• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potensi Interaksi Obat Antihipertensi Pada Pasien Hipertensi Di Puskesmas Di Kota Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Potensi Interaksi Obat Antihipertensi Pada Pasien Hipertensi Di Puskesmas Di Kota Medan"

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

Lampiran 1. Hasil Uji Normalitas Data Antara Variabel Bebas Terhadap Variabel Terikat

Kelompok Usia – Interaksi Obat

Tests of Normality

kelompok usia

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Interaksi_Oba

t dimen

sion1

25-55 .475 39 .000 .522 39 .000

56-86 .493 103 .000 .483 103 .000

a. Lilliefors Significance Correction

Kelompok Jumlah Obat – Interaksi Obat

Tests of Normality

kelompok jumlah

obat Kolmogorov-Smirnov

a

Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Interaksi_Ob

at

dimension1

2 .366 27 .000 .634 27 .000

3 .530 61 .000 .340 61 .000

4 .469 37 .000 .534 37 .000

5-6 .521 17 .000 .385 17 .000

(2)

Lampiran 2. Hasil Analisis Bivariat Beberapa Variabel Bebas Terhadap Kejadian Potensi Interaksi Obat Dengan Menggunakan Uji Chi-square pada Program SPSS Advanced 18.0

Crosstabs

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

kelompok usia *

Interaksi_Obat

142 100.0% 0 .0% 142 100.0%

kelompok jumlah obat *

Interaksi_Obat

142 100.0% 0 .0% 142 100.0%

kelompok usia * Interaksi_Obat

Crosstab

Interaksi_Obat

Total Tidak ya

kelompok usia 25-55 Count 9 30 39

% within kelompok usia 23.1% 76.9% 100.0%

% within Interaksi_Obat 31.0% 26.5% 27.5%

56-86 Count 20 83 103

% within kelompok usia 19.4% 80.6% 100.0%

% within Interaksi_Obat 69.0% 73.5% 72.5%

Total Count 29 113 142

% within kelompok usia 20.4% 79.6% 100.0%

(3)

Chi-Square Tests

Continuity Correctionb .062 1 .803

Likelihood Ratio .229 1 .632

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7.96.

b. Computed only for a 2x2 table

kelompok jumlah obat * Interaksi_Obat

Crosstab

Interaksi_Obat

Total Tidak ya

kelompok jumlah obat 2 Count 12 15 27

% within kelompok

jumlah obat

44.4% 55.6% 100.0%

% within Interaksi_Obat 41.4% 13.3% 19.0%

3 Count 6 55 61

% within kelompok

jumlah obat

9.8% 90.2% 100.0%

% within Interaksi_Obat 20.7% 48.7% 43.0%

4 Count 9 28 37

% within kelompok

jumlah obat

24.3% 75.7% 100.0%

% within Interaksi_Obat 31.0% 24.8% 26.1%

5-6 Count 2 15 17

% within kelompok

jumlah obat

11.8% 88.2% 100.0%

(4)

kelompok jumlah obat * Interaksi_Obat (lanjutan)

Total Count 29 113 142

% within kelompok

jumlah obat

20.4% 79.6% 100.0%

% within Interaksi_Obat 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 14.924a 3 .002

Likelihood Ratio 14.078 3 .003

Linear-by-Linear Association 3.292 1 .070

N of Valid Cases 142

(5)

Lampiran 3. Data Potensi Interaksi Obat Antihipertensi pada Pasien Hipertensi di puskesmas di kota Medan

(6)
(7)

5 Captopril - Glibenklam id

Farmakodina mik - sinergis

Moderate 20 Sementara waktu

(8)

8 Captopril - Piroksikam

Farmakodina mik - antagonis

(9)

10 Captopril -

Moderate 1 Meningkatkan sensitifitas insulin sementara waktu oleh Ace

Inhibitor. Efek

(10)

13 Captopril - Ibuprofen

Farmakodina mik - antagonis

Moderate 5 Ibuprofen menurunkan

Moderate 1 Captopril meningkatkan

Moderate 1 Meningkatkan sensitifitas insulin sementara waktu oleh Ace

(11)

pada pasien

Moderate 1 Melosikam menurunkan

(12)

terjadinya dan air dengan cara obat

(13)

asidosis laktat. nyeri otot, nafas pendek, sakit

(14)
(15)
(16)

Lampiran 5. Surat Permohonan Izin Penelitian/Pengambilan Data Dari Dinas Kesehatan

(17)
(18)
(19)
(20)
(21)
(22)

DAFTAR PUSTAKA

Armilawaty., Amalia, H. dan Amiruddin, R. (2007). Hipertensi dan Faktor

Risikonya dalam Kajian Epidemiologi. FKM UNHAS. Hal. 1-6.

Churi, S., Nag, K.A., Umesh, M. (2011). Assesment Of Drug - Drug Interactions In Hospitalised Patients In India. Asian Journal of Pharmaceutical and

Clinical Research. 4(1): 63.

Coylewright, M., Reckelhoff, J.F., dan Ouyang, P. (2008). Menopause and

Hypertension An Age-old Debate. The Department Of Medicine, Johns

Hopkins University School Of Medicine, Baltimore, Md; and Physiology and Biophysics, University Of Mississippi Medical Center, Jackson. Hal. 952-959.

Depkes RI. (2006). Pharmaceutical Care untuk Penyakit Hipertensi. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Dipiro, T.J., Talbert,L.R., Yee, C.G., Matzke, R.G., Wells, G.B., dan Posey, M.L. (2008). Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach. New York: Mc Graw Hills Company. Hal. 141-142.

Drugs.com. Diakses Desember 2014 Fauci, S.A., Kasper, L.D., Longo, L.D., Braunwald, E., Hauser, L.S., Jameson,

L.J., dan Loscalzo, J. (2008). Harrison's Principles of Internal Medicine. Edisi ketujuh belas. New York: Mc Graw Hills Company. Hal. 1403. Fradgley, S. (2003). Interaksi obat, dalam Farmasi Klinis (Clinical Pharmacy)

Menuju Pengobatan Rasional dan Penghargaan Pilihan Pasien (Aslam M, Tan CK, Prayitno A, Ed). Jakarta: PT. Elex Media Komputindo

Kelompok Gramedia. Halaman 119–134.

Gitawati, R. (2008). Interaksi Obat dan Beberapa Implikasinya. Dalam artikel Media Litbang Kesehatan. 18(4): 175-176.

Guyton, A.C. (2007). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi sebelas. Jakarta: EGC Kedokteran. Hal. 172, 233-234.

Handayani, N.Y., dan Sartika, R.A. (2007). Hipertensi Pada Pekerja Perusahaan Migas X di Kalimantan Timur, Indonesia. Makalah Seri Kesehatan In

Press. 17(1): 26-27.

(23)

James, A.P., Suzanne, O., Barry, L., William, C., Cheryl, D., Joel, H., Daniel, T., Michael, L., Thomas, D., Olugbeng, O., Sidney, C., Smith, J., Laura, P., Svetkey., Sandra, J.T., Raymond, R., Townsend., Jackson, T., Wright, J., Andrew, S.N., dan Eduardo, O. (2014). Evidance-Based Guideline for the

Management of High Blood Pressure in Adults Report From the Panel Members Appointed to the Eighth Joint National Committee (JNC 8).

Lowa: American Medical Association. Hal. 1-14.

Katzung, B.G. (2001). Farmakologoi dan Terapi. Jakarta: UI Press. Halaman 207, 208, 304, 569.

McCabe, B.J., Frankel, E.H., dan Wolfe, J.J. (2003). Handbook of Food-Drug

Interaction. USA: CRC Press LLC. Hal. 39-40.

Medscape.com. Diakses Desember checker.

NHLBI. (2004). The Seventh Report of The Joint National Committee on

Prevention, Detection, Evaluation,and Treatment of High Blood Pressure. USA. Hal. 12-26.

Notoatmojdo, S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Hal. 145-146.

Putu, D.I., Djumiani, S., dan Ikawati, Z. (2008). Kajian Keamanan Pemakaian Obat Antihipertensi Di Poliklinik Usia Lanjut Instalasi Rawat Jalan RS DR Sardjito. Majalah Ilmu Kefarmasian. 5(3): 152-160.

Rahmiati, S., dan Supadmi, W. (2010). Kajian Interaksi Obat Antihipertensi pada Pasien hemodialisis di bangsal Rawat Inap RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta Periode Tahun 2010. Jurnal Ilmiah Kefarmasian. 2(1): 99-110.

Riskesdas. (2013). Hipertensi/Tekanan Darah Tinggi. Kementerian Kesehatan

RI: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Hal. 88-90.

Setiawan, T. (2011). Studi Retrospektif Interaksi Obat Pada Pasien Jamkesmas Di

RSUD Hasanuddin Damrah Manna Bengkulu Selatan. Program Studi

Sarjana Farmasi: Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara. Pharmacology. Hal. 44-62.

Setyani, W., Yasin, N.M. dan Puspita, S. (2006). Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) Pada Pasien Hipertensi Rawat Jalan Di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Pemerintah Kota Semarang Periode Maret-oktober 2006.

Media Farmasi Indonesia. 3(1): 170.

(24)

Stockley, I.H. (2008). Stockley’s Drug Interaction. Edisi kedelapan. Great Britain: Pharmaceutical Press. Hal. 1-9.

Tatro, D.S. (2009). Drug Interaction Facts, San Carlos, California: A Wolters Kluwer Health Inc.

Walker, R., dan Edward, C. (1999). Clinical Pharmacy and Therapeutis. Second

Edition. Hongkong: Adition Wisley longma China United. Hal. 247-248.

