• Tidak ada hasil yang ditemukan

Takhrij hadis-hadis kitab tafsir al-mishbah (studi kasus Sanad dan Matan Hadis pada Surah Al-Rahman)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Takhrij hadis-hadis kitab tafsir al-mishbah (studi kasus Sanad dan Matan Hadis pada Surah Al-Rahman)"

Copied!
112
0
0

Teks penuh

(1)

1

“TAKHRIJ HADIS-HADIS KITAB

TAFSIR AL-M ISHBAH

(Studi Kritik Sanad dan M atan Hadis pada Surah al-Rahm

â

n)

Skripsi

Diajukan kepada Fakult as Ushuluddin unt uk M em enuhi Persyarat an M em peroleh

Gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud.)

Oleh

ASEP BADRU TAKIM

NIM : 102034024857

JURUSAN TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

TAKHRIJ HADIS KITAB TAFSIR AL-M ISHBAH

(STUDI KRITIK SANAD DAN M ATAN HADIS-HADIS SURAH AL-RAHM ÂN) PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul TAKHRIJ HADIS KITAB TAFSIR AL-MISHBAH (Studi Kualitas Sanad dan Matan Hadis-Hadis pada Surah al-Rahmân) telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari Rabu 16 Juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu memperoleh gelar Sarjana Ushuluddin pada Program Studi Tafsir-Hadis.

Jakart a, 16 Juni 2010

Sidang M unaqasyah

Ket ua M erangkap Anggot a, Sekret aris M erangkap Anggot a,

Prof. Dr. M . Ihsan Tanggok, M .Si M uslim, S.Th.I. NIP. 19500804 198603 1 002

Anggot a,

Penguji I Penguji II

Dr. Bustamin, M .Si. Drs. Hasanuddin Sinaga, M .A. NIP. 19630701 199803 1 003 NIP. 19650207 199903 1 001

Pem bim bing

(3)

LEM BAR PERNYATAAN Dengan ini saya m enyat akan bahw a:

1. Skripsi ini m erupakan hasil karya asli saya yang diajukan unt uk m em enuhi salah sat u persyarat an m em peroleh gelar st rat a 1 (S1) di UIN Syarif Hidayat ullah Jakart a. 2. Sem ua sum ber yang saya gunakan dalam penulisan ini t elah saya cant um kan sesuai

dengan ket ent uan yang berlaku di UIN Syarif Hidayat ullah Jakart a.

3. Jika kem udian hari t erbukt i bahw a karya ini bukan hasil karya asli saya at au m erupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, m aka saya bersedia menerim a sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayat ullah Jakart a.

Ciput at , 2 Juni 2010

(4)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmannirrahiim………

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, Yang Maha Kuasa dan telah memberikan berkah dan anugerahNya kepada penulis sehingga penulis mampu melaksanakan tugas akhir untuk menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Shalawat serta salam tak terhingga juga penulis haturkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW.

Skripsi ini penulis buat sebagai syarat kelulusan dalam menempuh pendidikan jenjang Strata-1 (S1) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain itu juga penulis berharap apa yang penulis teliti, yang dijelaskan di dalam skripsi ini, dapat dipergunakan dengan baik oleh semua pihak yang membutuhkan.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis menyelesaikan skripsi ini :

1. Bapak Dr. Bust amin, M .Si. selaku ketua jurusan sekaligus pembimbing skripsi penulis.

2. Bapak Dr. M . Isa H.A. Salam M .Ag. selaku pembim bing yang telah rela

meluangkan waktunya untuk mendukung dan membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Bapak dosen penguji yang memberikan kritik dan saran pada skripsi ini.

4. Dosen-Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat yang telah mengajarkan kepada

penulis berbagai macam ilmu yang dapat penulis terapkan dalam penulisan skripsi ini.

5. Kedua orang tua penulis, yang telah memberikan dukungan moril, semangat dan

(5)

6. Kakak dan adik penulis, yang bersama-sama dengan penulis lewati susah senang bersama.

7. Teman-Teman seperjuangan TH UIN 2002, terutama TH-B-02 atas terutama

kepada Aziz, Hadi, Ali, Fitriah Dewi, dan semua temen-teman tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam penelitian ini, baik penulisan maupun aplikasinya sendiri. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang dapat membangun skripsi ini lebih baik lagi.

Jakarta, Juni 2010

Penulis

(6)

PEDOM AN TRANSLITRASI

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Lat in Ket erangan

(7)

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Lat in Ket erangan

--َ

-ي Ai a dan i

--ِ

(8)

DAFTAR ISI

PENGESAHAN SIDANG M UNAKOSAH……...……….. i

LEM BAR PERNYATAAN………...… ii

KATAPENGANTAR………...…………. iii

PEDOM AN TRANSLITERASI………... v

DAFTAR ISI………...……….. vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……….……...1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah………..……..4

C. Kajian Pustaka………...…....5

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian……….…..5

E. Metodologi Penelitian………....6

F. Sistematika Penulisan………..…………. 7

BAB II M . QURAISH SHIHAB DAN TAFSIR AL-M ISBAH A. Riwayat Hidup M. Quraish Shihab………..8

B. Mengenal Tafsir al-Mishbah………...11

1. Pemilihan Nama al-Mishbah……….…….13

2. Sumber Penafsiran al-Mishbah………...15

(9)

al-Mishbah………...16

C. Kandungan Surat al-Rahmân dalam Tafsir al-Mishbah...19

BAB III KEGIATAN TAKHRIJ HADIS DALAM TAFSIR AL-MISHBAH PADA SURAH AL-RAHMÂN A. Hadis Pert am a “ Pengant in al-Qur’ân adalah al-Rahmân” …...22

1. Teks Hadis dan Kegiat an Takhrij Hadis………...22

2. Kegiat an I’t ibar………...…...25

3. Kegiat an Penelit ian sanad Kualit as periw ayat sert a M enyim pulkan Hasil Penalit ian Sanad ………...27

B. Hadis Kedua “ Jaw aban jin at as ayat (fa biayyi ala’i Rabbikuma t ukadzdzihan)”………...40

1. Teks hadis dan Kegiat an Takhrij Hadis…………...………40

2. Kegiat an I’t ibar………...……..41

3. Kegiat an Penelit ian Sanad Kualit as Periw ayat sert a M enyim pulkan Hasil Penalit ian Sanad……..………...…….43

C. Hadis Ket iga “ Aku t inggalkan pada kam u at s-Tsaqalain yakni kit abullah dan Keluargaku” ………...……..50

1. Teks Hadis dan Kegiat an Takhrij Hadis………...50

2. Kegiat an I’t ibar………...………58

3. Kegiat an Penelit ian Sanad Kualit as Periw ayat sert a M enyim pulkan Hasil Penalit ian Sanad ....………...60

D. Kualitas Matan Hadis Surah al-Rahmân………..90

1. Hadis 1……….90

(10)

3. Hadis 3………...92

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan………94

B. Saran-saran………...95

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Hadis adalah segala perkataan, perbuatan, taqrir, dan hal ihwal yang

disandarkan kepada Nabi saw.1 Hadis menduduki tempat tertinggi dihati umat

Islam dan mendapat legitimasi dari al-Qur’ân sebagai sumber hukum Islam

setelah al-Qur’ân. Hadis merupakan penjelasan yang nyata terhadap ayat-ayat

al-Qur’ân yang masih global dan merupakan keterangan yang nyata bagi

keumuman ayatnya.2 juga merupakan sebagai sumber ketentuan agama Islam

sebagaimana ditentukan dalam agama Islam.3

Mengingat hadis adalah penjelas terhadap al-Qur’ân, Allah swt. telah

menerangkan di dalam al-Qur’ân seperti peran Nabi Muhammad saw. sebagai

mufassir al-Qur’ân Allah swt. berfirman dalam surat al-Nahl / 16: 44

َﺮْﻛﱢﺬﻟا َﻚْﯿَﻟِإ ﺎَﻨْﻟَﺰْﻧَأَو

َنوُﺮﱠﻜَﻔَﺘَﯾ ْﻢُﮭﱠﻠَﻌَﻟَو ْﻢِﮭْﯿَﻟِإ َلﱢﺰُﻧ ﺎَﻣ ِسﺎﱠﻨﻠِﻟ َﻦﱢﯿَﺒُﺘِﻟ

Artinya: “Dan kami turunkan kepada kamu al-Qur’ân agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”.4

Ayat diatas, menjelaskan tugas Rasulullah saw. ialah menjelaskan baik

dengan lisan maupun perbuatan, hal-hal yang masih gelobal dan sebagainya

1 Mudasir, Ilmu Hadis, (Bandung: Pustaka Abadi, 2005), h. 13-14

2 Fugsi hadis dalam penjelas al-Qur’ân itu bermacam-macam. Malik bin Anas

menyebutkan lima macam Fungsi; bayan al Taqri, bayan al Tafsir, baying al Tafsil, bayan al Bast, bayan al Tasyri. (Ranuwijaya, Utang. Ilmu Hadis, (Jakarta: gaya media Pratama, 1996), cet, ke-1, h. 26-27)

3 Assa’id, Sadullah, Hadis-hadis Sekte, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), cet, ke1, h. 6

4 Departemen Agama R.I, al-Qur’ân dan Terjemahan, (Semarang: Toha Putra, 1989), h.

(12)

yang terdapat dalam al-Qur’ân.5 Tugas ini berdasarkan perintah Allah swt.,

tentu saja penjelasan terhadap al-Qur’ân bukanlah sekedar membaca al-Qur’ân.

Banyak ayat yang mebutuhkan penjelasan praktis dan hal itu sudah dilakukan

oleh Rasulallah saw. Menolak penjelasan Rasulullah saw. sama saja dengan

menolak al-Qur’ân.6

Dari segi dalalahnya al-Qur’ân sama dengan hadis, masing-masing ada

yang Qath’i al Dilalah dan ada yang Zhanni al Dilalah. Hanya saja al-Qura’ân

bersifat global dan hadis bersifat terperinci. Namun dari sisi periwayatanya

jelas antara keduanya terdapat perbedaan. al-Qur’ân secara keseluruhan

ayat-ayatnya diriwayatkan secara mutawatir.7 sedangkan hadis tidaklah demikian.

