ANALISIS DETERMINAN PENENTUAN
TARGET PAJAK DI SUMATERA UTARA
TESIS
Oleh
IMAN PINEM
067018050/EP
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ANALISIS DETERMINAN PENENTUAN
TARGET PAJAK DI SUMATERA UTARA
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains
dalam Program Studi Magister Ekonomi Pembangunan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
IMAN PINEM
067018050/EP
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul
Tesis
:
ANALISIS DETERMINAN PENETUAN
TARGET PAJAK DI SUMATERA UTARA
Nama Mahasiswa
: Iman Pinem
Nomor Pokok
: 067018050
Program Studi
: Ekonomi Pembangunan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Dr. Murni Daulay, M.Si) (Drs. Iskandar Syarief, MA) Ketua Anggota
Ketua Program Studi, Direktur
(Dr. Murni Daulay, M.Si) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc)
Telah diuji pada
Tanggal : 27 Maret 2008
PANITIA PENGUJI TES
Ketua : 1. Dr. Murni Daulay, M.Si Anggota : 2. Drs. Iskandar Syarief, MA
ABSTRAK
Penentuan target penerimaan pajak dalam APBN selama ini tidak memadai lagi untuk menghadapi kondisi pengeluaran negara yang meningkat lebih cepat sehingga mengakibatkan semakin besarnya fiskal gap dan defisit anggaran. Untuk mengimbangi peningkatan pengeluaran tersebut maka diperlukan peningkatan penerimaan pajak dimana hal ini masih dimungkinkan mengingat tax rasio Indonesia masih rendah dan dibawah rata-rata tax ratio negara berkembang di dunia.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi target pajak di Sumatera Utara. Dengan memperhatikan situasi makroekonomi yang ada dalam hal ini Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan pengeluaran pembangunan serta faktor internal yaitu jumlah wajib pajak, maka variabel-variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) berlaku, pengeluaran pembangunan dan jumlah wajib pajak.
Penelitian ini menggunakan data time series antara tahun 1990 – 2005 dan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS) untuk mengestimasi target penerimaan pajak.
Hasil penelitian menunjukkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tahun lalu, pengeluaran pembangunan dan jumlah wajib pajak tahun lalu secara keseluruhan (serentak) mempengaruhi target pajak. Sedangkan secara parsial, variabel Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tahun lalu dan pengeluaran pemerintah berpengaruh positif dan signifikan terhadap target pajak di Sumatera Utara. Sedangkan variabel jumlah wajib pajak tahun lalu berpengaruh positif tetapi tidak signifikan terhadap target pajak. Jika melihat elastisitasnya dari variabel-variabel bebasnya diperoleh hasil bahwa Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tahun lalu mempunyai nilai elastisitas lebih dari 1 terhadap target pajak. Sehingga respon target pajak terhadap PDRB tahun lalu sangat besar. Sedangkan pengeluaran pemerintah dan jumlah wajib pajak kurang dari 1 (inelastic) terhadap target pajak. Sehingga respon target pajak terhadap pengeluaran pemerintah dan jumlah wajib pajak sangat kecil.
ABSTRACT
Tax receiving target determination as stated in the APBN (National Budget) is no longer appropriate to face the condition of national spending which is more rapidly increasing that resulting in an increasing amount of fiscal gap and budget deficit. To balance the increase of spending, tax receiving needs to be increased because it is still possible to do considering that tax ratio in Indonesia is still low and under the mean tax ratio of developing countries in the world.
The purpose of this study is to find out the factors influencing tax target in Sumatera Utara. By looking at the current macroeconomic situation including existing Gross Regional Domestic Product (PDRB), government expenditure, and the internal factor such as the number of tax payers that function as the variables to be looked at in this study.
To estimate tax receiving target, this study uses the data time series issued from 1990 – 2005 and Ordinary Least Square method.
The result of this study reveals that the last year Gross Regional Domestic Bruto (PDRB), government expenditure, and number of tax payers all together influence the tax target. Partially, the variables of last year and government expenditure have a positive and significant influence on the tax target in Sumatera while the variable of last year number of tax payers has a positive but insignificant influence on the tax target. In terms of the elasticity of independent variables, it is found out that last year Gross Regional Domestic Product (PDRB) has an elasticity value which is greater than 1 toward tax target that the response of tax target to the last year Gross Regional Domestic Product (PDRB) is very big, while the response of tax target toward government expenditure and number of tax payers is very small because the elasticity value of government expenditure and number of tax payers is less than 1 (inelastic).
KATA PENGANTAR
Tiada kata yang dapat penulis ucapkan, selain puji syukur yang sangat dalam
kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang karena limpahan Rahmat dan hidayah-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul: Analisis
Determinan Penentuan Target Pajak Di Sumatera Utara.
Tugas akhir ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan
pendidikan di Program Studi Ekonomi Pembangunan Sekolah Pasca Sarjana
Universitas Sumatera Utara.
Penyusunan tugas akhir ini tidak lepas dari bantuan semua pihak yang telah
memberikan bantuan moril maupun materil hingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan tesis ini. Dengan segala kerendahan hati, pada kesempatan ini perkenankan
penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak
yang telah membantu penulis yaitu kepada;
1. Ibu Dr. Murni Daulay M.Si sebagai komisi pembimbing dan sekaligus sebagai
Ketua Program Studi Ekonomi Pembangunan dan Bapak Drs. Iskandar Syarief,
M.A. sebagai anggota komisi pembimbing, atas kesempatan/waktu dan pikiran
yang telah diberikan mulai dari penulisan proposal sampai dengan selesainya
penulisan tesis ini.
2. Bapak dan Ibu staf pengajar pada Program Studi Ekonomi Pembangunan Sekolah
Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, yang dengan tulus dan ikhlas telah
3. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K), selaku Rektor Universitas
Sumatera Utara.
4. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B. M.Sc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara.
5. Para Staf Administrasi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
6. Teman-teman khususnya angkatan XI yang telah bersama-sama menambah ilmu
selama masa perkuliahan dari awal sampai akhir.
7. Rasa terima kasih yang mendalam khususnya penulis sampaikan kepada orang
tuaku Alm. Drs. Dj. Pinem/ Sita br Ketaren, mertua Drg. Djemmy Sembiring
Depari/ M br Perangin-angin, istriku tercinta Nestum br Sembirng Amk,
anak-anakku Ari dan Angel serta abang dan kakakku sekalian yang senantiasa
mendoakan dan memberikan semangat, perhatian dan Kasih sayang dalam
menyelesaikan studi ini.
8. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang telah membantu dan
memberikan dorongan baik langsung maupun tidak langsung kepada penulis
dalam menyelesaikan thesis ini.
Akhir kata penulis menyadari bahwa apa yang tertuang dalam tesis ini masih
banyak kekurangan. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun untuk
perbaikan tesis ini senantiasa penulis harapkan.
Mudah-mudahan penulisan tesis ini dapat memberikan banyak manfaat
sehingga memperkaya khazanah ilmu pengetahuan di bidang ekonomi pembangunan
Universitas Sumatera Utara yang akan menyusun penulisan tesis. Akhir kata semoga
segala usaha dan niat baik yang telah kita lakukan mendapat ridho dari Tuhan yang
Maha Kuasa.
Medan, Maret 2008
Penulis,
RIWAYAT HIDUP
1. Nama : Iman Pinem
2. Agama : Kristen Protestan
3. Tempat/Tgl. Lahir : Medan, 16 September 1968
4. Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil (PNS)
5. Nama orangtua
Ayah : (Alm.) Drs. DJ. Pinem
Ibu : Sita br. Ketaren
6. Pendidikan
a. SD. RK. ST. Thomas I Medan : Lulus Tahun 1981
b. SMP. RK. ST. Thomas I Medan : Lulus Tahun 1984
c. SMA. RK. ST. Thomas I Medan : Lulus Tahun 1987
d. Universitas Sumatera Utara (USU) Medan : Lulus Tahun 1992
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN... 34
4.1 Pertumbuhan Ekonomi Sumatera Utara... 34
4.2 Pengeluaran Pembangunan ... 35
4.3 Inflasi ... 38
4.4 Jumlah Wajib Pajak di Sumatera Utara ... 39
4.5 Pembahasan... 41
4.5.1 Hasil Estimasi Penentuan Target Pajak... 41
4.5.2 Uji Asumsi Klasik ... 48
BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN... 51
5.1. Kesimpulan ... 51
5.2. Saran... 52
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
2.1 Perbandingan Penerimaan Pajak Terhadap Pendapatan Nasional
Dari Beberapa Negara Asia Tahun 2002 ... 7
4.1 Pertumbuhan Ekonomi Sumatera Utara Tahun 1990 - 2005 ... 35
4.2 Realisasi Pengeluaran Pembangunan di Sumatera Utara 1990 – 2005 ... 37
4.3 Tingkat Inflasi di Sumatera Utara Tahun 1990 – 2005... 38
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
2.1 Kurva Laffer... 20
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1 Data Penelitian ... 56
2 Hasl Estimasi OLS atas Variabel Target Pajak... 57
3 Hasil Estimasi OLS atas Variabel Realisasi Penerimaan Pajak... 58
4 Uji Multikolinearitas atas Variabel PDRB... 59
5 Uji Multikolinearitas atas Variabel GE... 60
6 Uji Multikolinearitas atas Variabel WP ... 61
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Penentuan target penerimaan pajak dalam APBN selama ini tidak memadai
lagi untuk menghadapi kondisi pengeluaran negara yang meningkat lebih cepat
sehingga mengakibatkan semakin besarnya fiskal gap dan defisit anggaran. Untuk
mengimbangi peningkatan pengeluaran tersebut maka diperlukan peningkatan
penerimaan pajak dimana hal ini masih dimungkinkan mengingat tax rasio Indonesia
masih rendah dan dibawah rata-rata tax ratio negara berkembang di dunia.