WHO. (2013). High Blood Pressure, Global and Regional Overview. World

Health Day 2013.

Wood, A.J.J. (1988). Drug Interactions in Hypertension. Journal of The American

(25)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei deskriptif Cross Sectional yaitu hanya meneliti pada waktu tertentu, data-data yang diteliti dan diolah merupakan data-data temuan dilapangan pada saat ini (Notoatmodjo, 2010).

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

3.2.1 Lokasi Penelitian

Pemilihan puskesmas pada pelaksanaan penelitian ini didasarkan kepada jumlah tertinggi kunjungan pasien hipertensi di puskesmas kota Medan. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan kota Medan bahwa kunjungan pasien hipertensi tertinggi di puskesmas yaitu Puskesmas Medan Deli, Puskesmas Helvetia, Puskesmas Darussalam dan Puskesmas Teladan.

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2014 - November 2014. Pengambilan data dilakukan pada saat peneliti berkunjung ke puskesmas dan didapatkan data pasien yang menerima obat pada hari peneliti berkunjung. Kunjungan dilakukan setiap dua minggu sekali untuk satu puskesmas.

3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi

(26)

peristiwa dan gejala yang terjadi dalam masyarakat atau di dalam alam (Notoadmodjo, 2010). Populasi dalam penelitian ini adalah lembar resep dan catatan pengobatan seluruh pasien hipertensi pada waktu kunjungan penelitian di puskesmas di kota Medan.

3.3.2 Sampel

Sampel adalah objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi. Sampel yang dipilih pada penelitian ini harus memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi.

Kriteria inklusi adalah:

a. lembar resep pasien yang menderita hipertensi yang berumur >18 tahun b. lembar pasien yang mendapat terapi obat antihipertensi

c. mendapat terapi ≥ 2 obat

Kriteria eksklusi adalah lembar resep tidak terbaca atau tidak jelas.

3.4 Definisi Operasional

a. obat antihipertensi adalah obat yang digunakan untuk menurunkan tekanan darah tinggi atau hipertensi.

b. potensi interaksi obat adalah potensi aksi suatu obat diubah atau dipengaruhi oleh obat lain yang diberikan bersamaan.

c. interaksi obat adalah situasi di mana suatu zat mempengaruhi aktivitas obat, yaitu meningkatkan atau menurunkan efeknya, atau menghasilkan efek baru yang tidak diinginkan atau direncanakan.

(27)

e. frekuensi interaksi adalah jumlah kasus interaksi obat antihipertensi – obat yang terjadi.

f. mekanisme interaksi adalah bagaimana interaksi obat terjadi apakah farmakokinetik, farmakodinamik, atau unknown.

g. jenis obat adalah obat yang berinteraksi.

h. tingkat keparahan interaksi obat adalah minor, moderate, dan major.

i. jumlah obat adalah berapa banyak item obat yang diberikan dalam satu resep, jumlah obat ditentukan menjadi ≥ 2 obat.

j. interaksi unknown adalah interaksi obat yang mekanismenya belum diketahui secara pasti.

k. interaksi farmakokinetik adalah interaksi pada proses absorpsi, interaksi pada proses distribusi, interaksi pada proses metabolisme, interaksi pada proses eksresi.

l. interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat-obat yang mempunyai khasiat atau efek samping yang serupa atau berlawanan.

3.5 Instrumen Penelitian

3.5.1 Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini yaitu data dari lembar resep dan catatan pengobatan pasien hipertensi di puskesmas di kota Medan yaitu Puskesmas Medan Deli, Puskesmas Helvetia, Puskesmas Darussalam dan Puskesmas Teladan.

3.5.2 Teknik Pengumpulan Data

(28)

a. mengelompokkan data lembar resep dan catatan pengobatan pasien berdasarkan kriteria inklusi.

b. mengelompokkan data penggunaan obat pasien meliputi data pasien (usia, jenis kelamin, jumlah obat yang diterima).

c. menyeleksi data berdasarkan ada tidaknya interaksi obat yang terjadi pada data pengobatan dan lembar resep pasien berdasarkan studi literatur.

3.6 Analisis Data

(29)

3.7 Bagan Alur Penelitian

Adapun gambaran dari pelaksanaan penelitian adalah sebagai berikut:

Gambar 3.1 Alur Pelaksanaan Penelitian

3.8 Langkah Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. meminta rekomendasi Dekan Fakultas Farmasi USU untuk mendapatkan permohonan mengeluarkan Surat Pengantar Izin Penelitian kepada Dinas Kesehatan kota Medan.

Lembar resep dan catatan pengobatan pasien

hipertensi

Pengelompokan data penggunaan obat

pasien

Identifikasi obat yang berpotensi interaksi

Analisis

Penarikan kesimpulan Persentase

potensi interaksi

Obat yang sering berpotensi

interaksi

Mekanisme Interaksi

Tingkat Keparahan

(30)

b. mendapatkan izin dari Dinas Kesehatan kota Medan untuk melakukan penelitian di puskesmas kota Medan yaitu Puskesmas Medan Deli, Puskesmas Helvetia, Puskesmas Darussalam dan Puskesmas Teladan.

c. menghubungi kepala puskesmas yang bersangkutan untuk mendapatkan izin melakukan penelitian dan pengambilan data, dengan membawa surat yang dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan kota Medan.

d. mengumpulkan data pasien.

(31)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Umum Subjek Penelitian

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan terhadap 4 puskesmas yang berada di kota Medan periode September – November 2014 yaitu Puskesmas Medan Deli, Puskesmas Helvetia, Puskesmas Darussalam, Puskesmas Teladan diperoleh 142 pasien yang memenuhi kriteria inklusi (Tabel 4.1). Pengamatan diambil dari lembar resep dan catatan pengobatan pasien dari puskesmas.

Tabel 4.1 Karakteristik Subjek Penelitian

No Karakteristik Subjek Jumlah Resep (n=142) %

1 Jenis Puskesmas

Medan Deli 37 26,06

Helvetia 19 13,38

Darussalam 24 16,90

Teladan 62 43,66

2 Jenis Kelamin

Lk 37 26,06

P 105 73,94

3 Kelompok Usia

25 - 55 Tahun 39 27,46

56 - 86 Tahun 103 72,54

4 Jumlah Obat

Dua obat 27 19,01

Tiga obat 61 42,96

Empat obat 37 26,06

≥ 5 obat 17 11,97

(32)

Karakteristik subjek pada tabel 4.1 terdiri dari empat kelompok. Kelompok pertama yaitu kelompok jenis puskesmas yang merupakan tempat dilakukannya penelitian. Kelompok kedua yaitu kelompok jenis kelamin. Kelompok ketiga yaitu kelompok umur yang dibagi menjadi dua bagian. Pembagian ini didasarkan pembagian umur menurut Departemen Kesehatan dimana untuk kategori dewasa dimulai umur 25 – 55 tahun dan untuk kategori manula dan lansia antara 56 – 86 tahun. Kelompok keempat yaitu kelompok jumlah obat yang digunakan oleh pasien berdasarkan banyaknya obat yang diterima pasien.

Berdasarkan data Tabel 4.1 diatas, hasil pengamatan menunjukkan gambaran bahwa jumlah resep yang paling banyak adalah Puskesmas Teladan dengan 62 (43,66%) jumlah resep diikuti dengan Puskesmas Medan Deli 37 (26,06%) jumlah resep, Puskesmas Darussalam 24 (16,90%) jumlah resep dan Puskesmas Helvetia 19 (13,38%) jumlah resep.

Berdasarkan jenis kelamin, mayoritas lembar resep yang diterima merupakan lembar resep untuk pasien perempuan yaitu 105 (73,94%) jumlah resep. Berdasarkan kelompok usia, lembar resep yang diterima mayoritas untuk pasien berusia 56 - 86 tahun yaitu 103 (72,54%) jumlah resep. Berdasarkan jumlah obat, lembar resep yang diterima paling banyak mengandung tiga jenis obat yaitu 61 (42,96%) jumlah resep.

(33)

ketika mendekati usia 40 tahun maka kemampuan produksi hormon tersebut akan semakin berkurang. Ini disebut dengan masa menopause (masa terhentinya siklus menstruasi). Wanita dalam masa menopause ditemukan memiliki tekanan darah sistolik lebih besar daripada laki-laki dengan usia yang sama. Menopause dihubungkan dengan pengurangan pada estradiol dan penurunan perbandingan rasio estrogen dan testosterone. Hal ini mengakibatkan disfungsi endothelial dan menambah indeks masa tubuh yang menyebabkan kenaikan pada aktivasi saraf simpatetik yang kerap kali terjadi pada wanita yang mengalami menopause. Aktivasi saraf simpatetik ini akan mengeluarkan sekresi renin dan angiotensin II. Disfungsi endotelial ini akhirnya meningkatkan kesensitifan terhadap garam dan kenaikan endotelin. Tidak hanya itu, kenaikan angiotensin dan endotelin dapat menyebabkan stress oksidatif yang akhirnya berujung pada hipertensi (Coylewright, dkk., 2008).

