• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kadar Rutin Dan Produktivitas Biji Soba Pada Iklim Mikro Yang Berbeda

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kadar Rutin Dan Produktivitas Biji Soba Pada Iklim Mikro Yang Berbeda"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

KADAR RUTIN DAN PRODUKTIVITAS BIJI SOBA

PADA IKLIM MIKRO YANG BERBEDA

ADELEYDA MARGHARETHA WELHELMINA

LUMINGKEWAS

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Kadar Rutin dan Produktivitas Biji Soba pada Iklim Mikro yang Berbeda adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

ADELEYDA MARGHARETHA WELHELMINA LUMINGKEWAS. Kadar Rutin dan Produktivitas Biji Soba pada Iklim Mikro yang Berbeda. Dibimbing oleh YONNY KOESMARYONO, SANDRA ARIFIN AZIZ dan IMPRON.

Tanaman soba (Fagopyrum esculentum) merupakan tanaman fungsional daerah subtropis yang berasal dari China, kemudian menyebar ke Jepang, Eropa, dan Amerika. Soba merupakan salah satu alternatif bahan pangan fungsional dan sumber karbohidrat. Pengembangan atau budidaya tanaman soba di daerah tropis dipengaruhi oleh iklim. Radiasi dan suhu merupakan faktor pembatas utama. Faktor iklim tersebut tidak dapat dikendalikan, namun dapat dimodifikasi sehingga mendekati keadaan lingkungan asal tanaman. Modifikasi faktor iklim tersebut dilakukan dengan cara mengganti letak lintang asal tanaman dengan ketinggian tempat dan modifikasi radiasi diganti dengan pemberian naungan pada tanaman.

Untuk mendapatkan gambaran kondisi iklim yang sesuai bagi pengembangan tanaman soba sebagai pangan fungsional di daerah tropis, maka dilakukan penelitian kadar rutin dan produktivitas biji soba pada iklim mikro yang berbeda. Tujuan penelitian ini yaitu menganalisis dan menguji kadar rutin dan produktivitas biji soba pada iklim mikro yang berbeda.

Penelitian ini merupakan serial percobaan yang terdiri empat percobaan tunggal kombinasi ketinggian tempat, musim, naungan, dan populasi yang berbeda. Penelitian dilakukan di kebun Pembibitan Kopo, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor yang terletak pada ketinggian 600 meter dari permukaan laut (m dpl) dengan letak geografi 6o39’31.3” LS dan 106o53’41.1”BT dan di Kebun

percobaan IPB Pasir Sarongge, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur yang terletak pada ketinggian 1150 meter dari permukaan laut (m dpl) dengan letak geografi 6o46’05.0” LS dan 107o02’57.0” BT. Empat percobaan tunggal

diterapkan pada kedua lokasi, yaitu pada ketinggian 600 m dpl pada musim kemarau (Mei-Agustus 2012) dan musim hujan (November-Desember 2012), sedangkan pada ketinggian 1150 m dpl pada musim kemarau (Mei-Agustus 2012) dan musim hujan (November 2012-Januari 2013). Perlakuan naungan yang dilakukan yaitu tanpa naungan dan dengan naungan. Populasi tanaman yang dilakukan yaitu populasi 50 dan 200 tanaman m-2. Percobaan dirancang

menggunakan rancangan petak tersarang (nested design) dengan tiga ulangan. Data diolah dengan program statistik Minitab 16. Penentuan suhu dasar dan akumulasi panas, dihitung dengan pendekatan rumus AP= � � �� −=1

� � � . Pada fase berkecambah, berbunga, bunga mekar, biji hijau, dan panen.

Suhu dasar yang digunakan adalah 5ºC. Bahan biji soba diperoleh dari hasil lapang, dan selanjutnya kadar rutin biji soba dianalisis di laboratorium menggunakan High Performance Liquid Chromatography (HPLC), Standar rutin diperoleh dari Tokyo Chemistry Industry (TCI).

(5)

yang nyata pada bobot biji (produksi). Kondisi iklim mikro yaitu, radiasi, suhu, curah hujan, dan kelembaban memengaruhi tanaman soba. Akumulasi panas, umur panen, pertumbuhan dan produksi tanaman soba sangat dipengaruhi radiasi sedangkan kadar dan produksi rutin biji soba sangat dipengaruhi suhu. Kadar rutin dan produktivitas biji soba sangat dipengaruhi oleh faktor iklim dan budidaya tanaman.

(6)

SUMMARY

ADELEYDA MARGHARETHA WELHELMINA LUMINGKEWAS. Rutin Concentration and Productivity of Buckwheat grains at different Mikcro Climates. Supervised by YONNY KOESMARYONO, SANDRA ARIFIN AZIZ and IMPRON.

Buckwheat (Fagopyrum esculentum) is a subtropical functional plant originating from China, then distributing to Japan, Europe, and America. Buckwheat is an alternative functional food and source of carbohydrate. Developmentand cultivation of buckwheat in tropical regions affected by the climate. Radiation and temperature is a major limiting factor. The climatic factors cannot be controlled, but it can be modified to be close to environment condition where buckwheat plant originated. Climatic factor modification could be done by replacing the latitude position by altitude and radiation by shading.

To obtain suitably climate condition for developing buckwheat cultivation as a functional food in tropical region, the research about rutin concentration and buckwheat seed productivity on different climate condition has to be done. The purpose of this study were to analyze and examine the productivity levels of regular and buckwheat seeds on different microclimates.

This research was a serial experiment comprising a-four-single experiment with combining different altitude, season, shading, and population. The research was held in two different research sites. The first site was in Seeding Garden in Kopo, Cisarua district, Bogor regency, where located on 6o39’31.3” SL and 106o53’41.1”EL and on the elevation 600 m asl. The second research site was in

IPB Experimentation Garden in Pasir Sarongge, district Pacet, Cianjur regency where located on 6o46’05.0” Southern Latitude (SL) and 107o02’57.0” Eastern Longitude (EL) and on the elevation 1150 m above sea level (asl). A-four-single experiment was applied on both of two sites as followed on elevation 600 m asl during dry season (May – August 2012) and wet season (November – December 2012), and on elevation 1150 m asl during dry season (May – August 2012) and wet season (November 2012 – January 2013). Shade treatment consisted of two standard factors, shading and no shading. Plant population consisted of two standard factors, namely population 50 and population 200 plant m-2. Treatment was designed using nested design with three repeats. Data were analyzed using Minitab software version 16. Determining base temperature and heat accumulation were calculated using formula AP= ��� �� − � =1 . On

the phase of germination, blossom, bloomed flower, green seed, and harvest, used basic temperature was 5oC. Buckwheat seed were obtained from field then were analyzed in the laboratory to determine rutin concentration of buckwheat seed using High Performance Liquid Chromatography (HPLC), while standard of rutin was obtained from Tokyo Chemistry Industry (TCI).

(7)

humidity affect crops buckwheat. Harvesting time and heat accumulation as well as the growth and yield of buckwheat is strongly influenced by the levels of radiation while the rutin production of seed and buckwheat by temperature. Rutin concentration and productivity of buckwheat grains affected greatly by climatic factors and cultivation.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Klimatologi Terapan

KADAR RUTIN DAN PRODUKTIVITAS BIJI SOBA

PADA IKLIM MIKRO YANG BERBEDA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(10)

Penguji pada Ujian Tertutup : Prof Dr Purwantiningsih, MS Dr Ir Ahmad Junaedi, MSi

(11)
(12)

PRAKATA

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena hanya berkat dan penyertaanNya, sehingga penulisan disertasi yang berjudul “Kadar Rutin dan Produktivitas Biji Soba pada Iklim Mikro yang Berbeda” dapat diselesaikan. Penulis menyadari bahwa disertasi ini tidak dapat diselesaikan dengan baik tanpa arahan dan dukungan komisi pembimbing, para penguji, staf administrasi, teman-teman, dan keluarga. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Komisi pembimbing, Prof Dr Ir Yonny Koesmaryono, MS, Prof Dr Ir Sandra Arifin Aziz, MS, Dr Ir Impron, MAgrSc yang telah memberikan ilmu, bimbingan dan arahan baik dalam substansi materi, teori dan penulisan. 2. Seluruh staf sekretariat Program Studi KLI yang telah membantu

penyelesaian administrasi.

3. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi atas tugas belajar yang diberikan kepada penulis serta dukungan pembiayaan sehingga penulis dapat mengikuti perkuliahan, penelitian, penyusunan disertasi dengan lancar.

4. Teman-teman mahasiswa SPs IPB angkatan 2010, KLI IPB angkatan 2010 dan teman-teman IPB asal Sulut atas kerjasama yang baik dan dukungan semangat selama kuliah, penelitian dan proses penyusunan disertasi ini. 5. Suami, anak, orang tua, kakak, adik, dan semua keluarga atas doa, dukungan,

pengertian, kesabaran, dan kasih sayang yang selalu menyemangati penulis untuk menyelesaikan disertasi ini.