Sebagian diriwayatkan secara mutawatir sebagian diriwayatkan secara ahad.8

Pada bentuk periwayatan mutawatir tentunya tidak termasuk dalam

bentuk penelitian karena telah diriwayatkan oleh banyak orang. Sebab,

menurut kebiasaan mustahil mereka akan sepakat berdusta dan kesalehannya

tidak diragukan lagi.9 Hadis semacam ini jelas akan ditetapkan setarap dengan

al-Qur’ân dari segi kehujahan dan pengamalannya

5 Menjelaskan tentang lafaz dan peraturan peraturannya, artinya menyampaikan ayat

al-Qur’ân tampa menyembunyikan satu ayat pun, sedemikian rupa, persis sebagaiman Allah swt. telah menurunkan wahyu tersebut kepada Nabi saw. Kemudian, menjelaskan arti kata, kalimat atau ayat yang memerlukan ketrangan, atau ayat-ayat yang bersifat mutlak. (Nashiruddin, Muhammad al Bani, Kedudukan Sunnah Dalam Islam, (Jkarta: PT Gagasan Indonesia), h. 9-10)

6 M.M Azami, Hadis Nabi, Sejarah dan Modifikasinya, (Jakarta: Pustaka Pirdaus, 1994),

h. 27

7Mutawatir dalam Ilmu Hadis yaitu: Hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang

tidak mungkin bersepakat untuk berdusta dari sejumlah rawi yang semisal mereka dan seterusnya sampai akhir sanad. Sedangkan untuk Al Qur’ân antara lain maksudnya yaitu ayat-ayat-Nya diturunkan oleh Allah swt kepada Nabi Muhammad saw. melalui Malaikat Jibril secara langsung

(DR. Nuruddin ‘ITR, Pengantar Ilmu Hadis, (Jakarta, Pustaka Bandung 1991), h. 196. Para ulama

membaginya menjadi dua : Mutawatir lafadznya dan Mutawatir Maknanya, Hasbi, As Siddieqy ,

Muhammad. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Jakarta: PT Pustaka Rizki putra, 1997), cet,

ke-1, h. 177

8 Muhammad Ajjaj al Khatibi, Usul al Hadis Ulumuhu Wa Mustalahuhu, (Beirut: Dar el

Fikr, 199 M ), h. 302

(13)

Sedangkan yang menjadi objek penelitian adalah hadis-hadis yang

diriwayatkan secara ahad, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh sedikit orang

atau beberapa orang akan tetapi tidak sampai pada derajat mutawatir,10

sehingga pemberitaannya pun masih menjadi perbincangan. Dalam konteks

seperti ini jelas sekali akan muncul kesahalan-kesalahan baik dari segi

periwayatan maupun dari segi penulisan dan ini dinamakan Zanni al Wurud.

Walaupun demikian tidak serta merta hadis ahad ditolak, sebab yang

membedakan hanyalah dari segi jumlah (kuantitas) periwayatannya saja.

Sedangkan benar dan salahnya suatu berita, bukanlah ditentukan dari aspek

tersebut, melainkan juga oleh tingkat kualitasnya, yaitu sejauh mana

kredebilitas (‘adil dan dhabit) yang dimiliki oleh periwayat.11

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penelitian terhadap

sejumlah hadis ahad merupakan upaya para ilmuan untuk menilai apakah

hadis-hadis tersebut dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya atau tidak.

Selanjutnya, kesahihan suatu hadis sangat diperlukan ketika hadis itu

disampaikan kepada masyarakat. Karena masyarakat, ketika mereka menerima

sebuah hadis, baik dalam ceramah agama di Majlis-Majlis ta’lim maupun yang

mereka baca dari kitab-kitab atau buku-buku, Mereka hanya menerima dan

memahami isi yang terkandung didalam hadis tersebut tanpa mereka

mengetahui secara detail teks hadis dan bahkan status dari hadis tersebut.

Salah satu contoh dari sekian banyak kitab atau buku yang beredar

dimasyarakat adalah kitab Tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab. Sebuah

kitab tafsir yang menggunakan bahasa Indonesia baik dalam menafsirkan

(14)

Qur’ân maupun dalam mencantumkan hadis beliau. Selain menggunakan

bahasa Indonesia dalam setiap hadis yang digunakannya beliau juga tidak

mencantumkan status hadis tersebut, yang padahal penggunaan hadis-hadis

tersebut erat kaitannya dalam proses pemahaman ayat-ayat Allah swt.,

sehingga menurut hemat penulis sangat diperlukan pejelasan tentang kondisi

hadis tersebut, terutama dari segi sanadnya.

Bertolak dari hal tersebut di atas, penulis akan mencoba menelaah

hadis-hadis yang terdapat di dalam Tafsir al-Misbah surah ar-Rahmân dan menjadi

alasan penulis memilih judul “Takhrij Hadis-Hadis Kitab Tafsir al-Misbah”

(Study Kritik Sanad dan Matan Hadis pada Surat ar-Rahmân)

A. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Agar pembatasan dan perumusan masalah ini lebih fokus serta dalam

menghindari kekaburan pemahaman, maka dapat diambil beberapa pokok

masalah yang akan dijadikan arah dan batasan, adapun pokok masalah adalah

Bagaimanakah kualitas sanad dan matan hadis-hadis surah ar-Rahmân dalam

kitab Tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab?

Karena populasi hadis yang akan ditakhrij tidak merata dalam setiap

ayat, yakni dalam satu ayat terdapat satu atau dua hadis namun tidak jarang

pula tidak ada sama sekali, maka pengambilan sampel yang digunakan metode

purposive sampling, yakni pengambilan sempel populasi yang disandarkan atas

(15)

menetapkan kriteria hadis yang akan diteliti (takhrij) kualitas sanad sebagai

berikut:

1. Hadis tersebut tidak disebut sama sekali sanadnya, yakni langsung

disandarkan kepada Nabi saw., atau kepada perawi generasi sahabat.

2. Hadis tersebut dijadikan hujah oleh penafsir untuk memperkuat tafsirannya

atau sekedar bahan tulisan yang ditulis sebagai bahan perbandingan.

3. Hadis tersebut merupakan potongan matan atau kutipan hadis yang ditulis

sesuai persi mufassir yang apabila dihadirkan matannya secara lengkap

tentunya lebih baik.

B. Kajian Pustaka

Melalui penelusuran kepustakaan kebeberapa tempat, penulis tidak

menemukan judul yang sama dengan judul yang penulis ambil. Oleh karena

itu, penulis mengambil judul: “Takhrij Hadis-Hadis Kitab Tafsir al-Misbah”

(Sebuah Kajian Analisis Sanad dan Matan Hadis Surah al-Rahmân)

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Sesuai dengan perumusan di atas, maka penulisan skripsi ini bertujuan

untuk memberikan sumbangan untuk kajian Islam terutama dalam bidang hadis

khususnya Ilmu Jarah Wa al Ta’dil, Selain itu penelitian ini mempunyai tujuan

formal, yaitu untuk memenuhi persyaratan guna meraih keserjanaan Strata I

(16)

D. Meodologi Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian

kualitatif. Sedangkan cara pengumpulan data melalui studi kepustakaan

(library research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara

mengumpulkan, mengklarifikasi serta menelaah beberapa literatur yang

berkaitan dengan inti permasalahan. Sedangkan pembahasan dalam skripsi ini

bersifat deskriptis analitis, yaitu suatu pendekatan melalui pengumpulan data

dan pendapat para ahli, kemudian ditelaah dan dianalisis sehingga menjadi

sebuah kesimpulan.

Kegiatan penulisan data dalam penelitian ini dilaksanakan dengan

menggali informasi atau pesan dari bahan-bahan tertulis yang tersedia berupa

buku-buku, dokumen, majalah, surat kabar. Sumber data primer adalah kitab

Tafsir al-Misbah dan kitab-kitab yang berbentuk konkordasi yang merupakan

rujukan utama dalam penulisan skripsi ini.

Adapun sumber data sekunder berupa buku-buku kumpulan hadis di

antaranya kitab Kutubu Sitt’ah. selain itu penulis juga mengambil data dari

kitab-kitab ilmu hadis sebagai landasan teori dan kerangka acuan memahami

hadis. Karya-karya ini dijadikan bahan pembanding bagi sumber primer. Dari

sumber primer maupun sekunder, diharapkan akan memperoleh data kualitatif

sesuai yang diinginkan. Selanjutnya data-data yang telah dihimpun, diolah

dengan analisis, interpretasi dan studi konfarasi sehingga dapat memberikan

pengertian dan konklusi sebagai jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang

(17)

Sedangkan teknik penulisan skripsi ini, penulis berpodoman pada buku

pedoman Akademik Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tahun 2007/2008.

E. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah serta agar lebih sistematis dalam penulisan skripsi

ini, maka penulisan skripsi ini dilakukan dengan membaginya kedalam empat

bab. Sebagai berikut:

Bab Pertama merupakan Pendahuluan dalam bab ini meliputi: Latar

belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, metodologi penelitian,

tujuan dan kegunaan penelitian, dan sistematika penulisan. Bab ini memberi

gambaran singkat tentang masalah yang akan dibahas pada bab-bab

selanjutnya.

Bab kedua adalah menjelaskan tentang M. Quraish Shihab dan Tafsir al-Misbah yang terdiri dari riwayat hidup pengaran kitab, membahas sumber, corak, metode, sistematika dalam penafsirannya terhadap al-Qur’ân, serta

kandungan surat al-Rahmân Dalam Tafsir al-Mishbah.

Bab ke tiga yaitu kegiatan takhrij hadis yang terdapat dalam Tafsir al-Mishbah dalam surah al-Rahmân yang terdiri dari hadis pertama, hadis kedua, dan hadis ketiga serta membahas kualitas matan hadis-hadis tersebut.