Tabel 4.2 Klasifikasi Pasien Yang Mengalami Hipertensi Berdasarkan JNC VII

No Kategori Jumlah Pasien %

1 Pre-Hipertensi 26 18,31

2 Hipertensi Stage 1 58 40,85

3 Hipertensi Stage 2 58 40,85

Total 142

Berdasarkan The Seventh Report of The Joint National Committee On

(JNC VII) kategori tekanan darah untuk orang dewasa adalah Pre-Hypertension

(34)

Stage 1 dan Stage 2 dengan persentase 40,85% (Tabel 4.2). Pada JNC VII

pengkategorian tekanan darah dibagi menjadi empat tingkatan berdasarkan nilai dari tekanan darah seseorang yaitu normal, pre-hipertensi, hipertensi stage 1 dan hipertensi stage 2. Sedangkan pada JNC VIII lebih kepada manajemen terapi hipertensi berdasarkan Evidence Based Medicine (EBM), komplikasi penyakit, ras dan riwayat penderita hipertensi. Namun, klasifikasi tekanan darah yang dirilis oleh JNC VIII pada tahun 2013 masih merujuk klasifikasi tekanan darah JNC VII (James, dkk., 2014).

Menurut JNC VII pengobatan pasien pre-hipertensi cukup dengan terapi non farmakologi yaitu perubahan pola hidup. Namun berdasarkan tabel 4.2 diatas, pasien pre-hipertensi yang ada di puskesmas mendapatkan terapi farmakologi. Hal ini di karenakan pasien pre-hipertensi tersebut merupakan pasien kunjungan berulang ke puskesmas yang merupakan pasien hipertensi stage 1 atau 2 yang tekanan darahnya sudah stabil. Pasien yang tekanan darahnya sudah stabil tetap mendapatkan terapi farmakologi untuk mengontrol tekanan darahnya.

4.2 Potensi Interaksi Obat Antihipertensi

(35)

Tabel 4.3 Potensi Interaksi Obat Antihipertensi

No Kriteria Subjek

Total Pasien (n=142)

Berinteraksi % Tidak

Berinteraksi %

Berikut adalah bentuk diagram batang potensi interaksi obat hasil persentase (%) antara kelompok usia terhadap total pasien (Gambar 4.1).

Gambar 4.1 Grafik hasil persentase potensi interaksi obat (%) antihipertensi pada kelompok usia terhadap total pasien n = 142

Berikut adalah bentuk diagram batang potensi interaksi obat hasil persentase (%) antara jumlah obat terhadap total pasien n = 142 (Gambar 4.2).

21.13

25-55 tahun 56-86 tahun

Berinteraksi Tidak Berinteraksi Kelompok usia

(36)

Gambar 4.2 Grafik hasil persentase potensi interaksi obat (%) antihipertensi pada jumlah obat terhadap total pasien n = 142

Berdasarkan gambar diatas (Gambar 4.1 dan 4.2) serta Tabel 4.3, Potensi interaksi obat antihipertensi yang terjadi pada 113 resep menggambarkan bahwa Potensi interaksi obat lebih banyak terjadi pada pasien dengan kelompok umur 56 - 86 tahun yaitu 83 (58,45%) resep dibandingkan pasien dengan kelompok umur 25 - 55 tahun 30 (21,13%) resep dan potensi interaksi obat lebih banyak terjadi pada pasien yang menerima 3 jenis obat yaitu 55 (38,73%) resep dibandingkan pasien yang menerima dua obat 15 (10,56%) resep, empat obat 28 (19,72%) resep dan ≥ 5 obat 15 (10,56%) resep.

Pada gambar 4.2 diatas, potensi interaksi obat terhadap jumlah obat terlihat pasien yang mendapat terapi tiga obat lebih banyak mengalami kejadian potensi interaksi. Hal ini dikarenakan jumlah resep yang diperoleh oleh peneliti lebih banyak pasien dengan tiga obat dari pada empat obat maupun lebih dari lima obat, sehingga potensi terjadinya interaksi pada pasien dengan tiga obat lebih

10.56

Dua obat Tiga obat Empat obat ≥5 obat

(37)

banyak. Karena pada dasarnya pasien yang semakin banyak menggunakan obat akan semakin berpotensi mengalami interaksi.

Adanya interaksi ini dapat berhubungan sebagai adanya respon farmakologi atau klinik pada pemberian kombinasi obat yang memberikan efek berbeda ketika diberikan bersamaan (Tatro, 2009). Monitoring terkait efek yang mungkin ditimbulkan oleh karena interaksi obat ini sangat diperlukan. Interaksi obat merupakan salah satu DRPs yang mempengaruhi terapi pasien. Interaksi

obat dapat terjadi tetapi interaksi obat tidak selalu berakibat merugikan secara

klinis, namun banyak juga interaksi yang mempunyai efek potensial pada

sebagian pasien (Rahmiati, dkk., 2010).

Frekuensi potensi interaksi obat antihipertensi yang dilakukan di keempat puskesmas ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan di poliklinik usia lanjut instalasi rawat jalan RS Dr Sardjito yogyakarta pada kajian keamanan pemakaian obat antihipertensi, yaitu terdapat 41,3% pasien menerima kombinasi antihipertensi yang terjadi potensi interaksi, 8,7% diantaranya mempunyai gejala klinis yang diperkirakan berkaitan dengan kemungkinan berkembangnya efek interaksi obat (Putu, dkk., 2008). Berdasarkan hal tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa angka kejadian potensi interaksi obat antihipertensi lebih tinggi di puskesmas daripada di rumah sakit. Beberapa studi memperkirakan kejadian interaksi obat berkisar antara 2,2% sampai 30% pada pasien yang ada di

rumah sakit dan 9,2% sampai 70,3% pada pasien rawat jalan (Walker dan

Edwards, 1999).

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Gittawati pada interaksi obat dan

beberapa implikasinya, menyatakan profil keamanan suatu obat seringkali baru

(38)

masyarakat, termasuk oleh populasi pasien yang sebelumnya tidak terwakili

dalam uji klinik obat tersebut. Informasi mengenai seberapa sering seseorang

mengalami risiko efek samping karena interaksi obat, dan seberapa jauh resiko

efek samping dapat dikurangi diperlukan jika akan mengganti obat yang

berinteraksi dengan obat alternatif. Memperkirakan kemungkinan efek samping

yang akan terjadi dapat dilakukan dengan mengetahui bagaimana mekanisme

interaksi obat sehingga dapat dilakukan antisipasi (Gittawati, 2008).

4.3 Kejadian Potensi Interaksi Obat Antihipertensi Berdasarkan Pola Mekanisme Interaksi Obat dan Tingkat Keparahan Interaksi Obat

Berdasarkan analisis terhadap 113 resep pasien yang mengalami potensi interaksi obat ditemukan 140 kasus potensi interaksi, terdiri dari 23 jenis potensi interaksi obat antihipertensi (Tabel 4.4).

Tabel 4.4 Jenis Kejadian Potensi Interaksi Obat Antihipertensi Berdasarkan Pola

Mekanisme Interaksi Obat dan Tingkat Keparahan Interaksi Obat

No Nama Obat Pola Mekanisme

Interaksi Obat

Tingkat Keparahan Interaksi Obat

Jumlah kasus 1 Amlodipine - Captopril Farmakodinamik Minor 37 2 Amlodipine - Simvastatin Farmakokinetik Major 15 3 Amlodipine - Simetidin Farmakokinetik Moderate 4 4 Amlodipine - Piroksikam Farmakodinamik Moderate 1 5 Captopril - Glibenklamid Farmakodinamik Moderate 20 6 Captopril - Antasida Farmakokinetik Minor 20

7 Captopril - Allopurinol Unknown Major 8

8 Captopril - Piroksikam Farmakodinamik Moderate 7 9 Captopril - Asam

Mefenamat

(39)

Tabel 4.4 Jenis Kejadian Potensi Interaksi Obat Antihipertensi Berdasarkan Pola Mekanisme Interaksi Obat dan Tingkat Keparahan Interaksi Obat (Lanjutan).

12 Captopril - Natrium Diklofenak

Farmakodinamik Moderate 2 13 Captopril - Furosemida Farmakodinamik Minor 2 14 Captopril - Glikazid Farmakodinamik Moderate 1 15 Captopril - Glucovance Farmakodinamik Moderate 1 16 Captopril - Glipiride Farmakodinamik Moderate 1 17 Captopril - Meloxicam Farmakodinamik Moderate 1 18 Furosemida - Asam

Mefenamat

Farmakodinamik Minor 1

19 Hidroklortiazid - Allopurinol

Unknown Major 1

20 Hidroklortiazid - Piroksikam

Farmakodinamik Minor 1

21 Nifedipine - Glucovance Farmakokinetik Moderate 1 22 Nifedipine - Bisoprolol Farmakodinamik Moderate 1 23 Valsartan - Simvastatin Farmakokinetik Moderate 1

Total 140

Tabel 4.5 Jumlah Obat Antihipertensi Yang Mengalami Potensi Interaksi

No Nama Obat Jumlah (n=140) %

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh obat antihipertensi yang sering

mengalami potensi interaksi adalah kaptopril 55% dan Amlodipine 40,71%

(Tabel 4.5). Hasil penelitian ini tidak berbeda dengan penelitian yang pernah

dilakukan oleh Rahmiati pada kajian interaksi obat antihipertensi pada pasien

hemodialisis di bangsal rawat inap RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta

(40)

interaksi adalah kaptopril. Hal ini karena kaptopril merupakan obat yang paling

umum digunakan untuk hipertensi. Obat antihipertensi yang paling banyak

digunakan pada pasien hemodialisis adalah ACEI, CCB, dan diuretik (Rahmiati,

2010).

Jenis kejadian potensi interaksi paling banyak yang melibatkan kaptopril

adalah Captopril - Glibenklamid, Captopril - Antasida dan Captopril -Allopurinol.

Jenis kejadian potensi interaksi paling banyak yang melibatkan Amlodipine

adalah Amlodipine - Captopril, Amlodipine-Simvastatin dan Amlodipine -

Simetidin.

