi salah satu faktor utama yang mempengaruhi kondisi fisik pasien. Pada pasien
spondiloartritis, terjadi progress yang lebih cepat dalam ketidakmampuan
fungsional pada usia lebih tua dan perokok (Ward, 2011). Dari hasil
penelitian-penelitian ini, pada pendapat peneliti, didapati bahwa penyakit RA, spondiloartritis,
dan LES merupakan penyakit autoimun, maka lebih banyak jaringan tubuh yang
akan mengalami kelainan. Hal ini mengakibatkan kondisi fisik pasien yang
menderita penyakit-penyakit ini menjadi lebih buruk.
Berdasarkan hasil pembahasan didapati antara faktor-faktor yang
mempengaruhi kondisi fisik adalah hal-hal seperti umur, jenis kelamin, jenis
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
1. Berdasarkan hasil penelitian, didapati bahwa kondisi fungsi fisik pada
pasien rematik di RSUP HAM adalah sedang.
2. Kekuatan pada penelitian ini adalah, hasil penelitian dapat berguna kepada
kedua-dua pihak dokter dan pasien dalam mengetahui kondisi fisik pasien karena di
Poliklinik Rematolgi RSUP HAM tidak dilakukan penilaian kondisi fisik pasien
dengan menggunakan kuesioner baku seperti yang dilakukan dalam penelitian ini.
3. Kelemahannya pula adalah tidak dapat mengakses diagnosa pasti jenis
penyakit rematik pasien karena adanya hambatan untuk mengakses status pasien.
6.2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian, terdapat beberapa saran yang ingin saya berikan,
diantaranya:
1. Diharapkan pasien yang menderita penyakit rematik dapat melakukan
olahraga secara konsisten dan mengambil israhat yang secukupnya untuk
memperbaiki kondisi fungsi fisik mereka.
2. Selain itu pasien rematik juga harus mengamalkan cara hidup yang sehat
dengan mengkonsumsi makanan dengan diet yang benar.
3. Diharapkan bahwa dokter dapat mengedukasi pasien menghindari stress,
dan menjelaskan hal-hal yang dapat memperburukan kondisi fungsi fisik
pasien supaya QOL dapat ditingkatkan.
4. Penggunaan kuesioner penilaian ketidakmampuan fungsional dalam praktek
harus dijadikan suatu kebiasaan karena pihak dokter dapat menggunakan
alat ini sebagai bantuan dalam pengambilan keputusan secara klinis.
5. Pada penelitian selanjutnya, diharapkan supaya peneliti lain dapat menilai
kondisi fisik pasien dengan memasukkan kriteria tingkat keparahan dan
DAFTAR PUSTAKA
Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ). Staying Healthy Through Education and Prevention (STEP). U.S. Department of Health & Human Services.
Borigini, M.J., 2010. Systemic Lupus Erythematosus. Available from: http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000435.htm [Accessed 29
April 2011]
Bruce, B., Fries, J.F., Ambrosini, D., Lingala, B., Gandek, B., Rose, M., et al., 2009. Better Assessment of Physical Function: item improvement is neglected but essential. Arthritis Research & Therapy, 10.1186/ar2890
Cush, J.J., and Lipsky, P.E., 2005. Approach to Articular and Muskuloskeletal
Disorders. In: Harrison, T.R., Principles of Internal Medicine. McGraw-Hill Medical Publishing Division.
Dubey, S. and Adebajo, A.O., 2008. Historical and Current Perspectives on
Management of Osteoarthritis and Rheumatoid Arthritis. In: Reid, D.M. and Miller, C.G.,Clinical Trials in Rheumatoid Arthritis and Osteoarthritis. Springer Science + Business Media.
Eustice, C., 2007. Arthritis Affects Daily Living Activities. Available from: http://arthritis.about.com/od/inthehomedailyliving/ss/dailyactivities.htm
[Accessed 4 March 2011]
Kumar, P. and Clarke, M., 2005. Rheumatology and Bone Disease. In: Kumar, P. and Clark, M., Clinical Medicine. Elsevier Saunders.
Mosby, 2004. Physical Fitness. In: Mosby, Dental Dictionary. Reed Elsevier.
Moskowitz, R., 2009. The Burden of Osteoarthritis: Clinical and Quality of Life
Issues. Am J Manag Care, 15: S223-S229
National Institute of Arthritis and Muskuloskeletal and Skin Disease (NIAMS),
2008. Questions and Answers about Arthritis and Rheumatic Disease. National Institute of Health, United States: 02-4999.
Notoatmojo, S., 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta.
Pincus, T., & MacKenzie, R., 2000. Measuring Functional Status in Rheumatic
Disease. In: Paget, S.A., Gibofsky, A. & Beary, J.F., Manual of Rheumatology and Outpatient Orthopedic Disorders (LB Spiral Manuals).Lippincott Williams & Wilkins.
Pincus, T. and Tugwell, P., 2007. Shoudn’t Standard Rheumatology Clinical Care Be Evidence-Based Rather Than Eminence-Based or Elegance-Based? The Journal of Rheumatology, 319:1618
Qing, Y.Z., 2008. Rheumatic Disease in China. Arthritis Research & Therapy, 10.1186/ar2368
Reveille, J.D., 2010. Spondyloarthritis (Spondyloarthropathy). Available from: http://www.rheumatology.org/practice/patients/disease_and_conditions/spondylo