• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Determinan Penentuan Target Pajak Di Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Determinan Penentuan Target Pajak Di Sumatera Utara"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS DETERMINAN PENENTUAN

TARGET PAJAK DI SUMATERA UTARA

TESIS

Oleh

IMAN PINEM

067018050/EP

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

ANALISIS DETERMINAN PENENTUAN

TARGET PAJAK DI SUMATERA UTARA

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains

dalam Program Studi Magister Ekonomi Pembangunan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

IMAN PINEM

067018050/EP

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul

Tesis

:

ANALISIS DETERMINAN PENETUAN

TARGET PAJAK DI SUMATERA UTARA

Nama Mahasiswa

: Iman Pinem

Nomor Pokok

: 067018050

Program Studi

: Ekonomi Pembangunan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Murni Daulay, M.Si) (Drs. Iskandar Syarief, MA) Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Direktur

(Dr. Murni Daulay, M.Si) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 27 Maret 2008

PANITIA PENGUJI TES

Ketua : 1. Dr. Murni Daulay, M.Si Anggota : 2. Drs. Iskandar Syarief, MA

(5)

ABSTRAK

Penentuan target penerimaan pajak dalam APBN selama ini tidak memadai lagi untuk menghadapi kondisi pengeluaran negara yang meningkat lebih cepat sehingga mengakibatkan semakin besarnya fiskal gap dan defisit anggaran. Untuk mengimbangi peningkatan pengeluaran tersebut maka diperlukan peningkatan penerimaan pajak dimana hal ini masih dimungkinkan mengingat tax rasio Indonesia masih rendah dan dibawah rata-rata tax ratio negara berkembang di dunia.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi target pajak di Sumatera Utara. Dengan memperhatikan situasi makroekonomi yang ada dalam hal ini Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan pengeluaran pembangunan serta faktor internal yaitu jumlah wajib pajak, maka variabel-variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) berlaku, pengeluaran pembangunan dan jumlah wajib pajak.

Penelitian ini menggunakan data time series antara tahun 1990 – 2005 dan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS) untuk mengestimasi target penerimaan pajak.

Hasil penelitian menunjukkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tahun lalu, pengeluaran pembangunan dan jumlah wajib pajak tahun lalu secara keseluruhan (serentak) mempengaruhi target pajak. Sedangkan secara parsial, variabel Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tahun lalu dan pengeluaran pemerintah berpengaruh positif dan signifikan terhadap target pajak di Sumatera Utara. Sedangkan variabel jumlah wajib pajak tahun lalu berpengaruh positif tetapi tidak signifikan terhadap target pajak. Jika melihat elastisitasnya dari variabel-variabel bebasnya diperoleh hasil bahwa Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tahun lalu mempunyai nilai elastisitas lebih dari 1 terhadap target pajak. Sehingga respon target pajak terhadap PDRB tahun lalu sangat besar. Sedangkan pengeluaran pemerintah dan jumlah wajib pajak kurang dari 1 (inelastic) terhadap target pajak. Sehingga respon target pajak terhadap pengeluaran pemerintah dan jumlah wajib pajak sangat kecil.

(6)

ABSTRACT

Tax receiving target determination as stated in the APBN (National Budget) is no longer appropriate to face the condition of national spending which is more rapidly increasing that resulting in an increasing amount of fiscal gap and budget deficit. To balance the increase of spending, tax receiving needs to be increased because it is still possible to do considering that tax ratio in Indonesia is still low and under the mean tax ratio of developing countries in the world.

The purpose of this study is to find out the factors influencing tax target in Sumatera Utara. By looking at the current macroeconomic situation including existing Gross Regional Domestic Product (PDRB), government expenditure, and the internal factor such as the number of tax payers that function as the variables to be looked at in this study.

To estimate tax receiving target, this study uses the data time series issued from 1990 – 2005 and Ordinary Least Square method.

The result of this study reveals that the last year Gross Regional Domestic Bruto (PDRB), government expenditure, and number of tax payers all together influence the tax target. Partially, the variables of last year and government expenditure have a positive and significant influence on the tax target in Sumatera while the variable of last year number of tax payers has a positive but insignificant influence on the tax target. In terms of the elasticity of independent variables, it is found out that last year Gross Regional Domestic Product (PDRB) has an elasticity value which is greater than 1 toward tax target that the response of tax target to the last year Gross Regional Domestic Product (PDRB) is very big, while the response of tax target toward government expenditure and number of tax payers is very small because the elasticity value of government expenditure and number of tax payers is less than 1 (inelastic).

(7)

KATA PENGANTAR

Tiada kata yang dapat penulis ucapkan, selain puji syukur yang sangat dalam

kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang karena limpahan Rahmat dan hidayah-Nya,

sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul: Analisis

Determinan Penentuan Target Pajak Di Sumatera Utara.

Tugas akhir ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan

pendidikan di Program Studi Ekonomi Pembangunan Sekolah Pasca Sarjana

Universitas Sumatera Utara.

Penyusunan tugas akhir ini tidak lepas dari bantuan semua pihak yang telah

memberikan bantuan moril maupun materil hingga penulis dapat menyelesaikan

penulisan tesis ini. Dengan segala kerendahan hati, pada kesempatan ini perkenankan

penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak

yang telah membantu penulis yaitu kepada;

1. Ibu Dr. Murni Daulay M.Si sebagai komisi pembimbing dan sekaligus sebagai

Ketua Program Studi Ekonomi Pembangunan dan Bapak Drs. Iskandar Syarief,

M.A. sebagai anggota komisi pembimbing, atas kesempatan/waktu dan pikiran

yang telah diberikan mulai dari penulisan proposal sampai dengan selesainya

penulisan tesis ini.

2. Bapak dan Ibu staf pengajar pada Program Studi Ekonomi Pembangunan Sekolah

Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, yang dengan tulus dan ikhlas telah

(8)

3. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K), selaku Rektor Universitas

Sumatera Utara.

4. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B. M.Sc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara.

5. Para Staf Administrasi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

6. Teman-teman khususnya angkatan XI yang telah bersama-sama menambah ilmu

selama masa perkuliahan dari awal sampai akhir.

7. Rasa terima kasih yang mendalam khususnya penulis sampaikan kepada orang

tuaku Alm. Drs. Dj. Pinem/ Sita br Ketaren, mertua Drg. Djemmy Sembiring

Depari/ M br Perangin-angin, istriku tercinta Nestum br Sembirng Amk,

anak-anakku Ari dan Angel serta abang dan kakakku sekalian yang senantiasa

mendoakan dan memberikan semangat, perhatian dan Kasih sayang dalam

menyelesaikan studi ini.

8. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang telah membantu dan

memberikan dorongan baik langsung maupun tidak langsung kepada penulis

dalam menyelesaikan thesis ini.

Akhir kata penulis menyadari bahwa apa yang tertuang dalam tesis ini masih

banyak kekurangan. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun untuk

perbaikan tesis ini senantiasa penulis harapkan.

Mudah-mudahan penulisan tesis ini dapat memberikan banyak manfaat

sehingga memperkaya khazanah ilmu pengetahuan di bidang ekonomi pembangunan

(9)

Universitas Sumatera Utara yang akan menyusun penulisan tesis. Akhir kata semoga

segala usaha dan niat baik yang telah kita lakukan mendapat ridho dari Tuhan yang

Maha Kuasa.

Medan, Maret 2008

Penulis,

(10)

RIWAYAT HIDUP

1. Nama : Iman Pinem

2. Agama : Kristen Protestan

3. Tempat/Tgl. Lahir : Medan, 16 September 1968

4. Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil (PNS)

5. Nama orangtua

Ayah : (Alm.) Drs. DJ. Pinem

Ibu : Sita br. Ketaren

6. Pendidikan

a. SD. RK. ST. Thomas I Medan : Lulus Tahun 1981

b. SMP. RK. ST. Thomas I Medan : Lulus Tahun 1984

c. SMA. RK. ST. Thomas I Medan : Lulus Tahun 1987

d. Universitas Sumatera Utara (USU) Medan : Lulus Tahun 1992

(11)
(12)

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN... 34

4.1 Pertumbuhan Ekonomi Sumatera Utara... 34

4.2 Pengeluaran Pembangunan ... 35

4.3 Inflasi ... 38

4.4 Jumlah Wajib Pajak di Sumatera Utara ... 39

4.5 Pembahasan... 41

4.5.1 Hasil Estimasi Penentuan Target Pajak... 41

4.5.2 Uji Asumsi Klasik ... 48

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN... 51

5.1. Kesimpulan ... 51

5.2. Saran... 52

(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1 Perbandingan Penerimaan Pajak Terhadap Pendapatan Nasional

Dari Beberapa Negara Asia Tahun 2002 ... 7

4.1 Pertumbuhan Ekonomi Sumatera Utara Tahun 1990 - 2005 ... 35

4.2 Realisasi Pengeluaran Pembangunan di Sumatera Utara 1990 – 2005 ... 37

4.3 Tingkat Inflasi di Sumatera Utara Tahun 1990 – 2005... 38

(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1 Kurva Laffer... 20

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1 Data Penelitian ... 56

2 Hasl Estimasi OLS atas Variabel Target Pajak... 57

3 Hasil Estimasi OLS atas Variabel Realisasi Penerimaan Pajak... 58

4 Uji Multikolinearitas atas Variabel PDRB... 59

5 Uji Multikolinearitas atas Variabel GE... 60

6 Uji Multikolinearitas atas Variabel WP ... 61

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Penentuan target penerimaan pajak dalam APBN selama ini tidak memadai

lagi untuk menghadapi kondisi pengeluaran negara yang meningkat lebih cepat

sehingga mengakibatkan semakin besarnya fiskal gap dan defisit anggaran. Untuk

mengimbangi peningkatan pengeluaran tersebut maka diperlukan peningkatan

penerimaan pajak dimana hal ini masih dimungkinkan mengingat tax rasio Indonesia

masih rendah dan dibawah rata-rata tax ratio negara berkembang di dunia.