Seiring upaya mengurangi ketergantungan dana eksternal (hutang luar negeri)
maka sumber pembiayaan pembangunan internal yakni penerimaan pajak terus
ditingkatkan. Kontribusi pajak terhadap jalannya roda pemerintahan dan
pembangunan terus meningkat dari waktu ke waktu. Peran penting tersebut
diwujudkan dalam bentuk target penerimaan pajak di dalam Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara untuk skala Nasional. Misi utama Direktorat Jenderal Pajak
(DJP) di dalam struktur keuangan Negara menjalankan tugas dan fungsi penerimaan
pajak adalah Misi Fiskal yaitu menghimpun penerimaan pajak berdasarkan Undang –
Undang perpajakan yang mampu menunjang kemandirian pembiayaan pemerintah
dan dilaksanakan secara efektif dan efisien ( Rusjdi, 2006 ). Target penerimaan pajak
(Kanwil) di daerah dan selanjutnya, setiap Kanwil DJP di masing – masing daerah
juga mengalokasikan target tersebut kepada setiap Kantor Pelayanan Pajak yang
berada di masing – masing wilayahnya sebagai unit operasional.
Penerimaan pajak sebagai realisasi dari penentuan target pajak dipengaruhi
oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi penerimaan
pajak berupa kebijakan dalam menentukan dasar pengenaan pajak (tax base) atau
objek pajak, jika dasar pengenaan pajak dan objek pajak dapat diperluas berdasarkan
Undang-Undang maka hal ini berpengaruh positif terhadap penerimaan pajak,
disamping itu kebijakan penerapan pajak yang tidak sesuai dengan tunututan pasar
dapat berpengaruh negatif terhadap penerimaan pajak. Sedangkan pengaruh faktor
eksternal terhadap penerimaan pajak dapat terlihat pada pertumbuhan ekonomi yang
merupakan persentase kenaikan PDB dalam nilai riil tahun tertentu dibandingkan
tahun sebelumnya akan berpengaruh positif terhadap penerimaan pajak. Begitu juga
halnya dengan tingkat inflasi juga dapat mempengaruhi penerimaan pajak, dalam
periode waktu tertentu tingkat inflasi yang tidak terlalu tinggi dan dapat disesuaikan
berpengaruh positif terhadap penerimaan pajak melalui naiknya nilai nominal dari
pendapatan masyarakat yang dapat digunakan untuk konsumsi maupun menabung.
Hal yang sama juga terjadi pada pengeluaran pemerintah. Apabila pemerintah
melalukan kebijakan fiskal yang ekspansif akan dapat meningkatkan pendapatan
masyarakat. Sistem perpajakan di Indonesia juga harus disusun menjadi lebih
kondusif agar dapat meningkatkan wajib pajak, kepercayaan dan produktifitas.
based). Tarif pajak dan basis pajak perlu disesuaikan pada tingkat yang rasional sehingga dapat meningkatkan daya saing dan menggairahkan dunia usaha yang pada
akhirnya memberi dampak positif pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Dalam APBN tahun 2005, penerimaan pajak sebesar Rp. 297,84 triliun atau
sebesar 78,5 % dari penerimaan dalam negeri. Dari jumlah tesebut, 81% berasal dari
penerimaan Pajak Penghasilan ( PPh ) dan Pajak Pertambahan Nilai ( PPN ).
Penerimaan PPh pada umumnya diharapkan masih dapat ditingkatkan karena
memiliki potensi yang cukup besar dan masih banyak yang belum tergali, terutama
dari sektor PPh Pasal 21 yang akan berujung pada peningkatan PPh Orang Pribadi
mengingat jumlah penduduk yang semakin besar dan pertumbuhan ekonomi yang
harus tetap berlanjut.
Berdasarkan data dari Kantor Pajak di Sumatera Utara untuk tahun 2000
sampai dengan 2006 realisasi penerimaanya selalu dibawah target yang telah
ditetapkan , Untuk penentuan target pajak ini memerlukan suatu perencanaan yang
wajar dan objektif dalam arti tidak hanya berorientasi pada pencapaian penerimaan
semata, tetapi juga harus melihat faktor-faktor ekonomi eksternal secara makro yang
dapat mempengaruhi di dalam penentuan suatu target penerimaan pajak. Oleh karena
itu perlu dikaji faktor-faktor manakah yang dapat mempengaruhi penentuan target
penerimaan pajak sehingga target yang dialokasikannya tersebut dapat terealisir
secara wajar dan realistis sesuai dengan potensi yang ada, tingkat inflasi yang berlaku
Dilatar belakangi oleh pemikiran-pemikiran tersebut diatas, dalam tesis ini,
penulis mencoba untuk mempelajari dan menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi penentuan target penerimaan pajak di Sumatera Utara sehingga dapat
diambil kesimpulan bagaimana langkah yang diambil oleh Kantor Pajak di Sumatera
Utara untuk merealisasikan target penerimaan pajaknya secara wajar dan realistis
khususnya untuk tahun-tahun berikutnya.
1.2 Rumusan Masalah
Dengan memperhatikan latar belakang dan uraian yang telah diungkapkan
maka permasalahan yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana pengaruh pengeluaran pembangunan terhadap target
penerimaan pajak di Sumatera Utara.
2. Bagaimana pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap target penerimaan
pajak di Sumatera Utara.
3. Bagaimana pengaruh jumlah wajib pajak terhadap target penerimaan pajak
di Sumatera Utara.
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui pengaruh pengeluaran pembangunan terhadap target
2. Untuk mengetahui pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap target
penerimaan pajak di Sumatera Utara.
3. Untuk mengetahui pengaruh jumlah wajib pajak terhadap target
penerimaan pajak di Sumatera Utara.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain :
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi Pemerintah
(khususnya Direktorat Jenderal Pajak) agar dapat mengetahui variabel –
variabel yang berpengaruh di dalam penentuan target penerimaan pajak di
Sumatera Utara secara wajar dan realistis sehingga dapat terealiasir.
2. Untuk menambah wawasan, baik penulis sendiri, maupun pemerhati pajak
lainnya terutama di dalam menganalisa variabel-variabel yang
mempengaruhinya serta juga berguna sebagai referensi bagi peneliti
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Target Pajak
Target pajak adalah suatu nilai tertentu atau yang diharapkan dari penerimaan
pajak dengan memperhatikan situasi makro ekonomi yang ada dalam hal ini Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) dan pengeluaran pembangunan.
Untuk membiayai berbagai program pembangunan, pemerintah memperoleh
penerimaan melalui sistem pajaknya yang dirancang secara hati-hati yang bersumber
dari pengeluaran pemerintah untuk menyeimbangkan antara target dan realisasi
sehingga bermuara pada efisiensi dan pemerataan. Berapa banyak pendapatan
nasional yang berasal dari pajak.
Berdasarkan tabel 2.1 diatas, untuk tahun 2002 tax ratio Indonesia sebesar
13,0%. Sedangkan negara-negara lain seperti Singapura sudah mencapai 22,44%,
Malaysia 20,17% dan Srilanka 17,91%. Dengan demikian kinerja perpajakan
Indonesia hanya sedikit lebih unggul dibandingkan tax ratio Negara India dan
Tabel.2.1. Perbandingan penerimaan pajak terhadap pendapatan nasional dari beberapa Negara Asia Tahun 2002.
No. Negara % penerimaan pajak tehadap
pendapatan nasional
1. Singapura 22,44
2. Malaysia 20,17
3. Srilanka 17,91
4. Thailand 17,28
5. Korea 15,78
6. Jepang 14,56
7. Philiphina 13,68
8. Pakistan 13,60
9. Indonesia 13,0
10. India 9,85
11. Myanmar 5,50
Sumber: Direktorat Jenderal Pajak
Berdasarkan tabel 2.1 diatas, untuk tahun 2002 tax ratio Indonesia sebesar
13,0%. Sedangkan negara-negara lain seperti Singapura sudah mencapai 22,44%,
Malaysia 20,17% dan Srilanka 17,91%. Dengan demikian kinerja perpajakan
Indonesia hanya sedikit lebih unggul dibandingkan tax ratio Negara India dan
Myanmar yaitu sebesar 9,85% dan 5,5%.