Bab keempat adalah bab terakhir penulisan skripsi ini, berisi kesimpulan

(18)

BAB II

M. QURAISH SHIHAB DAN TAFSIR AL-MISBÂH

A. Riwayat Hidup M. Quraish Shihab

Indonesia memiliki banyak mubaligh, ulama, intelektual, dan birokrat.

Akan tetapi yang menyatukan propesi itu pada satu kepribadian jelas tidak

banyak. Diantara yang sedikit itu adalah Prof Dr. M. Quraish Shihab, MA.

Beliau disebut mubaligh karena siraman rohani yang disampaikannya

menyejukan hati. Disebut ulama karena merupakan ahli tafsir lulusan

Universitas al-Azhâr. Disebut intelektual karena pandangan-pandangannya

selalu didasarkan pada penalaran sosial, dan disebut birokrat karena pernah

manjabat Menteri Agama, Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Duta

besar.

Setelah tugas Duta Besar untuk Mesir selesai, tokoh yang dikenal santun

ini mengembangkan lembaga Studi al-Qur’ân, satu-satunya lembaga studi

suasta di Indonesia yang secara spesifik menekuni kajian al-Quar’ân sebagai

fokus utamanya.

M. Quraish Shihab lahir pada tanggal 16 Februari 1944 di Rappang,

Sulawesi Selatan. Beliau merupakan salah satu putra dari Abdurrahman

Shihab (1905-1986), seorang wiraswasta dan ulama yang cukup popular.

(19)

di IAIN Alauddin Makassar. Ia juga salah seorang penggagas berdirinya UMI

(Universitas Muslim Indonesia), Universitas swasta terkemuka di Makassar.12

Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya di Makassar, Quraish

melanjutkan studi ke Pondok Pesantren Darul Hadîs al-Faqihiyah, yang

terletak di kota Malang, Jawa Timur. Di kota yang sejuk itu, beliau nyantri

selama 2 tahun. Pada 1958, dalam usia 14 tahun, beliau berangkat ke Kairo,

Mesir. Keinginan berangkat ke Kairo ini terlaksana atas bantuan beasiswa

dari pemerintah daerah Sulawesi.

Sebelum melanjutkan studinya di Mesir, Quraish mendapat rintangan.

Beliau tidak mendapat izin melanjutkan minat studinya pada jurusan Tafsir

Hadis, karena nilai bahasa Arab yang dicapai dianggap kurang memenuhi

syarat. Padahal, dengan nilai yang dicapainya itu, sejumlah jurusan lain

dilingkungan al-Azhâr bersedia menerimanya, bahkan menurutnya, beliau

juga bisa diterima di Universitas Kairo dan Dârul Ulum. Untuk itu, beliau

mengulangi studinya selama satu tahun. Belakangan beliau mengakui bahwa

studi yang dipilihnya itu ternyata tepat. Selain merupakan minat pribadi,

pilihan untuk mengambil bidang studi al-Qur’ân rupanya sejalan dengan

besarnya “kebutuhan umat manusia akan al-Qur’ân dan penafsiran atasnya”.

Berkenaan dengan jurusan yang dipilihnya ini, sesuai dengan kecintaan

terhadap bidang tafsir yang telah ditanam oleh ayahnya sejak beliau kecil.

Mengenai hal ini, Quraish menulis sebagai berikut:

12

Arif Subhan, Tafsir yang Membumi”, Tsaqafah, 2003, Vol. 1, No. 3, lihat juga,

(20)

“Seringkali beliau mengajak anak-anaknya duduk bersama. Pada saat-saat seperti inilah beliau menyampaikan petuah-petuah agama. Banyak dari petuah itu- yang kemudian saya ketahui sebagai ayat-ayat al-Qur’ân atau petuah Nabi saw., sahabat, atau pakar-pakar al-Qur’ân-yang hingga detik ini masih terngiang ditelinga saya,…

dari sanalah benih kecintaan kepada studi al-Qur’ân mulai tersemai di jiwa saya”.13

Universitas al-Azhâr, seperti diketahui, selain merupakan pusat

gerakan pembaharu Islam, juga merupakan tempat yang tepat untuk studi

al-Qur’ân. Pelajar Indonesia yang melanjutkan studinya ke Mesir cukup banyak.

Mesir menjadi tujuan studi islam yang bersaing dengan Haramayn.14

Di Mesir, Quraish tidak banyak melibatkan diri dalam aktivitas

kemahasiswaan. Meskipun demikian, beliau sangat aktif memperluas

pergaulan terutama dengan mahasiswa-mahasiswa dari Negara-nagara lain.

Mengenai kegiatannya ini Quraish mengatakan, “bergaul dengan mahasiswa

dari negara lain, ada dua manfaat yang dapat diambil. Pertama, dapat

memperluas wawasan, terutama mengenai kebudayaan bangsa-bangsa lain

dan kedua, memperlancar bahasa Arab”.15

Belajar di Mesir sangat menekankan aspek hapalan. Hal ini juga

dialami oleh Quraish, beliau sangat mengagumi kuatnya hafalan orang-orang

Mesir, khususnya dosen-dosen al-Azhâr. Belajar dengan cara ini bukan tidak

ada segi positifnya, meskipun banyak mendapat kritik dari para ahli

pendidikan moderen. Bahkan menurutnya, nilai positif ini akan bertambah

13 M.Quraish shihab, Membumikan al Qur’an, (Bandung: Mizan, 1992), h. 14

14M.Quraish shihab, Membumikan al Qur’an, (Bandung: Mizan, 1992), h. 14. lihat juga,

Hamdan anwar, “Telaah Kritis Terhadap Tafsir al-Mishbah Karya M. Quraish Shihab”, Mimbar

Agama dan Budaya, Vol. XIX, No. 2, 2002, h. 170

(21)

jika kemampuan menghapal itu dibarengi dengan kemampuan analisis.

Masalahnya adalah bagaimana menggabungkan dua hal ini?.16

Pada tahun 1967, Quraish meraih gelar Lc (S1) dari Fakultas

Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis Universitas al-Azhâr. Kemudian beliau

melanjutkan studinya di fakultas yang sama, dan pada tahun 1969 beliau

berhasil meraih gelar MA untuk spesialis bidang Tafsir al-Qur’ân. Dengan

tetisnya yang berjudul al-Ijâz al-Tasyr’I li al-Qur’ân al-Karim.17

Quraish pulang ke Indonesia untuk mendarmabaktikan ilmunya di

IAIN Alauddin Makasar. Kemudian pada tahun 1980, beliau kembali ke

Kairo untuk melanjutkan studinya pada jurusan yang sama. Pada tahun 1982

beliau berhasil meraih gelar doktor dalam bidang tafsir, setelah berhasil

mempertahankan disertasinya yang berjudul Nazhm al-Durâr li al-Biqâ’iy

Tahqiq wa Dirâsah. Gelar tersebut diraih dengan yudisium Summa Cum

Laude disertai dengan penghargaan tingkat 1 (Mumtaz ma’a martabat

al-Syaraf al-‘Ula).18

B. Mengenal Tafsir al-Mishbâh

M. Quraish Shihab merupakan sosok intelektual yang sangat

produktif. Ditengah kesibukannya yang luar-biasa sebagai dosen, pejabat

tinggi, dan aktifis organisasi, beliau masih sempat menulis berbagai karya

ilmiah yang bernuansa sejuk, sederhana dan mudah dipahami.

16Arif Subhan, Tafsir yang Membumi”, Tsaqafah, 2003, h,. 3

17 M.Quraish shihab, Membumikan al Qur’an, (Bandung: Mizan, 1992), h. 6

18

(22)

karyanya yang telah ditulis baik berupa artikel, rubrik, maupun buku-buku

sangat bayak.19 Diantara tulisannya yang terkenal adalah Tafsir al-Mishbâh.

Buku ini dapat dikatakan sebagai karya puncak usahanya dalam tulisan.

Terdiri dari 15 volume, tafsir ini mulai ditulis pada tahun 1999 hingga akhir

tahun 2003. Kehadiran tafsir ini kiranya semakin mengkukuhkannya sebagai

tokoh tafsir Indonesia bahkan Asia Tenggara dan dunia.

Di bawah ini disebutkan sebahagian karya-karyanya yang lain yang juga

sangat terkenal adalah:

1. Tafsir al-Manâr, Keistimewaan dan Kelemahannya. Diterbitkan di

Makassar pada tahun 1984.

2. Tafsir al-Amânah. Merupakan kumpulan artikel dari rubrik tafsir yang

diasuhnya pada majalah Amânah. Diterbitkan oleh Pustaka Kartini 1992.

3. Membumikan al-Qur’ân, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan

Masyarakat. Karya ini merupakan kumpulan makalah yang ditulisnya

dalam rentang waktu antara 1976 sampai 1992. Diterbitkan oleh Mizan

pada tahun 1992.

4. Tafsir al-Qur’ân al-Karîm. Isinya adalah tafsiran dari 24 surah pendek

yang didasarkan pada urutan turunnya dan mengunakan metode tahlili.

Karyanya ini diterbitkan oleh Pustaka Hidayah pada tahun 1997.

Dan masih banyak lagi karya tulisannya yang banyak dibaca dan

dijadikan rujukan oleh orang banyak terutama para mahasiswa.