Seiring upaya mengurangi ketergantungan dana eksternal (hutang luar negeri)

maka sumber pembiayaan pembangunan internal yakni penerimaan pajak terus

ditingkatkan. Kontribusi pajak terhadap jalannya roda pemerintahan dan

pembangunan terus meningkat dari waktu ke waktu. Peran penting tersebut

diwujudkan dalam bentuk target penerimaan pajak di dalam Anggaran Pendapatan

dan Belanja Negara untuk skala Nasional. Misi utama Direktorat Jenderal Pajak

(DJP) di dalam struktur keuangan Negara menjalankan tugas dan fungsi penerimaan

pajak adalah Misi Fiskal yaitu menghimpun penerimaan pajak berdasarkan Undang –

Undang perpajakan yang mampu menunjang kemandirian pembiayaan pemerintah

dan dilaksanakan secara efektif dan efisien ( Rusjdi, 2006 ). Target penerimaan pajak

(17)

(Kanwil) di daerah dan selanjutnya, setiap Kanwil DJP di masing – masing daerah

juga mengalokasikan target tersebut kepada setiap Kantor Pelayanan Pajak yang

berada di masing – masing wilayahnya sebagai unit operasional.

Penerimaan pajak sebagai realisasi dari penentuan target pajak dipengaruhi

oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi penerimaan

pajak berupa kebijakan dalam menentukan dasar pengenaan pajak (tax base) atau

objek pajak, jika dasar pengenaan pajak dan objek pajak dapat diperluas berdasarkan

Undang-Undang maka hal ini berpengaruh positif terhadap penerimaan pajak,

disamping itu kebijakan penerapan pajak yang tidak sesuai dengan tunututan pasar

dapat berpengaruh negatif terhadap penerimaan pajak. Sedangkan pengaruh faktor

eksternal terhadap penerimaan pajak dapat terlihat pada pertumbuhan ekonomi yang

merupakan persentase kenaikan PDB dalam nilai riil tahun tertentu dibandingkan

tahun sebelumnya akan berpengaruh positif terhadap penerimaan pajak. Begitu juga

halnya dengan tingkat inflasi juga dapat mempengaruhi penerimaan pajak, dalam

periode waktu tertentu tingkat inflasi yang tidak terlalu tinggi dan dapat disesuaikan

berpengaruh positif terhadap penerimaan pajak melalui naiknya nilai nominal dari

pendapatan masyarakat yang dapat digunakan untuk konsumsi maupun menabung.

Hal yang sama juga terjadi pada pengeluaran pemerintah. Apabila pemerintah

melalukan kebijakan fiskal yang ekspansif akan dapat meningkatkan pendapatan

masyarakat. Sistem perpajakan di Indonesia juga harus disusun menjadi lebih

kondusif agar dapat meningkatkan wajib pajak, kepercayaan dan produktifitas.

(18)

based). Tarif pajak dan basis pajak perlu disesuaikan pada tingkat yang rasional sehingga dapat meningkatkan daya saing dan menggairahkan dunia usaha yang pada

akhirnya memberi dampak positif pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Dalam APBN tahun 2005, penerimaan pajak sebesar Rp. 297,84 triliun atau

sebesar 78,5 % dari penerimaan dalam negeri. Dari jumlah tesebut, 81% berasal dari

penerimaan Pajak Penghasilan ( PPh ) dan Pajak Pertambahan Nilai ( PPN ).

Penerimaan PPh pada umumnya diharapkan masih dapat ditingkatkan karena

memiliki potensi yang cukup besar dan masih banyak yang belum tergali, terutama

dari sektor PPh Pasal 21 yang akan berujung pada peningkatan PPh Orang Pribadi

mengingat jumlah penduduk yang semakin besar dan pertumbuhan ekonomi yang

harus tetap berlanjut.

Berdasarkan data dari Kantor Pajak di Sumatera Utara untuk tahun 2000

sampai dengan 2006 realisasi penerimaanya selalu dibawah target yang telah

ditetapkan , Untuk penentuan target pajak ini memerlukan suatu perencanaan yang

wajar dan objektif dalam arti tidak hanya berorientasi pada pencapaian penerimaan

semata, tetapi juga harus melihat faktor-faktor ekonomi eksternal secara makro yang

dapat mempengaruhi di dalam penentuan suatu target penerimaan pajak. Oleh karena

itu perlu dikaji faktor-faktor manakah yang dapat mempengaruhi penentuan target

penerimaan pajak sehingga target yang dialokasikannya tersebut dapat terealisir

secara wajar dan realistis sesuai dengan potensi yang ada, tingkat inflasi yang berlaku

(19)

Dilatar belakangi oleh pemikiran-pemikiran tersebut diatas, dalam tesis ini,

penulis mencoba untuk mempelajari dan menganalisis faktor-faktor yang

mempengaruhi penentuan target penerimaan pajak di Sumatera Utara sehingga dapat

diambil kesimpulan bagaimana langkah yang diambil oleh Kantor Pajak di Sumatera

Utara untuk merealisasikan target penerimaan pajaknya secara wajar dan realistis

khususnya untuk tahun-tahun berikutnya.

1.2 Rumusan Masalah

Dengan memperhatikan latar belakang dan uraian yang telah diungkapkan

maka permasalahan yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana pengaruh pengeluaran pembangunan terhadap target

penerimaan pajak di Sumatera Utara.

2. Bagaimana pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap target penerimaan

pajak di Sumatera Utara.

3. Bagaimana pengaruh jumlah wajib pajak terhadap target penerimaan pajak

di Sumatera Utara.

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui pengaruh pengeluaran pembangunan terhadap target

(20)

2. Untuk mengetahui pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap target

penerimaan pajak di Sumatera Utara.

3. Untuk mengetahui pengaruh jumlah wajib pajak terhadap target

penerimaan pajak di Sumatera Utara.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain :

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi Pemerintah

(khususnya Direktorat Jenderal Pajak) agar dapat mengetahui variabel –

variabel yang berpengaruh di dalam penentuan target penerimaan pajak di

Sumatera Utara secara wajar dan realistis sehingga dapat terealiasir.

2. Untuk menambah wawasan, baik penulis sendiri, maupun pemerhati pajak

lainnya terutama di dalam menganalisa variabel-variabel yang

mempengaruhinya serta juga berguna sebagai referensi bagi peneliti

(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Target Pajak

Target pajak adalah suatu nilai tertentu atau yang diharapkan dari penerimaan

pajak dengan memperhatikan situasi makro ekonomi yang ada dalam hal ini Produk

Domestik Regional Bruto (PDRB) dan pengeluaran pembangunan.

Untuk membiayai berbagai program pembangunan, pemerintah memperoleh

penerimaan melalui sistem pajaknya yang dirancang secara hati-hati yang bersumber

dari pengeluaran pemerintah untuk menyeimbangkan antara target dan realisasi

sehingga bermuara pada efisiensi dan pemerataan. Berapa banyak pendapatan

nasional yang berasal dari pajak.

Berdasarkan tabel 2.1 diatas, untuk tahun 2002 tax ratio Indonesia sebesar

13,0%. Sedangkan negara-negara lain seperti Singapura sudah mencapai 22,44%,

Malaysia 20,17% dan Srilanka 17,91%. Dengan demikian kinerja perpajakan

Indonesia hanya sedikit lebih unggul dibandingkan tax ratio Negara India dan

(22)

Tabel.2.1. Perbandingan penerimaan pajak terhadap pendapatan nasional dari beberapa Negara Asia Tahun 2002.

No. Negara % penerimaan pajak tehadap

pendapatan nasional

1. Singapura 22,44

2. Malaysia 20,17

3. Srilanka 17,91

4. Thailand 17,28

5. Korea 15,78

6. Jepang 14,56

7. Philiphina 13,68

8. Pakistan 13,60

9. Indonesia 13,0

10. India 9,85

11. Myanmar 5,50

Sumber: Direktorat Jenderal Pajak

Berdasarkan tabel 2.1 diatas, untuk tahun 2002 tax ratio Indonesia sebesar

13,0%. Sedangkan negara-negara lain seperti Singapura sudah mencapai 22,44%,

Malaysia 20,17% dan Srilanka 17,91%. Dengan demikian kinerja perpajakan

Indonesia hanya sedikit lebih unggul dibandingkan tax ratio Negara India dan

Myanmar yaitu sebesar 9,85% dan 5,5%.