Tabel 4.6 Jenis Mekanisme Interaksi Obat Antihipertensi Subjek Penelitian

No Mekanisme Interaksi Obat Jumlah Kasus %

1 Interaksi Farmakodinamik 90 64,29

2 Interaksi Farmakokinetik 41 29,29

3 Interaksi Unknown 9 6,43

Total 140

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh persentase mekanisme interaksi

obat farmakodinamik 64,29%, farmakokinetik 29,29% dan unknown 6,43%

(Tabel 4.6). Pada interaksi farmakodinamik jenis kejadian potensi interaksi obat

paling banyak adalah Amlodipine - Captopril dan Captopril - Glibenklamid dan

pada interaksi farmakokinetik jenis kejadian potensi interaksi obat paling banyak

adalah Captopril - Antasida dan Amlodipine - Simvastatin. Hasil dari penelitian

ini tidak berbeda dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh Setyani mengenai

evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada pasien hipertensi rawat jalan di

instalasi farmasi rumah sakit umum pemerintah Kota Semarang periode maret

-oktober 2006 bahwa terdapat pasien yang mengalami interaksi obat sebanyak 56

(41)

(40,79%) interaksi farmakodinamik, 27 kasus (35,53%) interaksi farmakokinetik

dan 18 kasus (23,68%) interaksi unknown (Setyani, dkk., 2006).

Tabel 4.7 Tingkat Keparahan Potensi Interaksi Obat Antihipertensi Pada Subjek Penelitian

No. Tingkat Keparahan Potensi

Interaksi Jumlah Kasus %

1 Minor 64 45,71

2 Moderate 52 37,14

3 Major 24 17,14

Total 140

Tingkat keparahan interaksi juga dapat memberikan pengetahuan tentang prioritas monitoring pasien. Sebuah interaksi termasuk kedalam tingkat keparahan

minor efek biasanya ringan; konsekuensi mungkin mengganggu atau tidak terlalu

mencolok tetapi seharusnya tidak secara signifikan mempengaruhi hasil terapi, pengobatan tambahan biasanya tidak diperlukan (Tatro, 2009). Kejadian potensi interaksi kategori minor yang banyak terjadi pada penelitian ini adalah Amlodipine-Captopril diketahui potensi interaksi ini yaitu menyebabkan efek hipotensi aditif, manajemen untuk potensi interaksi ini yaitu dilakukannya

monitoring tekanan darah sistemik. Interaksi kategori moderate menyebabkan

(42)

interaksi kategori major yang banyak terjadi dalam penelitian ini adalah Amlodipine - Simvastatin diketahui kadar simvastatin dalam darah meningkat karena amlodipine menghambat metabolisme lintas pertama dari simvastatin, manajemen yang dilakukan berupa gunakan alternatif obat lain jika ada tetapi jika pemberian pada kedua obat ini tidak bisa dihindari maka manfaat dari terapi kombinasi harus dipertimbangkan dengan hati-hati terhadap potensi risiko dari kombinasi karena kombinasi dari kedua obat ini dapat meningkatkan efek samping terjadinya rabdomiolisis (kerusakan jaringan otot yang menyebabkan terlepasnya serat-serat otot ke dalam pembuluh darah dan masuk ke dalam urin yang dapat berakibat terjadinya gagal ginjal) (Drugs.com, 2014).

Efek interaksi obat ada yang tidak dikehendaki dan ada yang dikehendaki. Interaksi obat yang tidak dikehendaki mempunyai implikasi klinis jika obat indeks memiliki batas keamanan sempit; mula kerja (onset of action) obat cepat, terjadi dalam waktu 24 jam; dan dampak interaksi bersifat serius atau berpotensi fatal dan mengancam kehidupan. Sebagai contoh pasien yang mendapatkan ACEi bersama diuretik hemat kalium menyebabkan terjadinya hiperkalemia yang mengancam kehidupan (Gittawati, 2008).

(43)

memiliki waktu paruh singkat dan simetidin akan memperpanjang waktu paruh prokainamid dan memperlambat eliminasinya. Dengan demikian frekuensi pemberian dosis prokainamid sebagai antiaritmia dapat dikurangi dari 4-6 jam menjadi setiap 8 jam/hari, sehingga kepatuhan dapat ditingkatkan (Gittawati, 2008).

4.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Potensi Interaksi Obat Antihipertensi

4.4.1 Faktor Usia

Berdasarkan faktor usia, kejadian potensi interaksi obat terhadap total usia lebih banyak terjadi pada pasien berusia 56-86 tahun yaitu 80,58% dengan tidak terjadi potensi interaksi sebesar 19,42% (Tabel 4.8).

Tabel 4.8 Kejadian Potensi Interaksi Obat Berdasarkan Usia Subjek Penelitian

Usia

Potensi Interaksi Obat

Nilai P Terjadi Potensi

Interaksi

Tidak Terjadi Potensi Interaksi Jumlah

% terhadap total usia

Jumlah % terhadap total usia

25 - 55 tahun 30 76,92 9 23,08

0,629

56 - 86 tahun 83 80,58 20 19,42

Total 113 29

(44)

dimana dalam penelitiannya nilai p = 0,01 yang berarti bahwa faktor usia mempengaruhi potensi interaksi (Setiawan, 2011).

Berikut adalah bentuk diagram batang potensi interaksi obat hasil persentase (%) antara kelompok usia terhadap total usia (usia 25 - 55 tahun n = 39; usia 56 - 86 tahun n = 103)(Gambar 4.3).

Gambar 4.3 Grafik hasil persentase potensi interaksi obat (%) antihipertensi antara kelompok usia terhadap total kelompok usia

Berdasarkan gambar 4.3 diatas potensi interaksi obat pada kelompok usia terhadap total usia pasien paling banyak pada umur 56 - 86 tahun yaitu 80,58% sedangkan pasien dengan kelompok umur 25 - 55 tahun potensi interaksinya sebesar 76,92%. Meskipun keduanya menunjukkan bahwa semakin bertambahnya usia maka terjadinya potensi interaksi obat semakin besar namun keduanya memiliki hubungan yang tidak bermakna. Hal ini dapat dijelaskan karena pasien yang berada di puskesmas mendapatkan terapi yang sama meskipun usia pasien tersebut berbeda dan juga pada pemberian obat dengan penyakit penyerta pun diberikan guideline yang sama meskipun usia berbeda. Hal ini dikarenakan

76,92 80,58

25-55 tahun 56-86 tahun

Berinteraksi Tidak Berinteraksi Kelompok usia

(45)

pemberian obat-obatan atau resep yang diberikan oleh dokter harus disesuaikan dengan Formularium Nasional yang telah ditetapkan dan umumnya obat-obat yang digunakan adalah obat generik. Maka dari itu, interaksi yang terjadi tidak berpengaruh terhadap faktor usia.

4.4.2 Faktor Jumlah Obat

Berdasarkan faktor jumlah obat, kejadian potensi interaksi obat terhadap total jumlah obat lebih banyak terjadi pada pasien yang menerima tiga jenis obat yaitu 90,16% dengan tidak terjadi potensi interaksi sebesar 9,84% (Tabel 4.9). Tabel 4.9 Kejadian Potensi Interaksi Obat Berdasarkan Jumlah Obat Subjek

Penelitian

Jumlah Obat

Potensi Interaksi Obat

Nilai P Terjadi Potensi Interaksi Tidak Terjadi Potensi

Interaksi

(46)

dikonsumsi secara bersamaan setiap hari. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Churi terhadap penilaian dari interaksi obat-obat pada pasien rumah sakit di india yang menyatakan dua faktor yang mempengaruhi frekuensi dari potensi interaksi obat-obat berdasarkan korelasi analisis, salah satunya adalah jumlah obat yang diresepkan kepada pasien, hasil menunjukan adanya hubungan yang bermakna antara potensi interaksi obat dengan jumlah obat (p < 0.01) (Churi, dkk., 2011).

Berikut adalah bentuk diagram batang potensi interaksi obat hasil persentase (%) antara kelompok jumlah obat terhadap total jumlah obat (dua obat n = 27; tiga obat n = 61; empat obat n = 37; ≥ 5 obat n = 17)(Gambar 4.4).

Gambar 4.4 Grafik hasil persentase potensi interaksi obat (%) antihipertensi antara kelompok jumlah obat terhadap total kelompok jumlah obat Berdasarkan gambar 4.4 diatas potensi interaksi obat antara kelompok jumlah obat terhadap total jumlah obat paling banyak pada pasien yang mendapatkan tiga obat 90,16% sedangkan pasien yang mendapatkan 2 jenis obat sebesar 55,56%, empat jenis obat sebesar 75,68% dan ≥ 5 jenis obat sebesar 88,24%. Meskipun potensi interaksi obat paling banyak terjadi pada pasien yang

55,56

(47)
(48)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan antara lain: a. terdapat potensi interaksi obat pada pemberian obat antihipertensi di

puskesmas di Kota Medan.

b. frekuensi potensi interaksi obat antihipertensi-obat di puskesmas di kota Medan tinggi yaitu 79,57%.

c. pola mekanisme interaksi yang terjadi yaitu farmakodinamik (64,29%), farmakokinetik (29,29%) dan unknown (6,43%); jenis obat antihipertensi yang berinteraksi yaitu Captopril, Amlodipine, Hidroklortiazid, Nifedipine, Furosemida dan Valsartan; tingkat keparahan interaksi yang terjadi yaitu

minor (45,71%), moderate (37,14%) dan major (17,14%).

d. faktor yang mempengaruhi potensi interaksi obat dilihat dari adanya hubungan yang bermakna adalah jumlah obat (P < 0,05) yaitu P = 0,002 sedangkan usia tidak berhubungan dengan terjadinya potensi interaksi obat karena P = 0,629.