Proses penarikan pajak oleh pemerintah pada kegiatan ekonomi akan
mengurangi pendapatan disposable (disposable income), dimana :
∆AD = – c ∆ T (2.1)
ΔAD = 1 ΔG (2.2) 1 - c
dimana:
T = Pajak
G = Pengeluaran Pemerintah
c = Marginal Propensity to Consume (MPC)
AD = Aggredat Demand
∆AD/∆T dan ΔAD/ΔG menyatakan bahwa multiplier dari kebijakan fiscal. ΔT dan
ΔG merupakan multiplier pada putaran pertama. Pengaruh akhir dari ∆T dan ∆G
terhadap AD biasanya tidak sama dengan satu, biasanya lebih kecil dari satu. Ini
tergantung kemana pajak itu dibelanjakan kembali, apakah untuk beli barang atau
bayar gaji. Proses penarikan pajak sebenarnya tidak hanya mengurangi pendapatan,
tetapi juga dapat berpengaruh terhadap Investasi ( I ), terutama bila pajak berkaitan
dengan keputusan para penanam modal untuk investasi. Dalam hal ini pengenaan
pajak cenderung menurunkan investasi lewat proses pelipat dapat menurunkan AD.
2.2 Azas-Azas Dalam Perpajakan
Teori klasik tentang sistem perpajakan yang baik dumulai sejak Adam Smith
dalam bukunya “The Wealth of Nations” (Waluyo 2006) yang menyatakan bahwa
a) Equality
Pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata, yaitu dikenakan kepada
orang pribadi yang harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak atau
ability to pay dan sesuai dengan manfaat yang diterima. Adil dimaksudkan bahwa setiap wajib pajak menyumbangkan uang untuk pengeluaran
pemerintah sebanding dengan kepentingan dan manfaat yang diminta.
b) Certainty
Penetapan pajak itu tidak ditentukan sewenang-wenang. Oleh karena itu,
wajib pajak harus mengetahui secara jelas dan pasti besarnya pajak yang
terutang, kapan harus dibayar, serta batas waktu pembayaran.
c) Convenience
Kapan wajib pajak itu harus membayar pajak sebaiknya sesuai dengan
saat-saat yang tidak menyulitkan wajib pajak sebagai contoh pada saat-saat wajib pajak
memperoleh penghasilan. Sistem pemungutan ini disebut pay as you earn.
d) Economy
Secara ekonomi biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban bagi
wajib pajak diharapkan seminimum mungkin, demikian pula beban yang
dipikul wajib pajak.
Azas keadilan dalam sistem perpajakan telah banyak didiskusikan secara luas,
dan hal ini merupakan bagian terpenting dalam mengevaluasi setiap pengajuan dalam
pembuatan kebijakan perpajakan. Musgrave (Laksana, 2001) memberikan
insentif pajak terhadap penerimaan pajak. Diantara keempat azas diatas, Musgrave
juga menekankan pada tiga azas lainnya yaitu : azas netralitas (neutrality), azas
perbaikan (reformation), dan azas kestabilan dan pertumbuhan (growth and stability).
2.3 Target Pajak dan Faktor-Faktor Ekonomi Eksternal Yang
Mempengaruhinya
Di negara-negara yang sedang berkembang sebagian besar penerimaan
pajaknya berasal dan sumber pajak tak langsung. Menurut Nafziger (1990) dan dalam
Yuzrat and Makhfatih (Nasution, 2003) menyebutkan bahwa proporsi PDB terhadap
pajak langsung pada negara sedang berkembang lebih rendah daripada pajak
langsung dari negara-negara maju. Hal ini dikarenakan pada negara-negara yang
sedang berkembang lebih rendah golongan berpenghasilan tingginya. Dalam
perkembangannya akan terjadi proses pergeseran dari dominasi pajak tidak langsung
menjadi pajak langsung sesuai dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi
diiringi dengan peningkatan pendapatan perkapita penduduknya.
Dalam jangka panjang peranan pajak langsung akan semakin penting seiring
dengan pertumbuhan ekonomi yang semakin pesat dan ditunjang pula dengan
teknologi canggih menuju era globalisasi. Selain berfungsi sebagai pemerataan
karena struktur tarifnya bersifat progresif, perkembangan hubungan internasional
yang semakin maju kearah liberal dan global mengharuskan pemerintah untuk
menurunkan tarif importnya dalam rangka peningkatan daya saing ekonomi domestik
turun. Alternatifnya adalah memobilisasi penerimaan pajak yang bertumpu pada
pajak langsung seperti pajak penghasilan.
2.3.1 Pertumbuhan Ekonomi
a. Hubungan Pajak dan Pertumbuhan Ekonomi
Pajak mempengaruhi permintaan agregat {AD = C + I + G (bila
perekonomian tertutup)} secara tidak langsung melalui disposable income dan
selanjutnya terhadap pengeluaran konsumsi. Apabila pajak naik sebesar ΔT
maka disposable income turun dengan jumlah yang sama dan pengeluaran
konsumsi juga turun sebesar : ΔC = -c ΔT dimana c adalah Marginal
Propensity to Consume (MPC), dan selanjutnya ΔC ini menurunkan AD melalui proses proses multiplier sebesar 1/1-c x ΔC atau –c/1-c x ΔT. Dengan
demikian kenaikan pajak cenderung untuk menurunkan output dan bersifat
deflasioner. Akan tetapi, apabila penerimaan pajak digunakan untuk
pembelian barang/jasa (ΔG) maka pengaruh pajak ini belum tentu deflasioner.
Apabila kenaikan penerimaan pajak sebesar ΔT seluruhnya digunakan untuk
pembelian barang/jasa (ΔG) maka kenaikan AD sebesar 1/1-c x ΔG.
Pengaruh netto dari kebijakan tersebut sebesar (-c/1-c x ΔT) + (1/1-c x
ΔG). Tetapi karena seluruh kenaikan pajak digunakan untuk pembelian
barang/jasa maka ΔT = ΔG sehingga pengaruh nettonya terhadap AD sebesar
meningkat sebesar ΔT dan seluruhnya digunakan untuk pembelian barang/jasa
sebesar ΔG maka akan meningkatkan permintaan agregat sebesar ΔAD. Hal
ini terkenal dengan nama dalil Anggaran Berimbang atau Balanced Budget
Multiplier (Boediono, 2001).
b. Teori Pertumbuhan Ekonomi
Teori Pertumbuhan Ekonomi Harold – Domar
Teori Harold – Domar adalah perkembangan langsung dari teori
makro Keyness jangka pendek menjadi suatu teori makro jangka panjang.
Aspek utama yang dikembangkan dari teori Keyness adalah aspek yang
menyangkut peranan investasi (I) dalam jangka panjang. Dalam teori
Keyness, pengeluaran investasi (I) mempengaruhi permintaan agregat
(AD) tetapi tidak mempengaruhi penawaran agregat (S). Harold – Domar
melihat pengaruh investasi dalam perspektif waktu yang lebih panjang.
Menurut kedua ekonom ini, pengeluaran investasi (I) tidak hanya
mempunyai pengaruh (lewat proses multiplier) terhadap permintaan
agregat (AD) tetapi juga terhadap penawaran agregat (S) melalui
pengaruhnya terhadap kapasitas produksi. Dalam perspektif waktu yang
lebih panjang ini, I menambah stok kapital (misalnya, pabrik-pabrik, jalan
dan jembatan dan lain sebagainya). Jadi I = ΔK, dimana K adalah stok
Perekonomian yang dibangun pada dasarnya harus senantiasa
mencadangkan atau menabung sebagian pendapatan nasionalnya untuk
menambah atau mengganti barang-barang modal yang telah susut atau
rusak. Namun untuk memacu pertumbuhan ekonomi dibutuhkan investasi
baru yang merupakan tambahan netto terhadap cadangan atau stok modal.
Bila diasumsikan bahwa ada hubungan ekonomi langsung antara besarnya
stok modal secara keseluruhan (K), dengan total PDB (Y), misalkan
dibutuhkan modal sebesar 3 juta rupiah untuk menghasilkan satu juta
rupiah dari PDB, maka hal itu berarti bahwa setiap tambahan netto
terhadap stok modal dalam bentuk investasi baru akan menghasilkan
kenaikan arus output nasional atau PDB.
Secara sederhana persamaan Harold – Domar dapat dinotasikan
sebagai berikut:
k s Y
Y = Δ
dimana:
Y = PDB
s = Propersity to save
k = Propersity to capital
Persamaan ini menyatakan bahwa tingkat pertumbuhan pendapatan
(semakin banyak bagian PDB yang ditabung dan diinvestasikan maka
pertumbuhan PDB yang dihasilkan akan semakin besar). Dan secara
negatif atau perbandingan terbalik yakni, semakin besar rasio modal
output nasional, maka tingkat pertumbuhan PDB akan semakin rendah.