Allah Bapa Sumber Berkat, hikmat, dan Pengetahuan akan memberkati kita semua. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2015

(13)

DAFTAR ISI

3 METODOLOGI PENELITIAN 13

Tempat dan Waktu 13

4.2.1 Kondisi Iklim pada Ketinggian Berbeda 19

Ketinggian Tempat 600 m dpl (Kopo) 19

Ketinggian Tempat 1150 m dpl (Pasir Saronggeng) 21 4.2.2 Akumulasi Panas Tanaman Soba pada Iklim mikro yang

Berbeda 24

4.2.3 Umur Panen Tanaman Soba pada Iklim mikro yang

Berbeda 25

Ketinggian, Musim dan Naungan 25

4.3 Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Soba pada Iklim mikro yang

Berbeda 29

4.4 Kadar dan Produktivitas Rutin Biji Soba pada Iklim mikro yang

(14)

DAFTAR TABEL

1 Perbandingan gizi komposisi soba dengan beberapa sumber pangan lain

per 100 g 6

2 Rataan akumulasi panas (oC hari) pada periode perkembangan tanaman

soba pada berbagai perlakuan yang berbeda 27

3 Hubungan unsur iklim pada umur panen 28

4 Hubungan unsur iklim pada akumulasi panas (oC hari) 28

5 Rata-rata peubah pertumbuhan tanaman soba pada berbagai kombinasi

perlakuan yang berbeda 30

6 Rata-rata variabel pertumbuhan laju pertumbuhan tanaman, laju asimilasi bersih, dan efisiensi penggunaan radiasi pada berbagai perlakuan yang

berbeda 31

7 Rata-rata komponen hasil tanaman soba pada kombinasi perlakuan yang

berbeda 31

8 Hasil persamaan regresi hubungan unsur iklim dengan pertumbuhan dan

hasil tanaman 35

9 Hasil persamaan regresi pengaruh unsur iklim pada kadar rutin 43 10 Hasil persamaan regresi pengaruh unsur iklim pada produksi rutin 43

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram mekanisme produksi dan kadar rutin pada iklim mikro yang

berbeda 3

2 Struktur Rutin (Sumber : Li et al. 2010) 11

3 Biosintesis Flavonoid Sampai Produksi Rutin (Verhoeyen et al. 2002) 12 4 Unsur iklim suhu dan kelembaban udara pada ketinggian 600 m dpl

periode 2001-2011 Stasiun Citeko 16

5 Histogram curah hujan pada ketinggian 600 m dpl periode 2001-2011

Stasiun Citeko 16

6 Unsur iklim suhu dan kelembaban udara pada ketinggian 1150 m dpl

periode 2001-2011 Stasiun Pacet 18

7 Histogram curah hujan pada ketinggian 1150 m dpl periode

2001-2011 Stasiun Pacet 18

8a Suhu pada musim berbeda di ketinggian 600 m dpl – musim kemarau 19 8b Suhu pada musim berbeda di ketinggian 600 m dpl – musim hujan 19 9a Radiasi pada musim berbeda di ketinggian 600 m dpl – musim

kemarau 20

9b Radiasi pada musim berbeda di ketinggian 600 m dpl – musim hujan 20 10a Kelembaban pada musim berbeda di ketinggian 600 m dpl – musim

kemarau 21

10b Kelembaban pada musim berbeda di ketinggian 600 m dpl – musim

hujan 21

11a Curah hujan pada musim berbeda di ketinggian 600 m dpl – musim

(15)

11b Curah hujan pada musim berbeda di ketinggian 600 m dpl – musim

hujan 22

12a Suhu pada musim berbeda di ketinggian 1150 m dpl – musim kemarau 22 12b Suhu pada musim berbeda di ketinggian 1150 m dpl – musim hujan 22 13a Radiasi pada musim berbeda di ketinggian 1150 m dpl – musim

kemarau 23

13b Radiasi pada musim berbeda di ketinggian 1150 m dpl – musim hujan 23 14a Kelembaban pada naungan berbeda di ketinggian 1150 m dpl – musim

kemarau 24

14b Kelembaban pada naungan berbeda di ketinggian 1150 m dpl – musim

hujan 24

15a Kelembaban pada naungan berbeda di ketinggian 600 m dpl – musim

kemarau 25

15b Kelembaban pada musim berbeda di ketinggian 600 m dpl – musim

hujan 25

16 Periode satu siklus tanaman soba pada ketinggian, musim, dan

naungan yang berbeda 26

17 Hubungan iklim dengan umur panen dan akumulasi panas 27

18a Pertumbuhan dan hasil tanaman – ILD 32

18b Pertumbuhan dan hasil tanaman – LPT 32

18c Pertumbuhan dan hasil tanaman – Biomassa (g m-2) 33 18d Pertumbuhan dan hasil tanaman – Biomassa (g tan-1) 33

19a Komponen hasil tanaman soba – bobot 1000 biji (g) 33 19b Komponen hasil tanaman soba – bobot biji (g tan-1) 34

19c Komponen hasil tanaman soba – bobot biji (g m-2) 34 20 Hubungan unsur iklim dengan pertumbuhan dan hasil tanaman 35

21 Hubungan ILD dan radiasi intersepsi 36

22 Hubungan intersepsi radiasi dengan biomasa 41

23 Rata-rata produksi rutin biji soba (mg m-2) pada kombinasi perlakuan

yang berbeda 41

24 Hubungan iklim dengan rutin dan produksi rutin 41

25 Hubungan suhu dengan kadar rutin 42

26 Pemetaan kombinasi perlakuan berdasarkan nilai rata-rata produksi

dan kadar rutin biji soba 42

DAFTAR LAMPIRAN

1 Peta Lokasi Penelitian 55

2 Diagram Alir Ekstraksi Soba (50% metanol, suhu ruangan, 30 menit)

modifikasi dari metode Kalinova dan Vrchotova, 2011 56

3 Daftar Tabel Data Lapangan 57

4 Kromatogram dari berbagai perlakuan 74

5 Tebal Daun 76

(16)
(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Soba atau buckwheat (Fagopyrum esculentum Moench) yang termasuk dalam kelas Angiospermae adalah tanaman dari daerah subtropis yang telah diintroduksi sejak tahun 1999 di Jawa Barat, Indonesia. Tanaman tersebut merupakan tanaman hari netral (Gardner et al. 2008) yang dapat dibudidayakan sepanjang tahun di dataran tinggi 1150 m dpl atau dataran rendah 550 m dpl tropis basah. Pertumbuhan dan perkembangannya sangat bergantung pada kondisi suhu udara (Chai et al. 1995) dan penyinaran, khususnya pada proses pembungaan sampai pemasakan biji. Suhu optimum yang dibutuhkan selama pembungaan adalah 10 0C. Pembungaan sampai pemasakan 14 0C dan saat pemasakan biji

10-18 0C (Slawinska dan Obendorf 2001). Budidaya tanaman introduksi seperti soba

yang berasal dari daerah subtropis kendala yang dihadapi adalah penyesuaian iklim. Iklim tidak dapat dikendalikan, namun dapat dimodifikasi agar mendekati iklim lingkungan asal dengan cara mengganti lintang asal tanaman dengan ketinggian tempat baru (dataran tinggi tropis).

Intensitas radiasi surya merupakan salah satu faktor iklim yang dapat dimodifikasi melalui pemberian naungan terhadap tanaman pada tingkat presentasi tertentu. Pemberian naungan akan menyebabkan iklim mikro di sekitar tanaman berubah. Naungan secara nyata mengurangi intensitas radiasi surya ke permukaan tanaman, menurunkan suhu udara, meningkatkan kelembaban udara, mengurangi laju transpirasi tanaman, dan menekan pertumbuhan gulma (Munandar dan Krisantini 1989). Nasrullahzadeh et al. (2007) menyatakan bahwa tanggap pertumbuhan vegetatif tanaman terhadap naungan berbeda menurut jenis organ tanaman, tingkat perkembangan tanaman dan umur pada tanaman Vicia faba. Penelitian tentang naungan pada kedelai menunjukkan bahwa pengurangan cahaya menurunkan jumlah buku, cabang, diameter batang, jumlah biji dan hasil (Baharsyah et al. 1985).

Soba mengandung vitamin E, mineral Zn, Mn, Cu, dan Mg yang tinggi (Ikeda et al. 1995). Soba juga mengandung flavonoid rutin yang bermanfaat mencegah diabetes, penyempitan pembuluh darah otak, kerusakan pembuluh darah hati, dan hipertensi, serta fungsi meningkatkan daya tahan tubuh, mencegah kanker, membantu relaksasi tubuh dan memperbaiki kerja usus. Soba dapat menjadi sumber tepung yang dapat diolah menjadi mie, pancake, dan roti (Edwardson 1996). Soba bebas gluten dan memiliki kandungan karbohidrat serta serat yang cukup tinggi dibanding beras dan gandum, sehingga dikategorikan sebagai makanan sehat (dietary and healthy food) dan pangan fungsional (Vojtskova et al. 2012; Patra et al. 2013; Zhang et al. 2012).

(18)

2

penyerbuk), melindungi dari stres lingkungan, pelindung dari serangan hama dan penyakit, pelindung terhadap sinar ultraviolet (Samanta et al. 2011).

Flavonoid rutin tidak dijumpai pada sumber biji-bijian lain, melainkan hanya terdapat pada tanaman soba (Gupta et al. 2011). Kadar rutin tanaman soba dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Kadar rutin berkorelasi positif dengan suhu, durasi kekeringan dan radiasi surya. Kitabayashi et al. (1995) melaporkan bahwa kadar rutin dipengaruhi oleh varietas dan faktor lingkungan. Selanjutnya Kalinova dan Vrchotova (2011) melaporkan, bahwa kondisi lingkungan berpengaruh terhadap kadar rutin, penanaman soba yang dilakukan pada tahun 2005, 2006 dan 2007 menghasilkan kadar rutin yang berbeda-beda, yaitu 0.094, 0.057, 0.079 mg g-1.

Penelusuran pustaka belum ditemukan informasi tentang kadar dan produksi rutin biji soba di daerah tropis basah. Oleh karena itu, untuk menjawab hipotesis dan tujuan penelitian, maka telah dilakukan penelitian tentang budidaya tanaman soba pada ketinggian tempat, musim, naungan dan populasi terhadap kadar rutin dan produktivitas biji soba. Kombinasi keempat faktor perlakuan tersebut menggambarkan iklim mikro yang merupakan fungsi dari suhu, radiasi, curah hujan, dan kelembaban.