5.2Saran

a. disarankan kepada dokter untuk lebih memperhatikan penggunaan obat-obat yang berpotensi mengalami interaksi terutama dengan tingkat keparahan

major seperti Amlodipine – Simvastatin dan Captopril – Allopurinol.

b. disarankan kerjasama antara dokter dan apoteker lebih ditingkatkan dalam menangani permasalahan interaksi obat yang dapat mempengaruhi hasil terapi pasien.

(49)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Interaksi Obat

Interaksi obat-obat dapat didefinisikan sebagai respon farmakologis atau klinis terhadap kombinasi obat berbeda ketika obat-obat tersebut diberikan tunggal. Hasil klinis interaksi obat-obat dapat dikategorikan sebagai antagonisme, sinergisme (Tatro, 2009).

Interaksi obat didefinisikan ketika obat bersaing satu dengan yang lainnya, atau yang terjadi ketika satu obat hadir bersama dengan obat yang lainnya (Stockley, 2008).

Efek dan keparahan interaksi obat dapat sangat bervariasi antara pasien yang satu dengan yang lain. Berbagai faktor dapat mempengaruhi kerentanan pasien terhadap interaksi obat. Pasien yang rentan terhadap interaksi obat antara lain:

1) Pasien lanjut usia

2) Pasien yang minum lebih dari satu macam obat

3) Pasien yang mempunyai gangguan fungsi hati dan ginjal 4) Pasien dengan penyakit akut

5) Pasien dengan penyakit yang tidak stabil

6) Pasien yang mempunyai karakteristik genetik tertentu

7) Pasien yang dirawat lebih dari satu dokter (Fradgley, 2003). 2.1.1 Mekanisme interaksi obat

(50)

mempengaruhi. Secara umum mekanisme interaksi obat terbagi menjadi dua yaitu interaksi farmakokinetik dan interaksi farmakodinamik.

2.1.1.1 Interaksi farmakokinetik

Interaksi farmakokinetik adalah interaksi yang terjadi bila satu obat mengubah tingkat absorpsi, distribusi, metabolisme atau ekskresi obat lain. Hal ini paling sering diukur dengan perubahan dalam satu atau lebih parameter kinetik, seperti konsentrasi serum puncak, area di bawah kurva, konsentrasi waktu paruh, jumlah total obat diekskresikan dalam urin (Tatro, 2009).

Interaksi farmakokinetik terdiri dari beberapa tipe: a. Interaksi pada absorbsi obat

i. Efek perubahan pH gastrointestinal

Obat melintasi membran mukosa dengan difusi pasif tergantung pada apakah obat terdapat dalam bentuk terlarut lemak yang tidak terionkan. Absorpsi ditentukan oleh kelarutannya dalam lemak, pH isi usus dan sejumlah parameter yang terkait dengan formulasi obat. Sebagai contoh adalah absorpsi asam salisilat oleh lambung lebih besar terjadi pada pH rendah daripada pada pH tinggi (Stockley, 2008).

ii. Adsorpsi, khelasi, dan mekanisme pembentukan komplek

(51)

dan besi, membentuk kompleks yang kurang diserap sehingga mengurangi efek antibakteri (Stockley, 2008).

iii.Perubahan motilitas gastrointestinal

Karena kebanyakan obat sebagian besar diserap di bagian atas usus kecil, obat-obatan yang mengubah laju pengosongan lambung dapat mempengaruhi absorpsi. Misalnya metoklopramid mempercepat pengosongan lambung sehingga meningkatkan penyerapan parasetamol (asetaminofen) (Stockley, 2008).

iv.Malabsorbsi dikarenakan obat

Neomisin menyebabkan sindrom malabsorpsi dan dapat mengganggu penyerapan sejumlah obat-obatan termasuk digoksin dan metotreksat (Stockley, 2008).

b. Interaksi pada distribusi obat i. Interaksi ikatan protein

setelah absorpsi, obat dengan cepat didistribusikan ke seluruh tubuh oleh sirkulasi. Beberapa obat secara total terlarut dalam cairan plasma, banyak yang lainnya diangkut oleh beberapa proporsi molekul dalam larutan dan sisanya terikat dengan protein plasma, terutama albumin. Ikatan obat dengan protein plasma bersifat reversibel, kesetimbangan dibentuk antara molekul -molekul yang terikat dan yang tidak. Hanya -molekul tidak terikat yang tetap bebas dan aktif secara farmakologi (Stockley, 2008).

ii. Induksi dan inhibisi protein transport obat

(52)

membawa obat keluar dari sel-sel ketika obat berdifusi secara pasif. Obat yang termasuk inhibitor transporter dapat meningkatkan penyerapan substrat obat ke dalam otak, yang dapat meningkatkan efek samping Central Nervous

System (CNS) (Stockley, 2008).

c. Interaksi pada metabolisme obat

i. Perubahan pada metabolisme fase pertama

Meskipun beberapa obat dikeluarkan dari tubuh dalam bentuk tidak berubah dalam urin, banyak diantaranya secara kimia diubah menjadi yang lebih mudah diekskresikan oleh ginjal. Jika tidak demikian, banyak obat yang akan bertahan dalam tubuh dan terus memberikan efeknya untuk waktu yang lama. Perubahan kimia ini disebut metabolisme, biotransformasi, degradasi biokimia, atau kadang-kadang detoksifikasi. Beberapa metabolisme obat terjadi di dalam serum, ginjal, kulit dan usus, tetapi proporsi terbesar dilakukan oleh enzim yang ditemukan di membran retikulum endoplasma sel-sel hati. Ada dua jenis reaksi utama metabolisme obat. Yang pertama, reaksi tahap I (melibatkan oksidasi, reduksi atau hidrolisis) obat-obatan menjadi senyawa yang lebih polar. Sedangkan, reaksi tahap II melibatkan terikatnya obat dengan zat lain (misalnya asam glukuronat, yang dikenal sebagai glukuronidasi) untuk membuat senyawa yang tidak aktif. Mayoritas reaksi oksidasi fase I dilakukan oleh enzim sitokrom P450 (Stockley, 2008).

ii. Induksi Enzim

(53)

mikrosom sehingga meningkatkan laju metabolisme dan ekskresinya (Stockley, 2008).

iii.Inhibisi enzim

Inhibisi enzim menyebabkan berkurangnya metabolisme obat, sehingga obat terakumulasi di dalam tubuh. Jalur metabolisme yang paling sering dihambat adalah fase oksidasi oleh isoenzim sitokrom P450. Signifikansi klinis dari banyak interaksi inhibisi enzim tergantung pada sejauh mana tingkat kenaikan serum obat. Jika serum tetap berada dalam kisaran terapeutik interaksi tidak penting secara klinis (Stockley, 2008).

iv.Interaksi isoenzim sitokrom P450 dan obat yang diprediksi

Parasetamol dimetabolisme oleh CYP2E1, metronidazole menghambatnya, sehingga tidak mengherankan bahwa metronidazole meningkatkan efek parasetamol (Medscape, 2014).

d. Interaksi pada ekskresi obat i. Perubahan pH urin

Pada nilai pH tinggi (basa), obat yang bersifat asam lemah (pKa 3-7,5) sebagian besar terdapat sebagai molekul terionisasi, yang tidak dapat berdifusi ke dalam sel tubulus maka akan tetap dalam urin dan dikeluarkan dari tubuh. Sebaliknya, basa lemah dengan nilai pKa 7,5 sampai 10.5. Dengan demikian, perubahan pH yang meningkatkan jumlah obat dalam bentuk terionisasi, meningkatkan hilangnya obat (Stockley, 2008).

ii. Perubahan ekskresi aktif tubular renal

(54)

iii.Perubahan aliran darah renal

Aliran darah melalui ginjal dikendalikan oleh produksi vasodilator prostaglandin ginjal. Jika sintesis prostaglandin ini dihambat, ekskresi beberapa obat dari ginjal dapat berkurang (Stockley, 2008).

2.1.1.2 Interaksi farmakodinamik

Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang bekerja pada sistem reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologik yang sama sehingga terjadi efek yang aditif, sinergistik, atau antagonistik tanpa ada perubahan kadar plasma ataupun profil farmakokinetik lainnya. Salah satu contoh dari perubahan ini adalah peningkatan toksisitas digoksin akibat penggunaan diuretik tiazid. Interaksi farmakologis, yaitu, penggunaan bersamaan dari dua atau lebih obat dengan tindakan farmakologis yang sama atau menentang (misalnya, penggunaan alkohol dengan obat antiansietas dan hipnotik atau antihistamin), adalah bentuk interaksi farmakodinamik (Tatro, 2009).

a. Interaksi aditif atau sinergis

Jika dua obat yang memiliki efek farmakologis yang sama diberikan bersamaan efeknya bisa bersifat aditif. Sebagai contoh, alkohol menekan SSP, jika diberikan dalam jumlah sedang dengan dosis teraupetik normal sejumlah besar obat (misalnya ansiolitik, hipnotik, dan lain-lain), dapat menyebabkan mengantuk berlebihan. Kadang-kadang efek aditif menyebabkan toksik (misalnya aditif ototoksisitas, nefrotoksisitas dan depresi sumsum tulang (Stockley, 2008).

b) Antagonisme

(55)

berlawanan sehingga mengakibatkan pengurangan hasil yang diinginkan dari satu atau lebih obat.