19

Hamdan anwar, “Telaah Kritis Terhadap Tafsir al-Mishbah Karya M. Quraish Shihab”,

(23)

5. Pemilihan Nama al-Mishbâh

Karya ini diberinama al-Mishbâh: Pesan, kesan dan Keserasian

al-Qur’ân. Pemilihan nama al-Mishbâh bukan tanpa dasar sama sekali,

meskipun secara eksplist Quraish tidak menyebut dasar penamaan. Paling

tidak ada dua hal yang mendasari panamaan tersebut. Pertama, di dalam kata

pengantar ditemukan sedikit penjelasan. Sebagaimana diketahui, nama

tersebut berasal dari bahasa Arab yang artinya lampu, pelita, lentera atau

benda lain yang berfungsi serupa, yaitu memberi penerang bagi mereka yang

berada dalam kegelapan. Dengan demikian dapat diduga bahwa harapan

beliau adalah memberi penerang dalam mencari petunjuk dan pedoman hidup

terutama bagi mereka yang mengalami kesulitan dalam memahami makna

al-Qur’ân secara langsung karena kendala bahasa.20 Kedua, didasarkan pada

awal kegiatan Quraish dalam menulis di Jakarta. Kendati kegiatan

tulis-menulis beliau sudah terlihat di Makassar sebagaimana dibuktikan dari

karyanya, namun produktifitas sebagai penulis mendapat monumennya

setelah beliau bermukim di Jakarta. Pada tahun 1980-an beliau diminta

menjadi pengasuh rubrik “Pelita Hati” pada Harian Pelita. Uraian-uraian yang

disajiakannya menarik banyak pihak. Itu karena dalam setiap tulisannya,

beliau memberikan nuansa yang sejuk, tidak bersifat menggurui dan

menghakimi. Pada tahun 1994, kumpulan tulisannya itu diterbitkan oleh

Mizan dengan judul Lentera Hati, dari sinilah nampaknya pengambilan nama

al-Mishbâh itu berasal, yaitu bila dilihat dari maknanya. Analisis yang

dikemukakan adalah bahwa kumpulan tulisannya pada rubrik “Pelita Hati”

20

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh. Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ân,

(24)

diterbitkan dengan judul Lentera Hati. Lentera merupakan padanan kata dari

pelita yang arti dan fungsinya sama-sama memberikan penerang. Dalam

bahasa arab lentera, pelita atau lampu disebut dengan mishbâh dan inilah

yang dipilih sebagai nama. Penerbitnya juga mempergunakan nama yang

sama yakni Lentera Hati.21

Motifasi yang melatar belakangi adalah hal yang niscaya ada pada

suatu karya apa pun, Tak terkecuali Tafsir al-Mishbâh. Paling tidak ada dua

alasan yang melatar belakangi penuisannya. Pertama, motivasi itu didasarkan

pada tanggung jawab moral penulisnya sebagai ulama yang wajib

memberikan penerangan kepada umat sesuai bidangnya. Rasa tanggung

jawab ini muncul ketika menyadari bahwa al-Qur’ân yang merupakan

petunjuk bagi manusia harus dipahami dan dimengerti maknanya. Tetapi

kenyataan bahwa umat Islam Indonesia mempunyai keterkaitan yang besar

terhadap al-Qur’ân dan hannya berarti pada pesona bacaannya adalah fakta.

Hal ini disebabkan oleh kendala bahasa. Mengenai hal ini beliau menguraikan

sebagai berikut: “Adalah kewajiban para ulama untuk memperkenalkan

al-Qur’ân dan menyuguhkan pesan-pesan yang terkandung di dalamnya sesuai

dengan harapan dan kebutuhan itu”.22 Kedua, tidak sedikit umat Islam yang

mempunyai keterkaitan yang luar biasa terhadap makna-makna al-Qur’ân,

tetapi mengalami beberapa kendala, terutama waktu, ilmu-ilmu yang

mendukung, dan kelangkaan buku-buku rujukan yang memadai dari segi

kecakupan informasi dan kejelasannya.

21 Hamdani Anwar, “Telaah Kritis Terhadap Tafsir al-Mishbah Karya M. Quraish

Shihab”, Mimbar Agama dan Budaya, Vol. XIX, No. 2, h. 176-177

22

(25)

Motifasi Quraish dalam menulis Tafsir Mishbâh tersebut tampak

sejalan dengan penegasan yang disampaikan oleh Ibn Katsir dalam

muqaddimah tafsirnya. “Adalah menjadi kewajiban para ulama untuk

mengungkapkan maksud dari kalam Ilahi, menafsirkannya, mempelajarinya,

dan mengajarkannya”.23

6. Sumber Penafsiran al-Mishbâh

Tafsir al-Mishbâh dapat digolongkan sebagai ta-tafsir bi al-ra’yi.24

Kesimpulan itu diambil dari pernyataan penulisnya yang diungkapkan pada

akhir “Sekapur Sirih” yang merupakan sambutan dari karya ini. Redaksi yang

ditulisnya adalah sebagai berikut:

“Akhirnya penulis perlu menyampaikan kapada pembaca bahwa apa yang dihidangkan disini bukan sepenuhnya ijtihad penulis. Hasil ulama-ulama terdahulu dan kontemporer, serta pandangan-pandangan mereka sungguh banyak penulis nukil khususnya pandangan pakar tafsir Ibrahim Umar al-Bi’qa’i (w. 885 H / 1480 M) yang karya tafsirnya masih berbentuk manuskrip menjadi bahan disertasi penulis di Universitas al-Azhâr, Kairo, dua puluh tahun yang lalu. Demikian juga karya tafsir Pemimpin Tertinggi al-Azhar dewasa ini, Sayyid Muhammad Thanthawi al-Sya’rawi dan tidak ketinggalan pula Sayyid Quthub, Muhammad Thahir ibn Asyur, Sayyid Muhammad Husein Thabathaba’i, serta pakar-pakar tafsir lainnya”.25

Pernyataannya di atas mengisyaratkan, paling tidak dua hal. Pertama,

Sumber penafsirannya adalah ijtihadnya sendiri. Kedua, adalah rujukan yang

berasal dari pendapat dan fatwa ulama, baik ulama yang terdahulu maupun

yang masih hidup. Sementara itu, selain mengutip pendapat para ulama,

Quraish juga mempergunakan ayat-ayat al-Qur’ân dan hadis Nabi saw.

23 Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir, (Kairo: Mathba’ah al-Istiqâmah, 1958), jilid. 1, h. 3 24 Kata al-ra’yi secara etimologis, berarti keyakinan, qiyas dan ‘Ijtihad. Jadi tafsir bi

al-ra’yi adalah penafsiran yang dilakukan dengan cara ijatihad. Lihat Hamdani Anwar , OP. Cit., h. 180. Lihat juga, Supiana dan M. Karman, Ulumul Qur’ân dan pengenalan Methode Tafsir,

(Bandung: Pustaka Islamika, 2002), h.306

(26)

sebagai bahan dari penjelasan tafsir yang dilakukan. Karena itu, Tafsir

al-Mishbâh juga dapat dikelompokan kedalam tafsir bi al-ra’yi yang mahmudah

sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Zarqani, berlaku pada tafsir bi

al-ra’yi yang memperhatikan norma-norma yang telah ditetapkannya.26

Sedangkan yang tidak merujuk seperti semestinya, maka penafsirannya

dinilai madzmumah.27

7. Corak, Metode dan Sistematika Penulisan Tafsir al-Mishbâh

Dalam litelatur studi tafsir dikenal beberapa corak tafsir. Misalnya;

tafsir falsafi, tafsir ilmî, tafsir lughawi, tafsir fiqhi, tafsir adâbi, tafsir ijtimâ’i.

dipandang dari sudut pandang itu, Tafsir al-Mishbâh dapat dikategorikan

dalam corak tafsir ijtimâ’i atau kemasyarakatan. Hal ini didasarkan pada

kecenderungan tafsir ini mengupas masalah-masalah sosial dan mamberikan

jalan keluar atasnya. Panilaian ini dapat menimbulkan pertanyaan mengingat

istilah yang digunakan cenderung berbeda dari teori dasar tafsir yang telah

dikemukakan pakar sebelumnya, yaitu corak adâb al-ijtimâ’i (corak sastra

dan kemasyarakatan). Hal ini sengaja dilakukan dengan pertimbangan bahwa

penulis bukanlah seorang yang pakar sastra, baik sastra bahasa Indonesia

maupun Arab.28

26

al-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulumul al-Qur’ân, (Kairo: Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah, 1957), jilid. II, h. 49

27 Al-Zarkasi telah menetapkan norma-norma bagi tafsir bi al-ra’yi yang tercela ini adalah

sebagai berikut: Tidak merujuk pada al-Qur’ân dan Sunnah, tidak merujuk pada riwayat sahabat,

tidak memperhatikan kaidah dan aturan kebahasaan dengan tepat, dan tidak menafsirkan sesuai dengan konteks redaksi ayat. Lihat al-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulumul al-Qur’ân, (Kairo: Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah, 1957), jilid. II, h. 156-161

28

Lihat Hamdan Anwar, “Telaah Kritis Terhadap Tafsir al-Mishbah Karya M. Quraish

(27)

Dari segi metodologi, Tafsiral-Mishbâh menggunakan metode tahlili.

Kesimpulan ini dapat dengan mudah dilihat dari cara penafsiran yang terdapat

dalam karya ini, yaitu dengan menjelaskan ayat demi ayat, surah demi surah,

sesuai dengan susunan dalam mushaf. Metode ini sengaja dilakukan oleh

penulisnya, karena beliau ingin mengungkapkan semua isi al-Qur’ân secara

rinci agar petunjuk-petunjuk yang terkandung di dalamnya dapat dijelaskan

dan dipahami oleh para pembaca.

Namun demikian, sebenarnya Quraish tidak begitu tertarik untuk

menggunakan metode tahlili. Di dalam beberapa kesempatan, beliau selalu

mengemukakan bahwa metode yang digunakannya itu memiliki beberapa

kelemahan. Menyadari hal tersebut, beliau memberikan tambahan lain dalam

karyanya. Beliau menilai bahwa cara yang paling baik dalam menghidangkan

pasan al-Qur’ân adalah dengan metode maudhu’i, yaitu dengan

mengungkapkan pesan al-Qur’ân sesuai dengan tema yang diinginkan. Selain

itu metode ini memiliki beberapa keistimewaan. Dengan dasar itu, beliau

berupaya menggunakan metode maudhu’i dalam tafsirnya. Sehubungan

dengan upayanya itu, beliau menyatakan sebagai berikut:

“Dalam konteks memperkenalkan al-Qur’ân dalam buku ini, penulis berusaha dan akan terus berusaha menghidangkan bahasan setiap surah pada apa yang dinamai tujuan surah, atau tema pokok surah. Memang, menurut para pakar, setiap surah ada

tema pokoknya”.29

Berkaitan dengan sisitematika penulisan Tafsir al-Mishbâh, dapat

dikemukakan sebagai berikut:

29 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh. Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ân,

(28)

1. Tafsir dimulai dengan pengantar yang menjelaskan surah

secara global.