Proses penarikan pajak oleh pemerintah pada kegiatan ekonomi akan

mengurangi pendapatan disposable (disposable income), dimana :

∆AD = – c ∆ T (2.1)

(23)

ΔAD = 1 ΔG (2.2) 1 - c

dimana:

T = Pajak

G = Pengeluaran Pemerintah

c = Marginal Propensity to Consume (MPC)

AD = Aggredat Demand

∆AD/∆T dan ΔAD/ΔG menyatakan bahwa multiplier dari kebijakan fiscal. ΔT dan

ΔG merupakan multiplier pada putaran pertama. Pengaruh akhir dari ∆T dan ∆G

terhadap AD biasanya tidak sama dengan satu, biasanya lebih kecil dari satu. Ini

tergantung kemana pajak itu dibelanjakan kembali, apakah untuk beli barang atau

bayar gaji. Proses penarikan pajak sebenarnya tidak hanya mengurangi pendapatan,

tetapi juga dapat berpengaruh terhadap Investasi ( I ), terutama bila pajak berkaitan

dengan keputusan para penanam modal untuk investasi. Dalam hal ini pengenaan

pajak cenderung menurunkan investasi lewat proses pelipat dapat menurunkan AD.

2.2 Azas-Azas Dalam Perpajakan

Teori klasik tentang sistem perpajakan yang baik dumulai sejak Adam Smith

dalam bukunya “The Wealth of Nations” (Waluyo 2006) yang menyatakan bahwa

(24)

a) Equality

Pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata, yaitu dikenakan kepada

orang pribadi yang harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak atau

ability to pay dan sesuai dengan manfaat yang diterima. Adil dimaksudkan bahwa setiap wajib pajak menyumbangkan uang untuk pengeluaran

pemerintah sebanding dengan kepentingan dan manfaat yang diminta.

b) Certainty

Penetapan pajak itu tidak ditentukan sewenang-wenang. Oleh karena itu,

wajib pajak harus mengetahui secara jelas dan pasti besarnya pajak yang

terutang, kapan harus dibayar, serta batas waktu pembayaran.

c) Convenience

Kapan wajib pajak itu harus membayar pajak sebaiknya sesuai dengan

saat-saat yang tidak menyulitkan wajib pajak sebagai contoh pada saat-saat wajib pajak

memperoleh penghasilan. Sistem pemungutan ini disebut pay as you earn.

d) Economy

Secara ekonomi biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban bagi

wajib pajak diharapkan seminimum mungkin, demikian pula beban yang

dipikul wajib pajak.

Azas keadilan dalam sistem perpajakan telah banyak didiskusikan secara luas,

dan hal ini merupakan bagian terpenting dalam mengevaluasi setiap pengajuan dalam

pembuatan kebijakan perpajakan. Musgrave (Laksana, 2001) memberikan

(25)

insentif pajak terhadap penerimaan pajak. Diantara keempat azas diatas, Musgrave

juga menekankan pada tiga azas lainnya yaitu : azas netralitas (neutrality), azas

perbaikan (reformation), dan azas kestabilan dan pertumbuhan (growth and stability).

2.3 Target Pajak dan Faktor-Faktor Ekonomi Eksternal Yang

Mempengaruhinya

Di negara-negara yang sedang berkembang sebagian besar penerimaan

pajaknya berasal dan sumber pajak tak langsung. Menurut Nafziger (1990) dan dalam

Yuzrat and Makhfatih (Nasution, 2003) menyebutkan bahwa proporsi PDB terhadap

pajak langsung pada negara sedang berkembang lebih rendah daripada pajak

langsung dari negara-negara maju. Hal ini dikarenakan pada negara-negara yang

sedang berkembang lebih rendah golongan berpenghasilan tingginya. Dalam

perkembangannya akan terjadi proses pergeseran dari dominasi pajak tidak langsung

menjadi pajak langsung sesuai dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi

diiringi dengan peningkatan pendapatan perkapita penduduknya.

Dalam jangka panjang peranan pajak langsung akan semakin penting seiring

dengan pertumbuhan ekonomi yang semakin pesat dan ditunjang pula dengan

teknologi canggih menuju era globalisasi. Selain berfungsi sebagai pemerataan

karena struktur tarifnya bersifat progresif, perkembangan hubungan internasional

yang semakin maju kearah liberal dan global mengharuskan pemerintah untuk

menurunkan tarif importnya dalam rangka peningkatan daya saing ekonomi domestik

(26)

turun. Alternatifnya adalah memobilisasi penerimaan pajak yang bertumpu pada

pajak langsung seperti pajak penghasilan.

2.3.1 Pertumbuhan Ekonomi

a. Hubungan Pajak dan Pertumbuhan Ekonomi

Pajak mempengaruhi permintaan agregat {AD = C + I + G (bila

perekonomian tertutup)} secara tidak langsung melalui disposable income dan

selanjutnya terhadap pengeluaran konsumsi. Apabila pajak naik sebesar ΔT

maka disposable income turun dengan jumlah yang sama dan pengeluaran

konsumsi juga turun sebesar : ΔC = -c ΔT dimana c adalah Marginal

Propensity to Consume (MPC), dan selanjutnya ΔC ini menurunkan AD melalui proses proses multiplier sebesar 1/1-c x ΔC atau –c/1-c x ΔT. Dengan

demikian kenaikan pajak cenderung untuk menurunkan output dan bersifat

deflasioner. Akan tetapi, apabila penerimaan pajak digunakan untuk

pembelian barang/jasa (ΔG) maka pengaruh pajak ini belum tentu deflasioner.

Apabila kenaikan penerimaan pajak sebesar ΔT seluruhnya digunakan untuk

pembelian barang/jasa (ΔG) maka kenaikan AD sebesar 1/1-c x ΔG.

Pengaruh netto dari kebijakan tersebut sebesar (-c/1-c x ΔT) + (1/1-c x

ΔG). Tetapi karena seluruh kenaikan pajak digunakan untuk pembelian

barang/jasa maka ΔT = ΔG sehingga pengaruh nettonya terhadap AD sebesar

(27)

meningkat sebesar ΔT dan seluruhnya digunakan untuk pembelian barang/jasa

sebesar ΔG maka akan meningkatkan permintaan agregat sebesar ΔAD. Hal

ini terkenal dengan nama dalil Anggaran Berimbang atau Balanced Budget

Multiplier (Boediono, 2001).

b. Teori Pertumbuhan Ekonomi

Teori Pertumbuhan Ekonomi Harold – Domar

Teori Harold – Domar adalah perkembangan langsung dari teori

makro Keyness jangka pendek menjadi suatu teori makro jangka panjang.

Aspek utama yang dikembangkan dari teori Keyness adalah aspek yang

menyangkut peranan investasi (I) dalam jangka panjang. Dalam teori

Keyness, pengeluaran investasi (I) mempengaruhi permintaan agregat

(AD) tetapi tidak mempengaruhi penawaran agregat (S). Harold – Domar

melihat pengaruh investasi dalam perspektif waktu yang lebih panjang.

Menurut kedua ekonom ini, pengeluaran investasi (I) tidak hanya

mempunyai pengaruh (lewat proses multiplier) terhadap permintaan

agregat (AD) tetapi juga terhadap penawaran agregat (S) melalui

pengaruhnya terhadap kapasitas produksi. Dalam perspektif waktu yang

lebih panjang ini, I menambah stok kapital (misalnya, pabrik-pabrik, jalan

dan jembatan dan lain sebagainya). Jadi I = ΔK, dimana K adalah stok

(28)

Perekonomian yang dibangun pada dasarnya harus senantiasa

mencadangkan atau menabung sebagian pendapatan nasionalnya untuk

menambah atau mengganti barang-barang modal yang telah susut atau

rusak. Namun untuk memacu pertumbuhan ekonomi dibutuhkan investasi

baru yang merupakan tambahan netto terhadap cadangan atau stok modal.

Bila diasumsikan bahwa ada hubungan ekonomi langsung antara besarnya

stok modal secara keseluruhan (K), dengan total PDB (Y), misalkan

dibutuhkan modal sebesar 3 juta rupiah untuk menghasilkan satu juta

rupiah dari PDB, maka hal itu berarti bahwa setiap tambahan netto

terhadap stok modal dalam bentuk investasi baru akan menghasilkan

kenaikan arus output nasional atau PDB.

Secara sederhana persamaan Harold – Domar dapat dinotasikan

sebagai berikut:

k s Y

Y = Δ

dimana:

Y = PDB

s = Propersity to save

k = Propersity to capital

Persamaan ini menyatakan bahwa tingkat pertumbuhan pendapatan

(29)

(semakin banyak bagian PDB yang ditabung dan diinvestasikan maka

pertumbuhan PDB yang dihasilkan akan semakin besar). Dan secara

negatif atau perbandingan terbalik yakni, semakin besar rasio modal

output nasional, maka tingkat pertumbuhan PDB akan semakin rendah.

Logika ekonomi yang terkandung didalam persamaan Harold – Domar

tersebut adalah sangat sederhana, agar bisa tumbuh dengan pesat maka

setiap perekonomian haruslah menabung dan menginvestasikan sebanyak

mungkin dari PDB-nya. Semakin banyak yang dapat ditabung dan

kemudian diinvestasikan maka laju pertumbuhan ekonomi semakin cepat.

Akan tetapi tingkat pertumbuhan maksimal yang dapat dijangkau pada

setiap tabungan dan investasi juga amat tergantung kepada tingkat

produktifitas investasi tersebut dalam mencapai laju pertumbuhan

ekonomi tersebut. (Todaro, 2000).