Logika ekonomi yang terkandung didalam persamaan Harold – Domar
tersebut adalah sangat sederhana, agar bisa tumbuh dengan pesat maka
setiap perekonomian haruslah menabung dan menginvestasikan sebanyak
mungkin dari PDB-nya. Semakin banyak yang dapat ditabung dan
kemudian diinvestasikan maka laju pertumbuhan ekonomi semakin cepat.
Akan tetapi tingkat pertumbuhan maksimal yang dapat dijangkau pada
setiap tabungan dan investasi juga amat tergantung kepada tingkat
produktifitas investasi tersebut dalam mencapai laju pertumbuhan
ekonomi tersebut. (Todaro, 2000).
Teori Pembangunan Ekonomi Solow
Fungsi produksi yang dikemukakan oleh Robert M. Solow
memasukkan unsur produktivitas faktor total, artinya kenaikan output
tidak hanya ditentukan oleh kenaikan modal dan tenaga kerja tetapi juga
oleh kenaikan produktifitas faktor total. Artinya jika produktivitas faktor
total meningkat satu persen dengan asumsi input tidak berubah, maka
output akan meningkat satu persen pula. Peningkatan mungkin
disebabkan oleh perubahan kebijakan pemerintah terhadap investasi,
dan kualitas dari tenaga kerja yang dihasilkan sehingga produktivitas
kerja akan meningkat, selanjutnya pertumbuhan output total akan bergerak
naik menjadi pertumbuhan ekonomi yang emningkat (Todaro, 2000).
Solow menotasikan model pertumbuhan ekonomi dalam bentuk
persamaan matematika seperti berikut ini:
k
q = f(k) , q = output per tenaga kerja adalah fungsi dari capital per tenaga
kerja, atau output per kapita adalah fungsi dari kapital per kapita. Asumsi l
konstan.
ΔK = sQ
k = K/L
Q = kuantititas jumlah produksi
L = tenaga kerja
s = propensity to save
Solow mengatakan bahwa posisi long run equilibrium akan tercapai apabila
capital per kapita, k, mencapai suatu tingkat yang stabil, artinya tidak lagi berubah
nilainya. (Boediono, 1999)
Teori Pembangunan Ekonomi Solow - Swan
Secara garis besar proses pertumbuhan ekonomi yang dikemukakan oleh
a. Tenaga kerja (atau penduduk), L, tumbuh dengan laju tertentu,
misalnya p per tahun
b. Adanya fungsi produksi Q = f(K, L) yang berlaku bagi setiap periode.
c. Adanya kecenderungan menabung (Propersity to save) oleh
masyarakat yang dinyatakan sebagai proporsi (s) tertentu dari output.
Tabungan masyarakat S = sQ; bila Q naik maka S akan naik juga
begitu sebaliknya.
d. Semua tabungan masyarakat diinvestasikan (S = I = ΔK). (Boediono,
1999)
2.3.2 Pengeluaran Pemerintah ( Government Expenditure )
Dalam rangka kegiatan ekonomi pembangunan, kebutuhan akan dana yang
menjadi beban pengeluaran pemerintah terus meningkat, kebutuhan dana yang
terus meningkat tersebut tidak boleh dipenuhi melalui pencetakan uang,
namun harus didanai dari sumber penerimaan negara dari pajak dan
pendapatan negara lainnya yang sah, termasuk dari bantuan atau pinjaman
atau hutang dari dalam dan luar negeri ataupun dengan mengadakan efisiensi
pengeluaran pemerintah. (Frans Seda, 2004).
Penggalian sumber-sumber keuangan khususnya yang berasal dari pajak dapat
dilakukan dengan terlebih dahulu meningkatkan pengeluaran Pemerintah
Domestik Regional Bruto (PDRB). Dalam hal ini pemerintah dapat
melakukannya melalui :
a. Belanja Pegawai.
Belanja Pegawai merupakan salah satu pos yang penting dari APBN
karena jika pos ini tidak ada, maka roda pemerintahan tidak dapat
digerakkan. Belanja Pegawai dalam hal ini kita sederhanakan sebagai
bayar Gaji ( W ). Apakah yang terjadi dari perubahan W ? Pembayaran
atau peningkatan gaji pegawai negeri ( PNS ) akan berpengaruh pada
pendapatan dan seterusnya permintaan permintaan PNS untuk membeli
barang barang atau jasa- jasa. Gaji PNS berubah atau naik, maka
pendapatan disposable income sektor rumah tangga bertambah ( Yd ).
Pertambahan Yd dapat menaikkan ∆ AD melalui pengeluaran konsumsi (
∆C ). Tambahan konsumsi, akibat dari tambahan pendapatan itu
tergantung pada kecenderungan konsumsi atau pada MPC. Jadi konsumsi
meningkat dengan ∆C = c Yd = c ∆W, c adalah MPC, selanjutnya efek
pengganda atau proses pelipat ( proses multiplier ) akan meningkat AD
sebesar :
1
∆ AD = --- ∆ C
1 c
∆ AD = --- c ∆ Yd = --- ∆ W
1 - c 1 - c
MPC atau c dinegara kita dapat dikatakan masih tinggi, karena
pendapatannya masih rendah. Sebagian besar dari tambahan pendapatan
digunakan untuk tambahan konsumsi. Misal diasumsi MPC = c = 0,80 ,
maka dengan ∆ belanja pegawai sebesar Rp. x ,- maka dapat menaikkan
∆AD sebesar 500%. Seterusnya perubahan AD sebesar ini akan
meningkatkan PDRB.
b. Belanja Barang / Jasa atau Pengeluaran Pembangunan.
Belanja Barang atau Pengeluaran Pembangunan pada putaran pertama
akan menaikkan AD sebesar :
1
∆ AD = --- ∆ G
1 - c
Kalau kita asumsi MPC = c = 0,8 , maka pengeluaran pembangunan akan
meningkatkan AD sebesar 500%. Dengan tingginya multiplier effect yang
tercipta maka akan juga menigkatkan PDRB.
Menurut Rahmayanti (2006) peningkatan tarif pajak akan meningkatkan
ketidakefisienan dan kepatuhan wajib pajak sehingga dapat mengurang
penerimaan pajak. Selanjutnya Rahmayanti menyatakan bahwa batas
dengan hati-hati, dimana globalisasi membuat negara-negara lebih terbuka
dan persaingan dalam menarik investasi dapat dipengaruhi oleh pajak di
suatu negara. Meskipun masih banyak faktor-faktor lain yang menentukan
keputusan untuk berinvestasi namun pajak termasuk tarif pajak masih
menjadi bahan pertimbangan yang penting.
Memasukkan variabel jumlah penduduk dan perubahan harga dalam
menentukan besarnya pengeluaran pemerintah, jelas merupakan hal yang
sangat penting. Tetapi hal itu tidak cukup. Terdapat banyak alasan jika
kita menganggap bahwa sebagian dari kenaikan pendapatan dikeluarkan
untuk membeli barang dan jasa oleh sektor pemerintah
Kurva Laffer yang dibuat oleh Arthur B. Laffer (Skousen, 2005)
menjelaskan bahwa pemotongan pajak marginal dapat menstimulasi
pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan pendapatan pajak secara aktual.
Kurva Laffer (lihat gambar 2.1) menunjukkan hubungan teoritis antara
Gambar 2.1. Kurva Laffer
Menurut Kurva laffer, kenaikan pajak akan menghasilkan lebih banyak
pendapatan bagi pemerintah selama tingkat kenaikannya tidak terlalu
tinggi. Tetapi begitu pajak melebihi X, kenaikan pajak selanjutnya akan
menurunkan pendapatan karena tingkat pajak yang tinggi akan
menurunkan semangat kerja, dan mendorong orang untuk menghindari
2.1, jika tingkat pajak mencapai daerah terlarang, pemotongan pajak (ta
sampai tb) dapat menaikkan pendapatan pajak (dari ra ke rb).