2. Penulisan ayat-ayat dikelompokan ke dalam tema-tema tertentu

sesuai dengan urutannya, kemudian diikuti dengan terjemahnya

3. Uraian kosa kata yang dipandang perlu dalam penafsiran

makna ayat.

4. Ayat dan hadis yang dijadikan penguat atau bagian dari

tafsirnya hanya ditulis dengan terjemahnya saja.

Adapun jumlah keseluruhan Tafsir al-Mishbâh adalah 15 volume

dengan pembagian sebagai berikut; Volume I berisi tafsiran surat al-Fatihah

dan Bâqarah. Volume II; surah Imrân dan an-Nisâ. Volume III; surah

al-Mâidah. Volume IV; surah al-An’âm. Volume V; surah al-A’râf, al-Anfâl,

dan at-Taubah. Volume VI; surah Yunûs, Hûd, Yusûf, dan ar-Râ’d. Volume

VII; surah Ibrâhim, al-Hijr, an-Nahâl, dan al-Isrâ. Volume VIII; al-Kahfi,

Maryâm, Thâhâ, al-Anbiyâ. Volume IX; surah al-Hâjj, al-Mu’minûn,an-Nûr,

dan Furqân. Volume X; surah asy-Syu,arâ, an-Naml, Qashâsh, dan

al-Ankabut. Volume XI; surah ar-Rûm, Lukman, as-Sajdâh, al-Ahzâb, Sabâ,

Fâthir, dan Yâsin. Volume XII; surah ash- Shâffat, ashad, az-Zumâr, Ghâfir,

Fushshilât, asy Syurâ, dan az-Zukhrûf. Volume XIII; surah ad-Dhukhân,

al-Jâtsiyah, al Ahqâf, Muhammad, al-Fâth, al-Hujurât, Qâf, adz-Dzâriyât,

ath-Thur, an-Nujm, Qomâr, ar-Rahman, dan Wâqi’ah. Volume XIV;

Hadid, Mujâdalah, Hasyr, Mumtahnah, ash-Shâff, Jumu’ah,

(29)

Hâqqah, al-Ma’ârij, Nûh, al-Jînn, al-Muzzammîl, al-Muddatstsîr, al-Qiyâmah,

al-Insân, dan al-Mursalât. Sementara volumr XV berisi Juz ‘Ammâ.

Demikian sistematika penulisan yang dilakukan M. Quraish Shihab dalam

karya ini.

C. Kandungan Surat ar-Rahmân dan Dalam Tafsir al-Mishbâh

Surah ar-Rahmân adalah surah makkiyyah menurut pendapat mayoritas

ulama, penamaannya dengan ar-Rahmân telah dikenal sejak zaman Nabi saw.

Nama tersebut diambil dari awal kata surah ini. Hal yang unik dalam

al-Qur’ân bahwa surah ini diawali dengan salah satu nama Allah swt. yaitu

ar-Rahmân - sesudah Basmalah.

Surah ar-Rahmân dikenal juga dengan nama ‘Arus al-Qur’ân yang

secara harfiah berarti pengantin al-Qur’ân. Penamaan surah itu karena

indahnya surah ini, dan karena di dalamnya terulang sekian kali ayat fa bi

ayyi âlâ’i Rabbikumâ tukadzdzibân, yang diibaratkan dengan aneka hiasan

yang dipakai oleh pengantin.30

Ayat pertama yakni ar-Rahmân tercantum apa adanya dan berdiri

sendiri yang menerangkan keseluruhan surat dan mengatur isi baik dari segi

arti maupun pesannya. Dalam surah ini Allah swt. dengan nama-Nya

ar-Rahmân muncul sebagai subjek yang diikuti oleh sebuah predikat kata kerja

yang mengandung arti pembatasan, dalam pengertian hannya dialah yang

melakukan ini dan itu. Dalam surah ini terdapat serangkaian predikat kata

30 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ân,

(30)

kerja yang muncul berturut-turut tampa kata sambung yang semuanya

bergantung pada kata ar-Rahmân.

Pengaruh ayat pertama yakni ar-Rahmân terhadap ayat-ayat selanjutnya

semakin ditekankan oleh aspek suaranya. Sebab sebagi ayat yang berdiri

sendiri yang diakhiri oleh alif panjang dan nun, maka ayat ini menentukan

pola fashihah atau sajak pada akhir ayat-ayat selanjutnya yang pada

khususnya mengandung “an” dan pada beberapa ayat “am”, yang tidak

banyak merubah pola ini mengingat “n” dan “m” keduanya berbunyi

konsonan yang didengungkan (ayat 1-6 ditrasliterasikan untuk menunjukan

efek ini).31

Tema surah ini adalah uraian tentang nikmat-nikmat Allah swt.,

bermula dari nikmatnya yang terbesar dan teragung yaitu al-Qur’ân.

Thabathaba’i berpendapat bahwa surah ini mengandung isyarat tentang

ciptaan Allah swt. dengan sekian banyak bagian-bagiannya di langit dan

bumi, darat dan laut, manusia dan jin, di mana Allah swt. mengatur semua itu

dalam satu pengaturan yang bermanfaat bagi manusia dengan jin - bermanfaat

untuk hidup mereka di dunia yang akan binasa yang kekal abadi diakhirat.32

Paling tidak ada tiga hal isi surah ar-Rahmân yang di kelompokan

kedalam tiga kelompok ayat yakni:

1. Ayat 1-30 membahas tentang karunia Allah swt. di dunia. Namun

pada ayat ke 13 mengetengahkan tantangan terhadap lawan-lawan

31 Muhammad Abdul Halim, Memahami al-Qur’ân “Pendekatan Gaya dan Tema”,

(Bandung: Marza, 2002), Cet. 1 h. 218

32M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh. Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ân,

(31)

bicara-Nya (manusia dan jin) “maka nikmat Tuhan kamu yang

manakah yang kamu dustai”, yang disebut secara berulang-ulang.

2. Ayat 31-45 berisi tentang tantangan kepada lawan bicara-Nya

untuk melarikan diri dari pengadilan - orang-orang yang berdosa

tidak akan mampu menyelamatkan dirinya dari hukuman yang

eksistensinya telah mereka dustakan.

3. Ayat 46-77 membahas tentang berbagai nikmat yang menjadi

balasan bagi dua golongan yang beriman.33

33 Muhammad Abdul Halim, Memahami al-Qur’ân “Pendekatan Gaya dan Tema”,

(32)

BAB III

KEGIATAN TAKHRIJ HADIS-HADIS DALAM TAFSIR

AL-MISHBAH PADA SURAH AL-RAHMÂN

E. Hadis Pertama “ Pengantin al-Qur’ân adalah al-Rahmân”

4. Teks Hadis dan Kegiatan Takhrij Hadis

Dalam Tafsir al-Mishbah, mufassir mengambil matan hadis tertulis

sebagai berikut: Nabi saw. bersabda: “Segala sesuatu memiliki pengantin

dan pengantin al-Qur’ân adalah surat al-Rahmân”34. Jika ditranslit

kedalam bahasa Arab maka hadis tersebut berbunyi:

لﻮﻘﯾ ﻢﻠﺳ و ﮫﯿﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺻ ﻲﺒﻨﻟا

Untuk menetahui kejelasan hadis di atas berserta

sumber-sumbernya, penulis tidak terlepas dari metode takhrij yang digunakan,

sebagaimana yang telah disingung di dalam bab 1, penulis mengawali

kegiatan takhrij ini dengan memilih berbagai macam cara ulama hadis

dalam pembukuan hadis mereka.

Diantara metode yang digunakan oleh ulama, ada yang

menyusunnya dengan abjad hijaiyah (alif, ba’,ta, dan sebagainya), ada

yang menyusunnya sesuai dengan tema hadis, seperti: tentang shalat, zakat

dan lain-lain, ada yang menyuusunnya menurut nama-nama perâwî

terakhir, adakalanya perâwî pertama itu sahabat bila hadisnya muttasîl35,

34 M. Quraish Shihab, “Tafsir al-Misbah” Pesan, Kesan dan keserasian al-Qur’ân,

Ciputat: Lentera Hati, 2000, h. 491.

35 Muttasîl maksudnya ialah para perawi yang tercantum pada sanad antara murid dan

(33)

dan adakalanya tabî’in bila hadis itu mursal36. Hadis tersebut ada yang

ditulis lengkap dan ada pula yang hannya potongan saja. Ada pula yang

menyusun menurut kriteria-kriteria hadis.

seperti: hadis qudsi, mutawatir, maudu’37, mursal. Serta ada pula

yang disusun berdasarkan lafadz-lafadz yang terdapat dalam matan

hadis.38

Berangkat dari beragam ulama dalam pembukuan hadis serta

penyusunannya, maka dapat diperoleh berbagai metode takhrij yaitu:

a. Dengan cara mengetahui sahabat yang meriwayatkan hadis.

b. Dengan cara mengetahai lafadz pertama dari matan hadis.

c. Dengan cara mengetahui lafadz matan hadis yang sedikit berlakunya.

d. Dengan cara mengetahui pokok bahasan atau tema hadis.

e. Dengan cara meneliti keadaan-keadaan hadis baik dalam sanad atau

matan.39

Dari kelima metode di atas, tidak mengharuskan seorang peneliti

menggunakan semua metode, terkadang ditemukan hannya tiga atau dua

metode saja, jika memang metode yang dipilihnya itu sudah dapat

memadai usaha penelusuran hadis.