Teori Pembangunan Ekonomi Solow

Fungsi produksi yang dikemukakan oleh Robert M. Solow

memasukkan unsur produktivitas faktor total, artinya kenaikan output

tidak hanya ditentukan oleh kenaikan modal dan tenaga kerja tetapi juga

oleh kenaikan produktifitas faktor total. Artinya jika produktivitas faktor

total meningkat satu persen dengan asumsi input tidak berubah, maka

output akan meningkat satu persen pula. Peningkatan mungkin

disebabkan oleh perubahan kebijakan pemerintah terhadap investasi,

(30)

dan kualitas dari tenaga kerja yang dihasilkan sehingga produktivitas

kerja akan meningkat, selanjutnya pertumbuhan output total akan bergerak

naik menjadi pertumbuhan ekonomi yang emningkat (Todaro, 2000).

Solow menotasikan model pertumbuhan ekonomi dalam bentuk

persamaan matematika seperti berikut ini:

k

q = f(k) , q = output per tenaga kerja adalah fungsi dari capital per tenaga

kerja, atau output per kapita adalah fungsi dari kapital per kapita. Asumsi l

konstan.

ΔK = sQ

k = K/L

Q = kuantititas jumlah produksi

L = tenaga kerja

s = propensity to save

Solow mengatakan bahwa posisi long run equilibrium akan tercapai apabila

capital per kapita, k, mencapai suatu tingkat yang stabil, artinya tidak lagi berubah

nilainya. (Boediono, 1999)

Teori Pembangunan Ekonomi Solow - Swan

Secara garis besar proses pertumbuhan ekonomi yang dikemukakan oleh

(31)

a. Tenaga kerja (atau penduduk), L, tumbuh dengan laju tertentu,

misalnya p per tahun

b. Adanya fungsi produksi Q = f(K, L) yang berlaku bagi setiap periode.

c. Adanya kecenderungan menabung (Propersity to save) oleh

masyarakat yang dinyatakan sebagai proporsi (s) tertentu dari output.

Tabungan masyarakat S = sQ; bila Q naik maka S akan naik juga

begitu sebaliknya.

d. Semua tabungan masyarakat diinvestasikan (S = I = ΔK). (Boediono,

1999)

2.3.2 Pengeluaran Pemerintah ( Government Expenditure )

Dalam rangka kegiatan ekonomi pembangunan, kebutuhan akan dana yang

menjadi beban pengeluaran pemerintah terus meningkat, kebutuhan dana yang

terus meningkat tersebut tidak boleh dipenuhi melalui pencetakan uang,

namun harus didanai dari sumber penerimaan negara dari pajak dan

pendapatan negara lainnya yang sah, termasuk dari bantuan atau pinjaman

atau hutang dari dalam dan luar negeri ataupun dengan mengadakan efisiensi

pengeluaran pemerintah. (Frans Seda, 2004).

Penggalian sumber-sumber keuangan khususnya yang berasal dari pajak dapat

dilakukan dengan terlebih dahulu meningkatkan pengeluaran Pemerintah

(32)

Domestik Regional Bruto (PDRB). Dalam hal ini pemerintah dapat

melakukannya melalui :

a. Belanja Pegawai.

Belanja Pegawai merupakan salah satu pos yang penting dari APBN

karena jika pos ini tidak ada, maka roda pemerintahan tidak dapat

digerakkan. Belanja Pegawai dalam hal ini kita sederhanakan sebagai

bayar Gaji ( W ). Apakah yang terjadi dari perubahan W ? Pembayaran

atau peningkatan gaji pegawai negeri ( PNS ) akan berpengaruh pada

pendapatan dan seterusnya permintaan permintaan PNS untuk membeli

barang barang atau jasa- jasa. Gaji PNS berubah atau naik, maka

pendapatan disposable income sektor rumah tangga bertambah ( Yd ).

Pertambahan Yd dapat menaikkan ∆ AD melalui pengeluaran konsumsi (

∆C ). Tambahan konsumsi, akibat dari tambahan pendapatan itu

tergantung pada kecenderungan konsumsi atau pada MPC. Jadi konsumsi

meningkat dengan ∆C = c Yd = c ∆W, c adalah MPC, selanjutnya efek

pengganda atau proses pelipat ( proses multiplier ) akan meningkat AD

sebesar :

1

∆ AD = --- ∆ C

(33)

1 c

∆ AD = --- c ∆ Yd = --- ∆ W

1 - c 1 - c

MPC atau c dinegara kita dapat dikatakan masih tinggi, karena

pendapatannya masih rendah. Sebagian besar dari tambahan pendapatan

digunakan untuk tambahan konsumsi. Misal diasumsi MPC = c = 0,80 ,

maka dengan ∆ belanja pegawai sebesar Rp. x ,- maka dapat menaikkan

∆AD sebesar 500%. Seterusnya perubahan AD sebesar ini akan

meningkatkan PDRB.

b. Belanja Barang / Jasa atau Pengeluaran Pembangunan.

Belanja Barang atau Pengeluaran Pembangunan pada putaran pertama

akan menaikkan AD sebesar :

1

∆ AD = --- ∆ G

1 - c

Kalau kita asumsi MPC = c = 0,8 , maka pengeluaran pembangunan akan

meningkatkan AD sebesar 500%. Dengan tingginya multiplier effect yang

tercipta maka akan juga menigkatkan PDRB.

Menurut Rahmayanti (2006) peningkatan tarif pajak akan meningkatkan

ketidakefisienan dan kepatuhan wajib pajak sehingga dapat mengurang

penerimaan pajak. Selanjutnya Rahmayanti menyatakan bahwa batas

(34)

dengan hati-hati, dimana globalisasi membuat negara-negara lebih terbuka

dan persaingan dalam menarik investasi dapat dipengaruhi oleh pajak di

suatu negara. Meskipun masih banyak faktor-faktor lain yang menentukan

keputusan untuk berinvestasi namun pajak termasuk tarif pajak masih

menjadi bahan pertimbangan yang penting.

Memasukkan variabel jumlah penduduk dan perubahan harga dalam

menentukan besarnya pengeluaran pemerintah, jelas merupakan hal yang

sangat penting. Tetapi hal itu tidak cukup. Terdapat banyak alasan jika

kita menganggap bahwa sebagian dari kenaikan pendapatan dikeluarkan

untuk membeli barang dan jasa oleh sektor pemerintah

Kurva Laffer yang dibuat oleh Arthur B. Laffer (Skousen, 2005)

menjelaskan bahwa pemotongan pajak marginal dapat menstimulasi

pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan pendapatan pajak secara aktual.

Kurva Laffer (lihat gambar 2.1) menunjukkan hubungan teoritis antara

(35)

Gambar 2.1. Kurva Laffer

Menurut Kurva laffer, kenaikan pajak akan menghasilkan lebih banyak

pendapatan bagi pemerintah selama tingkat kenaikannya tidak terlalu

tinggi. Tetapi begitu pajak melebihi X, kenaikan pajak selanjutnya akan

menurunkan pendapatan karena tingkat pajak yang tinggi akan

menurunkan semangat kerja, dan mendorong orang untuk menghindari

(36)

2.1, jika tingkat pajak mencapai daerah terlarang, pemotongan pajak (ta

sampai tb) dapat menaikkan pendapatan pajak (dari ra ke rb).

2.3.3 Inflasi

Inflasi akan mengurangi daya beli uang yang telah diperoleh masyarakat

dengan susah payah. Apabila haga naik, tiap lembar uang yang dihasilkannya hanya

akan mampu membeli barang dan jasa dalam jumlah yang sedikit. Jadi , kelihatannya

inflasi secara langsung telah menurunkan standar hidup. Namun dipihak lain, ketika

harga naik, pembeli barang dan jasa akan mengeluarkan lebih banyak uang untuk apa

yang mereka beli, pada saat yang sama penjual barang dan jasa mendapatkan lebih

banyak uang dari penjualan mereka. Karena kebanyakan orang mendapatkan

penghasilan dengan menjual jasa mereka, seperti para tenaga kerja, penghasilan juga

semakin meningkat sejalan kenaikan harga. Jadi, inflasi sendiri tidak mengurangi

daya beli riil masyarakat. Ketika laju inflasi sebesar 6 % mengurangi nilai riil dari

kenaikan sebesar 4 %, pekerja mungkin merasa dirinya telah diperdaya. Sebenarnya

pendapatan riil ditentukan oleh variable- variable riil seperti modal fisik, SDM, SDA

dan ketersediaan tehnologi produksi. Pendapatan nominal ditentukan oleh

faktor-faktor tersebut dan tingkat harga keseluruhan. Bila pendapatan nominal cenderung

sama dengan kenaikan harga, berarti inflasi bukan merupakan suatu masalah. Namun

para ekonom telah mengidentifikasi beberapa kerugian akibat inflasi. Masing-masing

kerugian menunjukkan bahwa pertumbuhan terus menerus pada jumlah uang yang

(37)

Hampir semua pajak mengganggu insentif, menyebabkan masyarakat

mengubah sikap mereka dan alokasi sumber – sumber daya dalam perekonomian

menjadi kurang efisien. Akan tetapi banyaknya pajak menimbulkan lebih banyak

masalah karena adanya inflasi, karena pembuat hukum sering kali gagal

memperhitungkan inflasi ketika merumuskan undang-undang perpajakan. Para

ekonom yang telah mempelajari undang-undang pajak menyimpulkan bahwa inflasi

cenderung menaikkan beban pajak pendapatan yang berasal dari tabungan, tidak

melihat keuntungan riil dari penjualan sejumlah aktiva. Pajak pendapatan dari suku

bunga.