2.3.3 Inflasi
Inflasi akan mengurangi daya beli uang yang telah diperoleh masyarakat
dengan susah payah. Apabila haga naik, tiap lembar uang yang dihasilkannya hanya
akan mampu membeli barang dan jasa dalam jumlah yang sedikit. Jadi , kelihatannya
inflasi secara langsung telah menurunkan standar hidup. Namun dipihak lain, ketika
harga naik, pembeli barang dan jasa akan mengeluarkan lebih banyak uang untuk apa
yang mereka beli, pada saat yang sama penjual barang dan jasa mendapatkan lebih
banyak uang dari penjualan mereka. Karena kebanyakan orang mendapatkan
penghasilan dengan menjual jasa mereka, seperti para tenaga kerja, penghasilan juga
semakin meningkat sejalan kenaikan harga. Jadi, inflasi sendiri tidak mengurangi
daya beli riil masyarakat. Ketika laju inflasi sebesar 6 % mengurangi nilai riil dari
kenaikan sebesar 4 %, pekerja mungkin merasa dirinya telah diperdaya. Sebenarnya
pendapatan riil ditentukan oleh variable- variable riil seperti modal fisik, SDM, SDA
dan ketersediaan tehnologi produksi. Pendapatan nominal ditentukan oleh
faktor-faktor tersebut dan tingkat harga keseluruhan. Bila pendapatan nominal cenderung
sama dengan kenaikan harga, berarti inflasi bukan merupakan suatu masalah. Namun
para ekonom telah mengidentifikasi beberapa kerugian akibat inflasi. Masing-masing
kerugian menunjukkan bahwa pertumbuhan terus menerus pada jumlah uang yang
Hampir semua pajak mengganggu insentif, menyebabkan masyarakat
mengubah sikap mereka dan alokasi sumber – sumber daya dalam perekonomian
menjadi kurang efisien. Akan tetapi banyaknya pajak menimbulkan lebih banyak
masalah karena adanya inflasi, karena pembuat hukum sering kali gagal
memperhitungkan inflasi ketika merumuskan undang-undang perpajakan. Para
ekonom yang telah mempelajari undang-undang pajak menyimpulkan bahwa inflasi
cenderung menaikkan beban pajak pendapatan yang berasal dari tabungan, tidak
melihat keuntungan riil dari penjualan sejumlah aktiva. Pajak pendapatan dari suku
bunga.
Salah satu solusi bagi masalah ini adalah, dari pada menghilangkan inflasi
adalah menyusun daftar sistem pajak, artinya hukum pajak dapat ditulis ulang untuk
memperhitungkan dampak inflasi. Pada dunia yang ideal, hukum pajak akan ditulis
dalam rangka mencegah inflasi mengubah tanggungan pajak riil seseorang.
Walaupun secara eksplisit inflasi tidak dimasukkan kedalam penentuan target
pajak. Namun secara implisi variabel inflasi dimasukkan kedalam variabel Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) nominal karena didalam perhitungan PDRB
nominal memasukkan perubahan harga.
2.4 Penelitian Terdahulu
Penelitian yang dilakukan oleh Yogi Rahmayanti (2006) mengenai analisis
potensi pajak menyatakan bahwa yang menentukan penerimaan pajak yaitu Tax Rate,
jenis pajak yang mempunyai peran yang signifikan terhadap penerimaan pajak di
Indonesia yaitu PPh dan PPN. Salah satu hasil estimasi yang dilakukan menunjukkan
bahwa Tax Base (GDP) dan time trend (trend waktu) mempunyai hubungan yang positif terhadap penerimaan PPh. Hasil regresi menunjukkan bahwa tax base
mempunyai hubungan positif terhadap penerimaan PPh dengan koefisien sebesar 0,78
dan terhadap PPN dengan koefisien sebesar 1,156. ini menunjukkan bahwa setiap
kenaikan Tax Base (GDP) sebesar satu persen akan meningkatkan penerimaan PPh sebesar 0,78 persen dan penerimaan PPn sebesar 1,156 persen. Time trend (trend
waktu) mempunyai hubungan yang positif dengan dengan penerimaan PPh dengan
koefisien sebesar 0,53 persen dan terhadap PPN dengan koefisien sebesar 0,37 persen.
Penelitian yang dilakukan oleh Nasution (2003) yang merupakan penelitian ex
post facto yang merupakan penelitian dari peristiwa yang telah terjadi dan kemudian
dirunut mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi dari berbagai sumber. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa potensi dan pertumbuhan penerimaan pajak
penghasilan selama dasawarsa 1990-2000 di antaranya dipengaruhi baik secara
langsung maupun tidak langsung oleh faktor-faktor Produk Domestik Bruto, Jumlah
Wajib Pajak, dan Jumlah Kantor Pelayanan Pajak yang tersebar di seluruh Indonesia.
Dalam penelitiannya Sarastika Indrawati dan Daryono Soebagiyo (2006),
dengan judul “Analisis Uji Kasualitas Penerimaan Pajak dan Pengeluaran Pemerintah
di Kota Surakarta Dengan Mneggunakan Metode Granger tahun 1978-2003”.
Dengan menggunakan data tahunan secara time series untuk tahun 1978-2003, hasil
bentuk satu arah antara pendapatan pajak dengan pengeluaran pemerintah di
Surakarta. Maksudnya, bahwa peningkatan pendapatan pajak akan mendorong
pengeluaran pemerintah. Tetapi, peningkatan pengeluaran pemerintah belum tentu
mendorong peningkatan pajak di Surakarta.
Dalam penelitiannya Teera (2000) menganalisis determinan penerimaan pajak
di Uganda, estimasi model dimana penerimaan pajak merupakan fungsi dari
pembangunan ekonomi dan struktur ekonomi.
Ty = f (Y,M,A,P,Ag,Mf,D,TR,T)
Dimana :
Ty = Rasio Pajak terhadap GDP
Y = GDP per kapita
M = Rasio impor terhadap GDP
A = Rasio Aid terhadap GNP
P = Kepadatan Penduduk
Ag = Rasio Pertanian terhadap GDP
Mf = Rasio Manufaktur terhadap GDP
D = Rasio Hutang Luar Negeri terhadap GDP
TR = Variabel Bayang diproxy ke tax ratio
T = Time Trend
Afdal (2005) tentang analisis kemampuan fiskal daerah dan kebijakan dalam
Kampar, adalah bahwa sumber pajak dan retribusi daerah bersifat elastisitas terhadap
pertumbuhan ekonomi (PDRB) setelah pemberlakuan UU 22 dan 25 tahun 1999
cukup besar yaitu 2,36.
Arni (1999), melakukan studi analisa dampak kebijkan fiskal terhadap
keseimbangan internal ekonomi makro Indonesia. Dari hasil analisa disimpulkan
bahwa, kebijakan peningkatan pengeluaran pemerintah memberikan dampak positif
yang cukup berarti terhadap pertumbuhan PDB, dan penyerapan tenaga kerja,
walaupun terjadi peningkatan inflasi yang relative kecil. Kebijakan peningkatan
pajak pendapatan memberikan dampak yang positf terhadap pertumbuhan PDB tetapi
menurunkan penyerapan tenaga kerja, sementara tingkat inflasi masih dalam batas
normal. Kebijakan penambahan uang beredar memberikan dampak yang sangat
buruk terhadap ekonomi makro Indonesia. Berdasarkan hasil analisa ada beberapa
hal yang dapat direkomendasikan, yaitu : kebijakan meningkatkan pengeluaran
pemerintah dan pajak pendapatan sangat berarti dalam perbaikan ekonomi Indonesia.
2.5 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas dan beberapa kajian empiris yang
dilakukan para peneliti sebelumnya, maka hipotesis penelitian ini adalah sebagai
berikut:
2. Terdapat pengaruh positif pertumbuhan ekonomi terhadap target
penerimaan pajak pada Kantor Pajak Sumatera Utara, ceteris paribus.
3. Terdapat pengaruh positif jumlah wajib pajak terhadap target penerimaan
pajak pada Kantor Pajak Sumatera Utara, ceteris paribus.
2.6. Kerangka Pemikiran
Pengeluaran Pembangunan
Pertumbuhan ekonomi
Jumlah Wajib Pajak
Target Pajak Penerimaan
Negara
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini mencakup faktor-faktor yang mempengaruhi
penentuan target pajak di Sumatera Utara, khususnya pengaruhn pengeluaran
pembangunan, pertumbuhan ekonomi dan jumlah wajib pajak.
Dengan adanya ruang lingkup tersebut, diharapkan penulis dapat menganalisis
pengaruh pengeluaran pembangunan, pertumbuahan ekonomi dan jumlah wajib pajak
terhadap penentuan target pajak secara lebih rinci dan mendalam.
3.2 Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data sekunder dengan jenis data time series
(runtun waktu), yang bersumber dari Departemen Keuangan ( Direktorat Jenderal
Pajak), Bank Indonesia, Badan Pusat Statistik, dan sumber-sumber data lainnya
seperti buku-buku pajak, bulletin pajak, jurnal-jurnal ekonomi / Pajak, dan hasil
penelitian sebelumnya. Adapun data-data yang diperlukan dalam penelitian ini
adalah data target penerimaan pajak, pengeluaran pembangunan, pertumbuhan
3.3 Model Analisis
Untuk dapat mengetahui hubungan antara pengeluaran pembangunan,
pertumbuhan ekonomi dan wajib pajak terhadap target pajak, maka penelitian ini
menggunakan model adalah sebagai berikut:
TPt = α0 + α1 PDRBt-1 + α2 GEt + α3 WPt-1 + ε
dimana :
TPt = Target Pajak di Sumatera Utara
PDRBt-1 = Produk Domestik Regional Bruto t-1
GEt = Pengeluaran Pembangunan t.
WPt-1 = Jumlah wajib pajak t-1.
ε : Disturbance term error
3.4 Metode Analisis
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan
Ordianry Least Square (OLS). Hal ini dikarenakan untuk mengetahui besarnya pengaruh pengeluaran pembangunan, pertumbuhan ekonomi dan jumlah wajib pajak
terhadap target pajak di Sumatera Utara. Untuk mengolah data, digunakan bantuan
program Eviews versi 4.1.