36 Yang dimaksud mursal ialah gugur pada sanad terakhir atau perawipertama (sahabat),

yakni tabi’in menisbahkan matan hadis kepada Nabi saw, tanpa menyebutkan dari sahabat mana ia

menerima hadis. Lihat:Endang Soetari, Ilmu Hadis, h. 149.

37 Hadis maudu’ ialah hadis bikinan, yang dibuat oleh orang lain selain Nabi saw., dan

merupakan bentuk hadis da’if yang terburuk yang paling parah. Lihat Imam al-Nawawi,

Dasar-Dasar Ilmu Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), Cet. 1, h. 35.

38 Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, (Jakarta: Gaya Media Pertama, 1996), Cet. 1, h.

116-122.

39 Mahmud at-Tahhan, Metode Takhrij dan Penelitian Sanad Hadis, terj, Ridwan Nasir,

(34)

Dalam skripsi ini, penulis hanya menggunakan dua metode:

Pertama, penulis menggunakan metode penelusuran hadis bi alfadz yakni

penelusuran hadis dengan mengunakan kata-kata pada matan hadis, baik

berupa fi’il atau isim. Adapun kitab yang digunakan adalah kitab

al-Mu’jam al-Mufahras li al-AlFadz al-Hadîts. Kedua, metode penelusuran

hadis dengan menggunakan awal khafaz matan hadis. Adapun kitab yang

digunakan adalah kitab Mausua’ah Atraf al-Hadîts al-Nabawî Syarîf.40

Matan hadis di atas, dapat ditemukan melalui metode takhrij hadis

pada awal matan melalui kitab Mausua’ah Atraf al-Hadîts al-Nabawî

Syarîf, maka kata-kata yang dapat ditelusuri adalah: سوﺮﻋ ءﻲﺷ ﻞﻜﻟ

Dalam kitab Mausua’ah Atraf al-Hadîts al-Nabawî Syarîf Nabawî

Syarîf:41

terdapat di dalam kitab hadis:

1. Musyakâh al-Mashâbih li al-Tibrizî: 2180.

2. Al-Dâr al-Mantsûr li al-Suyûti: 6: 140.

40 Jika kedua metode penelusuran hadis yang digunakan tidak dapat menemukan secara

langsung hadis yang ingin diketahui, maka langkah yang akan dilakukan penulis selanjutnya adalah menelusurinya dengan berpegang kepada keterangan yang diperoleh dari kedua metode tersebut.

41 Abû Hâjir Muhammad al-Sa‘îd Basyûnî Zaglûl, Mausû’ah Atrâf al-Hadîts, (Beirut: Dar

(35)

3. Kanz al-‘Umâl li al-Muttaqî al-Hindî: 2638.

4. Tafsir al-Qurtubî: 17: 151.

Dari kitab-kitab petunjuk di atas, dapat diketahui bahwa hadis

yang akan diteliti terdapat dalam kitab Syu’ab al-Îmân dan hanya memiliki

satu jalur. Oleh karena itu, penelitian sanad hadis terfokus pada riwayat

yang ada di dalam kitab Syu’ab al-Îmân disamping mengikuti keterangan

yang terdapat dalam kitab Tafsir al-Misbah. Teks hadisnya adalah:42

ا ْﻦِﺑ ﺪَﻤْﺣَأ ﺎَﻨَﺛ داَﺪْﻐَﺒِﺑ ﻆِﻓﺎَﺤﻟا ﺮَﻔْﻌَﺟ ْﻦِﺑ ﻦْﯿَﺴُﺤﻟا ْﻦِﺑ ﻲِﻠَﻋ ﺎَﻨَﺛ ﻲِﻤَﻠُﺴﻟا ﻦَﻤْﺣَﺮﻟا ُﺪْﺒَﻋ ﻮُﺑَأ ﺎَﻧَﺮَﺒْﺧَأ ﻦَﺴَﺤﻟ

ﺎَﻨَﺛ ئَﺮَْﻘُﻤَﻟا ﺲْﯿَﺑَُد ةَﺰْﻤَﺣ ْﻦِﺑ ﻲِﻠَﻋ ﺎَﻨَﺛ يِﺪْﯾِﺰَﯿﻟا مﺎَﺸِھ ﺎَﻨَﺛ يَﺮْﻘُﻤﻟا ﻲِﺋﺎَﺴِﻜﻟا ﺮَﻔْﻌَﺟ ْﻦِﺑ ﻰَﯿْﺤَﯾ ْﻦﺑ ﺪَﻤَﺤُﻣ

ﻲِﻠَﻋ ْﻦﻋ ِﮫْﯿﺑأ ْﻦﻋ ﻦﯿَﺴُﺤﻟا ْﻦِﺑ ﻲِﻠَﻋ ِْﻦَﻋ ِﮫْﯿﺑأ ْﻦَﻋ ﺮَﻔْﻌَﺟ ﮫْﯿِﺑَأ ﻦﻋ ﺮَﻔْﻌَﺟ ْﻦﺑ ﻰَﺳْﻮُﻣ ﺎَﻨَﺛ ﻲِﺋﺎَﺴِﻜﻟا

َلﺎَﻗ ُﮫْﻨَﻋ ُﷲا َﻲِﺿَر

:

ُﺖْﻌِﻤَﺳ ُلﻮُﻘَﯾ ﻢَﻠَﺳ َو ِﮫْﯿﻠَﻋ ُﷲا ﻰﻠَﺻ ﻲِﺒَﻨﻟا

:

ُسوُﺮُﻋ َو ُسوُﺮُﻋ ِءْﻲَﺷ ِﻞُﻜِﻟ

ﻦَﻤْﺣَﺮﻟا نآْﺮُﻘﻟا

5. Kegiatan I’tibar

Kegiatan i’tibar adalah memperlihatkan dengan jelas seluruh sanad

hadis yang diteliti, termasuk nama-nama periwayatnya, dan metode

periwayatan yang digunakan oleh masing-masing periwayat. Untuk

kepentingan tersebut maka diperlukan pembuatan skema untuk seluruh

sanad bagi hadis yang diteliti.

Lihat skemanya pada halaman berikut.

42 Riwayat al- Baihaqî hannya terdapat satu jalur, sebagaimana yang terdapat dalam kitab

aslinya. lihat, al-Baihaqî, Abû Bakar Ahamad bin Husain bin ‘Alî, Syu’ab al-Imân li-Baihaqî

(Beirut: Dâr al-Kitâb al-‘Ilmiyah, t.t.), h.257

(36)
(37)

Setelah dilihat dalam skema dapat diambil natijah bahwa: Dari

segi hubungan periwayatan, tidak semua perawi yang diteliti bersambung.

Dari segi perlambangan, hadis yang diteliti hampir keseluruhan sanadnya

mendapatkan hadis dengan cara bertemu dan mendengar langsung, dengan

menggunakan lambang ( ُﺖْﻌِﻤَﺳ, ﻦﻋ, ﺎَﻨَﺛ, ﺎَﻧَﺮَﺒْﺧَأ ).

6. Kegiatan Penelitian Kualitas Periwayat serta Menyimpulkan

hasil Penelitian Sanad

Kegiatan penelitian sanad ini adalah untuk memperoleh informasi

mengenai keadaan perawi termasuk metode periwayatannya. Pada bagian

ini diperlukan kitab-kitab yang menerangkan keadaan perawi hadis, baik

dari sisi biografinya, pribadinya, kritik terhadap perawi yang bersangkutan

dan sebagainya.

Al-Baihaqî (w. 458 H)

Nama lengkap: Al-Imâm Hâfiz ‘Allâmah Jalîl, Usûlî

al-Zâhid al-Wara‘, Syaikh‘ Khurasân, Sâhib al-Tasânif: Abû Bakar Ahmad

bin al- Husain bin ‘Alî bin ‘Abdillah bin Mûsâ al-Baihaqî al-Naisâbûrî43.

Gurunya: Al-Hâkim Abî ‘Abdullâh al-Hâfiz, ‘Abdullâh bin Yûsuf Asbahânî, Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ibnu Rajâ`

Adîb, Ishâq bin Muhammad bin Yûsuf Sûsî, Mansûr ibn Husain

al-Maqra’.

43 Abî Bakr Ahmad bin al-Husain bin ‘Alî al-Baihaqî, al-Sunan al-Saghîr, jilid 1, (Beirut:

Dâr al-Kitab al-‘Ilmiyah,1992), h. 3.lihat Abû ‘Abdillah Syams al-Dîn Muhammad al-Dzahabî.

Tadzkirat al-Huffâz, jilid 3, (Beirût: Dar al-Kitab al-‘Ilmiyah, t.t.), h. 1132., lihat al-Dzahabî.

(38)

Muridnya: - 44

Pendapat ulama hadis tentang dirinya:

1. Al-Hâfiz ‘Abd al-Ghâfir bin ‘Ismâ‘îl di dalam târîkhnya: Al-Baihaqî

adalah seorang tokoh ulama ternama, beliau juga terkenal sebagai

orang yang zuhud dan wara. Beliau melanjutkan bahwa, Abû Bakar

al-Faqîh, al-Hâfiz, Usuluddîn, al-Wara‘, salah seorang yang hafal pada

masanya, dari pembesar al-Hâkim, beliau menambahkan berbagi

macam ilmu kepada al-Hâkim, menulis, melatih al-Hâkim menghafal

hadis, menguasai hingga mahir. Abû Bakar mengambil disiplin ilmu

Usuluddin, beliau pergi ke Iraq, Jabal Hijaz, kemudian mulai menulis,

karangannya hampir 1000 Juz, dari apa yang tidak pernah dilakukan

seorangpun, beliau memadukan/ mengumpulkan ilmu fikih dan hadis,

menjelaskan ‘ilal hadis, menaruh perhatian berbagai macam hadis,

banyak para imam belajar dari Baihaqî sampai Naisabur, untuk

mendengar berbagai macam kitab, menyelesaikan kitab selama 41

tahun 3 bulan, kemudian forum menyimpulkan untuk mendengarkan

(membedah) kitab ma‘rifah dan para imam pun menghadirinya.