Kerangka Pemikiran

Daerah tropis basah mempunyai iklim yang berbeda dengan daerah subtropis. Faktor iklim yang menonjol adalah suhu yang relatif hangat dan konstan, panjang hari relatif stabil sepanjang tahun dan curah hujan yang relatif tinggi di beberapa wilayah tropis basah. Kekhususan iklim ini menyebabkan komoditas pangan yang diusahakan di daerah tropis basah berbeda dengan komoditas pangan di daerah subtropis.

Penyebaran tanaman pangan di dunia sangat dipengaruhi oleh faktor iklim. Tanaman soba merupakan tanaman pangan yang berasal dari daerah subtropis yang sedang dikembangkan di daerah tropis basah. Namun demikian, kegiatan pengembangan tersebut, masih dalam tahap peningkatan produksi biji dan belum ada informasi mengenai kadar rutin pada biji soba. Kendala utama yang sering dijumpai di daerah tropis basah, yaitu kondisi iklim yang berbeda dengan daerah asal tanaman soba di daerah subtropis.

Daerah tropis secara umum dicirikan pula oleh keadaan iklim yang hampir seragam. Namun dengan adanya perbedaan geografis seperti perbedaan ketinggian tempat akan menimbulkan perbedaan cuaca dan iklim secara keseluruhan pada tempat tersebut, terutama suhu, dan curah hujan. Unsur iklim tersebut banyak dikendalikan oleh letak lintang, ketinggian, jarak dari laut, topografi, jenis tanah dan vegetasi (Miller 1976). Aklimatisasi adalah upaya penyesuaian tumbuh tanaman terhadap perubahan iklim. Suhu merupakan salah satu faktor iklim yang memengaruhi proses metabolisme tanaman. Pengaruh suhu terutama terlihat pada laju perkembangan tanaman, seperti pada perkecambahan, pembentukan daun, dan inisiasi organ reproduktif. Penelitian sebelumnya telah dilakukan untuk mengkaji kesesuaian tumbuh soba di daerah iklim tropis basah khususnya di Indonesia. Suhu optimal pada tanaman soba berkisar antara 18-25oC, maka

(19)

3 dapat dikembangkan di dataran tinggi dengan ketinggian 1150 m dpl. Perbedaan ketinggian tempat berkonsekuensi pada perbedaan suhu udara antara satu tempat dengan tempat lainnya. Semakin tinggi suatu tempat dari permukaan laut maka suhunya akan semakin rendah. Semakin rendah suhu, bobot kering dan produksi per luas tanam semakin tinggi (Koesmaryono et al. 2005).

Jarak tanam berpengaruh pada produksi soba. Produksi soba pada jarak tanam rapat lebih tinggi dibandingkan jarak tanam renggang. Hal ini akibat dari modifikasi iklim mikro di sekitar tanaman. Populasi rapat menyebabkan radiasi yang masuk ke dalam tajuk berkurang, sehingga suhu dalam tajuk menjadi lebih rendah (Koesmaryono et al. 2005). Penelitian kadar rutin biji soba di daerah subtropis telah banyak dilakukan seperti pada musim dan lokasi yang berbeda (Vojtiskova et al. 2012; Kalinova dan Vrchotova 2011; Gupta et al. 2011; Li et al. 2011; Kim et al. 2008), namun belum ada informasi mengenai kadar rutin biji soba untuk daerah tropis basah.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kadar rutin dan produktivitas biji soba di daerah tropis basah. Selain itu, diperoleh informasi mengenai kondisi iklim mikro yang sesuai untuk peningkatan produktivitas kadar rutin biji soba. Pada akhirnya tanaman soba dapat dikembangkan sebagai bahan pangan substitusi karbohidrat, pangan fungsional dan sebagai tanaman industri biofarmaka (Gambar 1).

(20)

4

Tujuan Penelitian

Tujuan umum :

Menganalisis dan menguji kadar rutin dan produktivitas biji soba pada iklim mikro yang berbeda.

Tujuan khusus :

1. Untuk menentukan produktivitas biji soba pada iklim mikro yang berbeda. 2. Untuk menentukan kadar dan produktivitas rutin biji soba pada iklim mikro

yang berbeda.

Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini memberikan beberapa manfaat, yaitu:

1. Memberikan informasi yang lebih lengkap tentang kondisi iklim yang sesuai untuk budidaya tanaman soba di daerah tropis basah.

2. Memberikan informasi tentang kadar rutin dan produktivitas biji soba di daerah tropis basah.

3. Memberikan informasi tentang peranan faktor iklim terhadap kadar rutin pada tanaman soba.

Kebaharuan Penelitian

Kadar rutin pada tanaman soba di daerah tropis basah sangat dipengaruhi oleh faktor iklim dan budidaya tanaman.

Hipotesis

1. Suhu, radiasi, curah hujan, dan kelembaban berpengaruh pada pertumbuhan dan hasil tanaman soba.

2. Suhu, radiasi, curah hujan, dan kelembaban berpengaruh pada akumulasi panas dan umur panen tanaman soba.

(21)

5

2

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman dan Syarat Tumbuh Tanaman Soba

Botani umum

Soba merupakan golongan tanaman herbaceous. Secara taksonomi, tanaman ini termasuk devisi Spermatophyta, kelas Angiospermae, subkelas Dicotyledonaea, ordo Carophyllales, family Polygonaceae, genus Fagopyrum dan spesies Fagopyrum esculentum Moench. Spesies ini merupakan spesies yang umum dibudidayakan. Spesies soba yang dibudidayakan saat ini meliputi Fagopyrum esculentum, Fagopyrum tataricum, Fagopyrum cymosum (Wei 1995). Secara umum terdapat 15 spesies dalam genus Fagopyrum yang tersebar di wilayah subtropis Eropa-Asia.

Tanaman soba termasuk herba berdaun lebar dengan tinggi antara 40-120 cm. Batangnya berbentuk persegi, sukulen dan berongga. Kedudukan daunnya berseling, daun bagian atas melekat langsung pada batang dan daun bagian bawah memiliki tangkai daun yang panjangnya dapat mencapai 10 cm. Tanaman berbunga tiga minggu setelah tanam. Bunga berbentuk bunga majemuk yang muncul pada ketiak daun dan ujung batang, berukuran kecil dengan tangkai bunga kurang dari 1 cm. Umumnya bunga soba berwarna putih, merah muda dan merah (Grubben dan Siemonsma 1996). Menurut Cawoy et al. (2009) Tanaman soba berbunga secara akropetal (bawah ke atas). Pada umumnya soba memiliki tiga sampai lima cabang dari batang utama. Tipe pertumbuhannya adalah indeterminate, yaitu batang tetap tumbuh walaupun tanaman sudah memasuki fase generatif, sehingga pada satu tanaman terdapat biji yang sudah masak tetapi pada bagian atas masih terus terbentuk bunga. Soba memiliki akar tunggang dengan rambut akar yang banyak yang dapat mencapai kedalaman 45 cm, serta memiliki batang yang cukup kokoh dibandingkan dengan tanaman Gramineae. Soba termasuk tanaman yang sukulen dengan bentuk daun seperti hati dan datar (Edwardson 1996). Menurut Grubben dan Siemonsma (1996), masa tanam soba 10-12 minggu.

Syarat tumbuh tanaman soba

Tanaman soba adalah tanaman subtropis, tetapi dapat tumbuh dengan baik di dataran tinggi tropis. Fotosintesis tanaman ini berlangsung pada suhu 10-40ºC. Suhu optimum untuk fotosintesis berkisar antara 15-25ºC. Suhu optimum untuk

pertumbuhan dan perkembangan soba berkisar antara suhu 18-30ºC untuk siang

hari, dan 5-10ºCuntuk malam hari. Tanaman soba sensitif terhadap frost. Kecepatan angin yang tinggi dapat menyebabkan tanaman mengalami rebah, apabila hal ini terjadi pada masa pertumbuhan maka dapat mengurangi pembentukan biji (Grubben dan Siemonsma 1996).

Penyerbukan soba secara silang dengan bantuan serangga dan angin (Cawoy et al. 2009). Tanaman ini tumbuh dengan cepat dan dapat dipanen pada umur 75-90 hari tergantung keadaan lingkungan. Budidaya tanaman soba dilakukan dengan cara penaburan benih langsung pada lahan yang siap ditanami (Edwardson 1996).

(22)

6

namun optimal pada pH 6-7. Kebutuhan air tanaman soba tergolong rendah dan tidak akan tumbuh baik di tanah yang basah, toleran untuk tanah dengan tingkat kesuburan yang rendah (Sattell et al. 1998).

Kandungan nutrisi soba

Kandungan nutrisi soba dengan beberapa sumber pangan lain ditampilkan pada Tabel 1.

Unsur Iklim terhadap Tanaman Soba

Radiasi surya

Matahari atau surya merupakan sumber utama energi yang dipindahkan dalam bentuk gelombang elektromagnetik dan dijalarkan melalui pita panjang gelombang yang sangat lebar yang dikenal sebagai spektrum elektromagnetik, yaitu spektrum sinar gamma dan sinar X panjang gelombang kurang dari 0.001 mikron, sinar ultraviolet panjang gelombang berkisar 0.001-0.4 mikron, panjang gelombang berkisar antara 0.4-0.7 mikron merupakan bagian spektrum yang dapat terlihat disebut cahaya, panjang gelombang 0.7-1 mikron sinar inframerah, pita spektrum terakhir adalah gelombang mikro dan radio dengan panjang gelombang lebih dari 1 mikron (Ahrens 2009).