2.1.2 Tingkat keparahan interaksi obat

Potensi keparahan interaksi sangat penting dalam menilai risiko dan manfaat terapi alternatif. Dengan penyesuaian dosis yang tepat atau modifikasi jadwal penggunaan obat, efek negatif dari kebanyakan interaksi dapat dihindari. Tiga derajat keparahan didefinisikan sebagai:

a.Keparahan minor

Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan minor jika efek biasanya ringan; konsekuensi mungkin mengganggu atau tidak terlalu mencolok tapi tidak signifikan mempengaruhi hasil terapi. Pengobatan tambahan biasanya tidak diperlukan. Interaksi dengan tingkat keparahan minor ini risikonya minimal, untuk itu perlu diambil tindakan yang dibutuhkan untuk mengurangi risiko (Tatro, 2009).

b.Keparahan moderate

Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan moderate jika efek yang terjadi dapat menyebabkan penurunan status klinis pasien. Pengobatan tambahan, perpanjangan pengobatan dan rawat inap mungkin diperlukan perawatan di rumah sakit. Interaksi dengan tingkat keparahan moderate biasanya kombinasi obat dihindari, sebaiknya penggunaan kombinasi tersebut hanya pada keadaan khusus (Tatro, 2009).

c.Keparahan major

(56)

permanen. Interaksi dengan tingkat keparahan major sebaiknya dihindari karena lebih besar risikonya dibandingkan keuntungannya (Tatro, 2009).

Strategi pelaksanaan interaksi obat meliputi (Fradgley, 2003): 1) Menghindari kombinasi obat yang berinteraksi

Jika risiko interaksi pemakaian obat lebih besar daripada manfaatnya maka harus dipertimbangkan untuk memakai obat pengganti. Pemilihan obat pengganti tergantung pada apakah interaksi obat tersebut merupakan interaksi yang berkaitan dengan kelas obat tersebut atau merupakan efek obat yang spesifik. 2) Penyesuaian dosis obat

Jika interaksi obat meningkatkan atau menurunkan efek obat maka perlu dilakukan modifikasi dosis salah satu atau kedua obat untuk mengimbangi kenaikan atau penurunan efek obat tersebut. Penyesuaian dosis diperlukan pada saat mulai atau menghentikan penggunaan obat yang berinteraksi.

3) Pemantauan pasien

Jika kombinasi yang saling berinteraksi diberikan, maka diperlukan pemantauan pasien. Keputusan untuk memantau atau tidak tergantung pada berbagai faktor, seperti karaktteristik pasien, penyakit lain yang diderita pasien, waktu mulai menggunakan obat yang menyebabkan interaksi dan waktu timbulnya reaksi interaksi obat.

4) Melanjutkan pengobatan seperti sebelumnya

Jika interaksi obat tidak bermakna klinis atau jika kombinasi obat yang berinteraksi tersebut merupakan pengobatan optimal, pengobatan pasien dapat diteruskan.

(57)

menggambarkan hasil potensi interaksi dan menyarankan intervensi yang tepat. Hal ini juga tugas pada profesional kesehatan untuk dapat menerapkan literatur yang tersedia untuk setiap situasi. Profesional kesehatan harus mampu untuk merekomendasi secara individu berdasarkan parameter-pasien tertentu. Meskipun beberapa pihak berwenang menyarankan efek samping yang dihasilkan dari interaksi obat mungkin kurang sering daripada yang dipercaya, profesional perawatan kesehatan harus melindungi pasien terhadap efek berbahaya dari obat-obatan, terutama ketika interaksi tersebut dapat diantisipasi dan dicegah (Tatro, 2009).

2.2 Tekanan Darah

Tekanan darah adalah kekuatan yang dihasilkan oleh darah terhadap setiap satuan luas dinding pembuluh. Tekanan darah dinyatakan dalam satuan millimeter air raksa (mm Hg). Secara umum tekanan darah dipengaruhi oleh curah jantung dan tahanan perifer total (Guyton, 2007).

Tekanan darah (BP) = Curah Jantung (CO) x Tahanan Perifer Total (TPR) Berdasarkan rumus di atas dapat dilihat bahwa tekanan darah akan meningkat jika curah jantung dan tahanan perifer total meningkat (Guyton, 2007).

2.2.1 Sistem renin – angiotensin – aldosteron: perannya dalam pengaturan tekanan dan hipertensi

(58)

Gambar 2.1 Patogenesis hipertensi (Dipiro, et al., 2008)

Renin adalah suatu enzim protein yang dilepaskan oleh ginjal bila tekanan arteri turun sangat rendah. Kemudian, enzim ini meningkatkan tekanan arteri melalui beberapa cara, jadi membantu mengoreksi penurunan awal tekanan (Guyton, 2007).

(59)

Renin itu sendiri merupakan enzim, bukan bahan vasoaktif. Renin bekerja secara enzimatik pada protein plasma lain, yaitu globulin yang disebut substrat renin (atau angiotensinogen), untuk melepaskan peptide asam amino-10, yaitu angiotensin I. Angiotensin I memiliki sifat vasokonstriktor yang ringan tetapi tidak cukup untuk menyebabkan perubahan fungsional yang bermakna dalam fungsi sirkulasi. Renin menetap dalam darah selama 30 menit sampai 1 jam dan terus menyebabkan pembentukan angiotensin I yang lebih banyak selama waktu tersebut (Guyton, 2007).

Beberapa detik hingga beberapa menit setelah pembentukan angiotensin I, terdapat dua asam amino tambahan yang dipecah dari angiotensin I untuk membentuk angiotensin II peptide asam amino-8. Perubahan ini hampir seluruhnya terjadi di paru sementara darah yang mengalir melalui pembuluh kecil di paru, dikatalisis oleh suatu enzim, yaitu enzim pengubah, yang terdapat di endotelium pembuluh paru (Guyton, 2007).

(60)

vena-vena juga akan meningkatkan aliran balik darah vena ke jantung, sehingga membantu pompa jantung untuk melawan kenaikan tekanan. Pengaruh yang kedua yang membuat angiotensin meningkatkan tekanan arteri adalah dengan menurunkan ekskresi garam dan air oleh ginjal. Hal ini perlahan-lahan akan meningkatkan volume cairan ekstrasel, yang kemudian meningkatkan tekanan arteri selama berjam-jam dan berhari-hari berikutnya. Efek jangka panjang ini, yang bekerja melalui mekanisme volume cairan ekstrasel, bahkan lebih kuat daripada mekanisme vasokonstriktor akut dalam menyebabkan peningkatan tekanan arteri (Guyton, 2007).

2.3 Hipertensi

Hipertensi adalah penyakit tekanan darah tinggi di atas batas normal (120/80 mmHg). Klasifikasi tekanan darah menurut JNC (Joint National Committee) VII 2003 dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Klasifikasi tekanan darah berdasarkan JNC VII

Klasifikasi Tekanan Sistolik (mmHg) Tekanan Diastolik (mmHg)

Normal <120 <80

Pre Hipertensi 120-139 80-89

Stadium I 140-159 90-99

Stadium II ≥160 ≥100

(61)

2.3.1 Hipertensi primer (esensial)

Lebih dari 90% pasien dengan hipertensi merupakan hipertensi esensial (hipertensi primer). Literature lain mengatakan, hipertensi esensial merupakan 95% dari seluruh kasus hipertensi.

Beberapa mekanisme yang mungkin berkontribusi untuk terjadinya hipertensi ini telah diidentifikasi, namun belum satupun teori yang tegas menyatakan patogenesis hipertensi primer tersebut. Hipertensi sering turun temurun dalam satu keluarga, hal ini setidaknya menunjukkan bahwa faktor genetik memegang peranan penting pada patogenesis hipertensi primer. Menurut data, bila ditemukan gambaran bentuk disregulasi tekanan darah yang monogenic dan poligenik mempunyai kecenderungan timbulnya hipertensi essensial. Banyak karakteristik genetik dari gen-gen ini yang mempengaruhi keseimbangan natrium, tetapi juga didokumentasikan adanya mutasi-mutasi genetik yang merubah ekskresi kallikrein urine, pelepasan nitrit oxide, ekskresi aldosteron, steroid adrenal, dan angiotensinogen (Depkes RI, 2006).

2.3.2 Hipertensi sekunder

(62)

mengobati/mengoreksi kondisi komorbid yang menyertainya sudah merupakan tahap pertama dalam penanganan hipertensi sekunder (Depkes RI, 2006).

2.4 Penatalaksanaan Hipertensi

Tujuan utama pengobatan hipertensi adalah menurunkan mortalitas dan morbiditas yang berhubungan dengan kerusakan organ target seperti gagal jantung, penyakit jantung koroner atau penyakit ginjal kronik. Penatalaksanaan hipertensi dapat dilakukan dengan:

2.4.1 Terapi non farmakologi

Menerapkan gaya hidup sehat bagi setiap orang sangat penting untuk mencegah tekanan darah tinggi dan merupakan bagian yang penting dalam penanganan hipertensi. Semua pasien prehipertensi dan hipertensi harus melakukan perubahan gaya hidup. Modifikasi gaya hidup juga dapat mengurangi berlanjutnya tekanan darah ke hipertensi pada pasien-pasien dengan tekanan darah prehipertensi (Depkes RI, 2006).