Elastisitas adalah suatu bilangan atau angka yang menunjukkan berapa persen
variabel tak bebas akan berubah, sebagai reaksi karena satu variabel lain (variabel
X
Dalam elastistas terdiri dari 5 elastisitas yaitu inelastis, elastis dan elastis
unitary, inelastis sempurna dan elastis tak terhingga. Untuk lebih jelas pengertian
dari masing-masing elastisitas dijelaskan sebagai berikut :
a) Inelastis (E < 1)
Artinya perubahan variabel tak bebas (dalam persentase) lebih kecil daripada
perubahan variabel bebas. Artinya jika variabel bebas naik 1% menyebabkan
variabel tak bebas naik atau turun kurang dari 1%.
b) Elastis (E > 1)
Artinya perubahan variabel tak bebas (dalam persentase) lebih besar daripada
perubahan variabel bebas. Artinya jika variabel bebas naik 1% menyebabkan
variabel tak bebas naik atau turun lebih besar dari 1%.
c) Elastis unitary (E = 1)
Artinya perubahan variabel tak bebas (dalam persentase) sama dengan
perubahan variabel bebas. Artinya jika variabel bebas naik 1% menyebabkan
variabel tak bebas naik atau turun sama dengan 1%.
d) Inelastis sempurna (E = 0)
e) Elastis tak berhingga (E = ~)
Perubahan pada variabel bebas sedikit saja akan menyebabkan perubahan
variabel tak bebas tak terbilang besarnya.
Optimalisasi target pajak adalah suatu keadaan dimana antara nilai yang
direncanakan dengan realssasi tidak jauh berbeda sehingga rencana tersebut dapat
dicapai dengan memperhatikan situasi makro ekonomi.
3.5 Definisi Operasional Variabel Penelitian
a. Pengeluaran pembangunan, realisasi pengeluaran pembangunan yang
dihitung (dalam Juta Rupiah).
b. Pertumbuhan ekonomi di proxy dengan Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) berlaku atau dengan harga nominal yang dihitung (dalam Juta
Rupiah).
c. Jumlah wajib pajak adalah jumlah wajib pajak perorangan dan badan
(unit).
e. Target Pajak adalah target dari penerimaan pajak di Kantor Pajak
Sumatera Utara yang dihitung (dalam Juta Rupiah).
3.6 Uji Signifikansi
3.6.1 Multikolinieritas
Multikolinieritas timbul karena satu atau lebih variabel bebas (penjelas)
penjelas lainnya. Jika terdapat multikolinieritas sempurna, koefisien regresi dari
variabel penjelas tersebut tidak dapat ditentukan dan variansnya bernilai tak terhingga.
Jika multikonilinieritas kurang sempurna, koefisien regresi dapat ditentukan, namun
variansnya sangat besar, sehingga tidak dapat menaksir koefisien secara akurat.
Dalam model regresi linier, diasumsikan tidak terdapat multikolinieritas di antara
variabel-variabel penjelas, untuk itu perlu dideteksi dengan mengamati
besaran-besaran regresi yang didapat, yaitu :
1. Interval tingkat kepercayaan lebar (karena varians besar maka standar
error besar, sehingga interval kepercayaan lebar);
2. Koefisien determinasi tinggi dan signifikasi nitai t statistik rendah;
3. Koefisien korelasi antar variable bebas tinggi;
4. Nilai koefisien korelasi parsial tinggi.
Untuk melihat ada tidaknya multikolinieritas dalam suatu model pengamatan,
dapat dilakukan dengan regresi antar variabel bebas, sehingga dapat diperoleh nilai
koefisien determinan (R2) masingmasing. Selanjutnya R2 hasil regresi antar variabel
bebas tersebut dibandingkan dengan R2 hasil regresi model, sehingga diperoleh
kesimpulan sebagai berikut:
- Jika nilai R2 hasil regresi antar variabel bebas > R2 model penelitian, maka hipotesis
yang menyatakan bahwa tidak ada multikolinieritas dalam model empiris yang
- Jika nilai R2 hasil regresi antar variabel bebas < R2 model penelitian, maka hipotesis
yang menyatakan bahwa tidak ada masalah autokorelasi model empiris yang
digunakan tidak dapat ditolak.
3.6.2 Autokorelasi
Autokorelasi dapat didefinisikan sebagai korelasi antara anggota serangkaian
observasi yang diurutkan menurut waktu seperti dalam data time series. Sehingga
terdapat sating ketergantungan antara faktor pengganggu yang berhubungan dengan
pengamatan lainnya. Oleh sebab itu masalah autokorelasi biasanya muncul dalam
data time series, meskipun tidak menutup kemungkinan terjadi dalam data cross section.
Dalam konteks regresi, situasi autokorelasi tidak terdapat dalam faktor
penggangu atau dapat ditulis :
E(μi,μj) = 0; i ≠ j ...(3.)
Bila terjadi saling ketergantungan antara factor pengganggu yang
berhubungan dengan observasi dipengaruhi oteh unsur gangguan yang berhubungan
dengan pengamatan tainnya atau dengan kata lain terjadi autokorelasi, ditulis dengan
simbol berikut :
E(μi,μj) = 0; i ≠ j ...(4.)
Salah satu untuk mendeteksi ada tidaknya autokorelasi digunakan metode uji
d = 2
Dimana nilai DWstatstik adalah terletak antara 0 dengan 4
d = 2 1
Dengan menggunakan formulasi persamaan (1) kemudian DWstatstik
dibandingkan dengan nilai DWtabel dengan pedoman berikut :
Bila 0 < DWstatistik < dL ; tolak Ho berarti ada korelasi yang positif
Bila dL≤ DWstatistik ≤ du ; kita tidak dapat mengambil kesimpulan apa-apa
Bila du < DWstatistik < 4- du Ho diterima artinya tidak ada korelasi positif maupun
negatif
Bila 4-du≤ DWstatistik≤ 4-dL ; kita tidak dapat mengambil kesimpulan apa-apa
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pertumbuhan Ekonomi Sumatera Utara
Perekonomian Sumatera Utara, yang dilihat dari pertumbuhan ekonomi
menunjukkan pertumbuhan yang cukup baik pasca krisis mulai tahun 2000, sebesar
4,79 persen dan terus meningkat hingga tahun 2005, sebesar 5,64 persen (BPS, 2007).
Pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi
lebih stabil setelah krisis ekonomi, khususnya setelah pelaksanaan otonomi daerah,
yaitu mulai tahun 2000 (lihat Tabel 4.1). Pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara sejak
tahun 2000 s/d 2005 bergerak sebesar 4,07 – 5,64 persen. Dibandingkan dengan
kondisi sebelum krisis dan sebelum pelaksanan otonomi daerah, pertumbuhan
ekonomi Sumatera Utara sangat fluktuatif. Pertumbuhan ekonomi yang sangat
fluktuatif adalah kurang baik karena yang dibutuhkan untuk pertumbuhan ekonomi
yang baik adalah kestabilan pertumbuhan secara berkesinambungan.
Pada tahun 1990 (11,81 persen), 1991 (24,73 persen) dan 1997 (14,20 persen).
Selebihnya pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara di bawah 10 persen, pada tahun
1993 hanya 1,03 persen, bahkan pada tahun 1996 dan 1998 mengalami penurunan
sebesar 0,22 persen dan 10,87 persen.
Pertumbuhan ekonomi pada tahun 1998 yang negatif sebesar 10,87 persen
sektor-sektor ekonomi, khususnya sektor industri dan perbankan mengalami
kemunduran yang signifikan.
Tabel 4.1. Pertumbuhan Ekonomi Sumatera Utara, Tahun 1990 – 2005
Tahun PDRB Harga Konstan 1993 (Milyar Rp.)
4.2 Pengeluaran Pembangunan
Pengeluaran pemerintah dari tahun ke tahun meningkat seiring aktivitas
perekonomian nasional, karena pemerintah berkewajiban untuk menciptakan
prasarana (infrastruktur) guna dapat mempertahankan gerak langkah pertumbuhan
ekonomi. Ukuran yang sering digunakan dalam melihat pangsa pemerintah (size of
Ukuran ini memiliki keunggulan karena selain data tersedia untuk analisa empiris
juga ukuran rasio ini memudahkan analisa perbandingan antar negara.
Masalah rutin yang dihadapi sistem perekonomian dimanapun adalah adanya
fluktuasi secara terus menerus aggregate demand dan agregat supply. Berbagai
konsep (model) telah diusahakan para ahli-ahli ekonomi agar dapat menstabilkan
fluktuasi tersebut. Keynes memberikan tekanan pada kebijakan fiskal bila terjadi
fluktuasi pada permintaaan agregat dan penawaran agregat. Bila permintaan agregat
mengalami penurunan, pengeluaran pemerintah dengan cara apapun harus
ditingkatkan guna meningkatkan permintaan agregat tersebut.