Energi radiasi dengan kisaran panjang gelombang 0.4-0.7 mikron merupakan sumber utama energi tanaman. Energi radiasi tersebut digunakan dalam penggabungan molekul karbondioksida (CO2) dan air (H2O) dalam proses

fotosintesis yang membentuk senyawa kimia (karbohidrat) dan berlangsung di Tabel 1 Perbandingan gizi komposisi soba dengan beberapa sumber pangan lain

per 100 g

Komposisi gizi Soba Beras putih Gandum Jagung

(23)

7 dalam sel yang mengandung klorofil. Karbohidrat hasil fotosintesis tadi digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan, yang pada akhirnya merupakan hasil (produk) tanaman. Produktivitas tanaman sangat dipengaruhi oleh besar kecilnya radiasi yang diterima tanaman.

Soba termasuk dalam kelompok tanaman hari pendek. Tanaman hari pendek adalah tanaman yang hanya dapat tumbuh dan menghasilkan dengan baik jika panjang hari tidak melebihi 14 jam (Jones 1992). Gardner et al. (2008) melaporkan bahwa tanaman soba termasuk dalam kelompok hari netral. Pembungaan tidak peka terhadap fotoperiode atau panjang hari tetapi berhubungan dengan faktor usia. Tanaman ini teradaptasi pada letak lintang berapapun dalam batas-batas suhu yang cukup luas. Suhu udara dan radiasi surya merupakan faktor-faktor ekologi yang penting dan berhubungan erat dengan varietas, waktu dan wilayah penanaman.

Lama penyinaran yang paling mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman soba berkisar antara 10-14 jam. Panjang hari minimum yang dibutuhkan tanaman soba untuk mendukung pertumbuhannya adalah 10 jam dan ini disebut sebagai lama penyinaran kritis (critical daylength) untuk tanaman soba (Xiaoling et al. 1995).

Penelitian yang dilakukan oleh Naijian et al. (1995) menunjukkan bahwa lama penyinaran yang paling efisien untuk tanaman soba berkisar 9.5-10 jam, pada kondisi tersebut laju pertumbuhan reproduktif berada pada level tertinggi. Zhao et al. 1995 menambahkan intensitas radiasi yang terlalu lama akan menyebabkan kelayuan dan kematian pada masa-masa awal pertumbuhan tanaman soba dan juga akan menghambat sistem perakaran tanaman soba serta memengaruhi kemampuan akar untuk menyerap air dan hara.

Suhu

Penyebaran suhu udara di permukaan bumi dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain jumlah radiasi yang diterima oleh permukaan bumi, pengaruh daratan dan lautan, letak ketinggian dan kemiringan tempat (Ahrens 2009). Suhu udara adalah salah satu faktor iklim yang berpengaruh terhadap laju pertumbuhan dan proses metabolisme tanaman, pengaruh suhu terutama terlihat pada laju perkembangan tanaman, seperti perkecambahan, pembentukan daun dan inisiasi organ reproduktif (Chai et al. 1995).

Suhu udara pada lokasi penanaman sangat memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Chai et al. 1995). Suhu udara juga menentukan karakteristik pertumbuhan dan hasil dari suatu kultivar. Suhu udara optimal untuk proses fotosintesis pada tanaman soba berkisar 15-25ºC. Suhu udara yang baik untuk pertumbuhan pada siang hari berkisar antara 18-30ºC dan pada malam hari

13-20ºC. Pada fase pembungaan tanaman ini membutuhkan suhu kurang dari 25ºC,

karena bila suhu terlalu tinggi menyebabkan bunga rontok sehingga dapat menurunkan produksi (Koesmaryono et al. 2003). Penyerbukan pada tanaman soba berlangsung pada suhu 18-30ºC dengan suhu optimal 20ºC. Penelitian yang

dilakukan pada ketinggian 1360 m dpl dengan suhu kurang dari 18ºC pada fase pembungaan menunjukkan rendahnya persentasi bulir yang masak, sementara di daerah dengan ketinggian 10 m dpl dan suhu lebih dari 30ºC saat fase

(24)

8

Tanaman soba sangat sensitif terhadap periode kekeringan, suhu yang melampaui 25ºC secara nyata dapat menurunkan hasil (Edwardson 1996). Laju

pertumbuhan soba dikendalikan oleh satuan panas (heat unit) dan berhubungan erat dengan suhu udara. Periode pemasakan tanaman soba berhubungan erat dengan derajat hari dan panjang hari cukup akurat untuk dijadikan metode penentuan masa panen (Edwardson 1996). Selanjutnya dinyatakan, bahwa suhu dasar (To) untuk tanaman soba 5ºC dan total heat unit atau akumulasi panas

adalah 1200 derajat hari (Edwardson 1996; Sobhani et al. 2012).

Ketinggian tempat

Pada lapisan troposfer bumi, secara umum suhu semakin rendah dengan bertambahnya ketinggian tempat. Hal ini disebabkan karena udara merupakan penyimpan panas terburuk, sehingga suhu udara sangat dipengaruhi oleh permukaan bumi tempat persentuhan antara udara dengan daratan dan lautan. Permukaan bumi tersebut merupakan pemasok panas terasa untuk pemanasan udara. Suhu udara akan turun menurut ketinggian. Rata-rata penurunan suhu udara di Indonesia sekitar 5-6ºC tiap kenaikan 1000 m (Handoko 1995). Menurut Hafez

(1968), pada dataran rendah ditandai oleh suhu lingkungan, tekanan udara dan oksigen (O2) yang tinggi. Dataran tinggi mengalami penurunan tekanan udara dan

suhu, serta peningkatan curah hujan. Penyebab utama penurunan suhu di dataran tinggi, yaitu tipisnya lapisan udara dan rendahnya kadar gas rumah kaca sehingga penyerapan panas menjadi berkurang. Cahaya matahari dibiarkan lewat tanpa mendapat hambatan sehingga radiasi bebas keluar dari bumi pada malam hari, dengan bertambahnya ketinggian tempat dari permukaan laut tekanan udara berkurang (Ahrens 2009).

Ketinggian tempat berpengaruh pada kandungan bahan aktif tanaman obat. Pujiasmanto et al. (2007) menunjukkan bahwa pada tanaman sambiloto, kandungan andrograpolid di dataran menengah (2.27%) lebih tinggi daripada di dataran rendah (1.37%). Pada tanaman pule pandak, kandungan reserpinanya lebih tinggi apabila ditanam di dataran rendah daripada di dataran tinggi (Sulandjari et al. 2005). Tanaman soba yang ditanam pada dua ketinggian tempat yang berbeda di Korea menghasilkan produksi yang berbeda. Pada ketinggian 700 m dpl lebih tinggi dibandingkan pada ketinggian 600 m dpl masing-masing sebesar 1.97 dan 1.65 ton ha-1 (Joon et al. 2001).

Musim tanam

(25)

9 Beberapa penelitian melaporkan bahwa penanaman pada waktu yang berbeda menghasilkan produksi tanaman soba yang berbeda. Omidbaigi dan De Mastro (2004) menunjukkan pada penanaman soba di atas tanggal 5 desember memberikan hasil yang lebih kecil dibandingkan penanaman sebelumnya. Tanaman soba yang ditanam pada musim hujan akan meningkatkan pertumbuhan vegetatif (Grubben dan Siemonsma 1996). Gorski (1986) menyatakan, bahwa periode kritis yang sensitif terhadap stress air dari tanaman soba adalah pada saat pembungaan.

Naungan

Radiasi surya merupakan salah satu unsur pengendali iklim utama, maka perubahan intensitas radiasi pada suatu permukaan atau tempat akan menyebabkan perubahan pada unsur-unsur lainnya atau iklim mikro di sekitarnya berubah. Pemberian naungan terhadap tanaman, atau tanaman yang terlindungi oleh tanaman lain selain mengurangi radiasi surya, juga akan memengaruhi unsur iklim lainnya di sekitar tanaman.

Pemberian naungan pada tanaman tertentu akan menyebabkan tanaman tersebut memperoleh intensitas radiasi surya dan suhu udara yang lebih sesuai untuk pertumbuhannya. Faisal (1984) menyatakan, bahwa dengan penggunaan paranet sebagai naungan akan menyebabkan pengurangan intensitas radiasi yang masuk ke permukaan tanaman. Naungan akan mengurangi transpirasi, menekan pertumbuhan gula, mempertahankan kelembaban tanah. Hulaesuddin (2001) melaporkan pada siang hari radiasi yang masuh terhalang oleh naungan, sehingga berkurangnya akumulasi radiasi yang sampai ke tanaman dan permukaan tanah. Hal ini mengakibatkan unsur iklim mikro berubah dan memengaruhi proses pertumbuhan tanaman. Cahaya dapat memengaruhi anatomi dan morfologi tanaman. Pada kondisi kurang cahaya atau ternaungi lapisan daun menjadi tipis (Fitter dan Hay 1991) karena anatomi di dalam daun berubah, yaitu lapisan palisade akan berkurang 2-3 sel menjadi satu pada daun-daun yang ternaungi (Taiz dan Zeiger 2002). Kondisi kekurangan cahaya mengakibatkan terganggunya metabolisme tanaman, sehingga menyebabkan pula menurunnya laju fotosintesis dan sintesis karbohidrat (Sopandie et al. 2003).

Pemberian naungan dapat memengaruhi kandungan bioaktif tanaman (Ghulamahdi et al. 2008; Urnemi et al. 2002). Konsentrasi total flavonoid pada kulit buah apel mengalami peningkatan pada level cahaya yang berbeda (Jackson 1980; Barrit et al. 1997). Hasil penelitian Martono (2011) melaporkan bahwa produksi asiatikosida dipengaruhi oleh tingkat naungan. Produksi asiatikosida tertinggi diperoleh pada perlakuan tanpa naungan.

Populasi

(26)

10

ini tergantung pada struktur tanaman dalam tegakan komunitas, struktur daun, batang, cabang individu tanaman. Besarnya pengurangan radiasi tergantung pada spesies, umur, dan kerapatan tanaman, atau radiasi yang diintersepsi oleh tanaman tergantung pada indeks luas daun dan sudut daun. Kerapatan populasi tanaman akan memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Koesmaryono (1996) menyatakan, kerapatan populasi tanaman dapat menciptakan tingkat persaingan antar tanaman dalam memperoleh air, radiasi surya dan unsur hara.