Modifikasi gaya hidup yang penting terlihat menurunkan tekanan darah adalah mengurangi berat badan untuk individu yang obes atau gemuk; mengadopsi pola makan DASH (Dietary Approach to Stop Hypertension) yang kaya akan kalium dan kalsium; diet rendah natrium; aktifitas fisik; dan mengkonsumsi alkohol sedikit saja. Untuk ini diperlukan pendidikan ke pasien, dan dorongan moril (Depkes RI, 2006).

2.4.2 Terapi farmakologi

(63)

Gambar 2.2 Algoritma pengobatan hipertensi menurut JNC VII (Dipiro, et al., 2008).

(64)

Gambar 2.3 Algoritma terapi hipertensi berdasarkan komplikasi penyakit (Dipiro, et al., 2008).

Menurut JNC VIII (2013), target penurunan tekanan darah berbeda-beda pada pasien hipertensi berdasarkan komplikasi penyakit dan ras penderita hipertensi seperti terlihat pada Gambar 2.4.

(65)

2.5 Obat antihipertensi

Antihipertensi adalah obat-obatan yang digunakan untuk hipertensi. Pembagian kelompok obat antihipertensi adalah sebagai berikut:

2.5.1 Diuretik

Diuretik adalah suatu zat yang meningkatkan laju pengeluaran volume urin melalui kerja langsung terhadap ginjal. Diuretik dibagi menjadi lima golongan obat yaitu:

a. Diuretik lengkungan (loof of henle), disebut juga diuretik kuat karena bekerja di ansa henle bagian asenden pada nefron ginjal. Golongan obat ini bekerja dengan cara menghambat reabsorpsi ion Na+, K+ dan Cl- di ansa henle dan tubulus distal, mempengaruhi sistem co-transport ion Cl- yang menyebabkan meningkatnya ekskresi air. Obat-obat yang termasuk diuretik kuat adalah furosemida, asam etakrinat dan bumetamida.

b. Diuretik tiazid, yaitu obat lini pertama untuk mengobati hipertensi tanpa komplikasi. Diuretik ini bekerja dengan cara menghambat reabsorpsi ion Na+ dan Cl- di tubulus distal. Efeknya lebih lemah dan lambat tetapi lebih lama dibanding diuretik kuat. Obat-obat yang termasuk diuretik tiazid adalah hidroklorotiazid, politiazid, indapamid, klortaridon dan siklotiazid.

(66)

d. Diuretik hemat kalium, diuretik ini dibagi dua berdasarkan mekanisme kerjanya yaitu diuretik penghambat aldosteron dan penghambat saluran ion natrium. Aldosteron menstimulasi reabsorpsi natrium dan eksresi kalium. Proses ini dihambat oleh diuretik penghambat aldosteron, yaitu: spironolakton dan eplerenon. Ketika direabsorpsi, natrium akan masuk melalui kanal natrium tetapi hal ini dihambat oleh penghambat saluran natrium, yaitu: triamteren dan amilorid.

e. Diuretik penghambat enzim karbonik anhidrase, golongan obat ini bekerja pada tubuli proksimal dengan cara menghambat reabsopsi bikarbonat melalui penghambatan enzim karbonik anhidrase. Enzim ini berfungsi meningkatkan ion hidrogen pada tubulus proksimal yang akan bertukar dengan ion natrium di lumen. Penghambatan enzim ini akan meningkatkan ekskresi natrium, kalium, bikarbonat dan air. Obat-obat dari golongan ini adalah asetazolamid dan diklorofenamid. Efek samping diuretik umumnya berupa hipokalemia, hipomagnesia, hiperkalsemia, hiperurisemia, hiperglisemia, hiperlipidemia, dan disfungsi seksual (Depkes RI, 2006).

2.5.2 Penghambat enzim pengubah angiotensin (ACEi)

(67)

ini adalah gangguan fungsi ginjal, batuk kering, dan dapat menyebabkan hiperkalemia pada pasien dengan gangguan ginjal kronis (Fauci, et al., 2008). 2.5.3 Antagonis kalsium

Antagonis kalsium bekerja menurunkan tahanan vaskular dan menurunkan kalsium intraseluler. Ion kalsium di jantung mempengaruhi kontraktilitas otot jantung. Kelebihan ion ini akan menyebabkan kontraksi otot jantung meningkat sehingga akan meningkatkan tekanan darah. Antagonis kalsium bekerja menghambat ion kalsium di ekstrasel sehingga kontraktilitas jantung kembali normal. Obat-obat yang termasuk dalam golongan ini adalah verapamil, diltiazem, nifedipin dan amlodipin. Penggunaan tunggal maupun kombinasi, obat ini efektif menurunkan tekanan darah. Untuk terapi hipertensi golongan obat ini sering dikombinasikan dengan ACEi, penyekat beta, dan penyekat alfa (Fauci, et al., 2008).

2.5.4 Penghambat reseptor angiotensin (ARB)

(68)

Sama halnya dengan ACEi, ARB dapat menyebabkan insufisiensi ginjal, hiperkalemi, dan hipotensi ortostatik (Depkes RI, 2006).

2.5.5 Penghambat reseptor beta (β blocker)

Penghambat β menurunkan tekanan darah melalui penurunan curah jantung akibat penurunan denyut jantung dan kontraktilitas. Mekanisme utama penghambat β adalah menghambat reseptor β1 pada otot jantung sehingga secara langsung akan menurunkan denyut jantung. Penghambat β dibedakan menjadi penghambat β selektif dan non selektif. Penghambat beta selektif hanya memblok reseptor β1 dan tidak memblok reseptor β2. Penghambat beta non selektif memblok kedua reseptor baik β1 maupun β2. Adrenoreseptor β1 dan β2 terdistribusi di seluruh tubuh, tetapi terkosentrasi pada organ-organ dan jaringan tertentu. Reseptor β1 lebih banyak pada jantung dan ginjal, dan reseptor β2 lebih banyak ditemukan pada paru-paru, liver, pankreas, dan otot halus arteri. Perangsangan reseptor β1 menaikkan denyut jantung, kontraktilitas, dan pelepasan renin. Perangsangan reseptor β2 menghasilkan bronkodilatatasi dan vasodilatasi. Atenolol, betaxolol, bisoprolol, dan metoprolol adalah penyekat β yang kardioselektif; jadi lebih aman daripada penyekat β yang nonselektif seperti propanolol, metoprolol dan asebutolol pada pasien asma, PPOK, penyakit arteri perifer, dan diabetes (Depkes RI, 2006).

Penggunaan β blocker non selektif akan menyebabkan bronkospasme pada

penderita asma karena pada saluran pernafasan terdapat reseptor β2 yang

berfungsi sebagai vasodilator. Pada penderita diabetes, β blocker akan

meningkatkan kadar glukosa darah melalui penghambatan reseptor β2 di hati.

(69)

2.5.6 Penghambat reseptor alfa (α blocker)

Reseptor α terdiri dari α1 dan α2. Reseptor α1 terdapat di jantung sedangkan reseptor α2 terdapat di otak. Kedua reseptor ini memiliki peran yang berlawanan. Aktivasi dari reseptor α1 akan meningkatkan peningkatan senyawa katekolamin, yakni epinefrin, nor epinefrin dan dopamin yang akan menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah. Prazosin, terazosin, dan doxazosin adalah penghambat reseptor α1 selektif. Obat-obat ini bekerja pada pembuluh darah perifer dan menghambat pelepasan katekolamin pada sel otot jantung, menyebabkan vasodilatasi dan menurunkan tekanan darah. Efek samping yang tidak disukai dari penghambat reseptor alfa adalah fenomena dosis pertama yang ditandai dengan pusing sementara atau pingsan dan palpitasi (Depkes RI, 2006). 2.5.7 Agonis α2 sentral

Klonidin dan metildopa menurunkan tekanan darah terutama dengan merangsang reseptor α2 di presinap di otak. Perangsangan ini menurunkan aliran simpatetik dari pusat vasomotor di otak. Penurunan aktivitas aimpatetik, bersamaan dengan meningkatnya aktivitas parasimpatetik, dapat menurunkan denyut jantung, cardiac output, tahanan perifer total, aktifitas plasma renin, dan refleks baroreseptor. Klonidin sering digunakan untuk hipertensi yang resisten, dan metildopa adalah obat lini pertama untuk hipertensi pada kehamilan. Penghentian agonis α2 sentral secara tiba-tiba dapat menyebabkan rebound

hypertension, yaitu peningkatan tekanan darah secara tiba-tiba. Efek ini diduga

(70)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Hipertensi adalah salah satu penyakit yang paling umum di seluruh dunia yang terjadi pada manusia dan merupakan faktor risiko yang utama terjadinya stroke, infark miokard, penyakit pembuluh darah, penyakit ginjal kronik dan bahkan menyebabkan kematian jika tidak dideteksi dengan cepat dan tidak diobati dengan tepat (James, et al., 2014). Salah satu studi menyatakan pasien yang menghentikan terapi antihipertensi kemungkinan lima kali lebih besar terkena stroke. Penyakit ini salah satu penyumbang tingginya biaya pengobatan akibat tingginya angka kunjungan ke dokter, perawatan di rumah sakit/atau penggunaan obat jangka panjang (Depkes RI, 2006).

Berdasarkan data WHO di tahun 2013, prevalensi hipertensi tertinggi terjadi di Afrika sekitar 46%, di Amerika sekitar 35% dan di wilayah Asia sekitar 36% pada orang dewasa. Pada tahun 1960, kenaikan tekanan darah meningkat dari 5% menjadi 12% dan pada tahun 2008 lebih dari 30% di India. Pada tahun 2004-2009, penderita hipertensi mengalami kenaikan dari 18% menjadi 31% pada pria dan dari 16% menjadi 29% pada wanita di Myanmar. Pada tahun 2008, kenaikan tekanan darah meningkat terhadap populasi orang dewasa dari 8% menjadi 32% di Indonesia. Data ini menunjukkan bahwa hipertensi masih menjadi ancaman bagi masyarakat dunia (WHO, 2013).