Dalam neraca Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, pengeluaran pemerintah
Indonesia secara garis besar dikelompokkan atas pengeluaran rutin dan pengeluaran
pembangunan. Pengeluaran rutin pads dasarnya berunsurkan pos-pos pengeluaran
untuk membiayai pelaksanaan roda pemerintahan sehari-hari, meliputi belanja
pegawai, belanja barang, berbagai macam subsidi (subsidi daerah dan subsidi harga),
angsuran dan bunga utang pemerintah, serta sejumlah pengeluaran rutin lain.
Sedangkan pengeluaran pembangunan maksudnya pengeluaran yang bersifat
menambah modal masyarakat dalam bentuk prasarana fisik, dibedakan atas
pengeluaran pembangunan yang dibiayai dengan rupiah dan bantuan proyek.
Pengeluaran pemerintah untuk pembangunan secara umum mengalami
peningkatan. Setelah pasca krisis yaitu pada periode 2000 – 2005 mengalami
peningkatan dengan pertumbuhan diatas 10%, bahkan pada tahun 2003 pertumbuhan
Pertumbuhan pengeluaran pemerintah pada periode 1991 – 2005 sangat
berfluktuatif. Pertumbuhan pada tahun 1991 sebesar 10,61% kemudian pada tahun
1992 turun menjadi 3,57% kemudian naik lagi pada tahun 1993 menjadi 11,16% dan
tutun lagi menjadi -0,11% dan seterusnya. Begitu juga, halnya yang terjadi pada
periode 2001 – 2005. Pertumbuhan pada tahun 2001 sebesar 45,99% kemudian pada
tahun 2002 pertumbuhannya turun menjadi 10,42% kemudian naik secara signifikan
pada tahun 2003 menjadi 148,29% kemudian turun pada tahun 2004 sebesar 20,33%
dan naik lagi menjadi 35,83%.
Tabel 4.2. Realisasi Pengeluaran Pembangunan di Sumatera Utara Tahun 1990 – 2005
4.3 Inflasi
Inflasi merupakan salah satu indikator dalam perencanaan dan pembangunan
daerah. Tingkat inflasi yang tinggi akan menghambat pembangunan, karena dapat
memperkecil nilai riil dari pendapatan. Inflasi yang terlalu rendah bahkan deflasi
akan menghambat sektor usaha. Idealnya tingkat inflasi tidak lebih dari dua digit.
Pada tahun 1997 dan 1998 inflasi di Sumatera Utara mencapai 78,47 persen dan
82,53 persen (Tabel 4.2) yang merupakan dampak dari terjadinya krisis ekonomi
tahun 1997.
Tingkat inflasi pada tahun 1990 – 1996 cukup terkendali dibawah dua digit.
Akan tetapi mulai tahun 2000 – 2005 cukup berfluktuatif dan untuk tahun 2001, 2002
dan 2005 tingkat infkasi mencapai dua digit.
Tabel 4.3. Tingkat Inflasi di Sumatera Utara Tahun 1990 - 2005
Nilai tukar rupiah yang terdepresiasi sangat tinggi pada saat terjadinya krisis
ekonomi dan sesudahnya menjadi penyebab utama inflasi yang tinggi tersebut.
Kenaikan harga-harga menjadi tidak terkendalikan disebabkan sektor riil dan sektor
perbankan terkena dampak krisis yang sangat serius. Seiring dengan upaya perbaikan
ekonomi yang dilakukan pemerintah, maka laju inflasi dapat ditekan pada tahun 1999,
namun kemudian berfluktuasi setiap tahun sebagai akibat ketidakstabilan sekonomi
serta kebijakan pemerintah dalam menaikkan harga-harga.
Berdasarkan hasil pemantauan Badan Pusat Statistik (BPS) selama tahun 2005,
Sumatera Utara mengalami inflasi sebesar 20,86 persen yang lebih tinggi dari inflasi
tahun 2004 sebesar 7,40 persen. Inflasi tahun 2005 terutama disebabkan oleh adanya
kenaikan pada beberapa komoditi strategis pada akhir tahun 2004 seperti Tarif Dasar
Listrik (TDL), Bahan Bakar Minyak (BBM), dan tarif komunikasi serta komoditi lain
yang mengalami peningkatan setiap saat. Stabilitas nilai tukar rupiah mempunyai
andil dalam menekan tingkat inflasi khususnya pada barang-barang impor.
Walaupun secara eksplisit inflasi tidak dimasukkan kedalam penentuan target
pajak. Namun secara implisi variabel inflasi dimasukkan kedalam variabel Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) nominal karena didalam perhitungan PDRB
nominal memasukkan perubahan harga.
4.4 Jumlah Wajib Pajak di Sumatera Utara
Kewajiban dari wajib pajak yang utama adalah membayar pajak sendiri dan
memungut atau memotong pajak sendiri dan memungut atau memotong pajak orang
Berdasarkan kelompok wajib pajak dapat dilihat bahwa lebih dari 70 persen wajib
pajak di Sumatera Utara adalah wajib pajak orang pribadi, kemudian wajib pajak
berkisar 18 – 25 persen.
Tabel 4.4. Perkembangan Jumlah Wajib Pajak di Sumatera Utara Tahun 1990 – 2005
Jumlah Wajib Pajak Tahun
Badan Orang Pribadi Total
Perkembangan
Namun pada tahun 2005, jumlah wajib pajak orang pribadi mencapai 94,78
persen dari total wajib pajak dan kemudian wajib pajak badan sebesar 4,69 persen.
Peningkatan jumlah wajib pajak orang pribadi yang sangat tinggi pada tahun 2005
terutama disebabkan kebijakan Dirjen Pajak yang menerbitkan NPWP orang pribadi
Secara rata-rata selama waktu penelitian (1990 – 2005), jumlah wajib pajak
orang pribadi di Sumatera Utara mencapai 76,18 persen dan kemudian wajib pajak
badan sebesar 21,21 persen.
4.5Pembahasan
4.5.1 Hasil Estimasi Penentuan Target Pajak
Untuk melihat pengaruh Produk Domestik Regional Bruto, pengeluaran
pembangunan dan jumlah wajib pajak terhadap target pajak di Sumatera Utara antara
tahun 1990 – 2005 dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS) dan
program Eviews 4.1 diperoleh hasil sebagai berikut :
TPt = -1.885,999 + 0,0534 PDRBt-1 + 3,7421 GEt + 0,0461 WPt-1
(se) (0,0156) (1,9614) (0,0284)
(t-tes) (3,4243***) (1,9079*) (1,6216)
R2 = 0,863291
R2adj = 0,817825
F-statistic = 18,32779
DW stat = 1,687216
Berdasarkan hasil estimasi diperoleh hasil bahwa koefisien determinasi (R2)
sebesar 0,8633 berarti secara keseluruhan variabel bebas mampu menjelaskan
variabel terikat atau target pajak di Sumatera Utara sebesar 86,33%, sedangkan
Jika variabel-variabel bebasnya diuji (uji F) secara keseluruhan (serentak),
hasil estimasi menunjukkan pengaruh variabel-variabel bebas terhadap variabel
terikat signifikan pada tingkat 1%. Tanda koefisien regresi dari Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB), pengeluaran pembangunan dan jumlah wajib pajak bertanda
positif sesuai dengan hipotesa atau harapan teoritik.
Jika dianalisis secara parsial, hasil estimasi variabel bebas Produk Domestik
Regional Bruto memberikan pengaruh yang sangat signifikan pada tingkat α = 1%,
sedangkan pengeluaran pembangunan signifikan pada tingkat α = 10%. Namun
untuk jumlah wajib pajak secara statistik tidak signifikan disebabkan pertumbuhan
jumlah wajib pajak tidak banyak. Hal ini bisa dilihat pada tabel 4.4, bahwa
perkembangan jumlah wajib pajak di Sumatera Utara antara tahun 1996 – 2000
dibawah 6%. Analisis variabel-variabel lebih detailnya diuraikan sebagai berikut :
1. Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi yang diproxy dengan PDRB berpengaruh positif
terhadap target pajak dengan koefisien sebesar 0,0534. Hal ini dapat
diinterpretasikan jika terjadi peningkatan PDRB sebesar Rp 1juta maka target pajak
akan meningkat sebesar Rp 53.400, ceteris paribus.
Untuk mengukur sensitivitas pertumbuhan ekonomi terhadap target pajak,
maka dilakukan perhitungan elastisitasnya. Hasil perhitungannya adalah sebagai
06
Dari hasil perhitungan elastisitas pertumbuhan ekonomi terhadap target pajak
sebesar 1,48. Artinya bahwa pertumbuhan ekonomi terhadap target pajak adalah
elastis. Sehingga respon target pajak terhadap perubahan pertumbuhan ekonomi
relatif sangat besar.