Salah satu solusi bagi masalah ini adalah, dari pada menghilangkan inflasi

adalah menyusun daftar sistem pajak, artinya hukum pajak dapat ditulis ulang untuk

memperhitungkan dampak inflasi. Pada dunia yang ideal, hukum pajak akan ditulis

dalam rangka mencegah inflasi mengubah tanggungan pajak riil seseorang.

Walaupun secara eksplisit inflasi tidak dimasukkan kedalam penentuan target

pajak. Namun secara implisi variabel inflasi dimasukkan kedalam variabel Produk

Domestik Regional Bruto (PDRB) nominal karena didalam perhitungan PDRB

nominal memasukkan perubahan harga.

2.4 Penelitian Terdahulu

Penelitian yang dilakukan oleh Yogi Rahmayanti (2006) mengenai analisis

potensi pajak menyatakan bahwa yang menentukan penerimaan pajak yaitu Tax Rate,

(38)

jenis pajak yang mempunyai peran yang signifikan terhadap penerimaan pajak di

Indonesia yaitu PPh dan PPN. Salah satu hasil estimasi yang dilakukan menunjukkan

bahwa Tax Base (GDP) dan time trend (trend waktu) mempunyai hubungan yang positif terhadap penerimaan PPh. Hasil regresi menunjukkan bahwa tax base

mempunyai hubungan positif terhadap penerimaan PPh dengan koefisien sebesar 0,78

dan terhadap PPN dengan koefisien sebesar 1,156. ini menunjukkan bahwa setiap

kenaikan Tax Base (GDP) sebesar satu persen akan meningkatkan penerimaan PPh sebesar 0,78 persen dan penerimaan PPn sebesar 1,156 persen. Time trend (trend

waktu) mempunyai hubungan yang positif dengan dengan penerimaan PPh dengan

koefisien sebesar 0,53 persen dan terhadap PPN dengan koefisien sebesar 0,37 persen.

Penelitian yang dilakukan oleh Nasution (2003) yang merupakan penelitian ex

post facto yang merupakan penelitian dari peristiwa yang telah terjadi dan kemudian

dirunut mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi dari berbagai sumber. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa potensi dan pertumbuhan penerimaan pajak

penghasilan selama dasawarsa 1990-2000 di antaranya dipengaruhi baik secara

langsung maupun tidak langsung oleh faktor-faktor Produk Domestik Bruto, Jumlah

Wajib Pajak, dan Jumlah Kantor Pelayanan Pajak yang tersebar di seluruh Indonesia.

Dalam penelitiannya Sarastika Indrawati dan Daryono Soebagiyo (2006),

dengan judul “Analisis Uji Kasualitas Penerimaan Pajak dan Pengeluaran Pemerintah

di Kota Surakarta Dengan Mneggunakan Metode Granger tahun 1978-2003”.

Dengan menggunakan data tahunan secara time series untuk tahun 1978-2003, hasil

(39)

bentuk satu arah antara pendapatan pajak dengan pengeluaran pemerintah di

Surakarta. Maksudnya, bahwa peningkatan pendapatan pajak akan mendorong

pengeluaran pemerintah. Tetapi, peningkatan pengeluaran pemerintah belum tentu

mendorong peningkatan pajak di Surakarta.

Dalam penelitiannya Teera (2000) menganalisis determinan penerimaan pajak

di Uganda, estimasi model dimana penerimaan pajak merupakan fungsi dari

pembangunan ekonomi dan struktur ekonomi.

Ty = f (Y,M,A,P,Ag,Mf,D,TR,T)

Dimana :

Ty = Rasio Pajak terhadap GDP

Y = GDP per kapita

M = Rasio impor terhadap GDP

A = Rasio Aid terhadap GNP

P = Kepadatan Penduduk

Ag = Rasio Pertanian terhadap GDP

Mf = Rasio Manufaktur terhadap GDP

D = Rasio Hutang Luar Negeri terhadap GDP

TR = Variabel Bayang diproxy ke tax ratio

T = Time Trend

Afdal (2005) tentang analisis kemampuan fiskal daerah dan kebijakan dalam

(40)

Kampar, adalah bahwa sumber pajak dan retribusi daerah bersifat elastisitas terhadap

pertumbuhan ekonomi (PDRB) setelah pemberlakuan UU 22 dan 25 tahun 1999

cukup besar yaitu 2,36.

Arni (1999), melakukan studi analisa dampak kebijkan fiskal terhadap

keseimbangan internal ekonomi makro Indonesia. Dari hasil analisa disimpulkan

bahwa, kebijakan peningkatan pengeluaran pemerintah memberikan dampak positif

yang cukup berarti terhadap pertumbuhan PDB, dan penyerapan tenaga kerja,

walaupun terjadi peningkatan inflasi yang relative kecil. Kebijakan peningkatan

pajak pendapatan memberikan dampak yang positf terhadap pertumbuhan PDB tetapi

menurunkan penyerapan tenaga kerja, sementara tingkat inflasi masih dalam batas

normal. Kebijakan penambahan uang beredar memberikan dampak yang sangat

buruk terhadap ekonomi makro Indonesia. Berdasarkan hasil analisa ada beberapa

hal yang dapat direkomendasikan, yaitu : kebijakan meningkatkan pengeluaran

pemerintah dan pajak pendapatan sangat berarti dalam perbaikan ekonomi Indonesia.

2.5 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas dan beberapa kajian empiris yang

dilakukan para peneliti sebelumnya, maka hipotesis penelitian ini adalah sebagai

berikut:

(41)

2. Terdapat pengaruh positif pertumbuhan ekonomi terhadap target

penerimaan pajak pada Kantor Pajak Sumatera Utara, ceteris paribus.

3. Terdapat pengaruh positif jumlah wajib pajak terhadap target penerimaan

pajak pada Kantor Pajak Sumatera Utara, ceteris paribus.

2.6. Kerangka Pemikiran

Pengeluaran Pembangunan

Pertumbuhan ekonomi

Jumlah Wajib Pajak

Target Pajak Penerimaan

Negara

(42)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini mencakup faktor-faktor yang mempengaruhi

penentuan target pajak di Sumatera Utara, khususnya pengaruhn pengeluaran

pembangunan, pertumbuhan ekonomi dan jumlah wajib pajak.

Dengan adanya ruang lingkup tersebut, diharapkan penulis dapat menganalisis

pengaruh pengeluaran pembangunan, pertumbuahan ekonomi dan jumlah wajib pajak

terhadap penentuan target pajak secara lebih rinci dan mendalam.

3.2 Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder dengan jenis data time series

(runtun waktu), yang bersumber dari Departemen Keuangan ( Direktorat Jenderal

Pajak), Bank Indonesia, Badan Pusat Statistik, dan sumber-sumber data lainnya

seperti buku-buku pajak, bulletin pajak, jurnal-jurnal ekonomi / Pajak, dan hasil

penelitian sebelumnya. Adapun data-data yang diperlukan dalam penelitian ini

adalah data target penerimaan pajak, pengeluaran pembangunan, pertumbuhan

(43)

3.3 Model Analisis

Untuk dapat mengetahui hubungan antara pengeluaran pembangunan,

pertumbuhan ekonomi dan wajib pajak terhadap target pajak, maka penelitian ini

menggunakan model adalah sebagai berikut:

TPt = α0 + α1 PDRBt-1 + α2 GEt + α3 WPt-1 + ε

dimana :

TPt = Target Pajak di Sumatera Utara

PDRBt-1 = Produk Domestik Regional Bruto t-1

GEt = Pengeluaran Pembangunan t.

WPt-1 = Jumlah wajib pajak t-1.

ε : Disturbance term error

3.4 Metode Analisis

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan

Ordianry Least Square (OLS). Hal ini dikarenakan untuk mengetahui besarnya pengaruh pengeluaran pembangunan, pertumbuhan ekonomi dan jumlah wajib pajak

terhadap target pajak di Sumatera Utara. Untuk mengolah data, digunakan bantuan

program Eviews versi 4.1.

Elastisitas adalah suatu bilangan atau angka yang menunjukkan berapa persen

variabel tak bebas akan berubah, sebagai reaksi karena satu variabel lain (variabel

(44)

X

Dalam elastistas terdiri dari 5 elastisitas yaitu inelastis, elastis dan elastis

unitary, inelastis sempurna dan elastis tak terhingga. Untuk lebih jelas pengertian

dari masing-masing elastisitas dijelaskan sebagai berikut :

a) Inelastis (E < 1)

Artinya perubahan variabel tak bebas (dalam persentase) lebih kecil daripada

perubahan variabel bebas. Artinya jika variabel bebas naik 1% menyebabkan

variabel tak bebas naik atau turun kurang dari 1%.

b) Elastis (E > 1)

Artinya perubahan variabel tak bebas (dalam persentase) lebih besar daripada

perubahan variabel bebas. Artinya jika variabel bebas naik 1% menyebabkan

variabel tak bebas naik atau turun lebih besar dari 1%.

c) Elastis unitary (E = 1)

Artinya perubahan variabel tak bebas (dalam persentase) sama dengan

perubahan variabel bebas. Artinya jika variabel bebas naik 1% menyebabkan

variabel tak bebas naik atau turun sama dengan 1%.

d) Inelastis sempurna (E = 0)

(45)

e) Elastis tak berhingga (E = ~)

Perubahan pada variabel bebas sedikit saja akan menyebabkan perubahan

variabel tak bebas tak terbilang besarnya.