Penelitian yang dilakukan oleh Perdinan (2001) di Kebun Percobaan IPB Pasir Sarongge, Cipanas, dan Cianjur menunjukkan bahwa tanaman soba dengan kerapatan populasi 100 tanaman m-2 mempunyai ILD yang lebih kecil daripada

lahan dengan kerapatan populasi 150 tanaman m-2. Selain itu, penelitian tersebut juga menyatakan bahwa tanaman dengan kerapatan kurang menghasilkan berat biji yang lebih berat daripada populasi yang lebih rapat.

Penelitian yang dilakukan Solikin et al. (2007) pada tanaman sambiloto melaporkan bahwa tanaman sambiloto yang mempunyai kerapatan lebih tinggi menghasilkan kadar andrographolida lebih tinggi. Pada populasi 50.000 tanaman/ha (perlakuan tanpa pupuk) menghasilkan 6.80% andrographolida. Populasi tanaman 66.666 tanaman ha-1 dan 100.000 tanaman ha-1 berturut-turut menghasilkan 7.18% dan 8.86% andrographolida.

Akumulasi Panas Tanaman Soba

Proses perkembangan tanaman selama siklus hidupnya dapat diduga menggunakan konsep akumulasi panas. Konsep ini dikenal juga sebagai konsep thermal unit atau disebut juga accumulated growing degree days (GDD), yaitu cara untuk menghitung nilai panas setiap hari tanam. Nilai akumulasi GDD akan memberikan informasi perkiraan jumlah panas yang harus dicapai suatu tanaman untuk mencapai pertumbuhan yang optimal (Squire 1990).

Setiap tanaman membutuhkan nilai akumulasi panas tersendiri untuk mencapai satu siklus hidupnya. Edwardson et al. (1996) menyatakan bahwa perkembangan tanaman soba dari saat tanam sampai fase inisiasi atau pembungaan memiliki korelasi yang kuat dengan rata–rata suhu harian (r2 = 0,84).

Akan tetapi, korelasi antara suhu harian dengan fase pendewasaan sangat lemah (r2 = 0,53).

Menurut Grubben dan Siemonsma (1996), suhu optimal untuk perkembangan dan pertumbuhan soba adalah 15-25ºC. Pada saat pembungaan,

tanaman soba membutuhkan suhu kurang dari 25ºC karena bunga bisa rontok apabila suhu lingkungan lebih tinggi dari 25ºC. Edwardson et al. (1996)

melaporkan bahwa pertumbuhan tanaman soba memerlukan 1200ºC hari pada

suhu dasar 5ºC.

Flavonoid Rutin dan Biosintesis

(27)

11 senyawa polifenol yang mengandung 15 atom karbon yang tersusun dalam kofigurasi C6-C3-C6 yaitu cincin benzene yang dihubungkan oleh tiga atom

karbon yang dapat atau tidak dapat membentuk cincin ketiga. Rutin merupakan senyawa turunan dari flavonoid memiliki nama kimia 3,3’,4’,5,7-penta hydroxyl flavon-rutinoside atau kuersetin 3-rutinoside dengan berat molekul 610,51. Kalinova dan Vrchotova (2011) melaporkan salah satu senyawa yang dominan pada tanaman soba ialah rutin (Gambar 2)

Gambar 2 Struktur Rutin (Li et al. 2010)

Rutin memiliki aktivitas antioksidan yang kuat, memperkuat daya kapilaritas pembuluh darah dan membantu menghentikan edem atau pembengkakan vena. Rutin memiliki aktivitas antiinflamasi, sehingga dapat menghambat beberapa pertumbuhan sel kanker dan kondisi prekanker. Rutin tidak ditemukan pada biji-bijian lain seperti gandum, beras dan jagung, tapi ditemukan dalam kadar tinggi pada biji soba dimana tanaman tersebut dianggap sebagai sumber utama dari rutin (Gupta et al. 2011)

Biosintesis senyawa rutin melalui dua lintasan, yaitu asam sikimat dan asam malonat (Patra 2013). Biosintesis rutin dalam sel tumbuhan dimulai dengan prekursor fenilalanin yang melibatkan beberapa senyawa aktivator di antaranya satu molekul 4-coumaroyl-CoA dan 3 molekul malonyl-CoA dan melibatkan enzim chalcone synthase (CHS) untuk menghasilkan tetrahydroxychalcone (Naringenin chalcone). Chalcone Isomerase (CHI) kemudian mengkatalisis isomerase stereospesifik dari tetrahydroxychalcone menjadi naringenin. Naringenin dikonversi menjadi dihydrokempferol (DHK) oleh enzim flavones-3-hydroxylase.

(28)

12

Penelitian sebelumnya pada sampel gabah soba kadar rutin bervariasi mulai dari 46.05 sampai 84.80 mgkg-1 berat kering (Kalinova dan Vrchotova 2011).

Rendahnya nilai kandungannya dapat disebabkan oleh (i) perbedaan varietas, (ii) perbedaan lingkungan khususnya radiasi sinar matahari (Kreft 2002). Daya hasil biji soba mencapai 1.2 ton ha-1 dan jumlah tersebut dapat memproduksi sekitar

300 g rutin (Kalinova dan Dadakova 2006). Kadar flavonoid yang berbeda-beda dalam satu spesies tanaman bergantung pada tahap perkembangan, cekaman-cekaman lingkungan seperti radiasi UV, kekeringan, irigasi, kondisi tanah, penyiapan lahan, infestasi hama dan pupuk (Dixon dan Paiva 1995).

(29)

13

3 METODOLOGI PENELITIAN

Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan pada dua lokasi yang berbeda ketinggiannya, yaitu Kebun Pembibitan Kopo, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor 6o39’31.3” LS

dan 106o53’41.1”BT pada ketinggian 600 meter dari permukaan laut (m dpl) dan

Kebun Percobaan IPB Pasir Sarongge, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur 6o46’05.0” LS dan 107o02’57.0” BT pada ketinggian 1150 m dpl. Percobaan

dilaksanakan pada musim kemarau bulan Mei sampai bulan Agustus 2012, percobaan musim hujan dilaksanakan pada bulan November 2012 sampai bulan Januari 2013. Percobaan ini merupakan serial percobaan tunggal yang terdiri dari empat percobaan tunggal, yaitu di ketinggian 600 m dpl musim kemarau dan musim hujan, di ketinggian 1150 m dpl musim kemarau dan musim hujan. Sebagai perlakuan digunakan ketinggian, musim, dan naungan.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah benih tanaman soba (F. esculentum Moench) kultivar Harunoibuki, pupuk kandang 10 ton ha-1, dan abu sekam 2 ton ha-1.Alat yang digunakan adalah alat pengolah tanah (cangkul, kored, tugal, ajir), tube solarimeter, digital voltmeter, termometer bola basah dan bola kering, oven, timbangan, paranet 55%, tiang penyangga naungan paranet (bambu), penggaris/mistar, alat tulis, milimeter blok. Alat untuk mengukur kadar rutin yaitu HPLC (High Performance Liquid Chromatography) merek Alliance 2695 (Waters) dengan detektor Photodiode Array 2996 (Waters), jenis kolom C18 berukuran 5 um x 4.6 mm x 150 mm (Waters), laju alir 1 mL min-1, volume

injeksi 10 uL pada suhu ruang. Fase gerak yang digunakan, yaitu H2O:0.1% asam

format: asetonitril, panjang gelombang yang digunakan 254 nm. Standar rutin diperoleh dari Tokyo Chemistry Industry (TCI).

Rancangan Percobaan dan Analisis Data

Percobaan dirancang menggunakan rancangan tersarang (nested design). Bahan biji soba diperoleh dari hasil lapang, dan selanjutnya dianalisis di laboratorium untuk menentukan kadar kadar rutin biji soba menggunakan High Performance Liquid Chromatography (HPLC), Standar rutin diperoleh dari Tokyo Chemistry Industry (TCI).Penelitian ini dilakukan dengan percobaan terdiri dari empat faktor, yaitu populasi, naungan, musim tanam, dan ketinggian tempat.

Percobaan dirancang menggunakan rancangan petak tersarang (nested design), dengan tiga ulangan model linier:

Yijklm = µ + Li + Mj + Nk + (B/L*M*N)m(i*j*k) + Jl + LMij + LNik+ LJil +

(30)

14

LMij = pengaruh interaksi lokasi*musim ke ij;

LNik = pengaruh interaksi lokasi*naungan ke ik;

Ljil = pengaruh interaksi lokasi*jarak tanam ke il; MNjk = pengaruh interaksi musim*naungan ke jk;

MJjl = pengaruh interaksi musim*jarak tanam ke jl;

NJkl = pengaruh interaksi naungan*jarak tanam ke kl;

LMNJijkl = pengaruh interaksi lokasi*musim*naungan *jarak tanam ke

T1M1N0P2 : Ketinggian 600 m dpl, musim kemarau, tanpa naungan, populasi 200 tan m-2

T1M1N1P1 : Ketinggian 600 m dpl, musim kemarau, naungan, populasi 50 tan m-2

T1M1N1P2 : Ketinggian 600 m dpl, musim kemarau, naungan, populasi 200 tan m-2

T1M2N0P1 : Ketinggian 600 m dpl, musim hujan, tanpa naungan, populasi 50 tan m-2

T1M2N0P2 : Ketinggian 600 m dpl, musim hujan, tanpa naungan, populasi 200 tan m-2