(71)

sehingga mereka cenderung untuk menjadi hipertensi berat karena tidak menghindari dan tidak mengetahui faktor risikonya, dan 90% merupakan hipertensi esensial (Armilawaty, 2007). Menurut survei riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2013, kejadian prevalensi hipertensi di Indonesia telah mencapai 25,8% dari total penduduk dewasa (Riskesdas, 2013).

Menurut Handayani, dkk., (2007), berdasarkan hasil penelitian mereka terkait pengaruh usia terhadap kejadian potensi interaksi obat bahwa Prevalensi hipertensi semakin meningkat dengan bertambahnya usia. prevalensi hipertensi di Indonesia 14% pada tahun 2004 dan meningkat menjadi 34,9% pada tahun 2007.

Penderita hipertensi selain diberi pengobatan farmakologi, dianjurkan juga untuk melakukan pola hidup yang sehat. Lebih dari dua pertiga pasien hipertensi tidak bisa dikontrol dengan satu obat dan akan menerima dua atau lebih obat antihipertensi dari kelas obat yang berbeda (NHLBI, 2004). Tekanan darah tinggi dengan komplikasi membutuhkan pengobatan lebih cepat dan tepat. Peningkatan tekanan darah secara jelas atau terjadi mendadak dapat menjadi ancaman serius bagi kelangsungan kehidupan dan merupakan indikasi peningkatan tekanan darah. Pasien hipertensi yang mendapatkan terapi kombinasi dan pasien hipertensi dengan penyakit penyerta yang mendapatkan pengobatan polifarmasi sangat berpotensi mengalami interaksi obat yang dapat mengakibatkan hasil pencapaian efek terapi kurang baik (Katzung, 2001).

(72)

meningkat bila rejimen pasien berasal dari beberapa resep (McCabe, et al., 2003). Interaksi obat terjadi ketika efek dari satu obat berubah akibat kehadiran obat yang lain. Interaksi antara obat antihipertensi dengan obat dapat menghasilkan peningkatan atau penurunan efek obat antihipertensi. Interaksi yang terjadi dapat berupa farmakokinetik ataupun farmakodinamik (Wood, 1988).

Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya (Menkes RI, 2014). Puskesmas merupakan tempat tujuan pertama yang dikunjungi pasien baik untuk pengobatan rawat jalan maupun rawat inap dan juga rujukan untuk ke rumah sakit.

Berdasarkan hal-hal yang diuraikan di atas, maka peneliti tertarik melakukan penelitian mengenai potensi interaksi obat pada pasien hipertensi yang mendapatkan terapi obat antihipertensi di puskesmas di kota Medan. Penelitian dilaksanakan di 4 puskesmas yaitu Puskesmas Medan Deli, Puskesmas Helvetia, Puskesmas Darussalam dan Puskesmas Teladan.

1.2Kerangka Pikir Penelitian

(73)

terikat (dependent variable). Gambaran tentang kerangka penelitian ditunjukan pada Gambar 1.1.

Variabel Bebas Variabel Terikat

Gambar 1.1 Skema Hubungan Variabel Bebas dan Variabel Terikat

1.3Perumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan diatas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. apakah terdapat potensi interaksi obat pada pemberian obat antihipertensi di puskesmas di kota Medan?

b. apakah frekuensi potensi interaksi obat antihipertensi-obat di puskesmas di kota Medan tinggi?

c. bagaimana pola mekanisme interaksi, jenis obat antihipertensi yang berinteraksi dan tingkat keparahan interaksi yang ada di puskesmas?

d. apakah usia dan jumlah obat mempengaruhi potensi interaksi obat antihipertensi?

1.4Hipotesis

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Potensi Interaksi Obat

antihipertensi

Parameter:

- Frekuensi Interaksi - Mekanisme Interaksi - Jenis Obat yang

Berinteraksi

- Tingkat Keparahan Interaksi

Karakteristik Obat:

-Jumlah obat Karakteristik Pasien:

(74)

a. terdapat potensi interaksi obat antihipertensi pada peresepan di puskesmas di kota Medan.

b. frekuensi potensi interaksi obat antihipertensi-obat di puskesmas kota Medan adalah tinggi.

c. pola mekanisme interaksi, jenis obat antihipertensi yang berinteraksi dan tingkat keparahan interaksi yang ada di puskesmas adalah beragam.

d. usia dan jumlah obat mempengaruhi potensi interaksi obat antihipertensi.

1.5Tujuan Penelitian

Berdasarkan hipotesis penelitian di atas, maka tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui:

a. apakah terdapat potensi interaksi obat antihipertensi pada peresepan di puskesmas di kota Medan.

b. frekuensi potensi interaksi obat antihipertensi di puskesmas di kota Medan. c. pola mekanisme interaksi, jenis obat antihipertensi yang berinteraksi dan

tingkat keparahan interaksi yang ada di puskesmas.

d. apakah usia dan jumlah obat mempengaruhi potensi interaksi obat antihipertensi.

1.6Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka manfaat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

(75)
(76)

POTENSI INTERAKSI OBAT ANTIHIPERTENSI PADA PASIEN HIPERTENSI DI PUSKESMAS DI KOTA MEDAN

ABSTRAK

Hipertensi adalah penyakit yang sering terjadi didunia dan angka kejadiannya cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Puskesmas merupakan tempat tujuan pertama yang dikunjungi pasien baik untuk pengobatan rawat jalan maupun rawat inap dan juga rujukan untuk ke rumah sakit. Umumnya pasien hipertensi akan mendapatkan pengobatan polifarmasi. Hal ini akan berdampak terjadinya Drug Related Problems dimana salah satunya adalah terjadinya interaksi obat.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya potensi interaksi obat antihipertensi, frekuensi potensi interaksi obat, pola mekanisme interaksi, jenis obat antihipertensi yang berinteraksi dan tingkat keparahan interaksi serta hubungan antara potensi interaksi obat dengan usia dan dengan jumlah obat.

Penelitian dilakukan di empat puskesmas di Kota Medan yakni: Puskesmas Medan Deli, Puskesmas Helvetia, Puskesmas Darussalam dan Puskesmas Teladan pada bulan September 2014 - November 2014. Jenis penelitian adalah survei deskriptif Cross Sectional. Analisis data dilakukan secara deskriptif menggunakan uji Chi-Square pada program SPSS Advanced Statistic 18.0.

Hasil penelitian menunjukkan dari 142 lembar resep ditemukan 113 resep yang mengalami kejadian potensi interaksi obat antihipertensi dengan frekuensi potensi interaksi 79,57%. Jenis obat antihipertensi yang paling sering mengalami potensi interaksi adalah Captopril 55% dan Amlodipine 40,71%. Pola mekanisme interaksi yang paling sering terjadi yaitu farmakodinamik (64,29%); tingkat keparahan interaksi yang terjadi yaitu minor (45,71%) dan moderate (37,14%). Faktor yang mempengaruhi potensi interaksi obat antihipertensi adalah jumlah obat (P = 0,002).

Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa kejadian potensi interaksi obat antihipertensi di puskesmas adalah tinggi dengan pola mekanisme interaksi farmakodinamik. Jenis obat antihipertensi yang paling sering berinteraksi captopril dengan tingkat keparahan minor. Jumlah obat mempengaruhi potensi interaksi.

Kata kunci: Hipertensi, potensi interaksi, frekuensi, obat antihipertensi, faktor

Gambar

Tabel 4.1 Karakteristik Subjek Penelitian
Tabel 4.2 Klasifikasi Pasien Yang Mengalami Hipertensi Berdasarkan JNC VII
Gambar 4.1 Grafik hasil persentase potensi interaksi obat (%) antihipertensi pada kelompok usia terhadap total pasien n = 142
Gambar 4.2 Grafik hasil persentase potensi interaksi obat (%) antihipertensi pada jumlah obat terhadap total pasien n = 142
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari penelitian ini didapat hubungan yang signifikan antara kesesuaian peresepan dengan hasil terapi antihipertensi di Empat Puskesmas Kota Medan. Kata Kunci : Hipertensi,

Penelitian ini menggunakan instrumen MAI (Medication Appropriateness Index) untuk mengidentifikasi kesesuaian obat antihipertensi dan melihat apakah ada hubungan antara

Oleh karena itu, pada penelitian ini perlu dilakukan evaluasi mengenai penggunaan obat antihipertensi pada pasien hipertensi di Puskesmas Kota Medan berdasarkan banyaknya kejadia

Duplikasi, keadaan dimana pasien mempunyai kondisi medis tetapi menerima lebih dari satu obat dengan jenis, dosis dan cara penggunaan yang sama secara bersamaan. Durasi,

Identifikasi Drug Related Problems Pada Penanganan Pasien Hipertensi di UPT Puskesmas Jembrana.. Denpasar:

Hubungan Jenis kelamin dengan Tekanan Darah Sistol Akhir Tests of Normality. Jenis

Penggunaan kombinasi kaptopril dan furosemid dapat menyebabkan interaksi farmakodinamik dimana efek hipotensi meningkat (Fitriani, 2007; Rahmiati dan Supadmi, 2012),

Berdasarkan hasil pada tabel 6 dapat dilihat bahwa dari 67 kejadian, obat antihipertensi dengan obat lain yang banyak menimbulkan kejadian interaksi pada