Optimalisasi target pajak adalah suatu keadaan dimana antara nilai yang

direncanakan dengan realssasi tidak jauh berbeda sehingga rencana tersebut dapat

dicapai dengan memperhatikan situasi makro ekonomi.

3.5 Definisi Operasional Variabel Penelitian

a. Pengeluaran pembangunan, realisasi pengeluaran pembangunan yang

dihitung (dalam Juta Rupiah).

b. Pertumbuhan ekonomi di proxy dengan Produk Domestik Regional Bruto

(PDRB) berlaku atau dengan harga nominal yang dihitung (dalam Juta

Rupiah).

c. Jumlah wajib pajak adalah jumlah wajib pajak perorangan dan badan

(unit).

e. Target Pajak adalah target dari penerimaan pajak di Kantor Pajak

Sumatera Utara yang dihitung (dalam Juta Rupiah).

3.6 Uji Signifikansi

3.6.1 Multikolinieritas

Multikolinieritas timbul karena satu atau lebih variabel bebas (penjelas)

(46)

penjelas lainnya. Jika terdapat multikolinieritas sempurna, koefisien regresi dari

variabel penjelas tersebut tidak dapat ditentukan dan variansnya bernilai tak terhingga.

Jika multikonilinieritas kurang sempurna, koefisien regresi dapat ditentukan, namun

variansnya sangat besar, sehingga tidak dapat menaksir koefisien secara akurat.

Dalam model regresi linier, diasumsikan tidak terdapat multikolinieritas di antara

variabel-variabel penjelas, untuk itu perlu dideteksi dengan mengamati

besaran-besaran regresi yang didapat, yaitu :

1. Interval tingkat kepercayaan lebar (karena varians besar maka standar

error besar, sehingga interval kepercayaan lebar);

2. Koefisien determinasi tinggi dan signifikasi nitai t statistik rendah;

3. Koefisien korelasi antar variable bebas tinggi;

4. Nilai koefisien korelasi parsial tinggi.

Untuk melihat ada tidaknya multikolinieritas dalam suatu model pengamatan,

dapat dilakukan dengan regresi antar variabel bebas, sehingga dapat diperoleh nilai

koefisien determinan (R2) masingmasing. Selanjutnya R2 hasil regresi antar variabel

bebas tersebut dibandingkan dengan R2 hasil regresi model, sehingga diperoleh

kesimpulan sebagai berikut:

- Jika nilai R2 hasil regresi antar variabel bebas > R2 model penelitian, maka hipotesis

yang menyatakan bahwa tidak ada multikolinieritas dalam model empiris yang

(47)

- Jika nilai R2 hasil regresi antar variabel bebas < R2 model penelitian, maka hipotesis

yang menyatakan bahwa tidak ada masalah autokorelasi model empiris yang

digunakan tidak dapat ditolak.

3.6.2 Autokorelasi

Autokorelasi dapat didefinisikan sebagai korelasi antara anggota serangkaian

observasi yang diurutkan menurut waktu seperti dalam data time series. Sehingga

terdapat sating ketergantungan antara faktor pengganggu yang berhubungan dengan

pengamatan lainnya. Oleh sebab itu masalah autokorelasi biasanya muncul dalam

data time series, meskipun tidak menutup kemungkinan terjadi dalam data cross section.

Dalam konteks regresi, situasi autokorelasi tidak terdapat dalam faktor

penggangu atau dapat ditulis :

E(μi,μj) = 0; i j ...(3.)

Bila terjadi saling ketergantungan antara factor pengganggu yang

berhubungan dengan observasi dipengaruhi oteh unsur gangguan yang berhubungan

dengan pengamatan tainnya atau dengan kata lain terjadi autokorelasi, ditulis dengan

simbol berikut :

E(μi,μj) = 0; i j ...(4.)

Salah satu untuk mendeteksi ada tidaknya autokorelasi digunakan metode uji

(48)

d = 2

Dimana nilai DWstatstik adalah terletak antara 0 dengan 4

d = 2 1

Dengan menggunakan formulasi persamaan (1) kemudian DWstatstik

dibandingkan dengan nilai DWtabel dengan pedoman berikut :

Bila 0 < DWstatistik < dL ; tolak Ho berarti ada korelasi yang positif

Bila dL≤ DWstatistik ≤ du ; kita tidak dapat mengambil kesimpulan apa-apa

Bila du < DWstatistik < 4- du Ho diterima artinya tidak ada korelasi positif maupun

negatif

Bila 4-du≤ DWstatistik≤ 4-dL ; kita tidak dapat mengambil kesimpulan apa-apa

(49)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pertumbuhan Ekonomi Sumatera Utara

Perekonomian Sumatera Utara, yang dilihat dari pertumbuhan ekonomi

menunjukkan pertumbuhan yang cukup baik pasca krisis mulai tahun 2000, sebesar

4,79 persen dan terus meningkat hingga tahun 2005, sebesar 5,64 persen (BPS, 2007).

Pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi

lebih stabil setelah krisis ekonomi, khususnya setelah pelaksanaan otonomi daerah,

yaitu mulai tahun 2000 (lihat Tabel 4.1). Pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara sejak

tahun 2000 s/d 2005 bergerak sebesar 4,07 – 5,64 persen. Dibandingkan dengan

kondisi sebelum krisis dan sebelum pelaksanan otonomi daerah, pertumbuhan

ekonomi Sumatera Utara sangat fluktuatif. Pertumbuhan ekonomi yang sangat

fluktuatif adalah kurang baik karena yang dibutuhkan untuk pertumbuhan ekonomi

yang baik adalah kestabilan pertumbuhan secara berkesinambungan.

Pada tahun 1990 (11,81 persen), 1991 (24,73 persen) dan 1997 (14,20 persen).

Selebihnya pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara di bawah 10 persen, pada tahun

1993 hanya 1,03 persen, bahkan pada tahun 1996 dan 1998 mengalami penurunan

sebesar 0,22 persen dan 10,87 persen.

Pertumbuhan ekonomi pada tahun 1998 yang negatif sebesar 10,87 persen

(50)

sektor-sektor ekonomi, khususnya sektor industri dan perbankan mengalami

kemunduran yang signifikan.

Tabel 4.1. Pertumbuhan Ekonomi Sumatera Utara, Tahun 1990 – 2005

Tahun PDRB Harga Konstan 1993 (Milyar Rp.)

4.2 Pengeluaran Pembangunan

Pengeluaran pemerintah dari tahun ke tahun meningkat seiring aktivitas

perekonomian nasional, karena pemerintah berkewajiban untuk menciptakan

prasarana (infrastruktur) guna dapat mempertahankan gerak langkah pertumbuhan

ekonomi. Ukuran yang sering digunakan dalam melihat pangsa pemerintah (size of

(51)

Ukuran ini memiliki keunggulan karena selain data tersedia untuk analisa empiris

juga ukuran rasio ini memudahkan analisa perbandingan antar negara.

Masalah rutin yang dihadapi sistem perekonomian dimanapun adalah adanya

fluktuasi secara terus menerus aggregate demand dan agregat supply. Berbagai

konsep (model) telah diusahakan para ahli-ahli ekonomi agar dapat menstabilkan

fluktuasi tersebut. Keynes memberikan tekanan pada kebijakan fiskal bila terjadi

fluktuasi pada permintaaan agregat dan penawaran agregat. Bila permintaan agregat

mengalami penurunan, pengeluaran pemerintah dengan cara apapun harus

ditingkatkan guna meningkatkan permintaan agregat tersebut.

Dalam neraca Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, pengeluaran pemerintah

Indonesia secara garis besar dikelompokkan atas pengeluaran rutin dan pengeluaran

pembangunan. Pengeluaran rutin pads dasarnya berunsurkan pos-pos pengeluaran

untuk membiayai pelaksanaan roda pemerintahan sehari-hari, meliputi belanja

pegawai, belanja barang, berbagai macam subsidi (subsidi daerah dan subsidi harga),

angsuran dan bunga utang pemerintah, serta sejumlah pengeluaran rutin lain.

Sedangkan pengeluaran pembangunan maksudnya pengeluaran yang bersifat

menambah modal masyarakat dalam bentuk prasarana fisik, dibedakan atas

pengeluaran pembangunan yang dibiayai dengan rupiah dan bantuan proyek.