T1M2N1P1 : Ketinggian 600 m dpl, musim hujan, naungan, populasi 50 tan m-2

T1M2N1P2 : Ketinggian 600 m dpl, musim hujan, naungan, populasi 200 tan m-2

T2M1N0P1 : Ketinggian 1150 m dpl, musim kemarau, tanpa naungan, populasi 50 tan m-2

T2M1N0P2 : Ketinggian 1150 m dpl, musim kemarau, tanpa naungan, populasi 200 tan m-2

T2M1N1P1 : Ketinggian 1150 m dpl, musim kemarau, naungan, populasi 50 tan m-2

T2M1N1P2 : Ketinggian 1150 m dpl, musim kemarau, naungan, populasi 200 tan m-2

T2M2N0P1 : Ketinggian 1150 m dpl, musim hujan, tanpa naungan, populasi 50 tan m-2

T2M2N0P2 : Ketinggian 1150 m dpl, musim hujan, tanpa naungan, populasi 200 tan m-2

T2M2N1P1 : Ketinggian 1150 m dpl, musim hujan, naungan, populasi 50 tan m-2

T2M2N1P2 : Ketinggian 1150 m dpl, musim hujan, naungan, populasi 200 tan m-2

U1; U2; U3 : Ulangan 1; 2; dan 3

(31)

15

AP = s =1(� � �� − � ) (1)

Akumulasi panas (AP) : Satuan panas (derajat hari)

To : Suhu dasar

Trataan : Suhu rata-rata harian pada setiap masa perkembangan soba (oC)

Data hasil pengamatan dianalisis rata-rata perlakuan menggunakan Minitab V.16. Selanjutnya data hasil pengamatan tentang pertumbuhan dan hasil tanaman soba dianalisis dengan analisis ragam dan uji lanjut Tukey pada pada taraf 5 persen. Analisis biplot digunakan untuk melihat hubungan kualitatif dan analisis regresi digunakan untuk mengetahui pengaruh kuantitatif iklim dan produksi, data dianalisis keragaman menggunakan Minitab 16. Demikian pula untuk pengukuran kadar dan produktivitas rutin biji soba perlakuan digunakan análisis ragam (ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji Tukey (untuk empat perlakuan), sedangkan untuk mengetahui hubungan antara perlakuan digunakan analisi biplot. Untuk mengetahui pengaruh radiasi, suhu, curah hujan, dan kelembabanpadakadar dan produkstivitas rutin digunakan analisis regresi linear berganda.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Pertumbuhan dan perkembangan serta produksi tanaman merupakan hal yang penting dalam pertanian. Faktor lingkungan khususnya iklim berpengaruh dalam peningkatan produksi tanaman. Tanaman setahun apabila ditanam di dataran rendah berumur lebih singkat. Produksi tanaman kurang apabila dalam periode pertumbuhan mengalami cekaman air atau suhu. Produksi tanaman akan rendah apabila dalam pertumbuhannya terlalu banyak hari-hari mendung.

Kejadian-kejadian di atas mungkin ditemui dalam keadaan lingkungan yang sangat beragam. Akibatnya pendugaan produksi tanaman menjadi sangat sulit. Apabila faktor-faktor lingkungan yang memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman serta produksi dapat diidentifikasi maka masalah pendugaan produksi dapat menjadi lebih mudah dipecahkan. Kendala pertumbuhan dan hasil seperti diuraikan seperti kendala lingkungan fisik meliputi iklim secara langsung ataupun tidak langsung berfungsi dalam penyediaan dan pengaturan air, energi. Bertitik tolak dari faktor pembatas utama pertumbuhan dan hasil, maka penelitian yang mencakup faktor-faktor yang secara langsung atau tidak langsung berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan serta hasil perlu dilakukan.

Identifikasi dan interpretasi agroklimat suatu daerah pertanian perlu untuk digunakan sebagai dasar perencanaan budidaya tanaman di daerah tersebut. Di daerah lokasi penelitian yaitu di Desa Kopo, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor dengan ketinggian 600 m dpl 6o39’31.3”LS dan 106o53’41.1”BT. Kebun

(32)

16

dan interpretasi agroklimat dilakukan berdasarkan pengamatan unsur iklim mulai tahun 2001 sampai dengan tahun 2011.

Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor

Suhu dan kelembaban

Berdasarkan data dari stasiun Citeko selama periode 2001 sampai dengan 2011, daerah penelitian di ketinggian 600 m dpl memiliki suhu rata-rata bulanan sebesar 24.9oC dengan suhu maksimum 29.9oC dan suhu minimum 20oC.

Kelembaban udara rata-rata bulanan antara 78.5 sampai 89.3 % (Gambar 4).

Gambar 4 Unsur iklim suhu dan kelembaban udara pada ketinggian 600 m dpl periode 2001-2011 Stasiun Citeko

Curah hujan

Besarnya curah hujan rata-rata bulanan sepanjang tahun beragam dari curah hujan tertinggi 536 mm pada bulan Februari dan terendah 66 mm pada bulan Juni (Gambar 5). Periode bulan basah yaitu bulan yang curah hujan lebih besar dari 200 mm terjadi pada bulan Oktober sampai April, periode bulan lembab, yaitu bulan dengan curah hujan kurang dari 200 mm tapi lebih besar dari 100 mm

(33)

17 terjadi pada bulan Mei, Juni dan September, sedangkan periode bulan kering yaitu bulan yang curah hujannya kurang dari 100 mm pada bulan Juli dan Agustus. Berdasarkan klasifikasi agroklimat Oldeman, Cisarua termasuk dalam zona iklim B2 yaitu bulan basah selama 7-9 bulan, dan terdapat bulan kering 2-3 yaitu pada bulan Juli dan Agustus.

Hasil analisis tanah Balai Penelitian Tanah di lokasi Cisarua menunjukkan pH sangat masam (4.2). Kondisi tanah di Cisarua relatif kurang subur hal ini ditunjukkan dengan kapasitas tukar kation yaitu banyaknya kation yang dapat dijerap oleh tanah per satuan berat tanah dan kandungan kation kalsium, magnesium dan kalium sangat rendah. Hasil analisis untuk kejenuhan basa yaitu perbandingan antara jumlah kation-kation basa dengan jumlah kasion asam yang ada dalam kompleks jerapan tanah di Cisarua rendah.

Berdasarkan karakteristik iklim khususnya suhu udara pada ketinggian tempat yang berbeda, yaitu di Pacet dengan ketinggian 1150 m dpl dengan suhu rata-rata 21.4oC dan di Cisarua dengan ketinggian 600 m dpl dengan suhu rata-rata 24.9oC tanaman soba dapat dibudidayakan. Hal ini sesuai dengan nilai kisaran

optimum untuk suhu pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman soba 18-25oC (Koesmaryono dan Budiman 2009). Tanaman soba akan tumbuh baik pada kisaran suhu udara siang hari 18-30oC dan suhu udara malam hari lebih

rendah 5-10oC. Suhu untuk aktivitas fotosintesis berada pada kisaran 10-40oC

(Grubben dan Siemonsma 1996).

Kelembaban udara merupakan indikator keadaan defisit uap air di sekitar pertanaman. Semakin tinggi suhu udara, kapasitas udara untuk menampung uap air persatuan volume udara juga semakin besar. Tanaman soba dikembangkan di daerah yang bersuhu dingin dengan kelembaban udara yang tinggi. Kelembaban optimal bagi tanaman soba sebesar 60-80 persen.

Tanaman soba mempunyai kecenderungan toleran terhadap kekeringan dibanding tanaman lain, seperti gandum, kedelai (Kephart et al. 1997). Selanjutnya Sattell et al. (1998) menyatakan bahwa kebutuhan air tanaman soba rendah dan tidak dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang basah. Kebutuhan air tanaman berkisar antara 60 mm pada awal pertumbuhan sampai 120 mm pada pertumbuhan paling aktif (Koesmaryono dan Budiman 2009).

Hasil analisis tanah menunjukkan tanah di daerah Pacet relatif lebih subur, sedangkan tanah di Cisarua kurang subur. Hasil penelitian sebelumnya melaporkan bahwa tanaman soba dapat tumbuh pada tanah yang kurang subur (Kreft 1995; Popovic et al. 2013; Ikanovic et al. 2013), selanjutnya tanaman soba dapat tumbuh pada lahan yang memiliki kandungan nitrogen yang rendah (Oplinger et al. 1989; Koesmaryono dan Budiman 2009). Tanaman soba juga dapat dibudidayakan pada lahan baru tanpa pemberian pupuk, tanah rawa kering, lahan kering (Oplinger et al. 1989).

Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur

Suhu dan kelembaban

(34)

18

sebesar 21.4oC dengan suhu maksimum 25.8oC dan suhu minimum 16.9oC. Kelembaban udara rata-rata bulanan antara 76.6 sampai 86.5 % (Gambar 6).

Gambar 6 Unsur iklim suhu dan kelembaban udara pada ketinggian 1150 m dpl periode 2001-2011 Stasiun Pacet

Curah hujan

Besarnya curah hujan rata-rata bulanan sepanjang tahun beragam dari curah hujan tertinggi 598 mm pada bulan Februari dan terendah 119 mm pada bulan Juli (Gambar 7). Periode bulan basah yaitu bulan yang curah hujan lebih besar dari 200 mm terjadi pada bulan Oktober sampai Mei, periode bulan lembab yaitu bulan dengan curah hujan kurang dari 200 mm tapi lebih besar dari 100 mm terjadi pada bulan Juni sampai September, sedangkan periode bulan kering yaitu bulan yang curah hujannya kurang dari 100 mm tidak terjadi di daerah Pacet.Berdasarkan klasifikasi agroklimat Oldeman, Pacet termasuk dalam zona iklim B1 yaitu bulan basah selama 7-9 bulan, dan tidak terdapat bulan kering.