2. Al-Qudat Abû ‘Alî Ismâ‘îl bin al-Baihaqî: Beliau adalah seorang

teman kita yang salih dan paling banyak bacaannya.45

3. Al-Sam‘ânî: Beliau imam yang faham, Hâfiz, yang mengumpulkan

ilmu hadis dan fiqih.46

44 Setelah penulis melacak kebeberapa kitab Rijal dan Tarikh, penulis tidak menemukan

keterangan tentang murid-muridnya.

45 Al-Syamsyu al-Dîn bin Muhammad bin Ahmad bin ‘Ustman al-Dzahabî. Siyaru A‘lâm

(39)

4. Lahir 384 H. bulan Sya‘ban, dan meninggal pada hari ke sepuluh bulan

Jumâdi al-Awal tahun 458 H.47

Terdapat pertemuan dengan gurunya Abû ‘Abd Rahmân al-Sulamî, para ulama menilainya positif (ta’dîl) tingkat pertama disamping penilaian positif lainnya, Beliau menerima hadis dengan cara takhbir (

ﺎﻧﺮﺒﺧأ ). Oleh karena itu, periwayatannya dapat diterima.

Abû ‘Abd al-Rahmân al-Sulamî (w. 412 H)

Nama lengkap: Muhammad bin Abû ‘Abd al-Rahmân al-Sulamî,

Syaikh Sufiyah, Sâhib al-Târih dan Tabaqâh.

Gurunya: Al-Asam.

Muridnya: Al-Baihaqi.

Pandangan ulama kritikus hadis terhadap dirinya:

1. Al-Hâkim: Beliau adalah ahli Zuhud, tasawuf, ﺎﻨﻘﺘﻣ ,ﺚﯾﺪﺤﻟا ﺮﯿﺜﻛ

2. Al-Sirâj : Insya Allah tidak tergolong pendusta.

3. Al-Khatîb :ﺚﯾﺪﺤﻟا ﺐﺣﺎﺻ ,Beliau wafat bulan Sya’ban tahun 412 H.48

Terdapat kemungkinan pertemuan dengan muridnya melalui tahun

wafatnya, penilaian para ulama positif (ta’dil) tingkat pertama, disamping

46 Abî Sa‘ad ‘Abd al-Karîm bin Muhammad bin Mansûr al-Tamîmî al-Sam‘ânî.

Al-Ansâb, jilid 2, (Kairo: Maktabah Ibnu Taimiyah, 1980), h. 381.

47 Syamsu al-Dîn Ahmad bin Muhammad bin Abî Bakr bin Khalkân. Wafâyat al-A‘yân,

jilid 1, (Beirût: Dâr Sâdr, t.t.), h. 76.

48 Al-Imam Hâfiz Syihâb Dîn Ahmad bin ‘Alî bin Hajar ‘Asqalânî. Lisân

al-Mîzân, jilid 7, h. 140. Lihat juga Abî Bakr Ahmad ‘Alî al-Khatîb al-Baghdâdî. Târikh Baghdâd au

(40)

penilaian positif lainnya, dan Beliau juga menerima hadis dengan cara

tahdits ( ﺎَﻨَﺛ )49. Oleh karena itu, periwayatannya dapat diterima.

‘Alî bin Husein bin Ja’far al-Hâfiz (w. 276 H)

Nama lengkap: ‘Alî bin Husein bin Ja’far bin Karnîb al-Rasâfî,

Abû Hasan al-Bazâr. Nama tersebut adalah nama yang digunakan oleh

Ibnu Hajar.

Gurunya: Al-Baghandî, dan Hamid bin Syua’îb.

Muridnya : -50

Pandangan ulama hadis terhadap dirinya:

1. Al-Dâruqutnî: Apabila dalam namanya diberi pangkat Hâfiz dan

al-Ma’rifah maka hal tersebut benar-benar lemah. Ia wafat tahun 276 H.

2. Ibnu Abî al-Fuwaris: باﺬﻜﻟا (pembohong), dia orang yang suka

mencampur-campurkan hadis. Aku pernah melihat kitabnya yang

penuh dengan kebohongan, dia memotong tulisan diawal juz dan

mengganti dengan tulisannya sendiri.

3. Al-Khatîb: ﻒﯿﻌﺿ , gelar al-Hâfiz dan al-Ma’rifah adalah bohong.

Tidak terdapat kemungkinan pertemuan baik dengan guru maupun

muridnya, para ulamapun menilainya negatif (al-Jarh), meskipun Beliau

menerima hadis dengan cara tahdits ( ﺎَﻨَﺛ ). Oleh karena itu, periwayatannya

tidak diterima.

Ahmad bin Hasan Dubaisi

49 Kata ( ﺎَﻨَﺛ ) tsannâ merupakan singkatan dari kata ( ﺎﻨﺛﺪﺣ ) Hadatssannâ, oleh karena itu

kata tsanaâ termasuk kata tahdîts.

50 Abî Bakr Ahmad ‘Alî al-Khatîb al-Baghdâdî. Târikh Baghdâd au Madînah al-Salâm,

(41)

Nama lengkap: Ahmad bin Hasan bin ‘Alî bin Husein, Abû ‘Alî

al-Muqrâi yang dikenal dengan sebutan Dubaisi, atau Ahmad bin Hasan bin

‘Alî al-Muqarî Dubaisi.51

Gurunya: Muhammad bin ‘Abd al-Nûr dan Muhammad bin

Musafî.

Muridnya: Abû Bakar bin al-Muqraî, Ibnu Mudzaffâr, dll.

Pandangan ulama hadis terhadap dirinya:

1. Al-Dâruqutnî berpendapat bahwa Ahmad bin Hasan: ﺔﻘﺛﺲﯿﻟ

2. Al-Khatîb juga menilai bahwa beliau adalah ﺚﯾﺪﺤﻟا ﺮﻜﻨﻣ.52

Terdapat kemungkinan pertemuan, melalui tahun wafat antara ‘Alî

bin Husein bin Ja’far al-Hâfiz (w. 276 H) dengan Muhammad bin Yahyâ

bin Ja’far al-Kisâî (w. 280 H), namun para ulama menilainya negatif (

al-Jarh) tingkat kedua. Meskipun Beliau menerima hadis dengan cara tahdits

( ﺎَﻨَﺛ ), periwayatannya tidak dapat diterima.

Muhammad bin Yahyâ bin Ja’far al-Kisâî (w. 280 H)

Nama lengkap: Muhammad bin Yahyâ bin Zakariya, Abû ‘Atu

tibdullâh al-Muqraî yang dikenal dengan sebutan al-Kisâî al-Sagîr.

Gurunya: Khalaf bin Qisyâm Bazzâr, ‘Alî bin Mughirah

al-Atsrâm, Abâ Mishal Sâhib al-Kisaî, Abâ Hârits al-Laits bin Khâlid.

Muridnya: Abû Bakar bin Mujahid, ‘Alî Ahmad bin Hasan

Dubais.

Pandangan ulama hadis terhadap dirinya :

1. Ibnu al-Jazarî : ﺔﻘﺛ .53

51 Abî Bakr Ahmad ‘Alî al-Khatîb al-Baghdâdî. Târikh Baghdâd au Madînah al-Salâm,

jilid. 4, (Beirût: Dar al-Fikr, t.t.), h. 77.

(42)

Terdapat pertemuan dengan muridnya: Abû ‘Alî Ahmad bin

Hasan Dubais, penilaian ulama positif (ta’dil) tingkat ketiga. Dan Beliau

juga menerima hadis dengan cara tahdits ( ﺎَﻨَﺛ ). Oleh karena itu,

periwayatanya dapat diterima.

Hisyâm al-Yazîdî

Setelah penulis menelusuri kitab-kitab Rijal al-Hadis dan Tarikh,

penulis tidak menemukan nama tersebut, baik setelah menelusurinya

melalui perawi sebelumnya maupun sesudahnya. Perawi ini oleh penulis

dinilai majhul. Dia menerima hadis dengan cara tahdits ( ﺎَﻨَﺛ ).

‘Alî bin Hamzah al-Kisâî (w. 189 H)

Nama lengkap: ‘Alî Abû Hamzah bin ‘Abdullâh bin Qais al-Asadî,

Abû Hasan al-Muqraî al-Kisâî.

Gurunya: Hamzah al-Ziyati, Abû Bakar bin ‘Iyâsy, Muhammad bin

Sahl.

Muridnya: Abû ‘Ubaid Qâsim bin Sallâm, Abû Zakariyâ

al-Farrâi, Ahmad bin Abî Suraij.54

Pandangan ulama hadis terhadap dirinya:

1. Ibnu Hibbân memasukkannya dalam kitab تﺎﻘﺜﻟا

2. Beliau adalah salah satu ulam ahli qiraat dan tajwid di Baghdad. Guru

qiraatnya adalah Hamzah Ziyâti, Sulaimân bin Arqâm, Ja’far

al-Sâdik, dan Ibnu ‘Uyaynah. Beliau juga menerima hadis dari guru-guru

53 Abî Bakr Ahmad ‘Alî al-Khatîb al-Baghdâdî. Târikh Baghdâd au Madînah al-Salâm,

jilid. 4, (Beirût: Dar al-Fikr, t.t.), h. 655.

54 Abî Muhamad ‘Abd Rahman bin Abî Hâtim Muhammad Idrîs bin Mundzir

(43)

qiraatnya. Murid-muridnya dalam qiraat cukup banyak diantaranya,

Hafs bin ‘Umar al-Râzî.

3. Beliau pengarang kitab Ma’ânî al-Qurân dan al-Atsâr fî al-Qurân.

4. ‘Alî bin Hasan bin Bakar dari Ahmad bin Kamal al-Qâdî: Beliau wafat

hari Minggu tahun 189, dalam usia 70 tahun.55

Terdapat pertemuan dengan gurunya melalui tahun wafatnya, para

ulama menilai positif (ta’dil) tingkat pertama, disamping penilaian positif

lainnya, dan Beliau menerima hadis dengan cara tahdits ( ﺎَﻨَﺛ ). Oleh karena

itu, periwayatannya dapat diterima.