2. Pengeluaran Pembangunan
Pengeluaran pembangunan berpengaruh positif terhadap target pajak dengan
koefisien sebesar 3,7421. Hal ini dapat diinterpretasikan jika terjadi peningkatan
pengeluaran pembangunan sebesar Rp 1juta maka target pajak akan meningkat
sebesar Rp 3,7421 juta, ceteris paribus.
Untuk mengukur sensitivitas pengeluaran pembangunan terhadap target pajak,
maka dilakukan perhitungan elastisitasnya. Hasil perhitungannya adalah sebagai
berikut :
Dari hasil perhitungan elastisitas pengeluaran pembangunan terhadap target
adalah tidak elastis (inelastic). Sehingga respon target pajak terhadap perubahan
pengeluaran pembangunan relatif sangat kecil.
3. Jumlah Wajib Pajak
Jumlah wajib pajak berpengaruh positif terhadap target pajak dengan
koefisien sebesar 0,0461. Hal ini dapat diinterpretasikan jika terjadi peningkatan satu
wajib pajak maka target pajak akan meningkat sebesar Rp 46.100, ceteris paribus.
Untuk mengukur sensitivitas jumlah wajib pajak terhadap target pajak, maka
dilakukan perhitungan elastisitasnya. Hasil perhitungannya adalah sebagai berikut :
06
Dari hasil perhitungan elastisitas jumlah wajib pajak terhadap target pajak
sebesar 0,003. Artinya bahwa jumlah wajib pajak terhadap target pajak adalah tidak
elastis (inelastic). Sehingga respon target pajak terhadap perubahan jumlah wajib
pajak sangat kecil.
Untuk melihat pengaruh Produk Domestik Regional Bruto (PDRB),
pengeluaran pembangunan dan jumlah wajib pajak terhadap realisasi penerimaan
pajak di Sumatera Utara antara tahun 1990 – 2005 dengan menggunakan metode
Realt = 38.278,16 + 0,0224 PDRBt-1 + 1,5141 GEt + 14,4376 WPt-1
(se) (0,0224) (0,7592) (16,6207)
(t-tes) (2,4516**) (1,9943*) (0,8687)
R2 = 0,840311
R2adj = 0,796759
F-statistic = 19,29457
DW stat = 2,167604
Berdasarkan hasil estimasi diperoleh hasil bahwa koefisien determinasi (R2)
sebesar 0,8403 berarti secara keseluruhan variabel bebas mampu menjelaskan
variabel terikat atau realisasi pajak di Sumatera Utara sebesar 84,03%, sedangkan
sisanya (15,97%) dijelaskan variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model.
Jika variabel-variabel bebasnya dianalisis secara keseluruhan (serentak), hasil
estimasi menunjukkan pengaruh variabel-variabel bebas terhadap variabel terikat
signifikan pada tingkat 1%. Tanda koefisien regresi dari Produk Domestik Regional
Bruto (PDRB), pengeluaran pembangunan dan jumlah wajib pajak bertanda positif
sesuai dengan hipotesa atau harapan teoritik.
Jika dianalisis secara parsial, hasil estimasi variabel bebas Produk Domestik
Regional Bruto memberikan pengaruh yang sangat signifikan pada tingkat α = 5%,
sedangkan pengeluaran pembangunan signifikan pada tingkat α = 10%. Namun
untuk jumlah wajib pajak secara statistik tidak signifikan disebabkan pertumbuhan
bahwa perkembangan jumlah wajib pajak di Sumatera Utara antara tahun 1996 –
2000 dibawah 6%. Analisis variabel-variabel lebih detailnya diuraikan sebagai
berikut :
1. Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi yang diproxy dengan PDRB berpengaruh positif
terhadap target pajak dengan koefisien sebesar 0,0224. Hal ini dapat
diinterpretasikan jika terjadi peningkatan PDRB sebesar Rp 1juta maka realisasi
penerimaan pajak akan meningkat sebesar Rp 22.400, ceteris paribus.
Untuk mengukur sensitivitas pertumbuhan ekonomi terhadap realisasi
penerimaan pajak, maka dilakukan perhitungan elastisitasnya. Hasil perhitungannya
adalah sebagai berikut :
9
Dari hasil perhitungan elastisitas pertumbuhan ekonomi terhadap realisasi
penerimaan pajak sebesar 0,73. Artinya bahwa pertumbuhan ekonomi terhadap target
penerimaan pajak adalah tidak elastis (inelastic). Sehingga respon realisasi pajak
terhadap perubahan pertumbuhan ekonomi sangat kecil.
2. Pengeluaran Pembangunan
Pengeluaran pembangunan berpengaruh positif terhadap target pajak dengan
pengeluaran pembangunan sebesar Rp 1juta maka realisasi penerimaan pajak akan
meningkat sebesar Rp 1,5141 juta, ceteris paribus.
Untuk mengukur sensitivitas pengeluaran pembangunan terhadap realisasi
penerimaan pajak, maka dilakukan perhitungan elastisitasnya. Hasil perhitungannya
adalah sebagai berikut :
9
Dari hasil perhitungan elastisitas pengeluaran pembangunan terhadap realisasi
penerimaan pajak sebesar 0,29. Artinya bahwa pengeluaran pembangunan terhadap
realisasi penerimaan pajak adalah tidak elastis (inelastic). Sehingga respon realisasi
penerimaan pajak terhadap perubahan pengeluaran pembangunan relatif sangat kecil.
3. Jumlah Wajib Pajak
Jumlah wajib pajak berpengaruh positif terhadap realisasi penerimaan pajak
dengan koefisien sebesar 14,4376. Hal ini dapat diinterpretasikan jika terjadi
peningkatan satu wajib pajak maka realisasi penerimaan pajak akan meningkat
sebesar Rp 14,4376 juta, ceteris paribus.
Untuk mengukur sensitivitas jumlah wajib pajak terhadap target pajak, maka
9
Dari hasil perhitungan elastisitas jumlah wajib pajak terhadap target pajak
sebesar 1,05. Artinya bahwa jumlah wajib pajak terhadap realisasi penerimaan pajak
adalah elastis. Sehingga respon target pajak terhadap perubahan jumlah wajib pajak
sangat besar.
Bila dibandingkan antara hasil model estimasi antara target pajak dan realisasi
pajak, terdapat perbedaan nilai koefisien pada variabel Produk Domestik Regional
Bruto(PDRB) yaitu 0,0534 pada target pajak dan 0,0224 pada realisasi pajak.
Dengan demikian ada selisih sebesar 0,031. Artinya apabila PDRB naik 1 persen
akan menyebabkan perbedaan sebesar 0,031 persen, ceteris paribus. Demikan juga
pada variabel pengeluaran pembangunan, untuk target pajak dengan nilai koefisien
sebesar 3,7421 sedangkan untuk realisasi penerimaan pajak sebesar 1,5141. Dengan
demikian ada selisih sebesar 2,228. Artinya apabila pengeluaran pembangunan naik
sebesar 1 persen akan menyebabkan perbedaan sebesar 2,228 persen, ceteris paribus.
4.5.2 Uji Asumsi Klasik
Mempertimbangkan bahwa dalam model regresi yang ingin dicapai adalah
terhadap asumsi klasik, maka dalam penelitian ini dilakukan pengujian asumsi klasik
berupa multikolinearitas.
1. Uji Multikolinieritas
Interpretasi dari model regresi berganda secara implisit bergantung pada
asumsi bahwa antar variabel bebas yang digunakan dalam model tersebut tidak saling
berkolerasi. Koefisien-koefisien regresi biasanya diinterpretasikan sebagai ukuran
perubahan variabel terikat jika salah satu variabel bebasnya naik sebesar satu unit dan
seluruh variabel bebas lainnya dianggap tetap. Namun interpretasi ini menjadi salah
apabila terdapat hubungan linear antar variabel bebas. Berikut ini hasil uji
multikolinieritas pada tabel 4.5 adalah sebagai berikut:
Tabel 4.5. Hasil Estimasi Uji Multikolinieritas (Koefisien Korelasi Parsial)
Variabel R2
PDRBL(-1) 0,800403
GE 0,841491
WP(-1) 0,848260
Sumber: Lampiran 4, 5 dan 6
Berdasarkan pada tabel 4.5, diatas dapat terlihat bahwa nilai R2
dari model yang diestimasi yaitu 0,863291 lebih besar dari pada nilai R2 dalam
regresi antar variabel bebas yaitu : 0,800403 ; 0,841491 dan 0,848260 berdasarkan
2. Autokorelasi
Uji autokorelasi ini dilakukan untuk mengetahui adanya saling
ketergantungan antara faktor penganggu yang berhubungan dengan observasi yang
dipengaruhi oleh unsur gangguan yang berhubungan dengan pengamatan lainnya.
Untuk mengetahui adanya autokorelasi atau tidak dengan menggunakan uji Lagrange
Multiplier Test (LM Test). Hasil estimasi dengan menggunakan uji LM test
diperoleh nilai Obs*R-squared = 0,016554 dengan nilai probalitas 0,897623. Nilai
probabilitas > 0,05 maka dapat disimpulkan tidak dapat menolak Ho atau dengan kata