Hasil analisis tanah Balai Penelitian Tanah menunjukkan pH agak masam (5.7). Kondisi tanah di Pacet relatif subur hal ini ditunjukkan dengan kapasitas tukar kation yaitu banyaknya kation yang dapat dijerap oleh tanah per satuan berat tanah dan kandungan kation kalsium, magnesium dan kalium berkisar sedang sampai tinggi. Hasil analisis untuk kejenuhan basa, yaitu perbandingan antara Gambar 7 Histogram curah hujan pada ketinggian 1150 m dpl periode

(35)

19 jumlah kation-kation basa dengan jumlah kation asam yang ada dalam kompleks jerapan tanah di Pacet sangat tinggi.

4.2 Akumulasi Panas dan Umur Panen Tanaman Soba pada Kondisi Iklim yang Berbeda

4.2.1 Kondisi Iklim pada Ketinggian Berbeda

Ketinggian Tempat 600 m dpl (Kopo)

Suhu

Pada musim kemarau suhu rata-rata pada kondisi tanpa naungan 29.3oC

sedangkan pada kondisi dengan naungan lebih rendah sebesar 0.9oC (28.4)oC.

Suhu rata-rata minimum pada kondisi tanpa naungan sebesar 26.4 oC dan 25.9oC

pada kondisi dibawah naungan. Suhu rata-rata maksimum cukup tinggi yaitu 32.9 oC (tanpa naungan) dan 32oC (dengan naungan) (Gambar 8a).

Pada musim hujan suhu rata-rata 27.4oC (tanpa naungan) dan 26.3oC

(dengan naungan). Rata-rata suhu minimum pada musim hujan tanpa naungan sebesar 25.9oC sedangkan dengan naungan 23.9oC. Rata-rata suhu maksimum

29.7oC (tanpa naungan) dan 29.1oC (dengan naungan) (Gambar 8b).

(36)

20

Radiasi

Pada musim kemarau radiasi rata-rata di ketinggian 600 m dpl 10.3 MJ m-2

(tanpa naungan) dan 6.4 MJ m-2 (dengan naungan). Radiasi minimumnya 7.2 MJ

m-2 (tanpa naungan) dan 5.0 MJ m-2 (dengan naungan). Radiasi maksimumnya 12.

5 MJ m-2 (tanpa naungan) dan 7.4 MJ m-2 (dengan naungan) (Gambar 9a).

Pada musim hujan radiasi rata-rata pada kondisi tanpa naungan sebesar 7 MJ m-2 dan 4.9 MJ m-2 pada kondisi dengan naungan. Radiasi minimumnya 4 MJ

m-2 (tanpa naungan) dan 3.6 MJ m-2 (dengan naungan). Radiasi maksimumnya sebesar 9 MJ m-2 (tanpa naungan) dan 5.8 MJ m-2 (dengan naungan) (Gambar 9b).

Kelembaban

Pada musim hujan kelembaban rata-rata di ketinggian 600 m dpl pada kondisi tanpa naungan sebesar 87.9% dan pada kondisi dengan naungan sebesar 89.3%. Kelembaban minimum 81% (tanpa naungan) dan 83% (dengan naungan). Kelembaban maksimum sebesar 93% (tanpa naungan) dan 94% (dengan naungan) (Gambar 10b).

Curah hujan

Pada musim kemarau di ketinggian 600 m dpl jumlah curah hujan sebesar 158.1 mm. Curah hujan minimum 0.1 mm dan maksimum 38.9 mm (Gambar 11a).

Pada musim hujan di ketinggian 600 m dpl jumlah curah hujan sebesar 724.3 mm. Curah hujan minimum sebesar 0.2 mm dan maksimum 63.2 mm (Gambar 11b).

Gambar 9b Radiasi pada musim berbeda di ketinggian 600 m dpl – musim hujan Gambar 9a Radiasi pada musim berbeda di ketinggian 600 m dpl – musim

(37)

21

Ketinggian tempat 1150 m dpl (Pasir Saronggeng)

Suhu

Rata-rata suhu udara pada musim kemarau di ketinggian 1150 m dpl adalah sebesar 23.8oC, suhu minimumnya sebesar 21.2oC dan maksimum sebesar 25.6oC.

Sedangkan suhu rata-rata dengan naungan adalah sebesar 23.5oC dengan suhu

Gambar 11a Curah hujan pada musim berbeda di ketinggian 600 m dpl – musim kemarau

Gambar 10b Kelembaban pada musim berbeda di ketinggian 600 m dpl – musim hujan

(38)

22

minimum dan maksimum lebih rendah jika dibandingkan dengan tanpa naungan yaitu sebesar 20.8oC dan 25.1oC (Gambar 12a).

Pada musim hujan di ketinggian 1150 m dpl suhu udara rata-rata lebih rendah jika dibandingkan dengan musim kemarau yaitu 21.8oC (tanpa naungan)

dan 21.4oC (dengan naungan). Suhu minimum pada musim hujan dengan naungan dan tanpa naungan adalah sebesar 18.2oC nilai ini lebih rendah sekitar 2 oC jika di bandingkan dengan musim kemarau. Suhu maksimum pada musim

hujan tanpa naungan sebesar 25oC dan dengan naungan lebih rendah 0.5oC (Gambar 12b).

Gambar 12b Suhu pada musim berbeda di ketinggian 600 m dpl – musim hujan Gambar 12a Suhu pada musim berbeda di ketinggian 1150 m dpl – musim

kemarau

(39)

23

Radiasi

Pada musim kemarau di ketinggian 1150 m dpl radiasi rata-rata yaitu sebesar 12.3 MJ m-2 pada kondisi tanpa naungan, sedangkan dibawah naungan

11.1 MJ m-2. Radiasi minimum yaitu sebesar 9.2 MJ m-2 dan radiasi maksimum

15.1 MJ m-2 pada kondisi tanpa naungan. Kondisi dengan naungan jika dibandingkan dengan kondisi tanpa, maka radiasi minimumnya lebih rendah 0.5 MJ m-2, sedangkan radiasi maksimumnya lebih rendah 1.8 MJ m-2

(Gambar 13a).

Pada musim hujan di ketinggian 1150 m dpl radiasi rata-rata yaitu sebesar 6.8 MJ m-2 baik di kondisi tanpa naungan maupun pada kondisi dengan naungan.

Nilai ini lebih rendah jika dibandingkan dengan pada musim kemarau sebesar 5.4 MJ m-2. Radiasi minimum yaitu sebesar 4.7 MJ m-2 (tanpa naungan) dan 4,5 MJ

m-2 dengan naungan. Radiasi maksimum yaitu sebesar 11.2 MJ m-2 (tanpa

naungan) dan 11.0 MJ m-2 (dengan naungan)(Gambar 13b).

Kelembaban

Rata-rata kelembaban pada musim kemarau di ketinggian 1150 m dpl yaitu sebesar 74% (tanpa naungan) dan 75.2% (dengan naungan). Kelembaban minimum pada musim kemarau pada kondisi tanpa naungan dan dengan naungan turut sebesar 67 % dan 69% sedangkan kelembaban maksimum berturut-turut sebesar 79% dan 82% (Gambar 14a).

Gambar 13b Radiasi pada musim berbeda di ketinggian 1150 m dpl – musim hujan

(40)

24

Pada musim hujan kelembaban rata-rata lebih tinggi yaitu sebesar 85.4% (tanpa naungan) dan 86.9% (dengan naungan). Pada musim hujan kelembaban minimum rata-rata pada kondisi tanpa naungan dan dengan naungan berturut-turut 75% dan 77%. Kelembaban maksimum pada musim hujan 94% dan 95% (Gambar 14b).

Curah hujan

Jumlahcurah hujan pada musim kemarau di ketinggian 1150 m dpl sebesar 238.8 mm. Curah hujan minimum 1.8 mm dan maksimum sebesar 32.4 mm (Gambar 15a).

Pada musim hujan jumlah curah hujan di ketinggian 1150 m dpl sebesar 1850.1 mm. Curah hujan minimum sebesar 6.1 mm dan maksimum 75.3 mm (Gambar 15b).

4.2.2 Akumulasi Panas Tanaman Soba pada Iklim Mikro yang Berbeda

Akumulasi panas tanaman (AP) tanaman soba dinyatakan dengan derajat Celsius hari (oC h). Pertumbuhan dan perkembangan tanaman soba kultivar

Harunoibuki dapat didekati dengan menggunakan konsep akumulasi panas. Gambar 14b Kelembaban pada naungan berbeda di ketinggian 1150 m dpl –

musim hujan

(41)

25

Selama siklus hidupnya, tanaman akan mengumpulkan sejumlah panas tertentu untuk setiap fase perkembangannya.

4.2.3 Umur Panen Tanaman Soba pada Iklim Mikro yang Berbeda

Kondisi iklim berpengaruh pada umur panen dan akumulasi tanaman soba. Hasil penelitian menunjukkan umur panen dan akumulasi panas dipengaruhi oleh ketinggian, musim, dan naungan. Selanjutnya, hasil pengukuran akumulasi panas secara empiris menunjukkan perbedaan pada tahapan perkembangan (berkecambah, berbunga, bunga mekar, biji hijau, dan panen).

Ketinggian, Musim dan Naungan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan ketinggian tempat, musim, dan naungan memberikan umur panen 51 sampai 70 hari. Perbedaan umur panen disebabkan kondisi iklim yang berbeda (Gambar 16).

(42)

26

Umur panen terpanjang didapat pada perlakuan ketinggian 1150 m dpl musim kemarau dengan naungan yaitu 70 hari. Selanjutnya diikuti oleh perlakuan ketinggian 1150 m dpl musim kemarau tanpa naungan umur panen 60 hari, ketinggian 600 m dpl musim kemarau dengan naungan 59 hari, ketinggian 1150 m dpl musim hujan tanpa naungan dan ketinggian 1150 m dpl musim hujan dengan naungan 57 hari, ketinggian 600 m dpl musim kemarau tanpa naungan, ketinggian 600 m dpl musim hujan tanpa naungan, dan ketinggian 600 m dpl musim hujan dengan naungan umur panen 51 hari.