Pengeluaran pemerintah untuk pembangunan secara umum mengalami

peningkatan. Setelah pasca krisis yaitu pada periode 2000 – 2005 mengalami

peningkatan dengan pertumbuhan diatas 10%, bahkan pada tahun 2003 pertumbuhan

(52)

Pertumbuhan pengeluaran pemerintah pada periode 1991 – 2005 sangat

berfluktuatif. Pertumbuhan pada tahun 1991 sebesar 10,61% kemudian pada tahun

1992 turun menjadi 3,57% kemudian naik lagi pada tahun 1993 menjadi 11,16% dan

tutun lagi menjadi -0,11% dan seterusnya. Begitu juga, halnya yang terjadi pada

periode 2001 – 2005. Pertumbuhan pada tahun 2001 sebesar 45,99% kemudian pada

tahun 2002 pertumbuhannya turun menjadi 10,42% kemudian naik secara signifikan

pada tahun 2003 menjadi 148,29% kemudian turun pada tahun 2004 sebesar 20,33%

dan naik lagi menjadi 35,83%.

Tabel 4.2. Realisasi Pengeluaran Pembangunan di Sumatera Utara Tahun 1990 – 2005

(53)

4.3 Inflasi

Inflasi merupakan salah satu indikator dalam perencanaan dan pembangunan

daerah. Tingkat inflasi yang tinggi akan menghambat pembangunan, karena dapat

memperkecil nilai riil dari pendapatan. Inflasi yang terlalu rendah bahkan deflasi

akan menghambat sektor usaha. Idealnya tingkat inflasi tidak lebih dari dua digit.

Pada tahun 1997 dan 1998 inflasi di Sumatera Utara mencapai 78,47 persen dan

82,53 persen (Tabel 4.2) yang merupakan dampak dari terjadinya krisis ekonomi

tahun 1997.

Tingkat inflasi pada tahun 1990 – 1996 cukup terkendali dibawah dua digit.

Akan tetapi mulai tahun 2000 – 2005 cukup berfluktuatif dan untuk tahun 2001, 2002

dan 2005 tingkat infkasi mencapai dua digit.

Tabel 4.3. Tingkat Inflasi di Sumatera Utara Tahun 1990 - 2005

(54)

Nilai tukar rupiah yang terdepresiasi sangat tinggi pada saat terjadinya krisis

ekonomi dan sesudahnya menjadi penyebab utama inflasi yang tinggi tersebut.

Kenaikan harga-harga menjadi tidak terkendalikan disebabkan sektor riil dan sektor

perbankan terkena dampak krisis yang sangat serius. Seiring dengan upaya perbaikan

ekonomi yang dilakukan pemerintah, maka laju inflasi dapat ditekan pada tahun 1999,

namun kemudian berfluktuasi setiap tahun sebagai akibat ketidakstabilan sekonomi

serta kebijakan pemerintah dalam menaikkan harga-harga.

Berdasarkan hasil pemantauan Badan Pusat Statistik (BPS) selama tahun 2005,

Sumatera Utara mengalami inflasi sebesar 20,86 persen yang lebih tinggi dari inflasi

tahun 2004 sebesar 7,40 persen. Inflasi tahun 2005 terutama disebabkan oleh adanya

kenaikan pada beberapa komoditi strategis pada akhir tahun 2004 seperti Tarif Dasar

Listrik (TDL), Bahan Bakar Minyak (BBM), dan tarif komunikasi serta komoditi lain

yang mengalami peningkatan setiap saat. Stabilitas nilai tukar rupiah mempunyai

andil dalam menekan tingkat inflasi khususnya pada barang-barang impor.

Walaupun secara eksplisit inflasi tidak dimasukkan kedalam penentuan target

pajak. Namun secara implisi variabel inflasi dimasukkan kedalam variabel Produk

Domestik Regional Bruto (PDRB) nominal karena didalam perhitungan PDRB

nominal memasukkan perubahan harga.

4.4 Jumlah Wajib Pajak di Sumatera Utara

Kewajiban dari wajib pajak yang utama adalah membayar pajak sendiri dan

memungut atau memotong pajak sendiri dan memungut atau memotong pajak orang

(55)

Berdasarkan kelompok wajib pajak dapat dilihat bahwa lebih dari 70 persen wajib

pajak di Sumatera Utara adalah wajib pajak orang pribadi, kemudian wajib pajak

berkisar 18 – 25 persen.

Tabel 4.4. Perkembangan Jumlah Wajib Pajak di Sumatera Utara Tahun 1990 – 2005

Jumlah Wajib Pajak Tahun

Badan Orang Pribadi Total

Perkembangan

Namun pada tahun 2005, jumlah wajib pajak orang pribadi mencapai 94,78

persen dari total wajib pajak dan kemudian wajib pajak badan sebesar 4,69 persen.

Peningkatan jumlah wajib pajak orang pribadi yang sangat tinggi pada tahun 2005

terutama disebabkan kebijakan Dirjen Pajak yang menerbitkan NPWP orang pribadi

(56)

Secara rata-rata selama waktu penelitian (1990 – 2005), jumlah wajib pajak

orang pribadi di Sumatera Utara mencapai 76,18 persen dan kemudian wajib pajak

badan sebesar 21,21 persen.

4.5Pembahasan

4.5.1 Hasil Estimasi Penentuan Target Pajak

Untuk melihat pengaruh Produk Domestik Regional Bruto, pengeluaran

pembangunan dan jumlah wajib pajak terhadap target pajak di Sumatera Utara antara

tahun 1990 – 2005 dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS) dan

program Eviews 4.1 diperoleh hasil sebagai berikut :

TPt = -1.885,999 + 0,0534 PDRBt-1 + 3,7421 GEt + 0,0461 WPt-1

(se) (0,0156) (1,9614) (0,0284)

(t-tes) (3,4243***) (1,9079*) (1,6216)

R2 = 0,863291

R2adj = 0,817825

F-statistic = 18,32779

DW stat = 1,687216

Berdasarkan hasil estimasi diperoleh hasil bahwa koefisien determinasi (R2)

sebesar 0,8633 berarti secara keseluruhan variabel bebas mampu menjelaskan

variabel terikat atau target pajak di Sumatera Utara sebesar 86,33%, sedangkan

(57)

Jika variabel-variabel bebasnya diuji (uji F) secara keseluruhan (serentak),

hasil estimasi menunjukkan pengaruh variabel-variabel bebas terhadap variabel

terikat signifikan pada tingkat 1%. Tanda koefisien regresi dari Produk Domestik

Regional Bruto (PDRB), pengeluaran pembangunan dan jumlah wajib pajak bertanda

positif sesuai dengan hipotesa atau harapan teoritik.

Jika dianalisis secara parsial, hasil estimasi variabel bebas Produk Domestik

Regional Bruto memberikan pengaruh yang sangat signifikan pada tingkat α = 1%,

sedangkan pengeluaran pembangunan signifikan pada tingkat α = 10%. Namun

untuk jumlah wajib pajak secara statistik tidak signifikan disebabkan pertumbuhan

jumlah wajib pajak tidak banyak. Hal ini bisa dilihat pada tabel 4.4, bahwa

perkembangan jumlah wajib pajak di Sumatera Utara antara tahun 1996 – 2000

dibawah 6%. Analisis variabel-variabel lebih detailnya diuraikan sebagai berikut :

1. Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi yang diproxy dengan PDRB berpengaruh positif

terhadap target pajak dengan koefisien sebesar 0,0534. Hal ini dapat

diinterpretasikan jika terjadi peningkatan PDRB sebesar Rp 1juta maka target pajak

akan meningkat sebesar Rp 53.400, ceteris paribus.

Untuk mengukur sensitivitas pertumbuhan ekonomi terhadap target pajak,

maka dilakukan perhitungan elastisitasnya. Hasil perhitungannya adalah sebagai

(58)

06

Dari hasil perhitungan elastisitas pertumbuhan ekonomi terhadap target pajak

sebesar 1,48. Artinya bahwa pertumbuhan ekonomi terhadap target pajak adalah

elastis. Sehingga respon target pajak terhadap perubahan pertumbuhan ekonomi

relatif sangat besar.

2. Pengeluaran Pembangunan

Pengeluaran pembangunan berpengaruh positif terhadap target pajak dengan

koefisien sebesar 3,7421. Hal ini dapat diinterpretasikan jika terjadi peningkatan

pengeluaran pembangunan sebesar Rp 1juta maka target pajak akan meningkat

sebesar Rp 3,7421 juta, ceteris paribus.

Untuk mengukur sensitivitas pengeluaran pembangunan terhadap target pajak,

maka dilakukan perhitungan elastisitasnya. Hasil perhitungannya adalah sebagai

berikut :

Dari hasil perhitungan elastisitas pengeluaran pembangunan terhadap target

(59)

adalah tidak elastis (inelastic). Sehingga respon target pajak terhadap perubahan

pengeluaran pembangunan relatif sangat kecil.

3. Jumlah Wajib Pajak

Jumlah wajib pajak berpengaruh positif terhadap target pajak dengan

koefisien sebesar 0,0461. Hal ini dapat diinterpretasikan jika terjadi peningkatan satu

wajib pajak maka target pajak akan meningkat sebesar Rp 46.100, ceteris paribus.

Untuk mengukur sensitivitas jumlah wajib pajak terhadap target pajak, maka

dilakukan perhitungan elastisitasnya. Hasil perhitungannya adalah sebagai berikut :

06

Dari hasil perhitungan elastisitas jumlah wajib pajak terhadap target pajak

sebesar 0,003. Artinya bahwa jumlah wajib pajak terhadap target pajak adalah tidak

elastis (inelastic). Sehingga respon target pajak terhadap perubahan jumlah wajib

pajak sangat kecil.