Mûsâ bin Ja’far (128 - 183 H)

Nama lengkap: Muhammad bin ‘Alî bin Husein bin Alî Abî Tâlib

al-Quraisyî al-Hasyîmî al-‘Aluyyû (Abû Hasan al-Madânî al-Kazîm).

Gurunya: Ayahnya (Ja’far bin Muhammad al-Sâdik), ‘Abdullâh

bin Dinâr, ‘Abd al-Malik bin Qudamah al-Jumanî.

Muridnya: anaknya (Ibrâhîm bin Mûsâ bin Ja’far), ‘Alî bin

Hamzah al-Kasâî, Ismâ’îl bin Mûsâ bin Ja’far, Husein bin Mûsâ bin Ja’far, Sâlih bin Yazîd, Mûsâ bin Ja’far Abû Hasan Ridâ, saudaranya

(Muhammad bin Ja’far), Muhammad bin Sadaqah al-Anbarî.

Pandangan ulama hadis terhadap dirinya:

1. Abû Hâtim: قوﺪﺻ ,ﺔﻘﺛ. dan seorang Imam muslim.

2. Yûsuf bin Ya’kûb al-Syaibanî dari Zaid bin Hasan al-Hindî dari ‘Abd

al-Rahmân bin Muhammad al-Qazzâz dari Abû Bakar Ahmad bin ‘Alî

(44)

bin Tsâbit al-Khabîbi mengatakan bahwa Mûsâ bin Ja’far lahir di

Madinah pada tahun 128 H. dan wafat pada tahun 183 H.56

Terdapat pertemuan dengan gurunya: Ayahnya (Ja’far bin

Muhammad al-Sâdik) dan muridnya: ‘Alî bin Hamzah al-Kasâî, penilaian ulama positif (ta’dil) tingkat pertama, disamping penilaian

positif lainnya, dan Beliau menerima hadis dengan cara ‘an‘anah ( ﻦﻋ ).

Oleh karena itu,periwayatannya dapat diterima.

Abihi: Ja’far bin Muhammad al-Sâdik (80-148 H)

Nama lengkap: Ja’far bin Muhammad bin ‘Alî bin Husein bin ‘Alî

bin Abî Tâlib al-Quraisyî al-Hasyîmî (Abû ‘Abdullâh al-Madânî al-Sâdik).

Ibunya adalah Ummû Farwah binti Qâsim bin Muhammad bin Abû Bakar

al-Siddîk.

Gurunya: ‘Ubaidillâh bin Râfi’ Kâtibul ‘Alî, ‘Urwah bin Zubeir,

’itâi bin Abî Rabâh, kakeknya (Qâsim bin Muhammad bin Abî Bakar

al-Siddîk), ayahnya (Abî Ja’far Muhammad bin Qâsim), Muhammad bin

‘Alî al-Bâqir, Muhammad bin Muslim bin Syihâb al-Zuhrî, Muhammad

al-Munkadir, Muslim bin Abî Maryam, Nâfi’ (Maulâ) Ibnu ‘Umar.

Muridnya: Abân bin Taglab, Ismâ’îl bin Ja’far, Hâtim bin Ismâ’îl,

Hasan bin Sâlih bin Hayyî, Hasan bin ‘Îyâsy, Abû Bakar bin ‘Îyâsy, Hafs

bin Giyâsy, Zuhair bin Muhammad al-Tamîmî’ Zaed bin Hasan al-Anmâtî,

Sa’îd bin Sofyan al-Islamî, Sofyân Tsaurî, Sofyân bin ‘Uyanah, Sulaimân

bin Bulâl, Mûsâ bin Ja’far al-Kadîmî, Malik bin Anas.

Pandangan ulama hadis terhadap dirinya:

56 Al-Mizî, Jamal al-Dîn Abî al-Hajjâj Yûsuf, Tahdzib al-Kamal fi Asma al-Rijal, (Beirut:

(45)

1. Ahmad bin Salâmah al-Naisâbûrî dari Ishâq bin Rahâwiyah berkata:

Saya bertanya kepada Syafi’î, bagaimana menurutmu Ja’far bin

Muhammad? lalu Syafi’î mejawab: ﺔﻘﺛ

2. Abbâs al-Daurî dari ‘Utsmân bin Sa’îd al-Dârimî dari Abû Bakar Ibnu

Abî Khutsaimah, Ahmad bin Sa’ad bin Abî Maryam dari Yahyâ bin

Ma’în berkata: ﺔﻘﺛ

3. Abû Bakar Ji’âlî, Abû Bakar bin Manjuwiyah dan Abû Qâsim

al-Lalikâi. Mereka mengatakan: Ja’far bin Muhammad lahir pada tahun

80 H.

4. Hasan al-Madânî, Khalifah bin Khayyât dan Zubair bin Bakar mereka

mengatakan: Beliau wafat pada tahun 148 H.57

Terdapat pertemuan dengan muridnya: anaknya (Ja’far bin Muhammad al-Sâdik) dan gurunya: ayahnya (Abî Ja’far Muhammad

bin Qâsim), para ulama menilainya positif (ta’dil) tingkat kedua, beliau juga menerima hadis dengan cara ‘an‘anah ( ﻦﻋ ). Oleh karena itu,

periwayatannya dapat diterima.

Abihi: Abî Ja’far Muhammad bin Qâsim (w. 114/118 H)

Nama lengkap: Muhammad bin ‘Alî bin Husein bin ‘Alî bin Abî

Tâlib al-Quraisyî al-Hasyîmî, Abû Ja’far al-Bâqir. Ibunya adalah ‘Ummu

‘Abdullah binti Hasan bin ‘Alî bin Abî Tâlib.

Gurunya: Anas bin Mâlik, ‘Alî bin Husein bin ‘Alî, Jâbir bin ‘Abdullâh, kakeknya (Hasan dan Husein), ‘Abdullâh bin ‘Umar bin

Khattab, ‘Abdullâh bin Abbâs.

(46)

Muridnya: Abân bin Taglib al-Kûfî, Abyad bin Abân, anaknya (Ja’far bin Muhammad bin ‘Alî bin Husein), Rabi’ah bin ‘Abd

al-Rahmân, ‘Abdullâh bin ‘Atai, Syaibah bin Nisâh, Hakam bin ‘Utaybah.

Pandangan ulama hadis terhadap dirinya:

1. Muhammad bin Sa’ad: beliau adalah Tabaqah yang ketiga dari ahli

Madinah, wafat tahun 118 H.

2. Al-‘Ijlî: Tabi’in Ahli Madinah, ﺔﻘﺛ

3. Ibnu Hibbân memasukkannya dalam kitab تﺎﻘﺜﻟا

4. Ibnu Barqî: Beliau adalah seorang ahli fikih pada masanya, wafat

tahun 114 H.58

Terdapat pertemuan dengan muridnya: anaknya (Ja’far bin Muhammad bin ‘Alî bin Husein) dan gurunya: ‘Alî bin Husein, para

ulama menilai positif (ta’dil) tingkat pertama, disamping penilaian positif

lainnya, dan beliau juga menerima hadis dengan cara ‘an‘anah ( ﻦﻋ ). Oleh

karena itu, periwayatannya dapat diterima.

‘Alî bin Husein (w. 74 H)

Nama lengkap: ‘Alî bin Husein bin ‘Alî bin Abî Tâlib al-Qurasyî

al-Hasyîmî, Abû Husein.

Gurunya: pamannya (Hasan bin ‘Alî bin Abî Tâlib), ayahnya

(Husein bin ‘Alî bin Abî Tâlib), Dzakwan Abî ‘Amrû (Maulâ) ‘Aisyah,

Sa’îd bin Marjânah, Sa’îd bin Musayyib, ‘Abdullâh bin Abbâs, kakeknya

(‘Alî bin Abî Tâlib), dll.

Gambar

gambaran singkat tentang masalah yang akan dibahas pada bab-bab

Referensi

Dokumen terkait

STUDI KUALITAS SANAD HADIS BAB GÎBAH KITAB IRSYÂD AL- `IBÂD ILÂ SABÎL AL-RASYÂD (Karya: Syaikh Zain al-Dîn al-Malîbârî).. Hadis merupakan sumber ajaran Islam yang kedua

BAB III TAKHRĪJ HADIS MENGENAI ṢALĀT ARBA‘ĪN ... Teks Hadis dan Terjemahannya ... Kegiatan Takhrīj Hadis ... Penelusuran Hadis Melalui Matan ... Kegiatan Penelitian Hadis

Dengan demikian, maka penulis melihat terdapat keunikan di dalam tafsir al-Mishbah dan al-Azhar, berangkat dari sampel ayat yang dapat mewakili konsepsi fitrah

Dengan penjabaran makna dari ayat 177 surat al-Baqarah dalam yang terdapat dalam tafsir al-Mishbah diharapkan dapat menjadi materi dakwah yang baik bagi para

Ketiga karya tersebut memberikan peranan penting terhadap terciptanya kitab setelahnya, yaitu Tafsir al-Hadis. Sebagai pengantarnya, Izzat Darwazah menulis karya yang

digolongkan kepada hadis mu’annan, namun tahun wafat `Ali ibn Abi Talib dan Rasul menunjukkan bahwa ia hidup semasa dengan Rasul. Perawi al-Wadin ibn ‘Ata’ dinilai saduq

Takhrij hadis yang dilakukan oleh Ahmad Lutfi Fathullah ini hanya sebatas dalam rangka memberi penjelasan kepada pembaca bahwa hadis tersebut telah disebutkan dalam kitab

mengamalkan hadis... Penulis melakukan takhri>j al-h}adi>s\ sehingga diperoleh informasi bahwa beberapa hadis yang dikutip oleh Zai>n al-Di>n berasal dari