Secara keseluruhan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman soba pada ketinggian 1150 m dpl, musim kemarau pada tanaman ternaungi lebih lebih panjang 70 hari dari kombinasi perlakuan lainnya. Pada ketinggian 600 m dpl, munculnya tanaman ke permukaan tanah lebih cepat satu hari dibanding dengan ketinggian 1150 m dpl. Hal ini disebabkan pada ketinggian 600 m dpl suhu udara rata-rata lebih tinggi mengakibatkan periode satu siklus hidup lebih pendek dibanding di ketinggian 600 m dpl.

Kombinasi perlakuan ketinggian, musim, dan naungan berpengaruh pada akumulasi panas tanaman soba. Akumulasi panas tertinggi terdapat pada kombinasi ketinggian tempat 600 m dpl, musim kemarau, dan pada tanaman yang ternaungi sebesar 1379.5 derajat hari. Akumulasi panas terendah didapat pada ketinggian 1150 m dpl, musim hujan, pada tanaman yang ternaungi sebesar 936 derajat hari. Penurunan akumulasi panas di ketinggian 1150 m dpl musim hujan dengan naungan sebesar 47.4 persen dari ketinggian 600 m dpl musim kemarau dengan naungan. Rendahnya akumulasi di ketinggian 1150 m dpl, musim hujan, pada tanaman ternaungi disebabkan oleh kondisi iklim mikro, yaitu suhu. Pada ketinggian 1150 m dpl dengan suhu rendah pada saat musim hujan intensitas radiasi lebih rendah, bila mencapai tanaman terhalang oleh adanya naungan sehingga akumulasi panas menjadi lebih rendah dibanding dengan ketinggian 600 m dpl musim kemarau dengan naungan. Ketinggian tempat dan musim Gambar 16 Periode satu siklus tanaman soba pada ketinggian, musim, dan

(43)

27 berpengaruh pada akumulasi panas tanaman soba (Tabel 2). Dalam penelitian umur panen dan akumulasi panas tanaman soba pada kondisi iklim yang berbeda, pengamatan pada populasi tidak dilakukan.

Hasil analisis biplot (Gambar 17) yang terbentuk mampu menjelaskan keragaman data sebesar (87.9%). Suhu berkorelasi positif dengan akumulasi panas. Umur panen berkorelasi positif dengan radiasi. Kelembaban berkorelasi postif dengan curah hujan. Curah hujan berkorelasi negatif dengan akumulasi panas. Berdasarkan hasil analisis hubungan antara umur panen dan faktor yang memengaruhi (radiasi, suhu, curah hujan dan kelembaban), terlihat bahwa seluruh variabel memiliki tanda negatif yang berarti bahwa peningkatan setiap satuan dari masing-masing variabel radiasi, suhu, curah hujan dan kelembaban akan menyingkatkan umur panen sebesar koefisien regresi masing-masing variabel.

Variabel yang memberikan pengaruh nyata pada umur panen adalah radiasi, suhu dan kelembaban, sebaliknya curah hujan tidak berbeda nyata. Peningkatan radiasi, suhu dan kelembaban berdampak pada penurunan/pengurangan umur panen masing-masing sebesar 2.230, 1.996 dan 1.369. Variabel yang memiliki pengaruh paling besar terhadap penurunan umur panen adalah radiasi.

Tabel 2 Rataan akumulasi panas (0C hari) pada periode perkembangan tanaman

soba pada berbagai perlakuan yang berbeda

Perlakuan Kecambah Berbunga Bunga mekar Biji hijau Panen (ohari) (ohari) (ohari) (ohari) (ohari)

T1M1N0 100.8 371.0 660.0 738.0 1239.3

T1M1N1 95.8 356.0 660.4 760.0 1379.5

T1M2N0 87.3 439.9 531.4 666.7 1143.2

T1M2N1 84.2 466.0 549.0 679.1 1086.0

T2M1N0 88.9 329.8 580.9 674.0 1126.9

T2M1N1 87.2 324.5 626.7 718.3 1297.2

T2M2N0 90.2 245.8 355.2 577.7 955.0

T2M2N1 88.5 275.0 396.3 565.2 936.0

Ket:T1 = Ketinggian 600 m dpl; T2 = Ketinggian 1150 m dpl; M1 = Musim kemarau; M2 = Musim hujan; N0 = Tanpa naungan; N1 = Dengan naungan

(44)

28

Hasil analisis persamaan regresi diperoleh persamaan seperti pada Tabel 3 dengan nilai koefisien determinan sebesar 0.837. Hal ini berarti radiasi, suhu, kelembaban, dan curah hujan memberikan pengaruh secara simultan pada umur panen sebesar 83.7%.

Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi akumulasi panas adalah radiasi, suhu, curah hujan dan kelembaban. Berdasarkan hasil pengujian, maka diperoleh bahwa radiasi, curah hujan dan kelembaban memiliki tanda positif, ini berarti bahwa perubahan satu satuan variabel radiasi, curah hujan dan kelembaban akan menurunkan atau mengurangi akumulasi panas masing-masing sebesar koefisien regresi radiasi, curah hujan dan kelembaban. Suhu memiliki tanda positif yang berarti bahwa perubahan akumulasi panas sejalan dengan perubahan masing-masing variabel penjelasnya. Hasil analisis regresi yang dilakukan diperoleh factor iklim, yaitu radiasi, suhu, curah hujan, dan kelembaban secara simultan memengaruhi akumulasi panas ditampilkan pada Tabel 4.

Hasil analisis persamaan regresi diperoleh persamaan seperti pada Tabel 4 dengan nilai koefisien determinan sebesar 0.90. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan kombinasi perlakuan ketinggian tempat, musim, dan naungan yang menggambarkan kondisi iklim, yaitu suhu, radiasi, kelembaban, dan curah hujan berpengaruh pada umur panen dan akumulasi panas. Respon kondisi iklim berbeda antara umur panen dan akumulasi panas. Meskipun umur panen sama, tetapi nilai akumulasi panas yang diberikan berbeda. Pertumbuhan dan perkembangan tanaman soba kultivar Harunoibuki dapat didekati dengan menggunakan konsep akumulasi panas. Selama siklus hidupnya, tanaman akan mengumpulkan sejumlah panas tertentu untuk setiap fase perkembangannya. Waktu yang diperlukan kultivar Harunoibuki untuk satu siklus hidupnya relatif berbeda, yaitu selama 51 – 70 hari dengan total akumulasi panas sebesar 936-1379⁰C hari. Berdasarkan hasil analisis hubungan antara umur panen dan unsur iklim, yaitu suhu, radiasi, kelembaban, dan curah hujan, terlihat bahwa seluruh variabel memiliki pengaruh signifikan. Hal ini disebabkan oleh kondisi iklim, suhu, radiasi, kelembaban, dan curah hujan secara simultan berpengaruh terhadap Tabel 4 Hubungan unsur iklim pada akumulasi panas (oC hari)

Variabel (Y) Persamaan Regresi P R2

Akumulasi

panas Y = 3749 - 51.2R + 15.1S - 6.56CH- 29.6RH 0.000 90.0

Ket: R = Radiasi; S = Suhu; CH = Curah hujan; RH = Kelembaban

Tabel 3 Hubungan unsur iklim pada umur panen

Variabel (Y) Persamaan Regresi P R2

Umur Panen Y = 245 - 2.23R - 2.00S - 0.326CH - 1.37RH 0.000 83.7

Gambar

Gambar 1   Diagram mekanisme produksi dan kadar rutin pada iklim mikro yang  berbeda
Gambar 5   Histogram curah hujan pada ketinggian 600 m dpl periode 2001-2011  Stasiun Citeko
Gambar 6  Unsur iklim suhu dan kelembaban udara pada ketinggian 1150 m dpl  periode 2001-2011 Stasiun Pacet
Gambar 9b  Radiasi pada musim berbeda di ketinggian 600 m dpl – musim hujan  Gambar 9a  Radiasi  pada  musim  berbeda  di  ketinggian  600  m  dpl  –  musim
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada implementasi Kartu Sehat Bekasi pada tahun 2017 sesuai dengan Keputusan Kepala Dinas Kesehatan Nomor 440/Kep.21- Dinkes/IV/2017 tentang petunjuk teknis pelaksanaan

Perairan Muara Badak memiliki 24 jenis plankton, dari hasil analisis indeks keanekaragaman, indeks keseragaman dan indeks dominansi menunjukkan bahwa perairan ini

Sesuai dengan rumusan masalah yang telah ditentukan, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk meningkatkan hasil belajar matematika melalui penerapan

Berdasarkan hasil evaluasi terhadap area pelayanan yang memenuhi standar kualitas air minum (drinkable) antara bulan Januari 2016 dan Maret 2016 di wilayah barat, terdapat

Perhitungan rencana anggaran biaya dari tahap pembangunan jaringan sistem penyaluran air buangan offsite sanitasi kawasan di Kota Solok dapat dilihat dalam tabel

Berdasarkan tabel di atas dapat disimpulkan bahwa pada taraf kognitif, soal UTS dan UAS IPA tipe X SMA Ittihad Makassar kurang baik pada taraf kognitif, karena berdasarkan revisi

Pada Tugas Akhir ini menghasilkan simulasi yang menampilkan proses modulasi OFDM dengan BPSK, Sehingga dapat dilihat perubahan sinyal yang terjadi pada setiap blok diagram..

Berdasarkan rumusan masalah dan kerangka teori yang digunakan, maka dapat ditarik hipotesa bahwa upaya Barack Obama dalam mengatasi citra buruk Amerika Serikat di