Untuk melihat pengaruh Produk Domestik Regional Bruto (PDRB),

pengeluaran pembangunan dan jumlah wajib pajak terhadap realisasi penerimaan

pajak di Sumatera Utara antara tahun 1990 – 2005 dengan menggunakan metode

(60)

Realt = 38.278,16 + 0,0224 PDRBt-1 + 1,5141 GEt + 14,4376 WPt-1

(se) (0,0224) (0,7592) (16,6207)

(t-tes) (2,4516**) (1,9943*) (0,8687)

R2 = 0,840311

R2adj = 0,796759

F-statistic = 19,29457

DW stat = 2,167604

Berdasarkan hasil estimasi diperoleh hasil bahwa koefisien determinasi (R2)

sebesar 0,8403 berarti secara keseluruhan variabel bebas mampu menjelaskan

variabel terikat atau realisasi pajak di Sumatera Utara sebesar 84,03%, sedangkan

sisanya (15,97%) dijelaskan variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model.

Jika variabel-variabel bebasnya dianalisis secara keseluruhan (serentak), hasil

estimasi menunjukkan pengaruh variabel-variabel bebas terhadap variabel terikat

signifikan pada tingkat 1%. Tanda koefisien regresi dari Produk Domestik Regional

Bruto (PDRB), pengeluaran pembangunan dan jumlah wajib pajak bertanda positif

sesuai dengan hipotesa atau harapan teoritik.

Jika dianalisis secara parsial, hasil estimasi variabel bebas Produk Domestik

Regional Bruto memberikan pengaruh yang sangat signifikan pada tingkat α = 5%,

sedangkan pengeluaran pembangunan signifikan pada tingkat α = 10%. Namun

untuk jumlah wajib pajak secara statistik tidak signifikan disebabkan pertumbuhan

(61)

bahwa perkembangan jumlah wajib pajak di Sumatera Utara antara tahun 1996 –

2000 dibawah 6%. Analisis variabel-variabel lebih detailnya diuraikan sebagai

berikut :

1. Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi yang diproxy dengan PDRB berpengaruh positif

terhadap target pajak dengan koefisien sebesar 0,0224. Hal ini dapat

diinterpretasikan jika terjadi peningkatan PDRB sebesar Rp 1juta maka realisasi

penerimaan pajak akan meningkat sebesar Rp 22.400, ceteris paribus.

Untuk mengukur sensitivitas pertumbuhan ekonomi terhadap realisasi

penerimaan pajak, maka dilakukan perhitungan elastisitasnya. Hasil perhitungannya

adalah sebagai berikut :

9

Dari hasil perhitungan elastisitas pertumbuhan ekonomi terhadap realisasi

penerimaan pajak sebesar 0,73. Artinya bahwa pertumbuhan ekonomi terhadap target

penerimaan pajak adalah tidak elastis (inelastic). Sehingga respon realisasi pajak

terhadap perubahan pertumbuhan ekonomi sangat kecil.

2. Pengeluaran Pembangunan

Pengeluaran pembangunan berpengaruh positif terhadap target pajak dengan

(62)

pengeluaran pembangunan sebesar Rp 1juta maka realisasi penerimaan pajak akan

meningkat sebesar Rp 1,5141 juta, ceteris paribus.

Untuk mengukur sensitivitas pengeluaran pembangunan terhadap realisasi

penerimaan pajak, maka dilakukan perhitungan elastisitasnya. Hasil perhitungannya

adalah sebagai berikut :

9

Dari hasil perhitungan elastisitas pengeluaran pembangunan terhadap realisasi

penerimaan pajak sebesar 0,29. Artinya bahwa pengeluaran pembangunan terhadap

realisasi penerimaan pajak adalah tidak elastis (inelastic). Sehingga respon realisasi

penerimaan pajak terhadap perubahan pengeluaran pembangunan relatif sangat kecil.

3. Jumlah Wajib Pajak

Jumlah wajib pajak berpengaruh positif terhadap realisasi penerimaan pajak

dengan koefisien sebesar 14,4376. Hal ini dapat diinterpretasikan jika terjadi

peningkatan satu wajib pajak maka realisasi penerimaan pajak akan meningkat

sebesar Rp 14,4376 juta, ceteris paribus.

Untuk mengukur sensitivitas jumlah wajib pajak terhadap target pajak, maka

(63)

9

Dari hasil perhitungan elastisitas jumlah wajib pajak terhadap target pajak

sebesar 1,05. Artinya bahwa jumlah wajib pajak terhadap realisasi penerimaan pajak

adalah elastis. Sehingga respon target pajak terhadap perubahan jumlah wajib pajak

sangat besar.

Bila dibandingkan antara hasil model estimasi antara target pajak dan realisasi

pajak, terdapat perbedaan nilai koefisien pada variabel Produk Domestik Regional

Bruto(PDRB) yaitu 0,0534 pada target pajak dan 0,0224 pada realisasi pajak.

Dengan demikian ada selisih sebesar 0,031. Artinya apabila PDRB naik 1 persen

akan menyebabkan perbedaan sebesar 0,031 persen, ceteris paribus. Demikan juga

pada variabel pengeluaran pembangunan, untuk target pajak dengan nilai koefisien

sebesar 3,7421 sedangkan untuk realisasi penerimaan pajak sebesar 1,5141. Dengan

demikian ada selisih sebesar 2,228. Artinya apabila pengeluaran pembangunan naik

sebesar 1 persen akan menyebabkan perbedaan sebesar 2,228 persen, ceteris paribus.

4.5.2 Uji Asumsi Klasik

Mempertimbangkan bahwa dalam model regresi yang ingin dicapai adalah

(64)

terhadap asumsi klasik, maka dalam penelitian ini dilakukan pengujian asumsi klasik

berupa multikolinearitas.

1. Uji Multikolinieritas

Interpretasi dari model regresi berganda secara implisit bergantung pada

asumsi bahwa antar variabel bebas yang digunakan dalam model tersebut tidak saling

berkolerasi. Koefisien-koefisien regresi biasanya diinterpretasikan sebagai ukuran

perubahan variabel terikat jika salah satu variabel bebasnya naik sebesar satu unit dan

seluruh variabel bebas lainnya dianggap tetap. Namun interpretasi ini menjadi salah

apabila terdapat hubungan linear antar variabel bebas. Berikut ini hasil uji

multikolinieritas pada tabel 4.5 adalah sebagai berikut:

Tabel 4.5. Hasil Estimasi Uji Multikolinieritas (Koefisien Korelasi Parsial)

Variabel R2

PDRBL(-1) 0,800403

GE 0,841491

WP(-1) 0,848260

Sumber: Lampiran 4, 5 dan 6

Berdasarkan pada tabel 4.5, diatas dapat terlihat bahwa nilai R2

dari model yang diestimasi yaitu 0,863291 lebih besar dari pada nilai R2 dalam

regresi antar variabel bebas yaitu : 0,800403 ; 0,841491 dan 0,848260 berdasarkan

(65)

2. Autokorelasi

Uji autokorelasi ini dilakukan untuk mengetahui adanya saling

ketergantungan antara faktor penganggu yang berhubungan dengan observasi yang

dipengaruhi oleh unsur gangguan yang berhubungan dengan pengamatan lainnya.

Untuk mengetahui adanya autokorelasi atau tidak dengan menggunakan uji Lagrange

Multiplier Test (LM Test). Hasil estimasi dengan menggunakan uji LM test

diperoleh nilai Obs*R-squared = 0,016554 dengan nilai probalitas 0,897623. Nilai

probabilitas > 0,05 maka dapat disimpulkan tidak dapat menolak Ho atau dengan kata

Gambar

Gambar 2.1. Kurva Laffer
Gambar 2.2. Kerangka Pemikiran Analisis Determinan Penentuan Target Pajak                       di Sumatera Utara
Tabel 4.1. Pertumbuhan Ekonomi Sumatera Utara, Tahun 1990 – 2005
Tabel 4.2. Realisasi Pengeluaran Pembangunan di Sumatera Utara                               Tahun 1990 – 2005
+3

Referensi

Dokumen terkait

Secara parsial PDRB, pengeluaran pemerintah dan nilai ekspor berpengaruh positif dan signifikan terhadap perkembangan investasi Provinsi Sumatera Utara, sedangkan suku bunga

Tujuan penelitian ini adalah : (1) menganalisis pengaruh nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) terhadap penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kota Medan,

Penelitian ini dilakukan unruk melihat variable apa yang paling mempengaruhi kesempatan kerja diantara variable Produk Domestik Regional Bruto (pDRB), Tingkat Partisipasi Angkatan

Berdasarkan dari hasil penelitian mengenai pengaruh jumlah penduduk, investasi dan konsumsi terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di Provinsi Sumatera

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuktikan secara empiris pengaruh Produk Domestic Regional Bruto (PDRB), Inflasi, Ekspor, jumlah Pengusaha Kena Pajak

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), pendidikan tamat universitas berpengaruh positif dan signifikan terhadap kemiski- nan, pendidikan tamat

Tujuan penelitian ini adalah : (1) menganalisis pengaruh nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) terhadap penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kota Medan,

Regresi data panel ini digunakan untuk mengetahui pengaruh Jumlah Penduduk,Produk Domestik Regional Bruto PDRB dan Belanja Daerah terhadap Penerimaan Pajak Daerah pada 12 Kabupaten/Kota